Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Yogyakarta merupakan Kota Pelajar dan Kota Budaya memiliki permasalahan
lingkungan khususnya terkait dengan perubahan tataguna lahan yang cepat. Lahan yang
mestinya diperuntukkan untuk lahan hijau diubah fungsi menjadi lahan permukiman. Hal ini
karena karena kebutuhan lahan akan permukiman meningkat beserta berbagai fasilitas
pendukungnya. Banyak lahan pertanian yang berubah menjadi kawasan perumahan yang
berakibat pada meningkatnya angka surface run off (aliran permukaan air hujan). Banyak
pembangunan perumahan di kawasan bantaran sungai serta koefisien guna bangunan yang
tidak sesuai dengan aturan yang ada. Banyak juga proyek-proyek yang wajib melakukan
kajian Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL), namun dokumen AMDAL hanya
dijadikan formalitas saja. Persoalan terkait pencemaran lingkungan juga muncul akibat air
limbah domestik dan sampah yang tidak dikelola dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut
1. Apa maksud dari tata guna lahan, angka surface run off, AMDAL, pencemaran
lingkungan, koefisien guna bangunan, dan limbah domestik ?
2. Apa yang menyebabkan Kota Yogyakarta memiliki permasalahan lingkungan terkait tata
guna lahan?
3. Dimana saja kota-kota yang memiliki kasus atau permasalahan yang sama seperti di
Yogyakarta?
4. Apa saja Undang-Undang yang mengatur tentang masalah ini?
5. Bagaimana konstitusi mengatasi permasalahan ini?
6. Bagaimana solusi atas masing masing masalah ?

1.3 Ruang Lingkup


Adapun ruang lingkup dalam makalah ini sebagai berikut
1. Tata guna lahan
2. AMDAL
3. Pencemaran lingkungan
4. Peningkatan lahan permukiman

1.4 Tujuan Penulisan


Tujuan dibuatnya makalah ini tidak lain untuk menyadarkan masyarakat betapa
pentingnya mewujudkan lingkungan bersih, memahami permasalahan lingkungan beserta
solusinya, mengikuti aturan maupun konstitusi mengenai pembagunan bangunan,

1
membantu dalam mengawasi fungsi tata guna lahan, serta agar masyarakat tidak memandang
sebelah mata terkait pencemaran lingkungan.

1.5 Manfaat Penulisan


Melalui makalah ini kita sebagai mahkluk Tuhan seharusnya mensyukuri dan menjaga
pemberian Tuhan kepada kita, dan dapat meningkatkan taraf kualitas hidup dengan menjaga
lingkungan bersih dan sehat. Selain itu, agar masyarakat memahami masalah lingkungan di
sekitar mereka, dan berusaha mencari dan melakukan solusi terkait masalah tersebut.

1.6 Metode Penulisan


Metode Penulisan yang digunakan dalam makalah ini menggunakan metode daftar
pustaka.Sumber dari penulisan makalah ini berasal dari buku penerbit, jurnal, serta beberapa
sumber lain.

1.7 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan makalah ini adalah Bab I Pendahuluan terdiri dari : Latar
Belakang, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika
Penulisan. Bab II Pembahasan. Bab III Penutup mencakup Kesimpulan dan Saran. Terakhir
yaitu Daftar Pustaka.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tata Guna Lahan, Koefisien Guna Bangunan, Angka Surface
Run Off, AMDAL, Pencemaran Lingkungan, dan Limbah Domestik
Adapun pengertian tata guna lahan, angka surface run off, AMDAL, pencemaran
lingkungan, dan limbah domestik sebagai berikut.
2.1.1 Pengertian Tata Guna Lahan
Tata guna lahan merupakan suatu kegiatan pemanfaatan lahan dan juga penataan lahan
dimana dilakukan sesuai dengan kondisi eksisting alam. Tata guna
lahan dapat berupa sebagai berikut;
a. Kawasan permukiman
Kawasan ini dapat ditandai dengan adanya perumahan yang disertai prasana dan sarana
serta infrasturktur yang cukup memadai. Kawasan permukiman memilki tingkat
kelerengan 0-15% yaitu datar hingga landau.
b. Kawasan perumahan
Kawasan perumahan hanya didominasi oleh bangunan perumahan dalam suatu wilayah
dimana tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Kawasan ini memilki
tingkat kelerengan sama seperti kawasan permukiman
c. Kawasan perkebunan
Kawasan perkebunan dikenali dengan dibudidayakannya jenis tanaman yang dapat
menghasilkan materi dan dalam bentuk uang. Kawasan ini memiliki tingkat
kelerengan 8-15% (landai).
d.Kawasan pertanian
Kawasan pertanian dikenali dengan adanya jenis budidaya satu tanaman saja.
Kawasan ini sesuai pada tingkat kelerengan 8-15% (landai).
e. Kawasan ruang terbuka hijau
Kawasan terbuka hijau bisa berupa taman atau kebun yang hanya ditanami oleh
tumbuhan yang rendah, cantik dan sedikit. Namun kawasan ini juga dapat berupa
hutan yang didominasi dengan berbagai jenis tumbuhan. Kawasan ini memiliki
tingkat kelerengan 15-25% yaitu agak curam.

3
f. Kawasan perdagangan
Kawasan perdagangan umunya dikenali dengan adanya bangunan pertokoan,
warung dimana menjual berbagai macam kebutuhan atau barang. Tingkat
kelerengan yang dimiliki kawasan perdagangan sebesar 0-8% yaitu datar.
g. Kawasan industri
Kawasan industri ditandai dengan adanya proses produksi baik dalam jumlah kecil
maupun dalam jumlah besar. Kawasan ini sesuai pada tingkat kelerengan 8-15% (
hingga landai ).
h. Kawasan perairan
Kawasan perairan ini ditandai oleh adanya aktifitas perairan, seperti budidaya ikan,
pertambakan, irigasi, dan sumber air bagi wilayah dan sekitarnya.

2.1.2 Pengertian Angka Surface Run Off


Surface Run Off atau limpasan permukaan merupakan aliran air yang terjadi bila
air hujan berlebih, atau sumber lain mengalir di atas permukaan tanah atau bumi. Hal
ini terjadi sebab tanah sudah jenuh kapasitasnya, dan hujan tiba tiba datang lebih
cepat daripada tanah, atau karena kurangnya daerah resapan air pada daerah kedap
air misal atap dan trotoar. Limpasan permukaan adalah komponen utama dari siklus
air. Hal tersebut merupakan agen utama dalam erosi tanah oleh air.
Ada dua jenis limpasan permukaan yaitu limpasan dengan sumber nonpoint dan
poin. Limpasan yang terjadi di permukaan tanah sebelum mencapai saluran juga
disebut sumber nonpoin. Apabila sumber nonpoin mengandung kontaminan buatan
manusia, atau bentuk-bentuk polusi alam, limpasannya disebut pencemaran sumber
non-titik. Ketika aliran permukaan mengalir di tanah, ia dapat mengambil
kontaminan tanah termasuk minyak bumi, pestisida, atau pupuk yang menjadi polusi
sumber pembuangan atau nonpoin.
Selain menyebabkan erosi air dan polusi, limpasan permukaan di daerah
perkotaan adalah penyebab utama banjir kota yang dapat mengakibatkan kerusakan
properti, lembab dan jamur di ruang bawah tanah, dan banjir di jalan.

2.1.3 Pengertian AMDAL


AMDAL(Analisis Dampak Lingkungan) menurut PP No. 27 Tahun 1999 adalah
Kajian atas dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan.
AMDAL adalah analisis yang meliputi berbagai macam faktor seperti fisik, kimia,
sosial ekonomi, biologi dan sosial budaya yang dilakukan secara menyeluruh. Dasar
hukum AMDAL di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang
“Izin Lingkungan Hidup” yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal.
Amdal sendiri telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1982.

4
2.1.4 Pengertian Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan merupakan masuknya zat, makhluk hidup atau energi
lain ke dalam air atau udara. Sekarang ini pencemaran yang terjadi di muka bumi
semakin tak terkendalikan apalagi setelah masa revolusi industri dimana banyak
pabrik yang dibangun dan menyebabkan berbagai jenis polusi. Adapun jenis jenis
pencemaran lingkungan sebagai berikut
a. Pencemaran Udara
Pencemaran udara yaitu benda asing yang masuk lingkungan udara yang
kemudian mempengaruhi kualitas udara di suatu wilayah tertentu. Adapun
macam jenis pencemaran udara menurut G.Tyler Miller Jr, 1979 berupa carbon
oxides (karbon monoksida CO dan CO2), sulfur oxides (SO2dan SO3), nitrogen
oxides (N2O, NO dan NO2), hydrocarbons (CH4, C4H10 dan C6H6),
photochemical oxidants (O3, PAN dan berbagai aldehid), particulates (asap,
debu, kabut, jelaga, asbestos, Pb, Be, dan Cd, minyak, semprotan, garam
sulfat), other inorganic compounds (asbestos, HF, H2S, NH3, H2SO4, HNO3),
dan organic compounds (pestisida, herbisida, berbagai alkohol, asam, bahan
kimia lain), radioactive substances (tritium, radon, emisi dari BBM, dan
instalasi pembangkit listrik), heat, dan noise.
b. Pencemaran Suara
Pencemaran suara merupakan adanya kebisingan yang melampaui ambang
batas yang telah ditentukan pada lingkungan tertentu. Pengaruh kebisingan
pada kesehatan manusia ditentukan oleh tingkat (berdasarkan kerasnya suara),
berdasarkan jarak, dan berdasarkan intensitas kebisingan dari sumbernya.
c. Pencemaran Air
Pencemaran air merupakan masuknya benda asing ke dalam suatu
lingkungan wilayah perairan dan menurunkan kualitas air di wilayah perairan
tersebut. Menurut G.Tyler Miller Jr, 1979 jenis bahan pencemar air berupa
oxygen demanding wastes (limbah rumah tangga, kotoran hewan, dan beberapa
limbah industri), diseases causing agents (berdasarkan fungi, berdasarkan
bakteri, dan virus), inorganic chemicals and minerals (berdasarkan asam,
garam, dan logam beracun), organic chemicals (berdasarkan pestisida, plastik,
deterjen, limbah industri dan minyak), plant nutrients (berdasarkan nitrat dan
fosfat), berdasarkan sediments (contoh; tanah, lumpur dan benda padat yang
dibawa erosi), radioactive substances, dan heat (contoh: berasal dan industri
dan air pendingin dari instalasi pembangkit listrik).

5
d. Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah merupakan masuknya benda asing yang ditambahkan di
suatu area lahan yang menyebabkan kualitas tanah di area lingkungan lahan
tersebut kualitasnya menurun atau membahayakan makhluk hidup yang
memanfaatkan tanah tersebut.
e. Pencemaran Radiasi
Pencemaran radiasi merupakan masuknya bahan bersifat radioaktif yang
memiliki kekuatan radiasi melampaui Nilai Ambang Batas yang ditentukan dan
atau adanya panas yang menimbulkan radiasi yang melebihi temperatur normal
di suatu lingkungan (contoh radiasi panas).

