Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Abortus

Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus spontan adalah
abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis dan disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Abortus provokatus
adalah abortus yang terjadi akibat tindakan atau disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat
(Mochtar, 1998).

Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia luar, tanpa mempersoalkan
penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar bila berat badannya telah mencapai lebih daripada 500
gram atau umur kehamilan lebih daripada 20 minggu (Sastrawinata et al., 2005). Abortus spontan merujuk
kepada keguguran pada kehamilan kurang dari 20 minggu tanpa adanya tindakan medis atau tindakan bedah
untuk mengakhiri kehamilan (Griebel et al., 2005).

Abortus spontan adalah merupakan mekanisme alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan
sebelum berumur 28 minggu. Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab
lain yang pada umumnya berhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi (Syafruddin, 2003).

2.2. Klasifikasi Abortus

Klasifikasi abortus menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005) adalah seperti berikut :

i. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis maupun mekanis.
ii. Abortus buatan, Abortus provocatus (disengaja, digugurkan), yaitu:

a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu (Abortus provocatus artificialis atau abortus therapeuticus). Indikasi
abortus untuk kepentingan ibu, misalnya : penyakit jantung, hipertensi esential, dan karsinoma serviks.
Keputusan ini ditentukan oleh tim ahli yang terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri, atau
psikolog.

b. Abortus buatan kriminal (Abortus provocatus criminalis) adalah pengguguran kehamilan tanpa alasan medis
yang sah atau oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.

2.3. Etiologi Abortus

Secara umum, terdapat tiga faktor yang boleh menyebabkan abortus spontan yaitu faktor fetus, faktor ibu
sebagai penyebab abortus dan faktor paternal. Lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama
kehamilan, dan kira-kira setengah dari kasus abortus ini diakibatkan oleh anomali kromosom. Setelah melewati
trimester pertama, tingkat aborsi dan peluang terjadinya anomali kromosom berkurang (Cunningham et al.,
2005).

2.3.1. Faktor Fetus

Berdasarkan hasil studi sitogenetika yang dilakukan di seluruh dunia, sekitar 50 hingga 60 persen dari abortus
spontan yang terjadi pada trimester pertama mempunyai kelainan kariotipe. Kelainan pada kromosom ini adalah
seperti autosomal trisomy, monosomy X dan polyploidy (Lebedev et al., 2004).

Abnormalitas kromosom adalah hal yang utama pada embrio dan janin yang mengalami abortus spontan, serta
merupakan sebagian besar dari kegagalan kehamilan dini. Kelainan dalam jumlah kromosom lebih sering
dijumpai daripada kelainan struktur kromosom. Abnormalitas kromosom secara struktural dapat diturunkan oleh
salah satu dari kedua orang tuanya yang menjadi pembawa abnormalitas tersebut (Cunningham et al., 2005).

2.3.2. Faktor-faktor Ibu Sebagai Penyebab Abortus


Menurut Sotiriadis dan kawan-kawan (2004), ibu hamil yang mempunyai riwayat keguguran memiliki risiko
yang tinggi untuk terjadi keguguran pada kehamilan seterusnya terutama pada ibu yang berusia lebih tua.

Pada wanita hamil yang mempunyai riwayat keguguran tiga kali berturutturut, risiko untuk terjadinya abortus
pada kehamilan seterusnya adalah sebesar 50 persen (Kleinhaus et al., 2006; Berek, 2007).

Berbagai penyakit infeksi, penyakit kronis, kelainan endokrin, kekurangan nutrisi, alkohol, tembakau,
deformitas uterus ataupun serviks, kesamaan dan ketidaksamaan immunologik kedua orang tua dan trauma
emosional maupun fisik dapat menyebabkan abortus, meskipun bukti korelasi tersebut tidak selalu meyakinkan.
Isolasi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urelyticum dari traktus genitalis beberapa wanita yang mengalami
abortus, mengarahkan pada hipotesis bahwa infeksi mycoplasma yang mengenai traktus genitalis, merupakan
abortifasient. Pada kehamilan lanjut, persalinan prematur dapat ditimbulkan oleh penyakit sistemik yang berat
pada ibu. Hipertensi jarang menyebabkan abortus, tetapi dapat mengakibatkan kematian janin dan persalinan
prematur. Abortus sering disebabkan, mungkin tanpa alasan yang adekuat, kekurangan sekresi progesteron yang
pertama oleh korpus luteum dan kemudian oleh trofoblast. Karena progesteron mempertahankan desidua,
defisiensi relatif secara teoritis mengganggu nutrisi konseptus dan dengan demikian mengakibatkan kematian.
Pada saat ini, tampak bahwa hanya malnutrisi umum yang berat merupakan predisposisi meningkatnya
kemungkinan abortus. Wanita yang merokok diketahui lebih sering mengalami abortus spontan daripada wanita
yang tidak merokok. Alkohol dinyatakan meningkatkan resiko abortus spontan, meskipun hanya digunakan
dalam jumlah sedang (Cunningham et al., 2005).

