Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Definisi
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut/ emergensi yang dapat
terjadi pada diabetes melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2.1,2,3 Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetikum (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH).1,2,3,4,5
Status hipersomolar hiperglikemik ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis. Istilah SHH
merupakan istilah yang sekarang digunakan untuk menggantikan KHH (Koma
Hiperosmolar Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non
Ketotik) karena koma dapat terjadi lebih dari 50% kasus, dan ketosis ringan juga
dapat ditemukan pada pasien dengan SHH. 1,2,6
Data di Amerika Serikat, KAD merupakan penyebab lebih dari 110.000
pasien rawat inap per tahun dengan tingkat mortalitas dari 2%-10% dan dua-
pertiga pasien dengan KAD memiliki DM tipe 1 dan 34% tipe 2. SHH lebih
jarang terjadi (angka kejadian SHH <1%), namun tingkat mortalitasnya lebih
tinggi yaitu 5-20%. Angka mortalitas KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari
tahun ke tahun tampaknya belum ada perbaikan, yaitu bervariasi dari 15%-51%.
4,7

Etiologi
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada
faktor pencetus antara lain infeksi (pneumonia, infeksi saluran kencing, sepsis),
penyakit vaskular akut (penyakit sere-brovaskular, infark miokard akut, emboli
paru), trauma, luka bakar, hematom subdural, kelainan gastrointestinal
(pankreatitis akut, kholesistitis akut, obstruksi intestinal), obat-obatan (diuretika,
steroid, agen antipsikotik atipikal, glukagon, interferon, agen simpatomimetik
seperti albuterol, dopamin, dobutamin, dan terbutalin).1,2,5

1
SHH biasanya terjadi pada orangtua dengan DM, yang mempunyai
penyakit penyerta yang menyebabkan menurunnya asupan makanan. Infeksi
merupakan penyebab tersering (57,1%).6

Patofisiologi
Beberapa studi mengenai perbedaan respon hormon kontra regulator pada
KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien memiliki kadar
insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas, kortisol, hormon
pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien
KAD. Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa, namun keduanya
memiliki perbedaan. 2,3,4,5,6
Hiperglikemik mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vascular, dimana
gluconeogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan
cairan akan semakin mengakibatkan hierglikemia dan hilangnya volume
sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatam konsentrasi protein plasma mengikuti
hilangnya cairan intravascular menyebabkan hiperosmolar. Keadaa hiperosmolar
ini memicu sekresi hormone antidiuretic. Keadaan hiperosmolar menyebabkan
rasa haus meningkat. Hiperglikemia, hperosmolar, dapat mengakibatkan
dehidrasi dan hipovolemik jika kehilangan cairan tak terkompensasi.
Hipovolemia menyebabkan hipotensi dan mengakibatkan gangguan perfusi
jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium akhir.4

2
Gambar 1. Patogenesis KAD dan SHH

Diagnosis
Diagnosis DM menurut Standards of Medical Care in Diabetes – 2018
yang dikeluarkan oleh ADA, adalah :
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL.
2. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL. Tes ini harus
dilakukan sesuai standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
3. HbA1C ≥6,5% (harus dilakukan dengan sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik).
4. Jika keluhan klasik hiperglikemia (poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) atau gejala
krisis hiperglikemik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.6

Diagnosis secara klinis untuk membedakan antara KAD dan SHH tidak
mudah. Anamnesis manifestasi klinis dari KAD biasanya berlangsung dalam
3
waktu singkat, dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsia dan
penurunan berat badan dapat berlangsung selama beberapa hari, sebelum
terjadinya ketoasidosis, muntah dan nyeri perut. Nyeri perut yang menyerupai
gejala akut abdomen, dilaporkan terjadi pada 40-75% kasus KAD. Dalam suatu
penelitian, didapatkan hasil bahwa kemunculan nyeri perut dapat dikaitkan
dengan kondisi asidosis metabolik, namun bukan karena hiperglikemia atau
dehidrasi. Untuk SHH, manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan
penurunan kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi.
Nyeri perut juga jarang dialami oleh pasien SHH. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan dehidrasi sangat berat, bau nafas keton tidak ada, status mental
sampai koma.Walaupun diagnosis KAD dan SHH dapat ditegakkan dari klinis,
namun konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan. Hasil
laboratorium yang dapat ditemukan adalah glukosa plasma lebih dari 600 mg/dL,
pH arteri lebih dari 7,3, bikarbonat serum lebih dari 15 mEq/L, keton urin derajat
ringan, keton serum derajat ringan, osmolalitas serum lebih dari 320 mOsm/
kg.1,2,3,4,6
Tabel 1. Perbedaan KAD dan HHS

Penatalaksanaan
Tujuan utam terapi KAD dan SHH adalah penggantian volume sirkulasi
dan perfusi jaringan, penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan
osmolalitas plasma, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, perbaikan keadaan
4
ketoasidosis pada KAD, mengatasi faktor pencetus, melakukan monitoring dan
melakukan intervensi terhadap gangguan fungsi kardiovaskular, paru, ginjal dan
susunan saraf pusat.2,3

a. Terapi Cairan

Pasien dengan SHH memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan


yang diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan mencukupi
volume intravaskular dan restorasi perfusi ginjal. Terapi cairan saja dapat
menurunkan kadar glukosa darah. Salin normal (NaCl 0,9%) dimasukkan
secara intravena dengan kecepatan 500 sampai dengan 1000 ml/jam
selama dua jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak boleh lebih
dari 3 mOsm/ jam. Namun jika pasien mengalami syok hipovolemik,
maka cairan isotonik ketiga atau keempat dapat digunakan untuk
memberikan tekanan darah yang stabil dan perfusi jaringan yang baik.
1,2,5,6

b. Terapi Insulin

Fungsi insulin adalah untuk meningkatkan penggunaan glukosa


oleh jaringan perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga
dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga
berguna untuk menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan
adiposa dan mengurangi ketogenesis. Pada pasien dengan klinis yang
sangat berat, insulin reguler diberikan secara kontinyu intravena. Bolus
insulin reguler intravena diberikan dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti
dengan infus insulen regular dengan dosis 0,1 U/kg BB/jam (5-10 U/jam).
Hal ini dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125
mg/jam. Jika glukosa darah telah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau
300 mg/dL pada SHH, kecepatan pemberian insulin dikurangi menjadi
0,05 U/kg BB/jam (3-5 U/ jam) dan ditambahkan dengan pemberian
dextrosa 5-10% secara intravena. Pemberian insulin tetap diberikan untuk
mempertahankan glukosa darah pada nilai tersebut sampai keadaan
5
ketoasidosis dan hiperosmolalitas teratasi. Ketika protokol KAD atau
SHH berjalan, evaluasi terhadap glukosa darah kapiler dijalankan setiap
1-2 jam dan darah diambil untuk evaluasi elektrolit serum, glukosa, BUN,
kreatinin, magnesium, fosfos, dan pH darah setiap 2-4 jam. 1,2,5,6

c. Elektrolit
Secara umum, tubuh dapat mengalami defisit kalium sebesar 3-5
mEq/kg BB. Namun kadar kalium juga bisa terdapat pada kisaran yang
normal atau bahkan meningkat. Peningkatan kadar kalium ini bisa
dikarenakan kondisi asidosis, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Dengan
terapi insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat
ini dapat terkoreksi karena kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk
mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian kalium secara intravena
dapat diberikan. Pemberian kalium intravena (2/3 dalam KCl dan 1/3
dalam KPO4) bisa diberikan jika kadar kalium darah kurang dari 5
mEq/L.Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat,
pemberian insulin dapat memicu terjadinya hipokalemia dan memicu
terjadinya aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Oleh karena itu, jika
kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka pemberian kalium intravena
harus segera diber-ikan dan terapi insulin ditunda sampai kadarnya lebih
atau sama dengan 3,3 mEq/L.1,2,5,6

6
ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien Laki-laki usia 60 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 31 Juli 2019 pukul 02.30 WIB dengan

Keluhan Utama : (alloanamnesis)


 Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, penurunan
kesadaran terjadi perlahan. Awalnya pasien tampak mengantuk namun masih
membuka mata saat dipanggil. Namun sejak 1 hari ini pasien tidak dapat
dibangunkan lagi. Riwayat trauma sebelumnya tidak ada.
 Riwayat sering haus dan lapar sejak 2 bulan yang lalu. Pasien sering merasa
haus dan lapar walaupun telah banyak makan dan minum.
 Riwayat sering buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu. Pasien terbangun
malam hari 3-4 kali karena buang air kecil. Riwayat buang air kecil berpasir
tidak ada. Nyeri saat buang air kecil tidak ada.
 Penurunan berat badan ada sekitar + 5 kg dalam 2 bulan ini.
 Batuk sejak 1 minggu yang lalu, batuk berdahak warna kekuningan, batuk
darah tidak ada.
 Demam sejak 1 minggu yang lalu, demam bersifat hilang timbul, tidak tinggi,
tidak menggigil, tidak disertai keringat banyak.
 Mual ada sejak 1 minggu yang lalu, tidak disertai muntah.
 Lemah letih dirasakan sejak 1 minggu ini.
 Sesak nafas dirasakan sejak 1 hari ini. Sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas,
cuaca dan makanan. Sesak nafas tidak disertai bunyi menciut. Riwayat
terbangun tengah malam karena sesak tidak ada. Riwayat tidur dengan bantal
ditinggikan tidak ada.
 Penglihatan kabur tidak ada..
 Nyeri dada tidak ada.

7
 Luka yang tidak sembuh-sembuh tidak ada.
 Riwayat sering berkeringat malam hari tidak ada.
 Buang air besar konsistensi dan frekuensi normal.
 Pasien telah menjalani operasi 2 kali pada tahun 2017 dan 2018 karena
keluhan lemah anggota gerak bawah disertai dengan rasa kebas dan
kesemutan, pasien dikatakan menderita saraf terjepit.
 Pasien telah dirawat di RSUD Kerinci selama 4 hari dan dirujuk untuk
tatalaksana selanjutnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat tekanan darah tinggi tidak ada.
 Riwayat penyakit jantung tidak ada.
 Riwayat menderita batuk-batuk lama tidak ada.
 Riwayat stroke tidak ada.
 Riwayat menderita kurang gizi tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit gula.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita batuk-batuk lama dan minum
obat paru 6 bulan.

8
Keterangan Gambar :

 : Laki-laki : Pasien, DM (+)

 : Perempuan

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, Kebiasaan

 Pasien saat ini bekerja sebagai petani.


 Pasien adalah seorang kepala keluarga, menikah 1 kali dan memiliki 5 orang
anak. Pasien saat ini tinggal dirumah semipermanen, memiliki 2 kamar,
ventilasi ada, pencahayaan baik.
 Latar belakang pendidikan pasien adalah SD.
 Riwayat merokok ada, sejak usia 20 tahun, menghabiskan 1 bungkus perhari,
4 tahun ini pasien telah berhenti merokok.
 Riwayat konsumsi jamu-jamuan ada.
 Riwayat konsumsi alkohol tidak ada.
 Riwayat konsumsi makanan 3-4 kali sehari
Makan pagi, 1-2 porsi nasi + lauk dan sayur jam 7.00 WIB
Makan siang, 1-2 porsi nasi + lauk dan sayur ± jam 12.00 WIB
Makan sore, 1 porsi nasi + lauk dan sayur ± jam 16.00 WIB (Kadang-
kadang)
Makan malam, 1 porsi nasi + lauk dan sayur ± jam 20.00 WIB

Pemeriksaan umum :
Keadaaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : Somnolen
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 93 x/menit, teratur, pengisian cukup
Nafas : 28 x/menit
Suhu : 38 0C
Edema : Tidak ada

9
Anemis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Keadaan gizi : Baik
Tinggi badan : 156 cm
Berat badan : 47 kg
BMI : 19,34 kg/m2 (normoweight)
BBI : 50,4 Kg
BBR : 93,25 %
Diet :
50,4 x 30 kkal = 1512 kkal + (1512 x 30 %) = 1965 kkal  1900 kkal

Pemeriksaan fisik :
Kulit : Turgor kulit menurun
Kelenjar getah Bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Regio colli, axila, dan inguinal.
Kepala : Normocephal
Rambut : Beruban, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-) , sclera ikterik (-)
Reflek cahaya (+/+), diameter pupil 3mm/3 mm
Telinga : Deformitas (-), tanda-tanda radang (-)
Hidung : Deviasi septum (-), tanda-tanda radang (-)
Tenggorokan : Sulit dinilai
Gigi dan Mulut : Sulit dinilai
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar,
achantosis nigricans (-), kaku kuduk (-)
Thorax :
Paru
 Paru depan
o Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
o Palpasi : Fremitus sulit dinilai
o Perkusi : Sonor, batas pekak hepar setinggi RIC V kanan
10
o Auskultasi : Suara nafas bronkovesiculer, ronkhi +/+ basah halus
nyaring dibasal paru, wheezing -/-
 Paru belakang
o Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
o Palpasi : Fremitus sulit dinilai
o Perkusi : Sonor, peranjakan paru sulit dinilai
o Auskultasi : Suara nafas bronkovesiculer, ronkhi +/+ basah halus
nyaring dibasal paru, wheezing -/-

Tampak depan Tampak belakang

Jantung
o Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 jari
tidak melebar, tidak kuat angkat
o Perkusi : Batas kanan LSD, batas atas RIC II kiri, batas kiri 1 jari
medial LMCS RIC V
o Auskultasi : Bunyi jantung murni reguler, M1> M2, P2< A2,
bising (-)
Abdomen
o Inspeksi : Perut tidak membuncit
o Palpasi : Supel, hepar dan lien tak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok sulit dinilai

11
Luka bekas operasi setinggi thorakal dan lumbal
(+)
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Anggota gerak : Edema -/-, ulcus -/-
Reflek fisiologis +/+
Reflek patologis -/-
Ankle Brachial Index Kanan : 110/120 = 0,9
Ankle Brachial Index Kiri : 110/110 = 1
Waist/Hip Ratio : 76/86 = 0,88
Motorik : Lateralisasi tidak ada

Pulsasi Kiri Kanan


Art. Poplitea + +
Art. Tibialis Posterior + +
Art. Dorsalis Pedis + +
Art. Femoralis + +
Art. Radialis + +

Sensibilitas Kiri Kanan


Halus Sulit dinilai Sulit dinilai
Kasar Sulit dinilai Sulit dinilai

Pemeriksaan Laboratorium :
Darah rutin
Hb : 15,7 g/dl
Leukosit : 17.560 /mm3
Trombosit : 205.000 mm3
Ht : 48 %
Hitung Jenis : 0/0/6/81/11/2
LED : 15 mm
GDS : 659 mg/dl
12
Gambaran Darah Tepi :
Eritrosit : jumlah normal
Leukosit : jumlah meningkat dengan neutrofilia shift to the
right
Trombosit : jumlah normal, morfologi normal
Kesan : Leukositosis dengan neutrofilia shift to the right, Hiperglikemia

Urinalisis
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 3-4 /LPB Protein Positf satu
Kekeruhan Positif Eritrosit 1-2 /LPB Glukosa Positif dua
BJ 1,020 Silinder Negatif Bilirubin Negatif
pH 5,5 Kristal Negatif Urobilinogen Positif
Epitel Gepeng (+) Keton Postif satu
Kesan : Proteinuria, glukosuria, ketonuria

Feses Rutin
Makroskopis Mikroskopis
Warna Coklat Leukosit 0-1/LPB
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1/LPB
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif Telur Cacing Negatif
Kesan : Hasil dalam batas normal

13
EKG :

Irama : Sinus QRS Komplek : 0.08 dtk


HR : 93 x/mnt ST Segmen : isoelektrik
Axis : Normal Gel T : normal
Gel P : Normal SV1 + RV5 <35
PR interval : 0.12 dtk R/S V1 <1
Kesan : Sinus rythme

qSOFA Score : >2 High Risk Sepsis

Pukul 03.00 WIB :


AGD
pH : 7,321
PCO2 : 21,3 mmHg
PO2 : 78 mmHg
HCO3- : 11,1 mmol/L
Beecf : -13 mmol/L
SO2 : 94 %
Anion gap : 25 mmol/l
Kesan : Asidosis laktat dan hipoksemia

Elektrolit
Natrium : 166 mg/dl

14
Kalium : 3,7 mg/dl
Chorida : 129 mg/dl
Ureum : 131 mg/dl
Creatinin : 2,4 mg/dl
Osmolaritas : 368 mOsm
Kesan : Hipernatremia, hiperchlorida, peningkatan fungsi ginjal,
hiperosmolaritas

MASALAH
 Penurunan kesadaran
 Hiperglikemik
 Community Acquired Pneumonia
 Leukositosis
 Hipernatremia
 Asidosis Laktat
 Proteinuria
 Ketonuria
 Glukosuria

Diagnosis Kerja :
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia
 Community Acquired Pneumonia
 Acute on CKD
 Paraparese inferior tipe UMN ec pasca Decompresi ec HNP

