Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi dan Anatomi Kolon


Secara embriologik , kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan
embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional sehingga kolon kanan
dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan
terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat
terjadi dengan mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya
yang sempit (T.W.Sadler, 2000).
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm),
tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi
sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks
yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci
pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan
sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan
anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh
sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9
inci (Lindseth, 2005).
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, tela
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-
gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna

Universitas Sumatera Utara


tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada
sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik
dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia
melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut
apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus
lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada
usus halus.
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari
sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika
superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika
dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior
memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum
sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri
sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis
media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon
dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena
hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke
hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan
merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena
hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal
dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi
preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik
pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada
sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase
karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe
virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah
hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi

Universitas Sumatera Utara


iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum
mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri
utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa
(meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah
aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural
(Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan
medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan
penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada
penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner (Taylo, 2005).

2.2 Fisiologi Kolon


Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi
mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-
1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang
dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum,
atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di usus,
sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian
dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari.
Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas
tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi (Pieter, 2005).

2.3 Penyakit Hirschsprung


Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke

Universitas Sumatera Utara


proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat
dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen
yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai
seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus (Wyllie,
2000; Mansjoer, 2000).

2.3.1 Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan
perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-
rata mencapai sekitar 6% (Wyllie, 2000 ; Kartono, 2004).

2.3.2 Etiologi
Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di
ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan
pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan
oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal.
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek
ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschsprung ataukah
defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam
kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada
penyakit Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi
parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat
ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi.
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur bedah

Universitas Sumatera Utara


definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai
dengan preservasi sfingter anal (Kartono, 2004).

2.3.3 Patologi
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada
dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang
yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik
terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-
sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik
menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan
pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang
hipertrofi dengan konsentrasi asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-
lapisan otot dan pada submukosa (Wyllie, 2000).
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian
usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang
sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon
proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk
megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik
meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung klasik.
Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih
sering daripada anak perempuan. Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari
sigmoid disebut Hirschsprung segmen panjang. Bila aganglionosis mengenai
seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan
hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal (Pieter, 2005).

2.3.4 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia, dan gejala klinis yang mulai terlihat pada :

Universitas Sumatera Utara


(i). Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada
neonatus cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan
tanda klinis yang signifikans. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium
pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus
penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk
waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Distensi abdomen
merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh
kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lain. Muntah yang berwarna hijau
disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan
gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans
neonatal, atau peritonitis intrauterine. Tanda-tanda edema, bercak-bercak
kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan di sekitar genitalia
ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis. Sedangkan enterokolitis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung
ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa
diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson
mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis
enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Kartono,
2004; Wyllie 2000; Pieter 2005; Irwan, 2003).
(ii). Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces

Universitas Sumatera Utara


biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi. (Kartono, 2004; Wyllie, 2000; Pieter, 2005; Irwan
2003).

2.3.5 Diagnosa
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan
penyebab kematian tersering, seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pada
tahun 1946 Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit Hirschsprung dapat
ditegakkan pada masa neonatal.
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi
anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar
kasus dapat ditegakkan (Kartono, 2004).
2.3.5.1 Anamnesis
• Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama,
biasanya keluar >24 jam.
• Adanya muntah berwarna hijau.
• Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang
lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan
pertumbuhan terhambat.
• Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita
keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal
sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi
(Lee, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Foto anak yang telah besar, sesudah (kiri) dan sebelum (kanan)
tindakan definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi.

2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik


• Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena
mengalami obstipasi
• Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar
maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang
banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi
(Lee, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2. Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari.
Tampak abdomen sangat distensi, dan dinding abdomen
kemerahan yang menandakan awal terjadi komplikasi infeksi.
Pasien tampak amat menderita akibat distensi abdomennya.
2.3.5.3 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3. Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung. Tampak
rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi
yang melebar.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur
dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang
bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium
terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Kartono,2004; Lee,
2009, Wyllie, 2000)

2.3.5.4 Pemeriksaan patologi Anatomi


Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya
sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa
(Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan
serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika

Universitas Sumatera Utara


menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim
yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan
dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping
memakai asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100,
metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja
pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang
berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Kartono, 2004; Lee, 2009).
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2, 3, dan 5 cm proksimal
dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan
biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya,
Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil
negatif palsu dan komplikasi (Kartono,2004)

2.3.5.5 Manometri Anorektal


Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter
anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil
pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat
ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph
atau computer (NASPGHAN & APGNN, 2006).

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit


Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen
usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter
interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai
relaksasi spontan (Kartono,2004; Lee 2009)

Universitas Sumatera Utara


2.3.6 Diagnosa Banding
Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit
fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan sindrom
pseudo obstruksi intestinal. Kartono (2004) menyatakan banyak kelainan-kelainan
yang menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi
anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara
lain Intestinal neuronal dysplasia, Hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence
of argyrophyl plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot
polos. ( Kartono, 2004; Lee, 2009).

2.3.7 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya
dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan
tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen
dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum.
Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk
enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk
menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa tubuh (Lee, 2009).
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik
dengan dengan bagian bawah rektum. (Kartono, 2004).
Dikenal beberapa prosedur tindakan defenitif yaitu prosedur Swenson,
prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi
anterior, prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur Transanal Endorectal
Pull-Through dan prosedur miomektomi anorektal.

Universitas Sumatera Utara


Setelah diagnosis penyakit Hirshprung ditegakkan maka sejumlah tindakan
preoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan
dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan
pemberian cairan intra vena , antibiotik dan pemasangan pipa lambung. Apabila
sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka resusitasi cairan
dilakukan secara agresif, peberian antibiotika broad spektrum secara ketat
kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus.
Melakukan serial pencucian rektum dengan memberikan 10 ml/kg BB pada
setiap kali pencucian dengan menggunakan pipa rektum ukuran 18-20. Pada
penderita kemudian diberikan antibiotik intavena.

2.3.7.1 Tindakan Bedah


Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari
kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan
bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang
telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose. Kolostomi tidak
dikerjakan bila dekompresi secara medic berhasil dan direncanakan bedah
defenitif langsung (Kartono, 2004).
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi kolostomi
adalah dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi usus
pada radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk
melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa stoma ikat atau stoma
ujung. (Pieter, 2005).
Kolostomi dikerjakan pada:
1. Pasien neonatus  Tindakan Bedah defenitif langsung tanpa kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian. Kematian dapat mencapai
28,6%, sedangkan pada bayi 1,7%. Kematian ini disebabkan oleh kebocoran
anastomosis dan abses dalam rongga pelvis.

Universitas Sumatera Utara


2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Kelompok pasien ini
mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang terlalu besar untuk
dianastomosiskan dengan rectum dalam bedah defenitif. Dengan tindakan
kolostomi, kolon dilatasi akan mengecil kembali setelah 3 sampai 6 bulan
pascabedaah, sehingga anastomosis lebih mudah dikerjakan dengan hasil yang
lebih baik.
3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang buruk.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pascabedah, dengan
kolostomi pasien akan cepat mencapai perbaikan keadaan umum.
Pada pasien yang tidak termasuk dalam kategori 1, 2, dan 3 tersebut dapat
langsung dilakukan tindakan bedah definitif.
Kolostomi yang bersifat sementara akan dilakukan penutupan.
Berdasarkan lubang kolostomi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Single barreled stoma  yaitu dibuat dari bagian proksimal usus. Segmen
distal dapat dibuang atau ditutup.
2. Double barreled  biasanya meliputi kolon transversum. Kedua ujung dari
kolon yang direksesi dikeluarkan melalui dinding abdominal mengakibatkan
dua stoma. Stoma distal hanya mengalirkan mukus dan stoma proksimal
mengalirkanfeses.
3. Kolostomi lop-lop  yaitu kolon transversum dikeluarkan melalui dinding
abdomen dan diikat ditempat dengan glass rod. Kemudian 5-10 hari usus
membentuk adesi pada dinding abdomen, lubang dibuat di permukaan terpajan
dari usus dengan menggunakan pemotong.

2.3.8 Komplikasi
(Irwan, 2003) mengatakan, secara garis besarnya, komplikasi pasca
tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran
anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Enterokolitis
telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit Hirschsprung yang
diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi.
Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai

Universitas Sumatera Utara


sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat
enterokolitis akan menyebabkan terjadinya megakolon toksik yang ditandai
dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok.
Terjadinya ulserasi da nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik
akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus. Enterokolitis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung
ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa
diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson
mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis
enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. Kejadian
enteokolitis berdasar prosedur operasi yang dipergunakan Swenson 16,9%, Boley-
Soave 14,8%, Duhamel 15,4% dan Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi
abdomen 29, diare 38, darah pada feses 2, muntah 31, panas 22 dan takikardi
(Kartono,2004).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai