Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Anestesi Umum pada Carcinoma Mammae Sinistra

Pembimbing :
dr. Rudi Hartono, Sp.An

Disusun oleh :
Nailah Rahmah
406181048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD CIAWI BOGOR
PERIODE 11 MARET 2019 – 14 APRIL 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus :
ANESTESI UMUM PADA CARCINOMA MAMMAE SINISTRA

Disusun oleh :
Nailah Rahmah
406181048
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Anestesi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 29 Maret 2019

dr. Rudi Hartono, Sp.An


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya,
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Anestesi
Umum pada Carcinoma Mammae Dextra”
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. dr. Rudi Hartono, Sp.An
2. dr. R. Pracahyo Wibowo, Sp.An. M. Kes
3. dr. Teuku Rahmadsyah, Sp.An

yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan ilmu
anestesi RSUD Ciawi sejak tanggal 11 Maret 2019 – 14 April 2019.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Ciawi, 29 Maret 2019

Penulis
BAB 1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. GRE
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status pernikahan : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kalibata
Agama : Islam
Suku : Sunda
Ruang : Azalea

II. ANAMNESIS (22 Maret 2019 pukul 09.00 WIB)


Keluhan Utama : benjolan di payudara kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengeluh benjolan di payudara kiri sejak 2 tahun yang lalu. Benjolan
awalnya muncul di bagian kiri atas payudara dan sebesar kelereng, semakin lama
semakin membesar. Semakin lama benjolan melunak dan kulit payudara tertarik ke
dalam. Terkadang terasa nyeri.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat keluhan serupa : disangkal
 Riwayat operasi : 1x (biopsi) 8 bulan yang lalu
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat darah tinggi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
Riwayat pengobatan :
Pasien sudah berobat ke dokter 1 tahun yang lalu dan telah melakukan
kemoterapi 8 kali.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 HR : 80 kali/menit
 RR : 20 kali/menit
 Suhu : 36,4oC
 SpO2 : 99%

Data antropometri :
 Berat badan : 50 kg
 Tinggi badan : 150 cm
 IMT : 22,22 kg/m2 (overweight)

Penyulit : asma dan alergi obat disangkal

STATUS GENERALIS
 Kepala : normocephale
 Mata : pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek
cahaya +/+, CA -/-, SI -/-
 Hidung : bentuk hidung normal, simetris, septum deviasi
-, secret -, PCH –
 Telinga : normotia, liang telinga lapang, discharge -/-,
serumen -/-, secret -/-, KGB pre/retroaurikuler tidak teraba membesar
 Mulut : bibir kering -, sianosis -, stomatitis -, karies +
 Tenggorokan : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, detritus -/-, uvula
ditengah,, faring tidak hiperemis
 Leher :
o Inspeksi : deviasi trakea tidak tampak, tidak tampak
pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada bekas luka
o Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
 Jantung :
o Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung tidak melebar
o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur -, gallop –
 Paru-paru :
o Inspeksi : gerakan dada simetris saat inspirasi maupun
ekspirasi, retraksi -
o Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
 Abdomen
o Inspeksi : datar
o Auskultasi : BU +
o Perkusi : timpani + seluruh lapang paru, nyeri ketok CVA

o Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar, ballottement –
 Kulit : turgor kulit baik, tidak ada kelainan kulit
 Anus dan genitalia : tidak tampak kelainan
 Ekstremitas : akrat hangat, CRT < 2 detik

STATUS LOKALIS a/r MAMMAE SINISTRA


 Teraba benjolan a/r superolateral dengan ukuran 10x18x5cm,
konsistensi keras, immobile, permukaan tidak rata, batas tidak
tegas, nyeri tekan (+), skin dimpling (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium (21 Maret 2019)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN


A. Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 11,9 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 34,1* 35 - 47 %
Leukosit 7,5 4 - 11 10^3/uL
Trombosit 393 150 – 440 10^3/uL
Golongan darah A A/B/AB/O mg/L
Rhesus (+) POS - mg/L
Masa perdarahan 2’30” 1–6 menit
Masa pembekuan 10’00” 8 – 18 menit
B. Kimia
GD Sewaktu 87 80 – 120 mg/dl
Ureum 12,4 10,0 – 50,0 null
Kreatinin 0,67 0,60 – 1,30 mg/dl
SGOT 14 0 – 35 U/L
SGPT 19 0 - 35 U/L