Kira-kira 10 persen hingga 15 persen wanita hamil yang mengalami keguguran berulang mempunyai kelainan
pada rahim seperti septum parsial atau lengkap. Anomali ini dapat menyebabkan keguguran melalui implantasi
yang tidak sempurna karena vaskularisasi abnormal, distensi uterus, perkembangan plasenta yang abnormal dan
peningkatan kontraktilitas uterus (Kiwi, 2006).

2.3.3. Faktor Paternal

Translokasi kromosom dalam sperma dapat menyebabkan zigote mempunyai terlalu sedikit atau terlalu banyak
bahan kromosom, sehingga mengakibatkan abortus (Cunningham et al., 2005).

2.4. Patogenesis Abortus

Menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005), kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian
janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan
nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam. Buah
kehamilan terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim.
Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi pendorongan benda asing itu keluar
rongga rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada abortus spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling
lama dua minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak
dilakukan jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari. Sebelum minggu ke-10,
hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis
belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara
minggu ke-10 hingga minggu ke-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua
makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.
Pengeluaran hasil konsepsi didasarkan 4 cara:

i. Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan sisa desidua.
ii. Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan korion dan desidua.
iii. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan janin ke luar, tetapi
mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya janin yang dikeluarkan).
iv. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh. Kuretasi diperlukan untuk
membersihkan uterus dan mencegah perdarahan atau infeksi lebih lanjut.
2.5. Gambaran Klinis Abortus

Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi abortus iminens (threatened abortion), abortus insipiens (inevitable
abortion), abortus inkompletus (incomplete abortion) atau abortus kompletus (complete abortion), abortus
tertunda (missed abortion), abortus habitualis (recurrent abortion), dan abortus septik (septic abortion)
(Cunningham et al., 2005; Griebel et al., 2005).

2.5.1. Abortus Iminens (Threatened abortion)

Vagina bercak atau perdarahan yang lebih berat umumnya terjadi selama kehamilan awal dan dapat
berlangsung selama beberapa hari atau minggu serta dapat mempengaruhi satu dari empat atau lima wanita
hamil. Secara keseluruhan, sekitar setengah dari kehamilan ini akan berakhir dengan abortus (Cunningham et
al., 2005).

Abortus iminens didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada 20 minggu mengeluarkan darah
sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit
nyeri perut bawah atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Polip serviks, ulserasi vagina, karsinoma
serviks, kehamilan ektopik, dan kelainan trofoblast harus dibedakan dari abortus iminens karena dapat
memberikan perdarahan pada vagina. Pemeriksaan spekulum dapat membedakan polip, ulserasi vagina atau
karsinoma serviks, sedangkan kelainan lain membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi (Sastrawinata et al.,
2005).

2.5.2. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)

Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan perdarahan banyak, kadang-kadang keluar
gumpalan darah yang disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks sehingga
jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian
bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan.
Janin biasanya sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan kontraindikasi
(Sastrawinata et al., 2005).

2.5.3. Abortus Inkompletus atau Abortus Kompletus

Abortus inkompletus didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada vagina, tetapi
sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan
membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai
benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan
kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika hasil konsepsi lahir
dengan lengkap, maka disebut abortus komplet. Pada keadaan ini kuretasi tidak perlu dilakukan. Pada abortus
kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari
perdarahan berhenti sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai.
Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus
inkompletus atau endometritis pasca abortus harus dipikirkan (Sastrawinata et al., 2005).

2.5.4. Abortus Tertunda (Missed abortion)

Abortus tertunda adalah keadaan dimana janin sudah mati, tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak
dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih. Pada abortus tertunda akan dijimpai amenorea, yaitu perdarahan sedikit-
sedikit yang berulang pada permulaannya, serta selama observasi fundus tidak bertambah tinggi, malahan
tambah rendah. Pada pemeriksaan dalam, serviks tertutup dan ada darah sedikit (Mochtar, 1998).

2.5.5. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)

Anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu hamil, dan kelainan struktural uterus merupakan
penyebab langsung pada abortus habitualis (Jauniaux et al., 2006). Menurut Mochtar (1998), abortus habitualis
merupakan abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih. Etiologi abortus ini adalah kelainan dari ovum
atau spermatozoa, dimana sekiranya terjadi pembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi tiroid,
kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesterone
sesudah korpus luteum atrofis juga merupakan etiologi dari abortus habitualis.

2.5.6. Abortus Septik (Septic abortion)

Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam
peredaran darah atau peritoneum. Hal ini sering ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan,
terutama yang kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Antara bakteri yang dapat
menyebabkan abortus septik adalah seperti Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Proteus vulgaris,
Hemolytic streptococci dan Staphylococci (Mochtar, 1998; Dulay, 2010).

2.6. Diagnosa Abortus

Menurut WHO (1994), setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua daripada tiga gejala seperti di
bawah harus dipikirkan kemungkinan terjadinya abortus:

i. Perdarahan pada vagina.


ii. Nyeri pada abdomen bawah.
iii. Riwayat amenorea.

Ultrasonografi penting dalam mengidentifikasi status kehamilan dan memastikan bahwa suatu kehamilan adalah
intrauterin. Apabila ultrasonografi transvaginal menunjukkan sebuah rahim kosong dan tingkat serum hCG
kuantitatif lebih besar dari 1.800 mIU per mL (1.800 IU per L), kehamilan ektopik harus dipikirkan. Ketika
ultrasonografi transabdominal dilakukan, sebuah rahim kosong harus menimbulkan kecurigaan kehamilan
ektopik jika kadar hCG kuantitatif lebih besar dari 3.500 mIU per mL (3.500 IU per L). Rahim yang ditemukan
kosong pada pemeriksaan USG dapat mengindikasikan suatu abortus kompletus, tetapi diagnosis tidak definitif
sehingga kehamilan ektopik disingkirkan (Griebel et al., 2005; Puscheck, 2010).

Menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005), diagnosa abortus menurut gambaran klinis adalah seperti
berikut:

i. Abortus Iminens (Threatened abortion)

a. Anamnesis – perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak ada atau ringan.

b. Pemeriksaan dalam – fluksus ada (sedikit), ostium uteri tertutup, dan besar uterus sesuai dengan umur
kehamilan.

c. Pemeriksaan penunjang – hasil USG.

ii. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)

a. Anamnesis – perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri / kontraksi rahim.

b. Pemeriksaan dalam – ostium terbuka, buah kehamilan masih dalam rahim, dan ketuban utuh (mungkin
menonjol).

iii. Abortus Inkompletus atau abortus kompletus

a. Anamnesis – perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri / kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan
banyak dapat terjadi syok.

b. Pemeriksaan dalam – ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah kehamilan.
iv. Abortus Tertunda (Missed abortion)

a. Anamnesis - perdarahan bisa ada atau tidak.

b. Pemeriksaan obstetri – fundus uteri lebih kecil dari umur kehamilan dan bunyi jantung janin tidak ada.

c. Pemeriksaan penunjang – USG, laboratorium (Hb, trombosit, fibrinogen, waktu perdarahan, waktu
pembekuan dan waktu protrombin).

Diagnosa abortus habitualis (recurrent abortion) dan abortus septik (septic abortion) menurut Mochtar (1998)
adalah seperti berikut:

i. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)

a. Histerosalfingografi – untuk mengetahui ada tidaknya mioma uterus submukosa dan anomali kongenital.

b. BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau tidak gangguan glandula thyroidea.

ii. Abortus Septik (Septic abortion)

a. Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan yang telah ditolong di luar rumah sakit.

b. Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan, perdarahan dan sebagainya.

c. Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat, perdarahan, nyeri tekan dan leukositosis.

d. Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi, menggigil, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun
sampai syok.

