Naskah Publikasi
Penelitian Pascasarjana
Magister Kenotariatan
Diajukan oleh
17/418058/PHK/09950
Kepada
FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2019
PEMBACAAN AKTA NOTARIS MELALUI VIDEO CONFERENCE
DITINJAU DARI UNDANG UNDANG JABATAN NOTARIS
NASKAH PUBLIKASI
Untuk
17/418058/PHK/09950
Pembimbing,
1
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Buku
Kedua, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 220.
2
H. Salim dan H. Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, 2007, Jakarta,
hlm. 101-102
3
Pasal 1866 Kitab Undang Undang Hukum Perdata alat pembuktian meliputi:
a. Bukti Tertulis
b. Bukti Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Kewajiban notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam Pasal
16 ayat (1) UUJN-P. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P, salah
satu kewajiban notaris adalah membacakan akta dihadapan para penghadap
dengan dihadiri sedikitnya 2 (dua) orang saksi, dan ditanda tangani pada
saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Diatur pula dalam Pasal 16
ayat (7) UUJN-P, mengenai pengecualian terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf
m tidak wajib dilakukan apabila penghadap telah membaca sendiri,
mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut
dinyatakan dalam penutup akta, serta setiap halaman minuta akta diparaf
oleh penghadap, para saksi, dan notaris. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1)
huruf m UUJN-P dinyatakan bahwa notaris harus hadir secara fisik dan
menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi. Namun, pada
beberapa kesempatan seringkali notaris dihadapkan pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk bertemu langsung dengan penghadap dalam hal
pembacaan dan penandatanganan akta.
Sehubungan dengan perkembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi atau yang selanjutnya akan disebut TIK, tentu saja berpengaruh
terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang bagi notaris. Notaris sebagai
pejabat umum yang memberikan pelayanan jasa dengan membuat akta tentu
saja dipermudah dengan adanya perkembangan teknologi tersebut. Kinerja
Notaris yang pada awalnya menggunakan cara-cara konvensional (masih
terpaku dengan cara harus bertemu secara langsung dihadapan Notaris dan
data-data penghadap diberikan secara langsung kepada Notaris dengan akta
yang dibuat dan disahkan dalam kertas) dalam pembuatan akta autentik dan
memiliki kekuatan hukum yang sempurna oleh pihak-pihak yang
membutuhkannya dalam fungsi pembuktian, menuju kearah jasa pelayanan
Notaris secara elektronik atau memanfaatkan ruang maya/cyber space dalam
menjalankan fungsi Notaris yang dikenal dengan cybernotary.
Berkembangnya wacana cyber notary menjadikan seorang Notaris dapat
menjalankan fungsi serta kewenangan jabatannya dengan berbasis
teknologi. Notaris dituntut untuk bekerja profesional dalam menjalankan
jabatannya sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta
autentik. Inti dari tugas notaris sebagai pejabat umum yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah guna melayani masyarakat ialah
merekam secara tertulis dan autentik hubungan-hubungan hukum antara
penghadap, yang secara mufakat meminta bantuan jasa-jasa notaris.4 Salah
satu bentuk perkembangan teknologi yang dirasakan langsung oleh notaris
adalah adanya teknologi video conference. Teknologi video conference
tersebut memungkinkan dua pihak atau lebih di lokasi yang berbeda, dapat
berinteraksi melalui pengiriman dua arah audio dan video secara bersamaan.
Pemanfaatan video conference tersebut antara lain adalah untuk membantu
notaris dalam kinerjanya yoang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m
UUJN-P5 yakni tahap pembacaan akta. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1)
huruf m UUJN-P tersebut menyebutkan bahwa notaris harus hadir secara
fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi. Teknologi
video conference dapat digunakan sebagai sarana yang membantu notaris
dalam hal pembacaan akta ketika para penghadap yang bersangkutan berada
di luar kota atau tempat yang berbeda dengan notaris tersebut. Adanya
teknologi video conference memang memudahkan pekerjaan Notaris dalam
banyak hal salah satunya dalam hal pembacaan akta. Mobilitas yang tinggi
dan keterbatasan waktu menjadi salah satu alasan Notaris menggunakan
teknologi video conference untuk pembacaan akta.
Perihal pembacaan akta notaris merupakan hal yang sangat penting
baik bagi notaris maupun para penghadap. Bagi para penghadap, pembacaan
akta tersebut sebagai jaminan bahwa apa yang tertuang didalam akta, yang
dibacakan, dan yang ditandatangani oleh para penghadap adalah sama dan
telah disetujui oleh para pihak.6 Bagi notaris sendiri, pembacaan akta
tersebut sangat memudahkan yakni apabila ada perubahan yang diinginkan
oleh para pihak, maka akan sesegera mungkin dilakukan pembenaran.
Pengecualian terhadap pembacaan akta dapat dilakukan apabila itu
4
Sjaifurrachman & Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hlm. 66
5
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
6
Thang Thong Kie, 1987, Study Notarist; Serba-serbi Praktek Notaris, Alumni, Bandung,
hlm : 285
merupakan permintaan para pihak. Notaris juga harus meyakinkan bahwa
para pihak telah membaca dan memahami isi dari akta tersebut. Pembacaan
akta yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi video conference
sudah banyak dilakukan oleh Notaris Notaris khususnya di kota-kota besar
dengan mobilitas yang tinggi. Di satu sisi, pemanfaatan teknologi tersebut
sangat membantu pekerjaan Notaris namun, belum adanya pengaturan di
dalam Undang Undang Jabatan Notaris mengenai pembacaan akta notaris
menggunakan teknologi video conference menimbulkan perdebatan di
kalangan Notaris sendiri terkait apakah pembacaan akta notaris boleh
dilakukan melalui teknologi video conference. Seiring berkembangnya
zaman, teknologi akan semakin berkembang, praktik pembacaan akta
dengan memanfaatkan teknologi video conference akan semakin banyak
dilakukan.
Melihat keadaan tersebut, notaris seperti dihadapkan pada dilema
dimana di satu sisi notaris memiliki kewajiban untuk membacakan akta
namun di sisi lain kebutuhan masyarakat yang membutuhkan semua serba
cepat memaksa notaris untuk mencari alternatif salah satunya dengan
memanfaatkan teknologi informasi. Sedangkan di sisi lain, terjadi
kekosongan hukum terhadap aturan mengenai pemanfaatan teknologi yang
dapat digunakan oleh notaris dalam pembuatan akta. Aturan mengenai
hubungan antara notaris dan teknologi hanya disinggung perihal
cybernotary yang memiliki kewenangan hanya terbatas pada proses
pengautentifikasian dokumen yang berbentuk elektronik, artinya praktek
pembacaan akta yang dilakukan dengan teknologi video conference tidak
termasuk ke dalam ranah cybernotary. Berdasarkan uraian dari latar
belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul tesis “Pembacaan Akta Notaris Melalui Video Conference
ditinjau dari Undang Undang Jabatan Notaris”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang sudah penulis paparkan di atas,
penulis merumuskan dua rumusan masalah yakni :
1. Bagaimanakah penerapan pembacaan akta Notaris melalui video
conference?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta notaris yang dibacakan
melalui video conference ditinjau dari Undang Undang Jabatan
Notaris?
C. Metode Penelitian
7
Lexy J. Moleong, 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Cetakan Ke dua puluh satu, Bandung, hlm. 248
8
http://www.edutafsi.com/2016/07/merumuskan-kesimpulan-secara-deduktif-dan-
induktif.html diakses pada tanggal 24 Oktober 2018
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Pembacaan Akta Notaris Melalui Video Conference Ditinjau
dari Undang Undang Jabatan Notaris
9
Herlien Budiono, 2015, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku
Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 147
10
G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 301
dibuat di hadapan pejabat umum yang berisikan keterangan yang
dikehendaki para pihak yang membuatnya. Kebenaran isi akta tersebut oleh
para pihak dapat diganggu gugat tanpa menuduh kepalsuan akta tersebut.
