MANAJEMEN NYERI
Pembimbing:
Oleh:
406182032
KEPANITERAAN ANASTESI
Nim : 4061782032
Pembimbing,
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang
dilimpahkanNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan topik “Manajemen Nyeri”
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah
ini.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan
ilmu anestesi RSUD Ciawi sejak tanggal 19 Maret - 21April 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan masalah unik oleh karena disatu pihak fungsinya untuk
melindungi tubuh dan dilain pihak merupakan siksaan. Nyeri sering dilukisakan
sebagai suatu yang berbahaya / tidak berbahaya. Nyeri muncul setelah menjalani
serangkaian proses sampai menimbulkan suatu persepsi nyeri. Tindakan operasi
adalah salah satu penyebab tersering terjadinya nyeri.
EPIDEMIOLOGI
Suatu studi pada 5130 pasien pasca operatif/trauma melaporkan 22,5% mengalami
nyeri kronik. Nyeri kronik akan menyebabkan penurunandari kualitas hidup dan
menimbulkan gangguan pada kesehatan mental.
1
nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau
penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh.
Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang
mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan
bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat
diketahui, misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan
bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu. Contoh lain,
misalnya seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah perut,
kemungkinan merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah dimulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar
ke berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang
dirasakanya tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau
diagnostik, tetapi akan menambah penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak
saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu,
melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat
menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
2
with nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya
kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception).
BAB II
PEMBAHASAN
3
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker
yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan
progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri
kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang
mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang
sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini
biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik
dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien
menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu
yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia
tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri
post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena kanker.
4
Menurut derajat nyerinya
Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :
1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.
5
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
6
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik
di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf
perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C
sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus
sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls
disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga,
dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan
aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan
suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
7
lamina. Dua dari lapisan ini (lapisan 2 dan 3), yang disebut substansia
gelatinosa, yang sangat penting dalam transmisi dan modulasi nyeri.
Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuro-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior
dan kemudian menyatu di traktus spinothalamikus antero-lateralis, yang naik
ke thalamus dan struktur otak lainnya. Dengan demikian, transmisi impuls
nyeri di medula spinalis bersifat kontra lateral terhadap sisi tubuh tempat
impuls itu berasal.
8
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan
substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas
yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.
2. Neuron-neuron dari daerah daerah satu mengirim impuls ke nukleus rafe
magnus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian atas
dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus ke bawah ke kolumna dorsalis medula
spinalis ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis
medula spinalis.
Zat-zat kimia yang disebut neuroregulator, juga mungkin mempengaruhi
masukan sensorik ke medula spinalis. Neuroregulator ini dikenal sebagai
neurotransmiter atau neuromodulator. Neurotransmiter adalah neurokimia
yang menghambat atau merangsang aktifitas di membran pascasinaps. Zat P
(suatu neuropeptida) adalah neurotransmiter spesifik-nyeri yang terdapat di
kornu dorsalis medula spinalis. Neurotransmiter SSP lain yang terlibat dalam
transmisi nyeri adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan
serotonin.
Respon endokrin
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya terjadi
pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II, ADH,
ACTH, GH dan glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon anabolik
9
seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan hiperglikemia melalui
mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses glukoneogenesis, selanjutnya
terjadi katabolisme protein dan lipolisis. Kejadian ini akan menimbulkan balans
nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan
air. Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah.
Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.
Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi
Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-hormon ini
mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah dan
meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi.
Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontraktilitas otot jantung
dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah hipertensi. Takikardia serta
disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Ditambah dengan retensi Na dan
air, maka timbullah resiko gagal jantung kongesti.
Bertambahnya cairan ekstraselluler di paru-paru akan menimbulkan
kelainan ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan
peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat muncul resiko
hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan sputum, sehingga
penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan hipoksemia.
10
Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan
Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak
mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan/dan minum,
cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan seperti ini
sangat mengganggu kehidupan normal penderita sehari-hari. Mutu kehidupannya
sangat rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang
sehat. Oleh karena itu penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak saja tertuju
kepada mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud
menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat kembali
menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
11
bahwa susunan saraf kita, baik susunan saraf perifer maupun susunan saraf sentral
dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang kontinyu. Dengan kata lain,
susunan saraf kita dapat disamakan sebagai suatu kabel yang kaku (rigid wire), tapi
mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai alat proteksi.
Kemampuan susunan saraf kita yang dapat berubah mirip dengan plastik
disebut sebagian plastisitas susunan saraf (plasticity of the nervous system). Sekali
susunan saraf mengalami plastisitas, berarti akan menjadi hipersensitif terhadap
suatu stimuli dan penderita akan mengeluh dengan nyeri yang lebih hebat sehingga
dibutuhkan dosis obat analgesik yang tinggi untuk mengontrolnya. Atas dasar itulah
maka untuk mengurangi keluhan nyeri pasca bedah, dilakukan upaya-upaya untuk
mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf. Salah satu cara untuk mengurangi
plastisitas tersebut pada suatu pembedahan elektif adalah dengan menggunakan
blok saraf (epidural/spinal), sebab dengan demikian input nyeri dari perifer akan
terblok untuk masuk ke kornu posterior medulla spinal. Dilain pihak jika trauma
terjadi sebelum operasi, maka pemberian opioid secara sistemik dapat
mengembalikan perubahan plastisitas susunan saraf kembali menjadi normal.
