Anda di halaman 1dari 23

MODUL PATOFISIOLOGI

Dengue Hemorrhagic Syndrome

Disusun oleh :

dr. Auzia Tania Utami

Pembimbing:

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN

BANDUNG

2019
PATOFISIOLOGI
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

I. PENDAHULUAN
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam bifasik, nyeri otot atau sendi, ruam, leukopenia, dam limfadenopati. Pada
Demam berdarah dengue (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Abnormalitas hemostasis dan permeabilitas kapiler pada DBD dapat
mengakibatkan sindroma syok Dengue Shock Syndrome (DSS). 1
Demam berdarah dengue (BDB) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan pendudukn, jumlah penderita dan luas daerah penyebaran
semakin bertambah. Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali
diketahui di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang
terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia dengan angka kematian
mencapai 41.3 %. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh
Indoensia.2 Pada tahun 2015, tercatat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34
provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah
tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh
perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan.3
DBD dapat terjadi melalui infeksi primer dengue, lebih sering melalui
infeksi sekunder. Peningkatan infeksi sekunder ini disebabkan adanya antibody-
dependent enhancement, yaitu antibodi serotipe pertama meningkat dengan
adanya infeksi serotipe kedua. 4

II. .VIRUS DENGUE


Virus dengue termasuk dalam anggota genus Flavivirus, keluarga
Flaviviridae. Virus ini merupakan virus RNA rantai tunggal, berukuran 50 nm,
terdiri dari 3 gen protein struktural protein (nucleocapsid (N), membrane (M),
envelope (E)) dan 7 gen protein non struktural (NS). Diantara ketujuh protein non
1
struktural, NS1 memiliki nilai diagnostik dan patologis. Terdapat 4 serotipe virus,
yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4, dan keempat serotipe tersebut ada
di Indonesia. DENV-2 dan DENV-3 biasanya dikaitkan dengan manifestasi klinis
yang lebih berat. 1
Imunitas yang muncul setelah terinfeksi salah satu serotipe tersebut bisa
bertahan seumur hidup, tetapi hanya terhadap serotipe yang sama. Perlindungan
silang terhadap serotipe yang lain hanya berlangsung sekitar 2-3 bulan. Infeksi
sekunder dengan serotipe yang lain atau infeksi multipel dengan serotipe yang
berbeda dapat mengakibatkan infeksi dengue yang berat (DBD atau syok
dengue).5

Gambar 1. Struktur virus dengue melalui Mikroskop Krioelektron 5

III. VEKTOR
Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang
menjadi vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping.
Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal
pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut. Kedua spesies nyamuk
tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae.
Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari
strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna
hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua
garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga
berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.
Nyamuk Aedes aegypti memiliki 4 stadium:

2
1. Stadium Telur
Telur Ae.aegypti berukuran kecil (1 mikron), berwarna hitam, berbentuk
lonjong seperti torpedo dengan berat 0,0113 mg. Telur menetas dalam waktu 1-2
hari. Tempat yang disukai adalah yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya
matahari langsung. Telur dapat bertahan sampai 6 bulan.6

2. Stadium Larva
Larva Ae.aegypti terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen, berukuran
kurang lebih 7x4 mm. Larva Ae.aegypti bergerak sangat lincah dan sangat sensitif
terhadap rangsangan getaran dan cahaya. Larva mengambil makanannya di dasar
sehingga disebut bottom feeder, dan mengambil oksigen dari udara. Larva
Ae.aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air dengan pH 5,8-8,6 dan
tahan terhadap air dengan kadar garam 10-59,5 mg klor/liter. Larva dalam waktu
kurang lebih 2 hari melakukan pengelupasan kulit untuk tumbuh menjadi pupa.6

3. Stadium Pupa
Pupa terdiri dari sefalotoraks, abdomen, dan kaki pengayuh. Sefalotoraks
memiliki sepasang corong pernapasan yang berbentuk segitiga.6

4. Stadium Dewasa
Setelah berumur 1-2 hari, pupa menjadi nyamuk dewasa jantan atau
betina. Nyamuk dewasa Ae.aegypti mempunyai warna dasar hitam dengan belang-
belang putih pada bagian badan dan kaki. Nyamuk betina setelah berumur 1 hari
siap melakukan kopulasi dengan nyamuk jantan, dan setelah kopulasi nyamuk
betina akan mencari makanan berupa darah manusia atau binatang yang
diperlukan untuk pembentukan telur. Seekor nyamuk betina Ae.aegypti setelah 4
hari menghisap darah mampu menghasilkan 80-125 butir telur dengan rata-rata
100 butir telur.6

3
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk5
IV. PEJAMU
Faktor pada pejamu yang dapat mempengaruhi keparahan penyakit antara
lain infeksi sekunder heterotipik, usia, genetik.7,8,9
Pasien yang berisiko tinggi antara lain :
1. Pasien balita dan geriatrik
2. Pasien obesitas
3. Pasien hamil
4. Pasien dengan ulkus peptikum
5. Pasien dengan menstruasi atau perdarahan vagina yang abnormal
6. Pasien dengan penyakit hemolitik (defisiensi glucose-6 phosphatase
dehydrogenase, thalasemia, hemoglobinopati lainnya)
7. Pasien dengan penyakit jantung congenital
8. Pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus, penyakit jantung
iskemik, asma, gagal ginjal kronik, sirosis
9. Pasien yang mengkonsumsi non-steroidal anti inflammatory drug

V. FAKTOR RESIKO PENULARAN DBD


Musim hujan memiliki suhu dan kelembaban yang cocok untuk
perkembangbiakan populasi nyamuk vektor transmisi dengue.6
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan
yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan
4
rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih
makmur terutama yang biasa bepergian. Faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah,
keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan
serta mobilisai penduduk. Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi
IgM anti dengue yang merupakan reaksi infesksi primer adalah jenis kelamin laki-
laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder
yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.5

VI. PATOFISIOLOGI
Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan
membedakan demam berdarah dengue dengan dengue klasik ialah tingginya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya
hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Meningginya nilai hematokrit
pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi
sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang
rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai
hematokrit. 5
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-
ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Sel monosit dan makrofag
mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya
genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen
perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus
dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif
terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe
virus lainnya.10

5
Gambar 4. Respon primer dan sekunder infeksi dengue 10

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam


berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti. Terdapat tujuh teori
patofisiologi DBD yang sudah diketahui yaitu :
1. Primary infection theory (teori virulensi)
Terdapat 4 serotipe virus, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4,
dan keempat serotipe tersebut ada di Indonesia. DENV-2 dan DENV-3
biasanya dikaitkan dengan manifestasi klinis yang lebih berat. 1 Imunitas yang
muncul setelah terinfeksi salah satu serotipe tersebut bisa bertahan seumur
hidup, tetapi hanya terhadap serotipe yang sama. Teori virulensi virus yang
mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3
dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi
berbeda antara daerah satu dengan lainnya. 1
Hipotesis virulensi virus berangkat dari data klinis, asosiasi epidemiologi
dan studi entomologi yang menjelaskan bahwa virulensi DENV berbeda-
beda. Hipotesis ini menduga bahwa DBD mungkin merupakan hasil dari
infeksi oleh serotipe virus DENV yang lebih virulen dibandingkan dengan
serotipe lainnya. Infeksi oleh DENV serotipe 2 memiliki risiko lebih tinggi
menjadi DBD dibandingkan dengan serotipe lainnya. Di Asia tenggara dan
Amerika DENV serotipe 2 memiliki asosiasi terhadap kejadian DBD
diwilayah tersebut. Sedangkan di India terjadi perubahan tingkat keparahan
penyakit yang merupakan akibat dari perubahan virulensi DENV serotipe 1
dan serotipe 2. Outbreak yang terjadi pada tahun 2006 dan 2008 diasosiasikan
terhadap DENV serotipe 1.11
6
2. Secondary infection theory/ Antibody Dependent Enhancement (ADE)
DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama
mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam
jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun.1
Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder adalah
sebagai berikut :

Gambar 3. Patogenesis Perdarahan pada DBD


Pada infeksi dengue terbentuk antibodi yang terdiri atas imunoglobulin G
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing antibody dan neutralising antibody. Dikenal 2 tipe antibodi
berdasarkan virion determinant specificity yaitu kelompok monoklonal reaktif
yang mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus dan
antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus. Antibodi non-netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer
akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder
dengan akibat memacu replikasi virus. Dasar utama hipotesis ialah
meningkatnya reaksi immunologis. Limfosit T juga memegang peran penting
dalam patogenesis DBD. Oleh rangsang monosit yang telah terinfeksi virus
dengue atau antigen virus dengue, limfosit manusia dapat mengeluarkan

