Anda di halaman 1dari 14

KASHAYA AYUDINA NURROHMA

G2 – 04011381722232
LEARNING ISSUE: GLAUKOMA

Definisi

Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan pencekungan


“cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang disertai dengan peningkatan
tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko terjadinya glaukoma. Mekanisme peningkatan
tekanan intraokuler pada glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran keluar humor aquos.

Patofisiologi

Penurunan penglihatan pada glaukoma terjadi karena adanya apoptosis sel ganglion retina
yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan lapisan inti dalam retina serta berkurangnya
akson di nervus optikus. Diskus optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cawan
optik.Kerusakan saraf dapat dipengaruhi oleh peningkatan tekanan intraokuler. Semakin tinggi
tekanan intraokuler semakin besar kerusakan saraf pada bola mata. Pada bola mata normal
tekanan intraokuler memiliki kisaran 10-22 mmHg.

Tekanan intraokuler pada glaukoma sudut tertutup akut dapat mencapai 60-80 mmHg,
sehingga dapat menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris yang disertai dengan edema
kornea dan kerusakan nervus optikus.

Klasifikasi

1. Glaukoma Primer
a. Glaukoma Sudut Terbuka Primer (Primary Open Angle Glaucoma/POAG)
Glaukoma sudut terbuka primer terdapat kecenderungan familial yang
kuat. Gambaran patologi utama berupa proses degeneratif trabekular meshwork
sehingga dapat mengakibatkan penurunan drainase humor aquos yang
menyebabkan peningkatan takanan intraokuler. Pada 99% penderita glaukoma
primer sudut terbuka terdapat hambatan pengeluaran humor aquos pada sistem
trabekulum dan kanalis schlemm. Aliran humor aquos glaukoma sudut terbuka.
b. Glaukoma Sudut Tertutup Primer (Primary Closed Angle Glaucoma/PCAG)
Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan predisposisi
anatomis tanpa ada kelainan lainnya. Adanya peningkatan tekanan intraokuler
karena sumbatan aliran keluar humor aquos akibat oklusi trabekular meshwork
oleh iris perifer.
2. Glaukoma Sekunder
Peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma sekunder merupakan manifestasi
dari penyakit lain dapat berupa peradangan, trauma bola mata dan paling sering
disebabkan oleh uveitis.
3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat gangguan
perkembangan pada saluran humor aquos. Glaukoma kongenital seringkali diturunkan.
Pada glaukoma kongenital sering dijumpai adanya epifora dapat juga berupa fotofobia
serta peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma kongenital terbagi atas glaukoma
kongenital primer (kelainan pada sudut kamera okuli anterior), anomali perkembangan
segmen anterior, dan kelainan lain (dapat berupa aniridia, sindrom Lowe, sindrom
Sturge-Weber dan rubela kongenital).

Pemeriksaan

1. Tonometri
Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler yang menggunakan
alat berupa tonometer Goldman. Faktor yang dapat mempengaruhi biasnya penilaian
tergantung pada ketebalan kornea masing-masing individu. Semakin tebal kornea pasien
maka tekanan intraokuler yang di hasilkan cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya,
semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler bola mata juga rendah. Tonometer yang
banyak digunakan adalah tonometer Schiotz karena cukup sederhana, praktis, mudah
dibawa, relatif murah, kalibrasi alat mudah dan tanpa komponen elektrik. Penilaian
tekanan intraokuler normal berkisar 10-22 mmHg. Pada usia lanjut rentang tekanan
normal lebih tinggi yaitu sampai 24 mmHg. Pada glaukoma sudut terbuka primer, 32-
50% pasien ditemukan dengan tekanan intraokuler yang normal pada saat pertama kali
diperiksa.
2. Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus yang normal memiliki cekungan di bagian tengahnya. Pada pasien
glaukoma terdapat pembesaran cawan optik atau pencekungan sehingga tidak dapat
terlihat saraf pada bagian tepinya.
3. Pemeriksaan Lapangan Pandang
Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai 30 derajat lapangan
pandang bagian central. Cara pemeriksaan lapangan pandang dapat menggunakan
automated perimeter.
4. Gonioskopi
Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang menggunakan lensa khusus
untuk melihat aliran keluarnya humor aquos. Fungsi dari gonioskopi secara diagnostik
dapat membantu mengidentifikasi sudut yang abnormal dan menilai lebar sudut kamera
okuli anterior.

