Anda di halaman 1dari 12

STUDI KASUS …………………

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Disusun Oleh :

Ali Roo’in Mas’uul


NIM 1907053019
Baiq Sandi kartikasari

Dosen Pengampu :

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
TBC adalah infeksi penyebab kematian nomor satu di Indonesia dalam
kategori penyakit menular. Namun, jika dilihat dari penyebab kematian umum,
TBC menempati posisi ke-3 setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut di semua kalangan usia.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI), Dr. M. Arifin Nawas, SpP(K), MARS mengungkapkan bahwa setiap
jam ada 8 kasus kematian akibat TBC. Sekitar 140.000 kematian akibat TBC
terjadi setiap tahunnya.
Kemenkes melaporkan ada 351.893 kasus TBC di Indonesia per tahun
2016, meningkat dari tahun 2015 sebesar 330.729 kasus. Angka penderita TBC
di Indonesia selalu bertambah sekitar seperempat juta kasus baru setiap
tahunnya.
TBC lebih banyak menyerang laki-laki (60%) daripada perempuan
(40%). Proporsi kasus tuberkulosis terbanyak ditemukan pada kelompok usia
produktif (25-34 tahun), yaitu sebesar 18,07%, diikuti kelompok umur 45-54
tahun sebesar 17,25 persen. Kasus TBC juga paling banyak ditemukan pada
golongan penduduk yang tidak bekerja dan yang tidak sekolah.
Meski begitu, setiap orang pada dasarnya bisa terkena tuberkulosis
apabila Anda memiliki faktor risikonya — sistem imun lemah, kebersihan diri
yang tidak terjaga baik, dan tingkat keterpaparan alias seberapa intens dan dekat
kontak langsung Anda dengan pasien TBC.
Kemenkes menetapkan standar minimal persentase keberhasilan
pengobatan TBC secara nasional sebesar 90 persen, tidak berbeda jauh dari
WHO yang mematok angka di 85% untuk setiap negara yang rentan TBC.
Tingkat keberhasilan pengobatan TBC sepanjang tahun 2008-2009
pernah mencapai 90%, namun kemudian terus turun dan berubah-ubah hingga
data terakhir pada tahun 2016 tercatat di angka 85 persen. Persentase
kesembuhan TBC paling rendah pernah terjadi di tahun 2013, yaitu sekitar 83
persen.
Tingkat keberhasilan pengobatan TBC secara nasional per tahun 2016
dipegang oleh Kalimantan Selatan (94,2%) dan terendah Papua Barat (56,9%).
Dikutip dari website Departemen Kesehatan Republik Indonesia, setidaknya
ada tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus TBC di Indonesia, yaitu:
Waktu pengobatan yang relatif lama, yakni sekitar 6-8 bulan menjadi penyebab
orang dengan TBC menghentikan pengobatan di tengah jalan setelah merasa
sehat padahal masa pengobatan belum selesai. Hal ini akan membuat bakteri
tetap hidup dan terus menginfeksi tubuh serta orang terdekatnya. Adanya
peningkatan orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Virus HIV dapat melemahkan
kekebalan tubuh. Oleh karena itu, orang dengan HIV akan mudah terinfeksi
penyakit lain termasuk TB. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS berisiko 20
sampai 30 kali lebih mungkin untuk terinfeksi TBC. Sekitar 400 ribu ODHA di
dunia meninggal akibat TB pada tahun 2016, lapor WHO.
Munculnya permasalahan TB-MDR atau resistensi antibiotik. Bakteri
penyebab TBC dilaporkan kebal terhadap beberapa jenis antibiotik, yang akan
menyulitkan proses penyembuhan.
Selain ODHA, anak-anak, lansia, penderita kanker, diabetes, ginjal, dan
penyakit autoimun lainnya berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi TBC karena
sistem imunnya tidak mampu melawan pertumbuhan bakteri TBC yang ganas.
Berdasarkan pemaparan di atas, risiko untuk tertular TBC bisa
meningkat apabila daya tahan tubuh sedang lemah atau mengalami kekurangan
gizi. Kekurangan gizi akan melemahkan daya tahan tubuh Anda secara
keseluruhan. Padahal, semakin kuat sistem imun Anda, semakin kecil risiko
Anda tertular TBC. Karena perlu dibuat sistem secara nasional guna mencegah
semakin banyaknya masyarakat yang tertular TB.
B. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinamika Penyakit Penyakit TBC di Kabupaten Bantul