7
interferon (IFN) alfa dan gamma. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue
serotipe berbeda dengan infeksi pertama, limfosit T CD4 berproliferasi dan
menghasilkan IFN alfa. IFN alfa itu merangsang sel yang terinfeksi virus
dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator yang
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.1,4,5

3. Antigen antibody complex theory


Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti
dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan
terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada
penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak
ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik dan kematian.1

4. Mediator theory
Sel T memori yang bersifat cross-reactive akan secara cepat teraktivasi
dan berproliferasi. T helper berdiferensiasi menjadi TH1 yang akan
meningkatkan produksi IFN-γ, IL-2, TNF-α, dan TH2 yang akan
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10. Manifestasi trombositopenia berkaitan
dengan mediator IL-1β, IL-8, TNF-α, MIP-1. NS1 juga berperan dalam
aktivasi sistem komplemen. Viral load dengue juga berperan dalam
keparahan penyakit, dimana viral load lebih tinggi ditemukan pada pasien
DBD, pasien dengan efusi pleura.1,6,8,9,10

8
5. Theory on the role of endotoxin
Peran endotoksin pada kejadian DBD yaitu menyebabkan iskemia usus
serta iskemia jaringan. Translokasi bakteri dapat terjadi dari lumen usus ke
dalam sirkulasi. Endotoksin yang merupakan komponen kapsul luar bakteri
gram negatif akan memasuki sirkulasi melalui aktivasi kaskade sitokin. Hal
ini menyebabkan shock yang diikuti dengan iskemia berat. Peran limfosit
didasarkan pada limfosit yang diaktifkan pada makrofag yang terpapar virus.
Sel limfosit T akan melepaskan limfokin sehingga mengaktifkan sel B yang
jumlahnya lebih banyak pada DBD. 12
6. Theory of thrombosis
Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab
perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk
faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun.
Perubahan faktor koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar
yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem
koagulasi.4,5 Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran
pencernaran hebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama
dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis
yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai
menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai
normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit. 4,5
7. Theory of apoptosis
Teori apoptosis yang didasarkan pada proses fisiologis kematian sel. Teori
ini menyatakan bahwa beratnya penyakit DBD disebabkan oleh matinya sel
secara fisiologis bukan karena virus yang hidup pada sel target ataupun
karena makrofag melainkan karena terprogramnya sel sel tersebut untuk mati
akibat rangsangan dari limfosit yang mengeluarkan granzim dan fragmentin
yang akan mengkode apoptosis. Proses itu terdiri dari dua fase, yaitu
kerusakan inti sel dan perubahan bentuk sel serta permeabilitas membran sel.
Pada DBD dengan kerusakan hati yang parah dapat ditemukan badan
apoptotic (Councilman bodies). 12

9
Gambar 5 . Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue 10
Setelah masa inkubasi 4-10 hari, secara garis besar terdapat 3 fase
perjalanan penyakit dengue, yaitu fase febris, kritis, dan recovery.13,14
Dikarenakan sifatnya yang dinamis, keparahan penyakit biasanya hanya akan
tampak di sekitar fase defervescence, selama transisi dari fase febris ke afebris,
yang sering bersamaan dengan onset dari fase kritis.

