Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

RANDOMIZED TRIAL OF THREE


ANTICONVULSANT MEDICATION FOR
STATUS EPILEPTICUS

Disusun oleh:
RAUDINA FISABILA MARTADIPURA
NPM 1102015191

Pembimbing :
dr. H. Isyanto, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD ARJAWINANGUN – KAB. CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2020
Lembar Pengesahan

JOURNAL READING

UJI ACAK TERKONTROL PADA TIGA JENIS OBAT ANTIKONVULSAN


UNTUK STATUS EPILEKTIKUS

Nama dokter muda:

Raudina Fisabila Martadipura

(1102015191)

Telah diajukan dan disahkan oleh dr.H. Isyanto, SpA, di


Arjawinangun, Cirebon pada bulan Januari tahun 2020

Mengetahui :

Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak Dosen pembimbing RSUD


Arjawinangun Cirebon

dr. Isyanto, Sp.A dr. Isyanto, Sp.A

2

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah - Nya saya dapat menyelesaikan jurnal
reading dengan judul UJI ACAK TERKONTROL PADA TIGA JENIS OBAT
ANTIKONVULSAN UNTUK STATUS EPILEKTIKUS sebagai tugas
kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun. Tidak lupa shalawat serta
salam kami panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam penulisan jurnal reading, penulis banyak mendapatkan bantuan baik
moril maupun materil dari berbagai pihak, sehingga tugas ini dapat diselesaikan
dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada dr. H. Isyanto,Sp.A selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam
membimbing dan memberi masukan kepada penulis dalam penulisan jurnal reading
ini, kepada dr. H. Bambang Suharto ,Sp.A, MH.kes, dan dr. Dani Kurnia, Sp.A yang
turut membimbing penulis, kepada seluruh staf medis dan non medis di bagian ilmu
kesehatan anak RSUD Arjawinangun, kepada orang tua penulis yang selalu
memberikan doa dan semangat setiap harinya, serta kepada teman-teman peserta
kepaniteraan klinik bagian anak di RSUD Arjawinangun dan seluruh pihak yang
penulis tidak dapat sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT memberikan
balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan jurnal reading ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima segala masukan serta
saran yang bersifat membangun. Semoga jurnal reading ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Arjawinangun, Januari 2020

3

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ...................................................................................................... 2


KATA PENGANTAR .................................................................................................. 3
DAFTAR ISI................................................................................................................. 4
BAB I ............................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN..................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................... 6
TINJAUAN JURNAL ............................................................................................... 6
ABSTRAK ................................................................................................................ 6
PENDAHULUAN..................................................................................................... 7
METODE .................................................................................................................. 8
Analisis statistik ...................................................................................................... 11
HASIL ..................................................................................................................... 12
DISKUSI ................................................................................................................. 17
KESIMPULAN ....................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 19
LAMPIRAN JURNAL .............................................................................................. 21

4

BAB I
PENDAHULUAN

Penelitian ilmiah menunjukan penggunaan benzodiazepine sebagai tatalaksana


awal status epileptikus, namun terdapat sekitar sepertiga kasus pasien kejang tidak
berespon dengan pemberian benzodiazepine 1-3. Tatalaksana awal untuk
mengeliminasi kejang pada status epileptikus penting untuk mengurangi risiko
komplikasi jantung dan respirasi serta indikasi perawatan intensive di ICU. Clinical
guideline kasus ini menitikberatkan pada pengontrolan kejang secara cepat namun
tidak memberi penjelasan lengkap mengenai jenis obat yang aman dan efektif 6-7. Pada
praktek umumnya terdapat tiga jenis obat yang paling sering digunakan untuk status
epileptikus refrakter benzodiazepine, yaitu levetiracetam, fosfenitoin dan valproate
namun hanya fosfenitoin yang terdaftar pada Food and Drug Administration (FDA)
dengan indikasi untuk pasien dewasa, tidak untuk anak-anak 4-7. Selebihnya sampai
saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai tatalaksana status epileptikus
refrakter dengan benzodiazepine. Penelitian ini dilakukan secara acak dengan tujuan
untuk menentukan kelebihan dan kekurangan tiga jenis obat antikonvulsan untuk kasus
status epileptikus refrakter benzodiazepine.