2. Hasil Foto Polos Thorax (21 Maret 2019)


Cor prominent
Pulmo tidak tampak kelainan
3. Hasil Pemeriksaan Histopatologi (29 Juli 2018)
Ca mammae sinistra
V. RESUME
Pasien mengeluh ada benjolan di mammae sinistra a/r superolateral sejak 2 tahun
yang lalu. Benjolan semakin lama semakin membesar, kulit mammae tertarik ke dalam
dan terasa nyeri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
pemeriksaan mammae teraba benjolan a/r superolateral dengan ukuran 10x18x5cm,
konsistensi keras, immobile, permukaan tidak rata, batas tidak tegas, nyeri tekan (+),
skin dimpling (+).
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan diagnosa carcinoma mammae
sinistra
Pemeriksaan status fisik menurut ASA didapatkan ASA II.

VI. DIAGNOSA KERJA


Carcinoma mammae sinistra dengan ASA II.

VII. PENGKAJIAN
a. Rencana Diagnostic
-
b. Rencana Terapi Farmakologis
ANESTESI UMUM
o Induksi
- Fentanyl 100 mcg IV
- Propofol 200 mg IV
- Atracurium 25 mg IV
o Maintenance
- N2O : O2 : Isoflurance
o Post-operative
- Ketorolac 30 mg IV
- Tramadol drip 100mg IV dalam 500cc RL
- Ondansentron 4 mg IV
o Airway : Intubasi – single lumen spiral ETT no. 7,5 dengan balon
c. Evaluasi
- Keadaan umum
- Tanda-tanda vital : TD 137/83 mmHg, HR 98x/m, RR
20x/m, SpO2 100%
- VAS score : 1-2
- Alderete score  Total 10 ( Aktivitas 2, Respirasi 2, Tekanan
darah 2, Kesadaran 2, Saturasi oksigen 2)
-
ALDERETE SCORE
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92% dengan
O2 udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi
O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2
Score : 10

Follow up post-op : pasien tidak mengeluh mual maupun muntah, pusing dan nyeri kepala,
serta sesak nafas.
d. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi umum, seperti :
 Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
 Mual dan muntah
 Trauma pada gigi
 Nyeri pada tenggorokan dan laring
 Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
 Kolaps kardiovaskular
 Depresi napas
 Peneumonitis aspirasi
 Hipotermi
 Kerusakan otak akibat hipoksia
 Trauma saraf
 Emboli
 Nyeri punggung
 Nyeri kepala
 Iatrogenic
 Kematian

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanatiomam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI UMUM

1. Definisi 1,2
Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang didapatkan ketika agen
obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk memberikan efeknya secara
reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan tidak sadar (unconsciousness), amnesia,
analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon autonom pada stimulasi berbahaya telah
dicapai. Komponen anestesia yang ideal terdiri: (1) sedasi, (2) analgesia, (3) relaksasi otot.

2. Stadium Anestesi1,2
Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal dari
pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat, walaupun tak lagi
banyak digunakan karena anestesi modern cenderung memperlihatkan masa induksi yang
singkat.
Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula dihambat
adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah medulla oblongata tempat
pusat vasomotor dan pernafasan. Adapun pembagian stadium anestesi menurut Guedel dapat
dibagi menjadi:
Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai oleh
hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II
Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya
refleks menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan,
hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan
dengan mudah. Stadium ini dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola mata
berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisis otot
interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume tidak menurun dan
frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi napas torakal, bola mata berhenti,
pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan
tonus otot makin menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis seluruh otot
interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih dorninan dari torakal,
pupil makin melebar dan refleks cahaya menghilang, lakrimasi negafif, refleks
laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis diafragma.
Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan lambat, iregular dan tidak
adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis diafragma. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani
negatif.

Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pada stadium
ini berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
3. Indikasi, Kontraindikasi Dan Tujuan Anestesi Umum1,2,3
Indikasi anestesi umum diantaranya:
a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum (ASA, 2009)

Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum yaitu


gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol (diastolik >110
mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis.

Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki beberapa
tujuan, diantaranya:
 Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
 Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
 Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
 Kehilangan kesadaran
 Relaksasi otot skeletal

4. Kelebihan Dan Kekurangan Anestesi Umum1,2,3


Kelebihan:
a. Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b. Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
c. Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang adekuat
d. Dapat digunakan pada pasien yang sensitive terhadap agen anestetik lokal
e. Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
f. Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau lebih lama
g. Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible
Kerugian:
a. Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
b. Membutuhkan beberapa persiapan preoperative
c. Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif
d. Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit tenggorokan, sakit
kepala, menggigil dan lamanya perbaikan psikomotorik (Healy dan Kninght, 2003;
Sebel et al., 2004)

5. Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum1,2,3


Faktor Respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan
parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin
tinggi. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah
menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi
terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke
dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi bila
pemberian obat anestesi dihentikan). Proses difusi akan terganggu bila terdapat
penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis
paru.

Faktor Sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan
dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat
diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.

Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika,
kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-
organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika
ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah
jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah:
ligament dan tendon.
Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur
potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration).
Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi
minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai
respon rangsang sakit supra maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin
tinggi potensi obat anestesi tersebut.

6. Metode Pemberian Anestesi Umum1,2,3,4


Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya pembedahan. Induksi anestesi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anestesi disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga jika terjadi keadaan gawat darurat dapat diatasi lebih
cepat dan lebih baik.

Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi jika sudah
terpasang jalur vena pada pasien. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-
hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darahharus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif. Obat yang biasa digunakan untuk induksi IV yaitu
thiopental, propofol dan ketamine.

Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada
dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 >4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran >4
liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk, konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian jika sudah tenang
dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering menjadi batuk dan waktu induksi yang lama.

Induksi per rektal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi, menggunakan thiopental atau midazolam.

Induksi mencuri
Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi yang sedang
tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak masalah, tetapi pada yang belum terpasang
jalur vena, harus dikerjakan dengan hati-hati suapaya pasien tidak terbangun. Induksi
mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak ditempelkan
pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertisur
baru sungkup muka ditempelkan.

7. Obat – Obat Anestesi Umum


7.1 Premedikasi3,4
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam
rangka pelaksanaan anestesia dengan tujuan sebagai berikut:
i. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan rasa cemas,
member ketenangan, membuat amnesia, mencegal mual ataupun muntah serta
bebas dari nyeri.
ii. Mengurangi dosis dari anestesia
iii. Memudahkan dan memperlancar induksi
iv. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
v. Menekan reflek-refleks yang tidak dinginkan
Pada umumnya premedikasi tidak diberikan terkecuali pasien terlalu gelisah
ataupun sulit dikendalikan. Premedikasi akan memerpanjang masa pulih. Obat
premedikasi yang umumnya diberikan adalah Sulfas Atropin, terutama bila memakai
eter atau ketamin yang menambah produksi sekresi jalan napas. Narkotika tidak
diberikan karena memperpanjang masa pulih dan menyebabkan mual atau muntah
pasca bedah
Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk premedikasi adalah :
a. Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh anestesi inhalasi
dapat mengganggu pernapasan selama anestesia. Atropine 0,4-0,6 mg IM dapat
mencegah hipersekresi ini 10-15 menit setelah penyuntikan. Efek ini berlangsung
selama ± 90 menit. Dosis obat ini tidaklah cukup untuk mencegah perubahan
kardiovaskular akibat rangsangan parasimpatis, berupa hipotensi dan bradikardia, yang
disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian berulang suksinilkolin IV.
Untuk keadaan ini diperlukan dosis IV 1,5-2 mg pada dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada
anak

Obat golongan analgetik narkotik


Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien,
mengurangi nyeri. Teknik anestesi berimbang dapat membuat dampak buruk morfin
yaitu memperpanjang waktu pemulihan dan depresi kardiovaskular, dapat diatasi, dan
mual, muntah serta nyeri paska bedah dapat dikurangi. Morfin 8-10 mg yang diberikan
IM biasanya sudah cukup untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/kg IV
sudah cukup untuk menimbulkan analgesia. Dalam dosis berimbang dengan N2O
diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB, sedangkan apabila digunakan anestetik inhalasi
lainnya dianjurkan dosis tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB.
Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai dengan urutan
kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali), remifentanil (300 kali), fentanil (100 kali),
alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan meperidin (0,1 kali). Pemilihan penggunaan
analgesik opioid didasarkan pada lama kerja karena semuanya dapat memberikan efek
analgesia dan efek samping sama. Berdasarkan lama kerjanya, analgesik opioid
dibedakan atas opioid dengan lama kerja singkat misalnya remifentanil (10 menit), dan
opioid lama kerja sedang misalnya sulfentanil (15 menit), alfentanil (20 menit) dan
fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-6 mcg/kgBB atau 1-3 mcg/kgBB
pada anak
b. Barbiturat
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan untuk sedasi dam
untuk mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral
atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg dan 1 mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan.
Keuntungan dari pemakaian barbiturate adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan
efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah
c. Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan dibandingkan opioid dan
berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut tidak menambah depresi napas akibat opioid.
Opioid menyebabkan tidur, amnesia retrograde fam dapat mengurangi rasa cemas.
Penggunaan benzodiazepine untuk premedikasi berbeda dosis dengan induksi,
diazepam oral 0,2-0,5 mg/kgBB, midazolam intramuscular 0,07-0,15 mg/kgBB serta
lorazepam oral 0,05 mg/kgBB
d. Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual dan muntah
akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan, misalnya droperidol yang biasa
digunakan bersama fentanil. Kualitas sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi
yang ditimbulkan bila menggunakan morfin saja. Golongan fenotiazin seperti
klorpromazin atau prometazin juga dapat mengurangi muntah, tetapi penggunaannya
dibatasi oleh adanya efek hipotensi intraoperatif dan takikardi.

7.2 Induksi1,3,4
a. Induksi Anestesi
Induksi Anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
dapat dikerjakan baik secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Pasien
kemudian tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Jenis-jenis Induksi antara lain :
1. Induksi Intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
1. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum tiopental digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% (1ml=25mg). Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena yaitu dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien
berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesik
2. Propofol (diprivan, recofol)
Propofol dikemas ke dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu yang
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena seringkali
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kg, sedangkan
untuk dosis rumatannya adalah anesthesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya diperbolehkan
menggunakan dekstrosa 5%. Propofol tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
3. Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, pasca anesthesia bahkan dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur
serta mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis ketamin untuk bolus
adalah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1 ml = 100 mg)

4. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)


Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Anestesi
opioid ini sendiri digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-
1 mg/kg/menit
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur
3. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)berbentuk
gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi
dengan salah satu cairanan astetik lain seperti halotan
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup
dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau
10% sekitar faring laring.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan
analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
meninggikan kadar gula darah
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih iritatif
dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat disbanding halotan,
tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibanding halotan
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner
e) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan
4. Induksi perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat. Obat
induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam. Midazolam memiliki
kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut, miastenia gravis, syok atau
koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi tanda- tanda vital, bayi prematur.
Efek samping dapat menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada
tanda- tanda vital (Zunilda dan Elysabeth, 2011).
5. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya
sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak
beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan
6. Pelumpuh otot nondepolarisasiTracurium 20 mg (Antracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45
menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
1) Cegukan (hiccup)
2) Dinding perut kaku
3) Ada tahanan pada inflasi paru
b. Rumatan
i. Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena (anestesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena dan
inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur
ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
ii. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil
10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan
dengan infus propofol 4-12 mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total
intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O dan O2.

8. Teknik Anestesi Umum1,2,3,4


a. Teknik anestesi dengan sungkup/ nasal kanul
Indikasi:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik ( ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
b. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT
ETT yang seringkali digunakan adalah ETT No 7,5 untuk pipa orotrakea
dan No. 7 untuk pipa nasotrakea. Ukuran ETT untuk anak-anak rata-rata sebesar
jari kelingking. Indikasi dari menggunakan teknik ETT ini seperti pada operasi-
operasi yang memerlukan waktu yang cukup lama dan kesulitan
mempertahankan jalan napas bebas pada anestesi dengan sungkup muka.
Thiopental harus disediakan obat pelemas otot jangka pendek seperti suksinil-
kolin 2% atau alkuronium (allonefrin) 10mg/ampul
c. Teknik Anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA) merupakan teknik
anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang
dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anestesi
yaitu hipnotik, analgetik maupun relaksasi otot yang lengkap.
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup 2 komponen
anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias anestesi
Kelebihan TIVA adalah :
1. TIVA dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam
dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak menggangg jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan
Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai berikut:
1. TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum
2. TIBA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi pembedahan
singkat
3. TIVA sebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat
4. TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional
5. TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat ransangan sistem
saraf pusat (SSP).
Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan:
1. Suntikan tunggal, untuk operasi singkat
2. Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan
3. TIVA diteteskan lewat infuse.

