Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk

menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,

sehingga dapat melindungi dan bebas dari kecelakaan kerja pada akhirnya dapat

meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja

menimbulkan korban jiwa tetapi juga kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha,

tetapi dapat menggangu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan

yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Visi dari pembangunan

Kesehatan di Indonesia yang dilaksanakan adalah Indonesia Sehat 2010 di mana

penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu memperoleh

layanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat

kesehatan yang setinggi – tingginya.

Kesehatan da Keselamatan Kerja atau K3 merupakan hal yang tidak terpisahkan

dalam system ketenagakerjaan dan sumber daya manusia. Keselamatan dan kesehatan

kerja tidak saja sangat penting dalam meningkatkan jaminan social dan kesejahteraan

para pekerjanya akan tetapi jauh dari itu keselamatan dan kesehatan kerja berdampak

positif atas berkelanjutan produktivitas kerjanya. Oleh sebab itu, isu keselamatan dan

kesehatan kerja pada saat ini bukan sekedar kewajiban yang harus diperhatikan oleh

para pekerja, akan tetapi juga harus dipenuhi oleh sebuah system pekerjaan.

Penggunaan peralatan kerja yang tidak sesuai dengan prosedur, dan sebagainya.

Untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja, maka perusahaan sebaiknya menerapkan


program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) agar para karyawan dapat mengerti

tentang prosedur dalam melakukan pekerjaan. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

merupakan hal yang penting bagi perusahaan, karena dampak kecelakaan kerja tidak

hanya merugikan karyawan tetapi juga perusahaan. Perusahaan harus menanggung

biaya pengobatan dan biaya rumah sakit atau bahkan menanggung biaya pengguburan

jika korban meninggal dunia,.

Jumlah kecelakaan kerja yang terjadi secara umum 80 – 85% disebabkan karena

factor manusia, yaitu unsafe action. Unsafe action yaitu tindakan yang salah dalam

bekerja dan tidak sesuai dengan yang telah ditentukan (human error), biasanya terjadi

karena ketidaksinambungan fisik tenaga kerja dan kurangnya pendidikan. Adapun

yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan kerja yang tidak baik atau kondisi

peralatan kerja yang berbahaya (unsafe condition), biasanya dipengaruhi oleh hal –

hal seperti alat – alat yang tidak layak pakai, alat pengamanan yang kurang

memenuhi standar.

Menurut International labour Organization (ILO) tahun 2015, diperkirakan secara

global ada 60.000 kecelakaan fatal pertahunnya. Sekitar 1 dari 6 kecelakaan yang

dilaporkan, terjadi pada sector kuntruksi. Health and Safety Executive (HSE) di

Inggris tahun 2014 mengemukakan bahwa jenis pekerjaan dengan jumlah kematian

tinggi yang dialami oleh pekerja diantaranya yaitu roffers, carpenter, joiners dan

contruction. Dari 142 kematian, penyebab utama disebabkan karena jatuh dari

ketinggian sebesar 45 %, lainnya merupakan kontak dengan mesin atau listrik serta

kejatuhan benda masing – masing mempunyai persentase 7 %. Sedangkan kecelakaan

non – fatal dengan luka berat yang terjadi pada tahun 2013 – 2014 yaitu 150 per
100.000 pekerja. Dari luka berat yang terjadi 31 % diantaranya terjadi karena jatuh

dari ketinggian, 27 % karena terpeleset, tersandung, dan terjatuh, 13 % karena

kejatuhan benda, dan 9 % karena pekerja handling (ILO, 2015).

Menurut OSHA (2017), salah satu kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang

biasanya terjadi di lingkungan kerja adalah musculoskeletal, hal ini diperkuat oleh

riset the Burean of Labour Statistic (BLS) tahun 2013 menyebutkan kasus MSDs

menyumbang 33 % dari semua kasus cedera dan penyakit.

Sepanjang tahun 2018, BPJS Ketenagakerjaan mengantongi data kasus kecelakaan

kerja sebanyak 157.313 kasus. Menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), M

Hanif Dhakiri, Angka tersebut berasal dari beberapa kategori. “Termasuk dalam

kategori kecelakaan kerja adalah kecelakaan lalu lintas pada perjalanan pekerja

menuju tempat kerja, serta perjalanan pulang dari tempat kerja menuju tempat

tinggal”. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2018,

sebanyak 58,76 persen dari total angkatan kerja Indonesia adalah tamatan SMP ke

bawah. Hal tersebut berdampak pada kesadaran pentingnya perilaku selamat dalam

bekerja. Dalam rangka menekan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sebagai

pemegang kebijakan nasional di bidang K3 berdasarkan Undang – Undang 1 / 1970,

Kemenaker telah menetapkan berbagai upaya melalui program K3.


Hal sesuai dengan Visi – Misi serta Kebijakan dari Dewan Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (DK3N).

VISI – MISI

Visi :

Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia.

Misi :

1. Meningkatkan koordinasi yang sinergis antar pengandil (stakeholders)

bidang K3

2. Meningkatkan kemandirian dunia usaha dalam menerapkan K3

3. Meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja di bidang K3

Kebijakan :

1. Peningkatan koordinasi berdasarkan kemitraan yang saling mendukung.

2. Pemberdayaan pengusaha, tenaga kerja dan pemerintah agar mampu

menerapkan dan meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.

3. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.

4. Penerapan system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3)

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perusahaan.

5. Pemahaman dan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja yang

berkelanjutan.

Hirearki Pengendalian Bahaya dalam OHSAS 18001 : 2007 merupakan bahaya

pada dasarnya berarti prioritas dalam pemilihan dan pelaksanaan pengendalian yang

berhubungan dengan bahaya K3. Ada beberapa kelompok control yang dapat

dibentuk untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya K3, yakni diantaranya :


1. Eliminasi

2. Substitusi

3. Control Teknik / Perancangan

4. Kontrol Administratif

5. Alat Pelindung Diri

Keputusan Menteri Kesehatan No. 432 Tahun 2007 tentang Pedoman Manajemen

K3 di Rumah Sakit menjelaskan bahwa Rumah Sakit mempunyai banyak potensi

bahaya yang mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di Rumah Sakit,

para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan Rumah Sakit.

Sedangkan di dalam Undang – Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan,

khususnya pasal 164, 165, dan 166 dijelaskan bahwa pengelola tempat kerja /

pengusaha wajib menjamin keselamatan dan kesehatan pekerjanya melalui upaya

pencegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan serta wajib menanggung

seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja. Berdasarkan pasal diatas maka

pengelola Rumah Sakit harus menjamin Keselamatan dan Kesehatan baik terhadap

pasien, penyedia layanan atau pekerja maupun masyarakat sekitar dari berbagai

potensi bahaya di Rumah Sakit. Oleh karena itu, Rumah Sakit dituntut untuk

melaksanakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( K3 ) yang dilakasanakan

secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja

(PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja di Rumah Sakit dapat dihindari.

Berdasarkan data Badan Penyelengaraa Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan

Riau – Sumatera Barat pada Kuartal I/2016 mencatat 3.576 kasus kecelakaan kerja

yang terjadi di Riau dan Sumatera Barat. Dari total 3.576 tersebut, 1.291 diantaranya
terjadi di Riau dan 1.285 di Sumatera Barat. Sedangkan kasus kecelakaan kerja di

Rumah Sakit di Sumatera Barat dari Hasil Penelitian Hatta dan Zukri tahun 2002

menyatakan bahwa frekuensi kecelakaan kerja pada petugas penanganan sampah

medis di Rumah Sakit yang ada di Sumatera Barat lebih banyak terjadi pada petugas

yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (91,3%) dari pada yang menggunakan

Alat Pelindung Diri (8,7%).

Petugas laboratorium merupakan orang pertama yang terpajan terhadap bahan

kimia yang merupakan bahan toksisk korosif, mudah meledak, dan terbakar serta

bahan biologi. Selain itu dalam pekerjaannya menggunakan alat – alat yang mudah

pecah, berionisasi dan radiasi serta alat – alat elektronik dengan voltase yang

mematikan, dan melakukan percobaan dengan penyakit yang dimasukan ke jaringan

hewan percobaan.

Berdasarkan wawancara awal yang di lakukan di Rumah Sakit Islam Siti Rahmah

dengan pihak Sanitarian Rumah Sakit di dapatkan bahwa penerapan pemakaian Alat

Pelindung Diri pada petugas Laboratorium .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik

meneliti masalah yang berkaitan dengan “ Bagaimana Gambaran Penggunaan Alat

Pelindung Diri di Laboratorium Klinik Rumah Sakit Siti Rahmah Tahun 2020” ?.
C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui penggunaan alat pelindung diri di laboratorium


klinik rumah sakit Siti Rahmah.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk me

Anda mungkin juga menyukai