Gambar 6. Perjalanan Penyakit Dengue


10
Fase Febris
Pasien biasanya mengalami demam tinggi tiba-tiba. Fase febris akut ini
biasanya berlangsung selama 2-7 hari dan sering disertai dengan facial flushing,
eritema kulit, nyeri di seluruh badan, myalgia, atralgia, nyeri di retro-orbita,
fotofobia, eksantema rubiliformis, dan sakit kepala. Beberapa pasien
mengeluhkan sakit tenggorokan, injeksi faringeal, dan injeksi konjungtiva. Sering
juga muncul anoreksia, mual, dan muntah.
Sulit untuk membedakan dengue secara klinis dari demam non-dengue di
fase awal febris. Tes torniquet positif mengindikasikan kemungkinan Dengue.
Namun, hal ini tidak dapat memprediksikan beratnya penyakit. Maka dari itu,
sangat krusial untuk mengontrol warning signs dan parameter klinis lainnya untuk
mengenali progresi ke fase kritis. Perdarahan ringan seperti petekia dan
perdarahan membran mukosa (dari hidung dan gusi) dapat muncul. Mudah lebam
dan berdarah pada lokasi tusukan muncul pada beberapa kasus. Perdarahan vagina
masif dan perdarahan saluran cerna dapat juga muncul walaupun jarang terjadi.
Liver dapat membesar dan nyeri bila ditekan setelah beberapa hari demam.
Abnormalitas paling awal yang muncul pada pemeriksaan darah adalah penurunan
progresif dari jumlah leukosit.
Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke afebris, pasien tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler akan mengalami perbaikan tanpa harus melalui fase kritis.
Sedangkan pasien yang mengalami peningkatan permeabilitas kapiler, walaupun
demamnya turun, namun akan mengalami manifestasi warning signs, sebagai
akibat kebocoran plasma. Warning signs menandai awal dari fase kritis. Pasien
akan mengalami perburukan di sekitar masa defervescence, di saat suhu tubuh
turun dari 38◦C menjadi 37,5◦C atau lebih rendah lagi, biasanya pada hari ke-3
hingga ke-8 penyakit. Leukopenia progresif disertai penurunan cepat jumlah
trombosit biasanya mengawali kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit di atas
baseline dapat menjadi tanda tambahan paling awal dari kebocoran plasma.
Periode kebocoran plasma biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan
hematokrit mengawali gejala perubahan tekanan darah dan nadi.

11
Derajat hemokonsentrasi menunjukkan derajat beratnya kebocoran plasma
yang terjadi, namun hal ini dapat diatasi dengan terapi cairan intravena sedini
mungkin. Pemeriksaan hematokrit berkala perlu dilakukan untuk menentukan
kebutuhan terapi cairan intravena. Efusi pleura dan ascites biasanya hanya
terdeteksi secara klinis setelah dilakukan terapi cairan intravena, kecuali
kebocoran plasma yang terjadi sangat signifikan. Foto rontgent thorax lateral
decubitus dextra, deteksi cairan bebas di dada atau abdomen dengan USG,
maupun edema dinding kantung empedu dengan USG dapat mengarahkan ke arah
kebocoran plasma. Manifestasi perdarahan seperti mudah lebam dan perdarahan
di lokasi tusukan sangan sering terjadi.
Bila syok terjadi ketika sejumlah volume plasma hilang karena kebocoran
plasma, biasanya hal ini diawali oleh adanya warning signs. Suhu tubuh
subnormal ketika syok terjadi. Bila terjadi profound dan/atau syok
berkeoanjangan, hipoperfusi akan menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progresif, dan KID (DIC). Hal ini nantinya akan menyebabkan perdarahan
berat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok berat. Pada fase ini,
leukosit akan meningkat sebagai bentuk respon terhadap pasien dengan
perdarahan berat. Gangguan organ berat dapat terjadi seperti hepatitis berat,
ensefalitis, miokarditis, dan/ atau perdarahan berat,tanpa tanda nyata kebocoran
plasma atau syok.
Warning Signs
Muntah terus menerus dan nyeri abdomen parah adalah indikasi awal
kebocoran plasma dan akan bertambah berat ketika pasien progres ke fase syok.
Pasien akan letargis namun masih alert. Gejala-gejala ini dapat bertahan hingga
fase syok.
Lemah, pusing, atau hipotensi postural terjadi saat fase syok. Perdarahan
spontan mukosa atau dari lokasi tusukan adalah manifestasi perdarahan yang
penting. Pembesaran liver dan nyeri tekan liver sering ditemukan. Akumulasi
cairan bebas hanya dapat ditemukan bila kebocoran plasma signifikan atau setelah
terapi cairan intravena. Penurunan trombosit yang vepat dan progresif menjadi
100.000 sel/ mm3 dan peningkatan hematokrit di atas baseline menjadi tanda

12
paling awal kebocoran plasma. Hal ini biasanya diawali oleh adanya leukopenia
(≤ 5000 sel/mm3).
Fase Recovery
Setelah melewati fase kritis selama 24-48 jam, reabsorbsi bertahap cairan
ekstravaskular akan terjadi pada 48-72 jam selanjutnya. Keadaan umum pasien
akan membaik, nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik stabil, dan diureutik normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam
eritematosa atau petekia yang diselingi oleh sedikit area kulit normal yang
konfluen, yang dikenal dengan “isle of white in the sea of red”. Beberapa pasien
akan mengeluhkan gatal. Bradikardia dan perubahan EKG sering terjadi pada fase
ini. Hematokrit stabil atau lebih rendah dari baseline karen efek dilusi cairan yang
tereabsorbsi. Leukosit mulai meningkat namun peningkatan trombosit akan terjadi
setelahnya. Distres pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru,
atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/ atau fase recovery
apabila terapi cairan intravena diberikan berlebihan.

VII. MANIFESTASI KLINIS


Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dari ringan pada dengan dengue
(DD) hingga berat pada demam berdarah dengue (DBD). Gejala yang timbul
antara lain :
a. Demam bifasik
b. Mual muntah
c. Ruam kulit
d. Nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh
atau terpusat pada memiliki manifestasi klinis yang sama dengan demam
dengue, tetapi ditambah dengan tanda kegagalan sirkulasi dan perdarahan
yang dapat menyebabkan kematian. Gejala klinik di antaranya demam
tinggi, nyeri kepala berat (retroorbital), kemerahan pada wajah, nyeri otot,
nyeri sendi, mual dan muntah, nafsu makan menurun dan nyeri abdomen
akut. Manifestasi perdarahan yang serius dapat berupa epistaksis,
perdarahan gusi, petekie, ekimosis, hematemesis, melena, dan perdarahan
vagina.

13
Karakteristik DBD utama adalah kebocoran plasma yang ditandai dengan
gangguan sirkulasi berupa hipotensi, takikardi, sempitnya tekanan nadi dan
tertundanya pengisian kembali kapiler. Dapat terjadi efusi pleura dan asites.
Komplikasi yang jarang adalah ensefalopati, ensefalitis, gagal hati, miokarditis,
dan DIC (disseminated intravascular coagulation).
Manifestasi klinis dengue dapat bervariasi dari asimtomatik,
undifferentiated febrile illness (sindrom virus), DD, DBD, hingga expanded
dengue syndrome.6
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan DD dan tingkat
keparahan DBD sebagai berikut :1,6

Tabel 1. Klasifikasi DD dan tingkat keparahan DBD berdasarkan WHO


DD/DBD Grade Gejala dan Tanda Laboratorium
DD Demam dengan 2 konidisi berikut Leukopenia (≤ 5000
 Sakit kepala sel/mn3)
 Nyeri retro orbital Trombositopenia
 Mialgia (≤100000 sel/)

 Artralgia Hematokrit meningkat 5-

 Ruam 10%

 Manifestasi hemoragik
 Tidak ada bukti kebocoran
plasma
DBD I Demam, manifetasi hemoragik dan Trombositopenia <
bukti kebocoran plasma 100000 sel/mm3,
hematokrit meningkat ≥
20%
DBD II Seperti grade I ditambah perdarahan Trombositopenia <
spontan 100000 sel/mm3,
hematokrit meningkat ≥
20%
DBD III Seperti di grade I dan II ditambah Trombositopenia <
(SSD) kegagalan sirkuler (nadi lemah, 100000 sel/mm3,
tekanan nadi sempit, hipotensi, hematokrit meningkat ≥

14
penurunan kesadaran) 20%
DBD IV Seperti di grade III, ditambah syok Trombositopenia <
(SSD) dengan tensi dan nadi tidak teraba 100000 sel/mm3,
hematokrit meningkat ≥
20%

Berdasarkan tingkat keparahan, demam dengue terbagi menjadi demam dengue


dengan dan tanpa warning sign.

Gambar 7. Klasifikasi Kasus Dengue Berdasarkan Derajat Beratnya Penyakit 12


Dengue Berat
Kasus dengue berat didefinisikan pada pasien suspek dengue dengan satu atau
lebih hal di bawah ini:
a. Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok (syok dengue) dan/ atau
akumulasi cairan dengan distres pernapasan
b. Perdarahan berat
c. Gangguan organ berat

Kebocoran Plasma Berat Dan Syok Dengue


Sindrom Syok Dengue (DSS) adalah bentuk syok hipovolemik dan terjadi
akibat permeabilitas kepiler yang meningkat dan kebocoran plasma. Hal ini
biasanya terjadi di sekitar masa defervescene, misal pada hari ke-4 atau ke-5 sakit,

15
dan biasanya diawali dengan adanya warning signs. Pada titik ini, pasien yang
tidak cepat menerima terapi cairan intravena akan jatuh ke fase syok secara cepat.
Syok Dengue berkembang mulai dari kebocoran plasma yang asimtomatik
ke syok terkompensasi lalu ke syok hypotensive dan akhirnya ke henti jantung.
Takikardia (tanpa adanya demam selama masa defervescene) adalah tanda
awal respon jantung terhadap hipovolemia. Remaja dan orang dewasa jarang
menunjukkan gejala takikardia bahkan saat syok.
Selama fase awal syok, mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik ditunjukkan dengan takikardia, takipnea (tanpa peningkatan
usaha bernapas), dan vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi kulit
(ekstremitas dingin dan CRT > 2 detik dan pulsasi nadi lemah). Dikarenakan
resistensi vaskular perifer meningkat, maka tekanan diastolik meningkat
mendekati tekanan sistolik dan tekanan nadi pun menyempit. Pasien dikatan
mengalami syok terkompensasi bila tekanan sistolik normal namun tekanan nadi ≤
20 mmHg pada anak-anak atau bila terdapat tanda perfusi jaringan yang buruk
(ekstremitas dingin, CRT memanjang, atau takikardia). Pada orang dewasa,
tekanan nadi ≤ 20 mmHg mengindikasikan syok yang lebih berat. Asidosis
metabolik terkompensasi dikatakan apabila pH normal dengan pCO2 rendah dan
bikarbonat rendah. Pasien dengan dengue dan syok terkompensasi biasanya sadar.
Syok hipovolemik yang memburuk bermanifestasi sebagai peningkatan
takikardia dan vasokonstriksi perifer. Tidak hanya ekstremitas dingin dan
sianosis, namun ekstremitas bawah menjadi pucat dan dingin. Pernapasan menjadi
cepat dan dalam – sebagai kompensasi asidosis metabolik (Kussmaul’s
breathing). Apabila terjadi dekompensasi, baik tekanan sistolik maupun diastolik
menjadi tidak terdeteksi tiba-tiba dan pasien pun masuk ke fase syok hipotensive
atau syok dekompensasi. Pada fase ini, nadi perifer dan nadi central (femoral)
menjadi lemah. Perubahan status mental terjadi akibat perfusi otak menurun.
Pasien menjadi gelisah, bingung, dan sangat letargis. Kejang dapat terjadi dan
agitasi dapat terjadi berselingan dengan letargi. Sementara itu, anak-anak dan
dewasa muda biasanya tetap sadar walaupun dalam fase profound shock.
Syok hipotensi berkepanjangan dan hipoksia akan menyebabkan asidosis
metabolik, gagal organ multipel, dan kondisi klinis yang lebih menyulitkan.

16
Hipotensi diasosiasikan dengan kondisi syok berkepanjangan yang
dikomplikasikan dengan perdarahan mayor. Pasien dengan dengue berat biasanya
memiliki berbagai derajat gangguan koagulasi, namun biasanya tidak cukup untuk
menyebabkan perdarahn mayor. Ketikan perdarahan mayor terjadi, biasanya
disebabkan profound shock dikombinasikan dengan trombositopenia, hipoksia,
dan asidosis, dan dapat menyebabkan gagal organ multipel dan KID (DIC).
Perdarahan masif dapat terjadi tanpa profound shock ketika pasien
mengonsumsi aspirin, ibuprofen, atau kortikosteroid. Perdarahan juga dapat
terjadi pada pasien dengan riwayat ulkus duodenum atau peptikum. Keadaan
acute liver, renal failure, dan ensefalopati dapat muncul pada syok berat, bahkan
keadaan-keadaan ini pernah ditemukan pada keadaan tanpa kebocoran plasma
maupun tanpa syok. Kardiomiopati dan ensefalitis pernah dilaporkan pada
beberapa kasus dengue. Namun, kematian terbanyak disebabkan oleh profound
and prolonged shock disebabkan kebocoran plasma dengan komplikasi
perdarahan dan/ atau cairan berlebih.

Expanded Dengue Syndrome


Manifestasi klinis yang atipikal dijumpai pada expanded dengue syndrome
sebagai berikut: 5,14
Tabel 2. Expanded dengue syndrome5,14
Sistem Manifestasi atipikal
Neurologi Kejang demam pada anak
Ensefalopati
Ensefalitis/ meningitis aseptik
Efusi subdural
Mielitis transversal
Perdarahan intrakranial/ thrombosis
Saluran cerna Hepatitis/ gagal hati fulminan
Kolesistitis akalkulus
Pankreatitis akut
Hiperplasia plak peyer
Parotitis akut
Ginjal Gagal ginjal akut

17
Hemolytic uremic syndrome
Jantung Abnormalitas konduksi
Miokarditis
Perikarditis
Sistem pernafasan Acute respiratory distress syndrome
Perdarahan paru
Muskuloskeletal Myositis
Rhabdomiolisis
Limforetikular/ sumsum Sindrom hemofagositik
tulang Idiopathic thrombocytopenic purpura
Infark kelenjar getah bening
Mata Perdarahan macular
Gangguan ketajaman penglihatan
Neuritis optika
Lainnya Sindrom lelah kronik, depresi, halusinasi, psikosis,
alopesia

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Kondisi yang menunjukkan sindrome menyerupai influenza antara lain
influenza, campak, chikungunya, mononukleosis infeksiosa, dan fase serokonversi
HIV. Batuk dan rhinitis biasanya muncul di influenza, selain demam, sakit kepala,
nyeri badan. Pasien dengue biasanya memiliki keluhan gastrointestinal (nyeri
perut, muntah, terkadang diare) selama fase febris. Koinfeksi dengue dengan virus
influenza membuat diagnosis banding sulit untuk disingkirkan. 14
Infeksi adenovirus menyebabkan demam dengan ruam, nyeri perut,
leukopenia, limfopenia, dan gangguan organ (liver, jantung). Rhinitis atau
faringitis, batuk dan gejala pernapasan lainnya tampak, berasosiasi dengan
adenopati servikal. 14
Demam, atralgia, ruam, malaise, dan leukopenia umum terjadi di
chikungunya dan dengue, artritis yang simetris di sendi-sendi kecil adalah
patognomonik untuk chikungunya. Kecenderungan perdarahan dan
trombositopenia lebih sering pada dengue. Infeksi primer HIV menyerupai dengue
yaitu adanya demam tinggi, malaise, ruam, dan adenopati general. Splenomegali

18
dan demam berkepanjangan harus dipertimbangkan malaria dan demam tifoid
sevagai diagnosis banding. Demam, malaise, muntah, hepatomegali, dan
peningkatan enzim liver sering menyebabkan diagnosis dengue dan hepatitis
tertukar. Bukti adanya kebocoran plasma dan trombositopenia menguatkan
kepada dengue. Ruam berhubungan dengan campak dan rubella memiliki
distribusi khas mulai dari kepala, ke badan, lalu ekstremitas, namun pada dengue
ruam biasanya muncul di badan lalu ke wajah dan ekstremitas. Pasien campak
umumnya memiliki gejala batuk, rinitis, dan konjungtivitis. Demam, ruam, dan
adenopati umumnya ada pada dengue, rubella, infeksi eritema oleh parvovirus
B19, dan infeksi virus herper tipe 6.
Sepsis dan penyakit meningococcal harus dipertimbangkan pada pasien
syok karena kebutuhan pemakaian antibiotik. Tanda dan gejala umum penyakit
dengue seperti demam, ruam, petekia, perdarahan, dan syok berasosiasi dengan
leukopenia dan trombositopenia. Pada syok sepsis biasanya suhu badan tinggi,
walaupun bisa saja subnormal pada fase akhir. Nadi kuat dan ekstremitas hangat
biasanya ada pada syok sepsis fase awal. 14
Membedakan keadaan klinis leptospirosis dan dengue merupakan sebuah
tantangan. Jaundice lebih sering diasosiasikan dengan leptospirosis, namun nyeri
okular, atralgia, dan diare dapat saja muncul. Leptospirosis umumnya
diasosiasikan dengan perkerjaan berhubungan dengan sampah maupun pertanian
atau dengan riwayat-riwayat kegiatan yang behubungan dengan air. Perdarahan
paru adalah bentuk khusus leptospirosis tanpa jaundice yang memiliki beberapa
tanda dan gejala yang sama dengan dengue berat, yaitu demam, trombositopenia,
syok, dan perdarahan masif di paru-paru. Perdarahan paru jarang terjadi pada
dengue; bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura atau ascites mengarahkan ke
diagnosis dengue. 14
Leukopenia dan trombositopenia, dengan atau tanpa perdarahan, dapat
merupakan manifestasi malaria, tifoid, tifus, sepsis bakterial, dan serokonversi
HIV akut. Leukopenia dan trombositopenia dapat muncul di penyakit non-infeksi
seperti SLE atau penyakit autoimmune lainnya, leukemia akut, dan kelainan
hematologis lainnya seperti HSP, TTP, dan ITP. 14

19
Selama fase kritis dengue, pasien dapat mengalami keluhan nyeri perut
berat ketika demam sudah turun. Nyeri perut berat ini dapat menyerupai
appendisitis akut dan kolesistitis akut. Cara membedakan gejala akut abdomen
karena kasus bedah dengan akut abdomen karena dengue adalah nyeri abdomen
pada dengue tidak terlalu tajam dan nyeri berkurang dengan resusitasi cairan. 14
Penyakit demam hemoragik viral memiliki keluhan serupa yaitu
perdarahan, trombositopenia, dan syok. Semua penyakit tersebut menyerang
monosit dan makrofag sebagai target sel. Penyakit-penyakit ini muncul di area
geografis yang berbeda-beda dan memiliki vektor yang berbeda. Perbedaan
dengan dengue yaitu bahwa derajat beratnya dengue ditentukan oleh gangguan
immunologis yang menyebabkan infeksi virus menimbulkan gejala komplikasi. 14

IX. PENUNJANG DIAGNOSIS


Tabel 3. Rekomendasi Alat Diagnostik Berdasarkan Pelayanan Laboratorium

Tabel 4. Diagnosis Confirmed and Probable Dengue, Interpretasi Hasil dan


Karakteristik Sampel

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.


Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam
AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta: Interna
Publishing. 2014. p.539-48.
2. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Tahun 1968-2009. Kemetrian Kesehatan RI-Jakarta.
3. Pusat Data Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016. Situasi DBD di
Indonesia. Kemetrian Kesehatan RI-Jakarta.
4. Soewandojo E. Perkembangan terkini dalam pengelolaan beberapa
penyakit tropik infeksi. Surabaya: Airlangga University Press; 2002. p.
113-29.
5. Rizal, Kebocoran Plasma Pada Demam Berdarah Dengue. CDK Maret –
April. 2011. 183/Vol.38 no.2. P. 92 – 96
6. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No.3: p. 12-29.
7. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.
Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. 2011.p.3-28.
8. Sellahewa KH. Pathogenesis of dengue hemorrhagic fever and its impact
on case management, ISRN Infectious Disease. 2013:1-6.
9. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus ADME. Dengue virus pathogenesis:
An integrated view. Clin. Microbiol. Rev.2009.22(4);564-74.
10. Aryu Chandra, Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. 2010; Vol. 2 No. 2 : p. 110 - 119
11. Prommalikit O, Thisyakorn U. Dengue Virus Virulence and Diseases
Severity. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2015. Vol 46:35-42.
12. Zulkarnain I, Tambunan KL, Nelwan RHH, et al. Penatalaksanaan demam
berdarah dengue pada dewasa di RSPUN Cipto Mangunkusumo.
Jakarta.In: Hadinegoro SR, Satari HI, editors. Naskah lengkap pelatihan

21
pelatih dokter spesialis dalam tatalaksana DBD. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002. p. 150-61.
13. World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. New edition. 2009.p.3-54.
14. World Health Organization: Handbook for Clinical Management of
Dengue. World Health Organization, 2012.

22

Anda mungkin juga menyukai