Anda di halaman 1dari 32

PEMBACAAN AKTA NOTARIS MELALUI VIDEO CONFERENCE

DITINJAU DARI UNDANG UNDANG JABATAN NOTARIS

Naskah Publikasi

Penelitian Pascasarjana

Magister Kenotariatan

Diajukan oleh

Nabila Febrina Adawiyah

17/418058/PHK/09950

Kepada

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
PEMBACAAN AKTA NOTARIS MELALUI VIDEO CONFERENCE
DITINJAU DARI UNDANG UNDANG JABATAN NOTARIS

NASKAH PUBLIKASI

Untuk

Berkala Penelitian Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada

Dipersiapkan dan disusun oleh

Nabila Febrina Adawiyah

17/418058/PHK/09950

Yogyakarta, 25 Juli 2019

Telah disetujui oleh pembimbing

Dr. Harry Purwanto, S.H., M.Hum


PERNYATAAN

Dengan ini kami selaku pembimbing tesis mahasiswa Program Pascasarjana


:

Nama : Nabila Febrina Adawiyah

No. Mahasiswa : 17/418058/PHK/09950

Program studi : Magister Kenotariatan

Setuju/tidak setuju*) naskah ringkasan penelitian (calon naskah berkala


penelitian program pascasarjana)

Yang disusun oleh yang bersangkutan dipublikasikan dengan/tanpa*)


mencantumkan nama pembimbing sebagai co –author

Kemudian harap maklum,

Yogyakarta, 25 Juli 2019

Pembimbing,

Dr. Harry Purwanto, S.H., M.Hum

*) Coret yang tidak perlu


A. Latar Belakang
Notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN-P adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang ini. Notaris sebagai
pejabat umum bertugas untuk memberikan pelayanan kepada anggota
masyarakat yang memerlukan jasanya dalam pembuatan alat bukti tertulis,
khususnya berupa akta autentik dalam bidang hukum perdata. Keberadaan
notaris merupakan pelaksanaan dari hukum pembuktian.1 Negara Republik
Indonesia merupakan negara hukum yang mana prinsip dari negara hukum
adalah menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang
berintikan pada kebenaran dan keadilan sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat
(3) Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui
akta yang dibuatnya, notaris berperan dalam memberikan kepastian hukum
bagi masyarakat.2 Berdasarkan Pasal 1866 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata atau yang selanjutnya akan disebut KUHPerdata, dikenal beberapa
alat bukti3 salah satunya adalah alat bukti tertulis yang didalamnya termasuk
pula akta autentik. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, akta autentik
adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang
Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di
tempat akta itu dibuat. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau yang selanjutnya akan
disebut UUJN-P, akta notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta
autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata
cara yang ditetapkan dalam Undang Undang ini.

1
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Buku
Kedua, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 220.
2
H. Salim dan H. Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, 2007, Jakarta,
hlm. 101-102
3
Pasal 1866 Kitab Undang Undang Hukum Perdata alat pembuktian meliputi:
a. Bukti Tertulis
b. Bukti Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Kewajiban notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam Pasal
16 ayat (1) UUJN-P. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P, salah
satu kewajiban notaris adalah membacakan akta dihadapan para penghadap
dengan dihadiri sedikitnya 2 (dua) orang saksi, dan ditanda tangani pada
saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Diatur pula dalam Pasal 16
ayat (7) UUJN-P, mengenai pengecualian terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf
m tidak wajib dilakukan apabila penghadap telah membaca sendiri,
mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut
dinyatakan dalam penutup akta, serta setiap halaman minuta akta diparaf
oleh penghadap, para saksi, dan notaris. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1)
huruf m UUJN-P dinyatakan bahwa notaris harus hadir secara fisik dan
menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi. Namun, pada
beberapa kesempatan seringkali notaris dihadapkan pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk bertemu langsung dengan penghadap dalam hal
pembacaan dan penandatanganan akta.
Sehubungan dengan perkembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi atau yang selanjutnya akan disebut TIK, tentu saja berpengaruh
terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang bagi notaris. Notaris sebagai
pejabat umum yang memberikan pelayanan jasa dengan membuat akta tentu
saja dipermudah dengan adanya perkembangan teknologi tersebut. Kinerja
Notaris yang pada awalnya menggunakan cara-cara konvensional (masih
terpaku dengan cara harus bertemu secara langsung dihadapan Notaris dan
data-data penghadap diberikan secara langsung kepada Notaris dengan akta
yang dibuat dan disahkan dalam kertas) dalam pembuatan akta autentik dan
memiliki kekuatan hukum yang sempurna oleh pihak-pihak yang
membutuhkannya dalam fungsi pembuktian, menuju kearah jasa pelayanan
Notaris secara elektronik atau memanfaatkan ruang maya/cyber space dalam
menjalankan fungsi Notaris yang dikenal dengan cybernotary.
Berkembangnya wacana cyber notary menjadikan seorang Notaris dapat
menjalankan fungsi serta kewenangan jabatannya dengan berbasis
teknologi. Notaris dituntut untuk bekerja profesional dalam menjalankan
jabatannya sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta
autentik. Inti dari tugas notaris sebagai pejabat umum yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah guna melayani masyarakat ialah
merekam secara tertulis dan autentik hubungan-hubungan hukum antara
penghadap, yang secara mufakat meminta bantuan jasa-jasa notaris.4 Salah
satu bentuk perkembangan teknologi yang dirasakan langsung oleh notaris
adalah adanya teknologi video conference. Teknologi video conference
tersebut memungkinkan dua pihak atau lebih di lokasi yang berbeda, dapat
berinteraksi melalui pengiriman dua arah audio dan video secara bersamaan.
Pemanfaatan video conference tersebut antara lain adalah untuk membantu
notaris dalam kinerjanya yoang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m
UUJN-P5 yakni tahap pembacaan akta. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1)
huruf m UUJN-P tersebut menyebutkan bahwa notaris harus hadir secara
fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi. Teknologi
video conference dapat digunakan sebagai sarana yang membantu notaris
dalam hal pembacaan akta ketika para penghadap yang bersangkutan berada
di luar kota atau tempat yang berbeda dengan notaris tersebut. Adanya
teknologi video conference memang memudahkan pekerjaan Notaris dalam
banyak hal salah satunya dalam hal pembacaan akta. Mobilitas yang tinggi
dan keterbatasan waktu menjadi salah satu alasan Notaris menggunakan
teknologi video conference untuk pembacaan akta.
Perihal pembacaan akta notaris merupakan hal yang sangat penting
baik bagi notaris maupun para penghadap. Bagi para penghadap, pembacaan
akta tersebut sebagai jaminan bahwa apa yang tertuang didalam akta, yang
dibacakan, dan yang ditandatangani oleh para penghadap adalah sama dan
telah disetujui oleh para pihak.6 Bagi notaris sendiri, pembacaan akta
tersebut sangat memudahkan yakni apabila ada perubahan yang diinginkan
oleh para pihak, maka akan sesegera mungkin dilakukan pembenaran.
Pengecualian terhadap pembacaan akta dapat dilakukan apabila itu

4
Sjaifurrachman & Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hlm. 66
5
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
6
Thang Thong Kie, 1987, Study Notarist; Serba-serbi Praktek Notaris, Alumni, Bandung,
hlm : 285
merupakan permintaan para pihak. Notaris juga harus meyakinkan bahwa
para pihak telah membaca dan memahami isi dari akta tersebut. Pembacaan
akta yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi video conference
sudah banyak dilakukan oleh Notaris Notaris khususnya di kota-kota besar
dengan mobilitas yang tinggi. Di satu sisi, pemanfaatan teknologi tersebut
sangat membantu pekerjaan Notaris namun, belum adanya pengaturan di
dalam Undang Undang Jabatan Notaris mengenai pembacaan akta notaris
menggunakan teknologi video conference menimbulkan perdebatan di
kalangan Notaris sendiri terkait apakah pembacaan akta notaris boleh
dilakukan melalui teknologi video conference. Seiring berkembangnya
zaman, teknologi akan semakin berkembang, praktik pembacaan akta
dengan memanfaatkan teknologi video conference akan semakin banyak
dilakukan.
Melihat keadaan tersebut, notaris seperti dihadapkan pada dilema
dimana di satu sisi notaris memiliki kewajiban untuk membacakan akta
namun di sisi lain kebutuhan masyarakat yang membutuhkan semua serba
cepat memaksa notaris untuk mencari alternatif salah satunya dengan
memanfaatkan teknologi informasi. Sedangkan di sisi lain, terjadi
kekosongan hukum terhadap aturan mengenai pemanfaatan teknologi yang
dapat digunakan oleh notaris dalam pembuatan akta. Aturan mengenai
hubungan antara notaris dan teknologi hanya disinggung perihal
cybernotary yang memiliki kewenangan hanya terbatas pada proses
pengautentifikasian dokumen yang berbentuk elektronik, artinya praktek
pembacaan akta yang dilakukan dengan teknologi video conference tidak
termasuk ke dalam ranah cybernotary. Berdasarkan uraian dari latar
belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul tesis “Pembacaan Akta Notaris Melalui Video Conference
ditinjau dari Undang Undang Jabatan Notaris”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang sudah penulis paparkan di atas,
penulis merumuskan dua rumusan masalah yakni :
1. Bagaimanakah penerapan pembacaan akta Notaris melalui video
conference?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta notaris yang dibacakan
melalui video conference ditinjau dari Undang Undang Jabatan
Notaris?
C. Metode Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu bentuk


penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan peraturan perundang
undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek
pelaksanaan hukum positif, yang nantinya akan disangkutkan dengan
permasalahan yang diteliti dalam karya ilmiah ini. penelitian ini
menggunakan metode normatif-empiris yang merupakan penelitian hukum
mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif secara in action pada
setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi di masyarakat, sehingga jenis
penelitian ini terdiri dari penelitian kepustakaan yaitu penelitian dengan
studi dokumen untuk mendapatkan data sekunder serta didukung dengan
wawancara kepada narasumber yaitu notaris dan juga Majelis Pengawas
Daerah Notaris. kemudian data tersebut dianalisis dengan permasalahan
yang didapat dari wawancara dengan responden yakni notaris yang telah
melakukan pembacaan akta melalui video conference. Data primer dan data
sekunder yang telah diperoleh dengan cara wawancara dan studi dokumen,
kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif yakni bekerja dengan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan
menemukan pola, melakukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan lagi kepada orang lain.7 Hasil
analisis kemudian akan ditarik kesimpulan secara deduktif yakni
kesimpulan yang disusun dengan cara menentukan fakta umum sebagai inti
permasalahan yang kemudian dilanjutkan dengan menjabarkan gagasan-
gagasan khusus relevan dengan fakta umum.8

7
Lexy J. Moleong, 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Cetakan Ke dua puluh satu, Bandung, hlm. 248
8
http://www.edutafsi.com/2016/07/merumuskan-kesimpulan-secara-deduktif-dan-
induktif.html diakses pada tanggal 24 Oktober 2018
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Pembacaan Akta Notaris Melalui Video Conference Ditinjau
dari Undang Undang Jabatan Notaris

Notaris adalah pejabat yang berwenang membuat akta autentik


mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang undang.9
Seorang notaris dalam menjalankan jabatannya sekalipun ia telah memiliki
keterampilan hukum yang cukup, namun apabila tidak dilandasi dengan
tanggung jawab dan tanpa adanya penghayatan terhadap keluhuran dan
martabat jabatannya serta nilai-nilai dan ukuran etika, tidak akan dapat
menjalankan tugas dan jabatannya sebagaimana yang dituntut oleh hukum
dan kepentingan masyarakat umum.10 Kedudukannya sebagai pejabat
umum, sebagai bentuk dari implementasi kepastian hukum di Indonesia,
notaris diberi wewenang oleh undang undang untuk membuat suatu produk
hukum yakni akta autentik. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang, dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang
undang, serta dibuat di wilayah jabatan pejabat yang berwenang.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, unsur dari akta otentik antara lain
adalah dibuat oleh pejabat yang berwenang, dibuat dalam bentuk yang telah
ditentukan oleh undang undang, dan dibuat dalam wilayah jabatan pejabat
yang berwenang. Pasal 1 angka 7 UUJN-P menyatakan bahwa akta autentik
adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk yang
ditetapkan dalam undang undang ini. Kedua pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa akta autentik digolongkan menjadi 2 (dua) macam yaitu
partij acten dan relaas acten. Partij acten merupakan akta autentik yang

9
Herlien Budiono, 2015, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku
Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 147
10
G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 301
dibuat di hadapan pejabat umum yang berisikan keterangan yang
dikehendaki para pihak yang membuatnya. Kebenaran isi akta tersebut oleh
para pihak dapat diganggu gugat tanpa menuduh kepalsuan akta tersebut.
Relaas acten merupakan akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para
pihak, kebenaran dari akta ini tidak dapat diganggu gugat kecuali dengan
menuduh bahwa akta tersebut palsu.11

Suatu akta akan memiliki karakter yang autentik, jika akta itu
memiliki daya bukti antar para pihak dan terhadap pihak ketiga, sehingga
hal itu merupakan jaminan bagi para pihak bahwa perbuatan-perbuatan atau
keterangan-keterangan yang dikemukakan memberikan suatu bukti yang
tidak dapat dihilangkan.12 Kekuatan pembuktian akta autentik adalah
sempurna, berdasar Pasal 1872 KUHPerdata disebutkan bahwa jika suatu
akta autentik dalam bentuk apapun, diduga palsu, maka pelaksanaannya
dapat ditangguhkan menurut ketentuan yang terdapat dalam Hukum Acara
Perdata. Proses pembuatan akta dimulai dari para penghadap datang ke
kantor notaris dan mengutarakan maksud serta tujuan dari akta, lalu
berangkat dari keterangan tersebut, notaris menentukan akta apakah yang
harus dibuat apakah itu akta relaas ataukah akta partij, setelah akta dibuat
kemudian dilakukan proses peresmian akta yang terdiri atas pembacaan dan
penandatanganan.13 Proses pembacaan akta merupakan salah satu kewajiban
bagi notaris, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P. Dalam
penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa pada proses pembacaan, para
penghadap, notaris dan juga para saksi harus hadir secara fisik. Hal tersebut
mengingat proses pembacaan akta begitu penting karena merupakan
jaminan bahwa apa yang tertuang dalam akta tersebut adalah benar dan telah
disepakati oleh para penghadap, bagi notaris proses pembacaan akta
mempermudah notaris dan penghadap apabila terdapat perubahan-
perubahan sehingga langsung dapat dilakukan perubahan sebelum

11
Daeng Naja, 2012, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 17
12
Nico, op.cit, hlm. 49
13
Erlinda Saktiani, Sihabudin, Lucky Endrawati, 2014, Prospek Pembacaan dan
Penandatanganan Akta Notaris Melalui Video Conference, Tesis, Universitas Brawijaya,
Malang, hlm. 4
penandatanganan. Berdasarkan Pasal 44 UUJN-P, setelah dilakukan
pembacaan, akta tersebut harus ditandatangani oleh notaris, para penghadap,
dan juga para saksi sesegera mungkin setelah dibacakan. Adanya
perkembangan teknologi dan juga masyarakat, banyak notaris yang
melakukan pembacaan akta notaris dengan memanfaatkan teknologi
informasi salah satunya adalah video conference. Video conference dapat
membuat pembacaan akta dapat terlaksana tanpa harus membuang waktu
untuk hadir dan mengumpulkan para pihak dan saksi di tempat yang sama.14
Hal ini tentu saja sangat mempermudah pekerjaan notaris dan juga
penghadap dalam efisiensi waktu.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan


tuntutan perubahan hukum kenotariatan yang menginginkan agar notaris
dalam menjalankan jabatannya menggunakan teknologi canggih sehingga
lebih murah, cepat, dan efektif. Berkenaan dengan perubahan hukum
terdapat teori tradisional dan modern. Teori tradisional menganggap bahwa
masyarakat berubah terlebih dahulu diikuti dengan hukum, sebaliknya pada
teori modern hukum harus beriringan dengan peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat bahkan kalau perlu hukum harus tampil terlebih dahulu.15
Konsep cybernotary di Indonesia masih perlu didalami lagi, mengingat
banyak notaris yang beranggapan bahwa cybernotary adalah salah satu
bentuk dari perkembangan fungsi dan peran notaris dalam suatu transaksi
elektronik agar tercipta suatu pelayanan jasa yang cepat, tepat, efisien,
sehingga mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.16 Hukum positif
Indonesia mengatur cybernotary dalam Pasal 5 ayat (2) Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau
yang selanjutnya disebut dengan UU ITE, dalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupajan perluasan dari alat

14
Bintari Dyah Ramadhani, Marsudi Triatmodjo, 2009, Eksplorasi Teknologi Informasi
dalam Penyelenggaraan Tugas dan Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta Terkait
dengan Aspek Hukum Pembuktian, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 33
15
Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 4
16
Edon Makarim, 2013, Notaris dan Transaksi Elektronik: Kajian Hukum Tentang Cyber
Nortary atau Electronic Notary, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 117
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti
yang sah dan diakui dalam sistem peradilan di Indonesia. Ketentuan
mengenai cybernotary juga terdapat dalam UUJN-P yakni Pasal 15 ayat (3)
UUJN-P yang menyatakan bahwa selain kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain
yang diatur dalam peraturan perundang undangan. Penjelasan pasal tersebut
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang undangan antara lain kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik (cybernotary), membuat akta
ikrar wakaf, dan hiptotek pesawat terbang. Berdasarkan penjelasan tersebut
Undang Undang Jabatan Notaris membatasi lingkup kewenangan dari
cybernotary adalah sebatas pensertifikasian transaksi yang bersifat
elektronik atau dengan kata lain pengautentifikasian dokumen yang bersifat
elektronik sehingga dapat dijadikan alat bukti yang autentik.17 Ketentuan
mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam kenotariatan terdapat pula
dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat dilakukan melalui media
telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang
memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara
langsung dan berpartisipasi dalam rapat. Artinya dimungkinkan untuk akta
relaas dibuat melalui video conference.

Praktek pembacaan akta melalui video conference yang sejauh ini


telah beberapa kali dilakukan, antara lain oleh Notaris X yang berkedudukan
di Yogyakarta mengaku sudah beberapa kali membacakan akta pendirian
CV melalui video conference.18 Pembacaan akta tersebut beliau lakukan di
ruang sidang dekan di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta
tempat dimana beliau mengajar, sedangkan para penghadap berada di kantor
notaris yang mana keduanya terletak di dalam wilayah jabatan notaris.

17
Edmon Makarim, op.cit, hlm.120
18
Hasil Wawancara dengan responden Notaris X, Notaris, Wawancara Pribadi,
Yogyakarta, 24 Juni 2019
Terkait dengan penandatanganan akta dilakukan oleh penghadap setelah
pembacaan akta, sedangkan notaris menandatangani akta setelah beliau
sampai di kantor selesai mengajar. Pembacaan akta melalui video
conference tersebut dilakukan atas inisiatif notaris dengan alasan efisiensi
waktu. Praktek yang sama juga dilakukan oleh notaris Y yang berkedudukan
di Jakarta. Notaris tersebut membacakan akta jual beli rumah melalui video
conference.19 Notaris dan salah satu penghadap berada di kantor notaris,
sedangkan penghadap lainnya berada di Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang. Pembacaan akta melalui video conference tersebut dilakukan
atas inisiatif dari penghadap. Penandatanganan akta dilakukan oleh notaris
dan penghadap saat itu juga setelah akta dibacakan, sedangkan penghadap
lainnya melakukan penandatanganan pada hari itu juga tapi di waktu yang
berbeda. Menurut keterangan notaris yang bersangkutan, beliau mengetahui
perihal prosedur peresmian dan pembacaan akta sebagaimana diatur dalam
Undang Undang Jabatan Notaris namun, dengan alasan keadaan yang tidak
memungkinkan notaris, saksi, dan penghadap untuk bertemu dalam satu
tempat yang sama di waktu yang sama maka notaris kemudian mencari
alternatif yang lebih fleksibel yakni dengan video conference. Notaris yang
bersangkutan juga beranggapan bahwa hal tersebut merupakan implikasi
dari cybernotary. Baik notaris X dan notaris Y beranggapan bahwa
pembacaan dan penandatanganan yang dilakukan dengan video conference
tersebut tidak mempengaruhi autentisitas dari akta sepanjang susunan akta
sesuai dengan Pasal 38 UUJN-P. Pembacaan akta melalui video conference
juga diakui tidak menyalahi Pasal 16 ayat (1) huruf m dimana notaris,
penghadap, dan juga saksi tetap dapat melihat satu sama lain secara jelas
dan nyata seperti hal nya apabila akta dibacakan secara langsung tanpa
video conference. Disamping itu, belum adanya aturan yang melarang
secara tegas pembacaan akta melalui video conference juga menjadi alasan
bagi notaris yang bersangkutan untuk melakukan praktek ini.

19
Hasil Wawancara dengan responden Notaris Y, Notaris, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27
Maret 2019
Undang Undang Jabatan Notaris, dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1)
huruf m menyatakan bahwa notaris harus hadir secara fisik dalam hal
pembacaan akta dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi
pada saat itu juga. Kehadiran secara fisik disini memang mungkin untuk
dilakukan dengan perantara video conference dalam hal pembacaan akta
namun, penandatanganan akta tidak dapat dilakuan saat itu juga. Ketentuan
mengenai penandatangan akta yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN-
P menyatakan bahwa segera setelah akta dibacakan, akta tersebut
ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris, kecuali apabila ada
penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangan dengan
menyebutkan alasannya. Pasal tersebyt menegaskan bahwa
penandatanganan akta harus dilakukan bersama sama oleh notaris, saksi,
dan juga penghadap segera setelah dibacakan tanpa ada jangka waktu.
Tujuan dari dibacakannya akta merupakan implementasi dari kepastian
hukum dimana penghadap dalam proses tersebut memastikan bahwa apa
yang tertuang didalam akta adalah benar kehendaknya, kemudian sebagai
bukti persetujuan atas akta tersebut penghadap membubuhkan tanda tangan
yang disaksikan oleh saksi dan juga notaris. Praktek pembacaan akta
sebagaimana telah diuraikan di atas telah melanggar ketentuan kedua pasal
tersebut. Pelanggaran tersebut terkait dengan penandatanganan akta yang
tidak dilakukan segera setelah pembacaan dan tidak dilakukan seara
bersamaan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan hukum
di kemudian hari baik bagi aktanya maupun notaris.

Undang Undang Jabatan Notaris sebenarnya telah memberikan


pengecualian dalam pembacaan akta yakni dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN-P
yang menyatakan bahwa pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan apabila penghadap
menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca
dan mengetahui, dan memahami isinya dengan ketentuan bahwa hal tersebut
dinyatakan dalam penutup akta sertapada setiap halaman minuta diparaf
oleh penghadap, saksi, dan notaris. Mengacu pada pasal tersebut, notaris
dimungkinkan untuk membacakan akta melalui video conference dalam
konteks menjelaskan kepada penghadap terkait isi dari akta sehingga
penghadap dapat meminta akta untuk tidak dibacakan karena sudah
memahami isi dari akta. Akan tetapi, apabila pembacaan dilakukan dalam
rangka peresmian akta secara yuridis dan teknis sangat kecil
kemungkinannya untuk dilakukan melalui video conference. Hal tersebut di
benarkan oleh Adhitya Nugraha Novianta, pegawai Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia yang juga anggota Majelis Pengawas Daerah
Notaris Kabupaten Sleman, pembacaan akta notaris melalui video
conference boleh dilakukan apabila penghadap memang menghendaki akta
untuk tidak dibacakan dengan syarat penghadap harus sudah mengerti dan
memahami isi akta sesuai dengan Pasal 16 ayat (7) UUJN-P namun dengan
alasan untuk memperkuat bukti, notaris boleh melakukan inisiatif
membacakan akta melalui video conference. Sebaliknya apabila para
penghadap belum mengerti dan memahami isi dari akta maka hal tersebut
menjadi suatu pelanggaran terhadap Undang Undang Jabatan Notaris.20

Perkembangan masyarakat dan teknologi di sisi lain menuntut


notaris dalam menjalankan jabatannya untuk lebih efektif mengingat
kebutuhan masyarakat yang menginginkan semuanya serba cepat. Berkaitan
dengan hal tersebut, notaris Sumendro juga menyatakan bahwa terkait
dengan pembacaan akta notaris melalui video conference, selain berpegang
teguh pada UUJN dan Kode Etik notaris juga harus berpedoman pada asas
Tabellionis Officium Fideliter Exercebo (Notaris harus bekerja secara
tradisional).21 Tradisional disini maksudnya semaju apapun zaman itu,
secanggih apapun alat elektronik, apa yang dilakukan oleh notaris dalam
mencari kebenaran formal haruslah tetap sama seperti apa yang telah
ditetapkan.22 Habib Adjie menegaskan bahwa dalam menjalankan
jabatannya, notaris harus mengikuti ketentuan hukum positif yang ada atau

20
Hasil wawancara dengan Narasumber Adhitya Nugraha Novianta, Majelis Pengawas
Daerah Notaris Kabupaten Sleman, Wawancara sPribadi, Yogyakarta, 1 April 2019
21
HR. Sumendro, Notaris, Wawancara Pribadi, Yogyakarta,
22
Hendry Julian Noor, “Fenomena Pidana Dalam Dunia Kenotariatan”,
https://www.kompasiana.com/www.hendryjulian.com/5500a4f5a33311c56f511bc3/fenome
na-pidana-dalam-dunia-kenotariatan diakses pada tanggal 21 Maret 2019
dengan kata lain kalau tidak ada normatifnya maka tidak usah dilakukan.23
Sumendro menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata salah
satu unsur dari akta autentik adalah dibuat di dalam wilayah jabatan pejabat
yang berwenang.24 Hal tersebut berarti segala proses pembuatan akta
dimulai dari penghadap datang untuk mengutarakan keinginan sampai
dengan peresmian (verleiden) akta harus dilakukan di dalam wilayah jabatan
notaris. Notaris Sumendro juga menuturkan konsekuensi dari tidak
dipenuhinya prosedur verleiden akta dapat mengakibatkan akta tersebut
terdegradasi. Berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Ahmad M. Ramli
menyatakan jika di UUJN tidak disebutkan bahwa penghadap harus hadir
secara fisik, maka bolehlah dilakukan transaksi secara virtual, yang
terpenting orang yang bersangkutan telah teridentifikasi secara jelas.25

Berkaitan dengan kehadiran notaris dalam hal peresmian akta,


notaris Sumendro menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan klausul
menghadap kepada saya atau berhadapan dengan saya dalam akta. Beliau
juga menyatakan bahwa unsur kehadiran disini maksudnya adalah
penghadap, saksi, dan juga notaris berada dalam satu tempat, satu term, dan
satu waktu yang sama. Sejalan dengan ini, notaris Habib Adjie menyatakan
bahwa hadir secara fisik artinya adalah penghadap dan notaris berada dalam
satu tempat dan satu waktu yang sama kemudian dibacakan akta yang telah
dibuat dan ditandatangani saat itu juga. Notaris Irma Devita memiliki
pendapat berbeda dimana masih terdapat perdebatan terkait pemaknaan
klausul menghadap kepada saya dan berhadapan dengan saya mengingat
sekarang notaris tidak lagi menunggu klien di kantor tetapi lebih kepada
pertemuan yang disepakati jadi penggunaan klausul tersebut dan juga
pelaksanaannya dapat lebih fleksibel.26 Makna dari hadirnya notaris secara

23
Hasil Wawancara dengan narasumber Notaris Habib Adjie, Notaris, Wawancara Pribadi,
Surakarta,8 April 2019
24
Hasil Wawancara dengan narasumber Notaris HR. Sumendro, Notaris, Wawancara
Pribadi, Yogyakarta, 14 Maret 2019
25
Ahmad M. Ramli, 2007, “Wawancara Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT, dan
Hukum RENVOI dengan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi”, Sebagaimana
yang termuat dalam Majalah tersebut edisi No. 1. 49. V, Juni, hlm. 58
26
Hasil Wawancara dengan narasumber Notaris Irma Devita, Notaris, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 22 Maret 2019
fisik berkaitan dengan tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum yang
berhubungan dengan aktanya antara lain:

a. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap akta yang


dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap
kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan
hukum. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh M.A.
Moegni Djojodirdjo, istilah ‘melawan’ melekat pada dua sifat
yakni aktif dan pasif. Aktif disini maksudnya adalah apabila
seseorang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Sedangkan pasif
maksudnya adalah apabila seseorang dengan sengaja tidak mau
melakukan keharusan sudah melanggar suatu keharusan
sehingga menimbulkan kerugian.27
b. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap akta yang
dibuatnya. Dalam konteks ini, tanggung jawab yang dimaksud
adalah tanggung jawab notaris yang mana dalam melaksanakan
jabatannya senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara
serta bertindak sesuai dengan sumpah jabatannya. Notaris juga
harus mengutamakan pengabdiannya kepada kepentigan
masyarakat dan negara.28

Notaris tidak dapat dimintakan tanggung jawab atas kebenaran materiil yang
termuat didalam aktanya, akan tetapi untuk kesalahan yang telah nyata-
nyata diperbuat olehnya ia bertanggung jawab secara hukum dan wajib
mengganti kerugian yang ditimbulkan.29 Artinya, walaupun notaris hanya
mengkonstantir keinginan dari pihak-pihak yang menghadap, bukan berarti
notaris tidak pernah atau tidak mungkin melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum.30

27
M.A. Moegni Djojodirdjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita,
hlm. 30
28
Komar Andasasmita, 1981, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, hlm. 158
29
Nico, op.cit, hlm. 103
30
M.A. Moegni Djojodirdjo, op.cit, hlm. 35
Pemanfaatan teknologi video conference dalam peresmian akta seringkali
ditafsirkan oleh notaris sebagai implikasi dari cybernotary. Ketentuan
mengenai cybernotary sendiri telah ada di dalam penjelasan Pasal 15 ayat
(3) UUJN-P, dimana dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
kewenangan dari cybernotary hanya sebatas pensertifikasian dokumen
elektronik. Hal ini berkaitan dengan diakuinya dokumen elektronik sebagai
salah satu alat bukti dalam sistem peradilan di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Lebih lanjut lagi ditegaskan pada Pasal 5
ayat (4) UU ITE bahwa pengecualian terhadap dokumen elektronik yang
diakui dalam sistem peradilan tidak termasuk di dalamnya dokumen yang
oleh undang undang harus dibuat secara notariil. Pasal tersebut berarti hanya
mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti yang autentik, bukan
berarti akta autentik dapat dibuat dengan media elektronik.

Terkait dengan pembuatan akta dengan media elektronik, Pasal 77


ayat (1) UUPT menyatakan bahwa penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) dapat dilakukan melalui media telekonferensi,
video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan
semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung dan
berpartisipasi dalam rapat. Pasal tersebut sangat jelas mengatur yang dapat
dilaksanakan melalui video conference adalah pengambilan keputusan
dalam RUPS, terkait dengan adanya circular resolution atau pengambilan
keputusan diluar RUPS yang dimungkinkan untuk terjadi. Pelaksanaan
circular resolution dilakukan mengingat tidak semua pemegang saham
berdomisili di tempat yang sama dengan perseroan. Pengambilan keputusan
dengan circular resolution dilakukan tanpa menyelenggarakan RUPS secara
fisik melainkan dilakukan dengan mengirimkan usulan secara tertulis
kepada seluruh pemegang saham untuk kemudian disetujui secara tertulis
oleh seluruh pemegang saham dan keputusan tersebut memiliki kekuatan
yang mengikat sama dengan RUPS secara fisik.31

31
Edmon Makarim, op.cit, hlm. 6
Ketentuan mengenai pembuatan sampai dengan peresmian akta
hingga saat ini masih tunduk pada Undang Undang Jabatan Notaris yang
mana masih menggunakan cara-cara konvensional. Hal ini juga merupakan
payung hukum bagi notaris. Selain itu, terdapat pula asas yang harus
diperhatikan dalam menjalankan jabatan notaris yakni Tabellionis Officium
Fideliter Excercebo dimana notaris harus bekerja secara tradisional. Hal ini
berarti praktek pelaksanaan pembacaan dan peresmian akta melalui video
conference merupakan pelanggaran terhadap Undang Undang Jabatan
Notaris, sehingga pembacaan dan peresmian akta melalui video conference
tersebut menimbulkan konsekuensi bagi notaris yakni sesuai ketentuan
Pasal 16 ayat (11) UUJN-P akan mendapat sanksi administrative berupa
peringatan tertulis, sampai dengan pemberhentian tidak hormat. Adapun
konsekuensi bagi akta yang diresmikan dengan video conference hanya
berkekuatan hukum sebagai akta di bawah tangan karena tidak memenuhi
unsur yang terdapat dalam pasal 44 UUJN-P.

2. Akibat Hukum Terhadap Akta Notaris yang Dibacakan


Melalui Video Conference Ditinjau dari Undang Undang
Jabatan Notaris

Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berhak membuat


akta autentik sebagai alat pembuktian yang sempurna. Notaris adalah
kepanjangan tangan dari negara untuk menunaikan sebagian tugas negara di
bidang hukum perdata.32 Asas hukum tentang peraturan jabatan notaris
dapat kita lihat dalam landasan filosofis konsideran Undang Undang Jabatan
Notaris yang meliputi asas kepastian hukum dan asas perlindungan hukum.
Landasan filosofis atau sikap batin masyarakat terhadap akta autentik yang
terdapat dalam pertimbangan hukum dalam konsideran UUJN-P dapat kita
jabaran sebagai berikut :33

a. Negara Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan


Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
32
Anke Dwi Saputra, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa
yang Akan Datang, PT. Gramedia, Jakarta, hlm. 229
33
Salim HS, 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 21
tahun 1945 atau yang selanjutnya akan disebut sebagai
UUDNRI, menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum bagi setiap warga negara.
b. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
bagi setiap warga negara dibutuhkan alat bukti tertulis yang
bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan
peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang
berwenang, dan
c. Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam
memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan
perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.

Kepastian hukum yang dalam Bahasa Belanda disebut rechtszekerheid


adalah ketentuan-ketentuan hukum atau klausul-klausul yang mampu
menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Perlindungan hukum
artinya bahwa akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris harus
memberikan rasa aman kepada para pihak maupun pihak lainnya.34
Keberadaan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dapat terlihat
dalam kehidupan masyarakat yang sangat memerlukan pembuktian yang
dapat menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek
hukum dalam masyarakat. Salah satu bentuk dari penjaminan atas kepastian
hukum tersebut adalah adanya akta autentik. Akta autentik memiliki peranan
penting dalam setiap hubungan hukum dan kehidupan masyarakat. Akta
autentik menentukan dengan jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian
hukum dan sekaligus diharapkan dapat menghindari timbulnya
persengketaan. Menurut Sudikno, akta adalah surat yang diberi tanda
tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak
atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.35 Pasal 1868 KUHPerdata mendefinisikan akta autentik adalah
suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang Undang

34
Ibid, hlm. 22
35
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 142
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat
akta itu dibuat. Lebih lanjut lagi Pasal 1 angka 7 UUJN-P menyatakan
bahwa akta notaris merupakan akta autentik yang dibuat oleh atau di
hadapan notaris menurut bentuk yang ditetapkan oleh Undang Undang ini.
Kesimpulan dari kedua definisi di atas bahwa produk hukum yang dibuat
oleh atau di hadapan notaris merupakan akta autentik yang proses
pembuatannya harus mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang
Undang Jabatan Notaris.

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris dapat menjadi bukti
autentik dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak maupun
yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa
atau perbuatan hukum yang dilakukan. Penjelasan umum UUJN, bahwa akta
autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada notaris. Kewajiban bagi notaris adalah
untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-
sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan maksud para pihak, yaitu
dengan cara membacakannya sehingga jelas isi akta notaris, serta
memberikan akses terhadap informasi, termasuk terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan para pihak yang menandatangani
akta tersebut. Akta notaris merupakan formulasi keinginan atau kehendak
para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat di hadapan atau
oleh notaris dan bukan kehendak dari notaris.36 Meskipun akta notaris
memiliki kekuatan pembuktian sempurna, namun akta itu juga dapat
memiliki kekuatan sebagai akta di bawah tangan dan akta yang batal demi
hukum apabila notaris melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang undangan. Akta yang terdegradasi menjadi akta di bawah tangan
atau batal demi hukum dapat dijadikan alasan penuntutan ganti rugi bagi
pihak yang menderita kerugian untuk menuntut notaris. Penuntutan akibat
akta yang terdegradasi dapat berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga. Penggantian biaya adalah notaris memberikan ganti rugi kepada

36
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, Refika Adita, Bandung , hlm. 15
pihak ketiga atas biaya yang telah dikeluarkannya akibat adanya akta yang
batal demi hukum. Ganti rugi adalah uang yang diserahkan kepada notaris
kepada pihak ketiga yang disebabkan akta yang dibuatnya batal demi
hukum. Bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh pihak ketiga
kepada notaris yang telah membuat akta yang tidak memenuhi syarat formal
maupun materiil.

Pemanfaatan teknologi dalam kinerja notaris merupakan hal yang


lumrah mengingat zaman milenial ini segala sesuatu dilakukan serba cepat
dan praktis. Perkembangan masyarakat dan teknologi yang begitu pesat
sangat disayangkan tidak dibarengi oleh perkembangan peraturan perundang
undangan, terbukti dari belum adanya pengaturan mengenai pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta di dalam UUJN-
P. Hal ini memunculkan beberapa praktek pembacaan dan peresmian akta
dengan memanfaatkan teknologi yakni video conference. Praktek
pembacaan akta melalui video conference yang sejauh ini telah beberapa
kali dilakukan, antara lain oleh Notaris X yang berkedudukan di Yogyakarta
mengaku sudah beberapa kali membacakan akta pendirian CV melalui video
conference.37 Pembacaan akta tersebut beliau lakukan di ruang sidang dekan
di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta tempat dimana beliau
mengajar, sedangkan para penghadap berada di kantor notaris yang mana
keduanya terletak di dalam wilayah jabatan notaris. Terkait dengan
penandatanganan akta dilakukan oleh penghadap setelah pembacaan akta,
sedangkan notaris menandatangani akta setelah beliau sampai di kantor
selesai mengajar. Pembacaan akta melalui video conference tersebut
dilakukan atas inisiatif notaris dengan alasan efisiensi waktu. Praktek yang
sama juga dilakukan oleh notaris Y yang berkedudukan di Jakarta. Notaris
tersebut membacakan akta jual beli rumah melalui video conference.38
Notaris dan salah satu penghadap berada di kantor notaris, sedangkan
penghadap lainnya berada di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang.

37
Hasil Wawancara dengan responden Notaris X, Notaris, Wawancara Pribadi,
Yogyakarta, 24 Juni 2019
38
Hasil Wawancara dengan responden Notaris Y, Notaris, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27
Maret 2019
Pembacaan akta melalui video conference tersebut dilakukan atas inisiatif
dari penghadap. Penandatanganan akta dilakukan oleh notaris dan
penghadap saat itu juga setelah akta dibacakan, sedangkan penghadap
lainnya melakukan penandatanganan pada hari itu juga tapi di waktu yang
berbeda. Menurut keterangan notaris yang bersangkutan, beliau mengetahui
perihal prosedur peresmian dan pembacaan akta sebagaimana diatur dalam
Undang Undang Jabatan Notaris namun, dengan alasan keadaan yang tidak
memungkinkan notaris, saksi, dan penghadap untuk bertemu dalam satu
tempat yang sama di waktu yang sama maka notaris kemudian mencari
alternatif yang lebih fleksibel yakni dengan video conference. Notaris yang
bersangkutan juga beranggapan bahwa hal tersebut merupakan implikasi
dari cybernotary. Baik notaris X dan notaris Y beranggapan bahwa
pembacaan dan penandatanganan yang dilakukan dengan video conference
tersebut tidak mempengaruhi autentisitas dari akta sepanjang susunan akta
sesuai dengan Pasal 38 UUJN-P. Pembacaan akta melalui video conference
juga diakui tidak menyalahi Pasal 16 ayat (1) huruf m dimana notaris,
penghadap, dan juga saksi tetap dapat melihat satu sama lain secara jelas
dan nyata seperti hal nya apabila akta dibacakan secara langsung tanpa
video conference. Disamping itu, belum adanya aturan yang melarang
secara tegas pembacaan akta melalui video conference juga menjadi alasan
bagi notaris yang bersangkutan untuk melakukan praktek ini.

Habib Adjie menyatakan bahwa autentisitas suatu akta tidak hanya


dilihat dari fisiknya saja, melainkan dari serangkaian proses dari pembuatan
sampai kepada peresmian.39 Lebih lanjut lagi dalam Pasal 1 angka 7 UUJN-
P menyatakan bahwa akta notaris adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang yang dalam hal ini adalah notaris. Akta autentik harus dibuat
sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang undang. Undang
undang dalam hal ini merujuk pada Undang Undang Jabatan Notaris. Pasal
38 UUNJ-P telah mengatur mengenai kerangka susunan akta notaris yang
harus dipenuhi. Unsur ketiga dari akta autentik adalah dibuat di wilayah
jabatan pejabat yang berwenang. Hal tersebut mencakup semua proses
39
Habib Adjie, Notaris, Wawancara Pribadi, op. cit
pembuatan akta notaris dari pembuatan, dimana penghadap melakukan
konsultasi dan menyatakan keinginannya di hadapan notaris yang kemudian
dibuatkan akta sesuai keinginan dari penghadap, sampai kepada proses
peresmiannya yakni pembacaan dan penandatanganan.40 Menurut notaris
Sumendro, proses verleiden yang dilakukan diluar wilayah jabatan notaris
merupakan suatu pelanggaran terhadap autentisitas akta yang mana apabila
pembacaan ataupun penandatanganan akta dilakukan diluar wilayah jabatan
notaris, maka konsekuensi hukum dari akta tersebut adalah menjadi akta di
bawah tangan.41

Notaris di Indonesia sampai saat ini masih menggunakan ketentuan


hukum yang belum berubah dalam pembuatan akta, khususnya mengenai
tindakan menghadap, pembacaan, penandatanganan, serta penggunaan
materai.42 Adanya perkembangan zaman dan masyarakat telah menciptakan
dunia tanpa batas (borderless) yang menuntut notaris untuk siap
memberikan pelayanan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam konteks
global merupakan peluang dan tantangan yang harus menjadi perhatian
serius. Peluang dan tantangan tersebut harus dijawab dengan meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) serta hukum yang mengatur hal
tersebut.43 Pemanfaatan teknologi informasi di dunia kenotariatan salah
satunya adalah pembacaan akta notaris melalui video conference. Belum
adanya peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai pembacaan
akta notaris melalui video conference menimbulkan perdebatan dalam
praktik terutama pada saat akta tersebut digunakan sebagai alat bukti.
Perdebatan tersebut terkait dengan konsekuensi hukum terhadap autentisitas
akta yang dobacakan melalui video conference. Konsep notaris mayantara
atau cybernotary menghendaki notaris dalam menjalankan jabatannya
berbasis teknologi informasi dan komunikasi khususnya dalam pembuatan

40
ibid
41
HR. Sumendro, Notaris, Wawancara Pribadi, op.cit
42
Habib Adjie, “Konsep Notaris Mayantara Menghadapi Tantangan Persaingan Global”,
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 2, 2017, hlm. 204
43
Ibid, hlm. 205
akta.44 Dalam konsep ini, menghadap secara fisik tidak diperlukan, tetapi
bisa menggunakan media pandang dengar (seperti video conference) tanpa
batas wilayah negara ataupun batas kota atau provinsi.

Undang Undang Jabatan Notaris yang ada saat ini hanya mengatur
perihal pembacaan akta notaris merupakan salah satu kewajiban bagi notaris
dan konsekuensi dari tidak dibacakannya akta adalah akta tersebut dapat
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Ketentuan dalam Undang
Undang Jabatan Notaris hanya mengatur terkait konsekuensi dari akta
apabila tidak dibacakan, sedangkan belum ada aturan mengenai konsekuensi
akta yang dibacakan melalui video conference. Hal tersebut menjadikan
praktek pembacaan akta notaris melalui video conference masuk ke ruang
abu abu yang mana belum jelas boleh atau tidaknya untuk dilakukan.
Kembali lagi di satu sisi, notaris harus bekerja mengikuti aturan normatif
yang ada namun di sisi lain perkembangan zaman dan masyarakat menuntut
notaris yang harus bekerja secara normatif untuk merubah cara kerjanya
menjadi lebih modern dan fleksibel agar tidak tergerus zaman. Melihat hal
ini, diperlukan adanya aturan yang mengakomodir permasalahan tersebut
untuk menghindari keragu-raguan dan perdebatan dalam praktik terutama
pada saat akta tersebut digunakan sebagai alat bukti yang sah.

Akta yang dibacakan melalui video conference dan ditandatangani


secara terpisah tidak dapat dikatakan sebagai akta autentik lagi karena tidak
memenuhi syarat formil dan materiil suatu akta dimana notaris dalam
pembuatan akta tersebut telah melanggar undang undang yakni Pasal 16
ayat (1) huruf m UUJN-P dan Pasal 44 ayat (1) UUJN-P yang mana dalam
kedua pasal tersebut ditegaskan bahwa akta harus dibacakan dan
ditandatangani saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris. Hal ini
berarti proses penandatanganan oleh penghadap harus disaksikan oleh saksi
dan juga notaris, karena notaris tidak dapat dimintakan tanggung jawab atas
kebenaran materiil yang termuat didalam aktanya, akan tetapi untuk

44
R.A. Emma Nurita, 2012, Cyber Notary (Pemahaman Awal dan Konsep Pemikiran),
RefikaAditama, Bandung, hlm. 4.
kesalahan yang telah nyata-nyata diperbuat olehnya ia bertanggung jawab
secara hukum dan wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan. Artinya
meskipun tugas notaris hanya mengkonstantir kehendak penghadap,
meskipun susunan akta sudah dibuat sebagaimana ketentuan Pasal 38
UUJN-P, namun apabila dalam pelaksanaan pembuatan dan peresmiannya
notaris melakukan kesalahan ataupun tidak sesuai dengan prosedur yang
diatur dalam ketentuan perundang undangan yang dalam hal ini adalah
Undang Undang Jabatan Notaris, maka akta yang dibuatnya dapat
terdegradasi menjadi hanya berkekuatan hukum sebagai akta di bawah
tangan. Proses pembuatan akta merupakan satu kesatuan dari mulai
konsultasi sampai dengan penandatanganan, Undang Undang Jabatan
Notaris sebagai payung hukum bagi notaris dalam membuat akta maka
apabila notaris dalam proses pembuatan akta tidak mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris artinya notaris
tersebut membuka celah bagi dirinya dan juga aktanya untuk digugat baik
secara perdata maupun pidana.

E. Kesimpulan
1. Pembacaan Akta Notaris Melalui Video Conference Ditinjau
dari Undang Undang Jabatan Notaris

Praktek pembacaan akta melalui video conference praktek


pelaksanaan pembacaan dan peresmian akta melalui video conference
merupakan pelanggaran terhadap Undang Undang Jabatan Notaris, yakni
Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 44 (1) UUJN-P. Berdasarkan kedua
pasal tersebut tidak dimungkinkan bagi notaris untuk membacakan dan
menandatangani akta melalui video conference mengingat proses
penandatanganan tidak dapat dilakukan sesegera mungkin setelah akta
dibacakan. Mengingat belum ada aturan mengenai tanda tangan elektronik
dalam pembuatan akta autentik, maka sepanjang Pasal 44 ayat (1) UUJN-P
belum ada perubahan, maka sangat tidak dimungkinkan bagi notaris untuk
melakukan proses pembacaan dan penandatanganan akta melalui video
conference. Pembacaan dan peresmian akta melalui video conference
tersebut menimbulkan konsekuensi bagi notaris yakni sesuai ketentuan
Pasal 16 ayat (11) UUJN-P akan mendapat sanksi administrative berupa
peringatan tertulis, sampai dengan pemberhentian tidak hormat. Adapun
konsekuensi bagi akta yang diresmikan dengan video conference hanya
berkekuatan hukum sebagai akta di bawah tangan karena tidak memenuhi
unsur yang terdapat dalam pasal 44 UUJN-P.

2. Akibat Hukum Terhadap Akta Notaris yang Dibacakan Melalui


Video Conference Ditinjau dari Undang Undang Jabatan Notaris

Akta yang dibacakan melalui video conference dan ditandatangani


secara terpisah tidak dapat dikatakan sebagai akta autentik lagi karena tidak
memenuhi syarat formil dan materiil suatu akta dimana salah satu syaratnya
adalah notaris dalam membuat akta tidak boleh melakukan pelanggaran
hukum, sedangkan pembacaan dan penandatanganan akta melalui video
conference merupakan pelanggaran terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf m dan
Pasal 44 ayat (1) UUJN-P. Proses pembuatan akta merupakan satu kesatuan
dari mulai konsultasi sampai dengan penandatanganan, Undang Undang
Jabatan Notaris sebagai payung hukum bagi notaris dalam membuat akta
maka apabila notaris dalam proses pembuatan akta tidak mengikuti
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris
artinya notaris tersebut membuka celah bagi dirinya dan juga aktanya untuk
digugat baik secara perdata maupun pidana.

F. Saran
1. Perlu adanya persamaan persepsi yang jelas mengenai ruang
lingkup cybernotary mengingat banyak notaris yang
mengkualifikasikan pembacaan dan peresmian akta melalui
video conference merupakan praktek dari cybernotary
2. Perlu adanya aturan mengenai tanda tangan elektronik dalam
pembuatan akta autentik mengingat peluang yang sangat
tinggi di kemudian hari notaris akan memanfaatkan tenologi
informasi dalam pembuatan dan peresmian akta.
3. Perlu adanya aturan yang jelas mengenai teknis pembuatan
akta dari proses konsultasi sampai dengan peresmian akta
agar tidak ada lagi ruang abu-abu seperti dalam praktek
pembacaan dan penandatanganan akta yang dilakukan
melalui video conference.
4. Perlu adanya ketentuan perundang undangan terkait batasan
pemanfaatan teknologi yang dapat dilakukan oleh notaris
dalam hal pembuatan dan peresmian akta.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

A Kohar, 1993, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung

Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif


Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta

Adjie, Habib, 2011, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap


UU No. 30 tentang Jabatan Notaris, Cetakan ketiga, Refika
Aditama, Bandung
___________2008, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama,
Bandung
_______________, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris
Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung
__________, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU
No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama,
Bandung
Agussalim, Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik
Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor
Ali, Zainuddin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan kedua, Sinar
Grafika, Jakarta
Arikunto, Suharmisi, 1992, Prosedur Penelitian , Cetakan kedelapan, PT.
Rineka Cipta, Jakarta
Budiono, Herlien, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan Buku Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti
_______________, 2015, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan Buku Ketiga, Bandung: Citra Aditya Bakti

Emma Nurita, R.A., 2012, Cyber Notary (Pemahaman Awal dan Konsep
Pemikiran), Bandung: Refika Aditama

Fuady, Munir, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim,
Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator dan pengurus), Bandung: Citra
Aditya Bakti
G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta:
Erlangga
H. Salim dan H. Abdullah, 2007, Perancangan Kontrak dan MOU, Jakarta:
Sinar Grafika
Kelsen, Hans, 2007, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General
Theory of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif
Empirik, Jakarta: BEE Media Indonesia
Makarim, Edmon, 2014, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum
Tentang Cybernotary atau Elektronic Notary, Jakarta: Sinar Grafika

Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta:


Liberty

Moleong, Lexy J, 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif,Cetakan ke dua


puluh satu, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Muhammad, Abdul Kadir, 2001, Etika Profesi Hukum, cetakan kedua,
Bandung; Citra Aditya Bakti
Naja, Daeng, 2012, Teknik Pembuatan Akta, Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Nico, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta:
Center for Documentation and Studies of Business Law (CDSBL)
Notodisoerjo, Soegondo 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu
Penjelasan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Otje Salman dan Anton F Susanto, 2004, Teori Mengingat, Mengumpul, dan
Membuka Kembali, Jakarta: Rafika Aditama Press
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia
Dulu, Sekarang, dan di Masa yang Akan Datang, Jakarta, PT. Gramedia

Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo


Persada
Subekti, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa
Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir, Jakarta: PT. Refika Aditama
Sjaifurrachman & Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris
dalam Pembuatan Akta, Bandung: Mandar Maju
Sumardjono, Maria SW, 2014, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian
Hukum, Yogyakarta: Universotas Gadjah Mada
Thong Kie, Thang, 1987, Study Notarist; Serba-serbi Praktek Notaris,
Bandung: Alumni
Tobing, Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga
Victor. M. Situmorang, dkk, 1992, Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan
Eksekusi, Jakarta: PT.Rineka Cipta
Yuslim, 2014, Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/Kota Menurut Undang
Undang Dasar 1945, Ringkasan Disertasi, Universitas Andalas,
Padang

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Undang Undang Nomor 2 tahun 2014 Perubahan Atas Undang Undang


Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan
Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis
Pengawas Notaris
Kode Etik Notaris

Skripsi, Tesis, dan Disertasi


Ahmad Crusade Giri Brata, Analisis Konsep Notaris Mayantara dan Otentisitas
Aktanya Terkait Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, 2014, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro,
Semarang

Matra, Agung Fajar, “Penerapan Cybernotary di Indonesia Ditinjau dari


Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris’,
2012, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta
Rasyad, Fariz Helmy, 2012, Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan
Akta yang Tidak Memenuhi Ketentuan Pasal 16 ayat (1) Huruf L
dan ayat (7) Undang Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Jurnal
Adjie, Habib, 2017, “Konsep Notaris Mayantara Menghadapi Tantangan
Persaingan Global”, Jurnal Hukum Respublica, Volume 16, No. 2, Tahun
2017

Sundari, Tiska, 2017, “Analisis Hukum atas Penggunaan dan Pembuatan Akta
Notaris Secara Elektronik”, Premise Law Jurnal, Volume 1, Tahun 2017

Wijanarko, Fahma Rahman, 2015, “Tinjauan Yuridis Akta Notaris Terhadap


Pemberlakuan Cyber Notary di Indonesia Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014”, Jurnal Repertorium, Volume II No. 2 Juli-
Desember 2015

Majalah
M. Ramli, Ahmad, 2017, “Wawancara Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT,
dan Hukum RENVOI dengan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi
Majalah RENVOI”, Renvoi, No. 1.49.V, Juni

Website
https://www.kbbi.web.id/tanggung%20jawab diakses pada tanggal 27
September 2018
https://kbbi.web.id/teliti diakses pada tanggal 3 Oktober 2018
https://www.kbbi.web.id/etika diakses pada tanggal 23 Oktober 2018
http://www.edutafsi.com/2016/07/merumuskan-kesimpulan-secara-
deduktif-dan-induktif.html diakses pada tanggal 24 Oktober 2018
https://www.kompasiana.com/www.hendryjulian.com/5500a4f5a33311c56f511bc3
/fenomena-pidana-dalam-dunia-kenotariatan diakses pada tanggal 21
Maret 2019 pukul 20:52

Anda mungkin juga menyukai