5

BAB II

TINJAUAN JURNAL

Jaideep Kapur, M.B., B.S., Ph.D., Jordan Elm, Ph.D., James M. Chamberlain, M.D.,
William Barsan, M.D., James Cloyd, Pharm.D., Daniel Lowenstein, M.D., Shlomo
Shinnar, M.D., Ph.D., Robin Conwit, M.D., Caitlyn Meinzer, Ph.D., Hannah Cock,
M.D., Nathan Fountain, M.D., Jason T. Connor, Ph.D.,
and Robert Silbergleit, M.D.,
for the NETT and PECARN Investigators*

ABSTRAK
Latar Belakang: Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai pemilihan obat
antikonvulsan untuk pasien status epilepticus yang refrakter dengan pemberian
benzodiazepin
Metode: Studi ini membandingkan efektifitas dan keamaan tiga jenis obat
antikonvulsan untuk kasus status epilepticus yang refrakter dengan benzodiazepine
pada anak-anak dan dewasa, yaitu levetiracetam, fosfenitoin dan valproate, dengan cara
acak, blinded dan adaptif (randomized blinded adaptive trial).
Hasil: Total responden yang dipilih secara acak berjumlah 384 responden, 145
responden diantaranya mendapatkan levetiracetam, 118 responden mendapat
fosfenitoin dan 121 responden mendapat valproat. Sebanyak 16 responden dengan
episode kedua status epileptikus ditambahkan dalam penelitian ini secara acak. Analisis
terencana berkala dilakukan sampai uji coba dihentikan dalam rangka mencegah kesia-
siaan menentukan efektifitas obat antikonvulsan yang sebelumnya telah disesuaikan
dengan aturan yang berlaku. Diantara seluruh responden, didapatkan 10% responden
mengalami kejang psikogenik.
Outcome utama yang tercapai pada penatalaksanaan status epileptikus dan peningkatan
tingkat kesadaran pada 60 menit terjadi pada 68 pasien yang diobati dengan
levetiracetam (47%; interval kredibel 95%, 39 hingga 55), 53 pasien diobati dengan
fosphenytoin (45%; 95% interval kredibel, 36 hingga 54), dan 56 pasien yang diobati
dengan valproate (46%; interval kredibel 95%, 38 hingga 55). Posterior probability

6

obat yang paling efektif adalah 0.41, 0.24 dan 0.35. Berdasarkan angka numerik jumlah
kejadian hipotensi dan intubasi banyak terjadi pada kelompok pasien dengan
fosphenitoin serta jumlah kematian paling banyak ditemukan pada kelompok pasien
dengan levetiracetam, namun perbedaannya tidak signifikan.

Kesimpulan: Dalam penatalaksaan status epileptikus refrakter dengan pemberian


benzodiazepine, antikonvulsan jenis levetiracetam, fosfenitoin dan valproate masing-
masing dapat menyebabkan berhetinya kejang serta meningkatkan kesadaran pasien
selama 60 menit pada separuh jumlah pasien, serta tiga jenis obat antikonvulsan ini
memiliki hubungan dengan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.

