I. Definisi
Penyakit jantung koroner atau PJK merupakan suatu sindroma klinis yang
terdiri dari angina pektoris tak stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) dan infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI). Keadaan ini
ditandai dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dan
kemampuan pembuluh darah koroner menyediakan oksigen yang cukup untuk
metabolisme miokard. Oleh karena itu, dibutuhkan hasil diagnosis yang cepat dan
tepat dengan menggunakan hasil Elektrokardiografi (EKG) untuk menegakkan
sebuah PJK (Devina, 2015).
NSTEMI adalah infark miokard akut tanpa elevasi ST yang terjadi dengan
mengembangkan oklusi lengkap arteri koroner kecil atau oklusi parsial arteri koroner
utama yang sebelumnya terkena aterosklerosis. Hal ini menyebabkan kerusakan
ketebalan parsial otot jantung. Jumlah NSTEMI sekitar 30% dari semua serangan
jantung (Anggraeni, 2014).
Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah oklusi
sebagian dari arteri coroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium,
sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG (Farissa, 2013 dalam (Nallathambi,
2014)). Secara klinis angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang sama
dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan dijumpai
pada gambran EKG yang abnormal atau EKG normal dan juga tidak terjadi
peningkatan troponin (Furqan, 2013 dalam (Nallathambi, 2014)).
III. Etiologi
Penyebab jantung koroner ada 2 hal yaitu proses aterosklerosis dan proses
trombosis (Hastriadi, 2011 dalam (Devina, 2015)):
a. Proses aterosklerosis
Terbentuknya plak di dalam arteri pembuluh darah jantung. Plak terdiri atas
kolesterol yang berlebihan, kalsium dan bahan lain di dalam pembuluh darah
yang lama kelamaan menumpuk di dalam dinding pembuluh darah jantung
(arteri koronaria).
b. Proses trombosis
Timbunan lemak dalam pembuluh darah bukan hanya berisi lemak, namun
juga jaringan bekas luka akibat adanya kolesterol. Ini akan membentuk
fibrous cap (tutup fibrosa) diatas timbunan yang lebih keras daripada dinding
pembuluh darah itu sendiri. Bila ada tekanan dapat mengakibatkan kerusakan
pada pembuluh darah. Akibatnya, timbul bekuan darah yang lebih besar yang
bisa menyumbat pembuluh darah sehingga darah tidak bisa mencapai otot
jantung dan mengakibatkan kematian pada sebagian otot jantung.
Berikut adalah beberapa faktor risiko dari SKA yaitu (Nallathambi, 2014):
1. Hipertensi
Hipertensi pada koroner jantung biasanya disebabkan meningkatnya tekanan
darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Peningkatan tekanan darah
menyebabkan beban jantung menjadi berat, sehingga menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri (faktor miokard) pada akhirnya menyebabkan angina dan infark
miokardium. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
Peningkatan tekanan darah yang menetap, menurut Anwar (2004), akan
menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri
koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor
koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan
miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi
dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium
(Furqan, 2013).
2. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah. Secara klinis,
hiperlipidemia merupakan akumulasi berlebih salah satu lemak utama dalam
darah sebagai kelainan metabolisme ataupun kelainan transportasi lemak.
Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi
penyakit koroner pada jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan
intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus
berlangsung, akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri coroner yang
mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan mengalami
aterosklerosis (Fuster et al, 2010). Hiperlipidemia juga disebabkan karena
abnormalnya lipoprotein dalam darah. Hal ini disebabkan karena
meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol (Kumar,
2009).
Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya
faktor resiko untuk aterosklerosis. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dL pada
orang berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dL untuk berusia
lebih dari 30 tahun. Bila kadar kolesterol di atas 200 mg/dL merupakan faktor
resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan erat
dengan proses aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol
mencapai 260 mg/dL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali
dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50 tahun,
hiperkolesterolemia mengungguli faktor resiko hipertensi, obesitas dan faktor
(Furqan, 2013).
3. Merokok
Merokok dapat mengubah metabolisme, khususnya dengan meningkatnya
kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya
kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya
penyakit jantung koroner (Furqan, 2013).
Penelitian Framingham dalam Anwar (2004), mendapatkan kematian
mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x lebih
besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih
daripada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard
yang dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi
CO sehingga menimbulkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah,
mengubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb
menjadi karboksi -Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan
kadar HDL kolesterol makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada
perempuan lebih besar dibandingkan laki–laki perokok. Efek merokok ini
akan berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas
dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi
proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok (Furqan, 2013).
Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi peningkatan
peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag, gangguan intoleransi
glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Jika
frekuensi dan intensitas merokok meningkat, maka kecenderungan terjadi
kerusakan pembuluh darah lebih tinggi sehingga lebih mudah terjadi
aterosklerosis (Furqan, 2013).
4. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,
ditandai oleh adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang disebabkan oleh
defek sekresi insulin atau keduanya. Dalam penelitian Suyono (2003),
diabetes melitus merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner dengan
perbandingan dua kali lebih tinggi disbanding non diabetes melitus. Diabetes
melitus bukan merupakan faktor tunggal resiko penyakit jantung koroner
namun obesitas, hipertensi, dan hiperlipidemia juga sering menggambarkan
gangguan karbohidrat.
Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi darah
menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis (Furqan, 2013).
Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan
kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan
cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit
yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dari pada
non- diabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak penting dalam
metabolisme lipid dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain
meupakan faktor resiko penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan
adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan
peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan
peningkatan kadar fibrinogen (Furqan, 2013).
V. Patofisiologi
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung
koroner (PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta
peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik
dengan proses yang sangat kompleks dan multifaktor serta saling terkait.
Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan
proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan
seperti makrofag yang mengandung foam cells, lipid ekstraselular masif dan plak
fibrosa yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini
menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi atau infeksi, dimana
awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel
busa dan fatty streaks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses
pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil. Banyak sekali penelitian yang
membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan penting dalam proses terjadinya
aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner, inflamasi dimulai dari pembentukan
awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA.
Perjalanan proses aterosklerosis (inisiasi, progresi, dan komplikasi pada plak
aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga
sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada
permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat
berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah)
sehingga terjadinya penyempitan dan atau penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak
tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik,
yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah
muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses
aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif.
Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang
bersifat tidak stabil atau progresif yang dikenal juga dengan SKA.
edangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku
yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam
trombosis, yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri,
dimana pada trombus tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena
(trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih
banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet. Komponen-komponen yang
berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh darah, aliran darah dan
darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan
antikoagulan alamiah.
Patogenesis terkini SKA menjelaskan bahwa SKA disebabkan oleh obstruksi
dan oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak
aterosklerosis yang rentan mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA
yang dipicu oleh erosi, fisur, atau rupturnya plak aterosklerotik adalah karena
terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil dengan karakteristik inti lipid
besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi
seperti limfosit T dan lain sebagainya. Tebalnya plak yang dapat dilihat dengan
persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner
tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain,
risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak
(derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan plak.
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding
arteri koroner) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan faktor
jaringan) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta
pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis. Trombus yang
terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau subtotal. Oklusi koroner berat
yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil akan
menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak sampai menimbulkan kematian
jaringan. Trombus biasanya transien atau labil dan menyebabkan oklusi sementara
yang berlangsung antara 10–20 menit. Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan
tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh
tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan
miokard).
Trombus yang terjadi dapat lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari
1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompensasi oleh kolateral maka keseluruhan
lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan
STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat stabil dan persisten yang menyebabkan
perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan
menyebabkan nekrosis miokard transmural.
Trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan oleh pecahnya plak
aterosklerotik yang rentan akibat fibrous caps yang tadinya bersifat protektif menjadi
tipis, retak dan pecah. Fibrous caps bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu
mengalami remodeling akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran
sel-sel inflamasi, gangguan matriks ekstraselular akibat aktivitas matrix
metalloproteinases (MMPs) yang menghambat pembentukan kolagen dan aktivitas
sitokin inflamasi.
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses inflamasi
memegang peran yang sangat menentukan dalam proses patogenesis SKA, dimana
kerentanan plak sangat ditentukan oleh proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat
lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat
mengganggu keseimbangan homeostatik. Pada keadaan inflamasi terdapat
peningkatan konsentrasi fibrinogen dan inhibitor aktivator plasminogen di dalam
sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah
karena terganggunya aliran darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada patogenesis
SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekat
lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi
mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida
(NO) yang dikenal sebagai Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF),
prostasiklin, serta faktor kontraksi seperti endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin
H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih dominan dari pada faktor relaksasi.
Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet dependent vasoconstriction yang
diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, serta thrombin dependent
vasoconstriction yang diduga akibat interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel
otot polos pembuluh darah.
VI. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Elektro Kardiogram (EKG)
Segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada
Trombolysis in Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST
baru sebanyak 0,05 mV merupkan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al.
menunjukkan peningkatan resiko outcome yang buruk meningkat secara
progresif dengan memberatnya depresi segmen ST maupun perubahan
troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-
pasien dengan NSTEMI.
2) Pemeriksaan Laboratorium
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard lebih
spesifik dari pada CK dan CKMB. Pada pasien IMA, peningkatan Troponin
pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 mingg
No Intervensi Rasional
1 Anjurkan pasien menghindari Aktivitas yang memerlukan menahan
peningkatan tekanan abdomen nafas dan menunduk(maneuver valsava)
misalnya mengejan saat defekasi dapat mengakibatkan braddikardi juga
menurunkan cuurah jantung dan takikardi
dengan peningkatan tekanan darah.
