Anda di halaman 1dari 125

Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

INFO KOMODITI
FURNITUR

i
Niki Barenda Sari

SANKSI PELANGGARAN

Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002


1. Barang siapa dengan segaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

ii
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

INFO KOMODITI

FURNITUR

EDITOR:
Zamroni Salim, Ph.D
Ernawati Munadi, Ph.D

iii
Niki Barenda Sari

Judul:
Info Komoditi Furnitur
Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati Munadi, Ph.D

Copyright © 2017
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All rights reserved

Diterbitkan oleh
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

Diterbitkan pertama: September 2017


Desain Cover: Piter Prihutomo

x, 115 hlm, 16,5 x 25 cm

Pengarah: Penanggung Jawab: Redaksi Pelaksana:


Kepala Badan Pengkajian Sekretaris Badan 1. Puspita Dewi, SH, MBA
dan Pengembangan Pengkajian dan 2. Maulida Lestari, SE, ME
Perdagangan Pengembangan 3. Reni K. Arianti, SP, MM
Perdagangan 4. Primakrisna T, SIP, MBA
5. Dwi Yulianto, S.Kom

iv
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

KATA PENGANTAR
Bunga Rampai Info Komoditas Furnitur merupakan satu dari serial Bunga Rampai
Info Komoditi (BRIK) terbitan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP). Serial Bunga Rampai ini berisi kompilasi singkat data statistik dan analisis
terkait dengan produksi, konsumsi, perdagangan dalam negeri, perdagangan luar
negeri serta peluang dan tantangan pengembangan komoditas tertentu. Dalam
setiap topik yang dibahas tersebut juga disertakan pembahasan secara detil terkait
dengan kebijakan dan isu-isu utama yang dihadapi. Buku ini dibuat dengan harapan
bisa dijadikan sebagai bahan referensi yang mampu memberikan pemahaman yang
komprehensif dari sebuah komoditas. Pemahaman yang komprehensif ini bukan saja
sangat penting bagi sebuah proses pengambilan keputusan kebijakan perdagangan
yang efektif, namun juga bagi pengembangan dan pemahaman dalam rangka
meningkatkan daya saing Indonesia.
Terkait dengan komoditas furnitur, pemahaman yang sangat mendalam terkait
dengan kondisi produksi dan konsumsi furnitur di Indonesia beserta permasalahan-
permasalahan yang dihadapi sangat diperlukan. Pemahaman ini sangat krusial,
khususnya bagi pengambil kebijakan dan masyarakat secara umum dalam menyikapi
pengembangan sektor furnitur di Indonesia. Menarik untuk dicermati misalnya,
Indonesia yang memiliki potensi kekayaan alam untuk produksi furnitur, ternyata baru
mampu berkontribusi sebesar 1% dari total produksi dunia. Angka ini tentu saja sangat
jauh tertinggal dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang nilainya mencapai
41% dari total produksi dunia pada tahun 2015. Peluang di pasar dalam negeri yang
besarpun belum mampu sepenuhnya dimanfaatkan oleh industri furnitur dalam negeri,
sehingga 45% kebutuhan domestik masih mengandalkan pada furnitur impor. Apalagi
saat ini sebagai negara eksportir furnitur, posisi Indonesia semakin jauh dari eksportir
utama. Hal itu karena peringkat Indonesia pada tahun 2015 hanya berada diurutan ke
25, dari sebelumnya urutan ke 5 pada tahun 2000. Peringkat ini jauh di bawah Vietnam
(ke-8) dan Malaysia (ke-17).
Pemahaman yang komprehensif terkait dengan kondisi perdagangan furnitur baik di
pasar dalam negeri maupun pasar internasional serta pemahaman prospek di masa yang
akan datang juga sangat berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan
daya saing furnitur Indonesia di pasar global. Dengan pemahaman yang komprehensif
terkait aspek-aspek tersebut, yang secara mendalam dibahas dalam Bunga Rampai ini,
diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif bagi semua stakeholders yang terlibat dalam industri furnitur di Indonesia
serta tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu.

v
Niki Barenda Sari

Oleh karena itu, Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur ini diharapkan mampu
memainkan peran penting dalam membantu peneliti, analis kebijakan dan pihak-pihak
lain yang berkepentingan. Dengan pemahaman tersebut, diharapkan analisis serta
kebijakan yang dibuat menjadi lebih efektif dan bernilai strategis. Kebijakan tersebut
selanjutnya dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif sehingga
menguntungkan konsumen dan produsen Indonesia. Kami tentu berharap bahwa
pembaca akan mendapatkan manfaat dari buku ini dan kami juga menyambut setiap
komentar dan saran agar buku ini lebih informatif dan berguna.

Jakarta, September 2017


Editor

vi
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................v
Daftar Isi...................................................................................................... vii
Daftar Gambar............................................................................................ viii
Daftar Tabel .................................................................................................ix

BAB I FURNITUR, PRODUK BERDAYA SAING YANG BUTUH


PERHATIAN
Ernawati Munadi .......................................................................................... 1

BAB II PRODUKSI FURNITUR INDONESIA


Riska Pujiati ................................................................................................. 7

BAB III KONSUMSI FURNITUR


Fitri Tri Budiarti .......................................................................................... 37

BAB IV PERDAGANGAN FURNITUR DI DALAM NEGERI


Dian Dwi Laksani ....................................................................................... 53

BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI FURNITUR


Selfi Menanti .............................................................................................. 67

BAB VI PELUANG DAN TANTANGAN PRODUK


FURNITUR INDONESIA
Niki Barenda Sari ...................................................................................... 86

BAB VII INOVASI DALAM PRODUKSI DAN PEMASARAN PRODUK


FURNITUR INDONESIA
Zamroni Salim ....................................................................................... 105

Indeks .......................................................................................................111

Biografi Singkat Penulis ...........................................................................113

vii
Niki Barenda Sari

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2009 .......................................9


Gambar 2.2 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2015 .......................................9
Gambar 2.3 Kinerja Industri Furnitur Kayu, 2010-2014 ................................................12
Gambar 2.4 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Rotan ..................................14
Gambar 2.5 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Bambu ................................15
Gambar 2.6 Kinerja Industri Furnitur Rotan dan Bambu, 2010-2014 .......................... 16
Gambar 2.7 Kinerja Industri Furnitur Logam, 2010-2014 .............................................17
Gambar 2.8 Kinerja Industri Furnitur Plastik, 2010-2014 .............................................17
Gambar 2.9 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Kayu ...................................18
Gambar 2.10 Zona Industri Furnitur dan Kerajinan Indonesia .......................................22
Gambar 3.1 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur Berdasarkan Kawasan ....................... 39
Gambar 3.2 Proyeksi Konsumsi Furnitur, 2017 ........................................................... 40
Gambar 3.3 Konsumsi per Kapita pada Negara Berpendapatan Rendah/
Menengah ................................................................................................40
Gambar 3.4 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia .................................................... 42
Gambar 3.5 Belanja Furnitur Konsumen Indonesia (USD Ribu) ..................................43
Gambar 3.6 Peran Logistik dalam Rantai Nilai Furnitur .............................................. 45
Gambar 3.7 Garis Besar Rantai Nilai Furnitur ..............................................................46
Gambar 4.1 Supply Chain Industri Furnitur Kayu Keras di Indonesia ......................... 56
Gambar 4.2 Top Brand Index Pangsa Pasar Furnitur Knock-Down ............................ 57
Gambar 5.1 Kinerja Ekspor-Impor Furnitur, 2007-2016 .............................................. 68
Gambar 5.2 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk ............................ 69
Gambar 5.3 Impor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk ...............................69
Gambar 5.4 Ekspor Furnitur Berdasarkan Bahan Baku ...............................................70
Gambar 5.5 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Propinsi Tahun 2015 ................ 71
Gambar 5.6 Ekspor Furnitur Indonesia ke Negara-Negara ASEAN .............................72
Gambar 5.7 Impor Furnitur Negara-Negara ASEAN ke Indonesia .............................. 73
Gambar 5.8 Negara Eksportir Furnitur Dunia, 2015 .................................................... 74
Gambar 5.9 Negara Importir Furnitur Dunia, 2015 ...................................................... 75
Gambar 5.10 Negara Tujuan Ekspor Furnitur Indonesia, 2015 ..................................... 76
Gambar 6.1 Rekapitulasi Proyeksi Pertumbuhan Industri Mebel
dan Kerajinan .......................................................................................... 88
Gambar 6.2 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan
Rumah Indonesia ................................................................................... 95
Gambar 6.3 Perkembangan Top Brand Index (TBI) Produk Furnitur
Knock-Down ........................................................................................... 96
Gambar 6.4 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Dunia Berdasarkan
Segmen ................................................................................................. 100
Gambar 6.5 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan
Rumah di Beberapa Negara .................................................................. 101

viii
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Pertumbuhan Furnitur Dunia di Negara Maju dan


Berkembang, Kuartal I dan II Tahun 2016........................................................8
Tabel 2.2 Peraturan Tentang SVLK .............................................................................. 25
Tabel 2.3 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Industri Furnitur ........................32
Tabel 3.1 Konsumsi Furnitur Dunia, 2003-2012 ........................................................... 38
Tabel 3.2 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur Dunia, 2003-2012 .................................... 38
Tabel 3.3 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia Berdasarkan Letak Geografis............42
Tabel 3.4 Distribusi Nilai Tambah dalam setiap Tahapan Rantai Nilai ...........................48
Tabel 4.1 Perkembangan Top Brand Index Produk Furnitur Knock-Down,
2006-2015 ................................................................................................... 58
Tabel 4.2 Struktur Pasar Industri Furnitur di Kabupaten Jepara ...................................59
Tabel 4.3 Kontribusi Sektor Industri Terhadap PDB Tahun 2015 atas
Tahun Dasar 2010......................................................................................... 62
Tabel 5.1 Ekspor Furnitur Indonesia, 2011-2016 (Kg)................................................... 76
Tabel 5.2 Produk Furnitur Indonesia yang Berdaya Saing di Dunia,
2013-2015 .................................................................................................... 77
Tabel 5.3 Daya Saing Produk Furnitur RRT di Dunia ....................................................79

ix
Niki Barenda Sari

Foto: Piter (2010)

x
Furnitur, Produk Berdaya Saing Yang Butuh Perhatian

BAB I
FURNITUR, PRODUK BERDAYA SAING YANG
BUTUH PERHATIAN
Ernawati Munadi

Furnitur merupakan salah satu komoditas strategis bagi ekonomi


Indonesia. Beberapa kriteria yang menjadikan furnitur sebagai komoditas
strategis karena furnitur merupakan produk yang bernilai tambah tinggi
dan berdaya saing global. Produk furnitur Indonesia berdaya saing karena
tidak saja Indonesia memiliki sumber bahan baku alami yang melimpah
dan berkelanjutan, namun juga didukung oleh keragaman corak dan desain
yang berciri khas lokal serta ditunjang oleh Sumber Daya Manusia (SDM)
yang cukup kompeten. Melimpahnya bahan baku yang tersebar di seluruh
Indonesia menjadi keunggulan yang tak dimiliki negeri lain, berupa kayu,
rotan maupun bambu. Tingginya daya saing furnitur Indonesia juga karena
desain yang unik serta bahan baku yang khas seperti rotan, bambu, dan kayu
jati dibandingkan furnitur yang diproduksi oleh negara lain.

1.1 Nilai Strategis Furnitur


Salah satu nilai strategis komoditas furnitur karena industri furnitur
merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah
yang signifikan. Di Kabupaten Indramayu misalnya, industri furnitur yang
mencapai 300 unit usaha di tahun 2014, menyerap 1.203 tenaga kerja dan
menyumbang kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
daerah di urutan ke-2 terbesar setelah sektor pertambangan. Di Jawa Tengah,
374 perusahaan yang bergerak di bidang furnitur mampu menyerap 46.786
tenaga kerja. Jepara yang merupakan sentra produksi furnitur berbahan baku
kayu mampu memproduksi 3,9 juta furnitur dengan nilai produksi sebesar Rp
1,9 miliar, dengan melibatkan 5.471 unit usaha dan 223 eksportir dengan total
tenaga kerja yang terserap sebesar 72 ribu tenaga kerja (AMKRI, 2015).
Secara nasional industri furnitur di Indonesia mampu menyerap
tenaga kerja sebesar 500 ribu tenaga kerja langsung dan 2,5 juta tenaga
kerja tidak langsung atau sebesar 19,6% dari total tenaga kerja sektor
industri yang berkontribusi sebesar 13,3% tenaga kerja nasional atau
mencapai 15,3 juta orang. Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI)
memperkirakan bahwa setiap pertumbuhan ekspor furnitur sebesar USD 1
miliar dapat menyerap 400.000-500.000 tenaga kerja (AMKRI, 2015). Namun
sayangnya, jika dilihat dari kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)

1
Ernawati Munadi

industri, kontribusi industri furnitur dari tahun 2012-2015 hanya mampu


menyumbangkan sebesar 0,26% di tahun 2012 meningkat menjadi 0,27% di
tahun 2015 (Kementerian Perindustrian, 2015).
Di Indonesia, industri furnitur yang mengolah bahan baku berupa kayu,
rotan, atau bahan baku lainnya untuk meningkatkan nilai tambah dan manfaat
yang lebih tinggi terdapat hampir di seluruh propinsi. Namun demikian,
konsentrasi produsen furnitur terbanyak ada di daerah Jepara, Klaten,
Pasuruan, Sidoarjo, Gresik, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, dan Jakarta-
Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) (AMKRI, 2015).

1.2 Peran Furnitur Indonesia di Pasar Dunia Masih Kecil


Berdasarkan pada bahan bakunya, furnitur dapat terbuat dari kayu, logam,
plastik, rotan dan bahan baku lainnya. Produksi furnitur kayu mencapai 80%
dari total seluruh produksi, sedangkan furnitur yang berbahan baku rotan dan
bambu berkontribusi sebanyak 11%, furnitur logam mencapai 8% dan furnitur
plastik hanya mencapai 2% dari keseluruhan produksi furnitur Indonesia
(Kementerian Perindustrian, 2011).
Potensi industri furnitur yang dimiliki Indonesia belum dieksploitasi
secara maksimal seperti yang tergambar dalam perdagangan furnitur dunia.
Peran Indonesia sebagai negara penghasil furnitur di dunia masih sangat
minim dengan kontribusi kurang dari 1% terhadap pasar global industri
furnitur yang mencapai USD 440 miliar untuk tahun 2013. Angka ini sangat
jauh dibandingkan dengan negara-negara penghasil furnitur lainnya seperti
Brazil, Vietnam dan Polandia yang masing-masing mencapai 2%-nya, apalagi
Tiongkok yang mampu menyumbang 31% produksi mebel dunia di tahun
2011 (Bisnis.liputan 6.com, 2014).
Dalam pasar furnitur dunia, kawasan Asia Pasifik merupakan produsen
furnitur terbesar dengan kontribusi yang mencapai 55%, diikuti oleh Amerika
(26%), dan Eropa (14%). Sisanya sebesar 5% di produksi di kawasan lain
(CSIL, 2016). Di Kawasan Asia Pasifik, produsen furnitur di dominasi oleh
negara-negara seperti Tiongkok, Malaysia, India, Thailand dan Indonesia.
Kelima negara tersebut juga merupakan produsen furnitur terbesar di dunia,
namun dengan dominasi yang sangat besar dari Tiongkok yang mencapai
41% dari total produksi dunia. Data World Integrated Trade Solution (2017)
menunjukkan bahwa perdagangan internasional furnitur berbahan baku kayu
memiliki kontribusi yang dominan dibandingkan furnitur berbahan baku lain
hingga mencapai 71%. Sementara itu, kontribusi furnitur logam sebesar 22%,
furnitur plastik hanya 3%, dan sisanya sebanyak 4% merupakan perdagangan
furnitur berbahan baku lainnya. Bukan hanya kurang mampu berkiprah di

2
Furnitur, Produk Berdaya Saing Yang Butuh Perhatian

pasar Internasional, di pasar dalam negeripun ternyata belum sepenuhnya


dikuasai oleh produksi dalam negeri. Permintaan furnitur Indonesia yang saat
ini mencapai Rp 10 triliun per tahun, hanya 55%-nya yang mampu dipenuhi
oleh furnitur produk dalam negeri. Sisanya sebanyak 45% masih dikuasai
produk impor setara dengan Rp 4,5 triliun–Rp 5 triliun, bahkan disinyalir pada
tahun 2016 pangsa pasar asing naik menjadi 55% dengan nilai impor menjadi
Rp 5,5 triliun – Rp 6 triliun (Industri Bisnis, 2015).
Sangat ironis memang melihat perkembangan industri furnitur Indonesia.
Pada tahun 2000 Indonesia merupakan negara eksportir terbesar ke-5
di dunia, menurun pada urutan ke 18 pada tahun 2013 dan bahkan hanya
berada pada urutan ke 25 pada tahun 2015 dengan total nilai ekspor yang
mencapai USD 1,81 miliar dari total ekspor furnitur dunia yang mencapai USD
240 milliar. Peringkat Indonesia sebagai negara eksportir ini jauh di bawah
peringkat Vietnam yang berada di posisi ke-8 dan Malaysia di posisi ke-
17. Nilai ekspor furnitur Indonesia ini berada di urutan ke-21 produk ekspor
Indonesia, lebih rendah dari tahun sebelumnya dengan ekspor sebesar USD
1,9 miliar (CSIL, 2016). Ekspor furnitur Indonesia ini masih didominasi oleh
furnitur berbahan baku kayu yang nilai ekspornya mencapai USD 1,2 miliar,
furnitur berbahan baku rotan USD 262,5 juta, furnitur bambu sebesar USD
1,8 juta, furnitur berbahan baku metal USD 43,7 juta, furnitur berbahan baku
plastik USD 49,7 juta dan produk furnitur berbahan baku lainnya mencapai
USD 311 juta (Koran tempo, 2017).
Eksportir terbesar furnitur di dunia saat ini adalah Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) di peringkat pertama dengan nilai ekspor sebesar 55% atau
senilai USD 98,73 miliar dan Jerman berada pada urutan ke dua dengan
pangsa pasar sebesar 9% atau senilai USD 16,29 miliar. Negara-negara yang
juga merupakan eksportir terbesar furnitur setelah RRT dan Jerman adalah
Italia dan Amerika Serikat masing-masing sebesar 7% atau senilai USD 12,81
miliar dan USD 11,55 miliar, Polandia dan Meksiko 6% dengan nilai masing-
masing USD 10,91 miliar, dan USD 9,90 miliar, Vietnam dan Kanada masing-
masing sebesar 3% dengan nilai USD 5,48 miliar, dan USD 5,27 miliar, serta
Republik Ceko dan Belanda masing-masing sebesar 2% atau senilai USD
4,26 miliar dan USD 4,30 miliar (Trademap, 2016).

1.3 Peluang yang Belum Termanfaatkan


Masih banyak potensi lain yang harus benar-benar digarap secara
serius oleh Indonesia yang secara alami sudah berdaya saing dalam industri
furnitur, pasar dalam negeri yang terus mengalami peningkatan merupakan
salah satunya. Data menunjukkan bahwa permintaan akan produk furnitur di

3
Ernawati Munadi

dalam negeri terus mengalami peningkatan terutama karena berkembangnya


perumahan dan properti, berkembangnya pasar untuk perusahaan, lembaga-
lembaga pemerintahan, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
Perusahaan Badan Usaha Miilik Daerah (BUMD) yang jumlahnya mencapai
ratusan. Terkait dengan pasar dalam negeri sendiri masih tersedia 45% yang
saat ini diisi oleh produk impor. Pertumbuhan impor untuk produk furnitur di
Indonesia bisa mencapai 10%-15% per tahun sehingga jika terus dibiarkan
pasar dalam negeri bisa diambil oleh produk impor. Impor furnitur Indonesia
didominasi oleh RRT yang mampu tumbuh hingga 17% pada periode 2011-
2014, meskipun mengalami penurunan tahun 2015 sebesar 4% (Trademap,
2016).
Belum lagi pasar furnitur di pasar internasional yang diperkirakan juga
terus tumbuh dengan pertumbuhan yang diprediksi moderat 4% hingga
akhir tahun 2020. Namun mengingat pangsa pasar Indonesia yang masih
sangat rendah dan pertumbuhan pasar internasional yang terus meningkat,
maka perlu diimbangi dengan target pertumbuhan ekspor yang harus cukup
signifikan untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain. Apalagi dengan
perubahan pola perilaku belanja konsumen yang cenderung meningkat
melalui pembelian secara online, dimana pada tahun 2016 saja, furnitur dan
perlengkapan rumah memiliki kontribusi sebesar USD 199 juta dari total USD
1.179 juta dan diprediksi meningkat menjadi USD 342,8 juta pada tahun 2021.
Prediksi pertumbuhan permintaan furnitur secara online diperkirakan mampu
berkontribusi 11,5% per tahun terhadap total pertumbuhan e-commerce
sebesar 12,3% per tahun (Statista, 2016).
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri banyaknya kendala yang dihadapi
oleh industri furnitur di Indonesia. Salah satu faktor disinyalir justru merupakan
penghambat bagi perkembangan industri furnitur dalam negeri adalah regulasi
pemerintah yang dirasa bukan hanya menghambat masuknya investasi, namun
juga ekspor furnitur. Tingginya biaya logistik di Indonesia yang diperkirakan
mencapai 25% terhadap total PDB juga menjadi salah satu permasalahan
yang tidak kunjung selesai. Tingginya biaya bunga bank yang mencapai 12%
jauh diatas Malaysia yang hanya 4% dan Thailand 7% juga disinyalir menjadi
salah satu kendala masuknya investasi di Indonesia termasuk industri furnitur
(Kementerian Perdagangan, 2015). Ketergantungan impor bahan penunjang
produksi furnitur juga merupakan kendala lain dalam pengembangan industri
furnitur yang pada akhirnya menyebabkan industri ini tidak mampu bersaing
dengan negara lain khususnya RRT. Tidak tersedianya bahan baku penunjang
ini bukan hanya membuat pengusaha harus mengimpor, namun juga harus
mengimpornya dalam jumlah banyak mengingat untuk imporpun perlu waktu
yang cukup lama sehingga pada saat diperlukan bahan baku penunjang

4
Furnitur, Produk Berdaya Saing Yang Butuh Perhatian

tersebut tersedia. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan saya saing furnitur
Indonesia.
Terkait dengan kebijakan pemerintah, saat ini kebijakan wajib Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dirasa sangat menyulitkan bagi sebagian
pengusaha furnitur. Hal itu karena bukan hanya biaya untuk mendapatkan
sertifikat bagi pengusaha yang sebagian pengusaha kecil terasa besar, namun
juga syarat mengurus dokumen tersebut rumit. Kebijakan ini bahkan dianggap
kontraproduktif untuk mendorong ekspor. Apalagi melihat kenyataan bahwa
tidak ada negara tujuan ekspor produk kayu Indonesia yang mewajibkan
SVLK. Kebijakan SVLK yang diterapkan bukan hanya di hulu, namun juga
di hilir industri furnitur dirasa tidak tepat sasaran. Banyak negara lain yang
juga tidak menerapkan kebijakan SVLK justru nilai ekspornya tumbuh jauh
di atas Indonesia. Uni Eropa dan Australia tidak mewajibkan SVLK sebagai
satu-satunya syarat wajib produk kayu masuk ke wilayahnya. Upaya untuk
menciptakaan ilkim usaha yang kondusif dengan menghilangkan regulasi
yang bersifat menghambat dan menciptakan regulasi yang mendorong
pertumbuhan industri perlu dipikirkan.
Beberapa poin penting tersebut adalah gambaran singkat tentang furnitur
yang dibahas dalam Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur. Berbagai poin
penting tersebut selanjutnya dibahas secara lebih mendalam dalam setiap
bab mulai dari Bab II hingga Bab VI. Pembahasan pada Bab II difokuskan
pada pembahasan terkait dengan produksi furnitur beserta kendala yang
dihadapi. Bab III membahas tentang konsumsi furnitur dan dilanjutkan dengan
Bab IV yang secara mendalam membahas tentang perdagangan dalam
negeri furnitur. Bab V mendiskusikan tentang perdagangan luar negeri furnitur
bukan hanya dari sisi Indonesia, namun juga yang terjadi secara umum dalam
perdagangan furnitur dunia. Peluang dan Tantangan pengembangan furnitur
kemudian dibahas di Bab VI dan diakhiri dengan bagian penutup di Bab VII
yang merangkai bab-bab sebelumnya. Buku ini disajikan dengan harapan
semoga tulisan ini dapat memberikan masukan kepada berbagai stakeholder
furnitur di Indonesia dan menambah wawasan pembaca tentang furnitur.

DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI). (2015). Roadmap Industri
Mebel dan Kerajinan Indonesia “Target Pencapaian Ekspor 5 Milyar
USD”. Jakarta.

5
Ernawati Munadi

Bisnis.liputan 6.com (2014). RI Ingin Kuasai 5% Pasar Mebel Dunia dalam 10


Tahun. Diunduh tanggal 10 Mei 2017 melalui http://bisnis.liputan6.
com/read/2106415/ri-ingin-kuasai-5-pasar-mebel-dunia-dalam-10-
tahun.

Centre for Industrial Studies (CSIL). (2016). World Furniture Market. Diunduh
dari https://www.iffs.com.sg/industry-news/current-status-asias-fur-
niture-production-markets/.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2011).


Roadmap-Furnitur. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari rencana.
kemenperin.go.id/index.php/ download/category/1-p?download=2%
3Ap.

Industri Bisnis. (2015, 19 Januari). Omzet Pasar Furnitur & Kerajinan Dalam
Negeri Rp 10 Triliun Per Tahun. Diunduh tanggal 21 September
2016 dari http://industri.bisnis.com.

Kementerian Perdagangan (2015). Kajian Pengembangan Jasa Pergudan-


gan di Indonesia. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri.
Badan Pengembangan Kebijakan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan. Kementerian Perdagangan.

Kementerian Perindustrian (2015). Laporan Kinerja Kementerian Perindustri-


an. Biro Perencanaan, Kementerian Perindustrian.

Koran Tempo (2017, 6 April). HIMKI dan Kemenperin Cari Solusi Industri Meb-
el. Diunduh tanggal 20 Mei 2017 dari https://bisnis.tempo.co/read/
news/2017/ 04/06/090863081/himki-dan-kemenperin-cari-solusi-in-
dustri-mebel.

Sobur, Ahmad. (2016). Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia


(HIMKI). Hasil wawancara pada Trade Expo Indonesia, Jakarta.

Statista (2016). E-commerce: Furnitur & Appliances. Statista Digital Market


Outlook.

Trademap. (2016). Trade statistics for international business development.


Diunduh tanggal 7 September 2016 dari http://http://www.trademap.
org/Index.aspx.

6
Produksi Furnitur Indonesia

BAB II
PRODUKSI FURNITUR INDONESIA
Riska Pujiati

2.1 Pendahuluan
Furnitur merupakan terminologi yang dipakai untuk perabotan rumah
tangga yang berfungsi untuk menyimpan barang, sebagai tempat duduk,
tempat tidur, tempat untuk menulis sesuatu berupa meja atau tempat
meletakkan sesuatu di atasnya. Sebagai contoh, furnitur yang berfungsi untuk
menyimpan pada umumnya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, seperti
lemari buku, lemari pakaian, dll. Furnitur biasanya memiliki tekstur dan warna
yang indah yang disebabkan oleh proses akhir yang halus (Bank Indonesia,
2008a).
Industri furnitur merupakan industri yang mencakup pengolahan bahan
baku berupa kayu, rotan, atau bahan baku lainnya yang diproses untuk
meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang lebih tinggi menjadi produk
barang jadi furnitur (AMKRI, 2015). Indonesia merupakan salah satu
produsen utama furnitur dunia yang memiliki potensi bahan baku yang besar
dan bervariasi
Produk furnitur Indonesia dikenal memiliki daya saing yang cukup tinggi
di pasar internasional. Daya saing tersebut berupa desain yang unik dan
produk furnitur dengan bahan baku yang khas seperti rotan, bambu, dan kayu
jati dibandingkan furnitur yang diproduksi oleh negara lain. Daerah produksi
furnitur terdapat hampir di seluruh propinsi, dengan konsentrasi produsen
yang cukup tinggi terletak di daerah Jepara, Klaten, Pasuruan, Sidoarjo,
Gresik, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, dan Jabodetabek (AMKRI,2015).
Tulisan dalam bab ini akan membahas gambaran umum produksi
furnitur dunia dan gambaran produksi furnitur Indonesia seperti jenis furnitur
berdasarkan bahan baku, rantai nilai dan produksi furnitur kayu, daerah
sentra industri furnitur, kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam
mengembangkan industri furnitur Indonesia, dan kebijakan pemerintah yang
berpengaruh terhadap produksi furnitur Indonesia.

2.2 Gambaran Umum Produksi Furnitur Dunia


Pertumbuhan output produksi furnitur dunia pada kuartal II tahun
2016 mengalami peningkatan sebesar 2,6% bagi negara berkembang dan
1,5% bagi negara maju bila dibandingkan periode yang sama pada tahun
sebelumnya. Bagi negara berkembang, angka ini menurun sebesar 0,8%,

7
Riska Pujiati

namun meningkat tajam bagi kelompok negara maju yaitu sebesar 2,6%
(UNIDO, 2016). Tabel 2.1 berikut ini menggambarkan pertumbuhan industri
furnitur dunia dibandingkan dengan total industri.

Tabel 2.1 Perbandingan Pertumbuhan Furnitur Dunia di Negara Maju


dan Berkembang, Kuartal I dan II Tahun 2016

Sektor Kuartal II 2016 Kuartal I 2016

Negara Negara Maju Negara Negara Maju


Berkembang (%) (%) Berkembang (%) (%)

Furnitur 2,6 1,5 3,4 -1,1

Semua Sektor 4,9 0,2 4,8 0,1

Sumber: UNIDO (2016)

Nilai produksi furnitur dunia pada tahun 2015 mencapai USD 406 miliar,
tumbuh sebesar 16% dari USD 350 miliar pada tahun 2009 (CSIL, 2009).
Saat ini negara yang memiliki kontribusi terbesar dalam produksi furnitur
yaitu Tiongkok yang mencapai USD 166 miliar (41%), dimana pada tahun
2009, kontribusi Tiongkok baru mencapai 20% atau sebesar USD 70 miliar.
Produksi furnitur Tiongkok telah tumbuh sebesar 137% selama periode tahun
2009-2015. Selain Tiongkok, tercatat juga produksi furnitur Amerika Serikat
sebesar USD 49 miliar (12%), Jerman (5%), Italia (4%), India (4%), Polandia
(3%), Jepan (2%), Kanada (2%), Korea Selatan (2%), dan proporsi negara
lain mencapai 21%. Indonesia sendiri berkontribusi terhadap produksi furnitur
dunia sebesar USD 2 miliar (2%) (CSIL,2017).
Saat ini telah terjadi pergeseran pusat produksi furnitur dunia. Berdasarkan
data dari CSIL (2016), kontribusi kawasan Asia Pasifik dalam produksi furnitur
dunia mencapai 55%, disusul oleh kawasan Eropa (14%), Amerika (26%), dan
kawasan lain mencapai 5%. Pusat produksi furnitur telah bergeser ke negara-
negara berkembang (emerging countries) termasuk Indonesia. Kondisi ini
berbeda jauh bila dibandingkan dengan tahun 2009, dimana proporsi negara
maju dalam produksi furnitur dunia mencapai 61% (CSIL, 2009). Berikut ini
adalah gambaran proporsi negara produsen furnitur dunia pada tahun 2009
dan 2015 (Gambar 2.1 dan 2.2).

8
Produksi Furnitur Indonesia

Gambar 2.1 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2009.


Sumber: CSIL (2009)

Gambar 2.2 Proporsi Negara Produsen Furnitur Dunia, 2015.


Sumber: CSIL (2017)

2.3 Jenis Furnitur berdasarkan Bahan Baku


Berdasarkan bahan baku yang digunakan, jenis furnitur yang diproduksi
di Indonesia dapat dibedakan menjadi furnitur kayu dan kayu olahan, furnitur
rotan dan bambu, dan furnitur dari bahan lainnya. Berdasarkan data dari

9
Riska Pujiati

Kementerian Perindustrian (2017), produksi furnitur kayu tahun 2014 mencapai


80% dari total seluruh produksi, sedangkan furnitur yang berbahan baku rotan
dan bambu mencapai 11%, furnitur logam mencapai 7% dan furnitur plastik
hanya mencapai 2% dari keseluruhan produksi furnitur Indonesia. Sub bab ini
akan membahas produksi furnitur terhadap tiga komponen utama yaitu kayu
dan kayu olahan, rotan dan bambu, dan bahan lainnya (logam dan plastik).

2.3.1 Furnitur Kayu dan Kayu Olahan


Furnitur yang berbahan dasar kayu menjadi mayoritas furnitur yang
diproduksi di Indonesia dan memiliki nilai produksi tertinggi dibandingkan
bahan lain. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi produksi kayu
tropis yang sangat besar, dengan produksi kayu bulat mencapai 29,4 juta m3
pada tahun 2015. Indonesia memiliki kawasan hutan tropis seluas 126,09
juta hektar, dengan alokasi hutan produksi mencapai + 68,99 juta Ha. Hutan
produksi tersebut terbagi menjadi Hutan Produksi Terbatas seluas 26,8 Ha,
Hutan Produksi Tetap seluas 29,25 juta Ha, dan Hutan Produksi yang dapat
dikonversi seluas 12,94 juta Ha (KLHK, 2015). Untuk memenuhi kebutuhan
industri furnitur, bahan baku kayu berasal dari berbagai sumber, yaitu
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan
Desa (HD) sebesar 0.85 juta Ha dan Hutan Alam/Hutan Tanaman Industri
sebesar 34.3 juta Ha (DPHP, 2016). Kayu memiliki keunggulan untuk dibuat
menjadi berbagai macam furnitur, antara lain mudah diolah, memiliki pola dan
tekstur yang baik, dan permukaannya dapat diukir untuk meningkatkan nilai
estetikanya.
Secara garis besar, terdapat dua kelompok industri pengolahan kayu hilir,
yaitu solid wood (kayu padat) dan plywood (kayu lapis), termasuk block board,
medium density fibreboard (mdf), dan particle board. Perbedaan bahan baku
ini akan mempengaruhi harga jual furnitur. Furnitur yang terbuat dari bahan
baku kayu keras memiliki harga jual lebih tinggi bila dibandingkan jenis bahan
baku lainnya. Mayoritas furnitur yang terbuat dari kayu keras diproduksi
oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang jumlahnya mencapai sekitar
95% dari total produksi furnitur. Sementara itu, perusahaan besar umumnya
mengkhususkan diri pada produksi furnitur campuran panel dan kayu
keras, hal itu disebabkan oleh tingginya biaya modal yang diperlukan untuk
menghasilkan furnitur yang berbahan baku kayu panel (Ewasechko, 2005).

10
Produksi Furnitur Indonesia

Berikut ini adalah penjelasan untuk jenis-jenis kayu yang digunakan dalam
industri furnitur:
a. Kayu padat
Kayu padat merupakan jenis kayu terkuat yang memiliki sifat tahan lama
dibandingkan dengan kayu olahan sehingga membuat harga jualnya
lebih tinggi dibandingkan furnitur berbahan kayu olahan. Pembuatan
furnitur berbahan baku kayu padat membutuhkan keterampilan khusus
dan pengeringan harus dilakukan secara sempurna untuk mengindari
sifat muai susut kayu. Jenis kayu padat yang biasa dipakai di Indonesia
sebagai bahan furnitur adalah kayu jati, kayu nyatoh, kayu sungkai,
mahoni, pinus, ramin dan cedar.
b. Kayu Lapis
Kayu lapis (plywood) adalah kayu olahan yang dibentuk dari lembaran-
lembaran kayu yang direkatkan dengan cara diberikan tekanan tinggi,
dan memiliki ketebalan dari 3 mm sampai dengan 18 mm.Kayu lapis
banyak digunakan sebagai bahan baku untuk membuat lemari, meja,
tempat tidur dan kitchen set. Sesudah menjadi furnitur, permukaan
kayu lapis biasanya diberikan pelapis tambahan seperti PVC ataupun
melamin. Harga dari kayu lapis pada umumnya lebih murah dari kayu
padat akan tetapi lebih mahal daripada kayu olahan lainnya.
c. Block Board
Block Board adalah potongan–potongan kayu kotak dalam ukuran kecil-
kecil yang dipadatkan menggunakan mesin serta pada kedua sisinya
diberi pelapis venner (irisan kayu tipis) sehingga menyerupai sebuah
papan lembaran.Biasanya block board dibuat dengan menggunakan
kayu lunak sehingga tidak sekuat kayu lapis. Block board dapat
digunakan untuk membuat cabinet, kitchen set atau rak.
d. Medium Density Fibreboard (MDF)
MDF terbuat dari serbuk kayu halus yang direkatkan dengan bahan
kimia resin dan dipadatkan melalui suhu dan tekanan yang tinggi.
MDF lebih ramah lingkungan disebabkan terbuat dari serbuk kayu
sisa perkebunan ataupun bambu. Versi MDF yang lebih kuat dan lebih
padat biasanya dikenal dengan nama High Density Fibreboard (HDF).
MDF mudah dibentuk tetapi lebih berat daripada kayu lapis dan particle
board karena mengandung resin. Jenis finishing yang dapat digunakan
pada MDF sangat bervariasi mulai dari PVC, cat kayu, venner, ataupun
paper laminate.

11
Riska Pujiati

e. Particle Board
Particle board terbuat dari partikel sisa pekerjaan kayu seperti serpihan
kayu, serbuk gergaji dengan direkatkan menggunakan bahan kimia
resin oleh mesin tekanan tinggi dan kemudian dikeringkan. Perbedaan
antara particle board dan MDF adalah bahan yang digunakan untuk
MDF adalah serbuk yang lebih halus dan seragam, sedangkan particle
boad lebih kasar dan tidak beraturan. Particle board memiliki harga
yang paling murah dibandingkan kayu olahan lainnya. Particle board
tidak boleh terkena air karena kekuatannya akan hilang bila basah.
Selain itu apabila menahan beban yang berat maka particle board
dapat melengkung. Permukaan particle board tidak boleh diberikan
cat atau coating karena tekstur yang kasar. Permukaan particle board
biasanya dilapisi dengan lapisan veneer, laminate, atau fancy laminate
yang direkatkan.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian/Kemenperin (2017),
industri furnitur berbahan dasar dari kayu memiliki kinerja yang paling
bagus dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai produksi
furnitur kayu tumbuh sebesar 62,7% selama periode 2010 – 2014. Pada
tahun 2010, nilai produksi furnitur kayu mencapai Rp 10,923 miliar dan
meningkat menjadi Rp 17,779 miliar pada tahun 2014. Seiring peningkatan
nilai produksi, output dan nilai tambah industri furnitur kayu Indonesia
juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 113,2% dan 135,4%
selama periode 2010 – 2014. Gambar 2.3 menunjukkan kinerja industri
furnitur kayu Indonesia pada tahun 2010-2014.

30,000

25,000
(Rp Miliar)

20,000

15,000

10,000

5,000

0
Biaya Bahan Baku Nilai Produksi Input Output Nilai Tambah
2010 3,768 10,923 4,366 11,945 7,579
2011 7,840 15,398 8,832 17,258 8,425
2012 6,945 13,061 8,672 14,551 5,878
2013 5,684 12,739 6,770 14,920 8,150
2014 6,179 17,779 7,620 25,461 17,841

Gambar 2.3 Kinerja Industri Furnitur Kayu, 2010-2014.


Sumber: Kemenperin (2017), diolah

2.3.1 Furnitur Rotan dan Bambu


Indonesia memiliki potensi sumber daya alam berupa bahan baku
rotan dan bambu yang besar. Wilayah penghasil rotan di Indonesia adalah

12
Produksi Furnitur Indonesia

Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Daerah-daerah tersebut memiliki


kemampuan produksi rotan antara 250.000 ton sampai dengan 600.000 ton
per tahunnya (Indrawati,2015). Rotan dan bambu digunakan sebagai bahan
baku pembuatan furnitur karena memiliki sifat elastis dan kuat sehingga
furnitur yang dihasilkan tersebut bersifat tahan lama dan mudah dibentuk.
Rotan memiliki sifat elastis dan fleksibel untuk diolah menjadi berbagai
produk furnitur. Selain itu, rotan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan kayu, antara lain ringan, kuat, dan murah. Saat ini, industri yang
berbasis tanaman rotan terbagi ke dalam 2 kelompok besar, yaitu sebagai
sebagai pemasok bahan baku dan produsen kerajinan dan mebel.
Berdasarkan tingkat pengolahannya, rotan dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok sebagai berikut (Indrawati, 2015):
1. Rotan Mentah, yaitu rotan yang diambil dari hutan, rotan tersebut masih
basah dan mengandung air getah rotan, warna hijau atau kekuning-
kuningan (lapisan berklorofil), belum digoreng dan belum dikeringkan.
2. Rotan Asalan, yaitu rotan yang telah mengalami proses penggorengan,
penjemuran, dan pengeringan. Permukaan kulit berwarna coklat kekuning-
kuningan, masih kotor belum dicuci, bergetah kering, permukaan kulit
berlapisan silikat.
3. Rotan Natural Washed & Sulphured (W/S), yaitu rotan bulat natural yang
masih berkulit, sudah mengalami proses pencucian dengan belerang
(sulphure), ruas/tulang sudah dicukur maupun tidak dicukur (trimmed atau
untrimmed), biasanya kedua ujungnya sudah diratakan, sudah melalui
sortasi ukuran diameter maupun kualitas.
4. Rotan Poles, yaitu rotan bulat yang telah dihilangkan permukaan kulit
bersilikatnya dengan menggunakan mesin poles rotan, dan melalui tiga
tahap amplas yang berbeda, yaitu tahap poles kasar, tahap pembersihan,
dan tahap poles halus.
Rotan menjadi salah satu komoditas perdagangan hasil hutan non-kayu
yang memiliki nilai ekspor tinggi. Rotan yang diperdagangkan di dalam
negeri berbentuk rotan asalan, rotan setengah jadi dan produk olahan
rotan. Di pasar internasional, ekspor rotan mentah Indonesia berlangsung
selama periode 2005 – 2011. Pada periode tersebut Tiongkok menjadi salah
satu negara tujuan utama ekspor rotan Indonesia. Rotan mentah tersebut
kemudian diolah menjadi produk furnitur dan kemudian diekspor kembali
sehingga menyebabkan ekspor furnitur rotan asal Tiongkok merajai pasar
ekspor dunia. Selama periode tersebut, produk furnitur rotan asal Indonesia
sendiri kalah bersaing dengan produk yang berasal dari Tiongkok (Indrawati,
2015). Saat ini, ekspor rotan mentah telah dilarang sejak dikeluarkannya

13
Riska Pujiati

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 tentang


Tata Cara Ekspor Rotan dan Produk Rotan. Industri furnitur rotan di dalam
negeri mengalami tantangan terkait daya saing yang diakibatkan tingkat
ketersediaan bahan baku rotan di dalam negeri yang semakin menurun, dan
timbulnya produk rotan sintetis dengan harga yang lebih murah (Setyawan
dkk, 2016).
Proses produksi furnitur berbahan baku rotan dilakukan dengan
menggabungkan dua proses, yaitu proses mekanik berupa pemotongan dan
pemolaan rotan, dan proses pengerjaan seni tradisional berupa pembentukan
produk jadi secara manual. Dalam proses pembuatannya dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu: 1) pemotongan rotan sesuai dengan ukuran
model produk, 2) pembentukan model-model produk dengan alat cetak, 3)
pengikatan, 4) memaku/sekrup, 5) pengamplasan dan 6) pengeringan (Bank
Indonesia, 2008b).

Gambar 2.4 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Rotan.


Sumber: Bank Indonesia (2008b)

Bambu merupakan salah satu bahan baku furnitur disamping rotan dan
kayu. Penggunaan bambu semakin berkembang disebabkan beberapa hal,
antara lain mudah didapat dan mudah dalam pengerjaannya. Indonesia
merupakan negara yang kaya akan varietas bambu dengan 143 jenis bambu
yang dapat tumbuh. Bambu yang dipakai untuk furnitur antara lain bambu
bitung, bambu mayan, bambu cendani, dan bambu hitam. Furnitur bambu
untuk pasar ekspor menggunakan sistem bongkar pasang (knock down)
sehingga menghemat ruang. Proses produksi yang dilakukan dalam kegiatan
usaha kerajinan mebel bambu hanya memerlukan peralatan yang sederhana
karena lebih banyak memanfaatkan keahlian/keterampilan tangan manusia
untuk menghasilkan produk kerajinan furnitur bambu (Bank Indonesia,
2008c). Pembuatan furnitur bambu dapat digambarkan melalui tahapan
sebagai berikut:

14
Produksi Furnitur Indonesia

Gambar 2.5 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Bambu.


Sumber: Bank Indonesia (2008c)

Foto: Piter (2010).

15
Riska Pujiati

Industri furnitur berbahan dasar dari rotan dan bambu memiliki kinerja
yang berfluktuasi bila dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai
produksi furnitur rotan dan bambu paling tinggi sebesar Rp 5.239 miliar pada
tahun 2011 selama periode 2010–2014. Pada tahun 2010, nilai output furnitur
rotan dan bambu mencapai Rp 3.609 miliar dan meningkat menjadi Rp 4.182
miliar pada tahun 2014. Gambar 2.6 menunjukkan kinerja industri furnitur
rotan dan bambu Indonesia selama periode 2010-2014.

Gambar 2.6 Kinerja Industri Furnitur Rotan dan Bambu, 2010-2014.


Sumber: Kemenperin (2017), diolah

2.3.2 Furnitur Logam dan Plastik


Bahan baku logam seperti stainless steel, kuningan, aluminium dan
besi saat ini semakin banyak digunakan sebagai bahan baku untuk furnitur
modern. Furnitur dengan bahan baku besi harus dicat atau diberikan lapisan
luar supaya tidak berkarat, oleh karena itu bahan baku jenis stainless steel
ataupun aluminium lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan baku furnitur
karena tidak memerlukan lapisan luar tambahan. Furnitur dengan bahan
baku logam biasanya sangat kuat dan memiliki durabilitas yang lebih tahan
lama. Pada umumnya dalam satu furnitur bahan baku logam dikombinasikan
dengan bahan baku lainnya seperti kayu atau plastik. Furnitur dengan bahan
baku logam dapat digunakan sebagai furnitur di dalam atau di luar ruangan.
Industri furnitur berbahan dasar logam memiliki kinerja yang berfluktuasi
bila dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai produksi furnitur
logam paling tinggi sebesar Rp 2.844 miliar pada tahun 2012 selama periode

16
Produksi Furnitur Indonesia

2010 – 2014. Pada tahun 2010, nilai produksi furnitur logam mencapai
Rp 2.248 miliar dan turun menjadi Rp 1.753 miliar pada tahun 2014. Gambar
2.7 menunjukkan kinerja industri furnitur logam Indonesia selama periode
2010-2014.

Gambar 2.7 Kinerja Industri Furnitur Logam, 2010-2014.


Sumber: Kemenperin (2017), diolah

Industri furnitur berbahan dasar plastik memiliki kinerja yang berfluktuasi


bila dibandingkan furnitur yang terbuat dari bahan lain. Nilai produksi furnitur
plastik paling tinggi sebesar Rp 636 miliar pada tahun 2013 selama periode
2010 – 2014. Pada tahun 2010, nilai produksi furnitur plastik mencapai Rp
311 miliar kemudian meningkat menjadi Rp 362 miliar pada tahun 2014. Nilai
tambah industri furnitur plastik meningkat sebesar 50% dari Rp 118 miliar di
tahun 2010 menjadi Rp 176 miliar pada tahun 2014. Gambar 2.8 menunjukkan
kinerja industri furnitur plastik Indonesia selama periode 2010-2014.

Gambar 2.8 Kinerja Industri Furnitur Plastik, 2010-2014.


Sumber: Kemenperin (2017), diolah

17
Riska Pujiati

2.4 Rantai Nilai dan Produksi Furnitur Kayu


Sebelum sampai di tangan konsumen, terdapat beberapa tahapan
yang harus dilalui produsen dalam membuat furnitur berbahan baku kayu.
Kayu bagi produksi furnitur diperoleh dari hutan atau perkebunan. Saat ini,
kayu perkebunan juga digunakan sebagai bahan furnitur disamping untuk
menghasilkan bubur kertas dan kertas. Pabrik furnitur yang memiliki skala
besar mencari bahan baku kayu dari hutan, karena mereka memerlukan kayu
dengan volume tinggi dan memiliki dana cukup untuk membiayai hak kelola,
perizinan hutan dan iuran. Berbeda dengan pabrik furnitur dengan skala kecil
yang harus bergantung kepada pasokan dari perkebunan.
Kayu yang digunakan pada produksi furnitur dalam negeri diangkut ke
Pulau Jawa dari pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jenis kayu yang
menjadi bahan baku furnitur untuk pasar dalam negeri tersebut adalah kayu
meranti, nyatoh, bintangor, balam, dan bangkerai. Kayu jati menjadi satu-
satunya kayu yang berasal dari pohon yang di tanam di perkebunan, sejak
reformasi dan implementasi otonomi daerah, kawasan hutan jati semakin
berkurang dan membuat harga kayu jati menjadi tinggi untuk dipakai sebagai
bahan baku furnitur pasar dalam negeri. Untuk furnitur dengan pasar ekspor,
produksi menggunakan kayu yang berasal dari dalam negeri dan kayu impor
seperti kayu karet, akasia, albasia dan pinus radiata (USAID-SENADA, 2007).
Berikut adalah alur proses produksi untuk furnitur kayu yang dilakukan oleh
UMKM (Bank Indonesia, 2008a):

Gambar 2.9 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furnitur Kayu.


Sumber: Bank Indonesia (2008a)

18
Produksi Furnitur Indonesia

Proses produksi furnitur kayu yang dilakukan oleh UKM menggunakan


teknologi proses sederhana secara manual untuk pekerjaan kecil dan rinci.
Untuk pemrosesan kayu yang lebih berat sudah menggunakan teknologi
proses semi modern, yaitu dalam proses pemotongan, penyerutan dan
penghalusan untuk bidang-bidang yang lebih luas. Proses pembuatan
furnitur kayu merupakan gabungan beberapa proses mekanik (pemotongan,
pengeboran dan pemolaan kayu) dan pengerjaan seni (pembentukan
akhir sesuai contoh model). Furnitur kayu yang dihasilkan merupakan produk
yang mempunyai kandungan seni menurut model dan fungsi produk yang
dikehendaki. Proses pembuatan dilakukan melalui beberapa tahapan
yaitu pemotongan kayu gelondongan menjadi bentuk kaso, papan dan
balok yang dilakukan di tempat penjual kayu. Selanjutnya bahan tersebut
dilakukan pemotongan sesuai dengan ukuran produk, pembentukan model-
model produk dengan mesin bubut, pengukiran bentukan produk jadi,
pengunaan ampelas, pewarnaan dan finishing. Pewarnaan dilakukan dengan
memberikan warna alami kayu, penguatan warna sesuai selera konsumen,
biasanya cenderung kepada warna terang, kuning sampai kecoklatan, atau
warna agak gelap, yaitu coklat sampai kehitaman, namun beberapa konsumen
yang menginginkan warna lain seperti warna keemasan atau perak. Bahan
pelarut warna dan perekat warna dapat dipilih antara politur dan melamin
(Bank Indonesia, 2008a). Setelah itu, furnitur didistribusikan ke pembeli, baik
melalui pedagang besar maupun pengecer.

2.5 Daerah Sentra Industri Furnitur


Daerah-daerah penghasil furnitur tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Masing-masing daerah memiliki ciri antara satu dengan yang lain, yang
diakibatkan oleh sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut (AMKRI,
2015). Gambaran sentra industri furnitur di beberapa daerah sebagai berikut:
1. Sumatera
Daerah yang menjadi sentra industri furnitur di pulau Sumatera adalah
Aceh, Medan dan Palembang. Furnitur yang berasal dari daerah Sumatera
ini pada umumnya merupakan furnitur yang terbuat dari kayu dan rotan.
Daerah Sumatera memiliki potensi produksi bahan baku berupa kayu
akasia 20 juta m3, ekaliptus 1,7 juta m3, kayu karet 0,5 juta m3, kayu rimba
campuran 0,2 juta m3, kayu lainnya 4 juta m3, rotan 970 ton, dan bambu
242.206 batang (BPS, 2016).
2. Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta
Daerah Jawa Barat juga merupakan sentra produksi furnitur terutama
daerah Bandung, Cirebon, dan Indramayu. Furnitur yang berasal dari

19
Riska Pujiati

Jawa Barat pada umumnya adalah furnitur yang terbuat dari kayu padat
(solid wood), kayu panel, rotan serta bambu. Berdasarkan data dari BPS
(2016), industri furnitur di Kabupaten Indramayu menduduki peringkat
kedua setelah sektor pertambangan dalam hal kontribusi terhadap
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah. Pada tahun 2014
diketahui ada 300 unit usaha Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang
ada di Indramayu dan telah menyerap 1.203 tenaga kerja. Para pengrajin
di Kabupaten Indramayu hanya memasarkan produknya pada taraf lokal
ataupun pesanan individual atau dari daerah lain. Mereka memasarkannya
kepada para tengkulak yang nantinya akan memasarkan produk mereka
ke pasar domestik. Sementara itu, daerah Banten merupakan produsen
furnitur yang terbuat dari kayu padat, kayu panel dan rotan, sedangkan
daerah Jakarta merupakan salah satu sentra industri furnitur dengan hasil
produksinya banyak terbuat dari kayu panel dan kayu padat.
3. Jawa Tengah dan Yogyakarta
Daerah yang menjadi sentra industri furnitur di Jawa Tengah adalah
Jepara, Semarang dan Solo. Furnitur yang dihasilkan biasanya
merupakan furnitur yang terbuat dari kayu padat dan bambu (HIMKI,
2016). Provinsi Jawa Tengah memiliki 374 perusahaan yang bergerak
di bidang furniture dengan 46.786 tenaga kerja. Daerah yang terkenal
akan produksi furnitur adalah Kabupaten Jepara. Pada awalnya, seni ukir
Jepara dirintis pada abad ke 7 (Kerajaan Kalingga) dalam pembuatan
rumah tradisional dan kapal. Industri seni ukir kemudian berkembang
pesat menjadi industri furnitur yang memiliki ciri khas seni ukir jepara pada
abad ke 19. Seiring makin meningkatnya permintaan dari dalam dan luar
negeri, industri ini menjadi sentra industri yang sangat berpengaruh bagi
perkembangan perekonomian wilayah Jepara. Di Jepara, industri kecil
berkelompok dalam suatu sentra pengrajin yang tersebar di beberapa
desa dan kecamatan. Berdasarkan data dari BPS (2015b), pada tahun
2014, industri furnitur mampu memproduksi 3,9 juta buah dengan nilai
produksi sebesar Rp 1,9 miliar dan melibatkan 5.471 unit usaha dan 223
eksportir dengan total tenaga kerja yang terserap sebesar 72 ribu tenaga
kerja. Dengan jumlah produksi yang demikian besar, dibutuhkan bahan
baku yang cukup besar untuk mencukupi produksi tersebut, mencapai
114.727 M3/tahun. Jenis kayu yang digunakan industri furnitur di Jepara
cukup beragam, antara lain kayu Jati, Mahoni, Sono dan Mindi. Sebagian
besar sumber bahan baku berasal dari Perum Perhutani (unit Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan sebagian dari hutan/hutan rakyat dari
daerah Sumatra,Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat. Daerah produsen

20
Produksi Furnitur Indonesia

furnitur di Yogyakarta adalah Kabupaten Bantul dengan mayoritas furnitur


yang diproduksi terbuat dari kayu padat.
4. Jawa Timur
Furnitur yang berasal dari daerah Jawa Timur pada umumnya merupakan
furnitur yang berbahan baku kayu padat, kayu panel dan rotan. Daerah
yang terkenal sebagai penghasil produk furnitur di Jawa Timur adalah
Pasuruan. Industri furnitur di Pasuruan mulai berkembang pada tahun
1990-an. Industri furnitur berkontribusi terhadap PDRB sebesar 50,73%
dengan rata-rata pertumbuhan 6,12% per tahun (BPS, 2015c). Bahan
baku kayu berasal dari luar daerah, seperti Tuban, Bojonegro, Banyuwangi
dan Kalimantan. Sementara itu, kayu asli Pasuruan sendiri sangat
sedikit digunakan. Umumnya kayu yang digunakan adalah Kayu Jati.
Produk furnitur yang dihasilkan dari sentra industri kayu ini antara lain:
meja, kursi, tempat tidur. Meskipun masih dalam skala kecil, Pasuruan
dapat menghasilkan produk yang berkualitas ekspor. Beberapa produk
telah dapat memasarkan produknya ke pasar mancanegara terutama
ke Malaysia, Jepang dan Prancis untuk produk-produk kerajinan kayu,
furnitur dan kayu olahan.
5. Bali dan Nusa Tenggara
Daerah Bali, Nusa Tengara Timur dan Nusa Tenggara Barat juga
merupakan sentra industri furnitur. Selain produksi furnitur, daerah-daerah
tersebut juga banyak meproduksi kerajinan yang terbuat dari kayu padat.
Daerah Bali dan Nusa Tenggara memiliki potensi produksi bahan baku
berupa kayu rimba campuran 9.000 m3,kayu sengon 5.000 m3, jati 3.000
m3, kayu cendana karet 2.000 m3, kayu lainnya 19.000 m3, dan bambu
6.144.476 batang (BPS, 2016).
6. Kalimantan
Furnitur yang berasal dari Kalimantan merupakan furnitur yang memiliki
bahan baku kayu padat dan rotan. Daerah Kalimantan memiliki potensi
produksi bahan baku berupa kayu akasia 2,7 juta m3, kayu meranti 3,7
juta m3, kayu ekaliptus 0,4 juta m3, kayu lainnya 2,3 juta m3, rotan 1.756
ton (BPS, 2016).
7. Sulawesi
Daerah yang menjadi sentra industri furnitur di Sulawesi adalah kota
Palu dan Mamuju. Furnitur yang dihasilkan dari daerah tersebut pada
umumnya merupakan furnitur yang terbuat dari rotan. Daerah Sulawesi
memiliki potensi produksi bahan baku berupa kayu rimba campuran 0,1
juta m3, kayu jati 0,03 juta m3, kayu indah 0,02 juta m3, kayu lainnya0,08
juta m3, bambu 185.240 batang, dan rotan 13.836 ton (BPS, 2016).

21
Riska Pujiati

8. Papua
Meskipun belum terlalu banyak industri furnitur, tetapi daerah Papua
merupakan daerah yang berpotensi menjadi sentra industri terbesar. Saat
ini Papua merupakan sentra industri kerajinan. Daerah Papua memiliki
potensi produksi bahan baku berupa kayu meranti 0,5 juta m3, kayu rimba
campuran 0,3 juta m3, kayumerbau 0,3 juta m3,kayu indah 0,02 juta m3,
dan kayu lainnya 0,5 juta m3 (BPS, 2016).

Sumatera,
Kalimantan
Aceh, Medan, &
Kayu, rotan, dan
Palembang
kerajinan
Kayu, Rotan, dan
Kerajinan

Sulawesi, Palu
Mamuju
Rotan, dan kerajinan
Jawa Tengah (Semarang, Papua
Solo, Jepara) Kerajinan Tradisional
Kayu solid, kayu panel, rotan,
bambu, dan kerajinan Jawa Timur
Kayu solid, kayu
panel, rotan, bambu
Banten, Jawa Barat Cirebon,
Indramayu, Bandung), DKI Jakarta Yogyakarta
Kayu solid, kayu panel, rotan, bambu, Kayu solid, kayu panel, Bali, NTB, NTT
dan kerajinan rotan, bambu, dan Kerajinan
kerajinan

Gambar 2.10 Zona Industri Furnitur dan Kerajinan Indonesia.


Sumber: Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) (2016)

2.6 Kendala Dalam Produksi Furnitur


Menurut Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) (2015),
terdapat empat pilar yang menentukan daya saing produk ekspor furnitur
Indonesia yaitu, bahan baku, proses produksi, desain dan inovasi, serta
pemasaran. Terkait dengan bahan baku, faktor yang mempengaruhi adalah
standardisasi kualitas bahan baku, stabilitas harga, kepastian pasokan,
efisiensi mata rantai distribusi, teknologi pengelolaan, keberlangsungan
jangka panjang, infrastruktur.
Untuk pilar proses produksi, faktor yang berpengaruh adalah ketersediaan
tenaga kerja, pendidikan formal dan pelatihan teknis produksi, teknologi
produksi, standar produk, efisiensi produksi, infrastruktur, peraturan
pemerintah, lembaga keuangan, dan kemampuan manajemen. Selain itu,
beberapa faktor dalam desain/inovasi yang menentukan daya saing antara
lain pendidikan formal dan pelatihan desain, research and development,
lembaga desain, teknologi, benchmarking, kaderisasi sumber daya manusia,
lembaga hukum (paten). Daya saing furnitur kayu Indonesia saat ini berada di

22
Produksi Furnitur Indonesia

bawah Malaysia dan Vietnam. Berdasarkan data dari HIMKI, dari 20 negara
eksportir produk mebel dunia, Indonesia berada di peringkat ke-17.
Pada tahun 2016 tercatat bahwa transaksi ekspor mebel di pasar
internasional mengalami peningkatan sebanyak 9,4%, namun perkembangan
industri furnitur tentu juga tidak lepas dari beberapa faktor yang menjadi
kendala, baik eksternal maupun internal. Beberapa kendala yang muncul
antara lain (AMKRI, 2015):

2.6.1 Permodalan
Industri furnitur membutuhkan modal yang cukup besar. Modal tersebut
diperlukan untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti tempat/lokasi usaha,
mesin/alat produksi, tenaga kerja, bahan baku, perizinan serta kebutuhan-
kebutuhan lainnya. Ukuran furnitur yang besar mengakibatkan kebutuhan
tempat usaha yang cukup luas untuk kegiatan produksi, menyimpan bahan
baku maupun untuk tempat penyimpanan sementara produk yang sudah
jadi. Industri furnitur membutuhkan mesin-mesin untuk pengolahan bahan
baku/bahan setengah jadi maupun untuk finishing. Furnitur pada umumnya
merupakan industri padat karya, sehingga industri furnitur membutuhkan
tenaga kerja yang cukup banyak untuk memproduksi furnitur dalam waktu
singkat. Selain itu biaya untuk pengadaan bahan baku merupakan salah satu
faktor biaya utama dalam industri furnitur disamping biaya-biaya lainnya.
Saat ini, produsen furnitur skala kecil mengalami persaingan dengan
pengusaha asing yang memiliki modal yang besar. Salah satu contohnya
yaitu produsen furnitur di Jepara, berdasarkan data dari Pemerintah Kab.
Jepara pada tahun 2014, terjadi peningkatan Penanaman Modal Asing
(PMA) dari Rp 640 miliar menjadi Rp 3,15 triliun pada tahun 2016. Besarnya
PMA yang datang menimbulkan trade off berupa terpinggirkannya pengrajin
lokal yang disebabkan karena para pengusaha asing dengan modal besar
tersebut banyak yang melakukan usaha dari hulu ke hilir. Saat ini, banyak
eksportir furnitur lokal menjadi sub eksportir dari pengusaha asing di Jepara,
sedangkan pengrajin dan pemasok skala kecil menjadi buruh di pabrik industri
asing (Kompas, 2017b)

2.6.2 Suku Bunga Pinjaman yang Tinggi


Industri furnitur yang pada umumnya terdiri dari usaha kecil atau
menengah seringkali mengalami kendala dalam permodalan. Pengembangan
usaha membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu banyak pelaku
usaha dalam industri furnitur mengajukan kredit permodalan usaha untuk
mengembangkan usahanya. Indonesia memiliki suku bunga kredit yang

23
Riska Pujiati

tinggi, dengan dasar suku bunga pinjaman mencapai 11,9% bila dibandingkan
dengan Malaysia yang hanya mencapai 4,5% dan Tiongkok 4,3% (World
Bank, 2017).

2.6.3 Kemampuan Manajemen yang Rendah


Dalam industri furnitur, banyak pelaku usaha yang tidak memiliki
kemampuan manajemen yang cukup untuk memproduksi furnitur secara
efisien. Kemampuan manajemen tersebut terdiri dari manajemen produksi
dan manajemen keuangan. Manajemen produksi meliputi kemampuan untuk
mengontrol persediaan bahan baku, jangka waktu produksi, serta proses
produksi. Kemampuan manajemen produksi dapat meningkatkan efisiensi
pelaku usaha dari segi biaya maupun waktu dalam memproduksi furnitur.

2.6.4 Teknologi yang Sudah Usang


Pada umumnya industri furnitur masih menggunakan mesin serta alat
produksi yang sudah digunakan untuk waktu yang relatif lama. Pelaku usaha
furnitur merasa enggan untuk mengganti mesin dan alat produksi yang lama
dengan mesin dan alat produksi yang baru dengan kinerja yang lebih baik.
Peralatan yang lebih modern dan lebih canggih sebenarnya akan membantu
pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi furnitur dari segi biaya
dan waktu. Selain itu, kinerja mesin dan alat baru yang lebih baik juga akan
meningkatkan pilihan desain furnitur yang akan diproduksi dimana desain
tersebut sebelumnya tidak bisa diproduksi karena keterbatasan kemampuan
mesin dan alat yang sudah lama.
Pelaku usaha industri furnitur merasa ragu untuk melakukan peremajaan
peralatan produksi karena harga dari mesin dan alat produksi lainnya sangat
mahal. Selain itu selama mesin dan alat produksi tersebut masih bisa
digunakan, pelaku usaha merasa lebih efisien untuk memperbaiki mesin dan
alat produksi tersebut.

2.6.5 Kelangkaan Bahan Baku dan Illegal Logging


Furnitur berbahan dasar kayu saat ini menghadapi masalah berupa
kelangkaan bahan baku yang disebabkan berbagai faktor, salah satunya
adalah pembalakan liar (illegal logging) dan deforestasi hutan. Indonesia
merupakan negara yang memiliki jumlah hutan yang luas, namun selama ini,
kayu yang ditebang secara ilegal yang berasal dari hutan Indonesia dikirim
ke negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia (Salam, 2013). Praktek
illegal logging mengakibatkan industri furnitur kesulitan dalam memperoleh
bahan baku kayu karena bahan baku kayu dapat langsung dijual tanpa
terlebih dahulu mendapatkan sertifikasi.

24
Produksi Furnitur Indonesia

Untuk mengatasi illegal logging tersebut, pemerintah Indonesia telah


merancang satu sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) atau Timber Legality
Assurance Standar (TLAS), dan sistem ini diberlakukan sejak tahun 2009.
Dasar Hukum mengenai SVLK tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No. 38/Menhut-II/2009 tentang Standard Dan Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu
Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak. Peraturan Menteri Kehutanan
tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi
Kehutanan Nomor: P.6/VI-Set/2009 tentang Standard Dan Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu.
Tabel berikut adalah peraturan lengkap terkait SVLK :

Tabel 2.2 Peraturan tentang SVLK

No Peraturan Perihal Deskripsi

1. Peraturan Pemerintah Nomor Tata Hutan dan Penyusunan • Pasal 125 ayat (3) bahwa
6 Tahun 2007 jo. Peraturan Rencana Pengelolaan Hutan, serta keberhasilan pengelolaan hutan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. Pemanfaatan Hutan. lestari dicerminkan dari kinerja
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan (IUPHH).
• Pasal 100 pemanfaatan hutan
rakyat bertujuan untuk memperoleh
manfaat yang optimal dengan tidak
mengurangi fungsinya.
• Pasal 119 setiap pengangkutan,
penguasaan atau pemilikan hasil
hutan yang berasal dari Hutan
Negara, wajib dilengkapi bersama-
sama dengan dokumen yang
merupakan sahnya hasil hutan.

2. Permenhut Nomor P.38/ Menhut- Standard dan Pedoman Penilaian • Dalam rangka menuju Pengelolaan
II/2009. Kinerja Pengelolaan Hutan Hutan Produksi Lestari (PHPL), serta
Produksi Lestari dan Verifikasi penerapan tata kelola kehutanan,
Legalitas Kayu pada Pemegang Izin pemberantasan penebangan
atau pada Hutan Rakyat. liar dan perdagangannya, perlu
ditetapkan Standard Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu Pada
Pemegang Izin Atau pada Hutan
rakyat, dengan Peraturan Menteri
Kehutanan.

3. Permenhut Nomor P.68/ Menhut- Perubahan Atas Permenhut Nomor • Untuk lebih menjamin kepastian
II/2011. P.38/Menhut-II/2009 Tentang hukum dan usaha.
Standar dan Pedoman Penilaian • Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan
Kinerja Pengelolaan Hutan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
Produksi Lestari dan Verifikasi Rakyat ( IUPHHK-HTR), Ijin Usaha
Legalitas Kayu pada Pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-
Atau Pada Hutan Rakyat. Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK-
HKm), Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu-Hutan Desa
(IUPHHK-HD), Ijin Usaha Industri
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUIPHHK) dengan kapasitas
sampai dengan 2.000 m3 per
tahun, Tanda Daftar Industri (TDI),
termasuk industri rumah tangga/
pengrajin dan pedagang ekspor,
atau pemilik hutan rakyat, dapat
mengajukan verifikasi legalitas kayu
(LK) secara kolektif.

25
Riska Pujiati

4. Permendag Nomor 64/M-DAG/ Ketentuan Ekspor Produk Industri • Untuk mendukung hilirisasi industri
PER/10/2012. Kehutanan. kehutanan perlu sumber bahan baku
legal dan dikelola secara lestari.
• Ekspor dapat dilaksanakan oleh
industri yang terdaftar dalam
Eksportir Terdaftar Produk Industri
Kehutanan (ETPIK).
• Dokumen V-Legal wajib untuk panel,
woodworking, bangunan prefabs,
sebagian pulp dan kertas.

5. Permenhut Nomor P.45/ Menhut- Perubahan Kedua atas Permenhut Pemegang IUIPHHK yang
II/2012. Nomor P.38/Menhut-II/2009 mempunyai keterkaitan bahan baku
Tentang Standar dan Pedoman hutan rakyat, wajib memfasilitasi
Penilaian Kinerja Pengelolaan pemilik hutan rakyat untuk
Hutan Produksi Lestari dan memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu
Verifikasi Legalitas Kayu pada (S-LK). S-LK tersebut berlaku selama
Pemegang Izin atau pada Hutan 10 tahun dan dilakukan penilikan 24
Rakyat. bulan sekali.
Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-
HKm, IUPHHKHD, IUIPHHK hingga
2.000 m3/thn, TDI, Ijin Usaha Industri
(IUI) dengan investasi sampai
Rp500.000.000 di luar tanah dan
bangunan, termasuk industri rumah
tangga/pengrajin dan pedagang
ekspor, mengajukan verifikasi LK
secara kelompok.
• Pelaksanaannya pembiayaan
pendampingan dan verifikasi legalitas
kayu periode ke-1 (anggaran KLHK)
dilakukan secara berkelompok.
• Sertifikat PHPL bagi pemegang Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu- Hutan Alam/Hutan Tanaman/
Restorasi Ekosistem (IUPHHK-HA/
HT/RE/) pemegang hak pengelolaan
berlaku selama 5 tahun sejak
diterbitkan dan dilakukan penilikan
sekurang-kurangnya 1 tahun sekali.
Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-
HA/HT/RE/hak pengelolaan,
IUPHHK-HTR/HKM/HD/HTHR/
IPK, IUIPHHK, IUI dengan modal
investasi lebih dari Rp500.000.000
di luar tanah dan bangunan,
pedagang ekspor, hutan rakyat dan
Tempat Penampungan Terdaftar
(TPT) berlaku selama 3 tahun sejak
diterbitkan dan dilakukan penilikan
sekurang-kurangnya 1 tahun sekali.
• Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi
sampai dengan Rp500.000.000 di
luar tanah dan bangunan, TDI dan
industri rumah tangga/pengrajin
berlaku 6 tahun dan dilakukan
penilikan sekurang-kurangnya 24
bulan sekali.