PENDAHULUAN
Penelitian ilmiah menunjukan penggunaan benzodiazepine sebagai tatalaksana awal
status epileptikus, namun terdapat sekitar sepertiga kasus pasien kejang tidak berespon
dengan pemberian benzodiazepine 1-3. Tatalaksana awal untuk mengeliminasi kejang
pada status epileptikus penting untuk mengurangi risiko komplikasi jantung dan
respirasi serta indikasi perawatan intensive di ICU. Clinical guideline kasus ini
menitikberatkan pada pengontrolan kejang secara cepat namun tidak memberi
penjelasan lengkap mengenai jenis obat yang aman dan efektif 6-7. Pada praktek
umumnya terdapat tiga jenis obat yang paling sering digunakan untuk status epileptikus
refrakter benzodiazepine, yaitu levetiracetam, fosfenitoin dan valproate namun hanya
fosfenitoin yang terdaftar pada Food and Drug Administration (FDA) dengan indikasi
untuk pasien dewasa, tidak untuk anak-anak 4-7. Selebihnya sampai saat ini belum ada
penelitian lebih lanjut mengenai tatalaksana status epileptikus refrakter dengan
benzodiazepine. Penelitian ini dilakukan secara acak dengan tujuan untuk menentukan
kelebihan dan kekurangan tiga jenis obat antikonvulsan untuk kasus status epileptikus
refrakter benzodiazepine.

7

METODE
Managemen pelaksanaan penelitian

The Established Status Epilepticus Treatment Trial (ESETT) adalah investigator-


initiated, multicenter, randomized, blinded, comparative-effectiveness trial untuk obat
antikonvulsan kasus status epileptikus jenis levetiracetam, fosphenytoin, and valproate
di instalasi gawat darurat. Peneliti bertugas untuk menentukan desain penelitian,
pengumpulan data berserta kejadian buruk (adverse event) serta analisis data secara
lengkap dan akurat, sesuai dengan protocol dan aturan yang berlaku, dibawah
Investigational New Drug Application di FDA. Pasien penelitian ini sebelumnya telah
dimintai inform-consent dan diberi penjelasan mengeai penelitian ini, biasanya saat
pasien masih berada di IGD dan kemudian menandatangi inform-consent tertulis untuk
dilakukan penelitian dan dimintai data sampai dinyatakan selesai. Pasien dikumpulkan
dari 57 IGD rumah sakit di amerika, 18 instasi khusus anak, 26 instansi khusus dewasa
dan 13 instansi lainnya campuran. Pelaksana penelitian terdiri dari dokter, perawat,
apoteker yang sudah diberi pelatihan dan penyuluhan sesuai protocol peneliitan.

Kriteria Inklusi
Pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi adalah yang berusia > 2 tahun dan
sebelumnya sudah pernah mendapatkan pengobatan kumulatif benzodiazepine untuk
kejang general durasi > 5 menit dan kembali mengalami kejang persisten atau rekuren
di IGD selama minimal 5 menit sampai sebelum 30 menit setelah pemberian terakhir
benzodiazepine. Kriteria inklusi juga termasuk untuk kejang dan pemberian
benzodiazepine sebelum kedatangan di IGD.

Dosis minimal adekuat benzodiazepine yang dimaksud adalah diazepam intravena (IV)
atau rectal 10 mg, lorazepam IV 4 mg, atau midazolam IV atau intarmuskular (IM)
untuk dewasa dan anak dengan berat badan minimal 32 kg, serta dosis diazepam IV
atau rectal 0.3 mg/KgBB, lorazepam IV 0.1 mg/KgBB serta midazolam IM 0.2

8

mg/KgBB untuk anak dengan berat kurang dari 32 kg. Obat-obat ini diberikan pada
pasien dengan dosis yang terbagi-bagi, dapat terhitung bila diberikan sebelum ke IGD.
Pasien yang sebelumnya pernah telah mendapat pengobatan antikonvulsan untuk
pengontrol kejang terinklusi pada penelitian ini, dan kemudian untuk penelitian ini
pasien mendapat obat secara acak tanpa mempertimbangkan jenis obat pengontrol
kejang yang sebelumnya dikonsumsi.

Kriteria eksklusi penelitian ini adalah kejang yang disebabkan oleh trauma,
hipoglikemi, hiperglikemi, henti jantung atau postanoxia, dan juga termasuk ibu hamil
atau pasien yang dipenjara. Pasien juga dieksklusi apabila sebelumnya sudah pernah
mendapatkan terapi selain benzodiazepine untuk status epileptikus atau sedang
terintubasi. Alergi dan kontraindikasi pengobatan seperti gangguan metabolik,
penyakit hati dan gangguan ginjal juga menjadi kriteria ekslusi penelitian ini.