Diagnosis Banding :
 Penurunan kesadaran ec Sepsis associated ensefalopaty
 AKI stg II ec Prerenal ec Dehidrasi
 AKI stg II ec Prerenal ec Sepsis
15
Terapi :
 Istirahat/ Diet MC DD 1900 kkal via NGT (karbohidrat 1045 kal, lemak 475
kal, protein 380 kal)/ O2 nasal kanul 5 L/menit
 IVFD NaCl 0,45%
- 1 jam pertama : 1 liter dalam ½ jam, lanjut 500 cc dalam ½ jam
berikutnya
- 1 jam kedua : 1 liter
- 1 jam ketiga : 500 cc
- 1 jam keempat : 500 cc
- 1 jam kelima : 500 cc
Lanjut IVFD NaCl 0,45% 6 jam/kolf
 Pada jam kedua, bolus insulin analog short acting 10 unit (IV)
 Drip insulin analog short acting 50 unit dalam 48 cc NaCl 0,9% (syringe
pump) dengan kecepatan 6 unit/jam
 Cek gula darah tiap jam
- Jika penurunan gula darah > 75 mg/dl, turunkan dosis 0,5 unit dari
dosis terakhir
- Jika penurunan gula darah 50 - 75 mg/dl, pertahankan dosis terakhir
- Jika penurunan gula darah < 50 mg/dl, naikkan dosis 0,5 unit dari
dosis terakhir
 Cek kalium tiap 6 jam
- Kalium <3,5 mmol/L : koreksi KCl 40 mEq
- Kalium 3,5 - 4,5 mmol/L : koreksi KCl 20 mEq
- Kalium 4,5 – 5,5 mmol/L : koreksi KCl 10 mEq
- Kalium >5,5 mmol/L : -
 Jika GD < 250 mg/dl, ganti infus dengan D5%
 Ceftriaxone 2x1 gr IV
 Levofloxacine 1x750 mg IV
 N-Acetylsistein nebul/ 8 jam
 Farbivent nebul/ 8jam
 Paracetamol 3x500 mg PO
16
 Bicnat 3x500 mg PO
 Asam Folat 1x5 mg PO
 Pasang kateter urin, balance cairan
 Kontrol intensif per jam

Anjuran :
 Analisa gas darah
 Gula darah Puasa dan 2 jam post prandial
 Profil lipid (Kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida)
 HbA1c
 Procalcitonin
 Kultur darah
 Kultur sputum
 Rontgen toraks PA
 USG Ginjal
 Konsul mata
 Konsul spesialis Bedah Orthopedi

Follow Up
31 Juli 2019
S/
Pasien tidak sadar (+), sesak nafas (+) berkurang, batuk (+)
O/

KU Kes TD Nadi Nafas T


Berat Somnolen 120/70 79 23 36,8oC

Konsul konsultan Endokrin Metabolik dan Diabetes :


Kesan :
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik

17
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
Anjuran :
 Lanjut protokol KHONK
 Cek GDP, G2PP, Hba1c, profile lipid

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi :


Kesan :
 Acute on CKD
DD : AKI stg II ec Prerenal ec Dehidrasi
Anjuran :
 Bicnat 3x500 mg PO
 Asam Folat 1x5 mg PO
 USG ginjal
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari
 Balance cairan positif

Konsul Konsultan Petri :


Kesan :
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia
Anjuran :
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
 Infus levofloxacin 1x750 mg
 Cek bilirubin, procalcitonin
 Cek Leukosit, diff count tiap 3 hari
 Kultur sputum, kultur darah

Konsul Konsultan Pulmunologi :


Kesan :
 Community Acquired Pneumonia

18
Anjuran :
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
 Infus levofloxacin 1x750 mg
 Analisa gas darah
 Kultur sputum
 Ekspertise Ro Thorax
 Cek Leukosit, diff count tiap 3 hari

A/
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia
 Community Acquired Pneumonia
 Acute on CKD
 Paraparese inferior tipe UMN ec pasca Decompresi ec HNP

P/
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
 Infus levofloxacin 1x750 mg
 Asam folat 1x5 mg PO
 Bicnat 3x500 mg PO
 Cek GDP, G2PP, Hba1c, profile lipid
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari
 Cek bilirubin, procalcitonin
 Cek Leukosit, diff count tiap 3 hari
 USG ginjal
 Ekspertise Ro Thorax
 Kultur sputum, kultur darah
 Balance cairan positif

19
Follow Up
1 Agustus 2019
S/
Pasien sadar (+), sesak nafas (-), batuk (+), makanan habis (+)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 110/70 84 20 36,5oC

Keluar Hasil Laboratorium


pH 7,398 Kolesterol total 211 mg/dl
pCO2 33,4 HDL 42 mg/dl
pO2 292,2 LDL 91 mg/dl
SO2 99,6 % Trigliserida 392 mg/dl
HCO3- 20,8 Natrium 155 mmol/L
BE -4,2 Kalium 2,8 mmol/L
pH 7,398 Chlorida 124 mmol/L
Bilirubin direct 0,2 g/dl Procalcitonin 0,16 ng/ml
Bilirubin indirect 0,2 g/dl Keton urine Negatif
Bilirubin total 0,4 mg/dl
Kesan : Dislipidemia, hipernatremia, hipokalemia

Osmolaritas : 318 mOsm


SOFA score : 3 (mortalitas kurang dari 33%)

20
Hasil Ekspertise Rontgen Thorax

Cor dalam batas normal


Tampak infiltrat di paracardial kanan
Sinus costofrenicus dan diafragma baik
Kesimpulan : Bronkopneumonia

Konsul Konsultan Endokrin Metabolik dan Diabetes :


Kesan :
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Dislipidemia
Anjuran :
 Stop protokol KHONK
 Insulin analog short acting 3x10 IU
 Insulin analog long acting 1x28 IU malam
 Simvastatin 1x20 mg PO