Terapi Medikamentosa

1. Supresi Pembentukan Humor Aqueus


a. Golongan β-adrenergik Bloker
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau dengan
kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β-adrenergic blocker
misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol
dan lain-lain.
Timolol maleat merupakan β-adrenergic non selektif baik β1 atau β2.
Timolol tidak memiliki aktivitas simpatomimetik, sehingga apabila diteteskan
pada mata dapat mengurangi tekanan intraokuler. Timolol dapat menurunkan
tekanan intraokuler sekitar 20-30%. Reseptor β-adrenergic terletak pada epitel
siliaris, jika reseptornya terangsang aktifitas sekresinya akan meningkatkan
inflow humor aquos melalui proses komplek enzim adenyl cyclase-reseptor
sehingga menurunkan produksi humor aquos.
Farmakodinamik golongan β-adrenergic blocker dengan cara menekan
pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler dapat turun. Sedangkan
farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik oleh usus secara peroral
sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki kadar puncak dalam plasma
mencapai 1 sampa 3 jam. Kebanyakan golongan β-adrenergic blocker memiliki
waktu paruh antara 3 sampai 10 jam. Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal
untuk mengeluarkan obat golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat
hambatan aliran darah yang menuju ke hati atau hambatan enzim hati.
Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat mengakibatkan
kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik. Indikasi pemakaian diberikan
pada pasien glaukoma sudut terbuka sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau
kombinasi terapi dengan miotik. Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma
inflamasi, hipertensi okuler dan glaukoma kongenital.
b. Golongan α2-adrenergik Agonis
Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif
dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif misalnya
apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor aquos, meningkatkan
aliran keluar humor aquos melalui trabekula meshwork dengan menurunkan
tekanan vena episklera dan dapat juga meningkatkan aliran keluar uveosklera.
Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu 1 jam dapat
menghasilkan penurunan tekanan intraokuler yang cepat paling sedikit 20% dari
tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari apraklonidin dalam menurunkan
tekanan intraokuler dapat terjadi sekitar 3-5 jam setelah pemberian terapi.
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan akut
tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi pemakaian
obat ini apabila pasien dengan mono amin oksidase (MAO) dan trisiklik depresan
karena mempengaruhi metabolisme dan uptake katekolamin.
c. Penghambat Karbonat Anhidrase
i. Asetasolamid Oral
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan karena
dapat menekan pembentukan humor aquos sebanyak 40-60%. Bekerja
efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat
bebas dalam plasma ±2,5 µM. Apabila diberikan secara oral, konsentrasi
puncak pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian dapat
bertahan selama 4-6 jam dan menurun dengan cepat karena ekskresi pada
urin.
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan
intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan tekanan
introkuler pada pseudo tumor serebri. Kontraindikasi relatif untuk sirosis
hati, penyakit paru obstruktif menahun, gagal ginjal, diabetes ketoasidosis
dan urolithiasis.
Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan inisial
diuresis, sedangkan efek lain yang dapat muncul apabila digunakan dalam
jangka lama antara lain metalic taste, malaise, nausea, anoreksia, depresi,
pembentukan batu ginjal, depresi sumsum tulang, dan anemia aplastik.
ii. Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal
Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak
sehingga bila digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif
rendah. Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui
kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen prosesus siliaris sehingga dapat
menurunkan produksi humor aqueus dan HCO3- dengan cara menekan
enzim karbonik anhidrase II. Penghambat karbonik anhidrase topikal
seperti dorsolamid bekerja efektif menurunkan tekanan intraokuler karena
konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10µM. Penghambat karbonat
anhidrase topikal (dorsolamid) dapat menurunkan tekanan intraokuler
sebesar 15-20%.
Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka
pendek maupun jangka panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi.
Indikasi lain untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah
intraokuler. Efek samping lokal yang dijumpai seperti mata pedih,
keratopati pungtata superfisial, dan reaksi alergi. Efek samping sistemik
jarang dijumpai seperti metalic taste, gangguan gastrointestinal dan
urtikaria.
2. Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueus
a. Parasimpatomimetik
Golongan obat parasimpatomimetik dapat menimbulkan efek miosis pada
mata dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi muskulus
ciliaris supaya iris membuka dan aliran humor aquos dapat keluar.
b. Analog prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang efektif digunakan
pada terapi glaukoma misalnya, latanopros. Latanopros merupakan obat baru
yang paling efektif katena dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan
efek samping sistemik.
Farmakokinetik latanopros mengalami hidrolisis enzim di kornea dan
diaktifkan menjadi asam latanopros. Penurunan tekanan intraokuler dapat dilihat
setelah 3-4 jam setelah pemberian dan efek maksimal terjadi antara 8-12 jam.
Cara kerja obat ini dengan meningkatkan aliran keluarnya humor aqueus
melalui uveosklera. Obat ini diindikasikan pada glaukoma sudut terbuka,
hipertensi okuler yang tidak toleran dengan antiglaukoma lain. kontrandikasi pada
pasien yang sensitif dengan latanopros.
3. Penurunan Volume Vitreus
Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus dapat menggunakan obat
hiperosmotik dengan cara mengubah darah menjadi hipertonik sehingga air tertarik
keluar dari vitreus dan menyebabkan pengecilan vitreus sehingga terjadi penurunan
produksi humor aquos. Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam pengobatan
glaukoma sudut tertutup akut dan maligna yang menyebabkan pergeseran lensa kristalina
ke anterior yang menyebabkan penutupan sudut (glaukoma sudut tertutup sekunder).