Relaas acten merupakan akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para
pihak, kebenaran dari akta ini tidak dapat diganggu gugat kecuali dengan
menuduh bahwa akta tersebut palsu.11
Suatu akta akan memiliki karakter yang autentik, jika akta itu
memiliki daya bukti antar para pihak dan terhadap pihak ketiga, sehingga
hal itu merupakan jaminan bagi para pihak bahwa perbuatan-perbuatan atau
keterangan-keterangan yang dikemukakan memberikan suatu bukti yang
tidak dapat dihilangkan.12 Kekuatan pembuktian akta autentik adalah
sempurna, berdasar Pasal 1872 KUHPerdata disebutkan bahwa jika suatu
akta autentik dalam bentuk apapun, diduga palsu, maka pelaksanaannya
dapat ditangguhkan menurut ketentuan yang terdapat dalam Hukum Acara
Perdata. Proses pembuatan akta dimulai dari para penghadap datang ke
kantor notaris dan mengutarakan maksud serta tujuan dari akta, lalu
berangkat dari keterangan tersebut, notaris menentukan akta apakah yang
harus dibuat apakah itu akta relaas ataukah akta partij, setelah akta dibuat
kemudian dilakukan proses peresmian akta yang terdiri atas pembacaan dan
penandatanganan.13 Proses pembacaan akta merupakan salah satu kewajiban
bagi notaris, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P. Dalam
penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa pada proses pembacaan, para
penghadap, notaris dan juga para saksi harus hadir secara fisik. Hal tersebut
mengingat proses pembacaan akta begitu penting karena merupakan
jaminan bahwa apa yang tertuang dalam akta tersebut adalah benar dan telah
disepakati oleh para penghadap, bagi notaris proses pembacaan akta
mempermudah notaris dan penghadap apabila terdapat perubahan-
perubahan sehingga langsung dapat dilakukan perubahan sebelum
11
Daeng Naja, 2012, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 17
12
Nico, op.cit, hlm. 49
13
Erlinda Saktiani, Sihabudin, Lucky Endrawati, 2014, Prospek Pembacaan dan
Penandatanganan Akta Notaris Melalui Video Conference, Tesis, Universitas Brawijaya,
Malang, hlm. 4
penandatanganan. Berdasarkan Pasal 44 UUJN-P, setelah dilakukan
pembacaan, akta tersebut harus ditandatangani oleh notaris, para penghadap,
dan juga para saksi sesegera mungkin setelah dibacakan. Adanya
perkembangan teknologi dan juga masyarakat, banyak notaris yang
melakukan pembacaan akta notaris dengan memanfaatkan teknologi
informasi salah satunya adalah video conference. Video conference dapat
membuat pembacaan akta dapat terlaksana tanpa harus membuang waktu
untuk hadir dan mengumpulkan para pihak dan saksi di tempat yang sama.14
Hal ini tentu saja sangat mempermudah pekerjaan notaris dan juga
penghadap dalam efisiensi waktu.
14
Bintari Dyah Ramadhani, Marsudi Triatmodjo, 2009, Eksplorasi Teknologi Informasi
dalam Penyelenggaraan Tugas dan Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta Terkait
dengan Aspek Hukum Pembuktian, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 33
15
Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 4
16
Edon Makarim, 2013, Notaris dan Transaksi Elektronik: Kajian Hukum Tentang Cyber
Nortary atau Electronic Notary, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 117
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti
yang sah dan diakui dalam sistem peradilan di Indonesia. Ketentuan
mengenai cybernotary juga terdapat dalam UUJN-P yakni Pasal 15 ayat (3)
UUJN-P yang menyatakan bahwa selain kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain
yang diatur dalam peraturan perundang undangan. Penjelasan pasal tersebut
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang undangan antara lain kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik (cybernotary), membuat akta
ikrar wakaf, dan hiptotek pesawat terbang. Berdasarkan penjelasan tersebut
Undang Undang Jabatan Notaris membatasi lingkup kewenangan dari
cybernotary adalah sebatas pensertifikasian transaksi yang bersifat
elektronik atau dengan kata lain pengautentifikasian dokumen yang bersifat
elektronik sehingga dapat dijadikan alat bukti yang autentik.17 Ketentuan
mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam kenotariatan terdapat pula
dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat dilakukan melalui media
telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang
memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara
langsung dan berpartisipasi dalam rapat. Artinya dimungkinkan untuk akta
relaas dibuat melalui video conference.
17
Edmon Makarim, op.cit, hlm.120
18
Hasil Wawancara dengan responden Notaris X, Notaris, Wawancara Pribadi,
Yogyakarta, 24 Juni 2019
Terkait dengan penandatanganan akta dilakukan oleh penghadap setelah
pembacaan akta, sedangkan notaris menandatangani akta setelah beliau
sampai di kantor selesai mengajar. Pembacaan akta melalui video
conference tersebut dilakukan atas inisiatif notaris dengan alasan efisiensi
waktu. Praktek yang sama juga dilakukan oleh notaris Y yang berkedudukan
di Jakarta. Notaris tersebut membacakan akta jual beli rumah melalui video
conference.19 Notaris dan salah satu penghadap berada di kantor notaris,
sedangkan penghadap lainnya berada di Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang. Pembacaan akta melalui video conference tersebut dilakukan
atas inisiatif dari penghadap. Penandatanganan akta dilakukan oleh notaris
dan penghadap saat itu juga setelah akta dibacakan, sedangkan penghadap
lainnya melakukan penandatanganan pada hari itu juga tapi di waktu yang
berbeda. Menurut keterangan notaris yang bersangkutan, beliau mengetahui
perihal prosedur peresmian dan pembacaan akta sebagaimana diatur dalam
Undang Undang Jabatan Notaris namun, dengan alasan keadaan yang tidak
memungkinkan notaris, saksi, dan penghadap untuk bertemu dalam satu
tempat yang sama di waktu yang sama maka notaris kemudian mencari
alternatif yang lebih fleksibel yakni dengan video conference. Notaris yang
bersangkutan juga beranggapan bahwa hal tersebut merupakan implikasi
dari cybernotary. Baik notaris X dan notaris Y beranggapan bahwa
pembacaan dan penandatanganan yang dilakukan dengan video conference
tersebut tidak mempengaruhi autentisitas dari akta sepanjang susunan akta
sesuai dengan Pasal 38 UUJN-P. Pembacaan akta melalui video conference
juga diakui tidak menyalahi Pasal 16 ayat (1) huruf m dimana notaris,
penghadap, dan juga saksi tetap dapat melihat satu sama lain secara jelas
dan nyata seperti hal nya apabila akta dibacakan secara langsung tanpa
video conference. Disamping itu, belum adanya aturan yang melarang
secara tegas pembacaan akta melalui video conference juga menjadi alasan
bagi notaris yang bersangkutan untuk melakukan praktek ini.
19
Hasil Wawancara dengan responden Notaris Y, Notaris, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27
Maret 2019
Undang Undang Jabatan Notaris, dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1)
huruf m menyatakan bahwa notaris harus hadir secara fisik dalam hal
pembacaan akta dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi
pada saat itu juga. Kehadiran secara fisik disini memang mungkin untuk
dilakukan dengan perantara video conference dalam hal pembacaan akta
namun, penandatanganan akta tidak dapat dilakuan saat itu juga. Ketentuan
mengenai penandatangan akta yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN-
P menyatakan bahwa segera setelah akta dibacakan, akta tersebut
ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris, kecuali apabila ada
penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangan dengan
menyebutkan alasannya. Pasal tersebyt menegaskan bahwa
penandatanganan akta harus dilakukan bersama sama oleh notaris, saksi,
dan juga penghadap segera setelah dibacakan tanpa ada jangka waktu.