6. Perubahan Ketiga Atas Permenhut • Berdasarkan hasil evaluasi dan untuk


Permenhut Nomor P.42/ Menhut- lebih menjamin kepastian hukum
Nomor P.38/ Menhut-II/2009
II/2013. maka perlu menetapkan Peraturan
Tentang Standar Dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Menteri Kehutanan tentang
Hutan Produksi Lestari dan Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Verifikasi Legalitas Kayu pada Menteri Kehutanan Nomor P.38/
Pemegang Izin atau Pada Hutan Menhut II/2009 tentang Standard
Rakyat. dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang Izin atau pada Hutan
rakyat.

26
Produksi Furnitur Indonesia

7. Permendag Nomor Perubahan tentang Ketentuan Ekspor • Penyesuaian terhadap kesiapan


81/M-DAG/ PER/12/2013. Produk Industri Kehutanan. pelaksanaan SVLK.
• Kewajiban kelompok industri A
melengkapi dokumen V legal 1 Januari
2013.
• Kewajiban kelompok industri B
melengkapi dokumen V legal 1 Januari
2015.

8. Permenhut Nomor P.43/ Menhut- Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan • Perkembangan kinerja pengelolaan
II/2014. Produksi Lestari dan Verifikasi hutan produksi hutan produksi lestari
Legalitas Kayu pada Pemegang Izin dan verifikasi legalitas kayu, maka
atau pemilik Hutan Rakyat. perlu dilakukan pengaturan kembali
penilaian kinerja pengelolaan hutan
produksi lestari dan verifikasi legalitas
kayu pada pemegang izin atau pada
hutan rakyat.

9. PermenLHK Nomor P.95/ Perubahan atas Permenhut Nomor • Terdapat hambatan bagi industri kecil
Menhut-II/2014. P.43/Menhut-II/2014 dan menengah.
Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan • Pemilik hutan rakyat, IUIPHHK
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi kapasitas sampai 6.000 m3/tahun,
Legalitas Kayu pada Pemegang Izin Industri Kecil Menengah ( IKM), TPT,
atau pemilik hutan rakyat. Industri Rumah Tangga/Pengrajin
diberikan kesempatan untuk
memperoleh pembinaan dan fasilitasi
pemerintah (ketrampilan teknis,
pembinaan, sertifikasi berkelompok,
pembiayaan sertifikasi dan penilikan
pertama).
• Pemegang ETPIK IKM Mebel yang
belum atau sudah memiliki S-LK
yang bahan baku produk olahannya
belum memiliki S-LK atau Deklarasi
Kesesuaian Pemasok ( DKP), untuk
ekspor menggunakan Deklarasi
Ekspor sampai dengan 31 Desember
2015.
• Deklarasi Ekspor adalah pernyataan
dari IKM pemilik ETPIK bahwa barang
yang diekspor menggunakan sumber
bahan baku yang telah memenuhi
persyaratan legalitas.

10. Permendag Nomor 97/M-DAG/ Perubahan tentang Ketentuan Ekspor • Definisi IKM pemilik ETPIK adalah
PER/12/2014. Produk Industri Kehutanan. industri pemilik Tanda Daftar Industri
(TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang
telah mendapat pengakuan sebagai
ETPIK tetapi belum memiliki Sertifikat
Legalitas Kayu (S-LK) dengan batasan
nilai investasi sampai dengan Rp 10
miliar.
• Dokumen V-Legal wajib untuk panel,
woodworking, bangunan prefabs,
sebagian pulp dan kertas serta
furniture dan kerajinan untuk pelaku
usaha besar. Untuk IKM furnitur
menggunakan Deklarasi Ekspor.

11. PermenLHK Perubahan Permenhut Nomor P.13/ • Penetapan ulang standar Biaya
Nomor P.96/Menhut-II/2014. Menhut-II/2013 tentang Standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Penilaian Kinerja Produksi Lestari dan Verifikasi
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Legalitas Kayu : industri rumah
dan Verifikasi Legalitas Kayu. tangga/pengrajin, TDI/IUI <500 juta,
IUPHHK<2.000m3, IUPHHK 2.000-
6.000 m3, IUI dan IUPHHK >6.000 m3,
dan TPT.

12. PermendagNomor Perubahan beberapa ketentuan • Permendag ini memungkinkan


66/M-DAG/PER/8/2015. Permendag RI No. 97/M-DAG/ pengekspor cukup hanya memiliki
PER/12/2014 tentang Ketentuan Deklarasi Ekspor (DE) untuk
Ekspor Produk Industri Kehutanan. melakukan ekspor tanpa batas waktu.

27
Riska Pujiati

13. Permendag Nomor Perubahan beberapa ketentuan • Dokumen V-Legal wajib untuk
89/M-DAG/PER/10/2015. Permendag RI No. 97/M-DAG/ panel, woodworking, bangunan
PER/12/2014 jo Permendag prefabs, sebagian pulp dan
Nomor 66/M-DAG/PER/8/2015 kertas serta tidak untuk furnitur
tentang Ketentuan Ekspor dan kerajinan.
Produk Industri Kehutanan.

14. PermenLHK Nomor P30/ Penilaian Kinerja Pengelolaan • Mengurangi hambatan


Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016. hutan Produksi Lestari dan pelaku usaha seperti jangka
Verifikasi Legalitas Kayu pada waktu sertifikasi, pemenuhan
pemegang Izin, Hak Pengelolaan kewajiban bahan baku
atau Hutan Hak sertifikasi dan peningkatan
penerimaan pasar.

15. Permendag Nomor 25/M-DAG/ Perubahan atas Permendag • Furniture dan kerajinan wajib
PER/4/2016. Nomor 89/M-DAG/PER/10/ dokumen V legal.
2015 tentang Ketentuan Ekspor
Produk Industri Kehutanan.

Sumber: Suryandari, dkk (2017)

Pemberlakuan SVLK tersebut memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk


mewujudkan pengelolaan hutan lestari, membenahi penerapan tata kelola
kehutanan, pemberantasan penebangan liar (illegal logging) dan tata kelola
perdagangan kayu. Selain itu, SVLK memberi kepastian bagi pembeli di pasar
internasional seperti Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara tetangga
bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia merupakan
produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal. Namun, di satu sisi,
penerapan SVLK membebani produsen furnitur, terutama produsen furitur
yang memiliki skala usaha kecil dan menengah disebabkan biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat SVLK ini cukup tinggi. Tingginya
harga kayu yang telah disertifikasi akan menyebabkan kenaikan pada harga
jual produk furnitur.
Selain disebabkan illegal logging, kelangkaan bahan baku untuk industri
furnitur disebabkan oleh tidak ada alokasi produksi kayu khusus bagi industri
furnitur, mayoritas kayu yang diproduksi hutan rakyat maupun pemerintah
digunakan untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Tidak adanya alokasi
khusus ini menyebabkan pengusaha industri furnitur kesulitan untuk
memperoleh kayu dari produksi dalam negeri sebagai bahan baku.

2.6.6 Sumber Daya Manusia dan Regulasi Ketenagakerjaan


Industri furnitur merupakan industri padat karya, yang terbagi atas
pekerja tetap dan pekerja dari sub kontrak/outsourcing. Produsen furnitur
masih menghadapi kendala berupa tenaga kerja yang ada belum terampil
dan produktivitasnya masih rendah. Selain itu, Undang-Undang No. 23
Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan menyebabkan biaya upah yang tinggi
bagi pengusaha kerena kewajiban pemberian pesangon apabila karyawan
berhenti bekerja, sehingga menyebabkan banyak pengusaha hanya berani
mempekerjakan tenaga kerja dengan status kontrak (outsourcing). Status

28
Produksi Furnitur Indonesia

kontrak ini menyebabkan loyalitas yang rendah sehingga tenaga kerja yang
ada tidak memaksimalkan potensinya dalam pengerjaan produk furnitur.
Selain itu, tenaga kerja yang berprofesi sebagai penganyam dan pengukir
kurang diminati karena pekerjaan yang berat dan memiliki pendapatan yang
sama bila menjadi penjaga toko.

2.6.7 Harga Listrik yang Mahal


Produksi furnitur menggunakan mesin-mesin dan alat produksi yang
menggunakan listrik. Penggunaan listrik yang cukup besar menjadikan listrik
menjadi salah satu faktor yang secara signifikan menentukan biaya produksi.
Harga listrik di Indonesia yang cukup mahal turut mengakibatkan kurangnya
daya saing produk furnitur Indonesia di pasar internasional.

2.6.8 Infrastruktur yang Kurang Memadai


Pada setiap industri, infrastruktur merupakan faktor penting yang dapat
menentukan efisiensi produksi. Selain itu, infrastruktur merupakan faktor
eksternal yang mempengaruhi nilai produk furnitur. Tantangan yang dihadapi
oleh produsen furnitur terkait kondisi infrastruktur di daerah sentra industri
adalah belum merata dan memadainya infrastruktur khususnya jalan dan
listrik. Infrastruktur jalan yang kurang memadai mengakibatkan terhambatnya
logistik bahan baku dan barang jadi yang akan dipasarkan. Infrastruktur jalan
dan transportasi berpengaruh terhadap efisiensi waktu dan biaya angkut yang
harus dibayarkan oleh produsen. Infrastruktur listrik berperan penting dalam
kelangsungan proses produksi, listrik merupakan komponen utama dalam
proses produksi, agar proses produksi dapat berkelanjutan, ketersediaan
pasokan listrik yang stabil mutlak diperlukan (AMKRI,2015).

2.6.9 Pengenaan Pajak terhadap Impor Barang Contoh


Bagi produsen furnitur yang biasa menerima barang contoh dari pembeli
di luar negeri, masalah yang dihadapi adalah tingginya biaya yang harus
ditanggung ketika memperoleh barang contoh dari calon pembeli. Hal ini
disebabkan barang contoh yang dikirimkan oleh calon pembeli ketika masuk
ke Indonesia diperlakukan tidak jauh berbeda seperti barang impor pada
umumnya sehingga barang contoh tersebut harus membayar bea masuk
dan berbagai jenis pajak. Berbagai beban bea masuk dan pajak terhadap
barang contoh dikeluhkan produsen furnitur karena bebannya sangat besar
dan dikenakan pada produk yang tidak diperdagangkan. Kebijakan impor
barang contoh yang diperlakukan sebagai sebagaimana produk impor lainnya
menimbulkan biaya tambahan hingga 68% dari harga barang dan biaya
pengiriman (freight cost) (USAID-SENADA, 2007).

29
Riska Pujiati

2.6.10 Desain
Berdasarkan data dari HIMKI, terdapat sekitar 5.000 pengusaha mebel di
Indonesia, dan baru tiga persen yang memiliki merek dagang sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa mayoritas pengusaha mebel dan kerajinan memproduksi
furnitur sesuai dengan desain yang sudah ditentukan (Kompas,2017a). Selain
itu, produk furnitur Indonesia yang dibuat produsen lokal saat ini menghadapi
persaingan dengan furnitur yang diproduksi oleh perusahaan asing yang
memiliki desain yang lebih bervariasi. Saat ini, produk furnitur menjadi bagian
dari gaya hidup, sehingga konsumen cenderung memilih furnitur dengan
desain modern dan minimalis. Inovasi dalam desain produk dapat menjadi
salah satu faktor yang meningkatkan daya saing produk furnitur di pasar
domestik dan internasional.

2.7 Global Value Chain dalam Industri Furnitur


Jaringan Produksi Global atau Global Value Chain (GVC) merupakan
sebuah sistem produksi dimana produksi dan distribusi suatu barang
diselenggarakan secara bersama-sama oleh beberapa negara. Dalam GVC,
satu tahapan produksi dari satu kesatuan proses produksi diselenggarakan
di satu negara sedangkan tahapan berikutnya dilakukan di negara lain. GVC
dimungkinkan karena adanya perkembangan teknologi komunikasi dan
logistik serta makin menurunnya hambatan perdagangan antar negara yang
membuat barang dan jasa dapat berpindah nyaris tanpa hambatan dari satu
negara ke negara lain (EU-Indonesia TCF, 2015).
Aplikasi GVC pada furnitur yang berbahan dasar kayu adalah rantai nilai
yang didorong oleh pembeli (buyer driven chains), dimana industri furnitur
akan memproduksi jenis furnitur berdasarkan tiga pembeli utama yaitu multi
store retailer, one store retailer, dan specialized medium buyer. Multi store
retailer dan specialized medium buyer memperoleh produk dari banyak
pemasok di berbagai negara yang tersebar baik di negara maju maupun
negara berkembang. One store retailer hanya memperoleh barang dari
sejumlah pemasok di beberapa negara, proses manufaktur mengandalkan
produsen dari negara berkembang (Kaplinsky, et al, 2003).
Pembeli global melayani segmen pasar yang berbeda, dengan selera yang
juga berbeda. Multi store retailer memiliki keunggulan dalam menyediakan
furnitur dengan harga yang murah dan memilik kualitas produk tinggi dan
variasi yang banyak. Hal tersebut, membuat produsen furnitur lebih mudah
melayani one store retailer, dan specialized medium buyer. Produsen furnitur
Indonesia memiliki keunggulan yaitu dalam produksi massal dan ketelitian
dalam membuat produk sesuai dengan desain yang diminta. Selain itu,

30
Produksi Furnitur Indonesia

produsen di Indonesia tidak menerapkan kewajiban pembelian minimum


seperti di Tiongkok, hal ini membuat furnitur indonesia menjadi pilihan bagi
pembeli skala kecil (Ewasechko, 2005).
Indonesia sebenarnya memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam
GVC, khususnya dalam industri pengolahan kayu yang dapat dibagi menjadi
dua, yaitu industri primer pengolahan kayu di penggergajian (sawmill) dan
industri sekunder yaitu produksi furnitur (UNIDO, 2015). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Bernhardt & Pollack (2015), keterlibatan Indonesia dalam
GVC di sektor furnitur kayu berada dalam tingkat menengah, masih kalah bila
dibandingkan Tiongkok dan Vietnam yang telah berada dalam tingkat atas.
Hal ini terlihat dari kenaikan dalam pangsa pasar dan nilai ekspor relatif bagi
Vietnam dan Tiongkok, sedangkan Indonesia mengalami penurunan pangsa
pasar ekspor, dan sedikit kenaikan dalam nilai ekspor relatifnya.
Khusus untuk industri furnitur, pengembangan konsep GVC dapat
dilakukan dengan menerapkan ciri khas berupa pengembangan seni dan
ukiran. Produk furnitur Indonesia yang memiliki desain yang unik akan lebih
diminati oleh pembeli dibandingkan produk standar yang banyak beredar di
pasaran. Keterlibatan Indonesia dalam GVC sektor furnitur masih tertinggal
jauh bila dibandingkan dengan GVC pada sektor lain.

2.8 Kebijakan Pemerintah


Industri furnitur merupakan industri yang padat karya dan mayoritas
terdiri dari usaha kecil dan menengah. Beberapa kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
perkembangan industri furnitur Indonesia. Sebagai contoh kebijakan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK), apabila diterapkan dengan baik, maka produsen
furnitur akan mendapat banyak manfaat seperti kemudahan dalam hal
logistik. Lebih lanjut, kebijakan yang berpengaruh terhadap industri furnitur
dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Foto: Piter (2010)

31
Riska Pujiati

Tabel 2.3 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Industri Furnitur


No. Perundang Undangan Keterangan

1. Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/ Regulasi ini membantu produsen furnitur dalam
PER/3/2014 Tentang Program Restrukturisasi memperbaharui alat dan mesin produksi.
Mesin Dan/Atau Peralatan Industri Kecil dan Pemerintah memberikan potongan harga sebesar
Industri . 45% bagi industri kecil dan 35% bagi industri
menengah. Program restrukturasi dilakukan
dengan cara memberikan bantuan paling besar
senilai Rp 500 juta rupiah.

2. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini bertujuan untuk melindungi
hak pekerja, namun di sisi lain, UU ini
memberikan beban bagi pengusaha karena
cenderung menganggap sama kapasitas
keuangan perusahaan dalam memberikan upah
dan tunjangan sehingga kewajiban pemberian
tunjangan bagi karyawan memiliki jumlah dan
presentase yang sama.

3. Peraturan Menteri Keuangan No. 22/ Peraturan ini dibentuk agar pengusaha dengan
PMK.05/2010 MOU – 102/MK/2010 Tentang skala kecil dan menengah mendapatkan
Kredit Usaha Rakyat. permodalan dengan bunga yang ringan. Modal
dapat disalurkan langsung kepada pengusaha
oleh bank pelaksana secara langsung dan tidak
langsung.

4. UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan UU ini bertujuan untuk memberikan keringanan
Ekonomi Khusus (KEK). bagi perusahaan yang kegiatannya berada di
kawasan ekonomi khusus sehingga mendapatkan
beberapa manfaat berupa: a. Fasilitas pajak
penghasilan, b. Tambahan fasilitas PPh, dan c.
Impor barang ke KEK bebas PPh impor

5. Peraturan Menteri Perdagangan No. 35/M-DAG/ Kebijakan larangan ekspor rotan mentah memiliki
PER/11/2011 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan tujuan untuk mengamankan bahan baku rotan
dan Produk Rotan. dan mengembangkan industri rotan dalam
negeri. Dampak dari penerapan peraturan ini
adalah timbulnya over supply bahan baku rotan
dan kurangnya penyerapan rotan oleh industri
domestik (BPPP Kemendag, 2013).

6. Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/ Salah satu tujuan dari peraturan ini adalah untuk
PER/11/2015 Tentang Ketentuan Impor Produk mengatur impor bahan baku furnitur berupa kayu
Kehutanan. non tropis. Produsen furnitur dapat mengimpor
kayu non tropis dengan rekomendasi dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK).
Sumber: AMKRI (2015) dan Kemendag (2017), diolah

2.9 Penutup
Furnitur Indonesia merupakan produk yang memiliki daya saing yang
cukup tinggi di pasar internasional, hal ini disebabkan oleh Indonesia memiliki
hutan tropis yang di dalamnya terdapat berbagai jenis varietas kayu yang
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan furnitur. Selain kayu,
produksi furnitur saat ini semakin berkembang dengan penggunaan bahan
lain seperti rotan, bambu, metal dan plastik. Industri furnitur Indonesia memiliki
nilai produksi yang bervariatif dan berfluktuasi selama periode 2010 – 2014.
Daerah produksi furnitur di Indonesia tersebar hampir di semua pulau, namun

32
Produksi Furnitur Indonesia

masih terpusat di Pulau Jawa, yaitu Indramayu, Jepara, dan Pasuruan.


Dalam mengembangkan industri furnitur, pelaku usaha menghadapi banyak
tantangan, antara lain semakin langkanya bahan baku sehingga menyebabkan
biaya produksi furnitur semakin tinggi dan tenaga kerja yang kurang kompeten.
Dalam rangka mengembangkan industri furnitur Indonesia, pemerintah perlu
mengambil beberapa kebijakan, antara lain dengan menekan biaya produksi
furnitur dengan cara memberikan insentif dan memberikan pelatihan kepada
tenaga kerja yang bekerja di sektor ini agar lebih terampil dan loyal. Selain
itu, koordinasi antar kementerian diperlukan agar kebijakan yang dibuat dapat
dilaksanakan dan dimanfaatkan secara optimal oleh pengusaha furnitur.

DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI). (2015). Roadmap Industri
Mebel dan Kerajinan Indonesia “Target Pencapaian Ekspor 5 Milyar USD”.
Jakarta.
Bank Indonesia. (2008a). Pola Pembiayaan Usaha Kecil (Ppuk) Furnitur Kayu.
Jakarta.
Bank Indonesia. (2008b). Pola Pembiayaan Industri Kerajinan Rotan. Jakarta.
Bank Indonesia. (2008c). Pola Pembiayaan Industri Kerajinan Bambu. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015a). Kabupaten Indramayu Dalam Angka
2015. Diunduh tanggal 18 Oktober 2016 dari https://indramayukab.bps.
go.id.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015b). Kabupaten Jepara Dalam Angka 2015.
Diunduh tanggal 18 Oktober 2016 dari https://jeparakab.bps.go.id/.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015c). Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015.
Diunduh tanggal 18 Oktober 2016 dari https://pasuruankota.bps.go.id/.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2016). Statistik Produksi Kehutanan 2015.
Diunduh tanggal 11 Mei 2017 dari https://www.bps.go.id/website/pdf_
publikasi/Statistik-Produksi-Kehutanan-2015--.pdf.
Bernhardt, T, Pollack, R. (2015). Economic and Social Upgrading Dynamics
in Global Manufacturing Value Chains: A Comparative Analysis. FIW
Working Paper No 150. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari http://www.
fiw.ac.at/fileadmin/Documents/ Publikationen/Working_Paper/N_150_
BernhardtPollak.pdf.
Centre for Industrial Studies (CSIL). (2016). World Furniture Market. Diunduh
tanggal 6 Juni 2017 dari https://www.iffs.com.sg/industry-news/current-
status-asias-furniture-production-markets/.
Centre for Industrial Studies (CSIL). (2017). World Furniture Outlook on
Global Markets 2017. Diunduh tanggal 13 Juni 2017 dari http://www.
furnitureandfurnishing.com/html/jan17/market-outlook-world-furniture-
outlook-on-global-markets.php.

33
Riska Pujiati

CSIL. (2009). World Furniture Outlook Summary. Diunduh tanggal 07 Juli 2017
dari https://www.csilmilano.com/docs/Outlook_04_09.pdf
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian. (2009).
Roadmap-Furnitur. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari rencana.
kemenperin.go.id/index.php/ download/category/1-p?download=2%3Ap
pada 3 Oktober 2016.
EU-Indonesia Trade Cooperation Facility (TCF). (2015). Indonesia Dan Global
Value Chain (GVC). Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari http://www.euind-tcf.
com/id/indonesia-dan-global-value-chain-gvc/.
Ewasechko A.C.(2005). Upgrading the Central Java Wood Furniture Industry: A
Value-Chain Approach. Manila, ILO.
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). (2016). 10 Langkah
Meningkatkan Daya Saing Industri Mebel dan Kerajinan di Pasar Global.
Jakarta.
Indrawati, I. (2015). Posisi Pemerintah Indonesia dalam Shifting Perdagangan
Rotan.  POLINTER, 1(2). Diunduh dari http://journal.uta45jakarta.ac.id/
index.php/polhi/article/viewFile/307/158.
Kaplinsky, R, Memedovic,O, Morris, M. (2003). The Global Wood Furniture
Value Chain: What Prospects For Upgrading By Developing Countries.
UNIDO. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari https://www.unido.org/uploads/
tx_templavoila/ Global_wood_furniture_value_chain.pdf.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2015). Statistik
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015. Diunduh tanggal
11 Mei 2017 dari www.menlhk.go.id/downlot.php?file=Statistik_KLHK_
tahun_2015.pdf.
Kementerian Perindustrian. (2017). Data Statistik Industri Furnitur. Jakarta
Kompas. (2017a, 8 Agustus). Inovasi Produk Bisa Jadi Solusi. Jakarta
Kompas. (2017b, 27 Maret). Saat Ukir Jepara Digenggam Asing. Diunduh
tanggal 6 Juni 2017 dari https://www.pressreader.com/indonesia/
kompas/20170327/ 281479276245668.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Perubahan atas
Permendag Nomor 89/M-DAG/PER/10/ 2015 tentang Ketentuan Ekspor
Produk Industri Kehutanan, Permendag No. 25 Tahun 2016.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Ketentuan Impor
Produk Kehutanan, Permendag No. 97 Tahun 2015.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Ketentuan Ekspor
Rotan dan Produk Rotan, Permendag No. 35 Tahun 2011.

34
Produksi Furnitur Indonesia

Setyawan, R.E, Daryanto, H.K, Oktaviani, R. (2016). Jurnal Manajemen &


Agribisnis, Vol. 13 No. 3, November 2016. Diunduh tanggal 6 Juni 2017
dari http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmagr Nomor DOI: 10.17358/
JMA.13.3.169.
Suryandari, E.Y, Djaenufin, D, Astaa,s, Alviya,I. (2017). Dampak Implementasi
Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu Terhadap Keberlanjutan Industri Kayu
Dan Hutan Rakyat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.
14 No.1, 2017: 19-37.
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). (2016). World
Manufacturing Production Statistics for Quarter II, 2016. Diunduh dari
https://www.unido.org/fileadmin/user_media/Publications/Research_
and_statistics/Branch_publications/Research_and_Policy/Files/Reports/
World_Manufacturing_Production_Reports/World_manufacturing_
production_2016_Q2.pdf pada 07 Juli 2017
UNIDO. (2015). Global Value Chains and Development UNIDO’s Support
towards Inclusive and Sustainable Industrial Development. Diunduh dari
https://www.unido.org/fileadmin/user_media/Research_and_Statistics/
GVC_ REPORT_FINAL.PDF. pada 07 Juli 2017
USAID-SENADA. (2007). Tinjauan Rantai Nilai Industri (RNI) Mebel:
Mekanisme Operasi dan Antarhubungan Perusahaan dalam RNI Mebel.
USAID - SENADA.
World Bank. (2017). Lending Interest Rate. Diunduh tanggal 6 Juni 2017 dari
http://data.worldbank.org/indicator/ FR.INR.LEND.

35
Fitri Tri Budiarti

Foto: Piter (2010).

36
Konsumsi Furnitur

BAB III
KONSUMSI FURNITUR
Fitri Tri Budiarti

3.1 Pendahuluan
Sebagai salah satu kebutuhan bagi setiap rumah tangga, furnitur
menjadikan interior rumah menjadi lebih hidup dan hangat. Industri furnitur
juga sangat penting bagi perekonomian negara karena mampu menyerap
banyak tenaga kerja. Indonesia dikenal dunia sebagai negara penghasil
furnitur dan kerajinan tangan berkualitas tinggi yang dilatarbelakangi tradisi
sejarah yang kuat dalam pengerjaan kerajinan kayu dan kerajinan lainnya
(Tambunan, 2006). Indonesia juga memiliki sumber daya rotan terbesar di
dunia dan jenis kayu lainnya yang digunakan sebagai bahan pembuatan
furnitur.
Melimpahnya sumber daya dan sifatnya yang padat karya membuat
industri furnitur di Indonesia dipandang sebagai industri yang mempunyai
kontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi domestik
furnitur Indonesia mencapai Rp 9 triliun pada tahun 2013. Namun, persaingan
semakin ketat seiring dengan meningkatnya impor furnitur dari Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) pasca implementasi ASEAN–China Free Trade
Agreement (ACFTA). Konsumen menengah saat ini mempunyai pilihan lebih
luas lagi dengan masuknya Informa dan ACE Hardware pada tahun 2004
serta masuknya IKEA, raksasa furnitur Swedia pada 18 September 2014.
Masuknya perusahaan-perusahaan tersebut telah menggeser preferensi
furnitur dan selera konsumen dari furnitur tradisonal ukir kayu ke produk yang
menawarkan fungsi, kenyamanan, desain minimalis yang lebih besar dan
tidak mewakili investasi jangka panjang, sehingga memungkinkan mereka
untuk memperbarui dekorasi rumah mereka secara berkala (Global Business
Guide Indonesia, 2016).
Potensi furnitur di Indonesia menjadikan komoditi ini menjadi magnet bagi
investor asing untuk bisa memperluas pasarnya di Indonesia seiring dengan
peningkatan konsumsi furnitur setiap tahunnya. Hal ini menjadi tantangan bagi
produsen domestik untuk dapat tetap mempertahankan pangsanya dan tetap
menjadi pilihan konsumen di dalam negeri, juga untuk dapat mempertahankan
atau bahkan meningkatkan pasarnya di luar negeri.
Tulisan dalam Bab III ini akan membahas mengenai konsumsi furnitur,
yang mencakup konsumsi furnitur dunia, perkembangan konsumsi furnitur
dunia, konsumsi furnitur dalam negeri, distribusi nilai tambah furnitur, dan

37
Fitri Tri Budiarti

perilaku konsumen. Secara umum, bab ini membahas komoditi furnitur di


Indonesia yang dilihat dari konsumsi komoditi tersebut dan isu-isu yang terkait.

3.2 Konsumsi Furnitur Dunia


Setelah krisis pada tahun 2008, pasar furnitur global kini kembali bergairah.
Peluang pasar semakin berkembang di berbagai wilayah dunia dengan
munculnya pasar di negara-negara berkembang yang ikut memainkan
peran penting di samping pasar tradisional1 yang telah ada. Tabel 3.1
memperlihatkan konsumsi furnitur dunia tumbuh dari USD 251,1 miliar pada
tahun 2003 menjadi USD 312,2 miliar pada tahun 2007. Sempat menurun
saat masa krisis berlangsung. Pada tahun 2010 konsumsi furnitur kembali
meningkat dan mencapai USD 385,6 miliar pada tahun 2012. Konsumsi ini
tumbuh 4% pada tahun 2014 dan 3,4% pada tahun 2015.Konsumsi furnitur
dunia mencapai USD 455 miliar pada 2014, dengan peningkatan sekitar
USD17 miliar di tahun 2013. Pada tahun 2015 konsumsi furnitur tumbuh di
kisaran 2,8% (furnitureandfurnishing.com, 2015).

Tabel 3.1 Konsumsi Furnitur Dunia2, 2003–2012


2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Miliar USD 251.1 258.9 281.1 302.2 312.2 308.9 290.0 327.8 348.9 385.6
Pertumbuhan 3.10% 8.50% 7.60% 3.40% -1.00% -6.20% 13.20% 6.30% 10.40%

Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014), diolah

Tabel 3.2 memperlihatkan pertumbuhan konsumsi furnitur dunia, dimana


peningkatan disposable income dan terbukanya akses pasar di negara-negara
berkembang untuk produk furnitur dunia menyebabkan peran negara-negara
berpenghasilan menengah dan rendah terus meningkat seiring dengan
meningkatnya konsumsi untuk produk furnitur sebesar 47% pada tahun 2012
(dari 18% pada tahun 2003).
Tabel 3.2 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur Dunia, 2003–2012
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Negara Berpendapatan Tinggi 82% 80% 78% 75% 72% 68% 61% 59% 56% 53%

Negara Berpendapatan Rendah/Menengah 18% 20% 22% 25% 28% 32% 39% 41% 44% 47%

Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014), diolah

Konsumsi per kapita furnitur pada negara-negara berpendapatan rendah/


menengah berada di kisaran USD 44 per tahun, sedangkan untuk negara-

1
Menurut Sabaruddin (2015) dalam tulisan Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia Mendesain Clustering Tujuan Pasar
Ekspor Indonesia: Pasar Tradisional vs Pasar Non-Tradisional, pasar tradisional merupakan negara mitra dagang Indonesia
yang dinilai telah memiliki hubungan kerjasama ekonomi yang kuat dan menjadi tujuan pasar ekspor Indonesia sejak lama
seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan negara-negara kawasan Eropa Barat .
2
Konsumsi dalam hal ini merupakan apparentconsumption,dimana nilainya dihitung berdasarkan produksi dikurangi ekspor
dan ditambah impor. Nilai konsumsi dinyatakan dengan harga produksi, tidak termasuk ritel mark-up.

38
Konsumsi Furnitur

negara berpendapatan tinggi konsumsi per kapita furnitur berada pada kisaran
USD 193. Di seluruh dunia konsumsi per kapita furnitur memiliki rata-rata
USD 73,7 per tahun. Kesenjangan antara kedua kelompok masih lebar, akan
tetapi menyusut dari tahun ke tahun (Center for European Policy Studies,
2014). Proyeksi konsumsi furnitur pada 70 negara3 (yang dikelompokkan
berdasarkan kawasan) adalah sebagai berikut:

Amerika Selatan

UE (28)+Norwegia, Swis dan Islandia

Eropa Timur-Tengah di luar UE+Rusia

Timur Tengah dan Afrika

Amerika Utara

Asia dan Pasifik

Dunia (70 Negara)

Gambar 3.1 Pertumbuhan Konsumsi Furnitur berdasarkan Kawasan.


Sumber: www.furnitureandfurnishing.com (2017)

Konsumsi furnitur dunia diproyeksikan tumbuh mencapai 2,7% pada 2017.


Pertumbuhan terbesar akan dialami kawasan Asia dan Pasifik, walaupun
konsumsi di RRT mengalami perlambatan. Pertumbuhan konsumsi di
Amerika Utara akan lebih menjanjikan dibandingkan dengan kawasan Eropa,
sedangkan Amerika Selatan mengalami perlambatan. Pertumbuhan terbesar
di kawasan Asia Pasifik terus meningkat, dimana pada tahun 2010 tumbuh
sebesar USD 118 miliar dan berkembang menjadi USD 117 miliar pada tahun
2016 (International Furniture Fair Singapore, 2017).

Foto: Olimpic.com (2009)

3
Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Republik Ceko,
Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Romania, Slovakia, Slovenia plus Norwegia, Swis dan Islandia (30
negara).
Eropa Timur dan Tengah di luar Uni Eropa& Rusia: Bosnia Herzegovina, Rusia, Serbia, Turki, dan Ukraina (5 negara). Asia
dan Pasifik: RRT, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Kazakhstan, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan,
Thailand, Vietnam, Australia, Selandia Baru (15 negara).
Timur Tengah dan Afrika: Algeria, Bahrain, Mesir, Israel, Libanon, Kuwait, Moroko, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, dan Afrika Selatan (12 negara).
Amerika Utara: Kanada, Meksiko, Amerika Serikat (3 negara).
Amerika Selatan: Argentina, Brasil, Chile, Kolombia, Venezuela (5 negara)

39
Fitri Tri Budiarti

Gambar 3.2 Proyeksi Konsumsi Furnitur, 2017.


Sumber: International Furniture Fair Singapore (2017)

Gambar 3.3 menggambarkan tren konsumsi per kapita furnitur selama satu
dekade terakhir. Gambar tersebut memperlihatkan pesatnya pertumbuhan
konsumsi per kapita furnitur pada negara-negara berpenghasilan menengah/
rendah bila dibandingkan negara-negara berpenghasilan tinggi dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir, sebagai dampak dari peningkatan disposable income
dan terbukanya akses pasar di negara-negara berkembang untuk produk
furnitur dunia. Hal ini menunjukkan bahwa negara berkembang merupakan
pasar potensial bagi industri furnitur seiring dengan meningkatnya pendapatan
di negara-negara berkembang dan kebutuhan akan furnitur baik di segmen
residensial, maupun di segmen bisnis seperti hotel, perkantoran, restoran,
dan sebagainya.