9. Langkah – Langkah Anestesi Umum1,3,4,5


9.1 Evaluasi Pra Anestesia
Evaluasi praanestesia adalah langkah awal dari tindakan anestesia yang dilakukan
terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca bedah.
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan.
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan beberapa hari sebelum operasi.
Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi, selanjutnya evaluasi ulang
dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim ke kamar operasi dan evaluasi terakhir
dilakukan di kamar persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) untuk menentukan status fisik
ASA.
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di ruang persiapan
operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang tersedia untuk evaluasi sangat
terbatas, sehingga sering kali informasi tentang penyakit yang diderita kurang akurat.
Tatalaksana Evaluasi
1. Anamnesis
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin
menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
c. Anamnesis umum, meliputi:
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang menderita penyakit
sistemik selain penyakit bedah yang diderita, yang bisa mempengaruhi anestesia
atau dipengaruhi anestesia
2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang mungkin berinteraksi
dengan obat anestesia, misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-
diabetik, antibiotik golongan aminoglikosid, digitalis, diuretika, transquilizer,
obat penghambat enzim mono-amin oksidase dan bronkodilator
3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien mengalami
komplikasi anestesia
4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman keras (alkohol),
pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan narkotik)
5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain

2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, frekuensi napas, tekanan
darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
Pemeriksaan fisik secara khusus juga memeriksa skor Malapati dengan tujuan untuk
memprediksi kemudahan intubasi. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan duduk tegak
dengan mulut terbuka lebar, lidah terjulur dan tanpa mengucapkan kata apapun.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi :
 Grade I : pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas, seluruh tonsil
terlihat jelas
 Grade II : uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak terlihat
 Grade III : hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : palatum mole tidak terlihat

3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya


a. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan sedang. Hal-hal
yang diperiksa adalah:
1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa perdarahan
dan masa pembekuan
2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
b. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi besar dan pasien yang
menderita penyakit sistemik tertentu dengan indikasi tegas. Hal-hal yang diperiksa
adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati, fungsi ginjal, analisis
gas darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostasis lengkap, sesuai dengan
indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya sesuai indikasi
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur di atas usia 35 tahun
4) Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOM
Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam misalnya ekhokardiografi atau
kateterisasi jantung diperlukan konsultasi dengan dokter spesialisnya.

4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital


5. Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas maka dapat disimpulkan status fisik
pasien pra anestesia. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status
fisik praanestesia menjadi 5 kelas:12
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang
ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan karena
berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak
mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal

Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan tanda E


(emergency) di belakang angka, misalnya ASA 1 E.
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk premedikasi adalah :

Jenis Obat Dosis (Dewasa)


1. Sedatif
Diazepam 5 – 10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0.1 – 0.2 mg/kgBB
Lanjutan Jenis Obat yang dapat digunakan sebagai premedikasi
2. Analgetik opiat
Petidin 1 – 2 mg/kgBB
Morfin 0.1 – 0.2 mg/kgBB
Fentanil 1 – 2 mikrogram/kgBB
Analgetik non opiat Disesuaikan
3. Antikholinergik
Sulfas atropin 0.1 mg/kgBB
4. Antiemetik
Ondansetron 4 – 8 mg (IV)
Metoklopramid 10 mg (IV)
5. Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidin
Antasid

9.2 Pemberian Anestesi2,3,6


Induksi Anestesi
Tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara
intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : ScopeStetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : TubePipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : TapePlester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

Rumatan Anestesi
Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anestesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak
sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
mikrogram/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2 (Latief dkk, 2007)

Ekstubasi
1. Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disetai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
2. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul atau
menunggu sewaktu pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak dalam. Dengan
cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut, dada dan jalan nafas.

Pasca bedah
1. Pasien harus di observasi terus (pernapasan, tekanan darah dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu di kamar bedah dan kamar pulih.
2. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia
(tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di
dalam perut atau kekurangan cairan).
3. Bila kesakitan harus diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena, tetapi kalau
gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan
elektrolit (ringer laktat), koloid (dextran) atau darah. Oksigen selalu diberikan
sebelum pasien sadar betul.
4. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan
nafas sudah aktif tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.

9.3 Monitoring Perianestesi1,2,3,6


1. Monitoring Standar
Rekam medis sebelum anestesia sangat penting diketahui, apakah pasien berada
dalam keadaan segar bugar atau sedang menderita suatu penyakit sistemik. Monitoring
dasar pada pasien dalam keadaan anestesia adalah monitoring tanpa alat atau dengan alat
sederhana seperti stetoskop dan tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi.
a. Monitoring Kardiovaskular
1) Non-invasif (tak langsung)
a) Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan sirkulasi
sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi makin menurunkan curah
jantung. Monitoring terhadap nadi dapat dilakukan dengan cara palpasi arteria
radialis, brakialis, femoralis atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui
frekuensi, irama dan kekuatan nadi. Cara palpasi dan cara auskultasi ini terbatas,
karena kita tidak dapat melakukannya secara terus menerus.
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan elektronik
seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan alarm. Pemasangan EKG
untuk mengetahui secara kontinyu frekuensi nadi, distrimia, iskemia jantung,
gangguan konduksi, abnormalitas elektrolit dan fungsi ‘pacemaker’.
b) Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan manset yang
harus tepat ukurannya (lebarnya kira-kira 2/3 lebar jarak olekranon-akromion,
atau 40% dari keliling besarnya lengan), karena terlalu lebar menghasilkan nilai
lebih rendah dan terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan
sistolik-diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan tekanan
arteri rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara langsung dengan
monitor tekanan darah elektronik atau dengan menghitung yaitu 1/3 (tekanan
sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau tekanan diastolik + 1/3 (tekanan sistolik –
tekanan diastolik).
Tabel Nilai Normal Frekuensi Nadi dan Tekanan Darah
Usia FrekuensiNadi TekananSistolik TekananDiastolik
(per menit) (mmHg) (mmHg)
Prematur 150 ± 20 50 ± 3 30 ± 2
Cukupbulan 133 ± 18 67 ± 3 42 ± 4
6 bulan 120 ± 20 89 ± 29 60 ± 10
12 bulan 120 ± 20 96 ±30 66 ± 25
2 tahun 105 ± 25 99 ± 25 64 ± 25
5 tahun 90 ± 10 94 ± 14 55 ± 9
12 tahun 70 ± 17 109 ± 16 58 ± 9
Dewasa 65 ± 8 120 ± 10 80 ± 10

c) Banyaknya perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang kain kasa ketika
sebelum kena darah dan sesudahnya, mengukur jumlah darah di botol pengukur
darah ditambah 10-20% untuk yang tidak dapat diukur.
b. Monitoring Respirasi
1) Tanpa alat
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung gerakan dada-
perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan napas kendali dan gerakan
kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi warna mukosa bibir, kuku
pada ujung jari dan darah pada luka bedah apakah pucat, kebiruan atau merah
muda.
2) Stetoskop
Dengan stetoskop prekordial atau esofageal dapat didengar suara pernapasan.
3) Oksimeter denyut (pulse oximetry)
Untuk mengetahui saturasi oksigen (SaO2). Selain itu dapat diketahui frekuensi
darah dan adanya distrimia.
c. Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran suhu
sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi mudah sekali kehilangan panas
secara radiasi, konveksi, evaporasi dan konduksi, dengan konsekuensi depresi otot
jantung, hipoksia, asidosis, pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi
sirkulasi persistent fetal.
d. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih normal minimal
0.5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk
menghindari retensi urin atau distenti buli-buli. Monitoring produksi air kemih harus
dilakukan dengan hait-hati, karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai
ke pielonefritis, secara rutin digunakan kateter Foley karet lunak ukuran 5-8F. kalau
>1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya hiperglikemia.
e. Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah cukup baik atau
sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot sudah kembali normal.
f. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau orientasi
terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien dalam keadaan tidak
sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan memeriksa respon pupil terhadap
cahaya, respons terhadap trauma pembedahan, respons terhadap otot apakah
relaksasi cukup atau tidak.

9.3 Tatalaksana Pasca Bedah2,3,6,7


Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau ke ruang
perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat
pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan
umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari
drain, dan lain-lain.
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan dilakukan paling
tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit,
selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama 4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor
hingga pasien sadar kembali. Pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi.
1. Gangguan Pernapasan
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak ada suara
napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering mengalami: lidah jatuh menutup
faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat terjadi spasme laring karena laring terangsang
oleh benda asing, darah, ludah sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi
trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah menutup faring,
maka harus dilakukan manufer tripel dengan memasang jalan napas mulut-faring, hidung
faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak berhasil menolong pasang sungkup laring.
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu O2 100%, harus
dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid (oradekson) dan kalau tak berhasil
perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiper-karbi, hiper-kapni,
PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2<90). Hal ini disebabkan
pernapasan pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi). Pernapasan lambat sering akibat opioid
terlalu banyak dan dangkal sering akibat pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas
karena opioid, dapat diberikan nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan
prostikmin-atropin. Hipoventilasi yang berlanjut menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi
yang dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
2. Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan
infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapni dan
asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama menyebabkan gagal ventrikel kiri,
infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada
faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus)
0.5 - 1.0 µg/kg/menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan,
terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler
perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital
yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan
dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500
ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia,
hiperkapnia atau penyakit jantung.
3. Gelisah
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan,
efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah disingkirkan sebab-sebab
tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.
4. Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama pada
penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat
mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia adalah :
a. Dehydrobenzoperidol 0.05-0.1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
b. Metoklopramid 0.1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
c. Ondansetron 0.05-0.1 mg/kgBB i.v
5. Menggigil
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi terjadi
akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin,
bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut
hangat, infus hangat dengan infusion warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.
6. Nilai Pulih dari Anestesi
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus
diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang
perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:

Tabel Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Penilaian Nilai
Warna Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
Apnoea atau obstruksi 0
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang <20%> 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0
Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0
BAB III
PEMBAHASAN

Anestesi umum dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada
pasien. Sedangkan manajemen airway yang dipilih adalah intubasi atas dasar waktu yang
dibutuhkan untuk operasi cukup lama dan tidak ditemukan penyulit untuk dilakukannya
intubasi. Digunakan single lumen spiral ETT untuk intubasi. Pada pemeriksaan fisik tidak
didapatkan adanya penyulit tindakan anestesi seperti asma atau alergi obat.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
 Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan leher.
 Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
 Malampati Score yaitu 1
 Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
 Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan intubasi.
Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi secara intravena yaitu propofol.
Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya kejadian post operative nausea and
vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan.
Waktu paruh (propofol) yaitu 24-72 jam. Dosis induksi yang cepat menimbulkan efek
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi
dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah
pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit
pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu
paruh 20-30 menit).
Dosis induksi propofol dapat menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat
akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB), pemulihan kesadaran dapat berlangsung cepat. Propofol dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam bidang
anestesi, dimana kekuatannya 100 kali dibandingkan dengan morfin. Fentanil bekerja pada
reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons
emosional terhadap nyeri. Waktu paruh fentanil berkisar antara 3-4 jam dan dapat memanjang
hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa
metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari.
Atracrium digunakan sebagai muscle relaxant, termasuk dalam golongan non-
depolarisasi. Tracrium bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin menempati celah saraf otot
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, tracrium termasuk dalam
pelemas otot kerja sedang sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3-5 menit hingga obat bekerja.
Karena menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi maka diperlukan penawar. Penawar
yang digunakan prostigmin sehingga ditambahkan sulfas atropine untuk mengurangi efek dari
prostigmin dimana dapat menyebabkan hipersalivasi, bradikardia serta hipermotilitas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA et al. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Hlm. 29-90.
2. Muhiman, M., Thaib M. R., dan Sunatrio S. 2004. Anestesiologi Edisi pertama. Jakarta:
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
3. Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Edisi
5. USA: Mc. Graw Hill. Hlm. 153-220; 1261-1271.
4. Zunilda DS dan Elysabeth. 2011. Anestetik Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi,
Edisi 5, Sulistia et al. (editor). Jakarta: FKUI. Hlm. 122-137.
5. Soenarjo,Sp. An., Djatmiko, H, Sp.An. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP
6. American Society of Anesthesiologists (ASA). 2011. Continuum of Depth of Sedation
Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. ASA Web site.
Tersedia di http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards /20.pdf. Diakses
pada tanggal 7 Maret 2016.
7. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam
Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA : Lipincott Williams
and Wilkins.
8. Healy TH dan Knight PR. 2003. A Practice of Anesthesia. Edisi 7. USA: Taylor and
Francis Group. Hlm. 604.

Anda mungkin juga menyukai