2.7. Penatalaksanaan Abortus

Pada abortus insipiens dan abortus inkompletus, bila ada tanda-tanda syok maka diatasi dulu dengan pemberian
cairan dan transfuse darah. Kemudian, jaringan dikeluarkan secepat mungkin dengan metode digital dan
kuretase. Setelah itu, beri obat-obat uterotonika dan antibiotika. Pada keadaan abortus kompletus dimana
seluruh hasil konsepsi dikeluarkan (desidua dan fetus), sehingga rongga rahim kosong, terapi yang diberikan
hanya uterotonika. Untuk abortus tertunda, obat diberi dengan maksud agar terjadi his sehingga fetus dan
desidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil, dilatasi dan kuretase dilakukan. Histerotomia anterior juga dapat
dilakukan dan pada penderita, diberikan tonika dan antibiotika. Pengobatan pada kelainan endometrium pada
abortus habitualis lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya. Merokok dan
minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Pada serviks inkompeten, terapinya adalah operatif yaitu
operasi Shirodkar atau McDonald (Mochtar, 1998).

2.8. Abortus Provokatus

Abortus provokatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti
pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam
jenis abortus (Nainggolan, 2006).

Menurut Nainggolan (2006) dalam Kusmariyanto (2002), pengertian aborsi atau abortus provokatus adalah
penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya. Dengan kata lain “pengeluaran”
itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara
mekanik atau obat.

Abortus elektif atau sukarela adalah pengakhiran kehamilan sebelum janin mampu hidup atas dasar permintaan
wanita, dan tidak karena kesehatan ibu yang terganggu atau penyakit pada janin (Pritchard et al., 1991).
Abortus terapeutik adalah pengakhiran kehamilan sebelum saatnya janin mampu hidup dengan maksud
melindungi kesehatan ibu. Antara indikasi untuk melakukan abortus therapeutik adalah apabila kelangsungan
kehamilan dapat membahayakan nyawa wanita tersebut seperti pada penyakit vaskular hipertensif tahap lanjut
dan invasive karsinoma pada serviks. Selain itu, abortus terapeutik juga boleh dilakukan pada kehamilan akibat
perkosaan atau akibat hubungan saudara (incest) dan sebagai pencegahan untuk kelahiran fetus dengan
deformitas fisik yang berat atau retardasi mental (Cunningham et al., 2005).

Kontraindikasi untuk melakukan abortus terapeutik adalah seperti kehamilan ektopik, insufiensi adrenal,
anemia, gangguan pembekuan darah dan penyakit kardiovaskular (Trupin, 2002).

Menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005), abortus terapeutik dapat dilakukan dengan cara:

i. Kimiawi – pemberian secara ekstrauterin atau intrauterin obat abortus, seperti: prostaglandin,
antiprogesteron, atau oksitosin.
ii. Mekanis:
a. Pemasangan batang laminaria atau dilapan akan membuka serviks secara perlahan dan tidak
traumatis sebelum kemudian dilakukan evakuasi dengan kuret tajam atau vakum.
b. Dilatasi serviks dilanjutkan dengan evakuasi, dipakai dilator Hegar dilanjutkan dengan kuretasi.
c. Histerotomi / histerektomi.

PENGERTIAN ABORTUS IMMINEN

Abortus imminen adalah perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan sauatu
kehamilan. Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan. (Syaifudin. Bari
Abdul, 2000)

Abortus imminen adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan kurang dari 20 minggu, tanpa tanda-tanda
dilatasi serviks yang meningkat ( Mansjoer, Arif M, 1999)

Abortus imminen adalah pengeluaran secret pervaginam yang tampak pada paruh pertama kehamilan (
William Obstetri, 1990)
B. ETIOLOGI ABORTUS IMMINEN
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu :

1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8
minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
1. Kelainan kromosom, terutama trimosoma dan monosoma X
2. Lingkungan sekitar tempat impaltasi kurang sempurna
3. Pengaruh teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan temabakau dan alkohol
2. Kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis vili korialis karena hipertensi menahun
3. Faktor maternal seperti pneumonia, typus, anemia berat, keracunan dan toksoplasmosis.
4. Kelainan traktus genetalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi
uteri, mioma uteri dan kelainan bawaan uterus.