Upaya-upaya mencegah terjadinya plastisitas ini disebut sebagai analgesia
preemptif (preemptive analgesia), artinya mengobati nyeri sebelum terjadi (to treat
pain before it occurs). Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat
menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah penderita yang dioperasi
dengan fasilitas anastesi umum. Hal ini telah banyak dibuktikan melalui penelitian-
penelitian klinik. Analgesia Balans (Balanced Analgesia) sebagaimana telah
diterangkan sebelumnya bahwa konsep analgesia balans adalah upaya
mengintervensi nyeri pada proses perjalanannya yakni pada proses transduksi,
transmisi dan proses modulasi. Jadi merupakan intervensi nyeri yang bersifat
terpadu dan berkelanjutan, yang diilhami oleh konsep plastisitas dan analgesia
preemptif seperti disebutkan di atas. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan
menggunakan analgesia preemptif, pada awalnya akan diperoleh hasil yang cukup
baik, tapi cara ini mempunyai keterbatasan waktu. Tidak mungkin analgesia
preemptif dapat dipertahankan beberapa hari sampai proses penyembuhan usai.
12
Selain itu epidural kontinyu dengan menggunakan anastesi lokal, juga memiliki
keterbatasan seperti disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa analgesia preemptif, walaupun
hasilnya sangat baik terutama dalam mencegah terjadinya plastisitas pada kornu
posterior, namun memiliki keterbatasan, yakni sulitnya dipertahankan selama
proses penyembuhan pascabedah. Disinilah keunggulan dari analgesia balans
dimana intervensi nyeri dilakukan secara multimodal dan berkelanjutan.
Multimodal, dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada ketiga proses
perjalanan nyeri yakni pada proses transduksi dengan menggunakan NSAID, pada
proses transmisi dengan anastetik lokal, dan pada proses modulasi dengan opioid.
Dengan cara ini terjadi penekanan pada proses transduksi dan peningkatan
proses modulasi, guna mencegah terjadinya proses hipersensitivitas baik di perifer
maupun di central. Dengan kata lain, analgesia balans dapat menghasilkan selain
pain free juga stress responses free. Dengan regimen analgesia balans ini akan
menghasilkan suatu analgesia pascabedah yang secara rasional akan menghasilkan
analgesia yang optimal bukan saja waktu istirahat, tapi juga dalam keadaan
mobilisasi.
13
Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-kuantitatif
dengan menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala 0 yang berarti tidak
nyeri sampai 10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini popular disebut Numerical
Rating Score (NRS). Disini secara subyektif penderita diberi penjelasan terlebih
dahulu bahwa bila tidak ada nyeri diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak
tertahankan lagi diberi angka 10. Kemudian penderita diminta menentukan derajat
nyerinya dalam cakupan 0 sampai 10. Untuk mempermudah biasanya disodorkan
gambar skala dari 0-10 pada penderita untuk diminta menentukan tempat derajat
nyeri yang dideritanya.
Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan Visual
Analogue Scale.
Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subyektif, penderitaan
nyeri pasien perlu dievaluasi secara berkala.
14
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri
sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non
farmakologik.
Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan
nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan
obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1
15
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat pembantu.
Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf
penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak
sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.
Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan
antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan
atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus
digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri
secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses
transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan
narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen
(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek
antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang
sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).
OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit
meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.
16
OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera
melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat.
Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan
produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin,
untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu
mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis
prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi
kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering
berkaitan dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna,
meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji
fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait
kanker. Morfin adalah suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan opium
poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad yang
lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah satu
obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih standar
pembanding untuk menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan
efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas
sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus,
PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti
morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa
dengan opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek
agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di
17
nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-
sistem desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat
mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi.
Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan
dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang
lebih tinggi untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap
opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker.
Walaupun terdapat toleransi silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid,
hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.
18
tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis
opioid murni.
19
analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons
adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis
alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang
disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah
hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.
20
Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak
pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang
tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode
nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk
mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas
fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna
walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam
penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi
kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas
atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-
nosiseptif yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat
berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi.
Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh
mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan
adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah
tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh.
Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat
punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh
individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang
positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari
suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah
melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya
diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri punggung
bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.
21
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri.
Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi
tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri
yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas
dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik,
lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air
panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot,
dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah
dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera
traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran
darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk
inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan
nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat,
terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air
dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi
aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta perdarahan.
Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai
otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi
dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.
2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang
22
lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup
relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback.
Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu
relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan
bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan.
Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan
stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan
stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,
membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan
fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan
pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian
menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.
23
DAFTAR PUSTAKA
24