Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik (PJR) saat ini masih

menjadi penyebab signifikan penyakit kardiovaskuler di dunia. Kendati telah

ada penurunan insiden demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik

pada negara maju lima dekade terakhir, sekuel kardiovaskuler nonsupuratif

dari faringitis streptokokus grup A masih menjadi masalah medis dan

kesehatan masyarakat baik pada negara maju maupun berkembang. Efek

paling parah adalah pada anak-anak dan dewasa muda ditahun tahun produktif

mereka.1
DRA merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak

usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan

sosio ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Keterlibatan jantung menjadi

komplikasi terberat dari DRA dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas

yang signifikan.2,3
Meskipun mekanisme patogen penyebab masih belum sepenuhnya

ditetapkan preventif dan manajemen optimal telah bembah dalam 15 tahun

terakhir. Untuk membuat informasi ini tersedia bagi dokter dan petugas

kesehatan masyarakat, WHO mengadakan konsultasi pakar untuk

memperbarui dan menyebarluaskan dokumen dari tahun 1988. Demam

reumatik dan PIR tetap harus ditaklukkan, namun hingga hal tersebut tercapai,

1
metode optimal untuk pencegahan dan manajemen tetap dibutuhkan

Rekomendasi pada dokumen ini didasarkan literatur medis terbaru. Segala

usaha telah dilakukan untuk membuat dokumen praktis dan pada saat

bersamaan memberikan referensi yang tepat dengan informasi tambahan bagi

para dokter.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2
Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan

komplikasi dari faringitis streptokokus grup A yang disebabkan oleh respons imun

tertunda.

Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik (PJR) adalah suatu

sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptokokus beta hemolitik grup

A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau

lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan

dan eritema marginatum

2.2 Epidemiologi

Epidemiologi Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-

250.000 kematian bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian

akibat penyakit jantung pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.4

Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1

November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per

100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara

berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.

Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia

akibat penyakit tersebut.4

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,

meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa

prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak

sekolah.4

3
2.3 Etiologi

Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam

reumatik. Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem

yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai

faktor predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh

inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang

menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan

perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling

banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan

katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.1

Streptokokus beta hemolitikus dapat dibagi menjadi beberapa grup

serologis berdasarkan antigen polisakarida pada dinding sel. Bakteri yang

tergolong dalam grup serologis A (Streptococcus pyogenes) dapat dibagi lagi

menjadi lebih dari 130 tipe M yang berbeda yang bertanggung jawab pada

kebanyakan infeksi pada manusia. Selain itu, hanya faringitis yang disebabkan

oleh streptokokus grup A saja yang dihubungkan dengan etiopatogenesis demam

reumatik dan PJR.1

2.4 Etiologi

Penyebab terjadinya MH tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan adanya

peranan kelainan kromosomal.6,9 Sel sperma membuahi ovum abnormal yang

tidak memiliki nukleus (atau kromosom) pada CMH. Penyebab terbentuknya

4
ovum abnormal tersebut tidak diketahui. Bila fertilisasi dengan kondisi tersebut

berlangsung, perkembangan normal tidak akan terjadi, tidak akan terbentuk

chorion, amnion atau korda umbilikalis dan fetus juga tidak terbentuk. Sebaliknya

sel 5 trofoblast pembentuk plasenta akan berkembang pesat menjadi CMH. 4,5

Embrio atau janin pada PMH secara parsial berkembang tetapi biasanya tidak

bertahan hidup sampai rata-rata minggu kedelapan akan mati. Kebanyakan

kehamilan dianggap berisiko tinggi dan dapat berakibat fatal terhadap ibu. 8,9 CMH

dapat berkembang setelah terjadinya abortus ataupun dari sisa-sisa sel trofoblast

setelah kehamilan aterm.9

2.5 Patogenesis Demam Reumatik

Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif

misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan

penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah

inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring

menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan

demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.5

Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu minggu setelah gejala

faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak

langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi

penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat

mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik. 5

5
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik

berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari

60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.

Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan

katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan

berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar

(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis.

Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam

patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang

berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,

faktor host dan faktor sistem imun. 5

Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme

penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini

sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini

memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility

complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang

apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen

bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis

rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik

Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga

menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase,

dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. 5

6
Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya

untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi

tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh

memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta

hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme

dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh. 5

Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta

hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1)

Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun

tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat

atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan

cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi

reseptor permukaan. 5

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari

streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama

dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan

Nasetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari

reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan

lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M

yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti

protein M. Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,

7
Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan

katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular. 5

Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan

peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi

memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker

menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II

berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart

disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol

imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada

reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan

humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR yang paling berhubungan dengan

rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular. Lesi valvular pada rheumatic fever

akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin dan sel darah

yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan

menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang

veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari

endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan. Kelainan pada

valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65- 70% kasus). 5

Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda

tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan

volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya

atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium

8
kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila

kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga

dapat terjadi. 5

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup

aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke

ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain,

dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang

terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot

papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan

hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang

selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan. 5

2.6 Diagnosis

Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever


menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
2.6.1 Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit
tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-
anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin
tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat
badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien
juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di
bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan

9
kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi
Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.
2.7 Gambaran klinis

Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi

beberapa kali. Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu

manifestasi mayor dan minor.

Tabel.1 kriteria demam reumatik

2.7.1 Karditis

10
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi

setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis.

Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak

nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada

pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia

yang tidak sesuai dengan tingginya demam.

Tabel 2 Manifestasi sesuai ganguan katup jantung

Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising pansistolik di apeks,
Regurgitasi Mitral menyebar aksila dan punggung
- Murmur mid-diastolik (carrey combs
murmur) di apeks
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri,
menyebar ke apeks
Regurgitasi Aorta
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik
tinggi, sedangkan diastolik sangat
rendah bahkan hingga 0 mmHg)
- Aktivitas ventrikel kiri negative
Stenosis Mitral - Bising diastolik di daerah apeks,
dengan S1 mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup

yang parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea,

distensi vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.

11
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang

redup, suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi

perikardium dan tamponade perikardium yang mengancam.1,5

2.7.2 Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi

pada sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi

Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai

dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat

yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi

yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut,

pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan

berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh

spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada

sebagian besar pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak

menetap lebih dari dua atau tiga minggu.1,5


2.7.3 Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua

kali lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni

beberapa bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini

mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal,

dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga

minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya

emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang

12
tidak disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot

dapat terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok.

Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun

menghilang saat beristirahat.1,5


2.7.4 Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang

terjadi kurang dari 10% kasus. 12 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan

yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah

berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung)

dan ekstremitas.1,5
2.7.5 Pengelolaan Mola Hidatidosa
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus

terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan

persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di

atas kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak

nyeri, tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya

terjadi beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam

waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat.
2.7.6 Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam

waktu 2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa

disertai tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering

dijumpai. Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan

akut pada 9 pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP

13
umumnya meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk

menilai perkembangan penyakit.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk

mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium

- Reaktan Fase Akut. Merupakan uji yang menggambarkan radang

jantung ringan. Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan

leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak

spesifik. Marker inflamasi akut berupa Creactive protein (CRP) dan

laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan

bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever

terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan

congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan

indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat

aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis

rheumatic fever aktif.

- Rapid Test Antigen Streptococcus. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi

antigen bakteri Streptococcus grup A secara tepat dengan spesifisitas

95 % dan sensitivitas 60-90 %.

- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus. Kadar titer antibodi

antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis rheumatic fever

14
muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan adalah

antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.

Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi

peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO

biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak

minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-

anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai

meningkat minggu 1-2 dan mencapai 10 puncak minggu ke 6-8. Nilai

normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 :

480 unit anak usia sekolah

- Kultur tenggorok. Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui

ada tidaknya streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini

sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini

umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart

disease mulai muncul.

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan

kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.

Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval

PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk

usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20

detik.

15
c. Pemeriksaan Ekokardiografi

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk

mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi

perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan

karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan

pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi

mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah

dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke

posterolateral.

2.9 Tata Laksana

Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis

besar bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup

A, menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif

untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk

mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau

komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa.

16
Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol.

Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

2.9.1 Terapi Antibiotik

Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang

sangat penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen

Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta

hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder

jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta

hemolyticus grup A faring yang berulang.

Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek

bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi

regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum

obat), harga, dan juga efek samping,

Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin

oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring

pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik

selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri

Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih

dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam

lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien

yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat

rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di

17
lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat

penduduk, status sosio-ekonomi rendah).

Tabel 3 Obat Antibiotik Pada RHD

18
2.9.2 Terapi Anti Inflamasi

Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya

merespon cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini

utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan

gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid.

Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik

dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.

Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai

diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-

125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis

19
dapat diturunkan menjadi 15 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien

yang alergi terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.

Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone

dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1

kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu.

Pada kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan

dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis

terhadap terapi.

2.9.3 Terapi Gagal Jantung

Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap

tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa

pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa

digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah

dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor

dan atau digoxin.

20
Tabel 4 Obat untuk gagal jantung pada RHD

2.9.4 Terapi Operasi

Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami

perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk

penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi

katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami

gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi.

a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat

dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan,

perlu dilakukan operasi.

21
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut

(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart

disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi

atau penggantian katup.

c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.

Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih

banyak dikerjakan.

d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau

kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.

2.10 Prognosis

Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami

kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak

episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh

semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan

serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar.

Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12

minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien

dengan tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan

serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi

60%.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku ajar jantung


2. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber M. The global burden of group A
streptococcal diseases. Lancet Infect Dis. 2005; 5(11):685–94.
3. 5. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic fever
and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011; 3:67–84
4. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO
Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29
October–1 November 2001.
5. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Dokumen Ukmppd
    Dokumen Ukmppd
    Dokumen1 halaman
    Dokumen Ukmppd
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • FORMAT YBK DEK
    FORMAT YBK DEK
    Dokumen1 halaman
    FORMAT YBK DEK
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Cover DBD Ikm Print
    Cover DBD Ikm Print
    Dokumen7 halaman
    Cover DBD Ikm Print
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Tugas DR Ayu
    Tugas DR Ayu
    Dokumen3 halaman
    Tugas DR Ayu
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Dokumen Ukmppd
    Dokumen Ukmppd
    Dokumen1 halaman
    Dokumen Ukmppd
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar-1
    Kata Pengantar-1
    Dokumen4 halaman
    Kata Pengantar-1
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • KERACUNANOVERDOSISOBAT
    KERACUNANOVERDOSISOBAT
    Dokumen36 halaman
    KERACUNANOVERDOSISOBAT
    nurjannahismi
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Menular Seksual Ringkasan
    Penyakit Menular Seksual Ringkasan
    Dokumen20 halaman
    Penyakit Menular Seksual Ringkasan
    Dirga Setyawan
    Belum ada peringkat
  • Oms Kover
    Oms Kover
    Dokumen4 halaman
    Oms Kover
    Tosanajiku
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Nor Mastaniah Cumi
    Belum ada peringkat
  • Referat OMS BAB 2
    Referat OMS BAB 2
    Dokumen11 halaman
    Referat OMS BAB 2
    candra25_
    Belum ada peringkat
  • 1-Laringoskopi by Gufron
    1-Laringoskopi by Gufron
    Dokumen80 halaman
    1-Laringoskopi by Gufron
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Laringoskopi
    Laringoskopi
    Dokumen21 halaman
    Laringoskopi
    Gyuvron Captain Lord
    100% (1)
  • Coba Spss
    Coba Spss
    Dokumen9 halaman
    Coba Spss
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Demam Berdarah Dengue
    Demam Berdarah Dengue
    Dokumen2 halaman
    Demam Berdarah Dengue
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Paru
    Paru
    Dokumen12 halaman
    Paru
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Nor Mastaniah Cumi
    Belum ada peringkat
  • Book 1
    Book 1
    Dokumen2 halaman
    Book 1
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Vitiligo Ardi
    Vitiligo Ardi
    Dokumen23 halaman
    Vitiligo Ardi
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • DMK Ardi-Dr Puguh SPPD
    DMK Ardi-Dr Puguh SPPD
    Dokumen13 halaman
    DMK Ardi-Dr Puguh SPPD
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen1 halaman
    1
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Cover Mola H
    Cover Mola H
    Dokumen5 halaman
    Cover Mola H
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Referat Anemia Defisiensi Besi (Anak)
    Referat Anemia Defisiensi Besi (Anak)
    Dokumen35 halaman
    Referat Anemia Defisiensi Besi (Anak)
    Nita Rahmatunnisa
    86% (7)
  • Vitiligo Ardi
    Vitiligo Ardi
    Dokumen23 halaman
    Vitiligo Ardi
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Vitiligo
    Daftar Isi Vitiligo
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Vitiligo
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Cover Mola H
    Cover Mola H
    Dokumen5 halaman
    Cover Mola H
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen1 halaman
    1
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat
  • Cover Mola H
    Cover Mola H
    Dokumen5 halaman
    Cover Mola H
    Ardi Sudiatmika
    Belum ada peringkat