LIPI
OTONOMI DAERAH
DAN PEMBANGUNAN PERDESAAN
Respon Publik terhadap Model Penganggaran Partisipatif dalam
Pembangunan Desa: Studi Tiga Provinsi di Indonesia
Konteks Sosial Ekonomi Kemunculan Perempuan Kepala Daerah
Desentralisasi dan Oligarki Predator di Wakatobi:
Peran Oligarki dan Elit Penentu dalam Pembangunan Perdesaan
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa
Otoda dalam UU Pemda Baru:
Masalah dan Tantangan Hubungan Pusat dan Daerah
RESUME PENELITIAN
Masa Depan Partai Islam di Indonesia
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko, Sudan, dan Somalia
REVIEW BUKU
Membangun Kemandirian Desa dalam Bingkai Otonomi Daerah
P2P-LIPI sebagai pusat penelitian milik pemerintah dewasa ini dihadapkan pada
tuntutan dan tantangan baru, baik yang bersifat akademik maupun praktis kebijakan,
khususnya yang berkaitan dengan persoalan dengan otonomi daerah, demokrasi, HAM
dan posisi Indonesia dalam percaturan regional dan internasional. Secara akademik,
P2P-LIPI dituntut menghasilkan kajian-kajian unggulan yang bisa bersaing dan menjadi
rujukan ilmiah pada tingkat nasional maupun internasional. Sementara secara moral,
P2P-LIPI dituntut untuk memberikan arah dan pencerahan bagi masyarakat dalam
rangka membangun Indonesia baru yang rasional, adil dan demokratis. Karena itu,
kajian-kajian yang dilakukan tidak semata-mata berorientasi praksis kebijakan, tetapi
juga pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, khususnya perambahan konsep dan
teori-teori baru ilmu politik, perbandingan politik, studi kawasan dan ilmu hubungan
internasional yang memiliki kemampuan menjelaskan berbagai fenomena sosial politik,
baik lokal, nasional, regional, maupun internasional
Mitra Bestari Prof. Dr. Syamsuddin Haris (Ahli Kajian Kepartaian, Pemilu, dan Demokrasi)
Prof. Dr. Bahtiar Effendy (Ahli Kajian Politik Islam)
Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti (Ahli Kajian Pertahanan dan Hubungan Internasional)
Prof. Dr. Indria Samego (Ahli Kajian Ekonomi Politik dan Keamanan)
Prof. Dr. Tirta Mursitama (Ahli Kajian Internasional)
Dr. C.P.F Luhulima (Ahli Kajian Ekonomi Politik Internasional, ASEAN, Eropa)
Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA (Ahli Kajian Otonomi Daerah dan Politik Lokal)
Nico Harjanto, Ph.D (Ahli Kajian Perbandingan Politik)
Dr. Philips J. Vermonte (Ahli Kajian Pemilu dan Pemerintahan)
Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA (Ahli Politik Internasional, Migrasi, ASEAN)
Dr. Ganewati Wuryandari, MA (Ahli Politik Luar Negeri dan Perbatasan)
Redaksi Pelaksana Indriana Kartini, MA (Ahli Kajian Dunia Islam dan Perbandingan Politik)
Athiqah Nur Alami, MA (Ahli Kajian Hubungan Internasional)
Dra. Awani Irewati, MA (Ahli Kajian Perbatasan, ASEAN dan Hubungan
Internasional)
Alamat Redaksi Pusat Penelitian Politik-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XI
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710
Telp/Faks. (021) 520 7118, E-mail: penerbitan.p2p@gmail.com
Website: www.politik.lipi.go.id
ISSN 1829-8001
Vol. 13, No. 2, Desember 2016
DAFTAR ISI
Daftar Isi i–ii
Catatan Redaksi iii–iv
Artikel
• Respon Publik terhadap Model Penganggaran Partisipatif
dalam Pembangunan Desa: Studi Tiga Provinsi di Indonesia
Kadek Dwita Apriani dan Irhamna Irham 137–148
• Konteks Sosial Ekonomi Kemunculan Perempuan
Kepala Daerah
Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 149–166
• Desentralisasi dan Oligarki Predator di Wakatobi:
Peran Oligarki dan Elit Penentu dalam Pembangunan
Perdesaan
Eka Suaib, La Husen Zuada, Waode Syifatu 167–191
• Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa
Nyimas Latifah Letty Azizi 193–211
• Otoda dalam UU Pemda Baru:
Masalah dan Tantangan Hubungan Pusat dan Daerah
R. Siti Zuhro 213–225
Resume Penelitian
• Masa Depan Partai Islam di Indonesia
Moch. Nurhasim, dkk 227–244
• Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko, Sudan, dan
Sudan, dan Somalia
Nostalgiawan Wahyudhi, dkk 245–260
Review Buku
• Membangun Kemandirian Desa dalam Bingkai Otonomi
Otonomi Daerah
Yusuf Maulana 261–268
Reformasi tahun 1998 membawa dampak Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan
pada pelaksanaan Otonomi di sejumlah daerah ketimpangan pendapatan, tidak memiliki korelasi
di Indonesia. Dengan menjalankan pemerintahan kuat dengan jumlah perempuan kandidat kepala
secara otonom, diharapkan daerah mampu daerah, maupun jumlah perempuan yang terpilih.
menjalankan pembangunan demi kesejahteraan Artikel berikutnya, “Desentralisasi dan
masyarakatnya. Akan tetapi, masih terdapat Oligarki Predator di Wakatobi” tulisan La
sejumlah persoalan yang ditimbulkan selama Husen Zuada dkk membahas mengenai praktek
Otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia, oligarki di Wakatobi. Di era otonomi daerah,
baik dari segi regulasi maupun implementasi para elit politik dan pengusaha adalah pemilik
dan pengawasannya. Sehingga, harapan dengan perusahan sektor pariwisata terbesar di Wakatobi
adanya otonomi daerah dapat meningkatkan dan juga berperan sebagai kelompok yang
kesejahteraan masyarakatnya, namun justru mengerjakan proyek pemerintah dan pada
sebaliknya, banyak daerah tidak mampu akhirnya bertransformasi menjadi oligarki
membawa daerah kepada kesejahteraan, dan predator yang melibatkan diri dalam pertahanan
bahkan terjebak pada pragmatism politik akibat dan peningkatan kekayaan melalui sejumlah
efek Pilkada Langsung yang diterapkan sejak bisnis yang mereka kelola. Kehadiran oligarki
tahun 2005. di Wakatobi menumbuhkan gairah usaha baru,
Jurnal Penelitian Politik nomor ini membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan
menyajikan lima artikel yang membahas topik- jumlah wisatawan. Namun pada sisi yang lain,
topik yang terkait dengan Otonomi Daerah, kehadiran oligarki memunculkan ketimpangan
Desentralisasi, pembangunan desa dan konteks pendapatan, konflik lahan serta perburuhan antara
sosial ekonomi yang memunculkan perempuan pemerintah, pengusaha dan warga di Wakatobi.
kepala daerah. Artikel pertama ditulis oleh Artikel keempat yang ditulis oleh Nyimas
Kadek Dwita Apriani dan Irhamna tentang Latifah Letty Azis tentang “Otonomi Desa dan
“Respon Publik Terhadap Model Penganggaran Efektivitas Dana Desa” menguraikan tentang
Partisipatif dalam Pembangunan Desa: Studi Tiga persoalan alokasi pemberian dana desa dengan
Provinsi di Indonesia” mengurai tentang model proporsi 90:10. Tujuan pemberian dana desa
penganggaran partisipatif dalam pembangunan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
desa merujuk pada program Dana Desa. Tujuan masyarakat desa. Namun, dalam pelaksanaan
dari penelitian ini, untuk menggambarkan dan penggunaan dana desa masih dirasakan belum
memetakan respon publik Indonesia mengenai efektif dikarenakan belum memadainya kapasitas
program Dana Desa di wilayah Indonesia Barat dan kapabilitas pemerintah desa dan belum
yang diwakili oleh provinsi Banten; wilayah terlibatnya peran serta masyarakat secara aktif
Indonesia Tengah yang diwakili Gorontalo; dan dalam pengelolaan dana desa.
Indonesia Timur oleh Papua Barat.
Adapun tulisan R. Siti Zuhro yang berjudul
Artikel kedua dengan judul Konteks “Otoda dalam UU Pemda Baru: Masalah
Sosial Ekonomi: Kemunculan Perempuan dan Tantangan Hubungan Pusat dan Daerah”
Kepala Daerah yang ditulis oleh Kurniawati menggambarkan permasalahan yang terjadi
Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady dalam era Otonomi Daerah. Permasalahan
melihat kemungkinan kondisi sosial ekonomi serius ketidakharmonisan hubungan pusat dan
memfasilitasi kemunculan dan kemenangan daerah tak cukup dijawab melalui perbaikan
para perempuan kepala daerah, khususnya pada UU Pemda, tapi lebih penting dari itu adalah
Pilkada langsung Desember 2015. Tulisan ini adanya political will dan political commitment
menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan dari para stakeholders otoda untuk konsisten
Abstrak | v
kepala daerah maupun jumlah perempuan Kata Kunci: Desentralisasi, Oligarki Predator,
terpilih terkonsentrasi di daerah yang memiliki Elite Penentu, Pembangunan Perdesaan,
jumlah universitas yang banyak dan rata-rata Wakatobi
tingkat akses internet yang tinggi seperti di Jawa.
Oleh karena itu, tulisan ini menggarisbawahi
dua hal: pertama, perempuan kepala daerah DDC: 352.4
dapat muncul dalam kondisi sosial ekonomi
Nyimas Latifah Letty Aziz
apapun; kedua, persebaran berbagai gagasan
baru dan informasi melalui universitas dan
media internet menjadi kunci peningkatan OTONOMI DESA DAN EFEKTIVITAS
jumlah perempuan kepala daerah. DANA DESA
Abstrak | vii
DDC: 307.72
Yusuf Maulana
Abstract | ix
Keywords: socio-economic condition, Journal of Political Research
university, internet, female local leader. Vol. 13 No. 2, December 2016, Page 193-211
Abstract | xi
OTODA DALAM UU PEMDA BARU:
MASALAH DAN TANTANGAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
R. Siti Zuhro
Abstract
After 16 years implement decentralization and regional autonomy, the results is not encouraging, particularly
in relation to good local governance, local economic competitiveness, the quality of public services and the welfare
of local communities. Although local government in some regions have proven capable of innovation in providing
public services, the numbers are still minimal compared to the number of regions experiencing stagnation in their
development. There are approximately 122 districts are still categorized as undeveloped. Law 23/2014, replacing the
34/2004 law on regional government, is legal binding on regions and is significantly more demanding of performance.
Although it is still questionable, this law is expected to provide a better basis for synergy and cooperation between
regions, improved relations between center and regions, promoting innovation in public services and building
social welfare.
Keyword: Regional autonomy, central and regional government relation, public services, social welfare
Abstrak
Desentralisasi dan otonomi daerah setelah 16 tahun diimplementasikan ternyata belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan, terutama dalam kaitannya dengan tata pemerintahan yang baik lokal, daya saing ekonomi
lokal, kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat setempat. Meskipun pemerintah daerah di beberapa
daerah telah terbukti mampu berinovasi dalam memberikan pelayanan publik, jumlahnya masih minim dibandingkan
dengan jumlah daerah yang mengalami stagnasi dalam pembangunan daerahnya. Ada sekitar 122 kabupaten masih
dikategorikan sebagai berkembang. Kehadiran Undang-undang nomor 23 tahun 2014, menggantikan Undang-
Undang nomor 34 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, secara signifikan menuntut kinerja pemerintah daerah.
Meskipun masih dipertanyakan, undang-undang ini diharapkan dapat memberikan dasar yang lebih baik dalam
melakukan sinergi dan kerjasama antar daerah, meningkatkan hubungan antara pusat dan daerah, mempromosikan
inovasi dalam pelayanan publik dan membangun kesejahteraan sosial.
Kata kunci: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pelayanan Publik, Kesejahteraan Sosial
Pendahuluan
desentralisasi dan otonomi daerah. Ketidakpuasan
Sejak 1998 Indonesia kembali ke sistem terhadap sentralisasi kekuasaan selama era Orde
demokrasi. Salah satu perubahan yang sangat Baru membuat daerah-daerah menuntut otonomi.
fundamental adalah lahirnya kebijakan Sistem sentralistis ditolak karena dianggap
214 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225
yang sulit dibendung.3 Ironinya banyak pemda yaitu (a) silang sengkarutnya hubungan pusat dan
yang membuat perda yang tidak bermanfaat dan daerah dan lemahnya koordinasi, pengawasan
hanya mengandung kepentingan sempit para elit. dan bimbingan (korbinwas) antarjenjang
Sebagian dari ribuan perda bermasalah tersebut pemerintahan. (b) masalah dalam pengelolaan
sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sebab, anggaran dana alokasi umum (DAU) dan dana
perda bermasalah memunculkan kontroversi dan alokasi khusus (DAK); (c) pola relasi antara
menyebabkan masyarakat merugi, termasuk kaum kepala daerah dan DPRD yang kurang harmonis;
perempuan.4 (d) kekhawatiran terhadap isu kriminalisasi
Dengan diterapkannya UU 23/2014 tentang administrasi; (e) minimnya kerjasama antardaerah
Pemerintahan Daerah, muncul kegalauan baru yang bermanfaat bagi pembangunan daerah, (f)
dimana daerah merasakan adanya inkonsistensi minimnya komitmen dan konsistensi dalam
semangat otoda yang mencoba kembali ke menjalankan peraturan, (g) persepsi sepihak
sentralistik. Sebagai contoh, ditariknya beberapa daerah tentang kewenangannya yang membuat
urusan kembali ke provinsi, seperti urusan penonjolan isu kedaerahan dan keindonesiaan
pendidikan menengah, pengelolaan sumber kurang berimbang, (h) kerumitan pengelolaan
daya anggaran, SDM, dan asset sarpras, menjadi hubungan kewenangan daerah dan antardaerah,
tanggung jawab provinsi membuat kabupaten dan (i) kolaborasi elite dan pengusaha dalam
dan kota protes. Saat tulisan ini dibuat UU mengeksploitasi sumber daya alam daerah untuk
23/2014 sedang digugat oleh Asosiasi Pemerintah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa
Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) di mempedulikan implikasinya terhadap masyarakat
Mahkamah Konstitusi (MK). dan kesehatan lingkungan/ekologi politik.5
Pemerintah berharap UU 23/2014 ini mampu Harapan untuk melaksanakan otonomi
mewujudkan terobosan baru berupa sinergi dan daerah yang konsisten juga dihambat oleh realitas
kerjasama antardaerah, memperbaiki pola relasi pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung
pusat dan daerah, mendorong inovasi pelayanan yang lebih disemarakkan oleh politik uang.
publik dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, makin sulit ditemukan pemimpin
Tetapi, hingga saat ini peraturan pemerintah (PP) yang memiliki kredibilitas, integritas dan
sebagai petunjuk teknisnya belum juga terbit. kapasitas karena pilkada dimaknai secara sempit
oleh para elite dan aktor yang berlaga hanya untuk
Kajian empirik menunjukkan bahwa
meraih kekuasaan. Dalam pilkada, partai sangat
meskipun peluang otoda sangat besar untuk
oportunistis karena cenderung memunculkan
sukses, ada beberapa problematik yang dihadapi
calon yang populer dan memiliki modal. Politik
daerah-daerah dalam melaksanakan otonomi,
transaksional semakin sulit dielakkan. Keadaan
3
Terjadi penambahan jumlah daerah otonom yang sangat ini telah memberikan dampak negatif terhadap
signifikan setelah otonomi daerah. Sampai tahun 1999 jumlah
keseluruhan daerah otonom mencapai 315 (26 provinsi, 234 birokrasi. Studi empirik di sejumlah daerah
kabupaten dan 59 kota). Tapi tahun 2014 jumlahnya bertambah menunjukkan bahwa politisasi birokrasi acapkali
hampir dua kali lipat sehingga mencapai 542 (34 provinsi, 416 terjadi di mana tidak sedikit yang menggunakan
kabupaten dan 93 kota).Ini berarti penambahannya selama priode
1999-2014 mencapai 223 daerah otonom. fasilitas serta anggaran daerah untuk kepentingan
Dalam kaitan itu, banyak elite lokal yang menjadikan pilkada.6
ketidakpuasan dan kekecewaan mereka terhadap kinerja
pemerintah daerah dan ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi
di daerahnya sebagai komoditas politik untuk memekarkan 5
R. Siti Zuhro,“Politik Desentralisasi: Masalah dan Prospeknya”,
daerahnya. Atas nama aspirasi rakyat daerah, para elite pun Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 43 Tahun 2013. lihat juga
membentuk daerah otonom baru (DOB). Keterbukaan politik “Benang Kusut Relasi Pusat-Daerah”, Kolom Pakar, Media
dimaknai secara sempit sebagai kebebasan untuk mendapatkan Indonesia, 22 September 2014.
kekuasaan dan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber
kekayaan Indonesia. Akibatnya, pemekaran daerah berjalan 6
Lihat R. Siti Zuhro, “Perjuangan Demokrasi melalui Pilkada:
dengan liar dan sulit untuk dikontrol. Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam Pilkada di Jember”,
Jurnal Masyarakat Indonesia, Jakarta: LIPI, Vol. XXXI, No.
