Anda di halaman 1dari 42

STUDI EVAUASI BANGUNAN BERTINGKAT AKIBAT BEBAN GEMPA

DENGAN BALOK PRATEGANG SEBAGAI TRANSFER BEAM

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan kepada sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana
Strata 1 (S1) Teknik Sipil

Disusun oleh

Ahmad Risqillah

21601051158

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

MALANG

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perpindahan penduduk dari desa ke kota disebut dengan urbanisasi.
Bertambahnya arus urbanisasi akan diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk di
kota besar sehingga mengakibatkan semakin padatnya pemukiman dan semakin
terbatasnya lahan yang ada. Selain itu, gradien pertambahan penduduk di kota- kota
besar selalu bernilai positif sehingga pertambahan penduduk selalu terjadi setiap
tahunnya.
Salah satu masalah yang akan timbul apabila pertambahan penduduk terus
terjadi adalah semakin terbatasnya ruang. Untuk itu, para ahli konstruksi
mengakalinya dengan membangun ruang ke atas bukan ke samping dalam bentuk
bangunan bertingkat. Bangunan bertingkat (multi-story building) adalah bangunan
yang memiliki lebih dari satu tingkat saja.
Meskipun sepertinya merupakan sebuah solusi yang cukup efektif,
pembangunan bangunan bertingkat tidak semudah seperti yang direncanakan. Ada
beberapa penghambat dalam rencana ini, antara lain adanya heritage building atau
bangunan purbakala yang keberadaannya tidak bisa diganggu gugat. Bangunan
purbakala ini dilindungi sebagai salah satu simbol atau objek wisata kota yang
bersangkutan. Dengan adanya bangunan purbakala, bangunan bertingkat yang
direncanakan tidak bisa dibangun. Oleh karena itu, munculah gagasan untuk
membangun sebuah bangunan bertingkat di atas bangunan purbakala yang
bersangkutan, tanpa mengganggu keberadaan bangunan purbakala.
Pembangunan bangunan bertingkat diatas bangunan purbakala
menimbulkan tantangan baru, dimana struktur bawah dari bangunan bertingkat
terhalangi oleh keberadaan bangunan purbakala. Untuk itu, digunakanlah transfer
beam yang berperan memindahkan gaya-gaya dari struktur atas ke struktur yang ada
di bawahnya. Ketidakberadaan kolom-kolom bangunan bertingkat diharapkan dapat
tergantikan perannya oleh balok transfer ini. Metode

1
2

inilah yang akan menjadi objek dalam penelitian,dimana balok prategang


dalam struktur bangunan bertingkat akan diberikan beban gempa.

1.2 Rumusan Permasalahan


Penggunaaan balok prategang sebagai transfer beam pada bangunan
bertingkat diatas bangunan purbakala merupakan suatu bentuk struktur yang sangat
menarik untuk diteliti. Dengan tujuan membatasi dan mencegah luasnya permasalahan
yang mungkin timbul, perumusan masalah yang diciptakan ialah :
a. Bagaimana karakteristik dinamik (pola ragam getar dan periode getar
bangunan) akibat beban gempa yang bekerja?
b. Bagaimana respon struktur (displacement dan gaya geser lantai) terhadap
beban gempa yang bekerja?
c. Bagaimana kinerja sistem transfer pada balok transfer yang menggunakan
balok prategang serta kinerja kolom-kolom pendukungnya?
d. Bagaimana rasio kebutuhan tulangan struktur terhadap variasi yang akan
dijalankan?

1.3 Tujuan Penelitian


Dengan perumusan seperti yang sudah tertera di atas, tujuan dari penelitian
ini adalah:
a. Untuk menjelaskan perilaku struktur (pola ragam getar, periode getar,
partisipasi massa) akibat beban gempa yang diberikan.
b. Untuk menjelaskan respon struktur terhadap beban gempa yang diberikan.
c. Untuk mengetahui kinerja sistem transfer yang terdiri dari balok prategang serta
kolom pendukung pada struktur.
d. Untuk mencari rasio (kg/m3) tulangan longitudinal yang dibutuhkan pada
setiap komponen struktur dan membandingkannya terhadap berbagai variasi
penelitian.

1.4 Batasan Penelitian


Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini ialah :
4
3

a. Pembebanan yang dilakukan ialah pembebanan gravitasi dan pembebanan


gempa.
b. Variasi yang dilakukan ialah variasi jumlah lantai total dan variasi
ketinggian balok transfer.
c. Denah bangunan dibuat simetris dan terdiri dari dua buah persegi berukuran
18 m x 18 m. Kolom terdapat di setiap jarak 6 m pada gedung.
d. Ukuran kolom :
- Kolom baris pertama tempat diletakannya transfer beam : 1200 x
1200 mm2
- Kolom baris-baris berikutnya : 800 x 800 mm2
e. Ukuran balok :
- Balok induk : 600 x 300 mm2
- Balok anak : 500 x 250 mm2
- Balok prategang sebagai transfer beam : 2500 x 1000 mm2
f. Tebar dinding geser yang digunakan yakni 250 mm. Sistem penahan beban
lateral berupa sistem ganda.
g. Metode konstruksi bangunan sama sekali tidak ditinjau. Tahapan-tahapan
konstruksi serta detailing dari setiap komponen terutama komponen transfer
beam belum dipertimbangkan.
h. Kebutuhan tulangan yang dicantumkan merupakan kebutuhan tulangan teoritis
sesuai dengan yang tertera pada program. Segala hal yang menyimpang dari
standar bangunan yang berlaku akan diabaikan.
i. Rasio tulangan longitudinal balok yang diperhitungkan terbatas hanya untuk
tulangan non-prategang.

1.5 Hipotesis Penelitian


Hipotesis awal penelitian ialah luas tulangan yang didapatkan akan semakin
sedikit dengan menurunnya jumlah lantai. Karakteristik dinamik struktur yang berupa
pola ragam getar dan periode getar berubah-ubah dengan perbedaan jumlah lantai,
semakin sedikit lantai periode getar akan semakin pendek. Semakin sedikit lantai,
respons dinamik struktur juga akan semakin kecil. Untuk pengaruh pertambahan tinggi
transfer beam, semakin tinggi transfer beam, akan semakin rendah periode getar dan
sedikit jumlah tulangan yang dibutuhkan. Hipotesis inilah yang akan diklarifikasi
dalam penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perancangan Bangunan Bertingkat Tahan Gempa


Bagian perancangan bangunan tinggi tahan gempa ini dibagi menjadi empat
yakni : perancangan bangunan tahan gempa, modelisasi dinamik struktur (sistem
Multi-Degree-Of-Freedom), analisis getaran bebas dan getaran paksa, dan respon
spektrum.
2.1.1 Perancangan Bangunan Tahan Gempa
Jika bagian dasar bangunan tiba-tiba bergerak, seperti pada kejadian gempa
bumi, bagian atas bangunan tidak akan merespon secara langsung melainkan akan
diam terlebih dahulu (lag) oleh karena ketahanan inersia dan fleksibilitas bangunan.
Tegangan dan distorsi yang dihasilkan pada bangunan akan sama dengan jika pada
dasar bangunan berada pada kondisi awal ketika gaya horizontal yang bervariasi
terhadap waktu bekerja pada bagian atas bangunan. Gaya tersebut disebut gaya
inersia, merupakan hasil perkalian massa struktur dengan percepatan tanah akibat
gempa. Oleh karena pergerakan tanah akibat gempa ditinjau dalam 3D, deformasi
struktur pada umumnya juga memiliki perilaku 3D (satu horizontal, dua vertikal).
Gaya horizontal yang terjadi akibat gempa lebih dipertimbangkan dalam perancangan
daripada gaya vertikal, karena ketahanan terhadap gaya vertikal biasanya sudah
dipenuhi oleh desain penahan gaya gravitasi.
Beban gempa adalah beban akibat perpecatan tanah yang menghasilkan baik
gaya lateral maupun gaya vertikal, namun gaya lateral lebih dipertimbangkan dalam
perencanaan gedung akibat gempa. Oleh karena itu, dalam gedung harus ada sistem
penahan gaya lateral yang berupa :
Sistem Portal : sistem portal menahan gaya gempa dengan sifat lentur dari
kolom dan balok. Balok, lantai penahan, dan kolom biasanya bertemu pada satu titik
dan titik itu disebut rigid joints. Selama gempa besar terjadi, lendutan per lantai
(penyimpangan lantai) dapat ditahan oleh sistem struktur portal dengan membentuk
sendi-sendi plastis pada balok tanpa membuat kolom roboh. Jenis-