Uji coba pengobatan

Setelah penentuan eligibilitas pasien, selanjutkan tim peneliti melaksanakan uji


percobaan penelitian dengan memberikan jenis obat melalui selang infus, sesuai
dengan protocol yang telah ditentukan. Dosis pemberian obat dan kecepatan infus
disesuaikan dengan berat bedan yang telah diukur sebelumnya atau perkiraan.
Pemberian obat melalui infusion pump disesuaikan untuk periode waktu 10 menit. Obat
yang digunakan adalah levetiracetam (50 mg per milliliter), fosfenitoin (16.66 mg
fenitoin sama dengan [mgPE] per milliliter), atau valproat (33.33 mg per milliliter).

Dosis dan kecepatan infus obat berdasarkan berat badan adalah 60 mg per
kilogram (maksimum, 4500 mg), fosfenitoin 20 mgPE per kilogram
(maksimum, 1500 mgPE), atau valproat 40 mg per kilogram (maksimum, 3000
mg). Setelah 10 menit, pemberian obat uji coba dihentikan. Pemberian terapi lanjutan
dilakukan bila terdapat kejang rekuren setelah 20 menit dimulai dari pemberian obat.

9

Pemberitahuan jenis obat yang digunakan setelah 60 menit diperbolehkan setelah
penentuan outcome primer pasien, namun dilarang jika waktu kurang dari 60 menit.

Outcome
Outcome primer penelitian ini adalah tidak ada kejang kambuhan baik fokal
maupun general, tonik-klonik, pergerakan mata nystagmus atau ritmik serta mioklonus
general atau parsial serta adanya peningkatan kesadaran dalam waktu 60 menit
terhitung dari dimasukannya obat kedalam pasien, tanpa ada tindakan tambahan seperti
pemberian obat jenis lain serta pemasangan intubasi endotrakeal. Peningkatan
kesadaran pasien dinilai dari respon pasien terhadap stimulus, kemampuan mengikuti
perintah dan verbal.
Outcome sekunder uji coba pemberian obat penelitian ini adalah durasi waktu
terminasi kejang, admisi ke ICU, durasi perawatan di ICU atau ruang perawatan biasa.
Waktu terminasi kejang dihitung dari mulainya masuk obat di infus sampai hilangnya
gejala klinis kejang. Klinis pasien yang juga dinilai adalah riwayat durasi kejang
sebelumnya, durasi status epileptikus sebelum pengobatan penelitian ini dan penyebab
kejang.
Safety outcome primer yang harus diperhatikan adalah adanya hipotensi mengancam
jiwa atau cardiac aritmia dalam waktu 60 menit uji coba pemberian obat. Hipotensi
mengancam jiwa ditandai dengan tekanan darah sistolik dibawah nilai normal sesuai
usia pada pengukuran dua kali dalam waktu 10 menit atau lebih, kemudian tetap
dibawah nilai normal setelah pengukaran kecepatan infus obat atau setelah
pemberhentian pemberian obat dan infusion challenge. Cardiac aritmia mengancam
jiwa didefinisikan sebagai aritmia yang ada setelah pengukuran kecepatan infus
pemberian obat, hingga mengharuskan dilakukan tindakan kompresi dada, defibrilasi
atau tindakan atau penggunaan oabt anti-aritmia. Safety outcome lain adalah kematian,
pemasangan intubasi endotrakeal dalam waktu 60 menit, kejang akut rekuren setelah
waktu 60 menit serta akut anafilaksis. Kejang akut rekuren ditandai dengan kejang
klinis atau berdasarkan elektroensefalografi yang mengharuskan pemberian

10

antikonvulsan lain dalam waktu 60 menit sampai 12 jam setelah dimulaikan pemberian
obat. Eksklusi penenteuan kejang aku rekuren adalah pada kasus pemberian profilaksis
antikonvulsan atau obat untuk keluhan lain yang tidak mendukung temuan diagnosis
penelitian pada EEG. EEG tidak dilakukan pada penelitian ini namun data
dikumpulkan sebagai bagian dari terapi untuk pasien.