Tabel 1. Obat-obat untuk Glaukoma Sudut Terbuka


SKDI

LEARNING ISSUE: PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

1. Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)

Alat yang Digunakan:

 Trial lens
 Trial frame
 Kartu Snellen

 Kartu Jaeger atau reading card

 Astigmat dial
 Kartu Ishihara
 Ruangan dengan panjang 5 m atau 6 m
 Penerangan yang cukup

Cara Pemeriksaan:

 Visus sentralis jauh diperiksa dengan kartu Snellen.


 Jarak pemeriksaan 5 m atau 6 m.
 Tutup salah satu mata (sebaiknya mata kiri dulu), untuk memeriksa visus mata
kanan. Menutup bisa memakai telapak tangan kiri atau occluder yang diletakkan
di depan trial frame mata kiri.
 Huruf/angka/gambar/huruf E yang berbeda-beda arah dengan berbagai ukuran,
makin ke bawah makin kecil, di pinggir dari tiap baris terdapat angka yang
menunjuk jarak yang diperlukan bagi orang normal untuk dapat melihat dengan
jelas. (contoh: Bila pemeriksaan pada jarak 6 m, penderita (dengan satu mata)
hanya dapat membaca huruf yang bertanda 10 m, maka visus mata tersebut adalah
6/10).
 Bila huruf baris paling atas pun tidak terbaca, maka diperiksa dengan hitungan
jari tangan yang berarti visusnya .../60.
 Bila tidak bisa menghitung jari, digunakan goyangan tangan dengan jarak 1
meter, yang berarti visusnya 1/300.
 Bila tidak bisa melihat goyangan tangan, digunakan berkas cahaya dengan jarak 1
meter, yang berarti visusnya 1/∞.
 Bila visus kurang dari 6/6, dilakukan tes pinhole;
 Bila dengan tes pinhole visus maju/ membaik (bisa 6/6), berarti terdapat kelainan
refraksi yang belum terkoreksi.
 Bila dengan tes pinhole visus tidak maju/ tidak membaik kemungkinan terdapat
kelainan organik.
 Apabila pinhole maju/ membaik maka dicoba untuk dikoreksi dengan lensa
spheris negatif atau positif (dimulai dari lensa sferis kecil ke besar atau sesuai
tabel prediksi ukuran kelainan refraksi).
 Bila setelah koreksi maksimal visus belum mencapai 6/6, dilakukan pemeriksaan
astigmat dial.
 Bila pada astigmat dial melihat ada garis yang paling tegas, diperiksa dengan
lensa cylindris negatif atau positif (dengan metode trial and error) dimana axisnya
tegak lurus pada garis yang paling tegas tersebut, sampai dapat mencapai 6/6.
 Demikian sebaliknya diperiksa visus mata kirinya.