4
Perda retribusi yang dibuat pemda banyak meresahkan 2, 2005. “The Role of the Indonesian Bureaucracy in the
masyarakat daerah karena dianggap membebani ekonomi Transition Era: The Struggle for Democratization,”Mayarakat
mereka. Demikian juga dengan perda syariah terkait perempuan, Indonesia, LIPI, Jakarta, Vol. XXXII, No. 1, 2006. Lihat R. Siti
ini dirasakan cukup mengganggu karena baik langsung maupun Zuhro, “Birokrasi dan Politik: Pola Relasi Birokrasi, Politik dan
tidak langsung membatasi aktivitas perempuan. Masyarakat”, Jurnal Bhinneka Tunggal Ika, 2013.
216 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225
kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi melaksanakan otonomi? Apakah benar bahwa
pemerintahan kepada daerah, baik yang kontrol kuat Pemerintah melalui NSPK tersebut
berlandaskan desentralisasi, dekonsentrasi akan dapat menciptakan sinkronisasi, sinergi dan
maupun tugas pembantuan menuntut pengaturan koordinasi antarjenjang pemerintahan? Kalau
yang jelas agar tidak terjadi overlapping dan asumsi tersebut benar, mengapa relasi antara pusat-
konflik antarjenjang pemerintahan (Pemerintah daerah era otonomi ini tak lebih baik ketimbang
Pusat, Provinsi, kabupaten/kota). Meskipun era sebelumnya? Realitasnya “sinkronisasi,
daerah otonom tidak bersifat hierarkis, urusan sinergi dan koordinasi” yang menjadi salah satu
pemerintahan yang menjadi otonomi daerah pada kunci penting keberhasilan otonomi daerah sulit
dasarnya juga menjadi perhatian kepentingan dilakukan oleh pusat dan daerah.
pusat. Untuk itu, diperlukan sinkronisasi Adalah jelas bahwa masing-masing jenjang
dan sinergi dalam penyelenggaraan fungsi- pemerintahan (pusat, provinsi kabupaten/
fungsi pemerintahan. Dengan kata lain, perlu kota) mengemban amanat untuk mewujudkan
penyesuaian antara fungsi pemerintahan yang kepentingan nasional. Masing-masing jenjang
menjadi kewenangan daerah otonom dan pemerintahan juga memiliki tugas pokok
kewenangan yang dimiliki oleh kementerian dan fungsinya sesuai dengan urusan yang
sektoral di pusat. menjadi kewenangannya. Pemerintah pusat
Indonesia dengan pilar pentingnya memegang tanggung jawab akhir pemerintahan.
Negara Kesatuan Republik Indfonesia (NKRI) Dengan kata lain, pemerintah memegang
menjunjung tinggi asas desentralisasi dan kendali sebagai pembuat norma, standar dan
otonomi daerah. Impian pendiri bangsa untuk prosedur. Masalahnya, meskipun pemerintah
membangun rumah Indonesia yang sejahtera dan daerah merupakan subsistem dari pemerintahan
demokratis tak hanya tercermin dalam kebijakan nasional, sejauh ini koordinasi, bimbingan
dan peraturan yang dibuatnya, tetapi juga bisa dan pengawasan (korbinwas) antarjenjang
dilihat melalui perilaku yang tampak. Impian pemerintahan yang mengedepankan reward and
terhadap terwujudnya pemerintahan daerah punishment kurang tampak. Padahal, efektivitas
yang demokratis, adil dan sejahtera juga bukan fungsi korbinwas antarjenjang pemerintahan
semata-mata harapan para pendiri bangsa ini, tersebut sangat penting dan menjadi penentu
melainkan impian rakyat yang sebagian besar agar konsepsi otonomi daerah dalam bingkai
nasibnya tak kunjung tersejahterakan. NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bisa aplikatif
Hal itu menunjukkan bahwa tugas besar dan mampu diwujudkan.
Indonesia ke depan adalah menyukseskan Sejauh ini gambaran yang tampak justru
pelaksanaan otonomi daerah. Pertanyaannya, masing-masing daerah seolah berjalan sendiri-
model otonomi daerah seperti apa yang aplikatif, sendiri. Tidak sedikit daerah yang memunculkan
sesuai dan bisa dilaksanakan secara sukses. “raja-raja kecil” dan praktik dinasti atau
Pertama, Indonesia bukanlah negara maju. kekerabatan politik.9 Fenomena ini menunjukkan
Suatu negara yang maju secara sosial, politik bahwa otoda yang mengacu pada Konstitusi dan
dan ekonomi, entitas yang diberikan kepada NKRI itu cenderung dimaknai secara berbeda
unit pemerintahan lokalnya akan semakin oleh daerah-daerah. Di bawah Bhinneka Tunggal
otonom. Kedua, suatu negara yang terbelakang Ika, daerah – daerah belum menghayati secara utuh
secara sosial, ekonomi dan politik, entitas yang realitas keragaman daerah. Daerah-daerah dari
diberikan ke unit pemerintahan lokalnya akan Sabang sampai Merauke merupakan satu kesatuan
semakin administratif. yang kontinum dalam kedaulatan RI.
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan Karena itu, bimbingan dan pengawasan
yang kedua tersebut lebih tampak. Pemerintah (binwas) perlu dilakukan dengan cermat
memegang kendali dalam menentukan norma,
standard, prosedur dan kriteria (NSPK). 9
Lihat: www.kemdagri.go.id. Data menunjukkan sampai
Masalahnya adalah apakah koridor tersebut tidak tahun 2013 tercatat ada sekitar 57 praktik dinasti/kekerabatan
justru menjadi kendala bagi daerah-daerah dalam politik di daerah-daerah. Jumlah tersebut meningkat menjadi
65 tahun 2016.
218 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225
UU 23/2014 menegaskan bahwa ciri Munculnya konflik kepentingan di daerah
utama otonomi daerah dalam konteks NKRI juga menunjukkan kurang memadainya
adalah adanya hubungan hierarki antara Pusat pengelolaan kewenangan daerah dan antardaerah.
dengan Daerah. Daerah otonom dibentuk Banyaknya kendala, distorsi, dan manipulasi
oleh Pusat dan bahkan dapat dihapus apabila yang dihadapi daerah dalam mengelola
tidak mampu melaksanakan otonominya. kewenangannya itu mengindikasikan rendahnya
Sumber kewenangan daerah adalah berasal political will, political commitment dan law
dari Pemerintah Pusat dengan tanggung jawab enforcement masing-masing pimpinan daerah
pemerintahan berada ditangan Presiden sebagai untuk bersikap terbuka, akuntabel, dan mampu
pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana bekerja sama membahas permasalahan yang
dinyatakan dalam pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945. dihadapi daerahnya. Masalahnya menjadi makin
Desentralisasi sejatinya bertujuan politik rumit karena elite lokal di tingkat provinsi
dan ekonomi. Tujuan politiknya adalah untuk dan kabupaten/kota tak mampu membuat
memperkuat kelembagaan pemda, meningkatkan program yang saling selaras dan bersinergi guna
kemampuan aparat pemda dan masyarakat mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
di daerah, dan mempertahankan integrasi Kerja sama antara gubernur dan bupati/walikota
nasional. Sementara tujuan ekonominya adalah dalam meningkatkan pertumbuhan wilayahnya
untuk meningkatkan kemampuan pemda merupakan hal yang sangat penting. Tanpa
dalam menyediakan layanan publik yang kerja sama intradaerah dan antardaerah sulit
profesional,terjangkau, efisien dan efektif. bagi daerah untuk membangun dirinya secara
maksimal.
Sebagai negara archipelago, Indonesia
menghadapi isu rentang kendali (span of Beberapa permasalahan yang dihadapi
control) yang serius antara pusat dan daerah. daerah tersebut merefleksikan minimnya sinergi
Kebijakan desentralisasi di negara kesatuan dan koordinasi pusat-daerah dan antardaerah
berawal dari adanya pembentukan daerah belakangan ini. Munculnya resistensi daerah
otonom dan penyerahan urusan pemerintahan terhadap kebijakan pusat, demonstrasi yang
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. dilakukan pimpinan daerah untuk melawan
Dalam konsep negara kesatuan, kekuasaan kebijakan atau keputusan pusat, dan
pemerintahan ada pada pemerintah pusat. Makin diabaikannya seruan dan kebijakan Presiden
sentralistik pemerintahan di suatu negara, makin untuk memberantas korupsi dan menegakkan
sedikit kekuasaan pemerintahan atau urusan hukum, mencerminkan belum terbenahinya
pemerintahan yang diserahkan ke daerah. relasi pusat-daerah. Ini menunjukkan bahwa
Sebaliknya, makin desentralistik pemerintah koordinasi, sinergi, komunikasi dan interaksi
suatu negara akan makin luas pula urusan antarjenjang pemerintahan kurang efektif.
pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Padahal, daerah-daerah merupakan satu kesatuan
utuh (continuum) yang tak terpisahkan dari
Di tataran praksis tampak bahwa semakin
Sabang sampai Merauke.
besar kepentingan elite di masing-masing
daerah makin sering pula konflik muncul di
daerah dan antardaerah. Sumber sengketa Evaluasi Kritis mengenai Peran Ganda
antardaerah tersebut umumnya menyangkut
Gubernur
masalah pengelolaan resources. Kerumitan
terjadi karena banyaknya pihak atau aktor yang Hasil evaluasi otonomi daerah menunjukkan
terlibat dalam konflik kepentingan tersebut mulai bahwa peran gubernur dalam penyelenggaraan
dari pengusaha, elite birokrat lokal, anggota pemerintahan daerah selama ini masih sangat
dewan lokal, sampai elite dan birokrat pusat. terbatas.12 Menurut UU 23/2014 gubernur lebih
Salah satu contoh paling jelas, misalnya, kasus
(Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2004)
penambangan timah liar (TI) di Bangka dan
illegal logging di Nunukan.11 Lihat antara lain, R. Siti Zuhro, “Sewindu Realisasi Otonomi
12
220 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225
1945; dan g). melaksanakan tugas lain disebutkan dalam UU tersebut semestinya bisa
sesuai dengan ketentuan peraturan dilaksanakan secara optimal.
perundang-undangan. Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan
(5) Pendanaan pelaksanaan tugas dan terkait penguatan peran gubernur. Pertama,
wewenang gubernur sebagai wakil konflik kepentingan sering terjadi ketika
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud gubernur sebagai kepala daerah otonom memiliki
pada ayat (1) dan ayat (4) dibebankan pada kepentingan yang berbeda dengan Menteri/
APBN. Kepala LPNK dalam berbagai aspek pengelolaan
(6) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kegiatan pembangunan di daerahnya. Misalnya,
dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan dalam pengelolaan kegiatan pertambangan,
ketentuan peraturan perundangundangan kehutanan, dan kegiatan lainnya, seringkali posisi
kepada penyelenggara Pemerintahan gubernur sebagai kepala daerah otonom berbeda
Daerah kabupaten/kota. dengan posisi yang diambil oleh Kementerian/
LPNK. Dalam UU 23/2014 peran ganda gubernur
(7) Tugas dan wewenang gubernur sebagai
sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah
wakil Pemerintah Pusat dapat didelegasikan
pusat di daerah yang bertanggungjawab
kepada wakil gubernur.
kepada presiden menimbulkan tarik-menarik
(8) Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas
kepentingan, membuat posisi gubernur dilematis:
dan wewenang serta hak keuangan antara perannya sebagai wakil pemerintah pusat
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atau kepala daerah otonom.
diatur dengan peraturan pemerintah. Peran ganda gubernur (dual roles), sebagai
kepala daerah dan wakil pemerintah pusat
UU 23/2014 mengatur peran gubernur sebagai tersebut, sering menimbulkan konflik peran
aparat dekonsentrasi atau wakil pemerintah pusat ketika kepentingan provinsi berbeda dengan
di daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah kepentingan pemerintah pusat. Pertama,
pusat memiliki peran pembinaan dan pengawasan Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,
(binwas) untuk penyelenggaraan pemerintahan gubernur kerap harus mengamankan kebijakan
kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan pemerintah pusat, yang kadangkala berbenturan
urusan pemerintah pusat di kabupaten/kota, dengan kepentingan daerahnya. Karena itu,
dan koordinasi binwas penyelenggaraan tugas meskipun UU 23/2014 sudah mengatur mengenai
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ masalah tersebut, bila yang ditekankan aspek
kota.13 Ke depan peran gubernur sebagaimana dekonsentrasi, penguatan peran gubernur tidak
akan tampak nyata.
Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat,
Mengingat rentang kendali antara pemerintah nasional
��
gubernur melaksanakan tugas dekonsentrasi.
dengan pemerintahan daerah terlalu luas, maka UU 23/2014
menetapkan bahwa perangkat pemerintahan negara yang Berbeda dengan dengan UU Pemda sebelumnya,
melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi atas peran gubernur dalam pelaksanaan tugas
terselenggaranya pemerintahan daerah dan pemerintahan umum dekonsentrasi diatur secara jelas (lihat pasal
di daerah adalah Gubernur dalam kedudukannya selaku Wakil
Pemerintah Pusat. 91 di atas). Pasal-pasal tersebut di atas telah
Dengan demikian, Gubernur yang karena jabatannya mengatur dengan jelas mengenai tugas yang
(Ex-officio) berkedudukan selaku Wakil Pemerintah adalah
harus dilakukan gubernur. Pertanyaannya, apakah
juga Kepala Wilayah di wilayah administrasi Provinsi yang
bersangkutan. Selaku Wakil Pemerintah dan Kepala Wilayah, hal ini akan membuat kedudukan gubernur
Gubernur merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi
di wilayah jabatannya dalam menjalankan sebagian urusan
pemerintahan negara di daerah, baik yang bersifat “attributed”
lebih clear dan reliable.
yang dengan undang-undang melekat kepadanya dalam Ketiga, dalam menjalankan tugas
menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, maupun yang
bersifat “delegated” melalui tugas-tugas yang dilimpahkan dari
dekonsentrasi, gubernur sebagai wakil pusat di
pemerintah pusat kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah daerah perlu mempunyai perangkat dekonsentrasi
dalam rangka dekonsentrasi. Tugas, wewenang, dan kewajiban sendiri dengan sumber pembiayaan yang
yang bersifat “attributed” tersebut dinyatakan dalam Pasal 91
UU 23/2014.
jelas. Hal ini penting agar ada kejelasan
222 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225
Pengaturan yang lebih jelas akan dapat (RPJP)/rencana pembangunan jangka menengah
memperkuat peran gubernur dalam melakukan (RPJM) kabupaten/kota.
korbinwas dan penyelarasan kegiatan Kedua, selaku koordinator, pengawas dan
pembangunan di daerah. Hal ini diharapkan pembimbing, gubernur ikut mengelola anggaran
akan dapat mengurangi ketegangan yang selama pusat ke dan atau di kabupaten/kota melalui DAU
ini sering terjadi dalam hubungan antara bupati/ dan DAK atau dalam bentuk lain seperti “dana
walikota dan gubernur di daerah. Miskonsepsi tugas pembantuan” dan “hibah”. Dalam kaitan
dalam memahami pola hubungan tersebut ini, DAU dimaksudkan sebagai dana alokasi dari
cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi pusat yang diberikan berdasarkan rumus tertentu
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang pemanfaatannya dikoordinasikan agar
di tingkat kabupaten/kota. Lebih dari itu, lebih berorientasi kinerja. Sebagai contoh dana
pengaturan juga diperlukan agar gubernur dapat tersebut bukan untuk membeli mobil atau rumah
mengambil langkah-langkah yang diperlukan jabatan, tapi untuk benih dan obat. Sedangkan
untuk mencegah dan mengendalikan konflik DAK dimaksudkan sebagai dana alokasi khusus
yang terjadi di antara kabupaten/kota dalam untuk urusan yang sudah menjadi otonomi daerah
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. untuk daerah tertentu seperti untuk dana fisik
Dampak positif UU 23/2014 diharapkan bisa (rehab jalan, sekolah dan rumah sakit). DAK
memperkuat fungsi ganda gubernur dan hubungan ini direncanakan diatur secara rinci (satuan III)
antartingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan oleh Biro Perencanaan Kementerian/Lembaga
peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, di Pusat.
hubungan antara gubernur dengan bupati/ Namun realitasnya, dana tersebut sering
walikota bersifat bertingkat, di mana gubernur salah sasaran dan kurang aspiratif dan tidak
dapat melakukan peran korbinwas terhadap sesuai dengan yang diharapkan kabupaten/kota.
kinerja bupati/walikota dalam penyelenggaraan Oleh karena itu, ke depan DAK tidak hanya
urusan pemerintah di daerah. Sebaliknya, berwujud fisik tapi juga non-fisik, misalnya untuk
bupati/walikota dapat melapor dan mengadu meningkatkan kualitas lulusan Dikdasmen, untuk
kepada gubernur apabila terjadi masalah dalam dana transportasi guru, peningkatan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, guru, gizi murid, armada ikan, kebun dan ternak
termasuk dalam hubungan antarkabupaten/ di tiap-tiap kabupaten/kota. DAK tidak perlu
kota. Penguatan peran Gubernur sebagai kepala secara rinci direncanakan oleh pemerintah
daerah diharapkan dapat memperkuat orientasi pusat, tapi diserahkan dalam bentuk “blok”
pengembangan wilayah dan memperkecil dengan arahan umum kepada Gubernur sebagai
dampak kebijakan desentralisasi terhadap wakil pemerintah pusat. Gubernur bersama-
fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di sama dengan Bupati dan Walikota menyusun
daerah. rencananya dengan rinci. Begitu juga dengan
Dengan kata lain, UU 23/2014 diharapkan perencanaan dana tugas pembantuan dan hibah.
menjadi payung hukum yang ditaati dan tidak Selain melaksanakan fungsi Binwas, Gubernur
dipersoalkan oleh daerah. Karena user UU harus melakukan koordinasi di wilayahnya.
ini adalah daerah. Poin pentingnya adalah Ketiga, dalam hal SDM aparatur Kabupaten/
pertama, peran gubernur harus lebih efektif dan Kota, Gubernur mengkoordinasikan dan
fungsional, mampu mengkoordinasi kabupaten/ berwenang memindahkan pejabat eselon III
kota yang ada di wilayahnya agar terjadi sinergi antarkabupaten/kota. Idealnya pejabat eselon
dalam mengembangkan ekonomi regional. III baru bisa naik ke eselon II setelah bermutasi
Sinergi antardaerah diperlukan agar mereka ke daerah/kota lain lebih dahulu. Ini penting
saling melengkapi dan membantu. Hal itu bisa agar terbangun aparatur yang tidak semata-mata
dilakukan dengan menjalin komunikasi intensif menonjolkan ego kedaerahan dan berpengalaman
sampai pada tingkat perumusan bersama yang sempit.
menghasikan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
Keempat, Binwas dilakukan Gubernur
dan rencana pembangunan jangka panjang
kepada kabupaten/kota untuk menjaga agar
224 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225
best practices masih belum menyemangati _________, “Perjuangan Demokrasi melalui Pilkada:
(encouraging), sementara itu pemberian penalti Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam
terhadap daerah yang melanggar peraturan juga Pilkada di Jember”. Masyarakat Indonesia.
Jakarta: LIPI, Vol. XXXI. No. 2. 2005.
kurang tegas.
________, “Sewindu Otonomi Daerah: Evaluasi
Permasalahan serius ketidakharmonisan Kritis.” Jurnal Demokrasi & HAM,.Vol. 8.
hubungan pusat dan daerah tak cukup dijawab No. 1. 2008.
melalui perbaikan UU Pemda, tapi lebih ________, ”Relasi antara DPRD dan Kepala Daerah
penting dari itu adalah adanya political will dan Era Pilkada.” Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi
political commitment dari para stakeholders 40 Tahun 2013.
otoda untuk konsisten menjalankan amanah UU
Pemda, khususnya pasal tentang binwas dan ________, “Politik Desentralisasi: Masalah dan
penguatan gubernur sebagai wakil pemerintah Prospeknya”. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi
pusat. Pemerintah pusat harus konsisten dalam 43 Tahun 2013.
menjalankan peraturan. Sebaliknya, pemerintah
daerah tak perlu resisten berlebihan dalam Peraturan
merespons kebijakan pusat yang dianggap PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
merugikan. Karena itu, penting bagi masing- Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
masing pihak untuk memperbaiki pola komunikasi, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
sinergi dan koordinasi agar tercipta relasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
pusat-daerah yang harmonis. Tidak efektifnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
koordinasi, pengawasan dan pendampingan Top 99 Inovasi Pelayanan Publik, Jakarta: KemenPAN
oleh pemerintah di atasnya berpengaruh negatif RB. 2014.
terhadap praktek pemerintahan, karena masing-
masing tingkatan pemerintahan bisa jalan
menurut kehendaknya sendiri. Bila itu terjadi,
kebangsaan dan kesatuan Indonesia akan berada
di ujung tanduk dengan risiko besar yang akan
ditanggung Republik ini.
Referensi
Buku dan Jurnal
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (EKPPD). Jakarta: Kementerian Dalam
Negeri RI. 2015.
Zuhro, R. Siti. “Masa Depan Otonomi Daerah dan
Integrasi Bangsa”. Jurnal Madani. No. 3. Vol.