Gambar 3.3 Konsumsi Per Kapita pada Negara Berpendapatan Tinggi


dan Negara Berpendapatan Rendah/Menengah.
Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014)

40
Konsumsi Furnitur

3.3 Perkembangan Konsumsi Furnitur Dunia


Pasar furnitur dunia berkembang dengan terbukanya banyak pasar baru
di berbagai belahan dunia. Berkembangnya pasar furnitur didorong oleh
berbagai faktor, seperti: penurunan tarif, ekspansi dari rantai distributor besar
di level internasional, perkembangan pasar negara berkembang, kemitraan
antara distributor besar dan supplier asing, perbaikan dalam infrastruktur dan
logistik (khususnya di negara berkembang), penurunan konsumsi per kapita
furnitur (di negara maju), dan peningkatan permintaan pada produk furnitur
dengan harga murah (umumnya diproduksi di Asia) (Center for European
Policy Studies, 2014).
Industri furnitur Indonesia mengalami berbagai kendala yang berimbas
pada penurunan daya saing. Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi &
Hubungan Antar Lembaga Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia
(HIMKI), Abdul Sobur mengungkapkan bahwa ada beberapa regulasi yang
menghambat berkembangnya industri furnitur di Indonesia, antara lain masih
tingginya suku bunga kredit bagi industri (kisaran 11,5%) bila dibandingkan
dengan negara-negara produsen furnitur lainnya di dunia seperti RRT dan
Vietnam; pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di hilir yang
menyebabkan tambahan ongkos produksi secara total sekitar USD 40 juta;
infrastruktur yang belum memadai; kendala dalam logistik; dan biaya energi
yang masih tinggi.
Indonesia dapat belajar dari RRT dalam pengembangan industri
furniturnya4. RRT mendapatkan dukungan pemerintah dengan penerapan
clustering dalam memasarkan furnitur. Cluster tersebut berupa kawasan
khusus yang menampilkan produk-produk furnitur dari berbagai jenis bahan,
model, dan kegunaan. Dalam kawasan khusus ini juga terdapat komponen
pendukung industri furnitur, seperti bahan baku, aksesoris, logistik, dan ruang
pameran. Hal tersebut akan meningkatkan efisiensi industri furnitur dalam hal
ketersediaan bahan baku, pengerjaan, distribusi, dan pemasaran.
Kawasan khusus furnitur ini akan memudahkan konsumen dalam memilih
dan membeli furnitur yang mereka inginkan. Konsumen akan diberikan
banyak pilihan jenis dan model furnitur dengan harga yang bersaing. Bagi
konsumen luar negeri, kawasan khusus ini akan memberikan efisiensi dalam
bertransaksi, karena mereka tidak perlu mengunjungi berbagai daerah di
Indonesia untuk membeli jenis furnitur yang berbeda.
Peran Indonesia saat ini di industri furnitur global masih relatif sedikit
mengingat produksi furnitur Indonesia kurang dari 1% dari porsi pasar global

4 Disampaikan oleh Au Bintoro (Presiden Direktur PT. Cahaya Sakti Multi Intraco) selaku produsen Olympic Furnitur dalam
FGD FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan Pengemban-
gan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

41
Fitri Tri Budiarti

industri furnitur yang mencapai USD 440 miliar (tahun 2013), dibandingkan
dengan Brazil, Vietnam dan Polandia yang masing-masing mencapai 2%-nya,
apalagi RRT yang mampu menyumbang 31% produksi mebel dunia di tahun
2011. Namun demikian, industri furnitur di Indonesia mengalami kemajuan
yang signifikan beberapa tahun

Gambar 3.4 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia.


Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014)

Gambar 3.4 menunjukkan bahwa penetrasi impor furnitur yang merupakan


rasio impor dengan konsumsi furnitur dunia berada di level tertingginya pada
tahun 2007 yaitu di level 29,5%. Pada tahun 2008, penetrasi impor furnitur
mengalami penurunan dan drastis menurun pada tahun 2009 sebagai akibat
adanya krisis ekonomi global. Untuk selanjutnya penetrasi impor furnitur
mengalami fluktuasi sampai tahun 2012.
Tabel 3.3 Rasio Impor/Konsumsi Furnitur Dunia Berdasarkan Letak
Geografis
Kawasan Rasio Impor/
Konsumsi (%)
Asia Pasifik 8%
Amerika Utara 40%
Uni Eropa (EU 28) 47%
Norwegia, Swiss, dan Islandia 76%
Eropa lainnya diluar EU (termasuk Rusia) 33%
Amerika Selatan 10%
Timur Tengah dan Afrika 49%
Sumber: Center for European Policy Studies (EPS) (2014), diolah

Tabel 3.3 menunjukkan rasio impor/konsumsi berdasarkan letak geografi


yang mengindikasikan tingkat keterbukaan pasar furnitur di suatu negara. Dapat
dilihat dari Tabel 3.3 bahwa penetrasi impor di negara maju, seperti kawasan
Amerika Utara dan Uni Eropa memiliki tingkat penetrasi impor berkisar 40%,
begitu pula dengan kawasan Timur Tengah dan Afrika. Bahkan, Norwegia, Swiss
dan Islandia memiliki tingkat penetrasi impor sebesar 76%. Kawasan Eropa di
luar EU memiliki tingkat penetrasi impor yang lebih rendah sebesar 33%. Tingkat
penetrasi impor di negara berkembang lebih rendah, yaitu sebesar 8% untuk
kawasan Asia Pasifik dan 10% untuk kawasan Amerika Selatan.

42
Konsumsi Furnitur

3.4 Konsumsi Furnitur Dalam Negeri


Permintaan furnitur Indonesia saat ini bisa dipenuhi oleh produksi furnitur
domestik sebesar 55%, sedangkan sisanya dikuasai oleh produk impor. Wakil
Ketua Umum Bidang Organisasi & Hubungan Antar Lembaga Himpunan
Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur mengatakan
omzet pasar furnitur dan kerajinan di dalam negeri setidaknya Rp 10 triliun
per tahun. Dengan 45% pasar dikuasai produk impor, maka nilai impor setara
dengan Rp 4,5 triliun–Rp 5 triliun. Ketika pangsa pasar asing naik menjadi
55% pada tahun ini maka nilai impor menjadi Rp 5,5 triliun – Rp 6 triliun
(Industri Bisnis, 2015).
Gambar 3.3 menunjukkan pengeluaran konsumen di Indonesia untuk
belanja furnitur selama periode 2011-2016. Pada grafik tersebut dapat
dilihat bahwa konsumsi furnitur mengalami lonjakan pesat pada tahun
2016 setelah lima tahun sebelumnya mengalami fluktuasi dan cenderung
mengalami penurunan. Furnitur merupakan produk yang wajib dimiliki di
setiap rumah. Seiring dengan semakin bervariasinya furnitur yang tersedia
di pasar, semakin menarik keinginan konsumen, terutama kelas menengah
ke atas untuk membeli dan memperbarui furnitur mereka. Membeli furnitur
baru merupakan opsi yang dinilai lebih murah jika dibandingkan memperbarui
furnitur lama mereka. Walaupun begitu, pertumbuhan konsumsi furnitur masih
sangat bergantung oleh tumbuhnya sektor properti dan daya beli konsumen.
Dua faktor ini yang mendorong tumbuhnya konsumsi furnitur setelah tahun
2015, ketika pasar properti mulai bangkit kembali. Implementasi ASEAN
Economic Community (AEC) juga memberikan peluang bagi investor furnitur
asing seperti IKEA untuk masuk dan bersaing di pasar furnitur Indonesia.
Hal ini mencatatkan pertumbuhan penjualan ritel furnitur sebesar 7% pada
tahun 2015 (Euromonitor, 2016). Masuknya perusahaan asing menyebabkan
persaingan di pasar furnitur Indonesia semakin ketat.

540.000,00
528.176,10
530.000,00
520.000,00
508.925,50 509.068,20
510.000,00
498.626,30
500.000,00
490.000,00 486.537,60 484.843,40
480.000,00
470.000,00
460.000,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 3.5 Belanja Furnitur Konsumen Indonesia (USD Ribu).


Sumber: Euromonitor Internasional (2017), diolah

43
Fitri Tri Budiarti

Perusahaan lokal furnitur di Indonesia masih memegang pangsa furnitur


yang cukup besar, seperti PT. Cahaya Sakti Multi Intraco sebagai produsen
furnitur Olympic yang mempunyai pangsa pasar domestik 5%. Merek lain
yang berasal dari luar negeri masih terpaut jauh dari merek di atas. Data
penjualan untuk IKEA belum bisa didapatkan karena IKEA baru masuk ke
Indonesia pada akhir 2014. Walaupun begitu, merek asing seperti IKEA, Zara
Home, dan JYSK mampu menyedot perhatian konsumen menengah ke atas
sehingga kehadirannya dapat mengancam produsen lokal. Hal ini ditunjukkan
dengan meningkatnya penjualan IKEA dalam kurun 2014-2015, tumbuhnya
penjualan Zara Home walau di skala yang lebih kecil dan semakin mampunya
JYSK mengadopsi kebutuhan lokal dengan melakukan adaptasi desain
furniturnya (Euromonitor Internasional, 2017).
Konsumsi furnitur di pasar lokal dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
bisnis ke bisnis, bisnis ke konsumen, dan bisnis ke pemerintah. Secara
rata-rata, bisnis ke bisnis mengambil 55% dari struktur segmen, diikuti oleh
bisnis ke konsumen sebesar 42% dan bisnis ke pemerintah sebesar 1,2%
(Ziraga dan Wandeburi, 2015). Bisnis ke bisnis di pasar Indonesia merupakan
permintaan furnitur untuk industri pariwisata dan restoran. Segmen konsumsi
furnitur dibagi menjadi dua, yaitu residensial dan bisnis. Residensial merujuk
kepada rumah tangga (konsumen), sedangkan bisnis antara lain terdiri dari
hotel, restoran, perkantoran, dan sebagainya.
Permintaan bisnis ke bisnis mengambil jumlah yang besar dari segi
kuantitas, namun dengan harga lebih rendah daripada bisnis ke konsumen.
Di sisi lain, permintaan bisnis ke konsumen relatif rendah dalam hal kuantitas,
akan tetapi harganya 200%-450% lebih tinggi dibandingkan dengan bisnis
ke bisnis. Kerumitan produk sebagian besar dihasilkan dari permintaan
segmen bisnis ke bisnis dibanding segmen bisnis ke konsumen. Dalam
segmen bisnis ke bisnis sebagian besar klien meminta untuk modifikasi
pada produk, apakah desain, warna, atau rincian produk. Pada segmen
bisnis ke konsumen, pelanggan lokal cenderung mencari furnitur yang paling
murah tetapi dengan kualitas yang wajar. Biaya yang lebih rendah adalah
kebutuhan umum pelanggan. Pasar Indonesia masih sangat rendah dalam
hal internasionalisasi, yaitu membuat produk furnitur yang sesuai dengan
kebutuhan di pasar internasional. Desain lebih banyak ditentukan oleh
pemesan luar negeri, sehingga pengusaha kurang mampu mengembangkan
inovasi dan kreativitasnya.Di banyak industri termasuk furnitur, bisnis mengikuti
tren internasional untuk memprediksi kepentingan permintaan pasar.

44
Konsumsi Furnitur

3.5 Distribusi Nilai Tambah Furnitur


Konsumen dapat menikmati produk furnitur setelah melalui perjalanan
panjang dari rantai yang memroses bahan baku menjadi sebuah produk
dengan nilai tambah yang diinginkan. Rantai ini melibatkan beberapa
sektor yang terbagi dalam beberapa tahapan. Masing-masing tahapan
melibatkan beberapa sumber daya dan proses yang mengubah bahan baku
furnitur menjadi produk yang sesuai dengan preferensi konsumen. Logistik
mempunyai peran yang sangat penting dalam rantai nilai ini, meliputi segala
aspek perpindahan dan penyimpanan material dan produk, dari awal proses
produksi sampai ke akhir dari proses produksi.

Gambar 3.6 Peran Logistik dalam Rantai Nilai Furnitur.


Sumber: European Comission Joint Research Center (2013)

Setelah menyelesaikan produksi, pabrik furnitur harus mendistribusikan


barang ke pembeli. Untuk pasar dalam negeri, furnitur diangkut oleh truk ke
gudang pengecer besar (Carrefour, Giant) atau ke gudang pedagang grosir
untuk dibongkar dan disimpan sementara oleh pedagang. Jumlah furnitur
yang lebih kecil diantar dari pedagang grosir dan gudang pengecer besar ke
toko pengecer menggunakan armada truk sendiri. Setelah sampai di tempat
pengecer, barang dibongkar dan dipajang untuk dijual kepada konsumen
akhir. Untuk proses ekspor tahapannya dimulai setelah seorang wakil dari
perusahaan pembeli (contoh: Pier One, IKEA) memeriksa contoh barang
yang akan dikapalkan. Jika dapat diterima, pabrikan furnitur menghubungi
perusahaan logistik (contoh: PT. Maersk, PT. Forin Antarbuana Flyindo,
PT. Schenker Petrolohampag Utama) untuk mengatur jadwal dan semua
dokumentasi yang diperlukan bagi pengapalan.

45
Fitri Tri Budiarti

Berdasarkan kesepakatan, peti kemas kosong dari perusahaan logistik


dibawa ke gudang yang dimiliki pabrik dan diisi dengan furnitur. Setelah
penuh, truk menuju ke pelabuhan, kemudian peti kemas dimasukkan ke
kapal. Ini merupakan titik di mana pembeli bertanggungjawab dalam proses
pengapalan, disebut juga free on board (FOB). Pengiriman barang lewat laut
memakan waktu sekitar 4-5 minggu untuk sampai di pelabuhan penerima
(misalnya: Eropa, Amerika Serikat) dan dibongkar di dermaga. Setelah selesai
urusan kepabeanan, barang dimuat ke truk dan diantar ke gudang pembeli
untuk pengantaran akhir ke toko-toko pengecernya. Biaya pengantaran di
negara tujuan akhir beragam bergantung pada apakah perusahaan pengantar
barang atau pembeli yang menanggungnya (USAID-SENADA, 2007).

Gambar 3.7 Garis Besar Rantai Nilai Furnitur.


Sumber: USAID-SENADA (2007)

Produk furnitur untuk kebutuhan ekspor dan domestik mempunyai


perbedaan dari segi kualitas dan harga. Hal ini disebabkan karena
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh produsen agar dapat

46
Konsumsi Furnitur

mengekspor produknya ke luar negeri. Sebagai contoh, untuk ekspor ke Uni


Eropa, furnitur khususnya yang terbuat dari kayu harus dapat memenuhi
berbagai persyaratan, yaitu (Kementerian Perdagangan, 2014):
1. Persyaratan wajib, yang meliputi berbagai persyaratan, seperti EU
Timber Regulation, mengontrol keabsahan asal kayu yang diekspor ke
Uni Eropa;
2. Persyaratan Umum, yaitu menajemen keberlangsungan hutan lestari,
3. Persyaratan khusus.
Secara khusus untuk produk Olympic, menurut Au Bintoro selaku Presiden
Direktur PT. Cahaya Sakti Multi Intraco selaku produsen Olympic, furnitur
kualitas dan desain furnitur yang ditujukan untuk pasar ekspor lebih baik
dibandingkan kualitas dan desain furnitur untuk pasar domestik5. Perbedaan
kualitas dan desain tersebut berpengaruh terhadap harga jual produk. Berbeda
halnya dengan IKEA, dimana produk untuk pasar domestik dan luar negeri
mempunyai kualitas dan desain yang sama. Tony Mampuk selaku Head of
Government Relation IKEA Indonesia6 menyampaikan perbedaan harga di
tiap negara lebih kepada besaran pajak yang dikenakan. Sebagai contoh,
produk IKEA di Indonesia mempunyai harga yang lebih tinggi dari produk IKEA
yang sama di negara lain. Hal ini disebabkan komponen bea masuk yang
ditetapkan di Indonesia lebih tinggi. Produk IKEA yang diimpor dari pabrik
IKEA (Tiongkok, Swedia, Polandia) dikenakan pajak impor berkisar 10–25%,
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 40%, Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) 10%, dan Pajak Penghasilan (PPh) 7,5%. Tahun 2015 PPnBM
dihapuskan, akan tetapi pajak impornya naik. Hambatan non tarif juga
berpengaruh terhadap penentuan harga, seperti Preshipment Verification
Inspection yang mengharuskan IKEA mengeluarkan biaya tambahan untuk
melalui proses tersebut.
Proses pengerjaan bahan baku menjadi furnitur yang siap untuk dipasarkan
tidak terlepas dari pihak yang terlibat dalam rantai nilai furnitur dimana pada
setiap tahapan dilakukan proses tertentu yang dapat memberikan nilai tambah.
Permasalahan yang ada saat ini adalah distribusi dari nilai tambah yang
tercipta terdistribusi tidak seimbang antar pelaku yang terlibat (Kementerian
Kehutanan, 2010).

5
Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.
6
Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

47
Fitri Tri Budiarti

Tabel 3.4 Distribusi Nilai Tambah dalam setiap Tahapan Rantai Nilai

Sumber: Policy Brief, Kementerian Kehutanan (2010)

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa nilai tambah kayu semakin tinggi di hilir
rantai distribusi. Petani mendapatkan nilai tambah paling sedikit, yaitu sebesar
6,5%, sedangkan nilai tambah terbesar dinikmati industri mebel besar dengan
persentase 58,2%. Adapun industri mebel kecil dan menengah memperoleh
nilai tambah yang juga tidak besar, sehingga dikuatirkan dapat mempengaruhi
kelangsungan industri tersebut dikarenakan insentif yang diterima tergolong kecil.
Rendahnya nilai tambah yang diterima oleh petani antara lain disebabkan
tidak adanya keseimbangan informasi mengenai pasar kayu, penjualan
dalam bentuk pohon berdiri membuat harga pohon lebih rendah dan petani
yang bersifat subsisten. Para pembuat mebel setengah jadi umumnya
menghasilkan produk berdasarkan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli,
yaitu industri mebel besar atau pengecer, dimana seringkali harga jualnyapun
lebih dikendalikan oleh pembeli tersebut. Hal ini disebabkan terjadinya
informasi yang asimetris mengenai informasi pasar sehingga para aktor yang
mendapatkan lebih banyak informasi cenderung mendapatkan lebih banyak
keuntungan (Kementerian Kehutanan, 2010).

3.6 Perilaku Konsumen


Furnitur Indonesia memiliki ciri khas dalam hal penggunaan bahan baku,
ragam, corak, dan ukir. Corak dan ukir yang unik didapat dari keahlian pengrajin
dalam mengukir furnitur sesuai dengan budaya daerah asalnya. Desain
adalah ujung tombak industri furnitur Indonesia karena industri ini merupakan
industri kreatif. Salah satu keunggulan furnitur Indonesia disamping bahan
baku yang berkualitas adalah desain yang unik yang tidak dimiliki furnitur
dari negara lain. Keunggulan ini belum ditunjang dengan efisiensi dalam

48
Konsumsi Furnitur

produksi dan pembaruan teknologi dalam produksi, menyebabkan harga yang


ditawarkan menjadi tinggi7. Produksi furnitur dengan kualitas atas sebagian
besar diperuntukan untuk ekspor, sedangkan furnitur domestik didominasi
oleh furnitur rakitan atau furnitur dengan kualitas di bawahnya. Konsumen
domestik dari kalangan menengah ke bawah cenderung mencari furnitur
dengan fungsi yang mereka inginkan tanpa banyak mempertimbangkan
kualitas bahan baku furnitur tersebut, sedangkan kalangan menengah ke atas
lebih menyukai furnitur produksi luar negeri karena faktor gengsi.
Segmen konsumen menengah ke bawah didominasi dengan konsumsi
furnitur rakitan yang harganya terjangkau dengan Olympic menjadi salah satu
produsen yang menguasai pasar domestik dengan nilai penjualan mencapai
Rp 1 triliun pada tahun 20158. Produsen besar domestik lainnya adalah Vivere
dan Vinoti dengan produk furnitur dengan kualitas yang lebih baik dengan
desain yang mewah dan menyasar segmen konsumen menengah atas.
Industri furnitur Indonesia tumbuh 4% di tahun 2015 dengan omset sekitar
Rp 6 triliun, dimana 40% dikuasai produk impor. Investasi asing yang masuk
ke Indonesia di industri furnitur ini mampu membawa alternatif pilihan bagi
konsumen dalam hal ragam dan corak tanpa meninggalkan fungsi dari furnitur
tersebut. Kehadiran IKEA, Informa, Zara Home, dan JYSK menggeser
selera konsumen ke arah penggunaan furnitur yang menawarkan fungsi,
kenyamanan, desain minimalis yang lebih besar dan tidak terlalu memikirkan
mengenai daya tahan furnitur dalam waktu lama sehingga memungkinkan
mereka untuk memperbarui dekorasi rumah mereka secara teratur.
Konsumen membeli furnitur melalui internet atau datang langsung ke toko.
Konsumen umumnya masih lebih menyukai untuk melihat dan menyentuh
furnitur sebelum memutuskan untuk membelinya. Walaupun begitu, pesatnya
pertumbuhan pengguna internet di Indonesia dapat mendorong penjualan
furnitur secara daring (online) dengan semakin maraknya situs penjualan
furnitur melalui internet (e-commerce). E-commerce memungkinkan
terjadinya pergeseran perilaku konsumen untuk membeli furnitur secara
online. Peningkatan transaksi online akan mendorong semakin maraknya
perusahaan yang menjual furnitur secara online.
Pasar furnitur Indonesia saat ini berkembang mengikuti selera konsumen
yang menjadikan furnitur sebagai barang fesyen dan ke depannya menuju
arah consulting (jasa konsultasi dekorasi interior), dimana konsumen
memerlukan saran pemilihan furniturnya kepada konsultan dengan desain
yang modern dan umur furnitur yang tidak tahan lama sehingga mereka dapat
memperbarui furnitur mereka secara berkala. Oleh karena itu, produsen
7
Bernardus Arwin. Wakil Ketua Umum Bidang Promosi & Pemasaran. Pada jumpa pers HIMKI di Trade Expo Indonesia
ke-31. 13 Oktober 2016
8
Abdul Sobur. Pada jumpa pers HIMKI di Trade Expo Indonesia ke-31. 13 Oktober 2016.

49
Fitri Tri Budiarti

furnitur harus dapat menangkap peluang ini untuk dapat mengembangkan


basis konsumen mereka.

3.7 Penutup
Furnitur merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia
karena industri furnitur mampu menyerap banyak tenaga kerja. Indonesia juga
memiliki sumber daya yang melimpah dan berkualitas baik sebagai bahan
baku furnitur. Kemampuan pengrajin furnitur Indonesia dalam membuat
furnitur berkualitas tinggi membuat furnitur Indonesia banyak diminati, baik
domestik maupun internasional.
Industri furnitur menghadapi tantangan untuk dapat bertahan dengan
semakin ketatnya persaingan seiring dengan meningkatnya impor furnitur,
seperti dari RRT dan swedia dengan masuknya IKEA, Informa, Zara Home,
JYSK, dan lainnya. Furnitur impor membuat konsumen menengah saat
ini mempunyai pilihan yang lebih luas dan menggeser selera konsumen
dari furnitur tradisonal ukir kayu kepada produk yang menawarkan fungsi,
kenyamanan, desain minimalis dan tidak mewakili investasi jangka panjang,
sehingga memungkinkan mereka untuk memperbarui dekorasi rumah mereka
secara berkala.
Merek furnitur lokal masih memiliki pangsa yang cukup besar di pasar
domestik, sedangkan merek luar negeri (impor) masih jauh tertinggal. Akan
tetapi, kehadiran mereka membuka prespektif baru bagi konsumen dalam
hal memilih furnitur. Pertumbuhan penjualan furnitur impor meningkat setiap
tahunnya. Hal ini menjadi tantangan bagi produsen dalam negeri untuk
semakin meningkatkan inovasi dalam memasarkan furnitur agar dapat
mempertahankan bahkan meningkatkan pangsanya.
Berbagai tantangan lain yang dihadapi industri ini diantaranya regulasi
yang menghambat berkembangnya industri furnitur di Indonesia; infrastruktur
yang belum memadai; kendala dalam logistik; dan biaya energi yang masih
tinggi. Tidak seimbangnya distribusi nilai tambah juga menjadi tantangan
bagi industri ini dimana petani, pedagang, industri kayu kecil/menengah,
industri mebel kecil/menegah mendapatkan porsi nilai tambah relatif kecil dari
keseluruhan pelaku yang terlibat. Keuntungan terbesar didapat oleh industri
mebel besar. Hal ini dikuatirkan dapat mempengaruhi kelangsungan industri
tersebut dikarenakan insentif yang diterima para pelaku usaha tersebut
tergolong kecil.
Hadirnya produk furnitur impor membuat konsumen mempunyai lebih
banyak pilihan untuk kebutuhan furniturnya. Pesatnya perkembangan
teknologi saat ini juga mampu mengubah perilaku konsumen dalam membeli

50
Konsumsi Furnitur

furnitur dengan maraknya e-commerce yang menawarkan furnitur secara


daring. Perilaku konsumen ini harus mampu ditangkap pelaku industri furnitur
agar produk furnitur domestik dapat bertahan maupun baik di pasar domestik
dan internasional.
Perilaku konsumen Indonesia yang dinamis seiring dengan berkembangnya
properti dan tren furnitur di negara berkembang lainnya memungkinkan
permintaan furnitur semakin meningkat di tahun-tahun mendatang.
Kesempatan ini harus dapat ditangkap oleh produsen furnitur lokal sehingga
dapat terus bertahan dalam industri ini. Kecenderungan berkembangnya
jasa konsultasi dekorasi interior dapat ditangkap oleh para produsen untuk
mengembangkan basis konsumen mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Industri Besar dan Sedang. Diunduh
8 September 2016 dari https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/
id/896.
Centre for European Policy Studies. (2014). The EU Furniture Market Situation
and a Possible Furniture Products Initiative. Final Report.
Centre for Industrial Studies.Brussels.
EU Business Avenues in South East Asia. (2016). Market Opportunity in
ASEAN.Contemporary European Design.
Euromonitor Internasional. (2016). Home Furnishings in Indonesia. Diunduh
9 Mei 2017 dari http://www.portal.euromonitor.com/portal/analysis/tab.
Furniture & Furnishing Export International. World Furniture Outlook
on Global Markets. Diunduh tanggal 8 Mei 2017 dari http://www.
furnitureandfurnishing.com/html/jan17/market-outlook-world-furniture-
outlook-on-global-markets.php.
Focus Group Discussion (FGD), Kementerian Perdagangan (20 April, 2017).
Tantangan dan Kendala Industri dan Perdagangan Produk Furnitur
Indonesia.
Global Business Guide Indonesia. (2013). Indonesia’s Furniture & Homeware
Sector. Diunduh tanggal 7 September 2016 dari http://www.gbgindonesia.
com/en/manufacturing/article/2012/indonesia_s_furniture_and_
homeware_sector.php.
Industri Bisnis. (2015, 19 Januari). Omzet Pasar Furnitur & Kerajinan Dalam
Negeri Rp10 Triliun Per Tahun. Diunduh tanggal 21 September
2016 dari http://industri.bisnis.com.

51
Fitri Tri Budiarti

International Furniture Fair Singapore. (2017). World Furniture Outlook 2017:


An Abstract. Diakses Diakses tanggal 8 Mei 2017 dari http://www.
furnitureandfurnishing.com/html/jan17/market-outlook-world-furniture-
outlook-on-global-markets.php.
Kementerian Kehutanan. (2010). Policy Brief. Volume 4 No. 7. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan.
Kementerian Perdagangan. (2014). Warta Ekspor Industri Produk Kayu, Pulp,
dan Furniture Menuju Perdagangan Legal Dunia. Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional.
Kementerian Perindustrian. (2012). Laporan Kinerja Sektor Industri dan
Kinerja Kementerian Perindustrian Tahun 2012.
Kementerian Perindustrian. (2015).Program Pengembangan Industri Hasil
Hutan dan Perkebunan. Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan.
Sabaruddin, S., S. (2015). Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia
Mendesain Clustering Tujuan Pasar Ekspor Indonesia: Pasar Tradisional
Vs Pasar Non-Tradisional. Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Sana’a. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Tambunan,T. (2006). The Growth And Competitiveness Of Indonesia’s Wood
Furniture Export. Kadin Indonesia – Jetro.
Trademap. (2016). Trade statistics for international business development.
Diunduh 7 September 2016 dari http://http://www.trademap.org/Index.
aspx.
Ziraga, T.E., Wandebori, H. (2015).Strategic Assessment of Indonesian
Furniture Industry. Journal of Business and Management, Vol. 4 No. 6.
644-662.Institut Teknologi Bandung.

52
Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

BAB IV
PERDAGANGAN FURNITUR DI DALAM NEGERI
Dian Dwi Laksani

4.1 Pendahuluan
Prospek pasar furnitur dalam negeri Indonesia memiliki potensi dan peluang
yang besar, mengingat makin bertumbuhnya bisnis perhotelan, restoran,
perumahan termasuk bangunan-bangunan komersial lainnya. Selain itu,
industri pariwisata di Indonesia yang tengah berkembang memicu investasi
di sektor perhotelan juga ikut tumbuh. Jumlah penduduk yang mencapai 258
juta jiwa (Factbook, 2017) dan perekonomian Indonesia yang makin membaik
membuat sejumlah produsen furnitur dalam negeri mulai membangun pasar
dalam negeri. Sebagai contoh produsen furnitur asal Klaten, Jawa Tengah,
Otazen, mulai tahun 2016 akan fokus menggarap pasar dalam negeri.
Sebelumnya produsen ini hanya fokus ke pasar luar negeri seperti Karibia
dan Eropa. Saat ini sudah 6% dari produknya dipasarkan ke dalam negeri
(Casedemont, 2016). Produsen furnitur dalam negeri lain yaitu Melody
Furnitur, yang awalnya fokus pada pasar luar negeri dengan perbandingan
mencapai 90% berbanding 10%. Namun, selama empat tahun belakangan,
mulai fokus menggarap pasar lokal dengan perbandingan ekspor dan lokal
antara 50:50 dari total produksi (Pratikno, 2016).
Permintaan akan produk furnitur di dalam negeri tiap tahun terus
mengalami peningkatan. Dalam lima tahun terakhir pasar domestik Indonesia
besarnya berkali lipat, sama seperti kendaraan bermotor. Pertumbuhan ini
karena banyak perumahan dan properti lain yang dibangun, dan setiap yang
dibangun butuh mebel dan kerajinan. Pasar dalam negeri sangat besar,
terutama pasar untuk perusahaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ada sekitar 34 Kementerian, 500
Kabupaten dan 119 BUMN di Indonesia yang membutuhkan permebelan
untuk perkantoran mereka. Namun sayangnya, permintaan yang tinggi ini
tidak mampu diisi seluruhnya dari produk furnitur dalam negeri (Sobur, 2016).
Walaupun data peta perdagangan dalam negeri belum ada dan BPS belum
memiliki datanya, namun Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia
(HIMKI, 2016) mencatat potensi pasar dalam negeri sekitar Rp 10 triliun dalam
setahun. Pada tahun 2015, 45% atau setara dengan Rp 4,5 triliun hingga Rp
5 triliun pasar domestik diambil oleh produk dari negara lain.
Pertumbuhan produk furnitur impor bisa mencapai 10%-15% per tahun
sehingga jika terus dibiarkan pasar dalam negeri bisa diambil oleh produk
impor. Salah satu pemain di pasar lokal Indonesia, yaitu Republik Rakyat

53
Dian Dwi Laksani

Tiongkok (RRT). Impor RRT untuk produk furnitur naik sebesar 17% pada
periode 2011-2014, tetapi di tahun 2015 impor RRT turun sebesar 4%
(Trademap, 2016). Produk furnitur RRT diproduksi dengan biaya yang rendah
dan efisien, sehingga harga yang ditawarkan kepada konsumen juga relatif
murah dengan pilihan produk yang beragam, tetapi produk-produk RRT yang
masuk ke Indonesia adalah produk pasar kelas bawah yang mudah rusak
dan banyak mengandung toksin racun (Tjahyono, 2011). Selain itu, dengan
hadirnya retail peralatan rumah tangga seperti IKEA (Swedia) dan Informa
(Swiss) juga merebut pasar domestik Indonesia.
Dilihat dari segi bahan baku, perdagangan furnitur Indonesia masih
didominasi oleh bahan baku kayu (65,6%), rotan (12%), plastik (2,7%),
metal (2,45), bamboo (0,1%), panel dan lain-lain (17,15%) (Kementerian
Perindustrian, 2011). Mengenai pasar dalam negeri, tidak tersedia data
nasional yang bisa digunakan, tetapi HIMKI menaksir bahwa penjualan dalam
negeri itu berkisar 25% penjualan ekspor, bernilai seluruhnya USD 450 juta
dolar.
Furnitur dalam negeri umumnya memiliki rancang-bangun tradisional,
dan dapat dikelompokkan sebagai kamar tidur (30%), ruang tamu (30%),
dapur (20%) dan lemari barang, seperti lemari buku, lemari pajang, dan
lemari baju (20%). Semua produk ini biasanya dibuat di bengkel-bengkel
kecil dan dijual langsung ke konsumen, atau untuk pesanan besar melalui
perantara. Kemudahan dalam mencari sumber kayu dan bahan lain dalam
jumlah kecil, kecilnya biaya penanaman modal untuk permesinan (kurang
dari USD 1000 dolar pada kebanyakan kasus) dan ketersediaan buruh tidak
mahir namun dapat dilatih, semuanya menjadi penggerak utama model
produser/penjual skala kecil. Satu kecenderungan penting di pasar dalam
negeri adalah meningkatnya furnitur impor, khususnya lewat kehadiran pasar
raya (hypermarket, superstore) yang membeli langsung dari pengimpor skala
besar atau pabrikan asing (ASMINDO, 2007).
Nilai pasar furnitur dalam negeri mencapai Rp 9 triliun pada tahun
2013 (Global Business Guide Indonesia, 2015), didominasi oleh merek-
merek furnitur lokal Indonesia, tetapi penjualan produk furnitur dari RRT
meningkat setelah adanya perjanjian kerjasama ASEAN-China FTA yang
telah menciptakan persaingan harga yang ketat. Masuknya toko furnitur
asal Swedia yaitu IKEA pada tahun 2014 juga mengancam produk lokal
Indonesia, konsumen Indonesia beralih dari mebel ukir tradisional menjadi
membeli produk furnitur yang menawarkan fungsi, kenyamanan dan desain
minimalis yang dapat diperbaharui secara teratur dan selalu mengikuti tren
terbaru. Produsen furnitur lokal harus mengembangkan produk dan desain

54
Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

serta bergerak dalam rantai nilai perdagangan agar dapat bersaing dengan
produk impor.
Dalam Bab IV ini akan dibahas lebih mendalam pola pemasaran dan
distribusi industri furnitur, perkembangan industri furnitur di dalam negeri serta
strategi dan kebijakan pemerintah terkait perdagangan dalam negeri furnitur.

4.2 Pola Pemasaran dan Distribusi Industri Furnitur


Industri furnitur termasuk salah satu sektor unggulan yang memberikan
kontribusi cukup besar bagi penerimaan negara. Selain berorientasi ekspor,
industri ini sarat dengan nilai tambah sehingga nilainya cukup tinggi di
pasaran. Industri Furnitur merupakan bagian dari budaya Indonesia, terutama
di Jawa dan Bali. Industri furnitur Indonesia terdiri atas produk-produk kayu
(kayu karet, mahogani, jati, akasia), bambu dan rotan serta logam/plastik
baik untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Menurut Asmindo
(2007), kayu furnitur menyumbang tiga perempat dari total ekspor furnitur
Indonesia. Sementara itu, perusahaan besar umumnya mengkhususkan diri
pada campuran panel dan kayu keras, sedangkan produsen kecil-menengah
fokus pada furnitur kayu keras. Furnitur kayu terkonsentrasi di Jawa. Di pulau
Jawa, industri ini terkonsentrasi di Jawa Tengah, menyumbang sekitar 26,5%
produksi nasional dan sekitar 27,8% dari jumlah produksi. Klaster Jepara
memiliki posisi khusus karena memiliki pangsa terbesar dalam total nilai
produksi Jawa Tengah, termasuk jumlah pekerja dan banyaknya eksportir
(Zainuri et.al, 2012)

4.2.1 Furnitur Kayu Keras (solid-wood)


Untuk furnitur kayu keras (solid-wood) merupakan sektor dimana usaha
kecil dan menengah (UKM) memiliki peran penting. Sekitar 95% furnitur dibuat
dengan melibatkan UKM. Mata pencaharian jutaan orang di Jawa, Indonesia
bergantung pada industri furnitur dan rantainya (Ewasechko, 2005).
Karakteristik industri furnitur yang memiliki beragam tahapan penyelesaian
proses produksi, juga memiliki peran yang sangat besar dalam menyerap
tenaga kerja. Berdasarkan identifikasi pelaku, supply chain industri furnitur
tersebut terutama furnitur kayu keras, model supply chain industri furnitur
Indonesia dapat disusun seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.1.