C. GAMBARAN KLINIS ABORTUS IMMINEN

1. Terlambat haid atau amenorhe kurang dari 20 minggu


2. Pada pemeriksaan fisik : keadaan umum tampak lemah kesadaran menurun, tekanan darah normal atau
menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat
3. Perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan keluarnya jaringan hasil konsepsi
4. Rasa mulas atau kram perut, didaerah atas simfisis, sering nyeri pingang akibat kontraksi uterus
5. Pemeriksaan ginekologi :
1. Inspeksi Vulva : perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil konsepsi, tercium bau busuk dari vulva
2. Inspekulo : perdarahan dari cavum uteri, osteum uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau tidak jaringan
keluar dari ostium, ada atau tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.
3. Colok vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam cavum uteri,
besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada
perabaan adneksa, cavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri.

D. PATOFISIOLOGI ABORTUS IMMINEN


Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan nerkrosis jaringan sekitar yang
menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi
untuk mengeluarkan benda asing tersebut.

Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi
dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga
plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan.

Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar
dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes
ovum),janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.

Komplikasi :

1. Perdarahan, perforasi syok dan infeksi


2. Pada missed abortion dengan retensi lama hasil konsepsi dapat terjadi kelainan pembekuan darah.

E. PATHWAY ABORTUS IMMINEN


Download Pathway Abortus Imminen
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG ABORTUS IMMINEN

1. Tes kehamilan positif jika janin masih hidup dan negatif bila janin sudah mati
2. Pemeriksaan Dopler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
3. Pemeriksaan fibrinogen dalam darah pada missed abortion

Data laboratorium

1. Tes urine
2. Hemoglobin dan hematokrit
3. Menghitung trombosit
4. Kultur darah dan urine

G. MASALAH KEPERAWATAN ABORTUS IMMINEN

1. Kecemasan
2. Intoleransi aktifitas
3. Gangguan rasa nyaman dan nyeri
4. Defisit volume cairan

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN ABORTUS IMMINEN

1. Cemas berhubungan dengan pengeluaran konsepsi


1. Tujuan : Mengurangii atau menghilangkan kecemasan
2. Intervensi :
1. Siapkan klien untuk reaksi atas kehilangan
2. Beri informasi yang jelas dengan cara yang tepat
2. Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus
1. Tujuan : Mengurangi atau menghilangkan rasa sakit
2. Intervensi :
1. Menetapkan laporan dan tanda-tanda yang lain. Panggil pasien dengan nama lengkap. Jangan tinggalkan
pasien tanpa pengawasan dalam waktu yang lama
2. Rasa sakit dan karakteristik, termasuk kualitas waktu lokasi dan intensitas
3. Melakukan tindakan yang membuat klien merasa nyaman seperti ganti posisi, teknik relaksasi serta
kolaburasi obat analgetik
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
1. Tujuan : Mencegah terjadinya defisit cairan
2. Intervensi :
1. Kaji perdarahan pada pasien, setiap jam atau dalam masa pengawasan
1. Kaji perdarahan Vagina : warna, jumlah pembalut yang digunakan, derajat aliran dan banyakny
2. Kaji adanya gumpalan
3. Kaji adanya tanda-tanda gelisah, taki kardia, hipertensi dan kepucatan
2. Monitor nilai HB dan Hematokrit
4. Kehilangan berhubungan dengan pengeluaran hasil konsepsi
1. Tujuan : Mengurangi atau meminimalkan rasa kehilangan atau duka cita
2. Intervensi :
1. Pasien menerima kenyataan kehilangan dengan tenang tidak dengan cara menghakimi
2. Jika diminta bisa juga dilakukan perawatan janin
3. Menganjurkan pada pasien untuk mendekatkan diri pada Tuhan YME
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri
1. Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitas sesuai dengan toleransinya
2. Intervensi :
1. Menganjurkan pasien agar tiduran
2. Tidak melakukan hubungan seksual

Anda mungkin juga menyukai