2.1.5 Pengertian Limbah Domestik


Limbah domestik dapat diartikan sebagai suatu limbah yang dihasilkan dari
kegiatan rumah tangga. Seperti diketahui bahwa limbah domestik dibagi menjadi 2
yaitu limbah domestik cair dan limbah domestik padat
a. Limbah Cair Domestik
Limbah cair domestik merupakan limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan
rumah tangga. Contoh limbah domestik ini adalah air bekas cucian yang
mengandung deterjen, minyak, air yang terbuang saat mandi yang mengandung
banyak sabun, dan kotoran manusia.
Akan tetapi, bila terakumulasi dan menjadi satu, limbah cair domestik dapat
menjadi suatu masalah bagi kehidupan organisme lainnya, contohnya kelestarian
ekosistem sungai yang ada di daerah perkotaan. Keberadaan biota sungai
menjadi sangat langka karena ketidakmampuan mereka untuk bertahan hidup
pada kondisi air yang tercemar.
b. Limbah Padat Domestik
Limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga. Contoh limbah
padat sangat banyak sekali. Sampah yang setiap hari kita hasilkan adalah contoh
limbah domestik yang perlu mendapat perhatian.

2.1.6 Pengertian Koefisien Guna Bangunan


Koefisien Guna Bangunan merupakan rasio luas bangunan dibagi dengan luas lahan.
Sebagai contoh, dalam kasus area seluas 100 ㎡ dengan BCR (Building Coverage Ratio)
sebesar 50%, sebuah bangunan dengan maksimum (Luas bangunan) sebesar 50 ㎡ dapat
dibangun. Adapun rumusnya sebagai berikut

Luas Lantai Dasar


KGB = x 100%
Luas Lahan

6
Perlu diketahui bahwa nilai KDB antara satu wilayah dengan lainnya ialah tidak
sama. Mengapa demikian? Karena nilai KDB yang berbeda ini disebablan oleh
beberapa hal yaitu adanya perbedaan peruntukan lahan dan juga lokasi lahan itu
sendiri. Nilai KDB perkotaan akan jauh berbeda dengan nilai KDB pedesaan.
Begitu pula nilai KDB kawasan perindustrian akan berbeda dengan nilai KDB
kawasan komersial. Sehingga kita mesti tahu bagaimana nilai KDB tersebut
diperoleh. Umunya nilai KDB dapat kita temukan dalam Rencana Detil Tata
Ruang(RDTR) di masing-masing wilayah. Dan nilai ini ditentukan oleh pemerintah
daerah itu sendiri.
Pada beberapa zona, dapat ditemukan nilai KDB adalah nol(0). Disini dapat
dijelaskan bahwa zona tersebut tidak diperbolehkan untuk dibangun oleh bangunan
apapun karena masuk dalam zona taman atau area terbuka hijau.
Dan bagaimana cara menghitung jika nilai KDB yang tertulis bukanlah nol.
Misalnya, jika pada suatu daerah mempunyai besaran nilai KDB sebesar 40% maka
artinya lahan di kawasan tersebut hanya diperbolehkan untuk memiliki luas lantai
dasar sebesar 40% dari keseluruhan luas lahan yang dimilikinya. Jika luas seluruh
lahan 100 m2, artinya luas lahan yang diperbolehkan untuk dibangun hanya sebesar
40 m2. Lahan yang tersisa hanya diperbolehkan untuk area terbuka atau ruang
terbuka hijau.
Lalu bagaimana bila ternyata bangunan kita memlebihi batas maksimal dari
KDB yang diperbolehkan? Dan bagaimana dengan bangunan yang di luar sana
yang melebihi nilai KDB yang telah ditetapkan?
Apabila kedua hal tersebut terjadi, maka akan ada sanksi yang dapat berupa
surat peringatan, pencabutan atau penarikan izin, denda, hingga terjadinya
pembongkaran bangunan.
Terdapat Peraturan tentang Koefisien Dasar Bangunan atau KDB dimana
sebuah cara untuk menciptakan ruang yang tertata dan terkendali sehingga ruang
dalam kota tidak tumbuh secara liar. Sehingga, dengan adanya peraturan KDB
maka berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara jumlah lahan terbangun dan
jumlah ruang area terbuka hijau. Sehingga, diharapkan sistem dalam kota tetap
terjaga dengan baik. Dengan begitu, maka kita memiliki batas batas akan
penggunaan lahan. Sehingga, dapat meminimalisir terjadinya bencana banjir yang
disebabkan oleh kurangnya area resapan air.

2.2 Penyebab Permasalahan Lingkungan di Yogyakarta


Berikut penyebab permasalahan lingkungan yang ada di Yogyakarta :
1. Faktor alam. Hal ini terjadi karena jogja berada di kelilingi berbagai bentuk alam. Letusan
gunung merapi yang terjadi,ternyata juga mempengaruhi.
2. Menyempitnya ruang terbuka hijau (RTH). Permasalahan yang berkaitan dengan ruang
terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan
tipikal perkotaan, separti menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan dan
di lingkungan permukiman warga, pencemaran udara yang semakin meningkat dengan
semakin tingginya laju pertumbuhan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak,
dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra- produktif dan
individual sehingga menurunnya tingkat kepedulian terhadap lingkungan.
3. Faktor kependudukan. Jogja dikenal sebagai kota pelajar,banyak nya pendatang pendatang
juga mempengaruhi tingginya pencemaran lingkungan
4. Kurangnya ketegasan hokum
7
2.3 Kasus Permasalahan Lingkungan
Akhir-akhir ini banyak sekali permasalahan lingkungan muncul di jogja yaitu:
1. Pertambangan di daerah bantul. Penambangan batu di area perbukitan di Bantul makin
marak. Aktivitas ini mengancam kelestarian lingkungan dan berpotensi memicu bencana
alam penambangan batu di antaranya terdapat di Kecamatan Pajangan dan Pleret.
2. Penambangan pasir disungai Progo. Dampak buruk telah menanti jika keberadaan
penambangan pasir di sepanjang Sungai Progo dibiarkan. Yang utama adalah kerusakan
lingkungan. Salah satu upaya mengendalikannya adalah melaluikontrolperizinan. Dampak
kerusakan lingkungan lainnya adalah rusaknya konstruksi di sekitar lokasi penambangan.
Itu karena proses penambangan pasir yang terlalu dalam dapat menyebab-kan pergeseran
tanah
3. Pencemaran sungaiWinongo. Sungai Winongo area Tegalrejo hingga Pakuncen, hasil
pengamatan menunjukkan pencemaran ringan, karena indeks biotik 2,6. Indeks ini,
katannya, dihitung dari sejumlah parameter keragamanjenis mikroorganisme invertebrata,
jenisfamili mikroorganisme invertebrate, prosentase kelimpahan mikroorganisme
invertebrata EPT, dan penilaian indeks biotilik. Permasalahan lingkungan Kali Code.
Kondisi tersebut tentunya adak dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Dan
permasalahan di daerah aliran Sungai Code sangat kompleks dan juga akan terus
bertambah jika tidak