55
Dian Dwi Laksani

Gambar 4.1 Supply Chain Industri Furnitur Kayu Keras di Indonesia.


Sumber: Widodo dkk (2010)

Industri furnitur sangat bergantung pada hasil hutan untuk memenuhi


kebutuhan bahan bakunya. Menurut Direktur Bina Usaha Hutan Alam
Kementerian Kehutanan (2013), berdasarkan utilisasi kapasitasnya,
kebutuhan industri furnitur kayu pada tahun 2013 sebesar 6,8 juta m3. Jenis
hasil hutan yang digunakan sebagai bahan baku industri furnitur adalah kayu
bulat dari berbagai sumber, yaitu hutan alam, kawasan konservasi, hutan
tanaman (Perum Perhutani), hutan tanaman industri, dan sumber lainnya.
Hasil hutan tersebut kemudian diolah di sentra-sentra industri tidak hanya
di industri furnitur tetapi juga di industri lain seperti industri kayu gergajian,
industri pulp dan kertas, industri kayu lapis dan industri yang memanfaatkan
hasil hutan. Pada tahun 2013, unit usaha industri furnitur dari kayu di Indonesia
ada sekitar 938 unit usaha dengan nilai produksi sebesar Rp 12.739 miliar
dan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 126.479 orang (Kementerian
Perindustrian, 2013).
Produk furnitur Indonesia sebagian besar diekspor dan sisanya dipasarkan
di dalam negeri. Selain dari produksi dalam negeri, konsumen juga
memperoleh produk furnitur dari impor. Ekspor produk furnitur tahun 2015
adalah sebesar USD 1.708.348 ribu. Sisanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri termasuk impor di tahun 2015 sebesar USD 361.543
ribu sebagai tambahan (Trademap, 2017).
Industri furnitur Indonesia terdiri atas produk-produk kayu (kayu karet,
furnitur, jati, akasia), furnitur dan rotan serta logam baik untuk ekspor
maupun konsumsi dalam negeri. Sementara itu, perusahaan besar umumnya
mengkhususkan diri pada campuran panel dan kayu keras, sedangkan
produsen kecil-menengah berfokus pada furnitur kayu keras. Hal itu

56
Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

disebabkan oleh tingginya biaya modal yang diperlukan untuk menghasilkan


furnitur berlapis panel. Bagi produsen kecil-menengah, biaya panel yang
dibeli sebagai bahan baku masih tinggi, sebagaimana harga pasar produk-
produk ini tercermin pada permintaan dalam negeri dan ekspor terhadap kayu
lapis, papan partikel, dan papan serat kepadatan sedang.

4.2.2 Furnitur Kayu Panel


Furnitur kayu panel atau yang biasa disebut knock-down, yaitu furnitur
praktis yang dapat dengan mudah dibongkar pasang sehingga mudah untuk
dipindah-pindah, terbuat dari serbuk partikel kayu yang dipadatkan. Kelemahan
furnitur ini yang perlu diperhatikan yaitu kurang awet, yang diterjemahkan
konsumen sebagai produk tidak tahan air, kayu cepat keropos, mudah hancur,
dan tidak tahan lama. Situasi persaingan pasar dalam negeri di bisnis furnitur
kayu panel (knock-down) sangat kompetitif dengan kehadiran lebih dari 100
merek furnitur knock-down ditambah produk impor seperti IKEA. Dari ratusan
merek furnitur tersebut, Olympic Furnitur berhasil mempertahankan pasarnya
lebih dari 50%.
Berdasarkan data Top Brand Index (2015) untuk kategori furnitur knock
down, pangsa pasar terbesar dimiliki oleh merek Olympic yang mengusung
produk berkualitas dengan harga terjangkau dengan pangsa pasar lebih dari
50%, disusul Ligna yaitu hanya 11,2% di tahun 2015. Jika dilihat tren tahun
2006-2015, merek Olympic memperoleh tren tertinggi di tahun 2011 sebesar
80,4% sementara di tahun yang sama merek Ligna yang diurutan kedua
dengan tren 5,6%. Keberhasilan Olympic memenangi persaingan bisnis
dikarenakan dapat meningkatkan kinerja merek, sehingga berhasil dikenal
luas dan tertanam dipikiran para konsumen (Gunawan, 2013).

Gambar 4.2 Top Brand Index pangsa pasar Furnitur Knock Down.
Sumber: Top Brand Index (2015)

57
Dian Dwi Laksani

Tabel 4.1 Perkembangan Top Brand Index Produk Furnitur Knock-Down,


2006–2015
Merek Pangsa Pasar
Olympic 67,0%
Ligna 11,2%
Family 6,2%
Solid 3,4%
Olympia 3,1%
Fortuna 1,5%
Active 1,3%
Fuji 1,1%
Sumber: Top Brand Index (2015)

Dari data persaingan berbagai merek tersebut, Olympic memang sebagai


market leader, sementara merek-merek berikutnya sangat ketat bersaing
memperebutkan posisi kedua dan ketiga. Dari delapan merek teratas produk
furnitur Indonesia, merek Solid dan Olympia merupakan anak perusahaan
yang sama dengan merek Olympic yaitu milik PT. CASMI. Merek ini tidak
terlalu menonjol Top Brand Index-nya, bersaing di pasar level berikutnya di
luar tiga merek yang muncul di Gambar 4.5. Portofolio merek yang banyak
dikeluarkan PT. CASMI berfungsi untuk melindungi posisi market leader, yaitu
merek Olympic.
Persaingan di pasar dalam negeri dapat dikatakan sebagai persaingan
bebas, karena pemasok dan pembelinya banyak, bahkan pemasok dari luar
negeri bebas memasuki pasar Indonesia, namun selama masyarakat memiliki
motto “Aku Cinta Produk Indonesia”, maka furnitur Indonesia bisa menjadi
tuan di negerinya sendiri.

4.2.3 Analisis Structure-Conduct-Performance Industri Furnitur Studi


Kasus di Kabupaten Jepara
Industri mebel Jepara merupakan salah satu sektor yang menjadi unggulan
perekonomian Kabupaten Jepara. Namun industri ini mengalami penurunan
disebabkan karena kurangnya ketersediaan bahan baku dan persaingan
dengan industri sejenis. Zainuri, et.al meneliti mengenai struktur pasar
industri, perilaku industri dan kinerja industri mebel Kabupaten Jepara atau
bisa disebut Structure-Conduct-Performance (SCP). Dalam penelitiannya,
struktur pasar (market structure) dapat dilihat dari beberapa komponen
yaitu jumlah dan besarnya distribusi penjual, jumlah dan besarnya distribusi
pembeli, diferensiasi produk, halangan memasuki pasar, struktur biaya,
integrasi vertikal dan konglomerasi.

58
Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

Tabel 4.2 Struktur Pasar Industri Furnitur di Kabupaten Jepara


No Komponen Hasil Struktur Pasar
(market structure)
1 Jumlah dan besarnya distribusi penjual Banyak
2 Jumlah dan besarnya distribusi pembeli Banyak
3 Diferensiasi produk Diferensiasi Pasar Persaingan Monopoli
4 Halangan memasuki pasar Ada halangan
5 Struktur biaya Ya, ada
6 Integrasi vertikal Ya, ada
7 Konglomerasi
Sumber: Zainuri, et.al (2012)

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa jumlah penjual dan pembeli banyak, produk
terdiferensiasi, terdapat halangan memasuki pasar, terdapat integrasi vertikal
dan terdapat bidang usaha lain yang dilakukan pengusaha mebel sehingga
struktur pasar disebut pasar persaingan monopolistik. Sedangkan untuk perilaku
(conduct) industri menurut penelitian Zainuri, et.al dapat dilihat dari aktivitas
(product pricing, product strategy, research & innovation dan advertising),
hasil penelitian yaitu industri furnitur skala kecil dan menengah berada pada
kriteria lemah, sebab kurang dari 50% pelaku (pengusaha) melakukan aktivitas
tersebut. Komponen terakhir dari SCP yaitu kinerja (performance) dapat dilihat
dari aspek profitabilitas, vallue added dan efisiensi. Kinerja industri skala
besar yang diukur dengan rasio profitabilitas, R/C, nilai tambah dan efisiensi
hasilnya adalah baik, tingkat daya saing industri kecil dan menengah rendah
(kurang dari 50%) sedangkan untuk yang berskala besar tinggi (lebih dari 50%).
Strategi untuk meningkatkan industri furnitur dalam penelitian ini yaitu prioritas
daya saing perlu diberikan untuk usaha kecil dan menengah terutama aspek
produksi dan distribusi. Aspek distribusi meliputi promosi penjualan, insentif
pajak dan penguatan pasar sementara aspek produksi memerlukan pinjaman
modal dengan suku bunga rendah, ketersediaan bahan baku dan peraturan
pemerintah yang mudah dan tidak rumit.

4.3 Perkembangan Industri Furnitur


Luasnya hutan Indonesia yang besar, sumber daya manusia yang banyak
dan iklim investasi yang berpotensi untuk dikembangkan tidak menjamin
industri furnitur Indonesia dapat tumbuh dengan pesat. Minimnya dukungan
regulasi, seperti sulitnya bahan baku, izin ekspor dan suku bunga pinjaman
yang tinggi membuat industri furnitur Indonesia terpuruk. Industri kecil furnitur
dan kerajinan ukir Jawa Tengah juga mengalami dampaknya. Harga bahan
baku yang terus melambung dan tenaga kerja yang semakin menyusut
menjadi salah satu permasalahan terpuruknya industri furnitur di Jawa Tengah.

59
Dian Dwi Laksani

Berdasarkan data Ketua Kelompok Perajin Ukir dan Mebel di Jepara, omset 250
pengrajin kecil turun dalam beberapa tahun terakhir. Omset berkisar sebesar
Rp 5 juta-Rp 20 juta per pekan turun dibandingkan tahun 2008 berkisar sebesar
Rp 5 juta-15 juta per hari atau mencapai Rp 100 juta per pekan. Berdasarkan
data HIMKI Jepara, pada tahun 2010 jumlah industri furnitur mencapai 5000
usaha, saat ini hanya 700-1200 unit usaha kecil, menengah ataupun besar.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ketua Umum Koperasi Industri Kerajinan
Mebel DKI Jakarta, Ade Firman. Permasalahan yang dihadapi oleh industri
furnitur di Indonesia yaitu sulitnya menembus aturan-aturan dan regulasi dari
pemerintah seperti perbankan, permodalan yang tersendat-sendat dalam
mendapatkan (Kredit Usaha Rakyat) KUR serta suku bunga pinjaman yang
tinggi. Selain itu juga dalam hal pengadaan bahan baku yang masih sulit.

4.4 Strategi Membangkitkan Industri Furnitur Indonesia


Zona dan potensi industri furnitur Indonesia tersebar di Sulawesi Barat
(Rotan), Sulawesi Tengah (rotan), Jawa Timur (rotan dan Kayu), Yogyakarta
(Kayu), Jawa Tengah (Jepara, Semarang dan Solo) yaitu panel padat dan
bambu, Jawa Barat (Kayu Padat, panel, rotan dan bambu), Jakarta (kayu
padat dan panel), Banten (kayu padat dan rotan), Kalimantan (kayu dan rotan),
Sumatera Utara (kayu dan rotan), Sumatera Selatan (kayu dan rotan) serta
Aceh (kayu dan rotan). Keterpurukan industri furnitur saat ini mengancam
potensi-potensi daerah tersebut. Strategi pemerintah dalam mengatasi hal
ini yaitu akan membawa masalah tersebut ke dalam rapat terbatas karena
banyak kebijakan lintas kementerian dan lembaga yang mempengaruhi
kinerja industri furnitur di dalam negeri (Kompas, 2017). Permasalahan suku
bunga perbankan yang tinggi, mengakibatkan industri furnitur dalam negeri
tidak kompetitif sehingga skema pembiayaan yang tepat seperti memetakan
perusahaan, negara tujuan ekspor serta besaran dan skema pembiayaan
yang dibutuhkan industri furnitur akan sangat membantu pengusaha lokal
(Direktorat Jenderal Industri Agro, 2017).
Pemerintah juga mendorong penggunaan produk mebel dan kerajinan
dalam negeri seperti di tahun 2012, ketika pemerintah mendorong perusahaan
swasta atau badan usaha milik negara menyalurkan dana tanggung jawab
sosial perusahaan berupa meja kursi berbahan rotan ke sekolah dasar di
sekitar perusahaan. Selain itu pemerintah dalam hal ini Koperasi Industri
Kerajinan Mebel DKI Jakarta telah bekerjasama dengan pemda dengan
melatih UKM agar bisa masuk pasar ke rumah-rumah minimalis, selain itu
juga dikembangkan kerajinan seperti kursi ukir dan sofa ukir (Ketua Umum
Koperasi Industri Kerajinan Mebel DKI Jakarta, 2017).

60
Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

Pengusaha lokal juga bisa mengandalkan strategi pemasaran dengan


penggunaan informasi teknologi atau dikenal dengan penjualan online.
Supplier di Indonesia lebih memungkinkan untuk mengenal lebih banyak
buyer dan buyer pun lebih bisa mengenal lebih banyak supplier.
Strategi lainnya menurut HIMKI, yaitu (1) Tersedianya bahan baku dan
bahan penolong secara kontinyu. HIMKI sudah bekerja sama dengan
Perusahaan Perdagangan Indonesia (TPI) untuk menjadi penyedia bahan
baku dan bahan penolong, aksesoris di sentra industri; (2) Fasilitas program
restrukturisasi mesin dan peralatan industri mebel dan kerajinan dalam
rangka meningkatkan efisiensi; (3) Peningkatan kemampuan Sumber Daya
Manusia (SDM) industri mebel dan kerajinan melalui pelatihan teknik produksi
dan disain di sentra-sentra industri serta sertifikasi kompetensi SDM bidang
industri, serta pembentukan Colllege Product Furniture; (4) Tersedianya design
center di sentra-sentra industri. Selama ini design center yang difasilitasi
oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan belum
optimal karena apa yang disediakan pemerintah belum tentu dibutuhkan oleh
pengusaha; (5) Perlunya standar untuk menjamin kualitas produk, bukan
hanya untuk konsumen tapi juga dari sisi produksinya; (6) Fasilitasi promosi
melalui keikutsertaan pameran baik di Luar Negeri maupun di dalam negeri;
(7) Peningkatan penggunaan produk mebel dalam negeri bagi Pemerintah
Pusat/Daerah, BUMN, Hotel dan Properti. HIMKI mengusulkan kepada BUMN
agar menggunakan produk dalam negeri, karena masih banyak BUMN yang
furniturnya impor; (8) regulasi yang kondusif, tidak terfokus hanya pada SVLK
(Yuwono, 2017).

4.5 Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri


Dilihat dari kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri,
kontribusi industri furnitur dari tahun 2012-2015 terlihat tidak begitu besar,
hanya sebesar 0,26% di tahun 2012 meningkat menjadi 0,27% di tahun
2015 (Kementerian Perindustrian, 2015). Industri lain yang mendukung
sektor industri furnitur yaitu industri kayu, barang dari kayu dan gabus dan
barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya. Kontribusi sektor tersebut
menurun dari 0,70% di tahun 2012 menjadi 0,67% di tahun 2015. Kebutuhan
bahan baku kayu bulat untuk industri pulp, furnitur kayu, dan wood working
terus meningkat. Menurut Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian
Kehutanan (2013), tegakan yang siap panen di areal HPH mencapai 14
juta m3 pada 2013 dan yang terealisasi hingga November 2013 tercatat
hanya 2,69 juta m3 atau 635.973 batang kayu log. Hasil ini tidak memenuhi
kebutuhan bahan baku industri kayu pertukangan yang diproyeksikan 13,9
juta pada 2013 dan naik menjadi 15,4 juta pada 2014.

61
Dian Dwi Laksani

Tabel 4.3 Kontribusi Sektor Industri terhadap PDB Tahun 2015


atas tahun dasar 2010
(persen)
No Lapangan Usaha 2012 2013 2014* 2015**
1 Industri Makanan dan Minuman 5,31 5,14 5,32 5,61
2 Industri Pengolahan Tembakau 0,92 0,86 0,91 0,94
3 Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 1,35 1,36 1,32 1,21
4 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 0,25 0,26 0,27 0,27
5 Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman
dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya 0,70 0,70 0,72 0,67
6 Industri Kertas dan Barang dari Kertas: Percetakan dan
Reproduksi Media Rekaman 0,86 0,78 0,80 0,76
7 Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 1,67 1,65 1,70 1,81
8 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 0,89 0,80 0,76 0,74
9 Industri Barang Galian bukan Logam 0,73 0,73 0,73 0,72
10 Industri Logam Dasar 0,75 0,78 0,78 0,78
11 Industri Barang Logam: Komputer, Barang Elektronik, Optik dan
Peralatan Listrik 1,89 1,95 1,87 1,96
12 Industri Mesin dan Perlengkapan 0,29 0,27 0,31 0,32
13 Industri Alat Angkutan 1,93 2,02 1,96 1,91
14 Industri Furnitur 0,26 0,26 0,27 0,27
15 Industri Pengolahan Lainnya: Jasa Reparasi dan Pemasangan
Mesin dan Peralatan 0,19 0,17 0,18 0,18
Industri Non Migas 17,99 17,72 17,90 18,18
Industri Pengolahan 21,45 20,98 21,01 20,84
Sumber: Kementerian Perindustrian (2015)

Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian dalam


Laporan Kinerja Kementerian Perindustrian tahun 2015, visi dari industri furnitur
yaitu mewujudkan industri furnitur yang berdaya saing kuat, berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Arah pengembangan untuk mencapai visi ini, yaitu:
1. Pengembangan industri furnitur dilakukan melalui pendekatan klaster
industri, dengan inti industri furnitur yang terkait dengan industri pendukung
(supporting industry) dan lokus pengembangannya untuk furnitur kayu di
pulau Jawa.
Jika dibandingkan dengan industri furnitur di RRT, pemerintah RRT sangat
mendukung melalui kebijakannya yang bersahabat dan tidak menjadi
penghambat bagi pengusaha. Walaupun RRT tidak memiliki bahan baku tetapi
tetap unggul. Salah satu kebijakannya yaitu mempunyai industri berbentuk
cluster. Setiap kota besar mempunyai cluster untuk furnitur, tas, sepatu, dan
pakaian, baik dari perdagangan maupun industrinya. Jika industrinya ada di
satu kota, yaitu Kota Sunte maka di sepanjang jalan tersebut adalah toko
dan pabrik furnitur (Bintoro, 2017). Hal ini sebenarnya sama dengan yang
sudah dilakukan pemerintah Indonesia dengan membuat cluster seperti
di Jepara dengan ukirannya, dan cirebon dengan rotannya, tetapi seiring
dengan perkembangan waktu cluster-cluster ini tidak dipelihara, aspek
pemasarannya lebih membiarkan masing-masing pengusaha mengikuti
pameran sendiri tanpa koordinasi dan dukungan pemerintah (Bintoro, 2017).

62
Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

2. Pengembangan industri furnitur ditumbuhkembangkan, baik skala


menengah maupun skala kecil (IKM) serta diusahakan bermitra dengan
penyedia bahan baku (industri Saw Mill dan Industri Panel Kayu), termasuk
dengan daerah pemasok bahan baku.
Selain itu, dalam Laporan Kinerja Kementerian Perindustrian tahun 2015,
upaya yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Industri Agro untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang ada adalah melalui program dan
kebijakan serta pelaksanaan kegiatan yang mendorong peningkatan daya
saing industri agro terutama industri furnitur, yaitu:
1. Memperkuat struktur industri dengan mendorong investasi di bidang
industri hilir agro melalui promosi investasi dan usulan pemberian insentif
untuk investasi di bidang industri agro tertentu maupun di daerah tertentu
serta disinsentif (seperti larangan ekspor bahan baku rotan).
2. Mengurangi beban biaya energi, logistik dan distribusi dengan berpartisipasi
aktif mengusulkan perbaikan infrastruktur (pelabuhan dan jalan) dan
efisiensi pelayanan (jasa pelabuhan, transportasi).
3. Meningkatkan penerapan sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) pada industri pengolahan kayu dan rotan, industri pengolahan
kertas dan industri furnitur serta pemberlakuan SNI Wajib Industri Agro.
4. Meningkatkan promosi investasi dan kerjasama industri agro melalui
Pameran dan Buyers Night di beberapa negara tujuan ekspor industri agro
yaitu Jerman, Shanghai, Hongkong dan Amerika Serikat.
5. Mendorong pemberlakuan regulasi Permendag No.64/2012 tentang hasil
hutan dan pertanian dari voluntari menjadi mandatori untuk produk kertas
agar direvisi karena dikhawatirkan menganggu kinerja industri agro secara
keseluruhan.
6. Melakukan kampanye atas negative campaign terhadap komoditi industri
agro melalui penyusunan Buku Putih dan sosialisasi di media cetak dan
media elektronik.

4.6 Penutup
Prospek pasar furnitur dalam negeri Indonesia memiliki potensi dan peluang
yang besar, mengingat makin bertumbuhnya bisnis perhotelan, restoran,
perumahan termasuk bangunan-bangunan komersial lainnya. Permintaan
produk furnitur di dalam negeri tiap tahun terus mengalami peningkatan.
Namun, permintaan yang tinggi ini tidak mampu diisi seluruhnya dari produk
furnitur dalam negeri. Salah satu pemain di pasar lokal Indonesia yaitu RRT.
Selain itu, dengan hadirnya ritel modern peralatan rumah tangga seperti IKEA
(Swedia) dan Informa (Swiss) juga merebut pasar domestik Indonesia.

63
Dian Dwi Laksani

Perkembangan industri furnitur hingga saat ini masih terkendala sejumlah


masalah seperti minimnya dukungan regulasi, seperti sulitnya bahan baku,
izin ekspor dan suku bunga pinjaman yang tinggi. Harga bahan baku yang
terus melambung dan tenaga kerja yang semakin menyusut menjadi salah
satu permasalahan terpuruknya industri furnitur di Jawa Tengah. Strategi
pemerintah dalam mengatasi hal ini yaitu akan membawa masalah tersebut ke
dalam rapat terbatas karena banyak kebijakan lintas kementerian dan lembaga
yang mempengaruhi kinerja industri furnitur di dalam negeri, selain tentunya
juga terus mendorong penggunaan produk furnitur dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO). (2007). Indonesian Furniture Directory
2007.
Casedemont, David. (2016). CEO Otazen Furnitur. Hasil wawancara pada
Trade Expo Indonesia. Jakarta
Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan dalam Syafriani,
Yunida et.al. 2015. Jurnal usu.ac.id
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2011).
Roadmap-Furnitur. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari rencana.
kemenperin.go.id/index.php/download/category/1-p?download=2% 3Ap.
Ewasechko AC. (2005). Upgrading the Central Java Wood Furniture Industry:
A Value-Chain Approach. Manila, ILO.
Factbook. (2017). Data Penduduk Indonesia. Diunduh tanggal 24 Februari
2017 dari http://www.cia.gov.
Focus Group Discussion (FGD), Kementerian Perdagangan (20 April, 2017).
Tantangan dan Kendala Industri dan Perdagangan Produk Furnitur
Indonesia.
Gunawan, Eddy. (2013). Memperkuat Merk dengan Tiga Jurus Pamungkas.
Diunduh tanggal 20 Oktober 2016 dari www.marketing.co.id.
Global Business Guide Indonesia. (2017). Indonesia’s Furniture Sector: Sitting
Comfortably. Diunduh tanggal 10 Januari 2017 dari www.gbgindonesia.
com.
HIMKI. (2016). Hasil wawancara pada Trade Expo Indonesia, Jakarta
Kementerian Kehutanan. (2013). Statistik Kehutanan Indonesia. Kementerian
Kehutanan. Jakarta
Kementerian Perindustrian. (2013). Statistik Industri. Kementerian
Perindustrian. Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari www.kemenperin.
go.id/Laporan-Kinerja-Kementerian-Perindustrian-Tahun-2015.

64
Perdagangan Furnitur di Dalam Negeri

Kementerian Perindustrian. (2015). Kontribusi Sektor Industri terhadap PDB


tahun 2015 atas tahun dasar 2010. Diunduh tanggal 3 Oktober 2017 dari
www.kemenperin.go.id/Laporan-Kinerja-Kementerian-Perindustrian-
Tahun-2015.
Kompas. (2017, 27 Maret). Industri mebel Terpuruk.
Kompas. (2017, 29 Maret). Industri mebel dibawa ke Ratas.
Pratikno, Yoseph. (2016). Manager Marketing Melody Furnitur. Hasil
wawancara pada Trade Expo Indonesia. Jakarta
Sobur, Ahmad. (2016). Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia
(HIMKI). Hasil wawancara pada Trade Expo Indonesia, Jakarta
Tjahyono, Ambar dalam Agrofarm. (2011). Diunduh tanggal 8 Desember 2016
dari http://www.agrofarm.co.id/m/imperium/168/ambar-tjahyono-kita-
berperang-melawan-china/#.WHBLAL67KfQ.
Top Brand Index. (2015). Diunduh tanggal 3 Oktober 2016 dari www.topbrand-
award.com/article/persaingan_furnitur_knock-down.html.
Trademap. (2017). Data Ekspor dan Impor Furnitur Indonesia. Diunduh
tanggal 24 Februari 2017 dari http://www.trademap.org.
Widodo, et al. (2010). Sistem Dinamis Industri Furniture Indonesia dari
Perspektif Supply Chain Management yang Berkelanjutan. Agritech Vol.
30 No. 2 Mei 2010.
Zainuri, et.al. (2012). The Performance and Prospect of Small Medium
Enterprises of Furniture Industry in Jepara Regency, Central Java,
Indonesia. International Proceedings of Economics Development and
Research (IPEDR) Vol. 46.19.2012

65
Foto: Piter (2010).

66
BAB V
PERDAGANGAN LUAR NEGERI FURNITUR
Selfi Menanti

5.1 Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara eksportir utama furnitur di
dunia karena memiliki bahan baku yang berlimpah. Produk furnitur termasuk
dalam empat komoditas ekspor utama Indonesia diluar migas bersama
dengan minyak sawit, tekstil dan karet (Purnomo,et. al.,2011). Industri furnitur
adalah industri yang mengolah bahan baku atau bahan setengah jadi dari
kayu, rotan, dan bahan baku alami lainnya menjadi produk barang jadi.
Industri furnitur tersebar hampir di seluruh propinsi, dengan sentra-sentra
yang cukup besar terletak di Jepara, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, Klaten,
Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Jabodetabek dan lain-lain (Daniel Dimas, 2013).
Indonesia Produk furnitur yang paling banyak diminati baik domestik maupun
internasional adalah furnitur berbahan baku kayu dan rotan, walaupun tidak
menutup kemungkinan permintaan ekspor furnitur dari bahan baku plastik
dan metal.
Pada tahun 2016 nilai perdagangan atau peluang ekspor furnitur dan
kerajinan dunia mencapai USD 131 miliar, namun peranan Indonesia dalam
mengisi pangsa pasar dunia baru ±1,2 %, dimana ekspor Indonesia tahun
2016 sebesar USD 1,6 miliar. Eksportir terbesar furnitur adalah Republik
Rakyat Tiongkok (RRT), diikuti Jerman, Italia, Amerika Serikat, dan Polandia
(Sobur, 2016). Penurunan peringkat Indonesia dalam ekspor furnitur ke dunia
menggambarkan bahwa dalam industri ini tidak hanya menyimpan potensi,
akan tetapi juga tengah menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan
yang berdampak pada penurunan ekspor furnitur Indonesia dalam kurun
waktu 15 tahun terakhir.
Dalam bab ini yang dibahas adalah Kinerja Ekspor Impor Furnitur
dan Produk Olahannya, Ekspor Furnitur Indonesia berdasarkan Propinsi,
Ekspor Impor Furnitur Indonesia dan ASEAN, Peta Perdagangan Furnitur
Internasional, Daya Saing Furnitur Indonesia, Kebijakan Terkait Furnitur dan
Kendala Ekspor Furnitur.

5.2 Kinerja Ekspor Impor Furnitur dan Produk Olahannya


Selama 10 tahun terakhir kinerja ekspor impor furnitur di Indonesia
mengalami pasang surut dimana pada tahun 2007 sampai dengan 2008

67
ekspor rata-rata yaitu sebesar USD 1,9 miliar, namun sempat jatuh di tahun
2009 sebesar USD 1,7 miliar atau menurun sebesar 14,07% dengan neraca
sebesar 11,83%. Hal ini disebabkan karena pada bulan september 2008
terjadi krisis keuangan global (Kompas, 2013). Pada tahun 2010 pernah
terjadi peningkatan yang cukup signifikan dengan angka USD 2,02 miliar atau
meningkat sebesar 18,13%. Hal ini juga berkontribusi positif terhadap neraca
perdagangan yaitu sebesar USD 1,69 miliar atau meningkat sebesar 13,42%
dari tahun sebelumnya. Namun pada tahun 2011 nilai ekspor furnitur menurun
kembali menjadi USD 1,8 miliar. Kondisi ini disebabkan akibat perekonomian
di Eropa dan Amerika yang merupakan pasar utama furnitur sedang tidak
bagus (Kompas, 2013).

Gambar 5.1 Kinerja Ekspor – Impor Furnitur, 2007-2016.


Sumber: Trademap (2017), diolah

Bila dilihat berdasarkan Gambar 5.2, yang paling tinggi nilai ekspornya
adalah furnitur dan bagiannya (tidak termasuk kursi dan medis, bedah,
gigi atau hewan) (HS 9403), dimana nilai ekspor pada tahun 2011 sebesar
USD 1,16 juta dan meningkat lagi sebesar USD 1,25 juta di tahun 2014.
Peningkatan ini di sebabkan oleh pemintaan dunia yang semakin meningkat.
Disusul setelahnya adalah produk Kursi (dapat atau tidak dapat dikonversi ke
tempat tidur dan bagian-bagiannya (tidak termasuk medis) (HS 9401) dengan
nilai ekspor adalah USD 518,18 ribu, produk Kasur (tidak termasuk interior
musim semi untuk kursi), dan Tempat Tidur dan perabotan yang serupa (HS
9404) sebesar USD 43,8 ribu.

68
Gambar 5.2 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk.
Sumber: Trademap (2016), diolah

Impor furnitur Indonesia dari dunia berdasarkan jenis produk jika dilihat dari
Gambar 5.3, yaitu Kursi (HS 9401) mengalami fluktuasi periode tahun 2011
sampai dengan 2015. Bila dilihat angkanya, tahun 2011 sebesar USD 167,52
juta, meningkat ditahun 2013 yaitu USD 231,42 juta tetapi terjadi penurunan
di tahun 2015. Hal ini juga terjadi pada nilai impor Furnitur dan bagiannya
(HS 9403), dimana tahun 2011 sebesar USD 115,96 juta, naik di tahun 2013
sebesar USD 146,39 juta, dan anjlok di tahun 2015 USD 134,88 juta.

Gambar 5.3 Impor Furnitur Indonesia Berdasarkan Jenis Produk.


Sumber: BPS (2016), diolah

69
Ekspor furnitur dengan bahan baku kayu mengalami peningkatan dari tahun
2011 sampai dengan tahun 2015. Berdasarkan Gambar 5.4, pada tahun 2012
nilai ekspornya USD 1,1 miliar atau 18% dan meningkat di tahun 2015 menjadi
USD 1,3 miliar atau naik 22%. Sementara untuk rotan, sejak diberlakukannya
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/11/2011, maka ekspor
rotan jenis rotan mentah, rotan asalan, rotan W/S dan rotan setengah jadi
dilarang untuk di ekspor. Hal ini dilakukan agar pesaing industri furnitur Indonesia
khususnya rotan dan bambu tidak berkembang dengan pesat (Yudi Satria, 2014).
Namun ternyata, walaupun kebijakan ini diterapkan, industri furnitur rotan tidak
terlalu berkembang karena daerah penghasil rotan dan daerah industri furnitur
rotan tidak berdekatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil ekspor rotan dan bambu
yang berfluktuasi. Pada tahun 2011 nilai ekspor rotan sebesar USD 199,81 juta,
meningkat di tahun 2013 menjadi USD 220,02 juta, namun nilai ekspor anjlok di
tahun 2015 sebesar USD 104,92 juta. Dengan demikian, walaupun harga rotan
mentah naik, namun tidak berpengaruh terhadap nilai ekspor rotan dan bambu
periode 2011-2015.
Sementara itu, nilai ekspor furnitur metal walaupun cukup besar di tahun
2011 sebesar USD 316,81 juta, namun terus menurun selama 4 tahun
menjadi USD 107,08 juta tahun 2015 atau sebesar -66,20%. Berbanding
terbalik, furnitur plastik justru meningkat dari tahun 2011 sebesar USD 24,21
juta menjadi USD 26,78 juta di tahun 2015 atau naik sebesar 10,63%. Bahan
baku ekspor furnitur Indonesia selama ini masih didominasi kayu, metal, rotan
dan bambu, plastik, dan bahan lainnya.

Gambar 5.4 Ekspor Furnitur Berdasarkan Bahan Baku


Sumber: Trademap (2016), diolah.

5.3 Ekspor Furnitur Indonesia berdasarkan Propinsi


Hampir seluruh propinsi di Indonesia memiliki bahan dasar pembuatan
furnitur, namun tidak semua daerah ini dapat melakukan pengolahan dari

70
bahan baku menjadi hasil akhir atau furnitur untuk diekspor karena dibutuhkan
keterampilan khusus dan skill serta kemampuan dan kemauan yang tinggi.
Ada daerah-daerah tertentu yang sudah dari dulu mampu menghasilkan
furnitur dengan model dan corak yang unik dan disukai oleh para importir
dan ini karena adanya budaya turun temurun dan warisan dari orang tua atau
nenek moyang.
Kabupaten Jepara adalah salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah
yang memiliki sejarah yang cukup panjang dalam industri furniturnya. Seni
Ukir Jepara sendiri telah dirintis sejak abad ke 7 (Kerajaan Kalingga) dalam
pembuatan rumah tradisional dan kapal. Industri seni ukir berkembang pesat
menjadi industri furnitur yang berciri khas seni ukir jepara pada abad ke 19.
Seiring makin meningkatnya permintaan dari dalam dan luar negeri, industri
ini menjadi sentra industri yang sangat berpengaruh bagi perkembangan
perekonomian wilayah Jepara. Di Jepara, industri kecil berkelompok dalam
suatu sentra pengrajin yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan.
Pada tahun 2004, industri furnitur mampu menyerap investasi sebesar 159
miliar dengan total produksi sebesar 787 miliar, dengan melibatkan 3,776 unit
usaha dan 408 eksportir. Dengan total tenaga kerja yang terserap sebesar
60 ribu tenaga kerja. Sepanjang tahun 2015, nilai ekspor ke Amerika Serikat
mencapai USD 26,9 juta. Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara di
benua Amerika yang masuk ke dalam 10 besar negara tujuan ekspor furnitur
Jepara. Selain itu, tujuan utama ekspor furnitur Jepara adalah lima negara
Eropa, yaitu Inggris (USD 15,3 juta), Belgia (USD 13,9 juta), Belanda (USD
13 juta), Jerman (USD 8,4 juta), dan Prancis (USD 8 juta). Empat negara lain
adalah Korsel (USD 14,6 juta), Australia (USD 11,9 juta), Taiwan (USD 7,1
juta), dan RRT (USD 6,1 juta) (Bisnis.com, 2016).

Gambar 5.5 Ekspor Furnitur Indonesia Berdasarkan Propinsi Tahun 2015.


Sumber: BPS (2016), diolah

71
Jawa Tengah adalah salah satu propinsi di Indonesia yang melakukan
ekspor dengan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan propinsi lain. Hal
ini dikarenakan propinsi ini memiliki bahan baku kayu dan juga sumber daya
manusia yang terampil. Nilai ekspor Jawa Tengah di tahun 2015 adalah USD
510,80 juta. Urutan berikutnya adalah Jawa Timur (USD 540,80 juta), DKI
Jakarta (USD 416 juta), Sumatera Utara (USD 41,20 juta), dan Kepulauan
Riau (USD 18,4 juta). Sisanya sebesar 1% atau sebesar USD 10,63 juta.

5.4 Ekspor Impor Furnitur Indonesia dan ASEAN


Association of South East Asia Nations (ASEAN) adalah satu organisasi di
Asia Tenggara yang terdiri dari negara-negara yang mempunyai kepentingan
yang sama yaitu untuk menyatukan negara-negara yang berada di Kawasan
Asia Tenggara melalui suatu bentuk kerjasama dalam bidang ekonomi
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi maupun untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dari negara tersebut. Salah satu kerjasama di bidang
ekonomi adalah ekspor-impor furnitur antar negara anggota ASEAN.
Indonesia merupakan salah satu negara anggota ASEAN yang melakukan
perdagangan ekspor impor produk furnitur.
Dalam Gambar 5.6 dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke ASEAN pada
tahun 2011 sebesar USD 77,8 juta dan mengalami peningkatan di tahun
2013 sebesar USD 80,33 juta atau sebesar 2,53% dan meningkat lagi di
tahun 2015 sebesar 87,55 juta atau sebesar 7,22%. Sementara itu, ekspor
Indonesia ke negara non ASEAN sebesar USD 1,6 miliar pada tahun 2011,
meningkat di tahun 2013 sebesar USD 1,7 miliar atau sebesar 0,1% sampai
dengan tahun 2015 dengan nilai ekspor yang sama.

Gambar 5.6 Ekspor Furnitur Indonesia ke Negara-Negara ASEAN.


Sumber: BPS (2016), diolah

72
Gambar 5.6 menunjukkan ekspor Indonesia ke negara ASEAN yang paling
tinggi adalah ke Malaysia sebesar USD 41,4 juta pada tahun 2011 dengan
pangsa pasar sebesar 53%, namun sempat turun menjadi USD 31,8 juta atau
sebesar 39% pada tahun 2014 dan mengalami kenaikan kembali sebesar
USD 39 juta di tahun 2015. Ekspor ke Singapura sebesar USD 24,1 juta
dengan pangsa pasar 31% pada tahun 2011 dan terus mengalami kenaikan
pada tahun 2015 sebesar USD 26,8 juta, diikuti Thailand sebesar USD 13,7
juta pada tahun 2015, Vietnam USD 4,4 juta, Filipina USD 2,4 juta, Brunei
Darussalam sebesar USD 430 ribu, Kamboja USD 2,5 juta dan Laos USD
8,9 ribu.

Gambar 5.7 Impor Furnitur Negara-Negara ASEAN ke Indonesia.


Sumber: BPS (2016), diolah

Impor furnitur Indonesia dari negara-negara ASEAN pada tahun 2011


seperti pada Gambar 5.7 menunjukkan bahwa Indonesia terbesar mengimpor
dari Thailand dengan nilai impor sebesar USD 29,4 Juta. Terjadi peningkatan
impor dari Thailand pada tahun 2013 sebesar USD 46,6 juta atau sebesar
0,59% dan pada tahun 2015 terjadi pengurangan impor dengan nilai sebesar
USD 37,11 juta atau setara dengan -0,2%. Urutan setelahnya adalah Malaysia
sebesar USD 11,8 juta di tahun 2011, naik di tahun 2013 menjadi USD 15,6
juta atau terjadi peningkatan sebesar 0,32%, tetapi menurun di tahun 2015
menjadi USD 11,9 juta. Impor dari Vietnam juga terus meningkat dari tahun
ke tahun, dimana pada tahun 2011 sebesar USD 928,5 ribu, meningkat
menjadi USD 1,56 juta di tahun 2013 dan pada tahun 2015 menjadi USD 3,24
juta. Impor Indonesia dari Filipina justru menurun, dimana pada tahun 2011
sebesar USD 7,5 juta, menurun ke USD 3,2 juta walaupun sempat meningkat
di tahun 2014 menjadi USD 7,5 juta, namun di tahun 2015 turun menjadi USD

73
2,8 juta. Berdasarkan data tersebut juga terlihat Indonesia tidak mengimpor
dari Kamboja dan Laos. Data juga menunjukkan impor negara-negara ASEAN
untuk Indonesia trennya semakin menurun.

5.5 Peta Perdagangan Furnitur Internasional


Data BPS pada tahun 2016 memperlihatkan bahwa nilai ekspor furnitur
Indonesia pada tahun 2015 mencapai USD 1,81 miliar dan menduduki
peringkat ke-21 produk ekspor Indonesia, lebih rendah dari tahun sebelumnya
dengan ekspor sebesar USD 1,9 miliar.
Dari sepuluh negara besar eksportir dunia (Gambar 5.8), RRT berada di
posisi pertama tahun 2015 dengan nilai ekspor sebesar 55% atau senilai USD
98,73 miliar, diikuti oleh Jerman dengan pangsa pasar sebesar 9% atau senilai
USD 16,29 miliar, Italia dan Amerika Serikat masing-masing sebesar 7% atau
senilai USD 12,81 miliar dan USD 11,55 miliar, Polandia dan Meksiko dengan
pasang pasar masing-masing sebesar 6% dengan nilai sebesar USD 10,91
miliar dan USD 9,90 miliar, Vietnam dan Kanada masing-masing sebesar 3%
dengan nilai USD 5,48 miliar dan USD 5,27 miliar, serta Republik Ceko dan
Belanda masing-masing sebesar 2% dengan nilai USD 4,26 miliar dan USD
4,30 miliar (Trademap, 2016)
Walaupun RRT tidak memiliki bahan baku kayu dan kualitas kayu yang
lebih unggul dan lebih variatif seperti Indonesia, namun negara ini mampu
mengekspor furnitur dalam jumlah yang tinggi karena pemerintah RRT
sangat mendukung ekspor furnitur. Dukungan tersebut dari aspek regulasi,
pengembangan teknologi, pengembangan dunia usaha, kualitas hasil produk
furnitur yang sangat komprehensif (Detikfinance, 2014).

Gambar 5.8 Negara Eksportir Furnitur Dunia, 2015


Sumber: Trademap (2016), diolah

74
Dari sisi impor dunia, Amerika Serikat adalah salah satu negara importir
furnitur dari dunia yang berada di urutan pertama dengan pangsa ekspor tahun
2015 sebesar 45% atau senilai USD 61,16 miliar, diikuti Jerman sebesar
14% atau senilai USD 19 miliar, Inggris sebesar 8% atau senilai USD 11,45
miliar, Perancis dan Kanada dengan nilai sebesar 7% atau setara USD 9,60
miliar dan USD 9,74 miliar, Jepang sebesar 6% atau senilai USD 7,50 miliar,
Belanda 4% atau sebesar USD 5,68 miliar, Swiss, Australia dan Spanyol
masing-masing sebesar 3% atau sebesar USD 4,07 miliar, USD 4,38 miliar
dan USD 4,07 miliar (Trademap, 2016).

Gambar 5.9 Negara Importir Furnitur Dunia, 2015.


Sumber: Trademap (2016), diolah

Berdasarkan data ekspor Indonesia, negara tujuan ekspor furnitur


indonesia yang berada di posisi pertama adalah Amerika Serikat dengan
nilai ekspor 37% atau sebesar USD 675,76 juta dari total ekspor ke dunia
sebesar USD 1,6 miliar. Produk furnitur Indonesia memang menjadi favorit
pembeli dari negara ini karena desain-desain Indonesia masih menjadi favorit
mereka, pemilihan warna produk juga cocok dengan kriteria mereka dan juga
harga yang masih kompetitif (Kemenperin, 2016d). Negara tujuan kedua
adalah Jepang sebesar 10% USD 189,966 juta, diikuti oleh Inggris sebesar
5%, Belanda, Jerman, Perancis dan Australia masing-masing sebesar 4%,
sedangkan Belgia dan Korea Selatan sebesar 3% dan RRT 2% dan 24%
merupakan nilai ekspor Indonesia untuk 197 negara lainnya.

75
Gambar 5.10 Negara Tujuan Ekspor Furnitur Indonesia, 2015.
Sumber: Trademap (2016), diolah

Data Trademap pada Tabel 5.1 menunjukkan perkembangan ekspor


furnitur pada periode 2011-2016, dimana lebih dari 73% produk furnitur
Indonesia yang di ekspor pada tahun 2016 masuk dalam kategori furnitur kayu
atau HS 9403609000. Volume ekspor untuk furnitur kayu sebesar 260.821 ton
atau sebesar 73,58% dari total ekspor Indonesia. Sementara itu furnitur kayu
yang terdiri dari HS 9403300000, HS 9403400000, HS 9403500000, dan HS
9403601000 memiliki volume ekspor sebesar 72.499 ton (20,45%). Untuk
furnitur rotan volume ekspor sebesar 6.610 ton (1,91%). Furnitur metal juga
memiliki volume ekspor yaitu sebesar 4.776 ton (1,35%) diikuti furnitur plastik
dengan volume ekspor sebesar 3.527 ton (0,99%) dan barang lainnya dari
furnitur sebesar 6.254 ton (1,77%).

Tabel 5.1 Ekspor Furnitur Indonesia, 2011-2016 (Kg)

Kode HS Produk Furnitur Volume Ekspor Furnitur Indonesia (Kg) Pangsa

2011 2012 2013 2014 2015 2016 (%)


FURNITUR 99.788.740 425.215.114 403.776.165 411.371.866 384.626.315 354.491.275

Furnitur Kayu
9403300000 Furnitur kayu dari 7.021.307 11.541.569 12.477.474 13.164.122 10.702.869 12.814.033 3,61
jenis yang di gunakan
di kantor

9403400000 Furnitur kayu dari jenis 14.036.402 20.577.435 21.792.631 21.605.421 16.083.491 15.241.130 4,30
yang di gunakan di
dapur

9403500000 Furnitur kayu dari jenis 57.679.041 62.886.261 58.721.256 52.557.614 45.756.195 44.436.959 12,54
yang di gunakan
di kamar tidur
9403601000 Perabotan kayu lainnya 0 14.181.973 2.118.324 165.359 1.862.699 7.825 0,00

9403609000 Perabotan kayu lainnya 0 283.736.363 283.276.531 299.791.715 289.761.206 260.821.911 73,58
selain kursi

76
Rotan
9403810010 Kamar tidur, ruang 6237.026 10.523.719 9.071.196 7.801.875 6.212.944 5.672.790 1,60
makan set rotan
9403810020 Set kamar tidur dan 0 1.390.025 851.890 565.940 590.439 709.695 0,20
ruang makan dari
bahan lainnya
9403810030 Furnitur plas dari jenis 624.629 83.953 58.198 112.054 17.201 19.384 0,05
yang di gunakan dalam
taman
9403810090 Perabotan lainnya 13.373.246 552.474 242.258 465.779 265.234 208.744 0,06
dari bambu atau rotan

Metal
9403100000 Furnitur logam dari jenis
yang digunakan di kantor 817.089 926.644 1.088.853 934.296 1.032.870 909.884 0,26
9403209000 Furnitur logam lainnya 0 7.747.509 6.715.076 5.510.332 3.372.871 3.866.910 1,09

Plastik
9403701000 Perabotan plastik 0 62.352 25.016 13.326 32.452 4.469 0,00
untuk alat bantu bayi
berjalan
9403702000 Furnitur plastik untuk 0 6.064 7.650 141 350 66 0,00
lemari asap

9403709000 Furnitur plastik lainnya 0 6.222.767 5.174.340 6.367.040 3.790.443 3.523.251 0,99

Barang lainnya dari Furnitur


9403901000 Furnitur bagian lainnya 0 194.394 96.086 13.020 1.889 24.231 0,01
dari alat bantu bayi
berjalan

9403909000 Bagian lain dari furnitur 0 4.581.612 2.059.386 2.303.832 5.143.162 6.229.993 1,76

Sumber: BPS (2017), diolah

5.6 Daya Saing Furnitur Indonesia


Untuk mengetahui tingkat daya saing produk furnitur indonesia di pasar
internasional, adalah dengan menggunakan perhitungan dengan metode
Revealed Comparative Advantage (RCA). Pengukuran metode ini adalah
dengan menghitung pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor
suatu negara di bandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam
perdagangan dunia.

Tabel 5.2 Produk Furnitur Indonesia yang Berdaya Saing di Dunia,


2013-2015
Produk RCA
Kode 2013 2014 2015
HS Total 1 1 1
F
urnitur kayu
940360 Furnitur kayu 3.161 3.294 3.604
940169 Kursi dengan bingkai kayu 6.595 7.756 11.062
940330 Furnitur kayu untuk kantor 0.914 0.931 0.817
940340 Furnitur kayu untuk dapur 0.699 0.642 0.635
940350 Furnitur kayu untuk kamar tidur 1.77 1.49 1.42
940161 Kursi dengan bingkai kayu, kain nes 6.596 7.765 11.062

77
Furnitur rotan
940151 Kursi dari bambu atau rotan 60.123 63.517 59.314
940159 Kursi tebu, osier, atau bahan yang serupa (berurut bambu atau rotan) 76.19 71.091 39.313

Furnitur metal, plastik dan lain-lain


940171 Kursi dengan rangka logam, di lapis, diluar HS 9402 0.161 0.198 0.194
940179 Kursi dengan rangka logam lainnya 0.998 1.149 1.308
940180 Kursi lainnya di luar HS 9402 0.184 0.258 0.495
940190 Bagian dari kursi di luar HS 9402 0.22 0.203 0.244
940310 Furnitur kantor dari logam nes 0.277 0.259 0.22
940320 Furnitur logam 0.255 0.295 0.227
940370 Furnitur plastik 1.311 1.907 1.395
940380 Furnitur berbahan lain termasuk bamboo dan lainnya 0 0 0
940389 Furnitur dari batang tumbuhan tak bercabang (bukan dari bamboo dan rotan) 2.461 2.081 0.703
940390 Bagian furnitur 0.035 0.043 0.095

Furnitur kedokteran
940210 Furnitur kedokteran, dokter gigi, cukur atau serupa kursi dan bagiannya, 0.059 0.024 0.013
940290 Furnitur kedokteran, bedah, perawatan gigi atau kedokteran hewan 0.608 0.61 0.59

Furnitur lainnya
940110 Kursi pesawat 0 0.032 0.137
940120 Kursi kendaraan bermotor 1.294 0.945 0.059
940130 Kursi putar dan dapat di atur ketinggian 0 0.008 0
940140 Kursi selain kursi taman atau peralatan kemah 0.038 0.033 0.001
940150 Kursi dari tebu, osier, bambu, atau bahan yang serupa 0 0 0

Sumber: Trademap (2016), diolah

Jika dilihat berdasarkan Tabel 5.2, produk furnitur Indonesia yang berdaya
saing atau bernilai ≥ 1 di pasar dunia pada tahun 2013 adalah furnitur dari
bahan kayu dan furnitur rotan. Furnitur dari bahan kayu meliputi furnitur kayu
(HS 9403.60), kursi dengan bingkai kayu (HS 9401.69),Kursi dengan bingkai
kayu kain (HS 9401.61) dan furnitur rotan yaitu kursi dari bambu atau rotan
(HS 9401.51), Kursi tebu osier atau bahan yang serupa (berurut bambu atau
rotan) (HS 9401.59).
Produk furnitur Indonesia yang berdaya saing di pasar global dengan nilai
indeks yang paling besar di tahun 2013 adalah furnitur rotan HS 9401.59 (Kursi
dari bambu atau rotan)d engan nilai indeks 76,19. Namun nilai indeksnya
menurun di tahun 2015 sebesar 39,313. Begitu juga dengan HS 9401.51
(Kursi dari bambu atau rotan) ditahun 2013 nilai indeks 60,123, menurun
ditahun 2015 sebesar 59.314. Sementara itu, produk furnitur kayu Indonesia
yang berdaya saing di pasar global adalah HS 9401.69 (Kursi dengan bingkai
kayu) dengan nilai indeks 6.595 pada tahun 2013 dan meningkat menjadi
sebesar 11.062 pada tahun 2015. Peningkatan yang sama juga terjadi pada
HS9401.61(Kursi dengan bingkai kayu, kain nes).

78
Tabel 5.3 Daya Saing Produk Furnitur RRT di Dunia
Produk RCA
Kode 2013 2014 2015
HS Total 1 1 1

Furnitur kayu
940360 Furnitur kayu 0.168 0.199 0.172
940169 Kursi dengan rangka kayu 0.175 0.225 0.174
940330 Furnitur kantor kayu 0.335 0.439 0.382
940340 Furnitur dapur kayu 0.276 0.293 0.268
940350 Furnitur kamar tidur kayu 0.158 0.178 0.117
940161 Kursi dengan rangka kayu 0.177 0.199 0.172

Furnitur rotan
940151 Kursi dari bambu atau rotan 0.123 0.232 0.283
940159 Kursi tebu, dll, di luar kursi bamboo-rotan 0.073 0.118 0.493
Furnitur metal, plastik dan lain-lain
940171 Kursi dengan rangka logam, di lapis, diluar HS 9402 0.166 0.188 0.207
940179 Kursi dengan rangka logam lainnya 0.172 0.338 0.268
940180 Kursi lainnya di luar HS 9402 0.625 0.711 0.641
940190 Bagian dari kursi di luar HS 9402 0.322 0.431 0.578
940310 Furnitur kantor dari logam 1.572 1.908 1.842
940320 Furnitur logam 0.537 0.694 0.594
940370 Furnitur plastik 0.881 0.966 0.849
940380 Furnitur berbahan lain termasuk bamboo dan lainnya 0 0 0
940389 Furnitur dari batang tumbuhan tak bercabang (bukan dari bamboo dan rotan) 0.192 0.153 0.21
940390 Bagian furnitur 0.323 0.434 0.407

Furnitur kedokteran
940210 Furnitur kedokteran, dokter gigi, cukur atau serupa kursi dan bagiannya, 0.482 0.579 0.388
940290 Furnitur kedokteran, bedah, perawatan gigi atau kedokteran hewan 1.363 1.645 1.374

Furnitur lainnya
940110 Kursi Pesawat 14.848 16.629 16.335
940120 Kursi kendaraan bermotor 1.5 1.676 1.208
940130 Kursi putar dan dapat di atur ketinggian 0.408 0.428 0.455
940140 Kursi selain kursi taman atau peralatan kemah 0.062 0.072 0.0985
940150 Kursi dari tebu, osier, bambu, atau bahan yang serupa 0 0 0

Sumber: Trademap (2016), diolah

Produk furnitur RRT di pasar internasional yang berdaya saing atau ≥ 1 jika
di lihat berdasarkan tabel 5.3 diatas adalah jenis produk furnitur lainnya HS
940110 (kursi pesawat), dimana terjadi peningkatan dari tahun 2013 dengan
nilai indeks 14,848, meningkat lagi menjadi 16,69 pada tahun 2014 dan
sempat menurun di tahun 2015 menjadi 16,335 namun masih tetap unggul
bila di bandingkan dengan tahun 2013.
Berdasarkan perhitungan RCA ini kita bisa melihat bahwa indonesia
memiliki daya saing yang tinggi dari produk furnitur berbahan baku kayu dan
rotan di pasar internasional. Sementara itu, nilai indeksnya rendah pada produk
furnitur berbahan baku plastik, metal, dan furnitur lainnya. Jika dibandingkan
dengan RRT, Indonesia lebih unggul karena RRT memiliki nilai indeks yang
rendah di hampir semua produk furnitur. Hanya satu yang memiliki nilai indeks
tinggi di RRT yaitu furnitur lainnya HS 940110 (seats aircraft/kursi pesawat).

79
5.7 Kebijakan Legalitas Kayu untuk Perdagangan Furnitur
Perusakan hutan masih terus berlangsung hingga kini. Selama kurun waktu
15 tahun terakhir kerusakan hutan dunia mencapai 148 juta hektar, dimana
Indonesia di posisi ke dua setelah Brazil dengan kerusakan hutan sebesar 28
juta hektar (Antara News, 2015). Hal ini membuat kayu dan hasil olahannya
tidak mau di terima oleh negara-negara di dunia, oleh karena itu pemerintah
merancang satu sistem yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) atau
Timber Legality Assurance Standard (TLAS). SVLK adalah Sistem yang di
terapkan oleh pemerintah untuk memastikan keberlanjutan hutan indonesia
melalui perdagangan produk kayu secara legal dan mencegah terjadinya
penebangan liar (illegal logging), SVLK ini di kembangkan untuk mendorong
implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan
peredaran hasil hutan di Indonesia, di mana SVLK mulai berlaku sesuai
dengan penjelasan dalam pasal 20 Peraturan Menteri Kehutanan No. 38/
menhut-II 2009 peraturan ini berlaku pada saat diundangkan 12 Juni 2009
dan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 September 2009.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan
yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber
kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Manfaat SVLK yaitu
membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar, SVLK
juga memberikan kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan
negara-negara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang di produksi oleh
Indonesia merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal,
menjadikan SVLK sebagai satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang
berlaku di Indonesia, karena selama ini di mata dunia khususnya negara-
negara Uni Eropa tidak mau menerima kayu Indonesia. Peraturan Menteri
Kehutanan tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Dirjen Bina
Produksi Kehutanan Nomor: P.6/VI-Set/ 2009 tentang Standard dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
Kayu pada Pemegang Izin atau Hak Hutan.
SVLK harus dikembangkan guna mendorong implementasi peraturan
pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang
legal di Indonesia. SVLK memberantas illegal logging dan meningkatkan
daya saing produk serta meningkatkan penerimaan produk Indonesia di pasar
luar negeri. Secara umum, Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/
PER/2/2017 berisi tentang pengelompokan produk yang wajib menggunakan
dokumen V-Legal, dimana semua kelompok jenis olahan kayu telah diwajibkan
menggunakan dokumen V-Legal. Penerbitan V-Legal merupakan hak bagi

80
semua pelaku usaha yang telah memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (SLK).
Indonesia memasuki babak baru, konsistensi pemerintah Indonesia dalam
membangun dan menerapkan sertifikasi legal untuk semua produk kayu.
Implikasi dari kebijakan ini adalah semua pelaku usaha kayu wajib memiliki
sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) merupakan
kebijakan Uni Eropa terhadap masalah pembalakan liar dan perdagangan
produk hasil hutan yang terjadi secara global. Indonesia merupakan negara
pertama yang memiliki lisensi FLEGT. Dimana setelah melalui proses selama
sembilan tahun dan akhirnya berlaku pada tahun 2016 bulan November,
dengan sertifikasi ini produk kayu Indonesia tidak perlu lagi mengikuti uji
kelayakan yang ketat yang di terapkan oleh Uni Eropa dan hal ini di perkirakan
akan meningkatkan ekspor produk kayu Indonesia ke negara-negara Uni
Eropa.
Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang
ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan mengalami perubahan
beberapa kali diantaranya Peraturan Menteri Perdagangan No. 81/M-DAG/
PER/12/2013, Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014
tentang ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, Peraturan Menteri
Perdagangan No. 66/M-DAG/PER/8/2015, Peraturan Menteri Perdagangan
No. 84/M-DAG/PER/12/2016 dan di lakukan perubahan lagi dengan Peraturan
Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/2/2017 tentang ketentuan ekspor
produk industri kehutanan. Setelah di berlakukannya Peraturan Menteri
Perdagangan ini volume ekspor produk industri kehutanan ke Uni Eropa pada
tahun 2016 mencapai USD 868.850 juta, sementara pada periode januari
hingga mei 2017, nilai lisensi FLEGT yang sudah di terbitkan mencapai USD
590.562 juta atau lebih dari separuh pencapaian ekspor tahun lalu dan hal ini
akan berpengaruh pada peningkatan ekspor furnitur.

5.8 Kendala Ekspor Furnitur


Indonesia memiliki potensi besar terkait penjualan furnitur luar negeri.
Melimpahnya bahan baku yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia menjadi
keunggulan yang tak dimiliki negara lain. Namun masih ada beberapa
hambatan yang menghambat perkembangan industri furnitur untuk tumbuh
lebih besar. Bila kita melihat dari 280 anggota Asmindo, 80% merupakan
anggota UKM dan hal ini membedakan dengan negara-negara lainnya yang
merupakan industri besar.
Hambatan yang menghambat ekspor furnitur adalah biaya logistik
yang tinggi di Indonesia karena biaya logistik yang tinggi secara otomatis

81
berpengaruh terhadap biaya trasportasi pada saat pengiriman barang ekspor
dan pengiriman biaya bahan baku dari daerah terbilang mahal, adanya
ketergantungan terhadap tingkat perekonomian dunia dan juga tingginya
biaya bunga bank bagi mereka yang mau berinvestasi di Indonesia, dimana
bunga bank dalam negeri mencapai 12% sedangkan di Malaysia hanya 5%.
Banyaknya regulasi yang dinilai menghambat ekspor furnitur juga dikeluhkan
oleh pengusaha dari berbagai daerah. Selain itu hingga saat ini belum ada
pusat penyedia perlengkapan furnitur.
Kebijakan yang menghambat lainnya antara lain persoalan perizinan. Saat
ini para pengusaha furnitur resah sebab lokasi produksi mereka tidak lagi masuk
dalam kawasan industri sehingga pengusaha kesulitan ketika ingin memenuhi
persyaratan sertifikasi kualifikasi ekspor. Salah satu syarat kualifikasi ekspor
dimulai dari izin penggunaan lahan, dan karena izin mendirikan bangunan
dalam penggunaan lahan sulit, maka pengurusan sertifikasi ekspor seperti
sertifikat verifikasi legal kayu (SVLK) juga terhambat. Akibatnya, mereka akan
mengalami hambatan dalam melakukan ekspor. Dampaknya, kinerja ekspor
mebel dan kerajinan tahun 2016 menjadi stagnan (okezone.com, 2016).

5.9 Penutup
Indonesia harusnya menjadi negara pengekspor furnitur terbesar karena
memiliki hutan yang luas dengan kekayaan ragam kayu dan rotan serta serat
alam sehingga Indonesia berpotensi menghasilkan desain yang unik. Tenaga
kerja furnitur Indonesia mulai dari yang terampil hingga tidak terampil tersedia
dan tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan tenaga kerja sejenis di
negara lain. Hal ini memungkinkan furnitur Indonesia juga bisa bersaing dalam
harga. Namun, produk furnitur Indonesia di pasar Internasional, nampaknya
belum terlalu menonjol. RRT, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat masih
menjadi pemasok utama produk furnitur di dunia selama lima tahun terakhir.
Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK) harus di kembangkan guna
mendukung peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan
peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia. Adanya lisensi Forest Law
Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement
(FLEGT-VPA) yang dikeluarkan oleh Uni Eropa di Brussels, Belgia pada 28
November 2016, mendorong agar keunggulan komparatif produk kayu asal
Indonesia bisa dimanfaatkan untuk meraih pasar yang lebih besar di Uni
Eropa.
Para pengrajin dan pengusaha juga harus melihat selera konsumen dari
segi desain dan harga. Selain itu dibutuhkan inovasi, teknologi yang canggih
serta kreativitas dan bahan yang digunakan. Industri furnitur memerlukan

82
perhatian khusus dari pemerintah, diantaranya dengan penurunan suku bunga
kredit menjadi single digit, bantuan alat-alat produksi secara merata sehingga
menopang terjadinya proses produksi yang lebih cepat dan efisien sehingga
indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lainnya. Pemerintah juga
harus membuka pasar-pasar ekspor baru tujuan ekspor furnitur sebagai pasar
alternatif yang berada di kawasan Amerika Latin, Afrika dan Eropa Timur.

DAFTAR PUSTAKA
Antaranews (2015). Kerusakan hutan Indonesia nomor dua di dunia. Di unduh
pada 19 Juni 2017 melalui http://www.antaranews.com/berita/495645/
kerusakan-hutan indonesia-nomor-dua-di-dunia
Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (2015). Road Map Industri Mebel
dan Kerajinan Indonesia. Diambil pada buku Road Map Industri Mebel
dan Kerajinan Indonesia Target pencapaian Ekspor 5 Milyar USD.
Bisnis. (2016). Hebat, Mebel Ukir Jepara Andalan Ekspor ke Amerika.
Diunduh pada 27 April 2017 melalui http://industri.bisnis.com/read/
20160223/87/521885/hebat-mebel-ukir-jepara-andalan-ekspor-ke-
amerika
Daniel Dimas (2013). Bab 1 pendahuluan 1.1 Latar Belakang Industri
Furnitur. Di unduh pada 16 September 2016 melalui http://e-journal.uayj.
ac.id/4450/2/1EP17948.pdf. http://indonesia-product.com/forum/index.
php?topic=2278.0
ETD UGM (2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia.
Di unduh pada 30 Mei 2017 melalui etd.repository.ugm.ac.id/
downloadfile/97927/.../S1-2016-318738-Chapter1.pdf
Detik finance (2014). Mengurai Penyebab Kalahnya Ekspor Produk Kayu RI
dari China. Diunduh pada 19 Juni 2017 melalui https://finance.detik.com/
industri/2522487/mengurai-penyebab-kalahnya-ekspor-produk-kayu-ri-
dari-china
Jusufkalla.info (2016). Pesaingan Industri Furnitur Semakin Ketat, harus
lebih kreatif. Diunduh pada 28 oktober 2016 melalui http:// jusufkalla.
info/archives/2016/03/11/persaingan-industri-furnitur-ketat-harus-lebih-
kreatif.
Kementerian Perdagangan (2017). Permendag No 12/M-DAG/PER/2/2017.
Di unduh pada 19 juni 2017 http://peraturan.bcperak.net/peraturan-
menteri-perdagangan-nomor-12m-dagper22017.

83
Kementerian Perindustrian (2012a).Laporan Kinerja Sektor Industri dan
Kinerja Kementerian Perindustrian. Di unduh pada 18 November melalui
https://www.google.com/search?q=Laporan+Kinerja+Sektor+Industri+d
an+Kinerja+Kementerian+Perindustrian+Tahun+2012.+Kementerian+P
erindustrian.&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b-ab.
Kementerian Perindustrian. (2015b). Industri Mebel Optimis Kuasai ASEAN.
Di unduh pada 16 mei 2017 melalui http://www.kemenperin.go.id/
artikel/9642/Industri-Mebel-Optimis-Kuasai-ASEAN
Kementerian Perindustrian. (2017c). Kondisi Industri Furnitur di Indonesia.
Hasil Pembahasan Info Komoditi Furnitur. Jakarta
Kementerian perindustrian (2016d). Ekspor Furnitur dan Kerajinan Dibidik
US$ 2,8 Miliar. Di unduh pada 15 Juni 2017 http://www.kemenperin.go.id/
artikel/14771/Ekspor-Furnitur-dan-Kerajinan-Dibidik-US$-2,8-Miliar
Kompas. (2017a). Industri Mebel Terpuruk. Di unduh pada 7 juni 2017 melalui
https://kompas.id/baca/utama/2017/03/27/industri-mebel-terpuruk/
Kompas. (2017b). Positif, Dampak Lisensi Legalitas Kayu ke Uni Eropa. Di
unduh pada 7 juni 2017 melalui https://kompas.id/baca/nusantara/.../
positif-dampak-lisensi-legalitas-kayu-ke-uni-eropa.
Kompas. (2017c). Produk kayu Indonesia Berlisensi tiba di London. Di
unduh pada 13 Februari 2017 melalui http://bisniskeuangan.kompas.
com/read/2017/01/17/180000626/produk.kayu.indonesia.berlisensi.tiba.
di.london.
Kompas. (2013d). Ekspor Furnitur 2012 Membaik. Di unduh pada 15 Juni 2017
melalui http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/03/11/13272139/
Ekspor.Furnitur.2012.Membaik
MuriaNewsCom. (2014). Ekspor Mebel Terjun ke Urutan 18. Di unduh pada
17 Mei 2017 melalui http://www.murianews.com/2014/08/23/5825/
ekspor-mebel-terjun-ke-urutan-18.html Indonesia bisnis.Potensi Bisnis
Furnitur di Indonesia (2012). Di unduh pada 28 November melalui http://
indonesia-product.com/forum/index.php?topic=2278.0
Okezone. (2016). Pertumbuhan Ekspor Mebel masih Stagnan. Di
unduh pada 15 April melalui http://economy.okezone.com/
read/2016/08/26/320/1473607/pertumbuhan-ekspor-mebel-masih-
stagnan
Republika (2015a). Ini sejumlah kendala Ekspor Furnitur Indonesia. Di unduh
pada 21 Maret 2017 melalui http://www.republika.co.id/ berita/ekonomi/
makro/15/03/17/ nlcpzr-ini-sejumlah-kendala-ekspor-furniturindonesia

84
Republika (2017b). Di Hadapan Presiden, HIMKI Keluhkan Hambatan Ekspor
Furnitur . Di unduh pada 23 Maret melalui http://www.republika.co.id/
berita/ekonomi/makro/17/03/11/omngg6415-di-hadapan-presiden-himki-
keluhkan-hambatan-ekspor-furnitur
Sindonews (2016) Dapat Lisensi FLEGT Produk Kayu Indonesia Makin di
Minati Uni Eropa. Di unduh pada 3 Maret 2017 melalui https://ekbis.
sindonews.com/read/1159254/34/dapat-lisensi-flegt-produk-kayu-
indonesia-makin-diminati-uni-eropa-1480439143
Sofiana, Yunida.(2011). Analisis Strategi Peningkatan Produksi Mebel di
Sentra Industri Kayu. Diunduh pada 23 Maret melalui http://research-
dashboard.binus.ac.id/uploads/paper/document/publication/Proceeding/
H u m a n i o r a / Vo l . % 2 0 2 % 2 0 N o . % 2 0 1 % 2 0 A p r i l % 2 0 2 0 11 / 0 1 % 2 0
-20Yunida%20Sofiana%20-%20OK.pdf
Trade Map. (2016a). Data Ekspor dan Impor data Dunia. Di unduh tanggal 7
September 2016 melalui http://www.trademap.org
Trade Map (2017b). Data Negara tujuan Ekspor Indonesia. di unduh tanggal
19 Juni 2017 melalui http://www.trademap.org
Yudi Satria (2014). Jurnal Dampak Kebijakan Larangan Ekspor Rotan Mentah
Terhadap Industri Furnitur Rotan Indonesia 2011-2012. Diunduh pada
7 Juni 2017 melalui https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/
viewFile/2439/2375

85
Niki Barenda Sari

BAB VI
PELUANG DAN TANTANGAN PRODUK FURNITUR
INDONESIA
Niki Barenda Sari

6.1 Pendahuluan
Produk furnitur Indonesia dapat dikatakan sebagai sektor andalan bagi
Indonesia, baik sebagai penghasil devisa negara maupun sebagai penyerap
tenaga kerja. Sebagai penghasil devisa negara, ekspor furnitur termasuk
dalam 20 besar dalam deretan industri penyumbang devisa negara pada
tahun 2015 (BPS, 2016). Salah satu faktor pendukungnya adalah karena
mudahnya memperoleh bahan baku. Indonesia memiliki kekayaan alam yang
berlimpah, seperti kayu dan rotan yang digunakan sebagai bahan baku utama
furnitur. Indonesia termasuk negara penghasil kayu dan rotan terbesar di
dunia. Dengan posisi tersebut, Indonesia mampu memproduksi produk kayu
dan turunannya, termasuk furnitur.
Sebagai penyerap tenaga kerja, dapat dikatakan bahwa industri furnitur
memberikan kontribusi cukup signifikan bagi penyediaan lapangan pekerjaan di
sektor industri. Dilihat dari jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan pekerjaan
utama, sektor industri secara keseluruhan menyerap 13,3% tenaga kerja
nasional atau mencapai 15,3 juta orang. Industri furnitur merupakan industri
padat karya yang berkontribusi menciptakan lapangan pekerjaan bagi 500
ribu tenaga kerja dan 2,5 juta tenaga kerja tidak langsung atau sebesar 19,6%
dari total tenaga kerja sektor industri. Selain itu, Asosiasi Mebel dan Kerajinan
Indonesia (AMKRI) mencatat setiap pertumbuhan ekspor USD 1 miliar dapat
menyerap 400.000-500.000 tenaga kerja (AMKRI, 2015). Artinya, penyerapan
tenaga kerja di sektor industri manufaktur masih terus dapat didorong dengan
menguatkan peran ekspor.
Namun demikian, posisi produk furnitur Indonesia di pasar internasional
nampaknya belum terlalu menonjol. RRT, Jerman, Italia, Polandia, dan
Amerika Serikat masih menjadi pemasok utama produk furnitur di dunia selama
lima tahun terakhir, sementara Indonesia menempati urutan ke-19, bergerak
turun dari posisi ke-17 pada tahun 2013. Tentu ke depannya, sektor furnitur
Indonesia perlu dimaksimalkan dengan mengentaskan berbagai masalah dan
hambatan yang terjadi sehingga sektor ini bisa menjadi alternatif penopang
ekspor non migas kita di tengah lesunya perkembangan ekspor produk utama
di pasar internasional. Peluang untuk meningkatkan ekspor furnitur pun masih
terbuka lebar. Kebutuhan dunia terhadap furnitur cenderung meningkat dari

86
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

tahun ke tahun, hal ini menandakan peluang pasar yang cukup besar di pasar
internasional. Selain itu, pasar domestik juga tidak kalah penting. Masuknya
berbagai produk furnitur asing di Indonesia menjadi pemicu bagi industri
furnitur dalam negeri untuk meningkatkan daya saing dan mempertahankan
pasar domestik.
Dalam bab ini selanjutnya dibahas lebih detail mengenai peluang
pengembangan furnitur dan peningkatan ekspor furnitur yang dapat
dimanfaatkan oleh para stakeholder terkait. Selain itu, juga diulas mengenai
berbagai permasalahan dan tantangan dalam pengembangan furnitur, serta
kebijakan terkait furnitur yang memiliki pengaruh, baik dalam pengembangan
furnitur maupun dalam upaya peningkatan ekspor furnitur di masa yang akan
datang.

6.2 Peluang Produk Furnitur Indonesia di Pasar Internasional Masih


Terbuka Lebar
Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) yang sejak tahun 2016
bergabung dengan Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia
(ASMINDO) menjadi Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia
(HIMKI) telah menargetkan pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan
nasional dalam lima tahun ke depan sebesar minimum USD 5 miliar, atau rata-
rata tumbuh di atas 15%-18% (AMKRI, 2015). Target USD 5 miliar tersebut
tentu sebagian besarnya dihasilkan dari ekspor furnitur proporsional dengan
kontribusinya terhadap total ekspor furnitur dan kerajinan. Target ini jauh lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan pasar furnitur global yang diprediksi oleh
analis dari Riset Pasar Technavio akan tumbuh moderat 4% hingga akhir
tahun 2020.
Target yang ditetapkan HIMKI tersebut mencerminkan optimisme industri
furnitur dan kerajinan yang perlu disambut dan didukung, khususnya oleh
pemerintah, karena sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan
ekspor non migas Indonesia. Ekspor non migas, sebagaimana tertuang
dalam RPJMN 2015-2019, ditargetkan tumbuh 11,9% pada tahun 2017 dan
14,3% pada tahun 2019, namun banyak pihak yang meragukan keberhasilan
pemerintah dalam mencapai target tersebut mengingat masih lesunya
perekonomian global yang tidak hanya terjadi di negara maju namun juga
di negara berkembang. Hingga pertengahan tahun 2016, ekspor Indonesia
masih tumbuh negatif 4,6% dibanding tahun lalu, yang bersumber dari
pertumbuhan ekspor non migas -5,2% dan ekspor migas 2,0%. Namun
demikian, industri furnitur, terutama yang berbahan kayu dan rotan, mampu
bertahan menjaga kinerja ekspornya tumbuh di angka 6,2% dalam lima tahun

87
Niki Barenda Sari

terakhir. Sementara itu, industri andalan Indonesia seperti Produk Tekstil,


Elektronik, Produk Kimia, Mesin-mesin, dan Produk Karet terlihat bergerak
melambat sebagai imbas melemahnya permintaan dunia.

Gambar 6.1 Rekapitulasi Proyeksi Pertumbuhan Industri Mebel dan


Kerajinan.
Sumber: HIMKI (2016)

Di sisi lain, negara pesaing Indonesia seperti Malaysia juga merespon


tingginya peluang eskpor furnitur dengan menetapkan Roadmap Industri
Furnitur 2016-2020 dengan tema Furnishing Malaysia with Exciting Diversity
and Unlimited Opportunities. Asosiasi Furniture Malaysia, Malaysian Furniture
Council (MFC), dalam menetapkan roadmap tersebut berupaya untuk
menangkap peluang yang ada dengan meningkatkan kualitas dan inovasi
produk melalui 5 aspek, yaitu memperbarui upaya untuk menjaga pasar
tradisional, mengkoordinasikan strategi untuk memasuki pasar emerging,
mempromosikan keanekaragaman sebagai daya saing utama, meningkatkan
pasokan bahan mentah yang berkelanjutan, mengutamakan keseimbangan
antara teknologi dan tenaga kerja, melayani usaha kecil menengah dan
masyarakat (Malaysian Furniture News, 2016).

6.2.1 Pasar Furnitur di Amerika Serikat Tetap Menjadi Andalan


Optimisme industri furnitur Indonesia didorong oleh masih tingginya
permintaan dunia terhadap produk furnitur yang bahkan terus meningkat
dengan pertumbuhan sebesar 3,9% selama tahun 2012-2015. Permintaan
dunia ini didominasi oleh permintaan dari Amerika Serikat (AS) yang pada
tahun 2015 kontribusinya mencapai sebesar 30,6% dari permintaan dunia.
Selain kontribusinya yang besar, kebutuhan Amerika Serikat terhadap furnitur
juga terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tetap tumbuh positif
sebesar 9,8% di tengah turunnya permintaan furnitur dunia pada tahun 2015

88
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

(Trademap, 2016a). Analis Technavio (2016) bahkan memproyeksikan pasar


furnitur di Amerika Serikat tumbuh 5,8% selama periode 2016-2020. Tidak
hanya berperan penting sebagai penggerak bagi permintaan impor furnitur
dunia, Amerika Serikat sendiri telah menjadi pasar ekspor yang penting bagi
furnitur Indonesia dengan pangsa 38% dari total ekspor furnitur Indonesia,
bahkan pangsa ini terus tumbuh dan meningkat 5,3% per tahun sejak tahun
2012.
Dengan peran pentingnya bagi ekspor furnitur Indonesia, di tengah kelesuan
ekonomi global ini Amerika Serikat masih bisa tetap menjadi pasar ekspor
utama bagi furnitur Indonesia karena kebutuhannya yang semakin meningkat.
Salah satu yang mengindikasikan hal tersebut adalah kegiatan penjualan
sektor perumahan yang terlihat membaik. Dengan semakin membaiknya
penjualan rumah maka semakin meningkat pula permintaan terhadap furnitur
karena furnitur merupakan produk komplementer bagi pengembangan/
pembangunan rumah. Meskipun masih berfluktuasi, perkembangan penjualan
rumah telah menunjukkan arah perbaikan yang positif. Penjualan rumah baru
di Amerika Serikat meningkat 12,4% di bulan Juli 2016 mencapai 654.000 unit
dan merupakan penjualan tertinggi sejak bulan Oktober 2007, serta jauh lebih
baik di atas ekspektasi pasar yang diperkirakan hanya mencapai 580.000
unit (Tradingeconomics, 2016a). Capaian bulan Juli tersebut menunjukkan
geliat yang baik di industri perumahan Amerika Serikat dan diperkirakan ke
depannya akan tetap berlanjut. Sinyal positif ini tentu memberikan harapan
baik bagi pasar furnitur karena permintaan furnitur erat kaitannya dan bahkan
didorong utamanya oleh permintaan perumahan.
Sebagai salah satu pemasok produk furnitur di Amerika Serikat, peluang
Indonesia untuk dapat merebut pangsa pasar di Amerika Serikat sebenarnya
sangatlah besar. Sebagai contoh, untuk produk furnitur tertentu seperti
tempat tidur kayu, Indonesia memiliki peluang besar untuk dapat merebut
pangsa pasar Amerika Serikat dari pemasok lainnya seperti RRT, Malaysia,
dan Vietnam. Tempat tidur kayu merupakan produk furnitur yang banyak
diimpor oleh Amerika Serikat, mencapai 8,1% dari total impor furnitur Amerika
Serikat pada tahun 2015. Ketika Amerika Serikat mengenakan BMAD atas
impor tempat tidur kayu asal RRT, terjadi trade diversion atau pengalihan
permintaan tempat tidur kayu dari RRT ke negara lain, termasuk Indonesia.
Pangsa impor tempat tidur kayu asal Indonesia meningkat dari 6,0% di tahun
2004 menjadi 8,0% di tahun 2008 (selama pengenaan BMAD berlangsung).
Wan, Sun dan Grebner (2010) yang menganalisis permintaan tempat
tidur kayu di AS mengemukakan bahwa permintaan impor tempat tidur kayu
bersifat elastis terhadap harga. Pada jangka pendek, tingkat elastisitas harga

89
Niki Barenda Sari

impor tempat tidur kayu lebih tinggi dan ini mengindikasikan bahwa disamping
kualitas, harga sangatlah menentukan tingkat permintaan impor tempat tidur
kayu. Produk furnitur Indonesia, khususnya tempat tidur kayu, perlu menaruh
perhatian lebih pada strategi harga agar dapat merebut pangsa pasar di
Amerika Serikat. Selain tempat tidur kayu, berdasarkan hasil analisis tren
industri furnitur di Amerika Serikat pada tahun 2015, memang pertumbuhan
permintaan furnitur didorong oleh pertumbuhan permintaan produk furnitur
untuk kamar tidur dan ruang tamu. Berdasarkan International Sleep Products
Association dalam CIT (2015a), penjualan kasur pada bulan Juli 2015 tumbuh
4,2% dibanding tahun lalu. Hal ini dipicu antara lain karena munculnya
teknologi baru dan pemain baru di pasar tersebut.
Namun demikian, kita perlu mewaspadai pesaing utama yakni RRT. Masih
berdasarkan hasil penelitian yang sama (Wan, Sun dan Grebner, 2010),
tingkat elastisitas impor tempat tidur kayu asal RRT sangat rendah atau
inelastis. Permintaan impor tempat tidur kayu asal RRT tidak lagi bergantung
pada harga, inilah yang menyebabkan permintaan impor asal RRT tetap tinggi
meskipun telah dikenakan BMAD.
Hasil analisis tren industri furnitur di Amerika Serikat tahun 2015
menunjukkan bahwa kondisi ekonomi RRT baru-baru ini dapat memberikan
pengaruh baik bagi RRT sebagai pemasok produk furnitur di Amerika Serikat,
dan sebaliknya dapat membahayakan posisi Indonesia dan Vietnam sebagai
pemasok. Akibat pelemahan nilai tukarnya, produk furnitur RRT menjadi
jauh lebih kompetitif dibanding produk furnitur asal Indonesia dan Vietnam.
Padahal, beberapa pabrik furnitur di Amerika Serikat telah mengalihkan
sumber pasokannya dari RRT ke pemasok asal Indonesia dan Vietnam.
Dengan kembali masuknya produk furnitur asal RRT yang lebih murah,
di satu sisi memberi keuntungan bagi konsumen Amerika Serikat karena
mendapatkan pasokan yang lebih kompetitif. Namun demikian, keadaan ini
justru memberi tekanan bagi produk furnitur Indonesia untuk bersaing dengan
lebih ketat dan mempertahankan pangsa pasarnya (CIT, 2015b).

6.2.2 Indonesia Perlu Melirik Pasar Furnitur di Uni Emirat Arab dan Arab
Saudi
Permintaan ekspor furnitur Indonesia dari mitra utama seperti Jepang,
Perancis, Belanda dan Jerman tengah mengalami kelesuan dalam lima tahun
terakhir yang tercermin dari turunnya permintaan furnitur Indonesia di masing-
masing negara tersebut sebesar -9,6%, -2,8%, 4,7%, dan 4,1% (Trademap,
2016b). Bukan hanya dari Indonesia, permintaan furnitur secara umum di
negara tersebut juga mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun

90
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

2015. Untuk menjaga keberlangsungan ekspor, Indonesia tidak bisa lagi


mengandalkan pasar tersebut sehingga perlu segera mencari pasar ekspor
lain yang memiliki prospek baik ke depannya, yang salah satunya adalah Uni
Emirat Arab (UEA). UEA merupakan salah satu pasar yang menjanjikan bagi
produk furnitur Indonesia karena permintaan furnitur dan produk kayu di UAE
masih mengalami pertumbuhan yang masif pada level 13,5% selama empat
tahun terakhir. Pada tahun 2015, nilai impor furnitur UEA mencapai USD
2,1 miliar, meningkat 24,1% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai
USD 1,7 miliar. Impor furnitur UEA banyak dipasok oleh RRT dan Italia yang
pangsanya mencapai masing-masing 34,3% dan 11,7% dari impor furnitur
UEA pada tahun 2014.
Pertumbuhan yang pesat ini salah satunya dipicu oleh kebijakan ekonomi
UEA yang lebih menitikberatkan pada sektor pariwisata, dan kebijakan yang
fokus pada pembangunan ekonomi berbasis real-estate. Pada tahun 2016,
UEA memiliki banyak mega proyek yang meliputi proyek pembangunan di
sektor pariwisata dan bisnis. Hal ini turut mendorong peningkatan kebutuhan
furnitur, terutama furnitur hotel. Selain itu, pembangunan real-estate juga
semakin mengakselarasi peningkatan permintaan furnitur di UEA (Abu Dhabi
Urban Planning Council, 2007).
Pemerintah UEA sedang membangun Abu Dhabi City dengan konsep
struktur perkotaan yang tertuang dalam kerangka pembangunan Plan
Capital 2030. Dalam pembangunan ini, juga akan dibangun pusat kota kedua
setelah Abu Dhabi City yakni Zayed City. Seiring dengan pembangunan
Zayed City, pemerintah juga membangun perkotaan di pinggiran yang
akan mengakomodasi perumahan bagi 80.000 orang. Pembangunan Abu
Dhabi City juga melingkupi pembangunan Yas, Al Reem, Al Maryah dan
Saadiyat Islands. Al Maryah Island difokuskan untuk kegiatan bisnis dan
gaya hidup, termasuk akan dibangunnnya Four Seasons Hotel Abu Dhabi
dan Al Maryah Central Retail Development. Sementara itu, pembangunan
Yas Island difokuskan sebagai pusat hiburan dengan dibangunnya jalur
Formula One Track, pusat perbelanjaan terbesar dan hunian mewah. Di sisi
lain, pembangunan Saadiyat Island dicanangkan akan menjadi pusat budaya
dan pengetahuan dengan membangun tiga museum utama yaitu louvre Abu
Dhabi, Guggenheim Abu Dhabi dan Zayed National Museum, serta kampus
Saadiyat’s University. Terakhir, pembangunan Al Reem island akan difokuskan
sebagai pusat pegembangan real-estate (Abu Dhabi Urban Planning Council,
2007).
Selain tingginya pembangunan real-estate, meningkatnya potensi
permintaan furnitur di UEA juga didukung oleh pola konsumsi masyarakatnya

91
Niki Barenda Sari

yang kini lebih mengarah pada belanja untuk produk-produk yang berkaitan
dengan rumah, seperti dapur dan kamar mandi. Masyarakat UEA lebih
memilih untuk berinvestasi dengan membeli produk-produk berkualitas tinggi
sehingga tahan lama. Selera pasar furnitur di UEA juga sangat beragam
karena karakteristik demografi UEA yang terdiri dari sekitar 170 kebangsaan.
Hal ini membuka peluang yang besar bagi furnitur Indonesia yang memiliki ciri
khas tersendiri untuk mengisi kebutuhan pasar furnitur di UEA.
Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, permintaan furnitur yang
tinggi juga disebabkan oleh peran UEA sebagai hub bisnis di kawasan
Timur Tengah. Kegiatan re-ekspor, sebagaimana di negara hub lainnya,
menjadi salah satu kegiatan utama bagi perekonomian UEA. Impor furnitur
yang tinggi, tidak serta merta diserap sepenuhnya oleh konsumsi domestik
melainkan diekspor kembali ke negara lainnya. Ekspor furnitur UEA, yang
tercatat sebagai penghasil devisa yang cukup besar bagi perekonomian UEA,
nilainya mencapai USD 215,7 juta pada tahun 2015. Namun nilai ini jauh
lebih kecil dibanding ekspor tahun sebelumnya yang mencapai USD 395,2
juta, turun 45,4% atau turun 14,3% selama lima tahun terakhir. Pasar ekspor
utama produk furnitur UEA adalah Qatar, Oman, Arab Saudi, Iran, Irak dan
Libya (Trademap, 2016c).
Sebagai negara importir sekaligus eksportir utama furnitur dan produk
kayu di kawasan arab, UEA berpotensi menjadi hub bisnis furnitur di kawasan
Timur Tengah dan Afrika. Namun, jika dilihat dari kinerja ekspornya tahun
2015 yang mengalami penurunan drastis sementara impornya tumbuh pesat,
disinyalir kegiatan re-ekspor beralih ke penyerapan impor furnitur di dalam
negeri.
Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini untuk mengembangkan produk
furniturnya ke pasar UEA. Hingga saat ini, posisi Indonesia sebagai pemasok
furnitur di UAE masih sebesar 2% dari total impor furnitur UEA pada tahun
2014 atau menempati urutan ke-10. Sementara UEA sendiri juga belum
menjadi pasar utama bagi ekspor furnitur Indonesia dan menempati urutan
ke 17 atau nilainya baru mencapai 1,0% dari total ekspor furnitur Indonesia
(Trademap, 2016b).
Selain UEA, pasar ekspor lainnya yang sedang bergeliat adalah Arab
Saudi. Permintaan impor furnitur Arab Saudi terus tumbuh pada level 10,9%
selama 2011-2015, merupakan pertumbuhan yang tinggi bila dibandingkan
dengan negara—negara lain yang justru memperlihatkan pelemahan. Tak
heran jika permintaan furnitur Arab Saudi diprediksi akan tumbuh 11% selama
2017-2022 (Decofair, 2017).

92
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

Industri furnitur telah menjadi industri yang paling bergairah dan paling
cepat pertumbuhannya di kawasan. Pertumbuhan real-estate dan peningkatan
permintaan properti perumahan, serta peningkatan investasi di sektor
pariwisata, pendidikan, dan kesehatan seiring dengan inisiasi pemerintah
untuk membangun infrastruktur sosial-ekonomi, menjadikan pasar furnitur di
Arab Saudi semakin terbuka lebar (Decofair, 2017).
Proyeksi permintaan furnitur yang tinggi di Arab Saudi tersebut memberi
angin segar bagi industri furnitur Indonesia untuk mengespansi eskpor ke
negara alternatif ini. Sama seperti UEA, Arab Saudi bukanlah negara utama
tujuan ekspor furnitur Indonesia. Pada tahun 2015, ekspor furnitur Indonesia
ke Arab Saudi baru mencapai USD 9,5 juta, menempati urutan ke 21 dari total
ekspor furnitur. Capaian ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor
furnitur ke Arab Saudi tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran USD
4-5 juta berhasil mendongkrak tren pertumbuhan ekspor ke Arab Saudi dalam
lima tahun terakhir tumbuh 12,0% (Trademap, 2016b).
Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia juga belum menjadi pemasok
utama furnitur di Arab Saudi. Negara RRT, Italia, Amerika Serikat, Turki, dan
Mesir merupakan pemasok utama yang berkontribusi 68,2% terhadap impor
furnitur Arab Saudi. Kinerja impor furnitur asal negara tersebut sangat baik
dalam lima tahun terakhir. Kecuali impor asal Amerika Serikat yang mengalami
penurunan 14,6% di tahun 2015, impor asal negara lainnya meningkat
signifikan terutama dari Italia dan Turki yang naik masing-masing 26,1% dan
54,2% dibanding tahun sebelumnya. Impor furnitur asal Indonesia juga masih
tumbuh tinggi dalam lima tahun terakhir pada level 19,1%, dan bahkan pada
tahun 2015 meningkat tajam 53,4% dibanding tahun sebelumnya (Trademap,
2016d). Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk terus mengembangkan
dan meningkatkan ekspor furnitur ke Arab Saudi dan mengambil pangsa
pasar dari negara pemasok lainnya.

6.2.3 Meskipun Lesu, Peluang Pasar Furnitur di Eropa Masih Ada Harapan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ekspor furnitur Indonesia
ke beberapa negara tujuan utama sedang mengalami penurunan diantaranya
adalah negara-negara di Eropa. Sembilan dari dua puluh negara tujuan
utama ekspor furnitur merupakan negara Eropa, yaitu Perancis, Inggris,
Belanda, Belgia, Italia, Spanyol, Swedia, Denmark, dan Rusia. Hanya
ke empat diantara negara Eropa tersebut yang kinerja ekspor furnitur kita
masih menunjukkan pertumbuhan positif yaitu Inggris, Swedia, Denmark,
dan Rusia masing-masing tumbuh 1,3%, 3,9%, 11,3%, dan 0,2%, sementara
selebihnya menunjukkan tren negatif selama lima tahun terakhir (Trademap,

93
Niki Barenda Sari

2016b). Selain itu, permintaan impor negara-negara tersebut juga memang


memperlihatkan kelesuan sebagai imbas belum pulihnya perekonomian
global.
Meskipun demikian, peluang meningkatnya ekspor ke negara di Eropa
masih memiliki harapan, terutama karena didukung oleh kebijakan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diberlakukan secara wajib untuk semua
produk berbahan kayu. Kebijakan ini dapat mendorong akses ekspor produk
furnitur Indonesia, terutama Uni Eropa. Melalui SVLK, Indonesia meraih lisensi
Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) pertama di dunia.
FLEGT sendiri merupakan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan
Bidang Kehutanan. Sebelumnya, sesuai ketentuan FLEGT, diperlukan biaya
untuk uji tuntas atau due diligence sekitar USD 1.000-2.000 per kontainer
ukuran 20-40 feet. Dengan diberlakukannya SVLK, maka kewajiban uji tuntas
pun dihilangkan sehingga dapat memangkas biaya ekspor produk furnitur
(Kementerian Perindustrian, 2016).

6.2.4 Pasar Domestik Perlu Mendapat Perhatian Lebih


Di Indonesia, pasar domestik furnitur nampaknya belum menjadi fokus
utama bagi industri furnitur untuk memasarkan produknya. Berdasarkan
sebagian besar produksi furnitur Indonesia ditujukan bagi pasar ekspor,
sementara sisanya dipasarkan di dalam negeri. Padahal, jumlah penduduk
Indonesia yang besar (menduduki posisi ke-4 sebagai negara dengan
penduduk terbesar di dunia) menjadi salah satu modal dasar untuk terus
berkembangnya pasar domestik.
Meskipun demikian, berdasarkan data Global Business Guide Indonesia
(2013) tercatat penjualan furnitur di pasar domestik dan perlengkapan rumah
tercatat tumbuh 12,1% selama 2004-2009. Di tahun 2015 lalu, potensi pasar
domestik yang cukup besar terlihat dari omzet furnitur secara nasional yang
mencapai Rp 4,0 triliun sebagaimana dimuat dalam Radar Semarang (2016).
Selain itu, menurut data dari Statista (2016a), pendapatan penjualan furnitur
di Indonesia melalui e-commerce mencapai USD 795 juta di tahun 2015, dan
diproyeksi terus meningkat hingga mencapai USD 2.076 juta di tahun 2020.

94
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

Gambar 6.2 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan


Perlengkapan Rumah Indonesia
Sumber: HIMKI (2016)

Pasar domestik sangat menjanjikan terutama bagi produsen furnitur


kontemporer (high-end), furnitur kulit, dan furnitur bergaya Eropa klasik seiring
dengan terus berkembangnya konsumen kelas menengah. Potensi ini juga
meningkat sejalan dengan berkembangnya industri desain interior sebagai
konsumen baru untuk memenuhi kebutuhan sektor properti (Global Business
Guide Indonesia, 2013).
Potensi meningkatnya permintaan furnitur di Indonesia juga terindikasi
dari tingkat penjualan properti. Harga rumah mengalami perlambatan di tahun
2016. Meskipun indeks Harga Properti Residensial pada periode Triwulan II
2016 naik menjadi 193,13 indeks poin dari 191,90 indeks poin pada Triwulan I
2016 atau tumbuh 0,64%, namun pertumbuhan tersebut lebih rendah dibanding
pertumbuhan tahun lalu yang naik 0,99% (qtq) dan 4,15% (yoy). Perlambatan
kenaikan harga rumah ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga pada
level 190.54 indeks poin pada Triwulan III 2016 (Tradingeconomics, 2016b).
Mulai turunnya Indeks Harga Properti Residensial yang mencerminkan harga
properti untuk rumah mulai semakin murah, diperkirakan akan mendorong
penjualan rumah kedepannya yang juga mendorong permintaan furnitur.
Penjualan properti residensial meningkat seiring dengan perlambatan
kenaikan harga rumah. Pertumbuhannya naik dari 1,51% (qtq) menjadi 4,02%
(qtq) pada Triwulan II 2016. Peningkatan penjualan properti terjadi untuk
semua tipe rumah, terutama tipe rumah kecil yang salah satunya juga dipicu
oleh program pemerintah untuk pembangunan rumah murah atau rumah bagi
masyarakat berpenghasilan rendah.
Tingginya permintaan domestik tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh
industri furnitur dalam negeri untuk menguasai pasar. Kenyataannya, industri
kita sedang berebut pasar dengan furnitur asing yang nampaknya lebih kuat.
Hingga saat ini, pasar domestik, terutama untuk produk furnitur knock-down,

95
Niki Barenda Sari

dikuasai oleh satu produsen lokal terbesar (Olympic dari PT Cahaya Sakti
Multi Intraco (CASMI)). Dilihat dari Top Brand Index (TBI), kategori furnitur
knock down didominasi oleh merek Olympic (67%) di tahun 2015, diikuti oleh
merek Ligna (11,2%) di posisi kedua. Dalam 10 terakhir, kategori furnitur
knock down memang dikuasai oleh Olympic dengan indeks di atas 50%, dan
mencapai puncak indeksnya pada tahun 2011 yang mencapai 80,4% (Top
Brand Award, 2015). Masuknya produsen asing asal Swedia IKEA, yang
juga berada pada kategori furnitur knock down menjadi perhatian tersendiri
bagi produsen lokal seperti Olympic dan Ligna. Oleh karena itu, produsen
lokal perlu menyiapkan strategi untuk bisa tetap mempertahankan pangsa
pasarnya dalam menghadapi pesaing baru.

Gambar 6.3 Perkembangan Top Brand Index (TBI) Produk Furnitur


Knock-Down
Sumber: Top Brand Award (2015)

6.3 Tantangan Produk Furnitur Indonesia


Layaknya industri manufaktur lainnya, industri furnitur juga ikut terkena
imbas pelemahan ekonomi global, yang salah satunya tercermin dari
penurunan permintaan impor furnitur dari beberapa negara mitra utama
kita. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, furnitur Indonesia masih
berpeluang besar untuk dikembangkan ekspornya serta didorong penjualan
domestiknya. Untuk dapat mengoptimalkan peluang yang ada, industri furnitur
harus mampu menghadapi berbagai tantangan yang ada serta mengatasi
permasalahanya yang muncul.

6.3.1 Daya Saing Furnitur Indonesia Perlu Didorong


Paska krisis ekonomi global tahun 1997-1998, terjadi pergeseran
perdagangan di dunia yang cenderung lebih memilih produk manufaktur Asia.
Namun demikian, hal ini tidak terjadi pada sektor furnitur Indonesia. Pangsa

96
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

eskpor furnitur Indonesia di pasar dunia justru mengalami penurunan dari


4,9% di tahun 1999 menjadi 4,4% di tahun 2009 (Winkler dan Farole, 2012),
bahkan tahun 2015 pangsa ekspor kita hanya sebesar 1,1% (Trademap,
2016e). Penurunan pangsa pasar ekspor furnitur Indonesia terjadi di hampir
semua pasar tujuan ekspor kita. Berbeda dengan RRT yang sukses meraih
pangsa ekspor dunia dengan meningkatnya pangsa ekspor mencapai 29% di
tahun 2009 dari 12% di tahun 1999 (Winkler dan Farole, 2012), bahkan di tahun
2015 pangsanya mencapai 34% (Trademap, 2016e). Sementara itu, industri
furnitur Indonesia gagal mengambil pangsa pasar dunia hingga saat ini.
Semakin mengecilnya pangsa ekspor furnitur di pasar dunia mencerminkan
masih lemahnya daya saing furnitur Indonesia. Kualitas furnitur yang
dihasilkan belum memiliki standard industri yang jelas karena memang belum
ada pengaturan standar produk furnitur di Indonesia. Sejauh ini, pengaturan
standar baru diterapkan pada bahan baku kayu dengan menerapkan kewajiban
SVLK. Kebijakan pemerintah baru-baru ini terkait SVLK setidaknya dapat
membantu industri furnitur memperbaiki daya saingnya di tengah persaingan
internasional. SVLK diharapkan dapat mengurangi praktik penebangan liar
(illegal logging) yang selama ini merugikan produsen furnitur dalam negeri.
Penebangan liar telah menjadikan produsen furnitur kesulitan mendapatkan
bahan baku, terutama kayu, karena harga menjadi lebih mahal padahal
secara jumlah tersedia melimpah. Dengan pemberlakuan SVLK, bahan baku
kayu menjadi lebih mudah dan aman di dapat sehingga membantu produsen
furnitur mengoptimalkan produksinya dengan menekan biaya produksi.
Disamping optimalisasi biaya produksi, persaingan industri dewasa ini
tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi dan inovasi. Inovasi
dibutuhkan untuk dapat mengikuti perkembangan kebutuhan pasar yang
bergerak dinamis. Beberapa perusahaan telah berupaya meningkatkan
daya saing produknya dengan mengeksplorasi pasar dan meningkatkan nilai
tambah produk furniturnya. Selain itu, berdasarkan efisiensi jalur distribusi
menjadi faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif produsen furnitur
(Pirc dan Vlosky, 2010).
Sebagai contoh keberhasilan industri furnitur yang mengedepankan inovasi
dalam rantai pasokannya adalah IKEA. Perusahaan furnitur asal Swedia yang
memiliki 351 gerai di 43 negara ini, memiliki sistem rantai pasokan (supply chain)
yang unik dan teknik manajemen inventori khusus yang sudah lama mereka
praktikkan. Sejalan dengan visi perusahaan untuk menyediakan produk furnitur
rumah tangga dengan desain yang baik, fungsional, dengan harga serendah
mungkin sehingga bisa dijangkau oleh sebanyak mungkin pelanggan, maka
semua fungsi di perusahaan, termasuk operasi supply chain dan manajemen
inventori, bekerja bersama untuk menunjang perwujudan visi ini.

97
Niki Barenda Sari

IKEA merancang produk-produk yang unik dan hanya membutuhkan biaya


manufaktur rendah. Selain itu, mereka juga memiliki aturan yang ketat terkait
fungsi, distribusi efisien, kualitas dan dampak produk terhadap lingkungan.
Dalam sebuah studi kasus, sebanyak lebih dari 50% produk dibuat dari
material yang tahan lama atau hasil daur ulang. IKEA memang berusaha untuk
memakai sesedikit mungkin material untuk memproduksi produknya, tanpa
mengorbankan kualitas dan durabilitasnya. Dengan menggunakan sesedikit
mungkin material, perusahaan berhasil memangkas biaya transportasi.
Makin sedikit material yang harus diangkut, makin sedikit pula biaya yang
dikeluarkan untuk bahan bakar, tenaga kerja, dan pengiriman.
Selain itu, mayoritas furnitur IKEA dijual dalam bentuk bagian-bagian
untuk dirakit sendiri oleh pembeli. Bagian-bagian tersebut dikemas dengan
efisien dalam kemasan yang ringkas dan relatif tipis sehingga mudah dimuat
dalam truk pengangkut. Karena jumlah produk yang bisa diangkut dapat
dimaksimalkan dalam setiap pengangkutan, IKEA mampu menghemat banyak
di sisi transportasi. Kemasan yang unik juga membutuhkan ruang yang lebih
sedikit di gudang dan rak penyimpanan, sehingga toko-toko bisa menyimpan
stok tambahan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan. Penghematan
yang berhasil dilakukan IKEA untuk bahan bakar dan biaya penyimpanan
digunakan untuk hal lain yang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan.

6.3.2 Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai Pasar Tunggal


dan Basis Produksi
Furnitur Indonesia memiliki kemiripan dengan furnitur yang dihasilkan
oleh negara-negara di ASEAN sehingga produksi furnitur di ASEAN saling
berkompetisi satu sama lain dan menjadikan produksi furnitur di ASEAN
sangat tinggi elastisitas permintaannya. Sebagai contoh, ketika harga produk
furnitur Indonesia naik, maka konsumen dapat dengan mudah beralih ke
produk furnitur Vietnam atau Malayasia karena desain dan kualitas yang tidak
jauh berbeda. Oleh karena itu, negara-negara di ASEAN perlu mengambil dan
mengukuhkan keunikannya masing-masing, jika tidak maka produk furnitur
akan tetap menjadi kurang berkembang dan terbatasi potensi value-chain-
nya (Ratnasingam dan Ioras, 2014).
Malaysia, Vietnam, dan Thailand merupakan negara produsen furnitur di
ASEAN yang menjadi kompetitor utama Indonesia. Ekspor furnitur Vietnam
berkembang signifikan, dari hanya USD 3,3 miliar di tahun 1996 hingga
mencapai USD 7,3 miliar di tahun 2015, menjadikannya sebagai negara
eksportir furnitur terbesar di ASEAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan
nilai tambah produknya, Vietnam lebih memfokuskan pada pengembangan

98
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

sumber daya manusia dan investasi mesin produksi. Sementara itu, industri
furnitur Malaysia sangat beriorientasi ekspor-mencapai 85% dari total
produksinya. Ekspor furnitur Malaysia mencapai USD 2,3 miliar di tahun 2015,
terbesar kedua setelah Vietnam. Terdapat sekitar 3600 perusahaan furnitur di
Malaysia dan banyak diantaranya yang telah mengembangkan value chain-
nya dari produksi furnitur ready-to-assemble (RTA) menjadi original-designed
(ODM) untuk pasar ekspor. Pesaing lainnya adalah Thailand, ekspornya
mencapai USD 976 juta di tahun 2015. Industri furnitur di Thailand relatif besar
dengan jumlah perusahaan mencapai 5000 dan tenaga kerja yang mencapai
1 juta orang, namun industri ini masih didominasi oleh UKM (Ratnasingam
dan Ioras, 2014).
Berkaitan dengan persaingan industri furnitur tersebut, pada akhir 2015,
negara-negara ASEAN telah menerapkan konsep Masyarakat Ekonomi
ASEAN yang salah satu pilarnya adalah menjadi pasar tunggal dan basis
produksi. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 12 Integrasi sektor
Prioritas (Priority Integration Sectors/PIS) yang dianggap strategis untuk
diliberalisasikan menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. Produk berbasis
kayu menjadi salah satu sektor prioritas dimana Indonesia terpilih menjadi
koordinator. Beberapa langkah kebijakan yang akan dijalankan sebagaimana
dinyatakan dalam ASEAN Framework Agreement for The Integration of
Priority Sectors (2004) antara lain meningkatkan kerjasama dalam produksi
kayu, melakukan joint-marketing, meningkatkan investasi industri berbasis
kayu dan tanaman hutan, serta mengembangkan sumber daya manusia.
Sebelum penerapan MEA, pada tahun 2013 telah dilakukan penguatan
kerjasama, terutama di bidang pemasaran dan investasi di antara pengusaha
furnitur ASEAN yang tergabung dalam asosiasi ASEAN Furnitur Industries
Council (AFIC). Dalam pertemuan AFIC tersebut, fokus utama penguatan
adalah untuk saling memperkuat pasar-pasar furnitur di antara negara-negara
Asean agar bisa saling mengisi pangsa pasar yang semakin terbuka lebar.
Sebagaimana dimaklumi oleh masing-masing negara, bahwa lawan utama
dalam bisnis furnitur saat ini adalah bukan sesama negara ASEAN, melainkan
negara lain seperti RRT yang memiliki daya saing tinggi dengan kemampuan
produksinya dalam jumlah besar dan harga yang kompetitif.

6.3.3 Berkembangnya Metode Penjualan Furnitur Melalui E-commerce


Secara umum, karakteristik konsumen yang berubah menjadi tantangan
tersendiri bagi industri furnitur. Saat ini, konsumen furnitur di dunia didominasi
oleh generasi milenial (usia 18-34 tahun) yang memiliki pendekatan berbeda
terkait kebutuhan kepemilikan perumahan dan furnitur. Selera dan kebutuhan

99
Niki Barenda Sari

furnitur berubah menjadi produk multifungsi dan hemat ruang, sesuai dengan
gaya hidup perkotaan yang dinamis. Furnitur dengan desain ramah lingkungan
juga menjadi tren masa kini. Hal ini akan menciptakan tren permintaan baru
yang perlu diikuti oleh industri furnitur kita.
Konsumen furnitur, dewasa ini lebih memilih membeli furnitur dan barang
lainnya melalui e-commerce. Konsumen yang didominasi oleh generasi
milenial identik dengan perkembangan teknologi dan internet. Perilaku
berbelanja pun akan semakin mengarah pada bentuk transaksi melalui
e-commerce.
Gambar 6.4 di bawah menunjukkan proyeksi pendapatan yang diterima
e-commerce di dunia dalam memenuhi kebutuhan konsumen dibeberapa
segmen produk termasuk furnitur di dalamnya. Pada tahun 2016, furnitur dan
perlengkapan rumah memiliki kontribusi sebesar USD 199 juta dari total USD
1.179 juta dan diprediksi meningkat menjadi USD 342,8 juta pada tahun 2021.
Gambar tersebut juga menunjukkan proyeksi pertumbuhan permintaan furnitur
secara online sebesar 11,5% per tahun, sedangkan proyeksi pertumbuhan
e-commerce secara keseluruhan sebesar 12,3% per tahun .

Gambar 6.4 Proyeksi Pendapatan E-commerce Dunia berdasarkan


Segmen
Sumber: Statista (2016b), diolah

Di berbagai negara, penggunaan e-commerce sebagai metode penjualan


semakin meningkat. Berdasarkan data Statista (2016c), pendapatan
e-commerce furnitur dan perlengkapan rumah di RRT pada tahun 2015
mencapai USD 67,3 Miliar, dan di Amerika Serikat mencapai USD 56,8 miliar.
Sementara itu, pendapatan e-commerce furnitur dan perlengkapan rumah
di Jepang, Inggris, dan Jerman masih jauh lebih kecil dibanding RRT dan
Amerika Serikat masing-masing USD 9,2 miliar, USD 8,7 miliar, serta USD 6,5
miliar. Statista (2016c) memprediksi pendapatan e-commerce ini akan terus
meningkat hingga akhir tahun 2020.

100
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

Pendapatan E-Commerce Furnitur dan Perlengkapan Rumah

Gambar 6.5 Proyeksi Pendapatan E-Commerce Furnitur dan


Perlengkapan Rumah di Beberapa Negara.
Sumber: Statista (2016c), diolah

Meningkatnya penggunaan e-commerce, merupakan tantangan tersendiri


bagi industri furnitur khususnya dalam menentukan strategi pemasaran
dan penjualan. Sebagaimana diprediksi oleh Statista bahwa penjualan
e-commerce kedepannya akan semakin meningkat dan memperhatikan
perilaku konsumen, maka akan semakin banyak pula konsumen yang
menggunakan e-commerce dalam membeli furnitur.
Kontribusi segmen Furnitur dan Perlengkapan Rumah sebesar USD
199 miliar atau mencapai 17% terhadap pasar global e-commerce. Pasar
untuk segmen tersebut didominasi oleh RRT, Amerika Serikat dan Eropa
dengan pangsa secara kumulatif mencapai 86,3%. Rata-rata pertumbuhan
global untuk segmen Furnitur dan Perlengkapan Rumah dalam penjualan
e-commerce diprediksi akan mencapai 11,5% selama 2016-2021. Diantara
tiga pasar utama segemen Furnitur dan Perlengkapan Rumah tersebut,
pertumbuhan RRT diprediksi akan lebih tinggi yaitu sebesar 14,5% selama
periode yang sama, sementara Amerika Serikat diprediksi tumbuh lebih
rendah yaitu sebesar 7,2%. Adapun Eropa diprediksi oleh Statista (2016b)
akan tumbuh pada level 11,3%.
Secara umum, penjualan furnitur secara online melalui e-commerce
memang relatif masih kecil dibandingkan dengan penjualan furnitur secara
offline. Salah satu pemain utama furnitur di Eropa, IKEA, hanya menghasilkan
nilai penjualan melalui e-commerce sekitar 3% dari toal pendapatannya.
Namun demikian, penjualan melalui e-commerce memberikan peluang
besar bagi banyak startup. Dalam Statista (2016b) dijelaskan bahwa
banyak perusahaan baru yang sukses memperoleh pangsa pasar dengan
menggunakan metode penjualan melalui e-commerce.

101
Niki Barenda Sari

Hingga saat ini, banyak perusahaan furnitur di Indonesia yang memiliki


website sendiri yang menyajikan berbagai informasi secara detail terkait
produk furniturnya, namun masih sedikit yang melayani transaksi melalui
e-commerce. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi produsen furnitur, baik di
pasar domestik maupun di pasar ekspor, untuk mulai menyediakan fasilitas
e-commerce agar tidak kehilangan pasar.

6.4 Penutup
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan peran industri
manufaktur sebagai penghasil devisa dan penyerap tenaga kerja, beberapa
peluang perlu dapat dimanfaatkan dengan optimal serta diantisipasi
tantangan-tantangannya.
Peluang furnitur di pasar internasional masih sangat menjanjikan, terutama
di beberapa negara non tradisional seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Rencana pembangunan real-estate dan pengembangan pariwisata yang pesat
selama 2 dekade ke depan di kedua negara tersebut berpotensi meningkatkan
permintaan furnitur. Selain itu, Amerika Serikat sebagai pasar utama furnitur
Indonesia tetap perlu dipertahankan mengingat masih tingginya proyeksi
permintaan furnitur dan meningkatnya sektor perumahan. Sementara di Uni
Eropa, meskipun permintaan furnitur menunjukkan sedikit kelesuan, dengan
didukung oleh kebijakan SVLK maka ekspor furnitur Indonesia berpotensi
dapat meningkatkan akses ekspor di pasar tersebut.
Di dalam negeri, peluang furnitur kontemporer (high-end), furnitur kulit,
dan furnitur bergaya Eropa klasik sangat tinggi mengingat perkembangan
konsumen kelas menengah dan industri desain interior. Meningkatnya industri
properti juga turut menyumbang andil dalam pasar furnitur di dalam negeri.
Sementara itu, industri furnitur menghadapi beberapa tantangan antara
lain mengembangkan inovasi dan teknologi dalam meningkatkan daya
saing, menghadapi pasar tunggal dan basis produksi dalam MEA, serta
mengakomodasi metode penjualan e-commerce yang semakin pesat.
Tantangan tersebut seyogyanya tidak dinilai sebagai hambatan namun justru
sebagai pemacu dalam bersaing baik di pasar internasional maupun di pasar
domestik. Jika tantangan tersebut dapat dihadapi dengan baik, maka dapat
menjadi modal utama bagi industri furnitur untuk dapat mengambil peluang-
peluang yang ada.

102
Peluang dan Tantangan Produk Furnitur Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Abu Dhabi Urban Planning Council (2007). Plan Abu Dhabi 2030 Urban
Structure Framework Plan. Diunduh tanggal 23 September 2016 dari
http://www.upc.gov.ae/abu-dhabi-2030/capital-2030.aspx?lang=en-US
AMKRI (2015). Roadmap Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia.
ASEAN (2004). Asean Framework Agreement for the Integration of Priority
Sectors.
Bisnis (2013). Masyarakat Ekonomi Asean: Jelang AEC, Industri Mebel
Perkuat Kerjasama. Diunduh tanggal 29 Oktober 2016 dari http://www.
bisnis.com/masyarakat-ekonomi-asean-jelang-aec-industri-mebel-
perkuat-kerjasama.
BPS (2016). Realisasi Ekspor Indonesia Periode Tahun 2015.
CIT (2015a). Sleeping Beauty Needs a New Mattress. Diunduh tanggal 27
September 2016 dari http://www.cit.com/blog/sleeping-beauty-needs-
new-mattress/.
CIT (2015b). Furniture Industry Outlook: Growth in Sector Continues to Outpace
U.S. Economy. Diunduh tanggal 27 September 2016 melalui http://www.
cit.com/thought-leadership/furniture-industry-trends-analysis-2015/.
Decofair (2017, Juni). Saudi Arabia Furniture Industry’s Consumption is
Forecasted to Grow at A Rate of 11% during the Period of 2017-
2022. Diunduh tanggal 20 Juni 2017 dari http://www.decofair.com/en/
news/395.
Global Business Guide Indonesia (2013). Indonesia’s Furniture & Homeware
Sector. Diunduh tanggal 30 Oktober 2016 dari http://www.gbgindonesia.
com/en/manufacturing/article/2012/indonesia_s_furniture_and_
homeware_sector. Php.
Global Business Guide Indonesia (2013). Accupunto Internasional. Diunduh
tanggal 30 Oktober 2016 dari http://www.gbgindonesia.com/en/
manufacturing /directory/ accupunto_international/interview.php.
HIMKI (2016). 10 Langkah Meningkatkan Daya Saing Industri Mebel dan
Kerajinan di Pasar Global. Makalah: Disajikan pada Acara Rapat Informal
Pengurus DPP dan DPD-DPD HIMKI pada tanggal 11 Oktober 2016.
Kementerian Perindustrian (2016). Menperin: SVLK Pacu Ekspor Furnitur
ke Uni Eropa. Diunduh tanggal 25 September 2016 dari http://www.
kemenperin.go.id/artikel/15246/Menperin:-SVLK-Pacu-Ekspor-Furnitur-
ke-Uni-Eropa.
Kompas (2012). IKEA Masuk, Persaingan Pasar Mebel Makin Sengit. Diunduh
tanggal 27 September 2016 melalui http://bisniskeuangan.kompas.com/
read/2012/03/29/08003136/IKEA.Masuk..Persaingan.Pasar.Mebel.
Makin.Sengit

103
Niki Barenda Sari

Malaysian Furniture News (2016, Maret). Five-Year Plan 2016-2020 Furnishing


Malaysia with Exciting Diversity and Unlimited Opportunities.
Pirc, Andreja dan Richard Vlosky (2010). A Brief Overview of the U.S. Furniture
Industry. Louisiana Forest Products Development Center Working Paper
No.89 July 14, 2010.
Radar Semarang (2016). Kebutuhan Furniture Domestik Naik Tajam.
Diunduh tanggal 22 September 2016 dari http://www.radarsemarang.
com/20160122/ kebutuhan-furniture-domestik-naik-tajam.
Ratnasingam, Jegatheswaran dan Florin Ioras (2014). ASEAN Furniture
Industry–The Emerging Furniture Factory for the UK and European
Market. Current Issues in Global Furniture-Proceedings of the 2013
Biennial Conference of the Furniture Research Group, National School
of Furniture.
Statista (2016a). Indonesia Furniture & Appliances e-commerce revenue.
Statista (2016b). E-commerce: Furniture & Appliances. Statista Digital Market
Outlook.
Statista (2016c). Home appliances and furniture e-commerce revenue.
Technavio (2016). Global Furniture Market 2016-2020. Diunduh tanggal 15
September 2016 dari http://www.technavio.com/report/global-general-
retail-goods-and-services-furniture-market.
Top Brand Award (2015). Persaingan Furnitur Knock-Down. Diunduh
tanggal 30 Oktober 2016 dari http://www.topbrand-award.com/article/
persaingan_furnitur _knock-down.html.
Trademap (2016a). United States (CIF) Import Statistics Product: Furniture.
Trademap (2016a). List of importing markets for a product group exported by
Indonesia.
Trademap (2016c). List of importing markets for a product group exported by
United Arab Emirates.
Trademap (2016d). List of importing markets for a product group exported by
Saudi Arabia.
Trademap (2016e). List of importers for the selected product group.
Tradingeconomics (2016a). United States New Home Sales.
Tradingeconomics (2016b). Indonesia Residential Property Price Index.
Wan, Sun dan Grebner (2010).Analysis of Import Demand for Wooden Beds in
the U.S. Journal of Agricultural and Applied Economics, 42,4 (November
2010):643–658.
Winkler, Deborah dan Thomas Farole (2012). Export Competitiveness in
Indonesia’s Manufacturing Sector. Worldbank Policy Note 2.

104
Inovasi Dalam Produksi dan Pemasaran Produk Furnitur Indonesia

BAB VII
INOVASI DALAM PRODUKSI DAN PEMASARAN
PRODUK FURNITUR INDONESIA
Zamroni Salim

Indonesia merupakan salah satu produsen furnitur dunia karena besarnya


potensi bahan baku yang ada di dalam negeri. Indonesia dengan potensi
yang besar tersebut nampaknya belum mampu menjadi produsen utama
furnitur dunia. Bab ini merupakan bab yang merangkai tulisan di bab-bab
sebelumnya.
Di dalam bab-bab sebelumnya (Bab II, III, IV V dan VI) diuraikan
bagaimana kondisi industri furnitur di Indonesia dengan segala kondisi dan
tantangannya yang belum mampu menjadikannya sebagai produsen utama.
Bab II menjelaskan mengenai aspek produksi furnitur, jenis dan bahan baku,
dan sentra produksi furnitur yang ada di Indonesia. Bab ini juga menjelaskan
berbagai kendala yang dihadapi dalam produksi furnitur. Bab III menjelaskan
konsumsi, distribusi dan nilai tambah yang tercipta dalam industri furnitur
dan secara khusus membahas perilaku konsumen, khususnya konsumen
Indonesia.
Selanjutnya, dalam Bab IV dijelaskan mengenai perdagangan dalam
negeri, yang meliputi pola pemasaran dan distribusi. Bab V menguraikan
tentang perdagangan luar negeri furnitur Indonesia. Secara khusus bab ini
memetakan posisi Indonesia dalam perdagangan global furnitur, daya saing
dan kendala yang dihadapi dalam ekspor produk furnitur. Bab VI membahas
peluang dan tantangan produk furnitur, termasuk di dalamnya tentang
optimismeindustri manufaktur di tengah melesunya perekonomian global.

7.1 Kondisi Pasar Furnitur Global


Urutan negara eksportir utama dunia tahun 2015, menurut Trademap
(2016) adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (sebesar 24%, USD 29 miliar),
Singapura (15%, USD 18 miliar), Jepang (11%, USD 13 miliar), Malaysia
(7%, USD 8,5 miliar), Korea Selatan (7%, USD 8,4 miliar). Urutan berikutnya
adalah Thailand dan Amerika Serikat sekitar 6% dengan nilai masing-masing
sebesar USD 8,1 miliar, dan USD 7 miliar. Sementara itu, Indonesia hanya
mampu mengekspor sebesar USD 87,55 Juta. Bila dilihat dari sejumlah
negara pemain utama dalam perdagangan furnitur dunia, negara-negara
tersebut pada dasarnya bukan produsen kayu utama dunia, tetapi mereka
mampu menjadi produsen utama. Salah satu alasan utama, khususnya di

105
Zamroni Salim

RRT adalah karena ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk regulasi,
pengembangan teknologi, pengembangan dunia usaha, termasuk dukungan
pembentukan sentra perdagangan furnitur (HKTDC Research, 2016; Yang
et al., 2012). Sebagai contoh sentra industri dan pemasaran furnitur di RRT
adalah di Provinsi Guangdong di kota Dongguan yang memiliki showroom
furnitur dengan panjang 5 km, sentra furnitur di kota Foshan dan Sunte
(Detik, 2016 dan FGD BRIK Kemendag, 2017)
Seperti diuraikan dalam Bab V mengenai perdagangan luar negeri,
Indonesia masih belum bisa memanfaatkan ASEAN sebagai pasar yang
menjanjikan. Data yang disajikan dalam Bab V (BPS, 2016) menjelaskan
bahwa ekspor Indonesia ke negara ASEAN lainnya hanya sebesar USD 87,55
juta dibandingkan ekspor ke negara non-ASEAN sebesar USD 1,7 milyar di
tahun 2015. Memang terjadi stagnasi dalam pertumbuhan ekspor produk
furnitur seperti diurakan dengan data statistik (dalam bab V). Hal ini juga diakui
oleh sejumlah pelaku bisnis furnitur di Indonesia seperti ritel modern IKEA dan
produsen Olympic yang mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir ada
kelesuan dalam bisnis furnitur Indonesia termasuk ekspor.10
Pada sisi permintaan furnitur di pasar dunia, juga terjadi pergeseran. Seperti
diuraikan dalam Bab III, pasar furnitur dunia berkembang yang didorong oleh
berbagai faktor global penurunan tarif (melalui berbagai skema misalnya FTA,
ekspansi dari global value chain yang melibatkan distributor besar, perbaikan
dalam infrastruktur dan logistik peningkatan permintaan pada produk furnitur
dengan harga murah.

7.2 Kendala dan Tantangan Industri dan Perdagangan Furnitur


Berbagai kendala yang belum memungkinkan Indonesia menjadi produsen
utama furnitur diuraikan dalam Bab III dan juga bab lainnya (Bab IV, IV dan
IV) baik dari sisi produksi, pemasaran dalam negeri dan ekspor. Beberapa
permasalahan tersebut diantaranya adalah adanya sejumlah regulasi yang
menghambat tumbuh kembangnya industri furnitur di Indonesia, antara lain
tingginya suku bunga kredit bagi industri, pemberlakuan Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK) di hilir yang menyebabkan tambahan biaya produksi
(tentu akan lebih menyulitkan pengusaha kecil); infrastruktur yang belum
memadai; kendala dalam logistik; dan biaya energi yang masih tinggi.
Secara khusus, dari sisi ekspor juga masih dijumpai beberapa kesulitan
(seperti diuraikan dalam Bab V). Beberapa diantaranya adalah regulasi yang
dinilai kurang mendukung (terkait perizinan dan lokasi produksi mereka tidak
lagi masuk dalam kawasan industri dan adanya kesulitan dalam memenuhi
10
Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian
dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

106
Inovasi Dalam Produksi dan Pemasaran Produk Furnitur Indonesia

persyaratan sertifikasi kualifikasi ekspor, termasuk dalam hal pengurusan


sertifikasi ekspor untuk mendapatkan SVLK.
Di tengah persaingan global yang semakin berat, produsen furnitur di
pasar dalam negeri juga dihadapkan pada persaingan yang tidak kalah sulit
dengan munculnya berbagai ritel modern (seperti ACE Hardware, Informa,
IKEA dan lainnya). Pada satu sisi, kehadiran ritel modern ikut menjadi tempat
untuk memasarkan produk lokal (termasuk didalamnya ada kemitraan dengan
produsen lokal)11. Namun, pada sisi lain, dalam kenyataannya ritel modern lebih
banyak memasarkan produk furnitur impor daripada furniturdomestik. Seperti
diuraikan dalam Bab III bahwa masuknya ritel modern tersebut telah menggeser
preferensi dan selera konsumen terhadap furnitur tradisional (ukir kayu) ke produk
yang menawarkan fungsi dan kenyamanan dengan desain minimalis yang
memungkinkan konsumen untuk memperbarui dekorasi rumah secara berkala.

7.3 Upaya Meningkatkan Daya Saing Furnitur: Kreasi dan Inovasi


Seperti yang dipaparkan oleh Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia
(AMKRI), pertumbuhan ekspor furnitur diprediksi akan tumbuh dalam lima
tahun ke depan sekitar 15% - 18% (AMKRI, 2015). Target tersebut tentu
merupakan tantangan yang cukup berat di tengah masih belum pulihnya
perekonomian global. Bahkan pasar furnitur global diprediksi hanya akan
tumbuh sekitar 4% sampai akhir 2020 (Technavio, 2016). Namun demikian,
target tersebut bukan berarti tidak mungkin untuk dicapai. AMKRI berharap
dengan optimisme tersebut pemerintah hendaknya mampu mendukung
tumbuh kembangnya usaha furnitur di Indonesia.
Seperti diuraikan dalam Bab VI, di tengah melesunya ekspor Indonesia ke
sejumlah negara tujuan seperti seperti Jepang, Perancis, Belanda dan Jerman
dalam lima tahun terakhir (Trademap, 2016), Indonesia harus bisa mencari
pasar tambahan/alternatif ke pasar-pasar baru yang selama ini belum begitu
diperhatikan (belum menjadi pasar utama). Selain melihat peluang pasar
ekspor, Indonesia juga perlu memperhatikan besarnya potensi pasar dalam
negeri dengan memperhatikan selera dan permintaan konsumen domestik.
Dalam hal produksi, pola konsumsi dan selera konsumen harus bisa
dicermati oleh produsen furnitur di Indonesia. Dalam upaya mendorong
industri furnitur selain menyangkut ketersediaan bahan baku, SDM, teknologi,
ada hal lain yang harus terus ditumbuhkembangkan yaitu kreasi dan inovasi.
Produsen harus bisa melakukan inovasi produk melalui inovasi penggunaan
bahan (tidak hanya mengandalkan kayu saja, tetapi juga kombinasi bahan
baku lainnya sesuai selera konsumen).
11
Disampaikan pada FGD Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Furnitur pada tanggal 20 April 2017 di Badan Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan.

107
Zamroni Salim

Di sisi lain dalam kaitannya dengan inovasi produksi adalah desain produk
itu sendiri. Sebenarnya, produk furnitur Indonesia mempunyai keunggulan
dalam sisi desain yang unik (seperti diuraikan dalam Bab III), namun desain
unik tersebut belum didukung dengan adanya efisiensi dalam produksi dan
pembaruan teknologi dalam produksi. Akibat dari kealfaan dukungan ini
menyebabkan harga jual produk menjadi mahal. Bila dalam era sebelum
internet, konsumen tidak melakukan perubahan selera terhadap produk baru
dengan cepat, tetapi dengan adanya dukungan teknologi informasi sekarang,
perubahan selera konsumen lebih cepat. Perubahan selera ini juga harus
diikuti dengan inovasi dalam produksi.
Dalam sebuah acara Focus Group Discussion (FGD) di Kementerian
Perdagangan dengan mengundang praktisi bisnis furnitur di Indonesia dan
juga ritel modern, dikatakan bahwa pada awalnya konsumen Indonesia
tidak menuntut adanya perubahan desain yang cepat, akan tetapi sekarang
ini mereka menuntut perubahan desain yang cepat, bahkan kurang satu
tahun desain tersebut sudah berubah. Perubahan ini juga harus diikuti oleh
perubahan desain produksi. Perubahan desain produksi juga memerlukan
kreativitas dan inovasi dari bahan yang digunakannya.
Dalam hal penjualan, produsen furnitur di Indonesia harus bisa
memanfaatkan teknologi yang ada sekaligus mampu memanfaatkan
perubahan pola/cara beli konsumen yang mulai menggunakan cara belanja
online (online shopping), seperti diuraikan dalam Bab IV). Dalam hal ini,
produsen/pemasar furnitur dituntut untuk tidak hanya mengandalkan penjualan
dengan metode tradisional (dengan membuka showroom/outlet), membuka
gerai pada supermarket besar tetapi juga membuka showroom/outlet online.
Penjualan online ini bisa dilakukan dengan membuat situs sendiri ditambah
dengan menyewa atau mengiklankan produk pada e-commerce yang sudah
ada (terkenal di mata publik) seperti Tokopedia, Bukalapak, OLX dan lainnya;
baik e-commerce lokal maupun internasional. Ada interaksi yang lebih
dengan menggunakan jalur online diantaranya yaitu baik produsen maupun
konsumen mempunyai kesempatan yang lebih untuk melihat produk yang
beredar. Sementara itu, bagi produsen juga bisa memantau produk apa yang
menjadi andalan pesaingnya.
Berbagai langkah bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
mendukung tumbuh kembangnya industri dan perdagangan furnitur di
Indonesia. Ada sejumlah hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah
(FGD Kemendag, 2017) dengan membentuk sentra pemasaran furnitur.
Sentra pemasaran ini tidak hanya menjual atau memamerkan produk furnitur
tertentu/berbahan tertentu, tetapi menampilkan seluruh jenis furnitur yang

108
Inovasi Dalam Produksi dan Pemasaran Produk Furnitur Indonesia

diproduksi di Indonesia. Sentra pemasaran ini juga harus bisa menampung


produk dari produsen dengan berbagai skala.
Dengan adanya sentra pemasaran ini, diharapkan ada semacam one
stop shopping, dimana pembeli bisa menemukan berbagai produk yang
diinginkannya. Sentra furnitur ini ditargetkan menjadi tempat pembeli, tidak
hanya pembeli individu, pembelian dengan partai kecil) tetapi juga perusahaan
(partai besar). Sentra furnitur ini juga bisa sebagai sarana promosi ekspor
dengan menarik pembeli asing (importers) untuk melakukan pemesanan
langsung kepada produsen di dalam negeri.
Dalam pembentukan sentra furnitur ini pemerintah bisa menggandeng
perusahaan swasta dalam menyiapkan lahan dan juga pengelolaannya.
Para pelaku bisnis memerlukan dukungan pemerintah dalam hal kemudahan
proses perizinan, fasilitas/kemudahan dalam berdagang di sentra tersebut
(bisa berupa dukungan kredit, potongan pajak dan lainnya), sekaligus upaya
pemerintah untuk ikut mendorong pemasaran melalui berbagai sarana/
institusi yang dimiliki oleh pemerintah.
Bila dalam produksi disertai kemampuan inovasi dari sisi produksi dan
pemasaran, maka produsen furnitur lokal bisa menguasai pasar dalam negeri
yang begitu besar. Karakter konsumen (secara umum) Indonesia yang lebih
cenderung menjadikan harga sebagai pertimbangan utama hendaknya bisa
dimengerti dengan lebih baik oleh produsen furnitur Indonesia dibandingkan
dengan produsen luar negeri. Kembali pada keunggulan Indonesia dengan
sumber daya alam (kayu, dan lainnya) yang melimpah, dan penduduk yang
besar (pasar yang besar), Indonesia hendaknya bisa memanfaatkan dua
keunggulan tersebut secara bersama.

DAFTAR PUSTAKA
AMKRI (2015). Roadmap Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia.
Badan Pusat Statistik. (2016). Ekspor Impor Indonesia. BPS: Jakarta
Detik (2016, 25 Maret). 200 Pengusaha Mebel dari China Ingin Relokasi
Pabrik ke RI. Diunduh tanggal 5 Mei 207 dari https://finance.detik.com/
berita-ekonomi-bisnis/3173156/200-pengusaha-mebel-dari-china-ingin-
relokasi-pabrik-ke-ri.
Technavio (2016). Global Furniture Market 2016-2020. Diunduh tanggal 15
September 2016 dari http://www.technavio.com/report/global-general-
retail-goods-and-services-furniture-market.
Trademap. (2016). Data Ekspor dan Impor data Dunia http://www.trademap.
org. Di akses tanggal 7 September 2016.

109
Zamroni Salim

Focus Group Discussion (FGD), Kementerian Perdagangan (20 April, 2017).


Tantangan dan Kendala Industri dan Perdagangan Produk Furnitur
Indonesia.
HKTDC Research.(2016). China’s Furniture Market. Diunduh tanggal 19
Juli 2016 dari http://china-trade-research.hktdc.com/business-news/
article/China-Consumer-Market/China-s-Furniture-Market/ccm/
en/1/1X000000/ 1X002L63.htm
Yang,Hongqiang; Chunyi Ji; Ning Nie and Yinxing Hong. (2012). China’s
wood furniture manufacturingindustry: industrial cluster and export
Competitiveness. MPRA Paper No. 44282. Diunduh dari https://mpra.
ub.uni-muenchen.de/44282/.

110
Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

INDEKS

G
A
Global Value Chain (GVC), 30, 34
ACE Hardware, 37, 107
ASEAN–China Free Trade Agreement
H
(ACFTA), 37
High Density Fibreboard (HDF), 11
ASEAN Economic Community (AEC), 43
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan
ASEAN Framework Agreement for The
Indonesia (HIMKI), 6, 22, 34, 41, 43,
Integration of Priority Sectors, 99
65, 87
Asosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO), 54,
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 10
55, 64, 81, 87
Hutan Kemasyarakatan (HKm), 10
Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia
Hutan Desa (HD), 10
(AMKRI), 1, 5, 22, 33, 86, 87, 107

I
B
IKEA, 37, 43, 44, 45, 47, 49, 50, 54, 57, 63,
block board, 10, 11
96, 97, 98, 101, 103, 106, 107
illegal logging, 24, 25, 28, 80, 97
C
Informa, 37, 48, 49, 50, 54, 61, 63, 102,
Cluster, 38, 41, 52, 62, 110
103, 107, 108
Colllege Product Furniture, 61

J
D
JYSK, 44, 49, 50
design center, 61
due diligence, 94
K
knock down, 14, 57, 58, 65, 95, 96, 104
E
E-commerce, 4, 6, 49, 51, 94, 95, 99, 100,
L
101, 102, 104, 108
Ligna, 57, 58, 96

F
Forest Law Enforcement, Governance, and
M
Trade (FLEGT), 81
Malaysian Furniture Council (MFC), 88
Forest Law Enforcement Governance and
medium density fibreboard (mdf), 10, 11
Trade Voluntary Partnership Agreement
Melody Furnitur, 53, 65
(FLEGT-VPA), 82
multi store retailer, 30
free on board (FOB), 46

111
Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

O S
Olympic, 41, 44, 47, 49, 57, 58, 96, 106 Sawmill, 31
one store retailer, 30 Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), 5,
Otazen, 53, 64 25, 41, 63, 80, 81, 82, 94, 106
solid wood, 10, 20, 55
P specialized medium buyer, 30
particle board, 10-12 stainless Steel, 16
Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB), 20 T
Plywood, 10, 11 Timber Legality Assurance Standard
(TLAS), 80
R Top Brand Index, 57, 58, 65, 96
Revealed Comparative Advantage (RCA),
77 V
Rotan Mentah, 13, 32, 70, 85 Vinoti, 49
Rotan Asalan, 13, 70 Vivere, 49
Rotan Natural Washed & Sulphured (W/S),
13 Z
Rotan Poles, 13 Zara Home, 44, 49, 50

112
Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

Zamroni Salim
Zamroni Salim adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E),
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1998. Zamroni memperoleh
gelar S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi
Universitas Airlangga, Surabaya; Gelar S2 diperoleh dari Massey University,
New Zealand untuk bidang perdagangan internasional, tahun 2003; dan
Gelar PhD diperoleh dari the Graduate School of International Development
(GSID), Nagoya University, Jepang tahun 2009 dalam bidang international
economic and development. Area penelitian yang menjadi bidang kajian
adalah regionalism, economic integration and development, ASEAN and East
Asian Studies. Aktif sebagai anggota Dewan Editor di beberapa jurnal ilmiah
seperti Indonesia Economic and Business Studies (RIEBS) dan Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan (BILP) Kementerian Perdagangan. Zamroni Salim juga
merupakan peneliti senior pada the Habibie Center (THC) sejak 2009. Selain
melakukan penelitian, yang bersangkutan juga menjadi tenaga pengajar
di Department of International Relations, President University, Cikarang
Indonesia.

Ernawati Munadi
Ernawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman
lebih dari 10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai Konsultan,
Dosen dan Peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai Konsultan
sejak tahun 2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan
Indonesia (ITAP) di bawah naungan USAID sebagai ahli di bidang Ekonomi
Perdagangan. Sejak itu penulis bekerja sebagai konsultan di berbagai proyek
yang dibiayai oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia, AusAid,
USAID, dan Uni Eropa. Hingga kini masih aktif menjadi dosen di Universitas
Wijaya Kusuma. Penelitian yang menjadi keahliannya adalah regionalism,
modeling dalam pasar komoditi serta perijinan perdagangan (trade license)
dan kebijakan bukan tarif (non-tariff measures) yang telah ditekuninya dalam 7
tahun terakhir. Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian
baik nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang
Agronomi Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master
di bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia pada
tahun 1997; dan gelar Ph.D di bidang Ekonomi Internasional dari Universitas
Putra Malaysia pada tahun 2004.

113
Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

Riska Pujiati
Riska Pujiati adalah Analis Kebijakan pada Pusat Kebijakan Perdagangan
Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Riska memperoleh
gelar S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), Fakultas
Ekonomi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Gelar Master of Science
in Sustainable International Agriculture area of specialitation International
Agribusiness and Rural Development Economics didapatkan dari program
double degree antara Institut Pertanian Bogor dan University of Goettingen,
Jerman pada tahun 2014. Saat ini penulis menekuni penelitian di bidang
perdagangan dalam negeri dengan fokus perlindungan konsumen dan tertib
niaga serta spesialis bagi komoditas beras. Area lain yang menjadi minat
penelitiannya adalah international trade, sustainable development, and
evidence based policy making.

Fitri Tri Budiarti


Fitri Tri Budiarti adalah pranata komputer pada Pusat Pengkajian Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2009. Fitri
memperoleh gelar S1 Jurusan Informatika dari Universitas Gunadarma pada
tahun 2003 dan gelar S2 Magister Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia,
Depok pada tahun 2016. Selain menekuni bidang pengolahan data, Fitri
juga tertarik dengan dunia penelitian, khususnya yang berhubungan dengan
kebijakan perdagangan internasional. Saat ini Fitri menekuni area penelitian
bidang bilateral, kerjasama perdagangan Internasional.

Dian Dwi Laksani


Dian Dwi Laksani adalah peneliti pada Pusat Pengkajian Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2010. Dian
memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari
Universitas Diponegoro pada tahun 2006 dan gelar S2 Jurusan Ilmu Ekonomi
dari Universitas Indonesia, pada tahun 2009. Area penelitian yang menjadi
bidang kajian adalah kebijakan perdagangan, khususnya perdagangan
internasional. Penulis juga banyak mengikuti berbagai pelatihan yang
diselenggarakan di dalam dan luar negeri terkait metode pengolahan data
dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian di bidang perdagangan.
Penulis saat ini aktif dalam kegiatan penelitian, baik yang diselenggarakan
oleh BPPP maupun pada proyek penelitian kerjasama antara Kementerian

114
Bunga Rampai Info Komoditi Furnitur

Perdagangan dengan lembaga internasional. Beberapa tulisannya di bidang


Ekonomi Perdagangan (Economics of Trade) juga telah diterbitkan pada
jurnal ilmiah nasional yaitu pada Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP)
Kementerian Perdagangan serta jurnal lainnya.

Selfi Menanti
Selfi Menanti adalah Analis Kebijakan pada Pusat Pengkajian Perdagangan
Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2015. Selfi memperoleh gelar S1
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Study Pembangunan (IESP) dari Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi(STIE) Port Numbay Jayapura pada tahun 2006. Saat ini Selfi
menekuni analisis di bidang pelaku dan jasa perdagangan.

Niki Barenda Sari


Niki Barenda Sari adalah analis perdagangan pada Pusat Pengkajian
Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Niki
memperoleh gelar S1 Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia pada tahun
2012 dan saat ini tengah menempuh pendidikan Strata 2 (S2) pada Program
Pascasarjana Ilmu Ekonomi (PPIE) Universitas Indonesia (UI). Area penelitian
yang menjadi minat penulis adalah perdagangan luar negeri, khususnya yang
terkait dengan pengamanan dan hambatan perdagangan.

115

Anda mungkin juga menyukai