2. 1999.
_________, ”Prospek Otonomi Daerah dalam
Kerangka Negara Kesatuan: Perjuangan
Panjang Membangun Otonomisasi”. Jurnal
Otonomi,.Vol. I No. I. October 1999.
_________, “Beberapa Pemikiran Tentang Federasi.
Kesatuan dan Demokrasi”. Jurnal Otonomi.
Vol. 1. No. 2. 2000.
Ahmad Helmy Fuady sosial, gender dan perubahan iklim, kajian hak-
hak asasi perempuan dan anak, kepemimpinan
Merupakan peneliti di Pusat Penelitian Sumber
perempuan, Islam dan Demokratisasi di
Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahun
Indonesia dan Asia Tenggara. Gelar MA
Indonesia (P2SDR-LIPI). Penulis dapat
diperoleh penulis dari Faculty of Aian Studies
dihubungi melalui email: elhelmy@yahoo.com
Australian National University (ANU) tahun
2007. Gelar doctor dalam bidang Area Studies
Kyoto University Jepang diperolehnya tahun
Eka Suaib
2012. Disertasi Doktoralnya memenangkan
Menyelesaikan S3 di jurusan Ilmu Politik pendanaan dari International Program of
universitas Airlangga, Surabaya dengan judul Collaborative Research Center of Southeast
disertasi “Etnisitas Kebijakan Publik (Studi Asian Studies Kyoto University dan Kyoto
Kompetisi Etnis dalam Politik Lokal Kota University President’s Special Fund, diterbitkan
Kendari). Saat ini bekerja sebagai Dosen menjadi buku berjudul Indonesian Woman and
FISIP Universitas Haluoleo, Kendari. Pada Local politics: Islam, Gender and Networks in
tahun 2008-2013 menjabat sebagai komisioner Post-Soeharto Indonesia (Singapore: National
KPU Sulawesi Tenggara. Penulis juga pernah University of Singapore Press and Kyoto
menjabat sebagai ketua HMI cabang Kendari. University Press, 2015). Email: kurniawati.
Telah menghasilkan tulisan-tulisan yang dimuat dewi@yahoo.com
di media lokal, jurnal nasional dan internasional,
juga diterbitkan dalam bentuk buku. Salah satu
artikel dalam jurnal internasional terbarunya La Husen Zuada
berjudul “Pengaruh Vote Buying terhadap
perilaku pemilih dalam Pemilu Legislatif di Penulis adalah alumni Magister Ilmu Politik
Kota Kendari, dan Pemilukada Kabupaten Universitas Indonesia. saat ini menjadi Dosen
Konawe Selatan”. Email: ekasuaib1966@ di FISIP Universitas Halu Oleo, Kendari.
gmail.com Penulis juga aktif menulis di harian lokal yang
menyangkut isu tentang partai politik, pemilu
dan desentralisasi. Sering juga diundang
Irhamna Irham menjadi narasumber diskusi public di tingkat
lokal Sulawesi Tenggara tentang Kepemiluan.
Merupakan mahasiswa di Universitas Indonesia
Email: husenzuadaui@gmail.com
Depok-Jawa Barat. Penulis dapat dihubungi
melalui email: irhamna.irham@gmail.com
Moch. Nurhasim
Kadek Dwita Apriani Penulis adalah peneliti di Pusat Penelitian
Mahasiswa di Universitas Udayana, Denpasar- Politik LIPI. Menyelesaikan S1 jurusan Ilmu
Bali. Penulis dapat di hubungi melalui email: Politik di Universitas Airlangga dan s2 bidang
kadek88@gmail.com. politik di Universitas Indonesia dengan tema
tesis masalah perdamaian di Aceh. Penelitia
yang pernah ditekuni adalah terkait konflik di
Kurniawati Hastuti Dewi berbagai daerah, masalah pedesaan, pemilihan
Penulis adalah peneliti senior di Pusat Penelitian umum, dan masalah kemiliteran. Selain itu,
Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan penulis juga aktif sebagai Pengurus Pusat
Indonesia Jakarta. Penelitian yang menajdi fokus Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Jakarta.
kajiannya adalah gender dan politik, gender Email: hasim_nur@yahoo.com
dan kebijakan desentralisasi, politik kebijakan
Waode Syifatu
Nyimas Latifah Letty Aziz
Merupakan mahasiswa di Universitas Halu
Penulis menamatkan SI di Fakultas Ekonomi Oleo. Penulis dapat dihubungi melalui email di:
Universitas Jambi. Saat ini menjadi salah satu waode.syifatu@gmail.com
peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI sejak
tahun 2005, dengan fokus kajian penelitian
otonomi daerah dan isu-isu ekonomi politik. Yusuf Maulana
Email: nyim001@lipi.co.id Sejak tahun 2015, Penulis merupakan peneliti
pada Pusat Penelitian Politik LIPI yang
tergabung dalam tim penelitian Otonomi
R. Siti Zuhro Daerah. Gelar S1 diperolehnya dari Universitas
Penulis adalah peneliti senior di Pusat Padjajaran, Fakulats Ilmu Sosial dan Ilmu
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Politik, Jurusan Administrasi Negara. Email:
Indonesia (P2P LIPI). Gelar sarjana di bidang yusufmaulana1987@yahoo.com
Hubungan Internasional diperoleh dari FISIP
Universitas Jember. Mendapatkan gelar MA
Ilmu Politik dari the Flinders University,
Australia dan Ph.D Ilmu Politik dari Curtin
University, Australia. Sebagai peneliti senior,
Beliau sudah banyak menghasilkan karya tulis