2.4 Undang-Undang Terkait Masalah Lingkungan


Adapun undang undang terkait masalah lingkungan antara lain
1. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009
Pemerintah Pusat memliliki kewenangan dalam penegakan hukum dalam
Bidang lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam
Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 pada penjelasan angka 9 menyebutkan
bahwa Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri
Lingkungan Hidup untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan
koordinasi dengan instansi lain. Maka, peranan menteri lingkungan hidup sangat
besar untuk melaksanakan tindakan administrasi maupun tindakan pidana atas
kerusakan lingkungan yang ada di Indonesia.
2. Undang Undang Nomor 6 Tahun 2007
Menteri Lingkungan Hidup dalam menegakkan hukum lingkungan tersebut
mempunyai kewenangan untuk membagi kewenangan tersebut kepada Pemerintah
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Berdasarkan UndangUndang Nomor 6 tahun
2007 tentang Tata Ruang pada pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa wewenang
pemerintah pusat adalah pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
8
pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota. Dalam melaksanakan wewenang tersebut dilaksanakan oleh
menteri, salah satu kewenangan tersebut adalah pengawasan terhadap tata ruang.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Ruang
pada pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah provinsi mempunyai kewenangan
terhadap pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota. Dalam
melaksanakan kewenagan tersebut dilaksanakan sesuai dengan batas wilayah
suatu provinsi sebagaimana kewenangannya sebagai suatu daerah provinsi
masing-masing.
Berdasarkan Undang-UndangNomor 6 tahun 2007 tentang Tata Ruang pada
pasal 11 disebutkan bahwa pemerintah Kabupaten mempunyai kewenangan terhadap
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.
3. Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Pasal 1 ayat 2
BerdasarkanPasal 1 ayat 2 UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang
disebutkan “tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak”. Adanya penataan ruang ini diharapkan bisa menjadi
jembatan bagi pengakomodasian dari berbagai kepentingan yaitu kepentingan
pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga tercipta keterpaduan, keselarasan dan
keserasian pembangunan lingkungan.
4. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992
UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman (UUPP)
menyebutkan bahwa : “permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik dalam lingkup ruang perkotaan maupun pedesaan,
dan juga memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan”. Maka sarana dan prasarana
harus disediakan guna memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah permukiman
tersebut. Dijelaskan dalam UU No.4 Th. 1992 tentang permukiman dapat
berfungsi sebagaimana mestinya jika dilengkapi dengan sarana kelengkapan
dasar fisik lingkungan berupa prasarana lingkungan yaitu adanya jaringan jalan
untuk mobilitas manusia, jaringan pembuangan air limbah dan sampah juga
jaringan saluran air hujan untuk pencegahan banjir daerah setempat .

2.5 Pandangan Konstitusi dalam memecahkan masalah ini


Konstitusi di Indonesia dipahami sebagai suatu naskah tertulis, tertinggi dan berlaku
serta dijadikan dasar dalam penyelenggaraan negara. Suatu hal yang positif apabila konstitusi
memuat hal-hal maupun hak-hak berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup dalam
konstitusi Penegasan Hak atas Lingkungan akan mencegah tumpang tindih peraturan
perundang-undangan serta membuat peraturan perundang-undangan menjadi harmonis karena
bersumber langsung kepada konstitusi.