2 Latih klien untuk menerapkan Aktivitas yang meningkat dapat
pola peningkatan bertahap dari memberikan control jantung,
tingkat aktivitas, seperti banguin meningkatkan regangan dan mencegah
dari kursi bila tidak ada nyeri, aktivitas berlebihan
ambulasi dan istirahat selama 1
jam setelah makan
1. Definisi
EKG berasal dari kata elektro yang berarti listrik dan kardio yang merupakan
jantung. EKG adalah ilmu yang mempelajari mengenai aktivitas listrik jantung.
Gambaran EKG akan menunjukkan suatu grafik yang meggambarkan rekaman listrik
jantung. Elektrokardiografi adalah alat untuk merekam aktivitas listrik jantung
sedangkan elektrokardiogram merupakan grafik hasil perekaman potensial listrik
yang ditimbulkan oleh jantung (Devina, 2015).
2. Sandapan Jantung
Sandapan pada pemasangan EKG menggunakan sandapan rutin 12 leads yaitu
(Devina, 2015):
1. 3 bipolar standard leads ( I, II, III)
2. 3 unipolar lead ekstremitas (aVR, aVL, aVF)
3. 6 unipolar chest leads (V1, V2, V3, V4, V5, V6)
Sandapan Kelompok
V1, V2, V3, V4 Anterior
I, aVI, V5, V6 Lateral Kiri
II, III, aVF Inferior
aVR aVR
Tabel 2.2 Kelompok Sandapan
Kertas EKG adalah kertas grafik yang terdiri dari garis horizontal dan vertical
dengan jarak 1 mm (sering disebut kotak kecil, dan garis yang lebih tebal pada setiap
5 mm (kotak besar). Garis horizontal menunjukkan waktu , dimana 1 mm bernilai
0,04 detik. Garis vertical menggambarkan voltase, 1 mm = 0,1mV. Umumnya, pada
praktek sehari-hari perekaman dibuat dengan kecepatan 25mm/detik.Proses listrik
pada atrium dan ventrikel (Devina, 2015):
1. Depolarisasi atrium
2. Repolarisasi atrium
3. Depolarisasi ventrikel
4. Repolarisasi ventrikel
3. Gelombang EKG
Setiap hantaran EKG normal akan memperlihatkan 3 proses listrik, yaitu
depolarisasi atrium, depolarisasi ventrikel, dan repolarisasi ventrikel. Kurva EKG
normal terdiri dari gelombang : P, Q, R, S dan T, dan kadang bisa terlihat gelombang
U (Devina, 2015).
1. Gelombang P
a. Gambaran depolarisasi atrium
b. Depolarisasi mulai dari SA Node
c. Atrium kanan mengalami depolarisasi lebih dulu sebelum atrium kiri
d. Oleh karena itu, vektor rata-rata berjalan dari kanan ke kiri dan sedikit ke
arah inferior
Karakteristik :
a. Bentuk normal : kecil, halus, melengkung, mendahului kompleks QRS
b. Positif pada sandapan lateral kiri dan inferior
c. Bifasik pada lead III dan V1
d. Defleksi ke atas (+) di lead II, terbalik (-) di aVR
e. Nilai normal :
- tinggi/amplitudo : < 3mm (2,5mm)
- lebar < 3 mm (0,06-0,11detik)
f. Disfungsi NSA abnormalitas bentuk gelombang P
2. Gelombang Q
a. Awal depolarisasi ventrikel
b. Depolarisasi septum interventrikularis dari kiri ke kanan
c. Depolarisasi negatif I dari kompleks QRS
d. Q patologis – old miokard infark
e. Ciri gel. Q patologis
- Lebar ≥ 0,04 detik (1 mm)
- Dalamnya > 25% amplitudo gel R
3. Gelombang R
a. Defleksi positif pertama pada kompleks QRS
b. R patologis, menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel, tanda-tanda bundle
branch block
4. Gelombang S
a. Defleksi negatif setelah gelombang R
b. Depolarisasi ventrikel
c. S patologis, menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel, tanda-tanda bundle
branch block
5. Gelombang T
a. Repolarisasi ventrikel
b. Amplitudo normal :
a) < 10 mm di sandapan dada
b) < 5 mm di sandapan ekstremitas
c) Min. 1 mm
Irama jantung yang normal adalah irama sinus, yaitu suatu pola penjalaran
impuls listrik yang teratur dan berasal dari NSA Syarat-syarat suatu EKG dikatakan
berirama sinus adalah:
1. Setiap 1 gelombang P diikuti 1 kompleks QRS.
2. Interval PR 0,12-0,20 detik (3-5 mm).
3. P di lead II positif, P di lead aVR negatif.
4. FDJ antara 60-100x/menit, regular.
DAFTAR PUSTAKA