5
6

jenis portal seperti ini mampu menahan pembebanan gravitasi sekaligus memiliki
ketahanan yang cukup terhadap beban lateral ke segala arah.
Sistem Dinding Geser : bangunan dengan dinding geser biasanya lebih kaku
dibanding bangunan dengan struktur portal. Lendutan akibat gaya lateral biasanya
bernilai kecil kecuali rasio tinggi-lebar dari dinding cukup besar sehingga
menyebabkan masalah guling. Guling (overturning) ini terjadi ketika terdapat bukaan
yang melebar pada dinding geser atau ketika rasio tinggi-lebar dari dinding melebihi
nilai 5. Pada beberapa kasus, jika kebutuhan fungsional mengijinkan, gaya lateral yang
bekerja pada gedung dapat ditahan seluruhnya oleh dinding geser. Efek pembebanan
gravitasi pada dinding tidaklah signifikan dan tidak berpengaruh dalam desain.
Sistem Kombinasi / sistem ganda : sistem portal dan sistem dinding geser
dapat digunakan secara bersama-sama dan membentuk sistem kombinasi. Ketika
portal dan dinding geser berinteraksi, sistem dapat dikatakan sistem kombinasi bila
portal sendiri mampu menahan 25% gaya geser nominal yang terjadi. Sistem
kombinasi juga biasa disebut sebagai dual, hybrid, atau sistem dinding-portal.
Sistem penahan gaya lateral akan dibahas pada bagian lain dari bab ini.

2.1.2 Modelisasi Dinamik Struktur (MDOF)


Eksitasi dinamik adalah gaya dinamik, berubah terhadap waktu yang bekerja
pada struktur. Eksitasi dinamik dibagi menjadi dua, yakni eksitasi deterministik dan
eksitasi non-deterministik. Eksitasi deterministik adalah eksitasi yang dapat
dideterminasi, beban yang terjadi terus menerus dengan urutan waktu tertentu. Berupa
gerakan harmonik atau periodik, contohnya getaran akibat mesin dan getaran pada
jembatan akibat kendaraan yang lewat. Eksitas non- deterministik adalah eksitasi
yang bebannya terjadi secara acak dan besarannya diperoleh dari data riwayat waktu
(time history). Contoh eksitasi non- deterministik adalah beban gempa.
Beban gempa yang terjadi pada struktur berupa percepatan tanah Ug(t)
yang arah dan besarnya tidak beraturan. Persamaan keseimbangan dinamik
struktur MDOF akibat beban gempa ialah
7

[M]u + [C]u + [K]u = -[M] ι Ug(t) (2.1)


Dimana
[M] : matriks massa yang simetris dan bersifat semi-definit positif
[C] : matriks redaman yang simetris dan bersifat semi-definit positif
[K] : matriks kekakuan yang bersifat simetris dan definit positif.
ι : faktor pengaruh percepatan tanah.
Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan metode integrasi langsung atau
numerik antara lain metode Newmark, metode Wilson, dan finite difference. Solusi
dari persamaan diatas akan memberikan nilai besarnya lendutan yang terjadi pada
struktur. Untuk bangunan tingkat tinggi, analisis persamaan dinamiknya
menggunakan teori Multi-Degree-Of-Freedom (MDOF).
2.1.3 Analisis Getaran Bebas dan Getaran Paksa
2.1.3.1 Getaran Bebas
Struktur MDOF yang mengalami getaran bebas adalah struktur yang bergetar
tanpa adanya eksitasi dinamik. Struktur mampu bergetar karena sebelumnya diberikan
lendutan/kecepatan awal atau dikatakan struktur diganggu dari posisi seimbangnya
kemudian dilepas. Persamaan keseimbangan dinamik struktur MDOF dengan p(t) = 0
dan tanpa redaman ialah
[M]u + [K]u = 0 (2.2)
Dengan solusi dari persamaan diatas ialah
un(t) = qn(t) φn (2.3)
qn(t) adalah fungsi waktu dari displacement dan φn adalah variabel yang
konstan (tidak berubah terhadap waktu). Fungsi waktu dari displacement merupakan
fungsi gerakan harmonik sederhana
qn(t) = An cos ωn t + Bn sin ωn t (2.4)
dimana An dan Bn adalah konstanta integrasi yang dapat diperoleh dari
kondisi awal yang menimbulkan getaran. Subtitusi persamaan (2.4) ke (2.3)
menghasilkan
u(t) = φn (An cos ωn t + Bn sin ωn t) (2.5)
bila (2.5) disubtitusi ke (2.2) maka
[-ω2mφn + kφn] qn(t) = 0 (2.6)
8

untuk menyelesaikan persamaan (2.6), frekuensi alami ωn dan pola ragam


getar φn harus memenuhi kondisi
kφn = ω2mφn (2.7)
atau dapat ditulis juga
[k-ω2m] φn = 0 (2.8)
dimana φn adalah pola ragam getar dan merupakan nilai eigen dari persamaan, ω
adalah frekuensi alami dan vektor eigen dari persamaan. Persamaan diatas memiliki
solusi trivial jika φn = 0 dan tidak akan terjadi karena φn = 0 tidak akan menghasilkan
gerakan. Solusi non-trivial terjadi jika
det [k-ω2m] = 0 (2.9)
persamaan (2.9) dapat diselesaikan menggunakan metode hasil bagi Rayleigh, iterasi
vektor dengan perubahan, dan metode transformasi (kφ = ω2mφ) . Pada akhirnya,
nilai-nilai ω dan φn dapat diketahui.
Pola ragam getar φn adalah sebuah pola getaran yang terjadi untuk tiap- tiap
mode pada struktur MDOF. Pola ragam getar bersifat orthogonal dimana
nφ Mr φ = 0 jika n ≠ r atau nω ≠ ωr (2.10)
T

dari sifat ortogonalitas pola ragam getar, diketahui bahwa


nKn =φ
n
T
K φ dan
n Mn = φ T nM φ (2.11)
Dimana Kn dan Mn masing-masing adalah kekakuan dan massa
tergeneralisasi untuk mode ke-n. Kn dan Mn digunakan pada analisa pola ragam getar
untuk struktur MDOF yang terkena getaran paksa.