9
2.5.1 Penegakan Hukum Lingkungan (Enforcement Of Environmental Law)
Terkait dengan usaha represif pemerintah dalam merespon isu-isu akan polusi,
kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan, kebakaran hutan, dan
bahaya kepunahan, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum
lingkungan (enforcement of environmental law). Walau berbagai produk hukum
telah dibuat untuk melindungi lingkungan namun dalam kenyataannya tidak sedikit
para penegak hukum kita yang tergolong dalam catur wangsa yang dalam melakukan
tugasnya menegakkan hukum terutama dalam hukum pidana materiil (KUHP dan
peraturan perundang-undang lainnya yang mengandung sanksi pidana) justru
dilakukannya dengan jalan melanggar hukum pidana formil (KUHAP dan Hukum
Acara Pidana lainnya) baik itu disengaja ataupun “tidak disengaja”, kenyataan ini
menumbuhkan opini di masyarakat bahwa proses penegakan hukum di negara kita
masih dilakukan dengan setengah hati sekalipun itu di jaman era reformasi ini yang
katanya mengedepankan hukum sebagai panglima. Kenyataan ini semakin memberi
kesan kuat kepada masyarakat luas bahwa penegak hukum pun di negeri ini tidak
taat pada hukum (Soekanto, 2002: 126-128).
Hal ini menjadi penting karena masyarakat merasa hukum di Indonesia masih
belum bisa memberikan jaminan terhadap mereka. Dan kebanyakan dari mereka
masih belum mengerti dan memahami bahasa dari hukum, sehingga ketaatan
masyarakat terhadap hukum, dalam hal ini hukum lingkungan, sangatlah kurang.
Aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana hukum itu sendiri masih
belum bisa untuk benar-benar menerapkan peraturan yang sudah ditetapkan. Malah
seringkali aparat penegak hukum yang seharusnya sebagai pelaksana penegakan
hukum, malah melanggar hukum atau bekerjasama melakukan pelanggaran hukum.
Hal ini membuat masyarakat memandang remeh aparat penegak hukum. Dalam
beberapa kasus, masyarakat lalu menjadi tidak taat pada hukum demi kepentingan
pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan lagi. Disinilah pentingnya
peran dan fungsi dari penegakan hukum (lawenforcement). Tujuan hukum untuk
merealisasikan terbentuknya sebuahmasyarakat yang nyaman dan berkeadilan
dengan sifat memaksa, harus benar-benar direalisasikan. Para penegak hukum dalam
melaksanakan law enforcement diharapkan dapat lebih disiplin dan konsekuen.

10
Pengawasan terhadap petugas penegak hukum harus diperketat. Semakin
kendornya pelaksanaan law enforcement akan menyebabkan merosotnya kesadaran
akan lingkungan hidup dan hukum yang mengaturnya. Penegakan hukum lingkungan
harus dijalankan bukan semata-mata karena wacana politik atau pembentukan citra
positif aparat penegak hukum dalam masyarakat, namun harus mampu melindungi
hak-hak mereka dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum lingkungan.
Adapun ranah dari penegakan hukum lingkungan mencakup tiga aspek yaitu:
penegakan hukum lingkungan harus dilaksanakan oleh lembaga yang diberi
kewenangan oleh pemerintah untuk menegakkan hukum lingkungan, penegakan
hukum lingkungan harus dilaksanakan sesuai prosedur hukum yang berlaku,
penegakan hukum lingkungan harus menggunakan 2 jalur penyelesaian, litigasi dan
non-litigasi (Biezeveld, 1995: 7).
Aspek-aspek yang perlu dibenahi dalam upaya penegakan hukum lingkungan
adalah upaya pengawasan (monitoring), pemberian sangsi administratif
(theapplication of administrative sanctions), kasus kebakaran hutan (cases of forest
fires) (Wijoyo, 2016: 3-7).
2.5.2 Pembentukan Masyarakat Ekologi (Ecological Citizenship)
Terkait dengan usaha provokatif pemerintah dalam upaya pembentukan
kesadaran lingkungan, pada tahun 1986, Pendidikan Lingkungan Hidup dan
Kependudukan telah dimasukkan ke dalam jenjang pendidikan formal di sekolah
dengan dibentuknya mata pelajaran Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan
Hidup (PKLH). Departemen Pendidikan merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan
PKLH ke dalam semua mata pelajaran. Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah
(menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah
kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem
Kurikulum Tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan
lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak Tahun 1989/1990
hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA termasuk
Sekolah Kejuruan.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan
Nasional mengeluarkan SK bersama No.05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan
pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini,
sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi
dengan mata ajaran yang telah ada.
Walau Indonesia telah berusaha untuk menerapkan kesadaran akan lingkungan
melalui pendidikan lingkungan hidup namun sebenarnya konsep pemeliharaan
lingkungan hidup yang dilakukan di Indonesia masih sangat terbatas. Belum ada
konten kurikulum yang secara jelas mengatur mengenai pentingnya kesadaran akan
lingkungan. David Orr dalam bukunya Earth in Mind: On Education,Environment,
and the Human Prospect

11
berpendapat bahwa sumber daripermasalahan lingkungan berawal dari tidak
dimasukkannya pendidikan ekologi dalam kurikulum sekolah. Akibatnya sistem
pendidikan hanya akan menciptakan generasi-generasi yang bersikap masa bodoh
akan kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya, bahkan mengarah pada perilaku
vandalisme lingkungan. Untuk menerapkan ecological citizenship, hal pertama yang
harus dilakukan adalah mereformasi dan memformat ulang sistem operasional dan
konten kurikulum di sekolah.
Untuk menciptakan masyarakat ekologi (ecological citizenship) pada dasarnya
dibutuhkan dua jenis literasi yaitu literasi ekologi (ecological literacy) dan literasi
kewarganegaraan (civics literacy). Literasi ekologi dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan pemahaman tentang ekologi, cara berpikir, dan
kebiasaan atau cara berpikir untuk menikmati, menghargai, atau mempelajari
lingkungan sedangkan literasi kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan pemahaman akan nilai-nilai sosial dalam
masyarakat (politik, ekonomi), sistem, keahlian, kebiasaan, dan sistem berpikir untuk
berpartisipasi dan belajar akan perannya sebagai warga negara. Sedangkan
ecological citizenship dapat didefinisikan sebagai warga negara yang memiliki
motivasi, kepercayaan diri, dan kesadaran, kesadaran akan nilai-nilai, bijaksana, dan
kemampuan untuk memahami perannya sebagai warga negara dan pengetahuan akan
lingkungan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dalamnya
kemampuan, keahlian, dan sikap untuk menyadari nilai-nilai dan perannya sebagai
warga masyarakat dengan sikap sadar lingkungan, berdasarkan pengetahuan, pilihan-
pilihan, serta konsekuensi yang mereka miliki (Berkowitz, et al, 2004).
Jadi ada lima komponen yang menjadi tujuan dibutuhkan dalam penerapan
ecological citizenship dalam pembelajaran yaitu
1. Literasi Ekologi: memahami hal-hal mendasar dalam sistem lingkungan
menggunakan cara berpikir lingkungan, juga memahami pengetahuan mengenai
ekologi serta hubungannya dengan masyarakat.
2. Literasi Kewarganegaraan: memahami aspek sosial, ekonomi, kultural, dan
sistem politik dengan menggunakan cara berpikir kritis.
3. Kesadaran akan Nilai: kesadaran akan nilai-nilai personal dengan rasa
penghargaan akan lingkungan dan kemampuan untuk menghubungkan nilai-nilai
tersebut dengan pengetahuan yang dimiliki serta kebijaksanaan praktis dalam
bertindak dan mengambil keputusan.
4. Kesadaran Diri: memiliki kapasitas untuk belajar dan bersikap dengan
penghargaan akan nilai dan ketertarikan akan lingkungan.
5. Kebijaksanaan Praktis: mempengaruhi kebijaksanaan praktis, memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan, dan bersikap dengan penuh kepedulian
dan penghargaan akan lingkungan.