21
Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi :
Kesan :
 Acute on CKD
 Hipokalemia ec transeluler shift
Anjuran :
 Rehidrasi dengan IVFD 0,45% 8 jam/kolf
 KSR 3x1 PO
 USG ginjal
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari

Konsul Spesialis Mata


Kesan :
 Moderate Non Prolifreative Diabetic Retinopathy ODS
Anjuran :
 Regulasi Gula darah teratur
 Kontrol Poli Mata

A/
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik (perbaikan)
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Dislipidemia
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia
 Community Acquired Pneumonia
 Acute on CKD
 Hipokalemia ec transeluler shift
 Paraparese inferior tipe UMN ec pasca Decompresi ec HNP
 Moderate Non Prolifreative Diabetic Retinopathy ODS
P/
 Insulin analog short acting 3x10 IU
 Insulin analog long acting 1x28 IU malam

22
 KSR 3x1 PO
 Simvastatin 1x20 mg PO
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari
 Cek Leukosit, diff count tiap 3 hari
 USG ginjal
 Kultur sputum, kultur darah
 Balance cairan positif

Follow Up
2 Agustus 2019
S/
Pasien sadar (+), sesak nafas (-), batuk (+), makanan habis (+)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 120/70 90 20 36,5oC

Keluar Hasil Laboratorium


GDP 210 mmol/L Ureum 54 mg/dl
G2PP 259 mmol/L Creatinin 1,3 mg/dl
Hba1c 16 % Natrium 156 mmol/dl
Kalium 2,8 mmol/dl
Chlorida 121 mmol/dl
Kesan : Hiperglikemia, hpernatremia, hipokalemia, peningkatan
ureum

Hasil USG Ginjal


Ginjal kanan dan kiri : Besar dan bentuk normal, dengan ratio cortex dan
medulla normal. Differensiasi cortex dan medula baik. Echo struktur parenkim
hipoechoic, ukuran dalam batas normal (kiri : 10,4 cm x 1,57 cm, kanan : 9,89
cm x 1,96 cm).

23
Vesica urinaria : Besar dan bentuk normal, dinding regular, batu (-)
Kesimpulan : Tidak tampak kelainan pada pemeriksaan USG Ginjal dan
Buli.

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi :


Kesan :
 AKI stg I ec Prerenal ec Dehidrasi (perbaikan)
 Hipokalemia ec transeluler shift
Anjuran :
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari

A/
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik (perbaikan)
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Dislipidemia
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia (perbaikan)
 Community Acquired Pneumonia
 AKI stg I ec Prerenal ec Dehidrasi (perbaikan)
 Hipokalemia ec transeluler shift
 Paraparese inferior tipe UMN ec pasca Decompresi ec HNP
 Moderate Non Prolifreative Diabetic Retinopathy ODS

P/
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari

Follow Up
5 Agustus 2019
S/
Pasien sadar (+), sesak nafas (-), batuk (+), makanan habis (+)

24
O/

KU Kes TD Nadi Nafas T


Sedang CMC 110/60 88 20 36,8oC

Motorik :
555 555
333 333

Sensorik : Hipestesi setinggi L4

Keluar Hasil Laboratorium


GDP 275 mmol/L Natrium 142 mg/dl
G2PP 328 mmol/L Kalium 4,1 mg/dl
Leucosit 8.210/ mm3 Diff count 0/0/0/78/15/7
Ureum 43 mg/dl Creatinin 0,8 mg/dl
Kesan : Hiperglikemia, neutrofilia shift to the right

Konsul Spesialis Bedah Orthopedi


Kesan :
 Paraparese inferior tipe UMN post Decompresi ec HNP
Anjuran :
 Saat ini tidak ada tindakan khusus dari bagian Bedah orthopedi
 Kontrol Poli Bedah Orthopedi untuk tindakan selanjutnya

A/
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik (perbaikan)
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Dislipidemia
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia (perbaikan)
 Community Acquired Pneumonia

25
 AKI stg I ec Prerenal ec Dehidrasi (perbaikan)
 Hipokalemia ec transeluler shift (perbaikan)
 Paraparese inferior tipe UMN ec pasca Decompresi ec HNP
 Moderate Non Prolifreative Diabetic Retinopathy ODS
P/
 Insulin analog short acting 3x12 IU
 Insulin analog long acting 1x32 IU malam
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari
 Cek Leukosit, diff count tiap 3 hari
 Kultur sputum, kultur darah

Follow Up
6 Agustus 2019
S/
Pasien sadar (+), sesak nafas (-), batuk (+), makanan habis (+)
O/
KU Kes TD Nadi Nafas T
Sedang CMC 100/60 78 19 37oC

Keluar Hasil Kultur Sputum :


Organisme : Enterococcus Faecalis
Ampicillin : Sensitif Ampicillin/Sulbaktam : Sensitif
Amoxicillin/Clavulanic acid : Intermediet Chloramphenicol : Sensitif
Eritomisin : Resisten Trimethoprim/Sulfamethoxazole :
Cefotaxime : Resisten Resisten
Ciprofloxacine : Sensitif Gentamicin : Sensitif
Cefoperazone : Intermediet Ceftazidime : Intermediet
Kanamycin : Resisten Fosfomycin : Sensitif

26
A/
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik (perbaikan)
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Dislipidemia
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia (perbaikan)
 Community Acquired Pneumonia
 AKI stg I ec Prerenal ec Dehidrasi (perbaikan)
 Hipokalemia ec transeluler shift
 Paraparese inferior tipe UMN ec pasca Decompresi ec HNP
 Moderate Non Prolifreative Diabetic Retinopathy ODS

P/
 Insulin analog rapid acting 3x12 IU
 Insulin analog long acting 1x32 IU malam
 Cek ureum dan kreatinin per 3 hari
 Cek Leukosit, diff count tiap 3 hari
 Kultur darah