Analisis statistik
Design penelitian iniadalah response-adaptive comparative-effectiveness.
Pasien secara acak dikelompokan menjadi tiga kelompok uji coba pemberian obat
dengan perbandingan 1:1:1. Randomisasi dilakukan secara bertingkat sesuai dengan
kategori usia (2-17 tahun, 18-65 tahun dan > 65 tahun). Respon keefektifan obat pada
pasien dinilai dengan analisis Bayesian. Kriteria untuk menentukan keefektifan obat
dilihat dari probabilitas > 0.975. Sebanyak 720 jumlah sampel maksimum dari 795
pasien yang terdaftar dapat memberikan kemampuan 90% untuk menentukan obat
mana yang paling efektif dan memiliki true response rate sebesar 65% dan 50% untuk
dua kelompok obat lain.
Analisis primer didasarkan pada intention-to-treat population dan termasuk
juga kasus pasien unik yang termasuk randomisasi. Pasien yang terdaftar lebih dari satu
kali untuk episode berulang status epileptikus hanya dapat terdaftar sebagai responden
untuk analisis efektivitas primer untuk episode pertama status epileptikus saat pasien
datang ke rumah sakit. Analisis sensitivitas sekunder terhadap outcome primer
termasuk pada analisis protokol dan analisis outcome primer. Analisis Binary outcome
meliputi uji chi-square atau uji fisher’s exact tergantung frekuensi kejadian.
Kovariat awal kelompok berdasarkan usia (<18 tahun atau ≥18 tahun), berat
badan (<75 kg atau ≥75 kg), diagnosis akhir, waktu mulai kejang hingga pendaftaran,
jenis kelamin, ras (hitam, putih, atau lainnya), dan kelompok etnis (hispanik atau non
hispanik) dievaluasi secara individual dalam model regresi logistik termasuk kelompok
perlakuan, efek utama kovariat, dan istilah interaksi dengan pengobatan. Tidak ada
penyesuaian yang direncanakan untuk beberapa perbandingan outcome sekunder, dan

11

hasil ini disajikan sebagai estimasi titik dan range interkuartil yang akhirnya tidak ada
kesimpulan yang dapat ditarik.

HASIL
Total 400 pasien yang terdaftar, terdapat 384 pasien unik pada periode tanggal
3 November 2015 hingga 31 Oktober 2017) (Gambar 1), hingga akhirnya registrasi
pasien ditutup pada bulan November 2017 setelah tercapainya perkiraan probabilitas
1% kemungkinan ditemukannya terapi yang paling efektif dan tidak efektif dari analisis
data yang sebelumnya sudah dilakukan.

12

Karakteristik pasien dari tiga kelompok uji coba memiliki kemiripan (Tabel 1).
Total dari 55% pasien adalah laki-laki, 43% pasien berkulit hitam dan 16% pasien ras
hispanik, 39% pasien adalah anak-anak dan ramaja (sampai 17 tahun), 48% pasien
adalah dewasa muda (18-65 tahun) dan 13% pasien orang tua (>65 tahun).

13

Sebagian besar pasien (87%) memiliki diagnosis akhir status epileptikus, dan
10% pasien diantaranya memiliki kejang nonepilepsi. Penyebab status epileptikus
ditunjukan pada Tabel S3. Deviasi dari inklusi pasien adalah administrasi
benzodiazepine berkepanjangan sebelumnya (50 pasien), dosis kumulatif inadekuat
benzodiazepine yang didapatkan sebelum administrasi uji coba penelitian (26 pasien),
dan registrasi pasien tanpa status epileptikus (33 pasoen) serta pasien yang mengalami
kejang nonepilepsi.
Setelah administrasi obat secara acak, pemberitahuan jenis obat yang
digunakan pasca penentuan outcome primer setelah 60 menit dilakukan pada 154
pasien, sebelum 60 menit dilakukan pada 46 pasien namun setelah adanya kegagalan
dari kriteria outcome yang tidak sesuai dengan protocol yang telah ditentukan.
Pemberitahuan jenis obat dilakukan juga sebagai langkah untuk menambah dosis obat
levetiracetam, fosfenitoin atau valproate pada kasus kejang persisten.
Elektroensefalografi dilakukan sebagai tindakan standar dalam waktu 24 jam
setelah kejang pada 60% kasus. Rekaman berkelanjutan atau prolonged dilakukan pada
157 pasien (66%) dari 238 pasien yang dilakukan EEG, dan rekaman 30 menit pada 81
pasien (34%).

Analisis Efektivitas
Pada analisis intention-to-treat, didapatkan pasien yang tidak mengalami kejang
dan perbaikan kesadaran paska 60 menit pemberian antikonvulsan sebanyak 68 dari
145 pasien (47%) pasien dengan levetiracetam, 53 dan 118 pasien (45%) dengan
fosfenitoin dan 56 dari 121 pasien (46%) pasien dengan valproate (Tabel 2 dan Gambar
2).
Posterior probability bahwa levetiracetam lebih baik dari fosfenitoin dan
valproate adalah 0.41, probabilitas fosfenitoin lebih baik dari levetiracetam dan
valproate adalah 0.24 dan probabilitas valproate lebih baik dari levetiracetam dan
fosfenitoin adalah 0.35. Hasil terbukti memiliki kemiripan dengan analisis per-protokol
dan analisis outcome (Tabel 2).

14

Tidak ada interaksi antara tiap kelompok uji coba obat dan kelompok usia atau
interasi dengan covariat lain (Tabel S4). Dari 207 pasien yang tidak mencapai outcome
primer, 144 pasien (70%) diberi tambahan antikonvulsan (Tabel S5). 52 pasien (25%)
tidak mendapat antikonvulsan tambahan dan tidak ada kejang rekuren dalam waktu 60
menit namun tidak ada perbaikan kesadaran dalam waktu 60 menit.

15

Waktu median hilangnya kejang dari dimulainya administrasi obat
antikonvulsan pada 39 pasien yang mencapai kriteria outcome primer adalah 10.5
menit (range interquartile 5.7 sampai 15.5) pada kelompok levetiracetam, 11.7 menit
(range interquartile 7.5 sampai 20.9) pada kelompok fosfenitroin dan 7 menit (range
interquartile 4.6 sampai 14.9) pada kelompok valproate.
Tidak ada perbedaan signifikan antara ketiga kelompok uji coba obat pada
analisis post-hoc pada hilangnya kejang dalam waktu 20 menit setelah inisiasi
pemberian antikonvulsan yang berhasil (Tabel S7). Persentasi kejang akut rekuren
yang membutuhkan antikonvulsan tambahan dalam waktu 60 menit sampai 12 jam
pasca inisiasi admistrasi obat adalah 10,7%, 11,2% dan 11,2%.

Analisis Keamanan

Frekuensi terjadinya hipotensi mengancam jiwa terjadi pada 0.7% kelompok


levetiracetam, 3.2% kelompok fosfenitoin dan 1.6% kelompok valproate, terjadi
aritmia hanya pada 0.7% kelompok levetiracetam, dilakukannya intubasi endotrakeal
pada 20.0%, 26.4% dan 16.8% (Tabel 3).

16

Peneliti tidak mendeteksi perbedaan signifikan frekuensi outcome keamanan
dan hipotensi mengancam jiwa atau aritmia pada 1.3% kelompok levetiracetam, 3.2%
kelompok fosfenitoin dan 1.6% kelompok valproate. Kejadian komplikasi serius
disimpulkan pada Tabel S1. Total 248 kasus kejadian komplikasi serius terjadi pada
42% pasien, dimana kasus yang paling sering terjadi adalah kejang pasca 60 menit,
penurunan kesadaran dan respiratory distress.