Penderita penyakit TBC


80.00%
66.80%
70.00%
58.00%
60.00% 52.68%
50.00% 44.19%
39.64%
40.00% 34.89%

30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Grafik 1. Prosentase Penderita Penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Bantul


(Sumber : Data Kesehatan Pemerintah Kabupaten Bantul)

Angka kesakitan penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Bantul


diperoleh atau diambil dari profil kesehatan Kabupaten Bantul pada tahun 2015
sampai dengan 2019. Angka kesakitan yang diambil merupakan data prosentase
penderita tuberkulosis tertinggi disetiap tahunnya, sehingga data prosentase
tertinggi pertahunnya terjadi pada wilayah yang berbeda-beda. Berdasarkan grafik
angka kesakitan penyakit tuberkulosis yang tertinggi pertahun di Kabupaten Bantul
yang paling tinggi prosentasenya adalah pada tahun 2015 sebesar 66,80% di
wilayah Puskesmas Sewon I, sedangkan angka kesakitan yang paling sedikit yaitu
pada tahun 2016 sebesar 34,89% di wilayah Puskesmas Sedayu 2. Pada tahun 2018
mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 58% kasus yang
ditemukan di wilayah yang sama yaitu di Puskesmas Sewon I. Angka kejadian
mengalami penurunan pada tahun 2016 sebesar 34,89% yang berada di wilayah
yang berbeda yaitu Puskesmas Sedayu 2. Dapat disimpulkan bahwa prosentase
kesakitan penyakit tuberkulosis disetiap tahunnya mengalami naik turun dan
mengalami kenaikan pada 2 tahun terakhir yaitu pada tahun 2017 dan 2018.

B. Konsep Utama dalam Hubungan dengan Kesehatan Global


Issue permasalah kesehatan secara global dapat terjadi apabila terjadi masalah
yang dapat mempengaruhi beberapa aspek seperti sosial, ekonomi, budaya dan
lainnya. Terdapat beberapa konsep utama yang berhubungan dengan kesehatan
dunia (Global), antara lain :
1. Faktor Penentu Kesehatan
Faktor penentu kesehatan ini digunakan untuk melihat penyebab dari
munculnya sebuah penyakit. Dalam makalah ini, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan munculnya penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Bantul,
antara lain :
a. Konsep dari rumah sehat yang terdapat di masyarakat belum dijalankan
atau diterapkan. Misalnya rumah yang dimiliki oleh masyarakat belum
ditembok, lantai rumah masih tanah, ventilasi udara yang tidak memadai
atau tidak sesuai dengan peraturan dalam rumah sehat yang nantinya
mengakibatkan rumah tidak tertembus cahaya dan menjadi lembab. Hal
tersebut dimungkinkan terjadi di sebagian besar masyarakat yang
memiliki kondisi sosial-ekonomi yang rendah, sehingga belum bisa
membangun rumah sehat.
b. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberculosis dan
penularannya masih rendah.
c. Sikap dan perilaku masyarakat dalam penanganan penyakit tuberkulosis
yang masih rendah. Hal itu terjadi karena masih kurangnya dukungan
anggota keluarga dalam penyembuhan penyakit tuberculosis, sehingga
tingkat keberhasil penyembuhan penyakit TB masih rendah.

Beberapa faktor di atas merupakan penyebab meningkatnya angka


kesakitan penyakit TB di Indonesia. Salah satu faktor yang dapat
menyebabkan meningkatnya kejadian TB di Kabupaten Bantul adalah
rumah sehat. Hasil pendataan dari profil kesehatan Kabupaten Bantul tahun
2018 menyatakan bahwa kondisi rumah dan lingkungan yang sehat pada
masyarakat sebanyak 68,55% dari seluruh rumah di Kabupaten Bantul.
Sehingga masih terdapat masyarakat yang tidak memiliki rumah sehat atau
rumah yang layak. Beberarapa faktor tersebut sesuai dengan dengan teori
yang menyatakan bahwa penyebab utama meningkatnya masalah TB antara
lain adalah kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Selain itu, penyakit TB
juga mudah menular pada mereka yang tinggal di perumahan padat, kurang
sinar matahari dan sirkulasi udaranya buruk atau lembab, namun jika ada
cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan selama 1-
2 jam (Manalu, 2010).
Faktor lingkungan penderita juga turut meningkatkan resiko penularan
Mycobacterium Tuberculosis seperti lingkungan perumahan yang buruk
sehingga dapat meningkatkan penularan Mycobacterium Tuberculosis dari
penderita kepada anggota keluarganya yang berada satu rumah (Siregar,
Gurning, Eliska, & Pratama, 2018).

2. Pengukuran Status Kesehatan


Pengukuran status kesehatan dilakukan untuk melihat data kasus dari
penyakit TB yang ada di suatu wilayah. Beberapa cara pengukuran status
kesehatan kepada masyarakat untuk melihat ciri terjadinya penyakit TB, antara
lain :
a. Melalui pengukuran batuk yang diderita oleh seseorang, atau melalui
test BTA
b. IMT (Indeks Masa Tubuh) penderita TB yang menurun
c. Nafsu makan turun
Belum ada teori pendukung
3. Pentingnya Budaya Terhadap Kesehatan
Faktor budaya merupakan salah satu faktor yang terpenting untuk melihat
bagamana budaya itu dapat mempengaruhi tingkat kesehatan maupun
kesakitan suatu masyarakat. Berikut merupakan faktor-faktor budaya yang
menyebabkan masih tingginya atau meningkatnya penyakit TB di Kabupaten
Bantul, yaitu :
a. Pemukiman yang padat dan kumuh
Masyarakat Indonesia masih memiliki budaya atau kebiasaan memiliki
rumah di lingkungan yang padat karena faktor ekonomi yang kurang.
Apabila permukiman padat maka lingkungan akan menjadi kumuh.
b. Budaya masyarakat dalam meludah secara sembarangan di lingkungan,
serta kebiasaan batuk dan bersin yang salah.
c. Budaya petugas medis belum menerapkan sterilisasi yang berhubungan
dengan penyakit TB di lingkungan pelayanan kesehatan
d. Kebiasaan atau kecanduan alkohol serta rokok yang masih tinggi
e. Budaya malas berobat atau menganggap bahwa penyakit tersebut bisa
sembuh dengan sendirinya.

Beberapa faktor budaya yang masih ada di wilayah Indonesia terutama


di kabupaten Bantul yang telah disampaikan di atas sesuai dengan teori
antara lain banyak masyarakat yang masih memiliki budaya meludah di
sembarang tempat sehingga bila menderita TB paru rentan menularkan pada
orang sekitarnya. Selain itu, sebagian masyarakat punya perilaku malas
berobat, ditahan setelah parah baru berobat, perilaku hidup bersih yang
kurang, serta masyarakat lebih memilih minum obat-obatan dingin
tradisional, contoh daun rambutan, daun sekakeh yang penting harus yakin
supaya penyakit tersebut hilang. Kurangnya kesadaran penderita sewaktu
batuk tidak menutup mulut, kemungkinan virus menyebar, penyuluhan pada
masyarakat untuk menutup mulut, dan membuang tissue ke sampah
(Pratiwi, Roosihermiatie, & Hargono, 2012).

4. Beban Ganda Penyakit TB (Dampak Sekunder dan Tersier)


Penyakit Tuberkulosis yang berada di lingkungan masyarakat akan
memberikan beban ganda bagi penderi maupun pemerintah, antara lain :
a. Kehilangan tahun kehidupan produktif bagi penderita yang berusia
muda atau produktif.
b. Meningkatkan beban secara sosial dan ekonomi secara nyata.
Maksudnya adalah beban yang ditanggung oleh keluarga pasien menjadi
lebih berat, karena rata-rata dari penderita penyakit TB ini adalah
masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah.
c. Beban pemerintah menjadi lebih tinggi, karena produktivitas kerja akan
terpengaruh karena yang banyak terserang penyakit TB adalah usia
produktif.
Belum ada teori pendukung

5. Faktor Resiko Utama


Faktor resiko utama merupakan alasan atau faktor-faktor yang dapat
menyebabkan keparahan dari penyakit TB di masyarakat, antara lain :
a. Pelayanan TB yang kurang maksimal pada beberapa layanan kesehatan
di lingkungan masyarakat. Misalnya tidak tersedianya obat-obatan yang
lengkap ataupun alat untuk pengecekan dahak di puskesmas.
b. Penularan penyakit TB yang sangat cepat dan mudah
c. Budaya dari masyarakat atau penderita itu sendiri yang tidak tuntas
dalam berobat. Hal tersebut terjadi karena adanya rasa malas dalam
berobat rutin, malas dan capek minum obat, lupa dan lainnya karena
penyembuhan penyakit TB ini dilakukan sangat lama yaitu sekitar 6
bulan.
d. Tidak adanya pendampingan penderita TB secara langsung sehingga
penderita malas dalam penyembuhan penyakit tersebut dan kemudian
dibiarkan saja.

Beberapa faktor resiko utama yang menjadi faktor keparahan penyakit


TB ini sesuai dengan teori yaitu jumlah petugas kurang yang menangani
penyakit TB dengan wilayah yang luas, malas meminta obat ke puskesmas
karena bekerja, tidak menurut perintah petugas medis, malas, masyarakat
sibuk dengan pekerjaan jadi lupa. Selain itu ada alasan lain seperti sebagian
masyarakat yang tidak mau minum obat karena terlalu lama fase pengobatan
(6 bulan), jenuh, capek, apalagi ada beberapa kasus penderita TB yang
minum obat rutin namun penyakitnya tidak sembuh-sembuh bahkan
akhirnya meninggal (Pratiwi et al., 2012)
6. Organisasi dan Fungsi Sistem Kesehatan
Hal ini dilakukan untuk melihat peran PPK dan Sistem Kesehatan yang ada,
antara lain :
a. Dinas Kesehatan
Peran dan tugas dari Dinas Kesehatan atau lembaga kesehatan
pemerintah antara lain melakukan analisis penyakit /faktor penyebab di
wilayah yang memiliki angka kesakitan yang tinggi, melakukan pencegahan
dengan promosi kesehatan kepada masyarakat, serta memberikan
pendampingan dan pendataan secara rutin kepada penderita penyakit TB.
b. Faskes I atau PPK I
Dilakukan dengan cara melakukan diagnosa awal dari penyakit TB yang
bermula dari munculnya gejala batuk yang tidak kunjung sembuh.
c. Faskes Lanjutan
Dilakukan dengan cara melakukan pengobatan yang sesuai dengan
tingkatan penyakit yang dialami oleh masyarakat.

C. Empat Kunci Utama (Solusi Global Health)


Terdapat empat solusi secara nasional dalam meningkatkan kesehatan secara
global, antara lain :
1. Konvergensi Besar dalam Kesehatan dapat dicapai dalam Hidup kita
Dilakukan dengan cara meningkatkan standar gizi masyarakat
2. Investasi dalam Kesehatan Sangat Besar
Memberikan imunisasi BCG pada bayi
3. Kebijakan Fiskal kurang dimanfaatkan kuat untuk membatasi penyakit tidak
menular dan cedera
Memberikan pengobatan dan pencegahan pada anak balita yang mempunyai
keluarga dengan riwayat TB
4. Jalur progresif untuk cakupan kesehatan universal adalah cara yang efisien
untuk mencapai kesehatan dan perlindungan keuangan
Komitmen politik dan pemerintah untuk mengobati penderita TB dngan
membentuk gerakan terpadu nasional penanggulangan TB (GERDUNAS
TB)
Dikelompokkan lagi yang mana solusi komunitas/ masyarakat, kemudian dinas
yang mana (BELUM bisa ditambahkan)…
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Daftar Pustaka

Manalu, H. S. P. (2010). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan


Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4), 1340–1346.
Pratiwi, N. L., Roosihermiatie, B., & Hargono, R. (2012). Faktor Determinan
Budaya Kesehatan dalam Penularan Penyakit TB Paru. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 15(1), 26–37.
Siregar, P. A., Gurning, F. P., Eliska, & Pratama, M. Y. (2018). Analisis Faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkuosis Paru Anak Di RSUD
Sibuhuan. Jurnal Berkala Epidemiologi, 6(3), 268–275.
https://doi.org/10.20473/jbe.v6i32018.268-275

Anda mungkin juga menyukai