27
Kontrol Gula Darah, tanggal 31 Juli 2019

Jam GDR Insulin Keterangan


03.30 659 - IVFD NaCl 0,45%
04.30 High 6 cc/jam
05.30 High 6,5 cc/jam
06.30 High 7 cc/jam
07.30 High 7,5 cc/jam
08.30 577 8 cc/jam
09.30 569 8,5 cc/jam
10.30 507 9 cc/jam
11.30 431 8,5 cc/jam KCL 40 meq
12.30 440 9 cc/jam
13.30 375 9 cc/jam
14.30 460 10 cc/jam
15.30 375 9,5 cc/jam
16.30 345 8,5 cc/jam
17.30 283 7,5 cc/jam
18.30 231 6 cc/jam
19.30 195 2 cc/jam IVFD D5%
20.30 153 2 cc/jam IVFD D5%, KCL 40
meq
21.30 129 2 cc/jam IVFD D5%
22.30 119 1 cc/jam IVFD D5%
23.30 157 1 cc/jam IVFD D5%
00.30 158 1 cc/jam IVFD D5%

28
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien Laki-laki usia 60 tahun di bagian Penyakit


Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 31 Juli 2019 pukul 02.30 WIB
dengan :
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik non Ketotik
 Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight
 Dislipidemia
 Sepsis ec Community Acquired Pneumonia
 Community Acquired Pneumonia
 AKI stg I ec Prerenal ec Dehidrasi
 Hipokalemia ec transeluler shift
 Paraparese inferior tipe UMN ec pasca Decompresi ec HNP
 Moderate Non Prolifreative Diabetic Retinopathy ODS

Pasien ditegakkan dengan diagnosis Koma Hiperosmolar Hiperglikemik


non Ketotik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan penurunan kesadaran meningkat
sejak 1 hari ini. Dijumpai keluhan sering haus, sering lapar dan frekuensi BAK
meningkat disadari sejak 2 bulan yang lalu. Dijumpai juga keluhan penurunan
berat badan sejak 2 bulan ini. Dari pemeriksaan fisik dijumpai kesadaran
somnolen, pada pemeriksaan fisik paru dijumpai suara nafas bronkovesiculer
dengan suara tambahan ronkhi basah halus nyaring pada kedua basal paru. Saat
dilakukan pemeriksaan laboratorium dijumpai kadar gula darah 659 mg/dl,
elektrolit (Natrium) 166 mg/dl, analisa gas darah dijumpai pH 7,321, HCO3- 11,1
dan anion gap 25 mmol/L. Dilakukan pemeriksaan keton urine dengan hasil
positif satu. Dihitung osmolaritas didapatkan hasil 368 mOsm. Hal ini sesuai
dengan kriteria diagnosis KHONK/SHH, dimana Status hipersomolar
hiperglikemik merupakan gangguan metabolik akut ditandai dengan
hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis berarti.
Istilah SHH merupakan istilah yang sekarang digunakan untuk menggantikan

29
KHH (Koma Hiperosmolar Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik
Hiperosmolar Non Ketotik) karena koma dapat terjadi lebih dari 50% kasus, dan
ketosis ringan juga dapat ditemukan pada pasien dengan SHH. 4,6

SHH biasanya terjadi pada orangtua dengan DM, yang mempunyai


penyakit penyerta yang menyebabkan menurunnya asupan makanan. Infeksi
merupakan penyebab tersering (57,1%). Selain itu faktor pencetus dibagi menjadi
6 kategori yaitu : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis,
penyalahgunaan obat dan penyakit penyerta.4

Secara klinis SHH sulit dibedakan dengan KAD, beberapa gejala dan
tanda yang dapat jadi pegangan adalah sering ditemukan pada usia lanjut, hampir
separuh pasien tidak memliki riwayat DM atau DM tanpa insulin, mempunyai
penyakit dasar lain, atau mempunyai penyakit pencetus seperti infeksi.4,7 Hal ini
sesuai dengan kondisi pasien yang saat ini berusia 60 tahun, tidak ada riwayat
DM sebelumnya dan memiliki faktor pencetus berupa infeksi.

Status hiperosmolar hiperglikemik ditandai dengan defisiensi konsentrasi


insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk menghambat terjadinya lipolisis
dan ketogenesis. Beberapa studi mengenai perbedaan respon hormon kontra
regulator pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien
memiliki kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas,
kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan
dengan pasien KAD. Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa,
namun keduanya memiliki perbedaan. Pada SHH akan terjadi keadaan dehidrasi
yang lebih berat, kadar insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis besar-
besaran dan kadar hormon kontra regulator yang bervariasi. 2,3,5,6

Tujuan utama terapi SHH adalah penggantian volume sirkulasi dan


perfusi jaringan, penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas
plasma, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, mengatasi faktor pencetus,
melakukan monitoring dan melakukan intervensi terhadap gangguan fungsi
1,2,3
kardiovaskular, paru, ginjal dan susunan saraf pusat. Pasien dengan SHH
30
memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang diperlukan 100 ml/kgBB.
Terapi cairan awal bertujuan mencukupi volume intravaskular dan restorasi
1,2,4,5
perfusi ginjal. Terapi insulin adalah untuk meningkatkan penggunaan
glukosa oleh jaringan perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga
dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna
untuk menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan
mengurangi ketogenesis. Pada pasien dengan klinis yang sangat berat, insulin
reguler diberikan secara kontinue intravena. Bolus insulin reguler intravena
diberikan dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan infus insulin regular dengan
dosis 0,1 U/kg BB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat menurunkan kadar glukosa
darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam. Jika glukosa darah telah mencapai 250
mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH, kecepatan pemberian insulin
dikurangi menjadi 0,05 U/kg BB/jam (3-5 U/ jam) dan ditambahkan dengan
pemberian dextrosa 5-10% secara intravena. Pemberian insulin tetap diberikan
untuk mempertahankan glukosa darah pada nilai tersebut sampai keadaan
ketoasidosis dan hiperosmolalitas teratasi. Ketika protokol KAD atau SHH
berjalan, evaluasi terhadap glukosa darah kapiler dijalankan setiap dan darah
diambil untuk evaluasi elektrolit setiap 4-6 jam. 1,2,4,5 Secara umum, tubuh dapat
mengalami defisit kalium sebesar 3-5 mEq/kg BB. Namun kadar kalium juga bisa
terdapat pada kisaran yang normal atau bahkan meningkat. Peningkatan kadar
kalium ini bisa dikarenakan kondisi asidosis, defisiensi insulin dan hipertonisitas.
Dengan terapi insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang
meningkat ini dapat terkoreksi karena kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk
mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian kalium secara intravena dapat
diberikan..1,2,4,5