DISKUSI
Pada studi ini ditemukan bahwa tidak ada perbedaan signigikan antara
persentase berhentinya kejang pada kelompok levetiracetam, fosfenitoin dan valproate.
Status epileptikus berhenti pada kurang lebih 50% pasien pada masing-masing
kelompok uji coba obat. Kejadian hipotensi dan intubasi endotrakeal paling banyak
terjadi pada kelompok obat fosfenitoin dibandingan dua kelompok lain, dan kejadian
kematian paling banyak terjadi apda kelompok obat levetiracetam namun tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan. Untuk waktu durasi berhentinya kejang dihitung

17

dari inisiasi administrasi antikonvulsan cenderung paling efektif dan paling cepat pada
kelompok obat valproate namun tidak menjadi subjek analisis dikarenakan terbatasnya
rekaman audio tersedia untuk memperkuat bukti batasan hilangnya kejang.
Hasil penelitian ini kontras berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
umumnya merupakan studi observasional tentang hilangnya kejang status epileptikus
yang terbagi menjadi beberapa definisi14-19 Studi retrospektif melibatkan 279 pasien
dewasa dengan status epileptikus refrakter benzodiazepine yang ditentukan mendapat
terapi antikonvulsan menunjukan persentasi berhentinya kejang terjadi pada 51.7%
pasien mendapat levetiracetam, 74.6% mendapat valproate dan 59.6% mendapat
fenitoin, lebih tinggi persentasenya daripada penelitian yang sekarang dilakukan14
Studi meta analisis dari 22 studi menunjukan efektivitas lebih tinggi dari penelitian ini
yaitu levetiracetam sebesar 68.5% dan valproate sebesar 75.5%, namun memeliki
efektivitas yang sama pada kelompok fenitoin yaitu 50.2%.15
Studi Kekuatan studi penelitian ini adalah banyaknya sampel yaitu 400 pasien
dan menggunakan dosis berdasarakan berat badan, sehingga lebih memperkuat
penentuan obat mana yang lebih efektif. Penelitian ini juga menggunakan desain
adaptif statistic untuk meningkatkan kemungkinan membedakan efektivitas masing-
masing terapi.
Limitasi penelitian ini meliputi keperluan memberitahu jenis obat (unblinding)
yang diberikan pada pasien dalam rangka menangani kejang persisten dengan
pemberian antikonvulsan tambahan dan fakta bahwa 10% pasien memiliki kejang
psikogenik nonepileptik. Outcome primer hilangnya kejang ditentukan melalui kriteria
klinis bukan dari EEG, namun tanpa EEG tidak mungkin peneliti bisa membedakan
sedasi postictal atau sedasi terkait dengan benzodiazepine sebab status epileptikus non-
konvulsif sebagai kegagalan terapi pada 52 pasien yang mengalami perbaikan klinis
tanpa kejang rekuren namun tidak ada perbaikan kesadaran dalam waktu 60 menit.

18

Dosis obat pada penelitian ini ditentukan berdasarkan publikasi kasus status
epileptikus namun dosis yang lain dapat memiliki perbedaan efektivitas. Fosfenitoin
memiliki restriksi pada kecepatan infus maksimal, yaitu 10 menit infus dengan dosis
maksimal 1500 mgPE, yang dapat mencapai dosis submaksimal pada pasien dengan
berat bedan > 75 kg.
Kejadian komplikasi serius dicata namun data kejadian komplikasi yang tidak
serius dalam waktu 24 jam tidak dicatat dengan baik, maka kejadian seperti ruam,
peningkatan enzim hati tidak dapat dinilai. Serta ditemukan persentase pasien yang
tinggi yang tidak dapat diinklusi karena dosis benzodiazepine yang dikonsumsi
sebelumnya, namun analisis per-protokol sesuai dengan analisis primer.