12
Oleh karena itu, jika pemerintah serius dalam menjalankan fungsinya untuk
melakukan pemberdayaan lingkungan maka setidaknya ada lima hal yang harus
dimasukkan dalam konten kurikulum yaitu: 1) Prinsip dan sistem kehidupan, 2)
Desain yang terinspirasi dari alam, 3) Sistem berpikir, 4) Literasi ekologi dan transisi
menuju ketahanan lingkungan, 5) Kolaborasi, pembentukan komunitas, dan
masyarakat ekologi. Lima hal ini diharapkan mampu mengusung komponen-
komponen yang dibutuhkan dalam membentuk ecological citizenship.
1. Prinsip-Prinsip dan Sistem Kehidupan (Principles of LivingSystems)
Memberikan siswa contoh-contoh bahwa lingkungan sekitar baik hutan, sungai,
gunung, sumber mata air juga merupakan sebuah sistem kehidupan
yangberkembang. Dengan menghubungkan siswa pada alam sekitar, diharapkan
mampu terbentuk pemahaman yang lebih baik akan lingkungan.
2. Desain yang Terinspirasi dari Lingkungan (Design Inspired byNature)
Menjelaskan prinsip-prinsip dan karakteristik sistem kehidupan sebagai sumber
atau basis untuk membangun komunitas yang lebih baik. David Orr (2006)
berpendapat bahwa salah satu cara yang ditempuh untuk menginspirasi siswa adalah
dengan melakukan pengamatan serta mendorong siswa untuk menemukan model,
sistem, proses, elemen, maupun potensi yang bisa digali dari lingkungan sekitar
untuk mengatasi isu–isu kontemporer seperti polusi atau global warming. Siswa
harus dikenalkan dengan berbagai contoh realistis yangmengadopsi ide-ide mengenai
lingkungan, salah satunya desain-desain arsitektur megah yang terinspirasi dari
struktur dan keindahan alam dan mengusung konsep green environment.
3. Sistem Berpikir (Systems Thinking)
Fokus dari sistem berpikir disini adalah untuk membentuk kesadaran dan sistem
berpikir siswa yang sadar akan lingkungan berdasarkan pemahaman holistik dan
pemikiran yang rasional. Banyak sekali konsep mengenai ekologi yang hanya menjadi
wacana. Konsep-konsep tersebut bahkan sulit diimplementasikan di lapangan karena
adanya keterbatasan dana, teknologi, maupun sumber daya manusia.
Oleh karena itu, konsep akan lingkungan, baik secara isi maupun implementasi,
harus mengena dan terkoneksi dengan kehidupan sehari-hari. Linda Booth Sweeney
(2003) mengatakan bahwa setidaknya ada dua belas sistem berpikir dalam konsep
ecological citizenship yaitu: 1) sees the whole (melihat dunia sebagai sebuah kesatuan
yang utuh), 2) looks for connections (mengasumsikan bahwa tidak ada sesuatu yang
sifatnya terisolasi di alam, manusia dan segala sesuatu yang ada di sekitar kita
terkoneksi satu sama lain); 3) pays attention to boundaries (mendorong peserta didik
untuk melihat sekelilingdan mencari hubungan antara masalah-masalah yang terjadi,
mengetahui sistem yang berlaku di masyarakat, kondisi kritis apa yang bisa ditemui di
lingkungan sekitar, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, serta apa

13
yang harus dibenahi dari lingkungan sekitar); 4) changes perspective (merubah cara
pandang, meningkatkan pemahaman menganai peran dan kedudukan kita dalam
sistem lingkungan); 5) looks for stocks (mencari potensi dan akumulasi tersembunyi,
baik dalam hal ilmu pengetahuan, budaya, maupun aspek-aspek lain yang berpotensi
untuk merusak maupun menjaga kelestarian lingkungan); 6) challenges mental
models (menantang generasi muda mengenai asumsi tentangbagaimana menjaga
kelestarian lingkungan, apa yang bisa dilakukan dan batas-batas apa saja yang tidak
boleh dilakukan dalam upaya pelestarian lingkungan);
1. anticipates unintended consequences (mengantisipasi konsekuensi yang tidak
diinginkan dengan menyusun skema sebab-akibat dan selalu mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa terjadi kemudian); 7) looks forchange
over time (melihat kejadian hari ini, sebagai hasil dari apa yang dilakukan di
masa sebelumnya, serta berusaha memprediksi apa yang akan terjadi di masa
depan; 8) sees self as part of the system (melihat apa yang berpengaruh dalam
sebuah sistem lingkungan, memfokuskan bukan kepada pelaku yang akan
dijadikan kambing hitam namun bagaimana struktur dan sistem lingkungan dapat
mempengaruhi tingkah laku masyarakat); 9) embracesambiguity
(merangkul/menerima ambiguitas, paradox, atau perbedaan pendapatmaupun
keyakinan tanpa berusaha untuk merubahnya secara cepat dan radikal);
2. finds leverage (meraih pengaruh, mengetahui bahwa solusi barangkali
masihsangat jauh dari masalah, dan berasumsi bahwa perubahan yang kecil dapat
menimbulkan efek yang besar dalam lingkungan secara keseluruhan); 10)
watches for win/lose attitudes (melihat sikap-sikap negatif atau positif yang
berguna dalam mengatasi situasi ketika kita dihadapkan pada dunia nyata).
3. Paradigma Lingkungan dan Transisi Menuju Ketahanan Lingkungan (Ecological
Paradigm and The Transition toSustainability)
Fokusnya dari paradigm lingkungan dan keberlanjutan ekosistem adalah
menciptakan perubahan sosial dalam skala yang lebih besar tentang bagaimana
cara kita hidup di planet ini. Pendidik diharapkan mampu mengajarkan pada
generasi muda bahwa mereka merupakan bagian dari alam. Hubungan antara
manusia dengan alam merupakan landasan perubahan paradigma lingkungan
dalam masyarakat. Masyarakat masih memandang bahwa alam dan manusia
adalah dua hal yang terpisah sehingga tidak ada kepedulian kita untuk menjaga
dan memelihara kelestariannya. Pembentukan ecological citizenship
sesungguhnya bukan hanya mengenai pendidikan akan kebutuhan dasar dan
bagaimana cara kita bertahan hidup namun juga merupakan proses untuk
menciptakan ketahanan masyarakat, baik secara fisik, emosional, intelektual,
kultural, maupun spiritual (Capra, 2011: 167-175)

14
David W. Orr (2009) menyatakan bahwa pembaruan lingkungan harus
dimulai dengan perubahan paradigma masyarakat mengenai ekologi, hal ini erat
kaitannya dengan melakukan perubahan fundamental moral masyarakat dengan
cara-cara yang inovatif. Hal ini merupakan sesuatu yang urgen karena kerusakan
lingkungan telah berada dalam level kritis dimana penundaan akan agenda ini
hanya akan mempercepat keruntuhan ekosistem, termasuk manusia yang ada di
dalamnya. David W. Hoelscher (2009) juga menyimpulkan bahwa harus ada
sinerji yang positif antara kebijakan pemerintah, permainan pasar, dan peran
masyarakat dalam permasalahan lingkungan supaya pembaruan lingkungan
secara berkelanjutan dapat terwujud dalam jangka waktu yang lama dan bersifat
permanen, tanpa terpengaruh oleh kondisi sosial dan politik suatu daerah.
4. Kolaborasi, Pembentukan Komunitas, dan Masyarakat (Collaboration,
Community Building, and Citizenship)
Ecological citizenship bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi dan
kerjasamasebagai bagian dari sistem kehidupan. Kemampuan untuk berasosiasi,
berhubungan, dan berbagi ilmu pengetahuan merupakan bagian dari eco-literacy.
Ecological citizenship ini sejalan dengan konsep pembangunankomunitas dan
active citizenship.
2.6 Solusi atas Masalah Lingkungan di Yogyakarta

2.6.1 Solusi Permukiman Pemkot Yogyakarta Terkait Pendirian Apartemen


Kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta kini tergolong sangat tinggi. Data dari
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) per Februari 2013
menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kota Yogyakarta mencapai 428.282 jiwa.
Sementara itu, kepadatan penduduk, rata-rata mencapai 13.177 jiwa per kilometer
persegi.
Jika dibandingkan dengan empat kabupaten lain di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), yaitu Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo,
maka wilayah Kota Yogyakarta merupakan wilayah terkecil. Kota Yogyakarta hanya
memiliki luas 32,5 kilometer persegi atau hanya 1,025 persen dari luas Provinsi DIY.
Data kepadatan penduduk yang tidak sebanding dengan luas wilayah di Kota
Yogyakarta tersebut menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah tersebut
adalah menyoal permukiman atau hunian. Masalah permukiman ini menjadi
bertambah pelik, mengingat angka pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta, dari
tahun ke tahun, semakin meningkat.
Selain itu, Kota Yogyakarta juga semakin sesak dengan berdirinya banyak
“hutan beton” yang semakin membuat sempitnya lahan untuk permukiman. Alhasil,
mencari lahan kosong di Kota Yogyakarta, kini bukan perkara mudah.
Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan permukiman adalah membuat
hunian secara vertikal, bukan horisontal. Untuk mewujudkan hal tersebut,
Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, kini sedang giat melakukan kajian seputar
kebutuhan untuk permukiman penduduk.

15
Hunian secara vertikal yang dimaksud adalah berbentuk apartemen. Namun
apartemen yang dimaksud harus menyediakan 20 persen untuk masyarakat
berpenghasilan rendah. Namun, upaya untuk mewujudkan pendirian aparteman
tersebut tampaknya menemui sandungan, karena hingga saat ini, masih diberlakukan
aturan yang tidak membolehkan pembangunan apartemen di Kota Yogyakarta. Hal
ini terkait dengan belum diaturnya payung hukum tentang pendirian apartemen di
tengah Kota Yogyakarta.

2.6.2 Solusi Darurat Sampah Kota Yogyakarta: Keuntungan dan Manfaatnya


Setelah analisis yang merujuk pada observasi, studi kasus, dan rekayasa sosial,
dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat menjadi solusi terbaik dalam
mengatasi permasalahan sampah selain upaya bertahap dari pemerintah.
Permberdayaan yang telah dilakukan sampai saat ini baik oleh pemerintah
ataupun stakeholder yang lain di antaranya adalah dengan program-program 3R
(reduce, reuse, recycle). Program yang diluncurkan oleh Badan Lingkungan Hidup
(BLH) kota Yogyakarta sejak sekitar tahun 2012 adalah bank sampah dengan
rangkaian kegiatannya meliputi pengomposan dan daur ulang sampah anorganik.
Program ini berdasar pada hasil penelitian yang dirasa kurang efektif. Bank
sampah di kota Yogyakarta saat ini rata-rata dalam satu bulan dapat mengurangi
sampah sebanyak 28.756,44 kg (28,76 ton). Setiap satu bank sampah rata-rata dapat
mengurangi sampah sebanyak 97.81 kg/bulan atau sekitar 3,26 kg/hari sampah.
Sementara itu, setiap orang saat ini rata-rata menabung 0,227 kg sampah per hari.
Melihat angka tersebut, maka program BLH tersebut tidaklah mencukupi untuk
mengurangi volume sampah secara signifikan. Diprediksikan kebutuhan jumlah
nasabah bank sampah untuk mengatasi rata-rata 176.730 kg sampah yang dihasilkan
oleh kota Yogyakarta membutuhkan sekitar 778.546 orang/hari yang mengelola
sampah. Untuk mengatasi sampah anorganik sebanyak 47.25% (83.504,925 kg),
dibutuhkan sebanyak 367.864 nasabah (83.504,925 kg : 0.227 kg/orang/hari =
367.863,106 ≈ 367.864 nasabah).
Penduduk di kota Yogyakarta tercatat 493.903 jiwa (BLH, 2014). Berdasarkan
data tersebut, apabila setiap orang di kota Yogyakarta menabung sampahnya maka
permasalahan sampah anorganik yang bersumber dari daerah pemukiman akan
teratasi. Jumlah sampah yang diangkut ke TPA Piyungan akan berkurang sekitar
47% dan akan meningkatkan pendapatan keluarga.

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas kami dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa permasalahan lingkungan yang terjadi di Yogyakarta tidak lepas dari ulah manusia itu
sendiri yang tidak dapat mengolah dan memanfaatkan lingkungan serta menjaganya dengan
baik. Perubahan tata guna lahan yang terjadi merupakan sinyal bahwa semestinya pengawasan
serta pengendalian lahan terhadap kebutuhan tempat tinggal dapat dikontrol dan ditata
menjadi lebih baik. Agar lahan hijau tidak dikurangi atau dirampas dengan begitu saja.
Dampak dari permasalahan ini beragam. Mulai dari pencemaran lingkungan
khususnya pencemaran air akibat limbah domestik hingga ke masalah administrasi yang
berupa AMDAL
Jalan keluar dari permasalahan ini adalah mesti adanya saran, ide dan tindakan yang
aktif dari berbagai pihak untuk membantu dalam memecahkan masalah ini. Tidak hanya
masyarakat saja yang berperan aktif namun pemerintah juga. Karena masalah ini tidak hanya
masalah biasa saja, namun ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan dalam mencari jalan
keluar dari masalah ini.

3.2 Saran
Sebaiknya masalah ini ditelaah bagi semua pihak. Baik masyarakat maupun
pemerintah. Karena masalah ini tidak hanya masalah biasa saja, namun ada beberapa hal yang
mesti dipertimbangkan dalam mencari jalan keluar dari masalah ini. Dan semua pihak
memiliki peran dalam hal tersebut.
Demikianlah makalah ini kami susun dengan baik. Semoga dapat bermanfaat bagi
teman-teman. Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, maka kami
mengharapkan saran dan kritik yang senantiasa bersifat membangun demi menyempurnakan
makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

UU no 32 Tahun 2009 tentangPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup


PeraturanMenteri Negara LingkunganHidupNomor 17 Tahun 2012
https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/pencemaran-lingkungan
https://hamparan.net/pencemaran-lingkungan/
http://www.ebiologi.net/2017/01/pengertian-limbah-domestik.html
https://www.duniapelajar.com/2014/08/01/pengertian-limbah-domestik-menurut-
para-ahli/ http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/TM_8_LIMBAH_DOMESTIK.pptx
https://www.merriam-webster.com/dictionary/runoff
http://trtb.pemkomedan.go.id/artikel-966-tata-guna-lahan.html
http://hadwinsaleh.blogspot.com/2013/01/tata-guna-lahan.html
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161023224728-20-167372/pencemaran-
lingkungan-di-yogyakarta-meningkat-250-persen
https://nasional.tempo.co/read/561693/pencemaran-4-sungai-yogya-lewati-ambang-
batas http://www.mongabay.co.id/2017/10/17/pantau-kualitas-sungai-di-jogja-begini-
hasilnya/
https://regional.kompas.com/read/2017/05/16/13395771/tercemar.limbah.ikan.di.kali.
bedog.bantul.mati. http://www.tribunnews.com/regional/2016/06/05/protes-limbah-
pabrik-gula-madukismo-warga-unjuk-rasa-di-tengah-sungai
http://jogja.tribunnews.com/tag/pencemaran
http://jogja.tribunnews.com/2018/08/07/pemkab-sleman-serius-tangani-
permasalahan-pencemaran-sumber-air http://theconversation.com/pencemaran-
sungai-jakarta-dan-solusinya-bukan-sekadar-waring-100783
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 Tentang Pedoman
Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
http://bappedajakarta.go.id/?page_id=1891
Materi Dinas Penataan Kota Provinsi DKI Jakarta tentang Peraturan Tata Bangunan,
Visi Perbaikan Kota vs Regulasi. [pdf]. (http://www.iai-jakarta.org/)

18

Anda mungkin juga menyukai