Pada pasien ini selama kontrol intensif protokol KHONK/SHH berjalan


terjadi penurunan kadar kalium. Hipokalemia pada pasien ini ditegakkan dengan
hipokalemia ec transeluler shift. Hipokalemia didefenisikan sebagai kalium
plasma kurang dari 3,5 mEq/L. Terdapat 3 mekanisme penyebab hipokalemia :
berkurangnya asupan kalium, peningkatan ekskresi kalium melalui ginjal dan

31
traktus urinarius dan redistribusi kalium dari ekstraseluler ke intraseluler.
Ambilan kalium sel ini dapat dipicu oleh alkalinemia, insulin, simulasi beta
adrenergic dan santin. Sangat penting diperhatikan sebelum pemberian insulin
jika kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka pemberian kalium intravena
harus segera diberikan dan terapi insulin ditunda sampai kadarnya lebih atau
sama dengan 3,3 mEq/L. Pengobatan hipokalemia memiliki empat tujuan : (a)
pencegahan kehilangan kalium, (b) pengisian kembali simpanan kalium, (c)
evaluasi toksisitas potensial dan (d) penentuan penyebabnya, untuk mencegah
episode mendatang.8,9

HHS dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi


daripada KAD dan harus didiagnosis segera dan dikelola secara intensif.1 Tingkat
rehidrasi akan ditentukan dengan menilai kombinasi keparahan awal dan
komorbiditas yang sudah ada sebelumnya. Diperlukan perhatian khusus pada
lansia, di mana rehidrasi yang terlalu cepat dapat memicu gagal jantung tetapi
rehidrasi yang tidak cukup akan menyebabkan gagal membalikkan cedera ginjal
akut.1

Dislipidemia pada pasien ini ditegakkan dari pemeriksaan laboratorium


darah dimana dijumpai peningkatan kolesterol total, LDL, trigliserida serta
penurunan HDL. Dislipidemia ini diduga berhubungan dengan hiperinsulinemia.
Pada keadaan resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adipose akan
menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserida di jaringan adipose semakin
meningkat dan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan.
Penatalaksanaan dislipidemia pada pasien diabetes melitus tidak banyak berbeda,
yaitu terdiri atas penatalaksanaan non-farmakologis dan penggunaan obat
penurun lipid. Dislipidemia pada pasien ini diterapi dengan pemberian HMG-
CoA reduktase inhibitor (golongan statin). Pengobatan menggunakan HMG-CoA
reduktase inhibitor (statin) merupakan pilihan utama untuk menurunkan kadar
LDL pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan gangguan jantung atau usia
diatas 40 tahun dengan resiko gangguan jantung. Pada pasien diabetes melitus
target sasaran kadar kolesterolnya harus <100 mg/dL. Sedangkan untuk
32
pencegahan penyakit kardiovascular pada pasien diabetes melitus target sasaran
kadar kolesterol LDL adalah <70 mg/dL.10,11

Diagnosis Community acquired pneumonia pada pasien ini ditegakkan


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis ditemukan adanya adanya batuk berdahak, sesak nafas, demam.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, auskultasi ditemukan suara nafas bronkovesikular
dengan adanya ronki basah halus nyaring di basal kedua paru. Keadaan ini juga
didukung pemeriksaan penunjang berupa rontgen thorax dengan kesan
bronkopneumonia, pemeriksaan laboratorium terjadi leukositosis, neutrofilia shift
to the right dan pada pemeriksaan kultur sputum didapatkan organisme
Enterococcus faecalis. Enterococcus faecalis adalah bakteri Gram-positif
komensal berbagai organisme. Bakteri ini paling banyak ditemukan pada infeksi
akar gigi dengan prevalensi mulai dari 30% hingga 90% dari kasus. Bakteri ini
bisa sebagai penyebab infeksi namun dapat juga bersifat kontaminan, diduga
kualitas sputum yang kurang baik, bercampur dengan saliva sehingga sulit
menginterprestasi hasil.12.13,14

Pasien ditegakkan dengan diagnosis Sepsis ec CAP. Berdasarkan qSOFA


score didapatkan poin 2. Penilaian qSOFA bergantung pada tiga variable :
tekanan darah sistolik, laju pernapasan, dan tingkat kesadaran. Pada pasien
dijumpai penurunan kesadaran dan laju pernapasan yang meningkat. qSOFA
adalah prediktor risiko kematian. Ini harus digunakan untuk mengidentifikasi
pasien yang membutuhkan penilaian lebih lanjut untuk kegagalan organ. Klinis
penurunan pada pasien dengan qSOFA score positif bisa karena penyebab lain
selain sepsis. Lebih dari 75% pasien dengan dugaan infeksi yang mendapat skor 2
atau lebih tinggi pada qSOFA juga memiliki skor SOFA positif, yang
menunjukkan kehadiran disfungsi organ dan diduga sepsis.15

