TINJAUAN PUSTAKA
2.3.1 Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan
perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-
rata mencapai sekitar 6% (Wyllie, 2000 ; Kartono, 2004).
2.3.2 Etiologi
Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di
ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan
pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan
oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal.
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek
ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschsprung ataukah
defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam
kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada
penyakit Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi
parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat
ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi.
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur bedah
2.3.3 Patologi
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada
dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang
yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik
terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-
sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik
menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan
pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang
hipertrofi dengan konsentrasi asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-
lapisan otot dan pada submukosa (Wyllie, 2000).
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian
usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang
sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon
proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk
megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik
meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung klasik.
Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih
sering daripada anak perempuan. Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari
sigmoid disebut Hirschsprung segmen panjang. Bila aganglionosis mengenai
seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan
hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal (Pieter, 2005).
2.3.5 Diagnosa
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan
penyebab kematian tersering, seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pada
tahun 1946 Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit Hirschsprung dapat
ditegakkan pada masa neonatal.
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi
anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar
kasus dapat ditegakkan (Kartono, 2004).
2.3.5.1 Anamnesis
• Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama,
biasanya keluar >24 jam.
• Adanya muntah berwarna hijau.
• Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang
lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan
pertumbuhan terhambat.
• Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita
keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal
sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi
(Lee, 2009).
2.3.7 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya
dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan
tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen
dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum.
Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk
enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk
menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa tubuh (Lee, 2009).
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik
dengan dengan bagian bawah rektum. (Kartono, 2004).
Dikenal beberapa prosedur tindakan defenitif yaitu prosedur Swenson,
prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi
anterior, prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur Transanal Endorectal
Pull-Through dan prosedur miomektomi anorektal.
2.3.8 Komplikasi
(Irwan, 2003) mengatakan, secara garis besarnya, komplikasi pasca
tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran
anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Enterokolitis
telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit Hirschsprung yang
diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi.
Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai