Anda di halaman 1dari 30

Studi Literatur

Masalah Kesehatan Pada Pekerja Rumah Sakit

Disusun oleh:

Annastasia Adila Putri 03012026

Claresta Nareswari 03012062

Dethi Yuliani 03012069

Dwi Nimas 03012087

Mega Martin 03011184

Nike Nindiyati 03011215

Pembimbing:

dr. Lie T. Merijanti S, M.KK


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 27 AGUSTUS- 29 SEPTEMBER 2018

ii
LEMBAR PENGESAHAN

STUDI LITERATUR DENGAN JUDUL


“Masalah Kesehatan Pada Pekerja Rumah Sakit”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat


untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Hygiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti
Periode 27 Agustus – 29 September 2018

Jakarta, Agustus 2018

dr. Lie T. Merijanti S, M.KK

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai ilmu kesehatan dan
keselamatan kerja yang berjudul “Masalah Kesehatan Pada Pekerja Rumah Sakit”
Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Hygiene Perusahaan
Dan Keselamatan kerja. Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan
penyelesaian makalah, terutama kepada:

1. dr. Lie T. Merijanti S, M.KK selaku pembimbing dalam makalah ini.

2. Rekan – rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Dan Keselamatan


Kerja.

Kami menyadari dalam penyelesaian makalah ini masih banyak terdapat


kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan
makalah ini sangat kami harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang ilmu kesehatan dan
keselamatan kerja.

Jakarta, Agustus 2018

Penyusun

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
2.1 Tenaga Kesehatan ......................................................................................... 3
2.1.1 Definisi ................................................................................................ 3
2.1.2 Hak-hak Tenaga Kesehatan ................................................................ 3
2.2 Hazard Di Tempat Kerja ............................................................................. 4
2.3 Stres .............................................................................................................. 9
2.4 Low Back Pain .............................................................................................. 14
2.5 Infeksi .......................................................................................................... 15
2.6 Kecelakaan kerja pada Perawat .................................................................... 16
BAB III KESIMPULAN & SARAN ......................................................................... 19
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 19
3.2 Saran ........................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 20

v
BAB I

PENDAHULUAN

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) rumah sakit di Indonesia


secara umum diperkirakan termasuk rendah.1 Pada tahun 2005 Indonesia menempati
posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand.
Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing rumah sakit Indonesia di dunia
internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar global
karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja
yang rendah).1 Padahal kemajuan rumah sakit sangat ditentukan peranan mutu tenaga
kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu
memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada rumah sakit. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.2
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja.2
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi
bagi pekerja dan rumah sakit, tetapi juga dapat mengganggu proses penyembuhan dan
pengobatan secara menyeluruh, yang pada akhirnya akan berdampak pada
masyarakat luas.3 Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di
kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan
peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya
kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai.3

6
Menurut American Nursing Association, sebagian besar responden
dilaporkan hal-hal sebagai berikut dengan resiko kesehatan kerja yang dihadapi
perawat, yaitu risiko dan bahaya psikososial, efek stres akut dan kronis karna terlalu
banyak bekerja, kedua resiko dan bahaya ergonomis, seperti nyeri pinggang dan
cedera punggung, dan ketiga risiko dan bahaya biologis seperti, terinfeksi dengan
patogen yang ditularkan melalui darah dari jarum suntik atau pasien.4
Stres adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang akibatnya
dapat mengganggu keseimbangan manusia. Pada tahun 2011-2012, diperkirakan
terdapat 1,1 juta orang di U.K bertahan dari masalah kesehatan yang disebabkan oleh
pekerjaan mereka.4 Dampak yang terjadi yaitu kehilangan 27 juta hari kerja dengan
kerugian dana sebesar 13,8 juta euro. Hal yang paling sering terjadi adalah gangguan
jiwa sebanyak 59% dari seluruh kasus. Kemudian, diikuti dengan gangguan
musculoskeletal sebesar 28% dan penyakit yang berhubungan dengan kulit sebanyak
5%.5
Low Back Pain (LBP) adalah salah satu penyakit muskuloskeletal yang
paling sering terjadi pada perawat di antara semua profesional kesehatan.6 LBP
menempati urutan kedua sebagai alasan untuk kehilangan tenaga kerja dan biaya
kesehatan setelah sakit kanker dan itu adalah masalah kesehatan kerja umum yang
mengakibatkan hambatan fisik, kognitif, sensorik, emosional dan perkembangan yang
serius bagi perawat.6 Tinjauan pustaka mengungkapkan bahwa frekuensi LBP pada
perawat berkisar antara 40% dan 97,9% dan lebih sering terjadi pada perawat bila
dibandingkan dengan individu lain dalam masyarakat. Ada berbagai faktor risiko fisik
dan psikososial yang menyebabkan LBP pada perawat.7

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tenaga Kesehatan

2.1.1 Definisi Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.1
Rumah sakit sebagai sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya, dan
juga rumah sakit merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan masyarakat salah
satu bagian integral dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang harus berjalan
terpadu untuk mencapai tujuan pembangunan, yaitu terciptanya kesejahteraan
masyarakat.2
Kebutuhan akan layanan rumah sakit yang bermutu semakin meningkat
seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan derajat kesehatan
masyarakat.2
2.1.2 Hak-hak tenaga Kesehatan

Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga


Kesehatan, tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak : 1,2

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai


dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur
operasional;

8
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari penerima pelayanan
kesehatan atau keluarganya;
c. Menerima imbalan jasa;
d. Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta
nilai-nilai agama;
e. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesi;
f. Menolak keinginan penerima pelayanan kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan standar profesi, kode etik, standar pelayanan, standar
prosedur operasional, atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

2.2 Hazard Tempat Kerja

Suatu bahaya kesehatan akan muncul bila seseorang kontak dengan sesuatu
yang dapat menyebabkan gangguan bagi tubuh, ketika terjadi pajanan (exposure)
yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit.3,4 Potensi bahaya adalah sesuatu
yang berpotensi untuk terjadinya insiden yang berakibat pada kerugian sedangkan
risiko adalah kombinasi dan konsekuensi suatu kejadian yang berbahaya dan
peluang terjadinya kejadian tersebut.3 Potensi bahaya kesehatan di tempat kerja
berasal dari lingkungan kerja antara lain faktor kimia, faktor fisik, faktor biologi,
faktor ergonomis dan faktor psikologi.Bahaya faktor-faktor tersebut akan dibahas
secara rinci lebih lanjut di bawah ini:5

9
Gambar 1. Contoh-contoh Hazard pada tempat kerja

1. Bahaya Faktor Kimia


Risiko kesehatan timbul dari berbagai bahan kimiayang memiliki sifat
beracun yang memasuki aliran darah dan menyebabkan kerusakan pada sistem
tubuh dan organ lainnya. Bahan kimia berbahaya dapat berbentuk padat,
cairan, uap, gas, debu, asapatau kabut dan dapat masuk ke dalam tubuh
melalui tiga cara utama antara lain:8
a. Inhalasi (menghirup)
b. Penyerapan ke dalam kulit atau kontak invasif

2. Bahaya Faktor Fisik


Faktor fisik adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika antara lain
kebisingan, penerangan, getaran, iklim kerja, gelombang mikro dan sinar ultra
ungu. Faktor-faktor ini mungkin bagian tertentu yang dihasilkan dari proses
produksi atau produk samping yang tidak diinginkan.7,8

3. Bahaya Faktor Biologi


Faktor biologi penyakit akibat kerja sangat beragam jenisnya. Banyak
menghadapi berbagai penyakit yang disebabkan virus, bakteri atau hasil dari

10
pertanian. Agak berbeda dari faktor-faktor penyebab penyakit akibat kerja
lainnya, faktor biologis dapat menular dari seorang pekerja ke pekerja
lainnya.3,4 Usaha yang lain harus pula ditempuh cara pencegahan penyakit
menular, antara lain imunisasi dengan pemberian vaksinasi atau suntikan,
mutlak dilakukan untuk pekerja-pekerja di Indonesia sebagai usaha kesehatan
biasa. Imunisasi tersebut berupa imunisasi dengan vaksin cacar terhadap
variola, dan dengan suntikan terhadap kolera, tipus dan para tipus perut. Bila
memungkinkan diadakan pula imunisasi terhadap TBC dengan BCG yang
diberikan kepada pekerja-pekerja dan keluarganya yang reaksinya terhadap uji
Mantaoux negatif, imunisasi terhadap difteri, tetanus, batuk rejan dari
keluarga-keluarga pekerja sesuai dengan usaha kesehatan anak-anak dan
keluarganya, sedangkan di Negara yang maju diberikan pula imunisasi dengan
virus influenza.3

4. Bahaya Faktor Ergonomi dan Pengaturan Kerja


Ergonomi merupakan istilah dari bahasa yunani yaitu ergo (kerja) dan nomos
(hukum) yang dapat diartikan sebagai hukum atau ilmu tentang pekerjaan.
Menurut pusat kesehatan Republik Indonesia, ergonomik adalah ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka.
Prinsip utama dalam ergonomik adalah menyerasikan pekerjaan dengan
pekerja atau fitting the job to the worker.4
Risiko potensi bahaya ergonomi akan meningkat:
 dengan tugas monoton, berulang atau kecepatan tinggi
 dengan postur tidak netral atau canggung
 bila terdapat pendukung yang kurang sesuai
 bila kurang istirahat yang cukup.
Pekerja yang bekerja seperti kondisi tersebut mempunyai potensi mengalami
gangguan muskuloskeletal, kelelahan dan risiko terjadinya kecelakaan kerja.

11
Pada tahun 2003 WHO melaporkan musculoskeletal disorder adalah
penyakit akibat kerja yang paling banyak terjadi dan diperkirakan 60% dari
semua penyakit akibat kerja, sedangkan di Indonesia mempunyai gangguan
kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan diantaranya adalah gangguan
musculoskeletal sebanyak 16 %, gangguan kadiovaskular 6%, kulit 1,3 %, dan
gangguan THT.4 Musculoskeletal disorderadalah salah satu penyakit akibat
posisi atau sikap kerja yang salah, pengulangan (repetitive) mengakibatkan
kerusakan struktur pada tendon, otot, tulang dan persendian. Musculoskeletal
disorder menunjukan bahwa bagian otot yang paling sering di keluhkan
meliputi otot leher, tangan, jari, pinggang, dan otot – ototbagian bawah.4,5
Kelelahan adalah proses yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan,
kapasitas atau kinerja sebagai akibat dari aktivitas kerja. Kelelahan kerja dapat
disebabkan karena adanya shift kerja. Perawat yang mengalami kelelahan
kerja maka kinerjanya tidak akan maksimal dan akan menurunkan
produktivitas perawat dalam memberikan pelayanan.6 Kelelahan bisa
disebabkan oleh sebab fisik ataupun tekanan mental. Salah satu penyebab
fatique adalah ganguan tidur (sleep distruption) yang antara lain dapat
dipengaruhi oleh kekurangan waktu tidur dan ganguan pada circadian rhythms
akibat jet lag atau shift kerja.7
Stres kerja adalah tanggapan – tanggapantubuh pekerja terhadap stressor
yang berada di tempat kerja. Tanggapan tersebut dapat berupa fisik,
psikologis, dan perilaku. Pekerja wanita berisiko lebih tinggi mengalami stres
kerja daripada pekerja laki – laki. Stres kerja ini tampak dari berbagai gejala
antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit
tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup,
tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan dan gangguan
kesehatan lainnya.8

a. Shift Kerja dengan Kualitas Tidur

12
Shift kerja merupakan pekerjaan yang dibentuk diluar jam kerja biasa.
Shift kerja mempunyai efek terhadap pekerja yaitu efek fisiologis, psikososial,
kinerja, kesehatan, dan efek terhadap keselamatan kerja.7 Shift kerja dirumah
sakit yang ada di indonesia secara umum terdiri dari tiga shift yaitu: shift pagi
bekerja selama 7 jam mulai jam 7.00-14.00, shift sore bekerja 7 jam mulai
jam 14.00-21.00, dan shift malam bekerja 10 jam mulai 21.00-7.00. Dari
pembagian ketiga shift kerja tersebut kerja shift malam merupakan resiko
lebih tinggi.7 Pekerja shift malam memiliki resiko 28% lebih tinggi
mengalami cedera atau kecelakaan. Selain itu shift kerja malam dapat
mengurangi kemampuan kerja, meningkatnya kesalahan dan kecelakaan,
menghambat hubungan sosial dan keluarga, adanya faktor resiko pada saluran
pencernaan, system syaraf, jantung dan pembuluh darah serta terganggunya
waktu tidur.8 Hal ini bisa menyebabkan seseorang itu akan mengalami
gangguan tidur.8 Tidur merupakan salah satu kebutuhan primer yang menjadi
syarat dasar bagi kelangsungan hidup manusia.

Gangguan tidur dapat menimbulkan beberapa efek pada manusia. Salah


satu hal yang menjadi perhatian adalah 60-80% pekerja dengan system kerja
shift mengalami gangguan kualitas tidur. Salah satu hal yang menjadi
perhatian adalah 60-80% pekerja dengan system kerja shift mengalami
gangguan kualitas tidur .8 Hal ini didukung dengan sebuah studi yang
dilakukan pada sejumlah 95 responden dikelompokan menjadi 2 yaitu
kelompok perawat shift sejumlah 68 responden dan kelompok perawat non
shift sejumlah 27 responden. Pada uji Mann Whitney didapatkan nilai Z pada
penelitian ini yaitu -3,483. Dengan uji Mann-Whitney diperoleh angka
significancy 0,0001. Karena nilai p<0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima
sehingga dapat disimpulkan bahwa “Terdapat perbedaan kualitas tidur
perawat shift unit rawat inap dan perawat non shift unit rawat jalan” dan hasil
dari penelitian menunjukan bahwa sebesar 64.7% perawat di unit rawat inap

13
memiliki kualitas tidur buruk dan sebesar 81.5% perawat di unit rawat jalan
memiliki kualitas tidur baik dengan nilai pvalue<0.05 dan nilai z = -3.483.9

Kelompok Z P value
Perawat Shift di -3,483 0,0001
Unit Rawat Inap
Perawat Non Shift
di Unit Rawat
Jalan
Tabel 1. Hasil Uji Mann Whitney Kualitas TidurPerawat di Unit
Rawat Inap dan Unit Rawat Jalan RSUD Tugurejo Semarang (n=95)

Sedangkan hasil uji statistik antara shift kerja dan gangguan pola tidur
di peroleh bahwa pada shift ada 11 orang atau 91,7% yang tidak
mengalami gangguan pola tidur sedangkan pada non shift hanya 1 orang
atau 8,3%. Pada shift sebanyak 119 orang atau 84,3% mengalami
gangguan pola tidur sedangkan pada non shift berjumlah 22 orang atau
15,6%. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan pola tidur terbanyak yaitu
pada pekerja shift. Berdasarkan uji statistik dengan uji fisher didapatkan
nilai signifikan p value 0,434 yang berarti tidak terdapat hubungan antara
shift kerja dengan gangguan pola tidur pada perawat instalasi rawat inap di
RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung 2013.8,10

b. Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja


Bekerja dengan sistem shift dapat mengakibatkan kelelahan kerja, karena
bekerja dengan sistem shift menyebabkan suatu perubahan ritme
sirkardian (circardian rhytm).9 Ritme sirkardian merupakan pola fungsi
tubuh yang berjalan secara ritmik selama 24 jam. Ritme sirkardian inilah
yang mengatur fungsi-fungsi tubuh yang meningkat pada siang hari dan
menurun pada malam hari termasuk temperatur tubuh, detak jantung,

14
tekanan darah, kemampuan mental, produksi adrenalin, dan kemampuan
fisik. Perubahan jadwal kegiatan dari siang ke malam pada pekerja shift
menyebabkan kacaunya pola sirkardian yang berakibat terganggunya
berbagai fungsi tubuh, termasukmenimbulkan kelelahan.9 Hal ini
didukung dengansebuah studi yang dilakukan pada seluruh perawat shift
Unit Rawat Inap Rumah Sakit Bukit Asam yang berjumlah 31 orang
dimana menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara shift kerja dan
kelelahan kerja. Berdasarkan uji Chi-square diperoleh nilai P value =
0,034 yang menunjukkan ada hubungan antara shift kerja dengan

kelelahan kerja.
 Pada penelitian tersebut didapatkan 86,7% perawat pada

shift malam mengalami kelelahan, perawat shift pagi dan shift sore yang
mengalami kelelahan sebanyak 43,2%.8,9

Tabel 2. Hasil hubungan antara shift kerja dan kelelahan Kerja

Perawat unit rawat inap RS Bukit Asam

15
2.3 Stress

Stres pada dasarnya dapat memicu perubahan fisik,psikologis, dan perilaku pada
tubuh. 10 Stres kerja adalah respons dari bahaya fisik dan emosional yangterjadi ketika
persyaratan ataupun tuntutan kerja tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya, atau
kebutuhan dari pekerja.Situasi dan kondisi di tempat kerja dapatmenjadi sumber yang
dapat menimbulkan stres.11 Setiap aspek di tempat bekerja seperti rumah sakit,dapat
memicu munculnya stres kerja.12 Hakikatnya stres bukanlah hal yang selalu negative
atau menimbulkan dampak buruk bagi tenaga medis. Pada situasi tertentu, stres justru
dapat menjadi pemicudalam meningkatkan kinerja dan prestasi di tempat kerja. Stres
di tempat kerja sering kali dapat berguna meningkatkan kinerja ketika muncul
persaingan yang baik diantara bidan, namun stres juga dapat menjadi penghambat
dalam meningkatkan kinerjadan prestasi jika tidak dikelola dengan baik. 13
Jika tidak ada stress, hal ini justru dapat berdampak tidak baik karena
tantangan dalam pekerjaan rendah dan tenaga medis tidak terpacu untuk bekerja
semaksimal mungkin. Stres tingkat tinggi dan rendah, keduanya menghasilkan
produktivitas kerja yang rendah. Stres kerja dalam jumlah normal dapat mengarah
pada gagasan inovatif dan konstruktif.13 Dengan kata lain, terdapat kadar optimal
stres kerja (tidak terlalu banyak dan juga tidak terlalu sedikit) yang dapat membuat
seseorang berada dalam posisi dimana produktivitas yang diperoleh dapat maksimal.
Gambaran stres kerja yang didapatkan pada penelitian ini belum dapat melihat stress
kerja yang berdampak positif (eustress) atau negatif (disstress) bagi kinerja bidan di
rumah sakit.13
Stres adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang akibatnya
dapat mengganggu keseimbangan manusia. Pada tahun 2011-2012, diperkirakan
terdapat 1,1 juta orang di U.K bertahan dari masalah kesehatan yang disebabkan oleh
pekerjaan mereka. Dampak yang terjadi yaitu kehilangan 27 juta hari kerja dengan
kerugian dana sebesar 13,8 juta euro.14 Hal yang paling sering terjadi adalah
gangguan jiwa sebanyak 59% dari seluruh kasus. Kemudian, diikuti dengan gangguan

16
musculoskeletal sebesar 28% dan penyakit yang berhubungan dengan kulit sebanyak
5%. Diagnosis masalah kesehatan pada dokter di laporkan oleh The Health and
Occupation Research Network (THOR) meliputi stres, burnout (stress karena
kelelahan kerja), cemas dan depresi, penyalahgunaan alkohol dan obat, kecelakaan
kerja (tertusuk jarum, dsb), cedera musculoskeletal, kelainan kulit dan pernafasan,
gangguan pendengaran karena bising dan infeksi nosocomial.13,14
Gangguan jiwa yang meliputi stress karena kelelahan kerja dilaporkan
memiliki keterbatasan kerja yang sangat besar, isu manajemen, ketidak puasan
terhadap pekerjaan dan keulitan terhadapa kasus klinis. Menurut Whitey et al
dilaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan statistic stress dengan kerja terhadap
dokter UGD di USA, UK dan Autralia.15 Dalam perbandingan dokter umum dengan
konsultan Rumah Sakit di Scotland, ditemukan bahwa konsultan Rumah Sakit
mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi. Hal ini dilihat dari aspek manajemen.
Dan sebaliknya, tingkat kepuasan kerja konsultan lebih tinggi daripada kolega dokter
umum. Dapat disimpulkan bahwa dokter umum pria dalam grup memiliki tingkat
stress yang tinggi berdasarkan tingkat kepuasan kerja yang rendah.13 Sehingga
berhubungan dengan penurunan motivasi kerja seperti dikenal, prestasi kerja dan
pengembangan diri.14
Terdapat 78% responden mengatakan bahwa insiden stress dilaporkan
berbeda berdasarkan tingkatan kelas pekerja atau spesialis. Konsultan psikiatri
dilaporkan mengalami stress karena kelelahan kerja dan depresi berat dibandingkan
dengan kolega dokter dan bedah karena jam kerja yang lebih sedikit. Dikatakan
bahwa junior psikiatri lebih stress dan lelah daripada kolega senior.14
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) melaporkan
bahwa perawat adalah profesi berisiko sangat tinggi untuk terjadinya stres.14
Sumber stress kerja pada perawat adalah menghadapi kematian pasien, konflik
dengan dokter atau rekan sejawatnya, kelelahan fisik, emosional, dan mental dalam
menghadapi pasien maupun keluarganya, beban kerja berlebih, gaji tidak sesuai, dan
kejenuhan dalam melakukan rutinitas.13,14

17
Menurut penelitian yang berjudul Hubungan Antara Stres Kerja dan
Psikopatologi Pada Perawat Rumah Sakit Atma Jaya mengatakan, terdapat hubungan
bermakna antara faktor stres kerja, yaitu konflik peran dan beban kerja berlebih
secara kualitatif dengan psikopatologi pada perawat RS Atma Jaya.14 Psikopatologi
yang paling sering ditemukan adalah obsesif kompulsif, sensitivitas interpersonal,
dan depresi. Namun, tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor stres kerja,
yaitu tanggung jawab, pengembangan karier, beban kerja berlebih secara kuantitatif,
dan ketidakjelasan peran.15

Sebagian besar responsen penelitian tersebut dengan psikopatologi adalah


perempuan, di kelompok umur 18-35 tahun, dan sudah menikah. Perawat yang sudah
menikah memiliki risiko lebih besar terjadinya stres dan psikopatologi, karena
masalah yang timbul lebih banyak dan kebutuhan hidup makin meningkat dan pikiran
mereka tidak hanya berfokus pada pekerjaan, namun juga dengan keluarganya. 9
Perawat yang bertugas di ruang rawat inap Rumah Sakit Atma Jaya lebih banyak
dengan psikopatologi positif dibanding perawat yang bertugas di ruang rawat jalan.
Perawat RS Atma Jaya yang bertugas di rawat inap banyak mengalami gangguan
tidur karena seringnya putaran shift malam (akibat jumlah perawat yang kurang),
jumlah pasien yang banyak dan umumnya kondisi penyakit “cukup berat”.10
Berdasarkan penelitian yang di laksanakan di Rumah Sakit Hermana
Lembean pada perawat di Ruang Rawat Inap dengan jumlah respoden 44 perawat, ter
dapat hubungan antara beban kerja dengan stress kerja perawat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Hermana . 9,10

Dan pada penelitian lain yang dilakukan di Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan
Malang yang di lakukan pada 109 yaitu Sebagian besar perawat di ruang rawat inap
Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan Malang memiliki tingkat stres ringan sebanyak
108 orang (99,1%) . Sebagian besar perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Panti
Waluya Sawahan Malang mempunyai kinerja yang tergolong baik (71,5%) .12

18
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja,
yaitu factor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat
berupa kondisi fisik,manajemen kantor maupun hubungan social di lingkungan
pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman
pribadi maupun kondisi social ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan
mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua tidak secara langsung berhubungan
dengan kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup
besar, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya
stres.13
Ada tiga dampak terjadinya stress terhadap individu yaitu perilaku, psikologis, dan
medis. Secara perilakuan, orang akan melakukan perilaku-perilaku yang tidak seperti
biasa misalnya minum-minuman keras dan perilaku tindak kekerasan. Dampak yang
lain adalah dampak psikologis yang mengakibatkan misalnya gangguan pada pola
makan, tidur, ataupun moodnegatif. Dampak pada kesehatan, stres biasanya
menyebabkan tekanan darah tinggi dan sakit kepala.14
Maka dari itu Semakin rendah tingkat stres kerja perawat, maka kinerja perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan cenderung semakin baik. Hal ini sangat
wajar, sebab kinerja seseorang di suatu tempat tentu juga dipengaruhi oleh
kenyamanan lingkungan kerja yang kondusif dan mendukung mereka untuk bisa
bekerja dengan baik.15
Sehingga apabila seorang karyawan merasa tertekan ketika menjalankan
pekerjaannya, maka hal itu dapat menyebabkan stres kerja yang bisa muncul dalam
bentuk sikap yang pesimis, tidak puas, produktifitas rendah dan sering absen. Emosi,
sikap dan perilaku yang mempengaruhi stres dapat menimbulkan masalah kesehatan,
namun ketegangan dapat dengan mudah muncul akibat kejenuhan yang timbul dari
beban kerja yang berlebihan (National Safety Council). Beban kerja yang berlebihan
dapat pula menjadi pemicu stres di tempat kerja sehingga mempengaruhi
kinerja seseorang.15

19
Pada penelitian yang dilakukan oleh Andreas Agung dari UNDIP, didapatkan
3 faktor yang menyebabkan stress pada perawat. Pertama faktor sikap kerja
menunjukan kemampuan individu dalam mengambil sikap ditempatkerja memberi
pengaruh yang cukup besar sebagai penyebab stress kerja.17 Kedua faktor dukungan
sosial interaksi dengan keluarga, dukungan terhadap bahaya menjadi faktor penyebab
stress pada perawat. Faktor ketiga faktor karakteristik, jika terjadi peristiwa tidak
menyenangkan datang, dimana setiap individu selalu mengharapkan peristiwa -
peristiwa kehidupannya yang sesuai dengan keinginannya.18

Dalam keadaan normal, hormon stress dilepaskan dalam jumlah kecil


sepanjang hari, tetapi bila menghadapi stres kadar hormon ini meningkat secara
dramatis. Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun stress
psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kadar kortisol. Awal pelepasan hormon stress dimulai dengan sekresi corticotrophin
releasing factor (CRF).19 Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke
aliran darah, sehingga mencapai kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah
hipotalamus. Di tempat ini CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone
(ACTH) oleh pituitary, yang pada gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis
untuk melepaskan berbagai hormon.19 Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar
di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping mechanism). Bila
stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat,
sehingga rangsang yang diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi kortisol
oleh kelenjar adrenal juga meningkat.19

Apabila kondisi emosional telah stabil, coping mecahnism menjadi positif,


maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus hormon-stres
berulang lagi. Dalam kondisi gelisah, cemas, dan depresi, sekresi kortisol meningkat.
Akibat stresssekresi kortisol dapat meningkat sampai 20kali.19

20
2.4 Low Back Pain
Gangguan kesehatan yang dialami pekerja menurut studi yang dilakukan
terhadap 482 pekerja di 12 kabupaten/kota di Indonesia, umumnya berupa gangguan
Muskuloskeletal Disorders (MSDs) (16%), kardiovaskuler (8%), gangguan syaraf
(6%), gangguan pernafasan (3%) dan gangguan THT (1.5%) (Depkes RI, 2005).
Gangguan kesehatan termasuk gangguan MSDs diantaranya low back injuries
merupakan kasus terbesar yang tercatat untuk klaim kompensasi cedera, disamping
cedera tertusuk, terpotong dan laceration. Low back injuries termasuk dalam kasus
kronis dan akut yang terjadi di antara pekerja rumah sakit yaitu terjadi pada sebagian
besar pekerja wanita.11
Muskuloskeletal Disorders adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan
pada sistem muskuloskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak sempat
sembuh secara sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk
menimbulkan rasa sakit.11 Keluhan sistem muskuloskeletal pada umumnya terjadi
karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat
dengan durasi pembebanan yang panjang. Ada beberapa faktor risiko tertentu yang
selalu ada dan berhubungan atau turut berperan dalam menimbulkan MSDs.12 Faktor-
faktor risiko tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu pekerjaan,
lingkungan dan manusia atau pekerja. Faktor pekerjaan salah satunya postur kerja,
sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian tubuh
bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat
gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Dilakukan penelitian pada
petugas laundry dalam penimbangan linen kotor dimana memiliki factor resiko yang
tinggi disebabkan oleh postur kerja/sikap kerja yang mengalami pemuntiran badan,
pembungkukan sehingga menimbulkan keluhan musculoskeletal disorder. Pekerja
laundry bagian pencucian dimana pencuci berada dalam postur statis pada bagian
tubuh bawah dan mengalami gerakan berulang pada bagian tangan. Dikarenakan pada
saat tubuh berada dalam posisi statis akan terjadi penyumbatan aliran darah sehingga

21
kurangnya oksigen dan tubuh menghasilkan sisa metabolisme seperti asam laktat
yang bertumpuk sehingga menimbulkan rasa nyeri.
Low Back Pain (LBP) adalah salah satu penyakit muskuloskeletal yang paling
sering terjadi pada di antara semua profesional kesehatan terutama perawat. LBP
menempati urutan kedua sebagai alasan untuk kehilangan tenaga kerja dan biaya
kesehatan setelah sakit kanker dan itu adalah masalah kesehatan kerja umum yang
mengakibatkan hambatan fisik, kognitif, sensorik, emosional dan perkembangan yang
serius bagi perawat. Tinjauan pustaka mengungkapkan bahwa frekuensi LBP pada
perawat berkisar antara 40% dan 97,9% dan lebih sering terjadi pada perawat bila
dibandingkan dengan individu lain dalam masyarakat. Ada berbagai faktor risiko fisik
dan psikososial yang menyebabkan LBP pada perawat.20
Pertama faktor resiko individu seperti umur, status ekonomi, gaya hidup.
Kedua faktor resiko pekerjaan seperti periode waktu bekerja meningkatkan terjadinya
LBP. Ketiga faktor resiko fisik seperti membantu kehidupan sehari-hari pasien,
menempatkan mereka di tempat tidur, membawa dan mengangkat mereka atau
membawa peralatan medis dengan berbagai berat dan ukuran, merapikan tempat tidur
berbagai ketinggian juga meningkatkan risiko trauma punggung bawah untuk
perawat. Keempat faktor resiko psikososial frekuensi kecacatan fungsional terkait
dengan LBP lebih pada perawat yang tidak puas pada pekerjaan mereka.21
Pada rumah sakit X faktor penyebab yang dikeluhkan oleh tenaga kerja antara
lain peregangan otot yang berlebihan seperti aktivitas mengangkat, memindahkan dan
mendorong linen kotor, sikap kerja tidak alamiah seperti pergerakan tangan terangkat,
punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat.22 Risiko terjadinya keluhan otot
misalnya aktivitas angkat-angkut dalam pemilahan dan penimbangan linen kotor.
Sehingga pekerja merasa kelelahan dan berakibat ketegangan pada otot-otot sekitar
tubuh dikarenakan posisi pekerja yang kurang nyaman.22 Berdasarkan informasi
berupa wawancara yang didapat dari tenaga kerja bagian pemilahan dan
penimbangan, ketidakserasian antara alat-alat kerja dengan tenaga kerja dapat

22
menyebabkan risiko gangguan sistem muskuloskeletal seperti nyeri pingang, tangan
dan kaki. Sehinga tenaga kerja dalam bekerja cepat merasa kelelahan. 23

2.5 Infeksi

Mikroba yang bukan merupakan flora normal tubuh dapat ditemukan dari
penularan, bisa melalui udara, vektor seperti nyamuk dan kontak langsung dengan
pasien yang terinfeksi. Salah satu tempat yang memungkinkan terjadinya penularan
bakteri adalah rumah sakit. Cara penularannya dapat melalui udara, pengunjung,
kontak langsung dengan pasien yang terinfeksi atau melalui perantara petugas medis
yaitu dokter umum dan dokter spesialis, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas
lainnya 24
Pada penelitian yang dilakukan di Bandar Lampung. Dari 30 sampel
didapatkan dengan jumlah hasil yang normal dan seluruh jenis bakteri yang
ditemukan, bakteri gram positif terbanyak adalah Staphylococcus aureus sebanyak 29
% dan bakteri gram negatif terbanyak berasal dari genus Serratia, yaitu Serratia
liquifacient dan Serratia marcescens sebanyak 11 %. 24
Dari hasil penelitian, jumlah bakteri pada tangan masih tergolong normal.
Banyaknya jumlah bakteri pada tangan tergantung oleh beberapa faktor yaitu, waktu
sejak terakhir cuci tangan, mempengeruhi komunitas bakteri di tangan. Faktor yang
kedua adalah derajat kontaminasi sesuai dengan kontak. Apabila semakin banyak
melakukan kontak baik dengan pasien, dengan petugas medis lain, maupun kontak
dengan alat-alat medis, berarti derajat kontaminasinya semakin tinggi dan jumlah
mikroorganisme juga semakin banyak. Faktor yang ketiga adalah derajat kerentanan
seseorang terhadap mikroorganisme. Semakin tinggi derajat kerentanan seseorang
terhadap mikroorganisme maka akan semakin banyak jumlah mikroorganisme yang
singgah4 dan dilakukanya penerapan cuci tangan merupakan suatu tindakan yang
harus dilakukan oleh petugas medis dan paramedis di rumah sakit. Cuci tangan dapat
menurunkan jumlah kuman di tangan hingga 58%. Hasil penelitian menunjukkan

23
bahwa cuci tangan dengan air mengalir saja tanpa menggunakan antiseptic
meningkatkan jumlah koloni kuman 53,8% dari jumlah semula.24

2.2 Kecelakaan Kerja pada Perawat


American Nursing Association, melaporkan hal-hal berikut sebagai risiko
kesehatan kerja yang dihadapi perawat, yaitu risiko dan bahaya psikososial, seperti
efek stres akut dan kronis dan terlalu banyak bekerja, kedua ergonomis risiko dan
bahaya, seperti nyeri pinggang dan cedera punggung, dan ketiga risiko biologis dan
bahaya seperti, terinfeksi dengan patogen yang ditularkan melalui darah dari jarum
suntik.20

2.2.1 Perawat di Bangsal


Low Back Pain (LBP) merupakan salah satu penyakit muskuloskeletal yang
paling sering terjadi pada perawat di antara semua profesional kesehatan. LBP
menempati urutan kedua sebagai alasan untuk kehilangan tenaga kerja dan biaya
kesehatan setelah sakit kanker dan itu adalah masalah kesehatan kerja umum yang
mengakibatkan hambatan fisik, kognitif, sensorik, emosional dan perkembangan yang
serius bagi perawat.21Tinjauan pustaka mengungkapkan bahwa frekuensi LBP pada
perawat berkisar antara 40% dan 97,9% dan lebih sering terjadi pada perawat bila
dibandingkan dengan individu lain dalam masyarakat. Ada berbagai faktor risiko fisik
dan psikososial yang menyebabkan LBP pada perawat di bangsal. Pertama faktor
resiko individu seperti umur, status ekonomi, gaya hidup. Kedua faktor resiko
pekerjaan seperti periode waktu bekerja meningkatkan terjadinya LBP. Ketiga faktor
resiko fisik seperti membantu kehidupan sehari-hari pasien, menempatkan mereka di
tempat tidur, membawa dan mengangkat mereka atau membawa peralatan medis
dengan berbagai berat dan ukuran, merapikan tempat tidur berbagai ketinggian juga
meningkatkan risiko trauma punggung bawah untuk perawat. Keempat faktor resiko
psikososial frekuensi kecacatan fungsional terkait dengan LBP lebih pada perawat
yang tidak puas pada pekerjaan mereka.21

24
Pada penelitian ini dilakukan pada 20 orang perawat dan dimana 50% dari
perawat tersebut berumur 40-49 tahun, 15 % 30 – 39 tahun, dan 35% berumur lebih
dari 50 tahun. Dengan jenis kelamin 20 responden perawat yaitu perempuan.
Mayoritas sebanyak 60% dari sampel sudah bekerja sebagai perawat selama16 tahun,
tidak ada Perawat yang bekerja di bawah 5 tahun. Ini menunjukkan bahwa mayoritas
besar responden berpengalaman karena mereka telah melayani untuk jangka waktu
yang lebih lama sebagai perawat profesional, dan ini juga akan menjadi faktor bagi
mereka untuk paling terpengaruh oleh stres kesehatan kerja yang berhubungan
langsung dengan lingkungan kerja. Hal tersebut terlihan dari hasil responden
sebanyak 18 orang dari 20 mengalami stress terkait pekerjaanyang sangat tinggi 45%
20
dan tinggi 45%. Sebagian besar perawat terkena tekanan ekstrim 40% di tempat
kerja yang dapat dikaitkan dengan kekurangan staf perawat, 30% mengeluh panas
sementara 20% mengatakan mereka mengalami nyeri pinggang, 10% sisanya
mengatakan bahwa mereka selalu mengekspos ke patogen / agen yang menular.20
Peristiwa dari dalam dan diluar tempat kerja dapat memicu terjadinya stress
karyawan. Stress adalah Interaksi antara stimulus dengan respon individu berdasar
penilaian kognisinya terhadap stimulis tersebut yang dirasa mengancam bagi dirinya.
Terdapat 3 faktor yang menyebabkan stress pada perawat. Pertama faktor sikap kerja
menunjukan kemampuan individu dalam mengambil sikap ditempatkerja memberi
pengaruh yang cukup besar sebagai penyebab stress kerja. Kedua faktor dukungan
sosial interaksi dengan keluarga, dukungan terhadap bahaya menjadi faktor penyebab
stress pada perawat. Faktor ketiga faktor karakteristik, jika terjadi peristiwa tidak
menyenangkan dating, dimana setiap individu selalu mengharapkan peristiwa -
peristiwa kehidupannya yang sesuai dengan keinginannya. 22

Perawat merupakan kelompok tenaga kesehatan yang rentan terpapar cedera


benda tajam dengan angka kejadian paling tinggi. Resiko terpajan pathogen darah
melalui luka tusuk jarum suntik antara lain pajanan perkutuan, pajanan mocutaneus.
Penyebabnya Needle Stick Injury ialah pemberian injeksi, menutup jarum suntik

25
(spuit), pengambilan darah atau pada saat membuang jarum, dimana alasan utama
terjadinya hal tersebut adalah kecerobohan dan kurangnya pengetahuan atau tidak
mengikuti prosedur yang telah di tentukan. Adapun kejadian kecelakaan kerja
berkaitan dengan lalai mengunakan APD dan menutup jarum suntuk menggunakan
metode dua tangan. Menurut penelitian yang dilakukan di RSUD Liunkendage, yang
menjelaskan hubungan umur dengan kejadian cedera tertusuk jarum suntik pada
perawat menyatakan, semakin muda usia seseorang akan semakin baik dalam
melakukan pekerjaanya dan melaksanakan kewaspadaan universal. Pekerja yang
berusia < 35< tahun dan > 35 tahun memiliki presentase yang hampir sama besar
pada kecelakaan cedera tertusuk jarum suntik, hal ini terjadi dimungkinkan karena
golongan usia > 35 tahun merasa teah memiliki pengalaman kerjanya cukup lama,
sehingga mereka terkadang melupakan stardart operasional (SOP), menganggap
remeh hal kecil, dan kurangnya sikap hati-hati. 23
Solusi terbaik dan praktis yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah ini, adalah manajemen rumah sakit memberikan pengetahuan tambahan
tentang keamanan dan lingkungan kesehatan untuk segera memulai pelatihan internal
dan eksternal untuk semua perawat untuk membuat mereka sadar akan beberapa
risiko yang melekat dan bahaya yang terkait dalam operasi sehari-hari mereka sebagai
perawat. Alat pelindung diri seperti masker hidung, sarung tangan, celemek. Alat dan
peralatan tangan yang sederhana harus disediakan untuk jangka pendek. Sementara
solusi jangka panjang harus difokuskan pada kebijakan kesehatan yang baik,
keselamatan, lingkungan dan keamanan serta rencana yang akan mengatur pekerja
perawatan kesehatan di rumah sakit pusat.20

26
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1) Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Bahaya yang dapat terjadi dirumah sakit , yaitu bahaya psikososial, efek stres akut
dan kronis karna terlalu banyak bekerja, bahaya ergonomis, seperti nyeri pinggang
dan cedera punggung, dan bahaya biologis seperti, terinfeksi dengan patogen yang
ditularkan melalui darah dari jarum suntik atau pasien.

2) Saran
Untuk meningkatkan kualitas Rumah Sakit itu sendiri, pemerintah juga perlu
memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja
karyawan yang akan berpengaruh terhadap kinerja pelayanan kesehatan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja. Bagi pekerja harus bekerja susai SOP yang sudah ditentukan oleh
Rumah Sakit.

27
Daftar Pustaka

1. Kemenkes RI 2014.Permenkes RI No 36 Tahun 2014 tentang hak tenaga


kesehatan .Jakarta: Depkes RI.
2. Fitriati R & Rahmayanti KP.2011.Kepastian layanan menjadi prioritas
kebutuhan pasien pada Rumah Sakit Pemerintah di Provinsi BengkuluJurnal
ManajemenPelayanan Kesehatan14(03):144-58
3. International Labour Organization. 2013. KeselamatandanKesehatanKerjadi
TempatKerja(SaranauntukProduktivitas). Modul 5. Edisi Bahasa Indonesia.
Jakarta: ILO
4. Hari P., Adnyana M., & Nyoman A. 2010. Sistem Kerja Dengan Pendekatan
Ergonomi Total Mengurangi Keluhan Muskuloskeletal, Kelelahan Dan Beban
Kerja Serta Meningkatkan Produktivitas Pekerja Industri Gerabah Di
Kasongan, Bantul.2(3):11-15.
5. Vilia A.,Saftarina F. 2014. Hubungan Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja
pada Perawat di Instalasi Rawat Inap di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung.. Medua.2(2): 18-25.
6. Zhou,M., Wege, N., Gu, H., &Siegrist, J. 2010. Work and Family Stress is
Associated with Menstrual Disorders but not with Fibrocystic Changes:
Cross-sectional Findings in Chinese Working Women. J. Occupational
Health. 1(52): 361-366
7. Saftarina F. 2014. Hubungan Shift Kerja dengan Gangguan Pola Tidur pada
Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung
2013. Medula.2(2): 28-38.
8. Amalia S.2013.Studi Komparatif Kualitas Tidur Perawat Shift Dan Non Shift
Di Unit Rawat Inap Dan Unit Rawat Jalan. Prosiding Konferensi Nasional
Ppni Jawa Tengah.3(2):17-23.

28
9. Harry C.2010. Hubungan ShiftKerja Dengan Kelelahan Kerja Dan Perubahan
Tekanan Darah Pada Perawat Unit Rawat Inap Rumah Sakit Bukit Asam
Tanjungenim Tahun 2009. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat.1(2):134-139
10. Cain B. A Review of the Mental Workload Literature. Available at
https://www.researchgate.net/publication/235159082
11. Vijendren A, Yung M, Sanchez J. Occupoational Medicine, vol 65, issue, 7,
October 1st. 2015.p.519-28. Available at: http://doi.org/10.1093/oc-
cmed/kqv088
12. Oliver M S, Lopez J S, Torran F. Relations between mental workload and
decision-making in an organizational setting. Psicologia: Reflexao e Critica.
2017.p.30-7
13. Suwarni E. Analisis hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental
emosional perawat wanita di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.
Ciptomangunku- sumo Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia.
2010;8(9):179-84.
14. Eny Nurcahyani dkk.Hubungan antara tingkat stress kerja dengan kinerja
perawat.jurnal care vol.4.no. 1 ,2016.
15. Chindy F dkk.Hubungan antara beban kerja dengan stress krja pada perawat
du ruang rawat inap Rumah Sakit Hermana Lambean.fakultas Ilmu Kesehatan
Samratulangi.2017
16. Vijendren A, Yung M, Sanchez J. Occupoational Medicine, vol 65, issue, 7,
October 1st. 2015.p.519-28. Available at: http://doi.org/10.1093/oc-
cmed/kqv088
17. Pakowska AG, Szatko F, Ulrichs M. Work-Related Accidents and Sharp
Injuries in Paramedics-Illustrated with an Example of a Multi-Specialist
Hospital, Located in Central Poland. Int. J. Envirom. Res. Public Health.
2017, 14, 901; doi:10.3390/ijerph14080901
18. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 3, No. 2 Jul-
Des 2014: 138–147

29
19. (PDF) REGULASI KORTISOL PADA KONDISI STRES DAN ADDICTION.
Availablefrom:https://www.researchgate.net/publication/307703656_REGUL
ASI_KORTISOL_PADA_KONDISI_STRES_DAN_ADDICTION [accessed
Sep 23 2018].
20. Felix U. Occupational Risk and Hazardrelated Nurses Working in Central
Hospital Warri, Nigeria. Texila International Journal of Nursing. 2016
Dec;2(2):1-16
21. Tosunoz I, Oztunc G. Low Back Pain in Nurses. International Journal of
Caring Sciences. 2017 Sept-Des;10(3):1-5
22. Yana D. Stress Kerja pada Perawat Instalasi Gawat Darurat di RSUD Pasar
Rebo Tahun 2014. Jurnal ARSI. 2015 Jan; 1(2)107-15
23. Umar J. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Cedera
Tertusuk Jarum Suntuk pada Perwat di Rumah Sakit Liunkendage
Tahuna.2013;18-30
24. Pratami H, Apriliana E. Identifikasi Mikroorganisme pada Tangan Tenaga
Medis dan Paramedis di Unit Perinatologi Rumah Sakit Abdul Moeloek
Bandar Lampung. Medical Journal of Lampung University. 2337-3776

30

Anda mungkin juga menyukai