KESIMPULAN

Kesimpulannya, fosfenitoin, valproate dan levetiracetam efektis dalam


menangani status epileptikus refrakter benzodiazepine pada sebagian pasien dan tidak
menunjukan perbedaan signifikan terhadap efektivitas dan keamanannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Silbergleit R, Durkalski V, Lowenstein D, et al. Intramuscular versus intravenous
therapy for prehospital status epilepticus. N Engl J Med 2012;366:591-600.
2. Alldredge BK, Gelb AM, Isaacs SM, et al. A comparison of lorazepam, diazepam,
and placebo for the treatment of out-of-hospital status epilepticus. N Engl J Med
2001;345:631-7.
3. Chamberlain JM, Okada P, Holsti M, et al. Lorazepam vs diazepam for pediatric
status epilepticus: a randomized clini- cal trial. JAMA 2014;311:1652-60
4. Cook AM, Castle A, Green A, et al. Practice variations in the management of status
epilepticus. Neurocrit Care 2012;17: 24-30.
5. Riviello JJ Jr, Claassen J, LaRoche SM, et al. Treatment of status epilepticus: an

19

international survey of experts. Neurocrit Care 2013;18:193-200
6. Brophy GM, Bell R, Claassen J, et al.
 Guidelines for the evaluation and man-
agement of status epilepticus. Neurocrit Care 2012;17:3-23.
7. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, et al. Evidence-based guideline: treatment of
convulsive status epilepticus in children and adults: report of the guideline com-
mittee of the American Epilepsy Society. Epilepsy Curr 2016;16:48-61.
8. Gaínza-Lein M, Sánchez Fernández I, Jackson M, et al. Association of time to
treatment with short-term outcomes for pediatric patients with refractory convul-
sive status epilepticus. JAMA Neurol 2018; 75:410-8.
9. Avdic U, Ahl M, Chugh D, et al. Non- convulsive status epilepticus in rats leads to
brain pathology. Epilepsia 2018;59:945- 58.
10. Shinnar S, Bello JA, Chan S, et al. MRI abnormalities following febrile status epi-
lepticus in children: the FEBSTAT study. Neurology 2012;79:871-7.
11. Connor JT, Elm JJ, Broglio KR. Bayesian adaptive trials offer advantages in com-
parative effectiveness trials: an example in status epilepticus. J Clin Epidemiol
2013;66:Suppl:S130-S137.
12. CFR — Code of Federal Regulations: 21CFR50.24. Silver Spring, MD: Food and
Drug Administration, 2018 (https://www.accessdata.fda.gov/scripts/cdrh/cfdocs/
cfcfr/cfrsearch.cfm?fr=50.24).
13. Zhao W, Ciolino J, Palesch Y. Step- forward
randomization in multicenter emergency treatment clinical trials. Acad Emerg Med
2010;17:659-65.
13. Alvarez V, Januel J-M, Burnand B, Rossetti AO. Second-line status epilepti- cus
treatment: comparison of phenytoin, valproate, and levetiracetam. Epilepsia
2011;52:1292-6.
14. Yasiry Z, Shorvon SD. The relative ef- fectiveness of five antiepileptic drugs in
treatment of benzodiazepine-resistant con- vulsive status epilepticus: a meta-
analysis of published studies. Seizure 2014;23:167- 74.
15. Tripathi M, Vibha D, Choudhary N, et al. Management of refractory status

20

epilepticus at a tertiary care centre in a developing country. Seizure 2010;19:109
16. Dalziel SR, Borland ML, Furyk J, et al. Levetiracetam versus phenytoin for sec-
ond-line treatment of convulsive status epilepticus in children (ConSEPT): an
open-label, multicentre, randomised con- trolled trial. Lancet 2019;393:2135-45.
17. Lyttle MD, Rainford NEA, Gamble C, et al. Levetiracetam versus phenytoin for
second-line treatment of paediatric con- vulsive status epilepticus (EcLiPSE): a
multi- centre, open-label, randomised trial. Lan- cet 2019;393:2125-34.
18. Agarwal P, Kumar N, Chandra R, Gupta G, Antony AR, Garg N. Random- ized
study of intravenous valproate and phenytoin in status epilepticus. Seizure
2007;16:527-32.

21

Anda mungkin juga menyukai