 Menyebutkan macam kelainan refraksinya.
 Pada pasien berusia 40 tahun ke atas, perlu ditambahkan lensa addisi sesuai usia,
sampai bisa membaca kartu Jaeger J 30 atau reading card 30 pada jarak ±33 cm.
 Diperiksa tajam penglihatan terhadap warna dengan kartu Ishihara (waktu
membaca adalah 3-10 detik untuk tiap lembarnya)
2. Pemeriksaan Lapang Pandang dengan Tes Konfrontasi

Alat yang Digunakan:

 Tidak ada alat khusus, bisa dengan jari telunjuk atau suatu benda yang warnanya
menyolok (misalnya ballpen yang ujungnya berwarna merah, dsb).

Cara Pemeriksaan:

 Pemeriksa memberikan instruksi pemeriksaan kepada pasien dengan jelas.


 Penderita menutup mata kiri dengan telapak tangan kiri, telapak tangan tidak
boleh menekan bola mata.
 Pemeriksa duduk tepat di depan pasien dalam jarak antara 60 cm, berhadapan,
sama tinggi. Pemeriksa menutup mata kanan dengan telapak tangan kanan.
Lapang pandang pemeriksa sebagai referensi (lapang pandang pemeriksa harus
normal). Mata pasien melihat mata pemeriksa.
 Objek atau ujung jari pemeriksa digerakkan perlahan-lahan dari perifer ke sentral
(sejauh rentangan tangan pemeriksa seolah olah membentuk bidang di tengah
tengah antara pemeriksa dan pasien kemudian digerakan ke sentral) dari enam
arah kardinal.

 Lapang pandang pasien dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa.


 Kemudian diperiksa mata sebelahnya.
 Menyebutkan hasilnya:
 Lapang pandang penderita luasnya sama dengan lapang pandang
pemeriksa.
 Lapang pandang penderita lebih sempit dari lapang pandang pemeriksa
(sebutkan di daerah mana yang mengalami penyempitan).
3. Pemeriksaan Otot Ekstra Okuler

Alat yang Digunakan:

 Senter
 Jari telunjuk/ballpen/pensil

Cara Pemeriksaan:

 Pemeriksa duduk tepat di depan pasien dalam jarak antara 60 cm, berhadapan,
sama tinggi.
 Penderita duduk, memandang obyek yang letaknya jauh (± 6 m).
 Nyalakan senter dari jarak 60 cm, sinar diarahkan pada glabela penderita.
 Perhatikan refleks sinar tersebut pada kornea, bila simetris berarti pasangan bola
mata dalam orbita sejajar (tampak pantulan sinar di tengah pupil, sedikit ke
medial).
 Kemudian penderita diminta mengikuti gerakan ujung jari pemeriksa,
pensil/ballpen yang digerakkan dari central ke perifer ke 6 arah kardinal tanpa
menggerakkan kepala (melirik saja).

 Diperhatikan gerakan kedua mata, keduanya bebas ke segala arah ataukah ada
yang tertinggal.
 Khusus untuk melihat gerakan bola mata ke bawah, angkatlah kedua kelopak atas
dengan ibu jari dan jari telunjuk.
 Untuk tes konvergensi, ujung jari/ senter/ ballpen/ pensil dari jarak ± 45 cm di
depan pangkal hidung didekatkan ke arah pangkal hidung hingga jarak 5 cm
sampai 8 cm, untuk menilai kekuatan konvergensi.
4. Pemeriksaan Segmen Anterior

Alat yang Digunakan:

 Senter
 Magnifying Loupe
 Lensa Spheris positif
 Kapas steril
 Air dan sabun untuk cuci tangan

Cara Pemeriksaan:

 Penderita duduk berhadapan pemeriksa jarak ± 60 cm.


 Periksa dari luar kedalam mata kanan kemudian kiri, menggunakan magnifying
loupe dan senter yang terang dan dapat difokuskan dengan baik.
 Perhatikan kulit palpebra adakah edema, hyperemi, haematom, atau benjolan.
 Periksa lebar rima palpebra, kanan kiri sama lebar atau tidak, gerakan membuka
dan menutup mata, ada yang tertinggal gerak atau tidak.
 Palpebra menutupi daerah pupil atau tidak (normalnya menutupi ± 2 mm kornea
bagian superior).
 Amati silia dan margo palpebra (adakah kerontokan rambut, bulu mata yang
masuk, rambut berwarna putih, benjolan, perdangan).
 Kemudian palpebra superior dilipat ke arah luar (eversio), diamati warna mukosa,
adanya benjolan-benjolan sikatriks, benda asing, bangunan-bangunan folikel,
cobble’s stone, dan lain-lain.
 Perhatikan konjungtiva bulbi: warna, adakah oedema, bangunan-bangunan/
penonjolan-penonjolan, pelebaran pembuluh darah, berkelok-kelok atau lurus,
ikut pergerakan konjungtiva atau tidak, ada sekret atau tidak.
 Amati pula skleranya, adakah penipisan atau penonjolan.
 Perhatikan kornea (menggunakan lampu senter dari arah 45o temporal kornea
supaya tidak silau, sesekali boleh bergerak ke nasal): amati kejernihan,
bentuknya, ukurannya, kecembungannya, permukaan licin/ kasar, adanya
pembuluh darah, pterygium, dan lainlain. Periksa pula sensibilitas kornea
menggunakan kapas bersih yang dipilin, dengan cara kapas disentuhkan ke kornea
dari temporal kornea.
 Periksa kedalaman bilik mata depan dengan sinar yang diarahkan dari temporal
limbus. Tentukan dalam dan kejernihannya.
 Periksa reflex pupil terhadap cahaya langsung (direct), cahaya tidak langsung
(indirect).Perhatikan pula bentuk pupil, bulat atau tidak, sentral atau tidak.
 Periksa iris, bentuknya, gambarannya, warnanya, adakah synechia.
 Periksa lensa, sebaiknya pupil dilebarkan (kalau tidak ada kontra indikasi). Sinar
dari arah 30o-45o temporal kornea, perhatikan letak dan kejernihannya (shadow
test, kalau tidak ada bayangan iris di lensa berarti shadow test negatif, hal ini pada
lensa yang jernih atau pada katarak yang matur, dan sebaliknya).
5. Pemeriksaan Segmen Posterior

Alat yang Digunakan:

 Oftalmoskop direk

 Midriatikum (cepat kerjanya, cepat hilang pengaruhnya)

Cara Pemeriksaan:

 Pasien duduk dengan pandangan lurus ke depan.


 Mata penderita ditetesi midriatikum, kemudian ditunggu ± 20 menit.
 Pemeriksa berdiri di depan samping kanan atau kiri pasien.
 Putar lensa oftalmoskop sesuai dengan refraksi mata pemeriksa. Misalnya
pemeriksa adalah miop 2D dan penderita emetrop, pakailah lensa -2 (warna
merah). Bila pemeriksa dan penderita adalah emetrop, pakailah 0.
 Bila yang diperiksa mata kanan, oftalmoskop dipegang dengan tangan kanan,
gunakan mata yang kanan juga, jari telunjuk berada pada panel pengatur ukuran
lensa dan sebaliknya.
 Pandangan penderita diminta memfiksasi suatu titik jauh tak terhingga atau ± 6m.
 Peganglah oftalmoskop dengan cara menggenggam bagian pegangannya,
sedangkan jari telunjuk berada pada panel pengatur ukuran lensa, siap untuk
menyesuaikan ukuran lensa sehingga dapat diperoleh bayangan yang paling
tajam.
 Pada jarak 30 cm, di depan temporal (±45o) mata penderita, sinar oftalmoskop
diarahkan pada pupil mata penderita.
 Perhatikan reflex fundusnya: cemerlang atau tidak cemerlang/ gelap.
6. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata

Alat yang Digunakan:

 Tonometer Schiotz

 Lidocaine 2 % atau Panthocaine eye drops


 Chloramphenicol zalf atau tetes mata
 Kapas alkohol 70 %

Cara Pemeriksaan:
a. Pemeriksaan Cara Subjektif (Palpasi)
 Penderita duduk tegak, melirik ke bawah.
 Jari telunjuk kanan dan kiri pemeriksa bergantian menekan bola
mata pada kelopak atas kearah belakang bawah (450) dengan halus
dan penuh perasaan. Tiga jari yang lain bersandar pada kening dan
tulang pipi, bandingkan kanan dan kiri.
 Hasilnya TN, TN+1, TN+2, TN+3; TN-1, TN-2, TN-3.
b. Pemeriksaan Cara Obyektif (Tonometer Schiotz)
 Tonometer ditera/dikalibrasi dengan meletakkan tonometer tegak
lurus pada lempengan kalibrasi, dan jarum harus menunjuk angka
0.
 Bersihkan permukaan kaki tonometer diusap dengan kapas
alkohol.
 Penderita diberi penjelasan tentang apa yang akan dilakukan, cara
pemeriksaan dan bagaimana penderita harus bersikap.
 Penderita diminta tidur terlentang, posisi kepala horizontal. Mata
penderita ditetesi Panthocaine 0,5% atau 2%, 1 – 2 tetes.
 Penderita diminta memandang ke satu titik tepat diatasnya, dengan
cara memfiksasi ibu jarinya yang diacungkan di atasnya, sehingga
sumbu optik mata benar-benar vertikal.
 Pemeriksa berada di superior pasien.
 Kelopak atas dan bawah dibuka lebar dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri, tidak boleh menekan bola mata,
kemudian tonometer diletakkan dengan hati-hati pada permukaan
kornea, tepat di tengah, tanpa menggeser, posisi benar-benar
vertikal. Letakkan tonometer tepat di atas kornea tanpa menekan
bola mata.
 Tinggi rendahnya tekanan bola mata menentukan besarnya
indentasi yang ditimbulkan oleh alat tersebut. Besar kecilnya
indentasi menentukan besarnya simpangan jarum yang
dihubungkan pada lempeng tersebut.
 Bila dengan beban 5,5 gram menunjukkan angka skala 0 maka
beban perlu ditambahkan dengan beban 7,5gram atau 10 gram.
 Tonometer diangkat, dibersihkan dengan kapas alkohol.
 Mata diberi zalf mata (misalnya Chloramfenicol).
 Lihat tabel, berapa mmHg tekanan bola matanya.
 Cara baca dan menuliskan hasil : Misalnya dengan beban 5,5 gram
simpangan jarum tonometer menunjukkan angka 5 pada tabel
terlihat hasilnya 17,3 mmHg.

Anda mungkin juga menyukai