2.1.3.2 Getaran Paksa


Persamaan keseimbangan dinamik untuk struktur MDOF yang mengalami
getaran paksa (dalam hal ini beban gempa) ialah
[M]u + [C]u + [K]u = -[M] ι ug(t) (2.12)
Dengan ι adalah vektor pengaruh percepatan tanah. [M] ι analog dengan
distribusi spasial s dan – ug(t) analog dengan p(t). Oleh karena itu, Гn dan sn dapat
dihitung dengan rumus

Гn = ; sn = Гn m φn (2.13)

respons dari persamaan keseimbangan dinamik (2.15) ialah


un(t) = Гn φn Dn(t) ; fn(t) = sn An(t) (2.14)
9

An(t) = ω2 Dn(t) (2.15)


Dimana un adalah displacement pada DOF ke-n, fn(t) adalah gaya statik
ekivalen yang bekerja pada DOF ke-n, dan An(t) adalah respons pseudo- acceleration
akibat percepatan tanah ug(t), Dn(t) adalah respons pseudo- displacement akibat
percepatan tanah ug(t). Total displacement yang terjadi ialah
u(t) = ∑ u (t) = ∑ Гn φn Dn(t) (2.16)
Suatu struktur MDOF memiliki jumlah pola getar sebanyak DOF yang ada
pada struktur bersangkutan. Setiap pola getar dikatakan memiliki massa masing-
masing atau effective modal mass (Mn*) yang bearti massa yang digerakkan oleh
pola ragam getar ke-n. Effective modal mass dapat dihitung dengan rumus :
Mn* = ∑ (2.17)
dimana rasio partisipasi massa (effextive mass ratio) dapat dihitung
dengan

EMR = (2.18)

dan sesuai SNI 03-1726-2003 EMR minimum haruslah ≥ 90%.


Gaya geser dasar pola getar ke-n (Vbn) pada struktur MDOF dapat
dihitung dengan
Vbn = Mn* An(t) (2.19)
dan momen guling pada dasar struktur (Mbn) yakni :
Mbn = h* Vbn (2.20)
dimana h* = tinggi efektif pola ragam getar.
Keseluruhan analisa diatas merupakan analisa respon riwayat waktu atau
Time History Analysis (THA).
Menurut SNI 03-1726-2003, gaya geser dasar penjumlahan dari seluruh pola
ragam getar harus melebihi atau sama dengan 80% gaya geser dasar statik atau gaya
geser dasar pola ragam getar pertama.
Vb ≥ 0,8 Vb1 = 0,8 V statik (2.21)

2.1.4 Respons Spektrum


Analisa respons spektrum adalah suatu analisis respons struktur MDOF
berdasarkan kurva respons spektrum. Kurva respons spektrum menunjukkan nilai
10

respon struktur maksimum serta periode getarnya, yang diambil dari analisa riwayat
waktu (time-history analysis). Kekurangan dari analisa respon spektrum ialah kurva
respons spektrum tidak menunjukkan kapan terjadinya respons maksimum struktur,
kurva hanya menunjukkan nilai maksimum respons tersebut. Namun analisa respons
spektrum lebih banyak digunakan karena ilmu teknik sipil lebih concern ke nilai
maksimum. Berikut diberikan contoh kurva respon seismik bangunan sesuai dengan
SNI 03-1726-2002 untuk wilayah gempa 4 :

Gambar 2.1. Kurva Respon Seismik Wilayah Gempa 4


Sumber : SNI 03-1726-2002
Dari persamaan (2.16) diketahui bahwa nilai lendutan yang terjadi adalah
:
u(t) = ∑ u (t) = ∑ Гn φn Dn(t) (2.22)
dalam persamaan ini, lendutan yang dicari masih merupakan fungsi
waktu u(t) yang nilainya berubah-ubah. Ketika struktur sudah menggunakan kurva
respons spektrum, nilai respons maksimum dari tiap pola ragam getar dicari dengan
mem-plot periode getar dari pola getar ke kurva respons spektrum. Nilai yang masih
berubah-ubah terhadap waktu menjadi satu nilai tetap dan maksimum. Oleh karena itu
lendutan yang terhitung adalah lendutan maksimum yakni :
u=∑ u= ∑ Гn φn SD (2.23)

dimana spectral displacement (SD) berelasi dengan spectral acceleration


(SA) dan spectral velocity (SV) menurut :
SDn = ωn SVn = ωn2 SAn (2.24)
11

Nilai gaya geser pola ragam getar ke-n menurut analisa respon spektrum
menjadi
Vbn = Mn* . SAn (2.25)
Dan momen guling yang terjadi adalah
Mbn = h* Vbn (2.26)
Lendutan (u), gaya geser dasar (Vbn), dan momen guling (Mbn) yang
dihitung pada persamaan (2.23), (2.25), dan (2.26) adalah respons maksimum struktur
pada pola ragam getar ke-n yang dihitung dengan analisa spektrum respons (r).
Untuk mendapatkan respons maksimum total dari struktur, respons maksimum dari
tiap pola ragam getar ini dijumlahkan dengan beberapa metode yang berbeda. Metode
yang lazim digunakan ialah Sum of The Root of Sum Squares (SRSS) dan Complete
Quadratic Combination (CQC).
a. SRSS
SRSS adalah metode penjumlahan yang tidak mempertimbangkan
hubungan antara pola ragam getar dari suatu struktur bangunan MDOF. SRSS
cocok digunakan untuk bangunan yang memiliki keberaturan, yang periode getar
dari tiap pola getarnya terpisah cukup jauh. Ketika dipakai untuk menganalisis
bangunan tidak beraturan, akurasi metode SRSS jauh berkurang sehingga tidak
pantas digunakan. Kombinasi metode SRSS dirumuskan dengan

ro = ∑ !" (2.27)

dimana ro = jumlah respons maksimum total tiap pola getar dan rno =
respons maksimum pola getar ke-n.
b. CQC
CQC adalah metode penjumlahan yang mempertimbangkan hubungan antara
pola ragam getar dari suatu struktur bangunan MDOF. CQC cocok digunakan pada
bangunan beraturan maupun bangunan tidak beraturan dengan rentang periode getar
yang bervariasi. Kombinasi metode CQC dirumuskan dengan

ro = #∑
% ∑ $% !% ! (2.28)

dimana pin adalah koefisien korelasi yang besarnya ζß


'( ( )ß+, )(
$% = ( -ß ( ( (2.29)
. ) )/' ß.
12

untuk redaman yang kecil dan


0'(( )ß+, )ß+, 1/(
$% = ( -ß . )()/'( ß. ( )ß. )(
(2.30)

untuk redaman yang besar.

2.2 Sistem Struktur Penahan Beban Gravitasi dan Lateral


2.2.1 Sistem Penahan Beban Gravitasi
Sistem penahan beban gravitasi struktur terdiri atas sistem portal (kolom dan
balok) serta transfer beam. Kolom dan balok serta transfer beam membentuk suatu
kesatuan struktur 3 dimensi dan menahan beban gravitasi yang terjadi. Beban
gravitasi berasal dari beban mati berat sendiri struktur dan bekerja pada struktur yang
bersangkutan.
2.2.2 Sistem Penahan Beban Lateral
Sistem penahan beban lateral pada bangunan tinggi umumnya terdiri dari
: sistem dinding geser, sistem rangka pemikul momen, dan kombinasi dari keduanya
atau sistem ganda. Untuk bangunan dengan tinggi lebih dari 40 lantai, sistem ganda
lebih sering digunakan. Pembahasan dari jenis sistem tersebut yakni:
2.2.2.1 Sistem Dinding Geser
Bangunan yang menggunakan dinding geser pada umumnya lebih kaku
dibanding dengan sistem portal sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya
deformasi yang berlebihan. Kekuatan yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan
melakukan detailing pemasangan tulangan transversal dan longitudinal yang tepat
pada dinding geser.
Gaya lateral yang dihasilkan dari gempa akan mengakibatkan gaya geser dan
momen guling pada dinding. Oleh karena pecahan yang besar, gaya geser lateral
hampir seluruhnya masuk ke dinding struktur atau dinding geser. Gaya geser ini akan
mengakibatkan deformasi dinding geser dan mengubah bentuk dinding geser dari yang
tadinya rectangular menjadi parallelogram. Pada ujung dinding geser tempat gaya
bekerja, ada kecenderungan dinding akan terangkat dan ada kecenderungan dinding
akan terdorong ke bawah pada ujung yang tidak dikenai gaya geser. Kecenderungan
ini menimbulkan ketahanan terhadap momen guling.
2.2.2.2 Sistem Dinding Geser Berangkai
13

Pada kebanyakan bangunan geser, terdapat pola bukaan untuk


mengakomodasi kebutuhan akan pintu dan jendela. Beberapa dinding geser yang
terdapat diantara bukaan-bukaan tersebut dinamakan dinding berangkai. Dinding
geser berangkai dihubungkan dengan balok yang disebut link beam.

Gambar 2.2 Dinding Geser Berangkai


Sumber : Reinforced Concrete Design on Tall Buildings, Bungale S taranath

2.2.2.3 Sistem Portal Penahan Momen


Pada sistem ini, gaya lateral yang terjadi dipikul oleh interaksi antara balok
dan kolom. Deformasi ditahan sedemikian rupa pada sistem ini dengan membuat
koneksi rigid antara balok dan kolom. Bangunan tinggi dengan sistem portal penahan
momen dapat meningkatkan gaya tarik dan gaya tekan secara signifikan pada kolom.
Agar kolom terlindungi, ACI 318-05 mensyaratkan bahwa kekuatan lentur kolom
harus 20% lebih besar daripada kekuatan lentur balok pada lantai yang sama. Hal ini
bertujuan agar ketika struktur telah menjadi plastis, sendi plastis terjadi di balok
bukan kolom.
2.2.2.4 Sistem Ganda
Pada sistem ini, portal beton bertulang berinteraksi dengan dinding geser dan
bersama-sama menahan gaya lateral yang terjadi. Oleh karena bentuk lendutan pada
dinding berbeda dengan lendutan pada portal, dinding akan berperilaku seperti
kantilever. Portal yang daktail, berinteraksi dengan dinding yang kaku dapat
menghasilkan besaran disipasi energi yang signifikan dan kemampuan mengontrol
story drift selama terjadi gempa.
14

Gambar 2.3 Bangunan Sistem Ganda


Sumber : Materi Kuliah Struktur Beton Bertulang Lanjut, Steffie Tulimar
Dalam interaksi antara portal-dinding geser, sebuah struktur dikatakan sistem
ganda bila portal menahan lebih dari atau sama dengan 25% gaya geser nominal yang
terjadi. Dalam permodelan, apabila gaya geser pada portal belum mencapai 25% maka
dinding geser dilepas, portal dikenakan gaya gempa 0,25 kali gaya gempa nominal
dan kemudian didesain portal yang menahan 0,25 gaya gempa tersebut.

2.3 Transfer Beam berupa Balok Prategang


2.3.1 Transfer beam dan Pola Keruntuhannya
Transfer beam atau balok transfer adalah adalah balok yang berfungsi untuk
mendistribusikan gaya-gaya secara lateral, dari struktur atas ke struktur yang ada
di bawahnya. Oleh karena itu, balok transfer membutuhkan kekuatan terhadap lentur
dan geser yang sangat kuat. Untuk dapat menciptakan kekuatan ini, ketinggian dari
penampang balok transfer harus dinaikkan jauh lebih banyak dibandingkan balok
biasa (Londhe : 2010). Rasio bentang geser / d balok (rasio a/d) akan berbeda dengan
balok biasa dan membuat mekanisme transfer gaya menjadi berbeda.
Balok transfer juga merupakan komponen horizontal dari sebuah struktur
yang memindahkan gaya gravitasi yang begitu berat dari lantai atasnya melalui
mekanisme geser dengan membentuk retak diagonal. Karena retak diagonal sudah
tercipta, pemahaman konvensional plane remain plane pada analisa balok transfer
15

sudah tidak berlaku lagi. Selain itu, untuk balok tanpa tulangan web, penambahan
ukuran penampang justru akan memperkecil kuat geser penampang. Hal ini dikenali
sebagai size effects.
Dalam perencanaan balok transfer (transfer beam), sangat penting diketahui
pula pola keruntuhan (modes of failure) dari balok transfer yang digunakan. Pola /
mekanisme keruntuhan ini sangat bergantung dari berbagai faktor antara lain : rasio
tulangan longitudinal, rasio tulangan transversal, rasio a/d, dan kuat tekan beton.
Beberapa pola keruntuhan balok transfer akibat kegagalan geser yang mungkin terjadi
ialah :
2.3.1.1 Diagonal Splitting Failure
Pola keruntuhan dimana retak diagonal terbentuk dari titik beban bekerja ke
titik perletakkan. Retak ini akan menganggu aliran gaya geser horizontal dari tulangan
longitudinal ke daerah kompresi beton dan perilaku balok akan berubah dari beam
action menjadi arch action. Pola keruntuhan paling umum ketika mekanisme ini
terjadi ialah gagalnya pengangkuran diujung tension tie balok. Kegagalan ini biasa
dialami oleh balok dengan rasio a/d sangat kecil (0-1).

Gambar 2.4 Keruntuhan Diagonal Splitting Failure pada Balok Beton


Sumber : Plate Reinforced Concrete Beam : Experimental Work, N.K Subedi : 1997

2.3.1.2 Shear-compression Failure


Kegagalan jenis ini ditandai dengan terjadinya retak miring dan bila tidak
disediakan tulangan web, maka retak ini akan mengurangi kekuatan zona kompresi
beton dan kemudian beton akan mengalami kegagalan crushing pada zona kompresi
di atas retak. Oleh karena retak miring lebih cepat berkembang dibanding retak lentur,
kegagalan dicapai ketika nilai momen lentur maksimum
16

belum tercapai. Kegagalan jenis ini biasa dialami oleh balok dengan nilai rasio a/d
1 – 2,5.

Gambar 2.5 Shear Compression Failure


Sumber : Reinforced Concrete Mechanic and Design 3rd edition, James Mac Gregor

2.3.1.3 Shear-flexure Failure


Kegagalan jenis ini diawali dengan terbentuknya retak lentur di tengah
bentang kemudian akibat perubahan konsentrasi tegangan di dekat ujung retakan,
retak kemudian merambat dalam arah miring. Retak flexure-shear tidak dapat
diprediksi dengan menghitung tegangan utama pada balok. Oleh karena itu, persamaan
empiris telah diciptakan untuk menghitung beban flexure-shear. Kegagalan jenis ini
terjadi pada balok dengan rasio a/d 2,5 – 6.

Gambar 2.6 Shear Flexure Failure


Sumber : Reinforced Concrete Mechanic and Design 3rd edition, James Mac Gregor

Pada balok transfer menerus, Singh dalam makalahnya yang berjudul


“Design of Continous Deep Beams using the Strut and Tie Method” menunjukkan
retak tipikal balok transfer selama pembebanan dalam masa bekerja balok adalah
sebagai berikut :
17

Gambar 2.7 Retak Lentur Awal


Sumber : Design of a Continuous Deep Beam using The Strut and Tie Method, Singh :
2006

Gambar 2.8 Retak Miring


Sumber : Design of a Continuous Deep Beam using The Strut and Tie Method, Singh :
2006

Gambar 2.9 Retak Sebelum Kegagalan


Sumber : Design of a Continuous Deep Beam using The Strut and Tie Method, Singh :
2006

2.3.2 Balok Prategang


Menurut definisi ACI, beton prategang ialah beton yang didalamnya
mengalami tegangan internal dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga
dapat mengimbangi tegangan yang terjadi akibat gaya luar sampai batas
18

tertentu. Beton prategang adalah beton yang diberikan tegangan sebelum dibebani oleh
beban kerja. Pada elemen beton bertulang, tegangan ini diberikan dengan menarik
tulangan atau untaian kawat baja yang terdapat pada tendon yang dipasang. Prinsip-
prinsip dasar dari beton prategang yakni :
2.3.2.1 Konsep pertama : sistem prategang untuk mengubah beton menjadi
bahan yang elastis.
Konsep ini ialah konsep yang paling sering digunakan oleh kebanyakan insinyur
dimana beton yang tadinya bersifat getas menjadi bahan yang elastis dengan
pemberian tegangan awal. Beton yang tidak mampu menahan tarikan dan kuat
menahan tekan dibuat sedemikian rupa sehingga mampu menahan tegangan
tarik. Dari konsep ini, lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton.
Karena bersifat elastis, distribusi tegangan juga akan bersifat linier dan analisa
tegangan dapat menggunakan analisa tegangan elastis. Namun penerapan
konsep ini menjadikan beton prategang sangatlah konvensional (tidak
mengijinkan adanya tegangan tarik).
2.3.2.2 Konsep kedua : sistem prategang dengan kombinasi baja mutu tinggi
dan beton.
Konsep yang mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi baja mutu
tinggi dengan beton dimana baja menahan tarik dan beton menahan tekan.
Kedua gaya tersebut membentuk kopel untuk melawan momen eksternal.
Kelebihan pada balok prategang ialah, baja ditarik terlebih dahulu sehingga
mencapai suatu nilai tertentu di bawah kekuatan maksimalnya. Pada beton
bertulang biasa, seringkali beton sudah retak terlebih dahulu pada saat baja
belum mencapai kekuatan penuh. Inilah yang membedakan balok prategang dan
balok beton bertulang biasa.

Gambar 2.10 (a) Sebuah Bagian dari Penampang Balok Prategang, (b)
Bagian dari Balok Beton Bertulang
Sumber : Design of Prestressed Concrete Structures, T.Y Lin – Ned H Burns
19

2.3.2.3 Konsep ketiga : sistem prategang untuk menyeimbangkan beban.


Konsep ini berdasarkan pada pemberian gaya prategang untuk
menyeimbangkan gaya-gaya yang bekerja pada suatu batang sehingga elemen-
elemen yang dikenai bending seperti balok dan pelat tidak akan mengalami tegangan
akibat momen lentur. Konsep ini dikembangkan oleh T.Y Lin dalam bukunya yang
berjudul “Design of Prestressed Concrete Structures”. Anggap ada sebuah balok
diatas dua tumpuan seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.11 Balok prategang diatas dua tumpuan


Sumber : Design of Prestressed Concrete Structures, T.Y Lin – Ned H Burns

Apabila F = gaya prategang, L = panjang bentang, dan h = tinggi parabola,


maka gaya terdistibusi secara merata keatas yang terjadi sebagai pengganti gaya
prategang adalah sebesar
Wb = 8 F h / L2 (2.31)
Jika gaya Wb sebagai pengganti gaya prategang mampu mengimbangi beban
luar yang ada, maka potongan balok hanya akan mengalami tegangan tekan seragam f
= F / A.
Konsep Load Balancing Method ini sangat menguntungkan jika struktur
yang ada merupakan struktur statis tak tentu. Keuntungan bisa didapatkan dari
mudahnya melakukan perhitungan maupun visualisasi struktur prategang.
Dalam pelaksanaan struktur balok prategang, tentunya harus
dipertimbangkan pula kehilangan gaya prategang (loss of prestress) yang dapat
20

dibagi menjadi dua yakni kehilangan sesaat dan kehilangan bergantung-waktu.


Berikut penjelasannya :
Kehilangan sesaat (immediate losses) :
2.3.2.4 Perpendekan elastis beton
Beton akan mengalami perpendekkan pada saat penarikan tendon dilakukan.
Karena tendon yang melekat pada beton di sekitarnya secara simultan juga memendek
maka tendon akan kehilangan sebagian dari gaya prategang yang dipikulnya. Perlu
diketahui bahwa jika hanya ada satu tendon atau jika semua tendon ditarik secara
bersamaan maka kehilangan gaya prategang akibat perpendekan elastis ini tidak akan
terjadi. Besarnya kehilangan prategang akibat perpendekan elastik beton untuk balok
pratarik ialah :
∆fpES = n fcs (2.32)
-3% 9( <9
n = Es / Ec ; f = 61 + ;+ (2.33)

cs
45 :( =

dimana :

∆fpES = kehilangan gaya prategang akibat perpendekan elastis beton


(Mpa)
n = rasio modulus elastis baja dan beton
fcs = tegangan beton pada level titik berat tendon.
Untuk balok pasca-tarik, nilai kehilangan prategang yang terjadi ialah
50% dari yang terhitung pada balok pra-tarik.
2.3.2.5 Kehilangan akibat gesekan
Kehilangan gaya prategang akibat gesekan yang serius biasanya terjadi
diantara tendon dan bahan-bahan di sekelilingnya. Kehilangan ini terdiri dari dua
komponen yakni length effect (untuk segmen tendon lurus) dan curvature effect (untuk
segmen tendon melengkung). Curvature effect terjadi akibat gesekan antara tendon
dan duct yang mengelilinya, ketika tendon ditarik pada ujung balok. Besarnya
kehilangan tegangan dapat dihitung dengan rumus :
f2 = f1 e-µα (2.34)
dimana :
f2 = tegangan akhir (Mpa)
f1 = tegangan awal (Mpa)
µ = koefisien gesek antara strand dengan tendon
21

α = central angle dari setiap segmen tendon.


Sedangkan length effect atau curvature effect terjadi akibat gesekan antara
tendon dengan beton yang mengelilinginya. Kehilangan terjadi akibat
ketidaksempurnaan sepanjang alignment tendon baik dia harped tendons maupun
draped tendons. Perhitungan kehilangan sama dengan curvature effect :
f2 = f1 e-K L (2.35)
dimana :
f2 = tegangan akhir (Mpa)
f1 = tegangan awal (Mpa)
K = koefisien wooble
L = panjang segmen tendon (m).
Kehilangan total akibat kedua efek tersebut dapat
digabungkan menjadi :
∆f = - f1 (µα + K L) (2.36)
2.3.2.6 Kehilangan akibat slip angkur
Kehilangan akibat slip angkur terjadi pada balok pasca-tarik dimana
angkur akan menelusup ke dalam beton ketika dilakukan pembajian tendon.
Kehilangan ini dapat dengan mudah dihilangkan dengan melakukan overstressing
atau pemberian tegangan yang sedikit dilebihkan pada saat penarikan tendon.
Pada umumnya, penelusupan angkur ke beton berkisar antara (6,35 mm sampai
9,53 mm) (Nawy : 1996). Besarnya kehilangan tegangan dapat dihitung dengan
rumus :
∆?
∆fpA = A$ (2.37)
@

dimana :
∆fpA = kehilangan prategang akibat slip angkur (Mpa)
∆A = besarnya defleksi angkur (mm)
L = panjang segmen tendon (mm)
Eps = modulus elastis baja (Mpa)

Kehilangan Jangka Panjang (Long Term Losses)