Tujuan dari dibacakannya akta merupakan implementasi dari kepastian
hukum dimana penghadap dalam proses tersebut memastikan bahwa apa
yang tertuang didalam akta adalah benar kehendaknya, kemudian sebagai
bukti persetujuan atas akta tersebut penghadap membubuhkan tanda tangan
yang disaksikan oleh saksi dan juga notaris. Praktek pembacaan akta
sebagaimana telah diuraikan di atas telah melanggar ketentuan kedua pasal
tersebut. Pelanggaran tersebut terkait dengan penandatanganan akta yang
tidak dilakukan segera setelah pembacaan dan tidak dilakukan seara
bersamaan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan hukum
di kemudian hari baik bagi aktanya maupun notaris.
20
Hasil wawancara dengan Narasumber Adhitya Nugraha Novianta, Majelis Pengawas
Daerah Notaris Kabupaten Sleman, Wawancara sPribadi, Yogyakarta, 1 April 2019
21
HR. Sumendro, Notaris, Wawancara Pribadi, Yogyakarta,
22
Hendry Julian Noor, “Fenomena Pidana Dalam Dunia Kenotariatan”,
https://www.kompasiana.com/www.hendryjulian.com/5500a4f5a33311c56f511bc3/fenome
na-pidana-dalam-dunia-kenotariatan diakses pada tanggal 21 Maret 2019
dengan kata lain kalau tidak ada normatifnya maka tidak usah dilakukan.23
Sumendro menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata salah
satu unsur dari akta autentik adalah dibuat di dalam wilayah jabatan pejabat
yang berwenang.24 Hal tersebut berarti segala proses pembuatan akta
dimulai dari penghadap datang untuk mengutarakan keinginan sampai
dengan peresmian (verleiden) akta harus dilakukan di dalam wilayah jabatan
notaris. Notaris Sumendro juga menuturkan konsekuensi dari tidak
dipenuhinya prosedur verleiden akta dapat mengakibatkan akta tersebut
terdegradasi. Berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Ahmad M. Ramli
menyatakan jika di UUJN tidak disebutkan bahwa penghadap harus hadir
secara fisik, maka bolehlah dilakukan transaksi secara virtual, yang
terpenting orang yang bersangkutan telah teridentifikasi secara jelas.25
23
Hasil Wawancara dengan narasumber Notaris Habib Adjie, Notaris, Wawancara Pribadi,
Surakarta,8 April 2019
24
Hasil Wawancara dengan narasumber Notaris HR. Sumendro, Notaris, Wawancara
Pribadi, Yogyakarta, 14 Maret 2019
25
Ahmad M. Ramli, 2007, “Wawancara Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT, dan
Hukum RENVOI dengan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi”, Sebagaimana
yang termuat dalam Majalah tersebut edisi No. 1. 49. V, Juni, hlm. 58
26
Hasil Wawancara dengan narasumber Notaris Irma Devita, Notaris, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 22 Maret 2019
fisik berkaitan dengan tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum yang
berhubungan dengan aktanya antara lain:
Notaris tidak dapat dimintakan tanggung jawab atas kebenaran materiil yang
termuat didalam aktanya, akan tetapi untuk kesalahan yang telah nyata-
nyata diperbuat olehnya ia bertanggung jawab secara hukum dan wajib
mengganti kerugian yang ditimbulkan.29 Artinya, walaupun notaris hanya
mengkonstantir keinginan dari pihak-pihak yang menghadap, bukan berarti
notaris tidak pernah atau tidak mungkin melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum.30
27
M.A. Moegni Djojodirdjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita,
hlm. 30
28
Komar Andasasmita, 1981, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, hlm. 158
29
Nico, op.cit, hlm. 103
30
M.A. Moegni Djojodirdjo, op.cit, hlm. 35
Pemanfaatan teknologi video conference dalam peresmian akta seringkali
ditafsirkan oleh notaris sebagai implikasi dari cybernotary. Ketentuan
mengenai cybernotary sendiri telah ada di dalam penjelasan Pasal 15 ayat
(3) UUJN-P, dimana dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
kewenangan dari cybernotary hanya sebatas pensertifikasian dokumen
elektronik. Hal ini berkaitan dengan diakuinya dokumen elektronik sebagai
salah satu alat bukti dalam sistem peradilan di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Lebih lanjut lagi ditegaskan pada Pasal 5
ayat (4) UU ITE bahwa pengecualian terhadap dokumen elektronik yang
diakui dalam sistem peradilan tidak termasuk di dalamnya dokumen yang
oleh undang undang harus dibuat secara notariil. Pasal tersebut berarti hanya
mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti yang autentik, bukan
berarti akta autentik dapat dibuat dengan media elektronik.
31
Edmon Makarim, op.cit, hlm. 6
Ketentuan mengenai pembuatan sampai dengan peresmian akta
hingga saat ini masih tunduk pada Undang Undang Jabatan Notaris yang
mana masih menggunakan cara-cara konvensional. Hal ini juga merupakan
payung hukum bagi notaris. Selain itu, terdapat pula asas yang harus
diperhatikan dalam menjalankan jabatan notaris yakni Tabellionis Officium
Fideliter Excercebo dimana notaris harus bekerja secara tradisional. Hal ini
berarti praktek pelaksanaan pembacaan dan peresmian akta melalui video
conference merupakan pelanggaran terhadap Undang Undang Jabatan
Notaris, sehingga pembacaan dan peresmian akta melalui video conference
tersebut menimbulkan konsekuensi bagi notaris yakni sesuai ketentuan
Pasal 16 ayat (11) UUJN-P akan mendapat sanksi administrative berupa
peringatan tertulis, sampai dengan pemberhentian tidak hormat. Adapun
konsekuensi bagi akta yang diresmikan dengan video conference hanya
berkekuatan hukum sebagai akta di bawah tangan karena tidak memenuhi
unsur yang terdapat dalam pasal 44 UUJN-P.
34
Ibid, hlm. 22
35
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 142
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat
akta itu dibuat. Lebih lanjut lagi Pasal 1 angka 7 UUJN-P menyatakan
bahwa akta notaris merupakan akta autentik yang dibuat oleh atau di
hadapan notaris menurut bentuk yang ditetapkan oleh Undang Undang ini.
Kesimpulan dari kedua definisi di atas bahwa produk hukum yang dibuat
oleh atau di hadapan notaris merupakan akta autentik yang proses
pembuatannya harus mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang
Undang Jabatan Notaris.
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris dapat menjadi bukti
autentik dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak maupun
yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa
atau perbuatan hukum yang dilakukan. Penjelasan umum UUJN, bahwa akta
autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada notaris. Kewajiban bagi notaris adalah
untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-
sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan maksud para pihak, yaitu
dengan cara membacakannya sehingga jelas isi akta notaris, serta
memberikan akses terhadap informasi, termasuk terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan para pihak yang menandatangani
akta tersebut. Akta notaris merupakan formulasi keinginan atau kehendak
para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat di hadapan atau
oleh notaris dan bukan kehendak dari notaris.36 Meskipun akta notaris
memiliki kekuatan pembuktian sempurna, namun akta itu juga dapat
memiliki kekuatan sebagai akta di bawah tangan dan akta yang batal demi
hukum apabila notaris melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang undangan. Akta yang terdegradasi menjadi akta di bawah tangan
atau batal demi hukum dapat dijadikan alasan penuntutan ganti rugi bagi
pihak yang menderita kerugian untuk menuntut notaris. Penuntutan akibat
akta yang terdegradasi dapat berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga. Penggantian biaya adalah notaris memberikan ganti rugi kepada
36
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, Refika Adita, Bandung , hlm. 15
pihak ketiga atas biaya yang telah dikeluarkannya akibat adanya akta yang
batal demi hukum. Ganti rugi adalah uang yang diserahkan kepada notaris
kepada pihak ketiga yang disebabkan akta yang dibuatnya batal demi
hukum. Bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh pihak ketiga
kepada notaris yang telah membuat akta yang tidak memenuhi syarat formal
maupun materiil.
37
Hasil Wawancara dengan responden Notaris X, Notaris, Wawancara Pribadi,
Yogyakarta, 24 Juni 2019
38
Hasil Wawancara dengan responden Notaris Y, Notaris, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27
Maret 2019
Pembacaan akta melalui video conference tersebut dilakukan atas inisiatif
dari penghadap. Penandatanganan akta dilakukan oleh notaris dan
penghadap saat itu juga setelah akta dibacakan, sedangkan penghadap
lainnya melakukan penandatanganan pada hari itu juga tapi di waktu yang
berbeda. Menurut keterangan notaris yang bersangkutan, beliau mengetahui
perihal prosedur peresmian dan pembacaan akta sebagaimana diatur dalam
Undang Undang Jabatan Notaris namun, dengan alasan keadaan yang tidak
memungkinkan notaris, saksi, dan penghadap untuk bertemu dalam satu
tempat yang sama di waktu yang sama maka notaris kemudian mencari
alternatif yang lebih fleksibel yakni dengan video conference. Notaris yang
bersangkutan juga beranggapan bahwa hal tersebut merupakan implikasi
dari cybernotary. Baik notaris X dan notaris Y beranggapan bahwa
pembacaan dan penandatanganan yang dilakukan dengan video conference
tersebut tidak mempengaruhi autentisitas dari akta sepanjang susunan akta
sesuai dengan Pasal 38 UUJN-P. Pembacaan akta melalui video conference
juga diakui tidak menyalahi Pasal 16 ayat (1) huruf m dimana notaris,
penghadap, dan juga saksi tetap dapat melihat satu sama lain secara jelas
dan nyata seperti hal nya apabila akta dibacakan secara langsung tanpa
video conference. Disamping itu, belum adanya aturan yang melarang
secara tegas pembacaan akta melalui video conference juga menjadi alasan
bagi notaris yang bersangkutan untuk melakukan praktek ini.
40
ibid
41
HR. Sumendro, Notaris, Wawancara Pribadi, op.cit
42
Habib Adjie, “Konsep Notaris Mayantara Menghadapi Tantangan Persaingan Global”,
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 2, 2017, hlm. 204
43
Ibid, hlm. 205
akta.44 Dalam konsep ini, menghadap secara fisik tidak diperlukan, tetapi
bisa menggunakan media pandang dengar (seperti video conference) tanpa
batas wilayah negara ataupun batas kota atau provinsi.
Undang Undang Jabatan Notaris yang ada saat ini hanya mengatur
perihal pembacaan akta notaris merupakan salah satu kewajiban bagi notaris
dan konsekuensi dari tidak dibacakannya akta adalah akta tersebut dapat
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Ketentuan dalam Undang
Undang Jabatan Notaris hanya mengatur terkait konsekuensi dari akta
apabila tidak dibacakan, sedangkan belum ada aturan mengenai konsekuensi
akta yang dibacakan melalui video conference. Hal tersebut menjadikan
praktek pembacaan akta notaris melalui video conference masuk ke ruang
abu abu yang mana belum jelas boleh atau tidaknya untuk dilakukan.
Kembali lagi di satu sisi, notaris harus bekerja mengikuti aturan normatif
yang ada namun di sisi lain perkembangan zaman dan masyarakat menuntut
notaris yang harus bekerja secara normatif untuk merubah cara kerjanya
menjadi lebih modern dan fleksibel agar tidak tergerus zaman. Melihat hal
ini, diperlukan adanya aturan yang mengakomodir permasalahan tersebut
untuk menghindari keragu-raguan dan perdebatan dalam praktik terutama
pada saat akta tersebut digunakan sebagai alat bukti yang sah.
44
R.A. Emma Nurita, 2012, Cyber Notary (Pemahaman Awal dan Konsep Pemikiran),
RefikaAditama, Bandung, hlm. 4.
kesalahan yang telah nyata-nyata diperbuat olehnya ia bertanggung jawab
secara hukum dan wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan. Artinya
meskipun tugas notaris hanya mengkonstantir kehendak penghadap,
meskipun susunan akta sudah dibuat sebagaimana ketentuan Pasal 38
UUJN-P, namun apabila dalam pelaksanaan pembuatan dan peresmiannya
notaris melakukan kesalahan ataupun tidak sesuai dengan prosedur yang
diatur dalam ketentuan perundang undangan yang dalam hal ini adalah
Undang Undang Jabatan Notaris, maka akta yang dibuatnya dapat
terdegradasi menjadi hanya berkekuatan hukum sebagai akta di bawah
tangan. Proses pembuatan akta merupakan satu kesatuan dari mulai
konsultasi sampai dengan penandatanganan, Undang Undang Jabatan
Notaris sebagai payung hukum bagi notaris dalam membuat akta maka
apabila notaris dalam proses pembuatan akta tidak mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris artinya notaris
tersebut membuka celah bagi dirinya dan juga aktanya untuk digugat baik
secara perdata maupun pidana.
E. Kesimpulan
1. Pembacaan Akta Notaris Melalui Video Conference Ditinjau
dari Undang Undang Jabatan Notaris
F. Saran
1. Perlu adanya persamaan persepsi yang jelas mengenai ruang
lingkup cybernotary mengingat banyak notaris yang
mengkualifikasikan pembacaan dan peresmian akta melalui
video conference merupakan praktek dari cybernotary
2. Perlu adanya aturan mengenai tanda tangan elektronik dalam
pembuatan akta autentik mengingat peluang yang sangat
tinggi di kemudian hari notaris akan memanfaatkan tenologi
informasi dalam pembuatan dan peresmian akta.
3. Perlu adanya aturan yang jelas mengenai teknis pembuatan
akta dari proses konsultasi sampai dengan peresmian akta
agar tidak ada lagi ruang abu-abu seperti dalam praktek
pembacaan dan penandatanganan akta yang dilakukan
melalui video conference.
4. Perlu adanya ketentuan perundang undangan terkait batasan
pemanfaatan teknologi yang dapat dilakukan oleh notaris
dalam hal pembuatan dan peresmian akta.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Emma Nurita, R.A., 2012, Cyber Notary (Pemahaman Awal dan Konsep
Pemikiran), Bandung: Refika Aditama
Fuady, Munir, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim,
Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator dan pengurus), Bandung: Citra
Aditya Bakti
G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta:
Erlangga
H. Salim dan H. Abdullah, 2007, Perancangan Kontrak dan MOU, Jakarta:
Sinar Grafika
Kelsen, Hans, 2007, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General
Theory of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif
Empirik, Jakarta: BEE Media Indonesia
Makarim, Edmon, 2014, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum
Tentang Cybernotary atau Elektronic Notary, Jakarta: Sinar Grafika
Peraturan Perundang-undangan
Jurnal
Adjie, Habib, 2017, “Konsep Notaris Mayantara Menghadapi Tantangan
Persaingan Global”, Jurnal Hukum Respublica, Volume 16, No. 2, Tahun
2017
Sundari, Tiska, 2017, “Analisis Hukum atas Penggunaan dan Pembuatan Akta
Notaris Secara Elektronik”, Premise Law Jurnal, Volume 1, Tahun 2017
Majalah
M. Ramli, Ahmad, 2017, “Wawancara Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT,
dan Hukum RENVOI dengan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi
Majalah RENVOI”, Renvoi, No. 1.49.V, Juni
Website
https://www.kbbi.web.id/tanggung%20jawab diakses pada tanggal 27
September 2018
https://kbbi.web.id/teliti diakses pada tanggal 3 Oktober 2018
https://www.kbbi.web.id/etika diakses pada tanggal 23 Oktober 2018
http://www.edutafsi.com/2016/07/merumuskan-kesimpulan-secara-
deduktif-dan-induktif.html diakses pada tanggal 24 Oktober 2018
https://www.kompasiana.com/www.hendryjulian.com/5500a4f5a33311c56f511bc3
/fenomena-pidana-dalam-dunia-kenotariatan diakses pada tanggal 21
Maret 2019 pukul 20:52