Pasien didiagnosis dengan AKI stg II ec Prerenal ec Dehidrasi. AKI


sering terjadi dan dikaitkan dengan komplikasi jangka pendek dan jangka
panjang yang serius. Diagnosis dini dan identifikasi etiologi yang mendasarinya

33
sangat penting untuk memandu manajemen. AKI adalah penurunan cepat (dalam
jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung
reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme
nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ada tiga
patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) : Penurunan perfusi
ginjal (pre-renal), Penyakit intrinsik ginjal (renal) dan Obstruksi renal akut (post
renal). Pada pasien ini dijumpai peningkatan creatinin 2 kali nilai dasar, dengan
hasil USG ginjal yang normal. Terdapat kondisi klinis yang mendasari pada
pasien ini, dimana kondisi dehidrasi berat menjadi penyebabnya. Tatalaksana
yang diberikan pada pasien ini adalah cairan pengganti untuk pengobatan GGA
prerenal akibat hipovolemia yang disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan
yang hilang.16 Dari hasil analisa gas darah, didapatkan hasil anion gap meningkat
yaitu 25 mmol/L. Menurut penelitian Berkman M bila anion gap lebih dari 12
mmol/L rata-rata laktat 2,9 dan anion gap kurang dari 12 didapatkan rata-rata
laktat 1,8 sehingga peningkatan anion gap berbanding lurus dengan peningkatan
lakat. Jadi hasil anion gap pasien ini sesuai dengan kondisi pasien yang
mengalami dehidrasi. 17

Pada pasien ini juga didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak bawah
sejak 1 tahun ini, disertai dengan rasa kebas dan kesemutan. Pasien juga
memiliki riwayat operasi tulang belakang sebanyak dua kali pada tahun 2017 dan
2018 dengan dokter bedah orthopedik. Pada pemeriksaan fisik terdapat
penurunan fungsi motorik dan sensorik. Pasien didiagnosis dengan paraparese
inferior tipe UMN pasca Decompresi ec HNP dengan anjuran kontrol ke Poli
Bedah Orthopedi untuk tatalaksana selanjutnya.

Non proliferatif diabetik retinopati pada pasien ini didapatkan dari hasil
pemeriksaan funduskopi, dimana dijumpai adanya eksudat lunak pada kedua
retina, sesuai dengan klasifikasi retinopati diabetik menurut ETDRS yaitu
moderate non proliferatif diabetik retinopati. Retinopati diabetik merupakan
penyebab kebutaan paling sering pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun.
Dimana pasien diabetes memiliki resiko 25 lebih mudah mengalami kebutaan
34
dibandingkan non diabetes. Mekanisme penyebab retinopati diabetik sampai saat
ini masih belum diketahui secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang lama
dianggap menjadi faktor resiko utama. Pencegahan dan pengobatan retinopati
diabetik harus dilakukan secara bersamaan untuk mencegah dan menunda
timbulnya retinopati dan memperlambat perburukan dari retinopati. Sedangkan
tujuan utama pengobatannya adalah untuk mencegah kebutaan permanen. Metode
pencegahan dan pengobatan untuk non proliferative retinopati diabetik saat ini
yang utama adalah kontrol gula darah dengan anjuran pemeriksaan ulang setiap
6-12 bulan karena sering bersifat progresif.18

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Scott A. The Management of the Hyperosmolar Hyperglycaemic State in


adults with Diabetes. Diabetes UK : Association of Brtish Clinical
Diabetologists. 2012
2. Semarawima G. Status Hiperosmolar Hiperglikeimik. Denpasar Bali :
Medicina. 2017. Hal 49-53 48 (1)
3. Soelistijo A, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe II di Indonesia 2015. Jakarta: Perkeni. 2015
4. Soewarto P. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid III. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 2014. Hal
1913-1916
5. Gosmanov AR, Gosmanova EO, Kitabchi AE. Hyperglycemic Crisis :
Diabetic Ketoacidosis (DKA) an Hyperglycemic Hyperosmolar State
(HHS). U.S : National Center for Biotechnology Information. 2018
6. American Diabetes Association. Classification and Diagnosis of Diabetes
in Diabetes Care: Standards of Medical Care in Diabetes. American :
American Diabetes Association. 2018. Hal 17-24
7. Huang I. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada
Penderita Diabetes Mellitus. Tanggerang : Medicinus. 2016. Hal 48-57
8. Kardalas E, et al. Hypokalemia : a clinical update. Endocrine connections.
2018
9. Nugroho P. Hipokalemia dalam EIMED : Kegawatdaruratan Penyakit
Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2012. Hal 279
10. Rabie’ah, dkk. Tatalaksana Terkini Dislipidemia dalam Jurnal Kedokteran
Meditek Vol. 20 No 54. Jakarta Barat : Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Krida Wacana. 2014. Hal 29-33
11. Adam MF John. Dislipidemia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi Keenam Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 2014. Hal 1984-1992

36
12. Tyre DV, Matin MJ, Cilmore MS. Structure, Function, and Biology of the
Enterococcus faecalis Cytolysin. US : NCBI. 2013
13. Dahlan Zul. Pneumonia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Keenam Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : 2014. Hal 2196-2206
14. Miyashita N, Shimizu H, Ouchi K. Assessment of the usefulness of
Sputum Gram Stain and Culture for diagnosis of Community acquired
pneumonia requiring Hospitalization. Medicine Science Monitor. 2008
15. AJN. Managing Sepsis and Septic Shock : Current Guidelines and
Defenitions. AJN : Wolterskluwer. 2018 Vol 118
16. Ostermann M. Acute Kidney Injury : diagnosis and diaognostic workup.
Critical Care. 2016
17. Berkman M. Anion gap as a screening tool for elevated lactate in patients
with an increased risk of developing sepsis in the emergency department.
US : J Emerg Mer. 2009
18. Pandelaki Karel. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keenam Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014. Hal. 1930-1936

37

Anda mungkin juga menyukai