2.3.2.7 Relaksasi tegangan baja
22

Tendon stress-relieved mengalami kehilangan pada gaya prategang akibat


perpanjangan konstan beton terhadap waktu (creep) dan besarnya pengurangan gaya
bergantung tidak hanya dari durasi gaya prategang yang ditahan, melainkan juga
rasio antara gaya prategang awal dan kuat leleh baja prategang fpi/fpy.
Besarnya kehilangan prategang akibat relaksasi tegangan baja ialah :
H%
∆f = 6BCD; 6 FGI − 0,55; N$′P (2.38)
pRel E
dimana :
∆fpRel = kehilangan prategang akibat relaksasi tegangan baja (Mpa) t
= waktu (jam)
fp’i = tegangan inisial tendon (Mpa)
fpy = tegangan leleh tendon (Mpa)
Kehilangan tegangan seperti ini disebut relaksasi tegangan. ACI 318-09
membatasi tegangan tarik pada tendon prategang adalah sebagai berikut :
Untuk tegangan akibat gaya pendongkrak tendon, fpj = 0,94 fpy tapi lebih
kecil daripada yang terkecil antara 0,8 fpu dan nilai maksimum yang disarankan
pembuat tendon.
Sesaat setelah transfer gaya prategang, fpi = 0,82 fpy tetapi tidak lebih besar
dari 0,74 fpu.
Pada tendon post-tensioned gaya tarik prategang di pengangkuran dan
perangkai sesaat setelah transfer gaya ialah 0,7 fpu.
2.3.2.8 Creep Losses
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa terjadi aliran dalam material
yang dikenai gaya atau tegangan. Aliran lateral atau deformasi ini dinamakan rangkak
(creep). Kehilangan tegangan akibat rangkak terjadi jika dan hanya jika material
dikenai sustain loads atau beban tetap. Kehilangan tegangan akibat rangkak dapat
dicari dengan rumus :
∆fpCR = n Kcr (fcs - fcsd) (2.39)
dimana :
∆fpCR = kehilangan prategang akibat creep (Mpa)
n = rasio antara modulus elastis baja dan beton
Kcr = 2 untuk balok pratarik dan 1,6 untuk balok pasca-tarik
23

fcs = tegangan beton pada elevasi titik berat tendon sesaat setelah transfer
(Mpa)
fcsd = tegangan beton pada elevasi titik berat tendon akibat beban mati
tambahan (Mpa).
2.3.2.9 Shrinkage Losses
Seperti halnya rangkak, susut (shrinkage) juga terjadi pada beton oleh karena
beberapa faktor antara lain proporsi campuran, tipe aggregat, tipe semen, waktu
curing, dan lain-lain. Pada umumnya, 80% susut terjadi pada tahun pertama dari waktu
bekerja struktur. Dalam balok prategang pasca-tarik, kehilangan akibat susut menjadi
sedikit berkurang oleh karena sedikit susut telah terjadi sebelum dilakukan penarikan
pada tendon. Kehilangan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
∆fpCR = 8,2 x 10-6 KSH EPS (1 – 0,06 V/S) (100 – RH) (2.39)
dimana :
∆fpCR = kehilangan prategang akibat susut (Psi)
KSH = koefisien yang bergantung pada lamanya waktu perendaman
EPS = modulus elastic baja prategang (Psi)
V = volume (in3) ; S = keliling (in)
RH = relative humidity.

Jumlah kehilangan gaya prategang secara total dalam presentase prategang


dapat dinyatakan pada tabel berikut.
Tabel 2-1 Presentase Total Kehilangan Gaya Prategang
Pre-tensioned (%) Post-tensioned(%)
Perpendekan elastis dan 4 1
lenturan balok
Rangkak beton 6 5
Susut beton 7 6
Relaksasi tendon 8 8
TOTAL 25 20
Sumber : Design of Prestressed Concrete Structures, T.Y Lin – Ned H Burns
Setelah mengetahui konsep dan adanya kehilangan gaya prategang yang
terjadi, analisis dan desain penampang prategang dapat dilakukan. Analisis yang
24

akan dipaparkan adalah analisis penampang untuk menahan lentur. Andaikan ada
sebuah balok prategang dikenai gaya prategang sebesar F bekerja sejauh
eksentrisitas e dari titik berat, maka tegangan f yang terjadi di serat atas dan
bawah penampang ialah :
Q
f= +Q9I (2.40)
4 4

dan tegangan akibat beban luar yang menghasilkan momen lentur M


dihitung dengan teori elastik biasa.
f= I
(2.41)
=

kombinasi dari persamaan (2.30) dan (2.31) menghasilkan persamaan yang


menyatakan besarnya tegangan total pada penampang beton prategang yakni
f= −Q ±Q9I ± I (2.42)
4 = =

dimana
f = tegangan pada serat yang ingin ditinjau (Mpa)
F = gaya prategang yang terjadi (kN)
A = luas penampang netto beton (mm2)
e = eksentrisitas gaya F dari titik berat penampang (mm)
y = jarak titik yang ingin ditinjau dari titik berat penampang (mm) I
= momen inersia penampang netto (mm4)
Dalam analisis, dapat juga dicari solusi pendekatan dengan menggunakan
penampang bruto beton. Selain itu, analisis dapat dilakukan pada kondisi awal : gaya
prategang penuh dan gaya-gaya luar belum seluruhnya bekerja balok dan kondisi akhir
: gaya prategang sudah mengalami kehilangan dan gaya-gaya luar sudah bekerja
sepenuhnya pada balok.
Tegangan-tegangan yang terjadi pada komponen struktur prategang
dibatasi berdasarkan ACI 318M-08 :
Tabel 2-2 Tegangan yang Diizinkan pada Komponen Balok Prategang

Tegangan yang Diizinkan


Akibat gaya Prategang Segera setelah peralihan
Baja
0,8 fpu / 0,9 fy 0,7 fpu
Segera setelah Peralihan Pada beban Kerja
Beton Tarik Tekan Tarik Tekan
-0,25 √fci’ -0,6 fci' -0,5 √fc’ -0,45 fc'
25

Sumber : Design of Prestressed Concrete Structures, T.Y Lin – Ned H Burns

Setelah dibebani oleh gaya luar, struktur balok prategang akan


mengalami retak pertama pada serat bawahnya dan dapat dihitung dengan analisa
tegangan elastis biasa dengan asumsi bahwa retak pertama terjadi ketika tegangan
di serat bawah mencapai nilai modulus keruntuhan (fr). Berdasarkan persamaan
(2.33), untuk tegangan di serat bawah, rumus tegangan akan menjadi :
Q Q9I I
f=− − + 5S (2.43)
r
4 = =

Q= F: =
Mcr = T U + + (2.44)

4V V
dimana :

Mcr = momen yang mengakibatkan retak pertama pada serat bawah struktur
(kN m)

fr = modulus keruntuhan beton (0,7 NW′)


Setelah terjadi retak, apabila beban bertambah terus maka akan
mengakibatkan bertambahnya defleksi dan pada akhirnya menggagalkan struktur.
Kurva beban dan defleksi pada sebuah struktur balok prategang dapat dilihat pada
gambar berikut :

Gambar 2.12 Kurva Beban-Defleksi Balok Prategang


Sumber : Materi Kuliah Perancangan Bangunan Tinggi dan Beton Prategang, Sjahril A
Rahim

Momen nominal pada balok prategang dapat dihitung dengan rumus :


Mn = Ap fps (d – a/2) (2.45)
26

dimana :
Mn = momen nominal balok prategang (kN m)
Ap = luas tendon (mm2)
Fps = tegangan tendon pada sesaat sebelum gagal (Mpa) ; dapat dicari
dengan iterasi, cara grafis, dan persamaan ACI.
Desain pendahuluan penampang beton prategang untuk menahan lentur dapat
dibentuk dengan prosedur yang sederhana (Lin:1982). Dalam praktek, tinggi
penampang balok (h) biasanya sudah diketahui atau dasumsikan demikian juga
momen total MT pada penampang. Pada beban kerja (serviceability), lengan momen
untuk gaya-gaya dalam dapat bervariasi antara 0,3 h – 0,8 h dengan rata- rata 0,65 h.
oleh karena itu, gaya prategang yang efektif ialah :
F = T = MT / 0,65 h (2.46)
Jika tegangan efektif untuk baja adalah fse, maka luas baja yang diperlukan
yakni:
FQ
XY
Aps = = (2.47)
E,Z[ \ FXY

Gaya prategang total Aps fse sama dengan gaya C pada penampang beton.
Gaya ini akan menimbulkan tegangan satuan rata-rata pada beton yakni
] ^ 4_XFXY
= = (2.48)
4V 4V 4V

Tegangan serat rata-rata untuk desain pendahuluan dapat diambil kira- kira
50% tegangan maksimum fc’, dibawah beban kerja. Hal ini menghasilkan
4_XFXY 4 _XFXY
= 0,5 NW H ; aW = (2.49)
4V E,[ FVH

Pendekatan dalam desain pendahulan ini hanya terdapat pada koefisien 0,65
dan 0,5. Koefisien-koefisien ini sangat bervariasi, tergantung pada bentuk penampang.
Namun dengan pengalaman dan pengetahuan yang cukup,
pendekatan dapat diperbaiki tingkat akurasinya sehingga preliminary design
mendekati design akhir.

Balok Prategang Menerus (Continous Prestressed Beams)


Dalam pelaksanaan struktur bangunan, seringkali diperlukan balok prategang
yang dipasang berada dalam keadaan “menerus” atau continous dimana satu bentang
balok terletak diatas beberapa perletakkan. Hal ini membawa
27

beberapa kerugian antara lain desain yang tercipta tidak ekonomis karena momen
sangat bervariasi sepanjang bentang dan terjadinya kehilangan akibat geser yang besar
karena perbedaan kelengkungan tendon.
Namun demikian, struktur balok menerus memberikan beberapa
keuntungan juga antara lain momen pada struktur menerus (struktur statis tak tentu)
akan lebih kecil dibanding pada struktur satu bentang. Selain itu, alat pengangkuran
yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit dan hal ini mengakibatkan pengurangan biaya
penarikan secara signifikan. Defleksi pada struktur juga lebih kecil karena nilai
momennya yang kecil dan menimbulkan ketahanan terhadap beban lateral yang baik
pada frame yang kaku.
Perbedaan paling mendasar dari balok prategang satu bentang dengan balok
prategang menerus ialah keberadaan reaksi yang menahan defleksi akibat prategang
(camber) pada struktur menerus. Reaksi ini kemudian menimbulkan secondary
moment atau momen sekunder pada struktur prategang.
Jika pada balok satu bentang, beban akibat berat sendiri balok prategang
tidak diperhitungkan, dan bila balok dikenai gaya prategang eksentrik, maka resultan
tegangan tekan (C-line) pada potongan penampang akan berhimpit dengan titik berat
baja prategang seperti ditunjukkan pada gambar berikut :

Gambar 2.13 Penampang Balok Prestress Simple Span


Sumber : Design of Prestressed Concrete Structures, T.Y Lin – Ned H Burns

Momen lentur akibat prategang dapat dicari dengan mengalikan gaya


prategang dan jarak antara cgc dan cgs sepanjang bentang, balok akan berdefleksi ke
atas akibat prategang (camber) namun tidak ada reaksi eksternal yang diciptakan.
Pada balok menerus, kondisinya lebih rumit. Momen akibat prategang kini akan
disebut sebagai momen primer (primary moment) dan akan menyebabkan defleksi
ke atas seperti pada kasus balok simple span. Namun
28

defleksi ini ditahan oleh redundant perletakkan, dan reaksi perletakkan dari redundant
tersebut akan menimbulkan momen sekunder (secondary moment) pada balok.
Nilai momen total bisa didapatkan dengan menjumlahkan nilai momen primer dan
momen sekunder.

Gambar 2.14 (a) Balok Prategang Menerus ; (b) Lendutan yang Terjadi
apabila Reaksi di Tengah Bentang Diabaikan ; (c) Reaksi Perletakkan di Tengah
Bentang akibat Prestressing ; (d) Defleksi Balok yang Sebenarnya Akibat
Prestressing
Sumber : Design of Prestressed Concrete, Arthur H Nilson

Dengan bentuk balok seperti pada gambar 2.14, momen akibat


prestressing akan menjadi :
29

Gambar 2.15 (a) Momen Primer Sebagai Hasil Perkalian Gaya Prategang
Dengan Eksentrisitas terhadap cgc ; (b) Momen Sekunder Akibat Reaksi
di Tengah Bentang ; (c) Momen Total
Sumber : Design of Prestressed Concrete, Arthur H Nilson

Pada balok menerus, letak C-line tidak akan berhimpit dengan cgs line oleh
karena keberadaan momen sekunder dan jarak antara kedua lokasi ini ditentukan
dengan rumus :
y = M2 / P (2.50)
dimana
y = jarak antara C-line dan cgs line (m)
M2 = momen sekunder (kN m)
P = besarnya gaya prategang (kN)

Gambar 2.16 Lokasi C-line dan cgs line pada Balok Menerus
Sumber : Design of Prestressed Concrete, Arthur H Nilson

Dan untuk menganalisa tegangan pada potongan, digunakan nilai e* yakni


jarak antara C-line dengan cgc line. e* dihitung dengan rumus
30

e* = MTOTAL / P (2.51)
dimana
y = jarak antara C-line dan cgc line (m)
MTOTAL = momen sekunder (kN m)
P = besarnya gaya prategang (kN),
dan tegangan yang terjadi pada serat atas dan bawah potongan pada
kondisi service ialah (murni akibat prestressing) :
fatas = − 39 (1 − 9∗ Vb) (2.52)
4 :(

fbawah = − 39 (1 + 9∗ V() (2.52)


4 :(
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Permodelan Struktur


Struktur yang ditinjau dalam penelitian ini ialah sebuah bangunan bertingkat
perkantoran yang dibawahnya terdapat bangunan purbakala sehingga harus
menggunakan transfer beam sebagai pengganti kolom. Nantinya struktur akan
dianalisis dengan menggunakan program ETABS v9.6.0 Adapun spesifikasi dari
ukuran struktur ialah :
• Luas : 648 m2
• Panjang : 18 m (jarak antar kolom 6 m)
• Lebar : 36 m (jarak antar kolom 18 m pada baris pertama dan 6 m pada
baris-baris berikutnya)
• Tinggi : bervariasi antara 4, 6, dan 8 lantai (tiga lantai pertama masing-
masing berjarak 4 m, lantai-lantai berikutnya 3,6 m)
• Ukuran kolom : 1200 x 1200 mm2 untuk kolom baris pertama dan 800 x 800
mm2 pada baris-baris berikutnya.
• Ukuran balok induk : 400 x 600 mm2 (bentang 6 m) dan 400 x 900 mm2
(bentang 12 m)
• Ukuran balok anak : 500 x 250 mm2
• Tebal shear wall : 250 mm
• Ukuran transfer beam : 1000 x 2500 mm2 dan terletak pada lantai 3 baris
pertama bangunan.

Berikut dapat dilihat denah dari struktur lantai dasar.

31
32

Gambar 3.1 Denah Struktur Lantai Dasar


Sumber : Hasil Olahan Penulis

Denah lantai 3 dimana sudah ada transfer beam

Gambar 3.2 Denah struktur lantai 3


Sumber : Hasil Olahan Penulis

Dan berikut adalah denah lantai 4 dimana kolom-kolom sudah terpasang


di transfer beam
33

Gambar 3.3 Denah struktur lantai 4


Sumber : Hasil Olahan Penulis

Tampak depan portal bangunan adalah sebagai berikut :

Gambar 3.4 Tampak Depan Portal Bangunan


Sumber : Elevation View Model dari Program ETABS

Bentuk 3d dari bangunan dengan 8 lantai adalah sebagai berikut :


34

Gambar 3.5 Bentuk 3D Bangunan


Sumber : 3D View Model dari Program ETABS
Bangunan dalam penelitian akan dianalisis secara 3 dimensi dan
menggunakan bahan-bahan yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
• Beton
Kuat tekan fc ‘ : 33 Mpa
Modulus Elastis : 4700 √fc′ = 27000 Mpa
Berat Jenis Beton : 2400 kg/m3
• Beton untuk Transfer Beam
Kuat tekan fc ‘ : 33 Mpa
Modulus Elastis : 4700 √fc′ = 27171,78 Mpa
Berat Jenis Beton : 2400 kg/m3
Baja tulangan
Tegangan Leleh : 400 Mpa
• Untaian Kawat Prategang
Jenis : uncoated seven wire strand – low relaxation
Diameter nominal : 12,7 mm
Berat nominal : 1,1 kg/m
UTS : 183,7 Kn
35

Kuat leleh : 1670 Mpa


Tegangan maks : 1860 Mpa
Luas nominal : 98,71 mm2
Modulus Elastis : 190.000 Mpa
3.2 Variasi Permodelan
Dalam penelitian ini, dilakukan dua buah variasi permodelan yang
dijalankan. Variasi pertama adalah jumlah lantai, dan variasi kedua adalah variasi
denah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam uraian berikut :
3.2.1 Variasi Jumlah Lantai
Variasi pertama yang menjadi objek penelitian adalah variasi jumlah lantai.
Jumlah lantai diprediksi akan berpengaruh terhadap karakterisitik dan respon
dinamik dari struktur yang bersangkutan.

Gambar 3.6 Variasi Jumlah Lantai (4,6, dan 8 lantai)


Sumber : 3D View Model Program ETABS

3.2.2 Variasi Tinggi Transfer Beam (TB)


Variasi kedua sekaligus terakhir yang digunakan dalam penelitian ini ialah
variasi tinggi transfer beam. Dalam variasi ini, kontrol dilakukan terhadap bangunan
6 lantai namun tinggi balok prategang yang digunakan adalah 2000
36

mm, 1800 mm, dan 1600 mm. Perbedaan tinggi balok prategang (transfer beam)
diprediksi akan menimbulkan perbedaan pada respon struktur yang ditimbulkan:

3.3 Pembebanan Struktur


Pembebanan Struktur Meliputi
3.3.1 Pembebanan Gravitasi
• Beban Mati
Berat sendiri struktur beton (γ = 24 Kn/m3)
Mortar dan penutup pelat lantai : 1,1 Kn/m2
MEP : 0,3 Kn/m2
Dinding bata : 2,5 Kn/m3
Partisi dalam : 1 Kn/m2
• Beban hidup
Lantai perkantoran : 2,5 Kn/m2
Lantai atap : 1 Kn/m2
3.3.2 Pembebanan Gempa
• Wilayah gempa
Gedung perkantoran yang diteliti diasumsikan berada di wilayah Jakarta.
Bersasarkan SNI 03-1726-2002 mengenai ketahanan bangunan terhadap gempa,
Jakarta termasuk dalam wilayah gempa ke 3 dan memiliki percepatan puncak muka
tanah 0,3 g.
• Jenis tanah
Daya dukung tanah yang ada : tanah lunak.
• Faktor keutamaan bangunan tahan gempa
Untuk berbagai kategori gedung, bergantung pada probabilitas terjadinya
keruntuhan struktur gedung selama umur gedung dan umur gedung tersebut yang
diharapkan, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu
Faktor Keutamaan I menurut persamaan :
I = I1I2 (3.1)
di mana I1 adalah faktor keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang
gempa berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur
gedung, sedangkan I2 adalah faktor keutamaan untuk menyesuaikan perioda
37

ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut. Faktor-faktor


keutamaan I1, I2 dan I ditetapkan menurut Tabel:
Tabel 3-1 Faktor Keutamaan I pada Bangunan
Faktor keutamaan
Kategori Gedung
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk
penghunian, perniagaan dan 1,0 1,0 1,0
perkantoran
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti
rumah sakit, instalasi air bersih,
pembangkit tenaga listrik, pusat 1,4 1,0 1,4
penyelamatan dalam keadaan darurat,
fasilitas radio dan televisi
Gedung untuk menyimpan bahan
berbahaya seperti gas, produk minyak 1,6 1,0 1,6
bumi, asam, bahan bercun
Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5
Sumber : SNI 03-1726-2002
Untuk bangunan perkantoran seperti gedung dalam penelitian, diambil
faktor keutamaan I = 1.
• Faktor reduksi R
Faktor reduksi beban gempa merupakan nilai rasio antara beban gempa
maksimum akibat pengaruh gempa rencana pada struktur bangunan dengan beban
gempa nominal pada struktur bangunan daktail. Faktor reduksi gempa bergantung
pada sistem penahan beban lateral yang digunakan pada bangunan. Untuk gedung
dalam penelitian, sistem penahan gaya lateral menggunakan sistem ganda shear wall
dengan dan Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM) + balok
prategang diambil nilai R sebesar 5,5 pada arah memanjang. Untuk arah
memendek digunakan sistem tunggal Dinding Geser Daktail Parsial dengan R =
5,5.
• Respon Spektrum
38

Koefisien pengaruh gempa C pada wilayah 3 dapat dilihat pada spektrum


respons di bawah :

Gambar 3.7 Spektrum Respons Gempa Rencana Wilayah 3


Sumnber : SNI 03-1726-2002
• Pengaruh Gempa Vertikal
Balok transfer dalam struktur yang akan diteliti memiliki kepekaan yang
tinggi terhadap beban gravitasi sekaligus memiliki bentang yang relatif panjang
dibanding dengan komponen lainnya. Oleh karena itu balok transfer harus
diperhitungkan terhadap komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa yang terjadi.
Pergerakan vertikal ini dapat ditinjau sebagai beban vertikal statik ekuivalen yang
arahnya bisa ke atas maupun ke bawah. Faktor respons gempa vertical Cv dapat
dihitung dengan rumus :
Cv = ψ Ao I (3.4)
Dimana :
Ψ = koefisien yang bergantung pada wilayah gempa
Ao = percepatan puncak batuan dasar
I = faktor keutamaan bangunan gedung
Besarnya ψ dapat dilihat pada tabel di bawah
Tabel 3-2 Besarnya koefisien Ψ untuk menghitung Cv
Wilayah Gempa Ψ
1 0,5
2 0,5
39

3 0,5
4 0,6
5 0,7
6 0,8
Sumber : SNI 03-1726-2002
3.4 Skema Analisa Struktur
Dalam penelitian ini, output yang diharapkan berhasil didapatkan ialah
karakteristik dinamik dan respons struktur. Karakteristik dinamik berupa pola ragam
getar dan periode alami. Sedangkan respons struktur berupa displacement (u), gaya
geser dasar, dan tulangan Adapun skema penelitian dan skema analisis struktur yang
yakni :

Gambar 3.8 Skema Penelitian


Sumber : Hasil Olahan Peneliti
Skema analisa struktur dapat dilihat pada gambar dibawah :

START

NOT OK

OK

Gambar 3.9 Skema Analisa Struktur


Sumber : Hasil Olahan Peneliti

Anda mungkin juga menyukai