Pembimbing :
dr. Rudi Hartono, Sp.An
Disusun oleh :
Nailah Rahmah
406181048
Laporan Kasus :
ANESTESI UMUM PADA CARCINOMA MAMMAE SINISTRA
Disusun oleh :
Nailah Rahmah
406181048
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Anestesi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya,
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Anestesi
Umum pada Carcinoma Mammae Dextra”
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. dr. Rudi Hartono, Sp.An
2. dr. R. Pracahyo Wibowo, Sp.An. M. Kes
3. dr. Teuku Rahmadsyah, Sp.An
yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan ilmu
anestesi RSUD Ciawi sejak tanggal 11 Maret 2019 – 14 April 2019.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Penulis
BAB 1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. GRE
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status pernikahan : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kalibata
Agama : Islam
Suku : Sunda
Ruang : Azalea
Data antropometri :
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 22,22 kg/m2 (overweight)
STATUS GENERALIS
Kepala : normocephale
Mata : pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek
cahaya +/+, CA -/-, SI -/-
Hidung : bentuk hidung normal, simetris, septum deviasi
-, secret -, PCH –
Telinga : normotia, liang telinga lapang, discharge -/-,
serumen -/-, secret -/-, KGB pre/retroaurikuler tidak teraba membesar
Mulut : bibir kering -, sianosis -, stomatitis -, karies +
Tenggorokan : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, detritus -/-, uvula
ditengah,, faring tidak hiperemis
Leher :
o Inspeksi : deviasi trakea tidak tampak, tidak tampak
pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada bekas luka
o Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
Jantung :
o Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung tidak melebar
o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur -, gallop –
Paru-paru :
o Inspeksi : gerakan dada simetris saat inspirasi maupun
ekspirasi, retraksi -
o Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen
o Inspeksi : datar
o Auskultasi : BU +
o Perkusi : timpani + seluruh lapang paru, nyeri ketok CVA
–
o Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar, ballottement –
Kulit : turgor kulit baik, tidak ada kelainan kulit
Anus dan genitalia : tidak tampak kelainan
Ekstremitas : akrat hangat, CRT < 2 detik
VII. PENGKAJIAN
a. Rencana Diagnostic
-
b. Rencana Terapi Farmakologis
ANESTESI UMUM
o Induksi
- Fentanyl 100 mcg IV
- Propofol 200 mg IV
- Atracurium 25 mg IV
o Maintenance
- N2O : O2 : Isoflurance
o Post-operative
- Ketorolac 30 mg IV
- Tramadol drip 100mg IV dalam 500cc RL
- Ondansentron 4 mg IV
o Airway : Intubasi – single lumen spiral ETT no. 7,5 dengan balon
c. Evaluasi
- Keadaan umum
- Tanda-tanda vital : TD 137/83 mmHg, HR 98x/m, RR
20x/m, SpO2 100%
- VAS score : 1-2
- Alderete score Total 10 ( Aktivitas 2, Respirasi 2, Tekanan
darah 2, Kesadaran 2, Saturasi oksigen 2)
-
ALDERETE SCORE
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92% dengan
O2 udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi
O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2
Score : 10
Follow up post-op : pasien tidak mengeluh mual maupun muntah, pusing dan nyeri kepala,
serta sesak nafas.
d. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi umum, seperti :
Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
Mual dan muntah
Trauma pada gigi
Nyeri pada tenggorokan dan laring
Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
Kolaps kardiovaskular
Depresi napas
Peneumonitis aspirasi
Hipotermi
Kerusakan otak akibat hipoksia
Trauma saraf
Emboli
Nyeri punggung
Nyeri kepala
Iatrogenic
Kematian
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanatiomam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI UMUM
1. Definisi 1,2
Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang didapatkan ketika agen
obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk memberikan efeknya secara
reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan tidak sadar (unconsciousness), amnesia,
analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon autonom pada stimulasi berbahaya telah
dicapai. Komponen anestesia yang ideal terdiri: (1) sedasi, (2) analgesia, (3) relaksasi otot.
2. Stadium Anestesi1,2
Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal dari
pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat, walaupun tak lagi
banyak digunakan karena anestesi modern cenderung memperlihatkan masa induksi yang
singkat.
Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula dihambat
adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah medulla oblongata tempat
pusat vasomotor dan pernafasan. Adapun pembagian stadium anestesi menurut Guedel dapat
dibagi menjadi:
Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai oleh
hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II
Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya
refleks menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan,
hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan
dengan mudah. Stadium ini dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola mata
berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisis otot
interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume tidak menurun dan
frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi napas torakal, bola mata berhenti,
pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan
tonus otot makin menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis seluruh otot
interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih dorninan dari torakal,
pupil makin melebar dan refleks cahaya menghilang, lakrimasi negafif, refleks
laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis diafragma.
Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan lambat, iregular dan tidak
adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis diafragma. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani
negatif.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pada stadium
ini berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
3. Indikasi, Kontraindikasi Dan Tujuan Anestesi Umum1,2,3
Indikasi anestesi umum diantaranya:
a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum (ASA, 2009)
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki beberapa
tujuan, diantaranya:
Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
Kehilangan kesadaran
Relaksasi otot skeletal
Faktor Sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan
dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat
diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.
Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika,
kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-
organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika
ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah
jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah:
ligament dan tendon.
Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur
potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration).
Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi
minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai
respon rangsang sakit supra maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin
tinggi potensi obat anestesi tersebut.
Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi jika sudah
terpasang jalur vena pada pasien. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-
hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darahharus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif. Obat yang biasa digunakan untuk induksi IV yaitu
thiopental, propofol dan ketamine.
Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada
dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 >4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran >4
liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk, konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian jika sudah tenang
dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering menjadi batuk dan waktu induksi yang lama.
Induksi mencuri
Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi yang sedang
tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak masalah, tetapi pada yang belum terpasang
jalur vena, harus dikerjakan dengan hati-hati suapaya pasien tidak terbangun. Induksi
mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak ditempelkan
pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertisur
baru sungkup muka ditempelkan.
7.2 Induksi1,3,4
a. Induksi Anestesi
Induksi Anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
dapat dikerjakan baik secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Pasien
kemudian tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Jenis-jenis Induksi antara lain :
1. Induksi Intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
1. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum tiopental digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% (1ml=25mg). Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena yaitu dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien
berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesik
2. Propofol (diprivan, recofol)
Propofol dikemas ke dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu yang
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena seringkali
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kg, sedangkan
untuk dosis rumatannya adalah anesthesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya diperbolehkan
menggunakan dekstrosa 5%. Propofol tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
3. Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, pasca anesthesia bahkan dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur
serta mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis ketamin untuk bolus
adalah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1 ml = 100 mg)
2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, frekuensi napas, tekanan
darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
Pemeriksaan fisik secara khusus juga memeriksa skor Malapati dengan tujuan untuk
memprediksi kemudahan intubasi. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan duduk tegak
dengan mulut terbuka lebar, lidah terjulur dan tanpa mengucapkan kata apapun.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi :
Grade I : pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas, seluruh tonsil
terlihat jelas
Grade II : uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak terlihat
Grade III : hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV : palatum mole tidak terlihat
Rumatan Anestesi
Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anestesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak
sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
mikrogram/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2 (Latief dkk, 2007)
Ekstubasi
1. Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disetai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
2. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul atau
menunggu sewaktu pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak dalam. Dengan
cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut, dada dan jalan nafas.
Pasca bedah
1. Pasien harus di observasi terus (pernapasan, tekanan darah dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu di kamar bedah dan kamar pulih.
2. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia
(tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di
dalam perut atau kekurangan cairan).
3. Bila kesakitan harus diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena, tetapi kalau
gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan
elektrolit (ringer laktat), koloid (dextran) atau darah. Oksigen selalu diberikan
sebelum pasien sadar betul.
4. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan
nafas sudah aktif tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.
c) Banyaknya perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang kain kasa ketika
sebelum kena darah dan sesudahnya, mengukur jumlah darah di botol pengukur
darah ditambah 10-20% untuk yang tidak dapat diukur.
b. Monitoring Respirasi
1) Tanpa alat
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung gerakan dada-
perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan napas kendali dan gerakan
kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi warna mukosa bibir, kuku
pada ujung jari dan darah pada luka bedah apakah pucat, kebiruan atau merah
muda.
2) Stetoskop
Dengan stetoskop prekordial atau esofageal dapat didengar suara pernapasan.
3) Oksimeter denyut (pulse oximetry)
Untuk mengetahui saturasi oksigen (SaO2). Selain itu dapat diketahui frekuensi
darah dan adanya distrimia.
c. Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran suhu
sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi mudah sekali kehilangan panas
secara radiasi, konveksi, evaporasi dan konduksi, dengan konsekuensi depresi otot
jantung, hipoksia, asidosis, pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi
sirkulasi persistent fetal.
d. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih normal minimal
0.5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk
menghindari retensi urin atau distenti buli-buli. Monitoring produksi air kemih harus
dilakukan dengan hait-hati, karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai
ke pielonefritis, secara rutin digunakan kateter Foley karet lunak ukuran 5-8F. kalau
>1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya hiperglikemia.
e. Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah cukup baik atau
sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot sudah kembali normal.
f. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau orientasi
terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien dalam keadaan tidak
sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan memeriksa respon pupil terhadap
cahaya, respons terhadap trauma pembedahan, respons terhadap otot apakah
relaksasi cukup atau tidak.
Anestesi umum dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada
pasien. Sedangkan manajemen airway yang dipilih adalah intubasi atas dasar waktu yang
dibutuhkan untuk operasi cukup lama dan tidak ditemukan penyulit untuk dilakukannya
intubasi. Digunakan single lumen spiral ETT untuk intubasi. Pada pemeriksaan fisik tidak
didapatkan adanya penyulit tindakan anestesi seperti asma atau alergi obat.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan leher.
Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
Malampati Score yaitu 1
Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan intubasi.
Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi secara intravena yaitu propofol.
Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya kejadian post operative nausea and
vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan.
Waktu paruh (propofol) yaitu 24-72 jam. Dosis induksi yang cepat menimbulkan efek
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi
dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah
pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit
pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu
paruh 20-30 menit).
Dosis induksi propofol dapat menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat
akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB), pemulihan kesadaran dapat berlangsung cepat. Propofol dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam bidang
anestesi, dimana kekuatannya 100 kali dibandingkan dengan morfin. Fentanil bekerja pada
reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons
emosional terhadap nyeri. Waktu paruh fentanil berkisar antara 3-4 jam dan dapat memanjang
hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa
metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari.
Atracrium digunakan sebagai muscle relaxant, termasuk dalam golongan non-
depolarisasi. Tracrium bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin menempati celah saraf otot
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, tracrium termasuk dalam
pelemas otot kerja sedang sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3-5 menit hingga obat bekerja.
Karena menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi maka diperlukan penawar. Penawar
yang digunakan prostigmin sehingga ditambahkan sulfas atropine untuk mengurangi efek dari
prostigmin dimana dapat menyebabkan hipersalivasi, bradikardia serta hipermotilitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA et al. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Hlm. 29-90.
2. Muhiman, M., Thaib M. R., dan Sunatrio S. 2004. Anestesiologi Edisi pertama. Jakarta:
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
3. Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Edisi
5. USA: Mc. Graw Hill. Hlm. 153-220; 1261-1271.
4. Zunilda DS dan Elysabeth. 2011. Anestetik Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi,
Edisi 5, Sulistia et al. (editor). Jakarta: FKUI. Hlm. 122-137.
5. Soenarjo,Sp. An., Djatmiko, H, Sp.An. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP
6. American Society of Anesthesiologists (ASA). 2011. Continuum of Depth of Sedation
Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. ASA Web site.
Tersedia di http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards /20.pdf. Diakses
pada tanggal 7 Maret 2016.
7. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam
Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA : Lipincott Williams
and Wilkins.
8. Healy TH dan Knight PR. 2003. A Practice of Anesthesia. Edisi 7. USA: Taylor and
Francis Group. Hlm. 604.