Disusun oleh :
Pembimbing:
BANDUNG
2019
PATOFISIOLOGI
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
I. PENDAHULUAN
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam bifasik, nyeri otot atau sendi, ruam, leukopenia, dam limfadenopati. Pada
Demam berdarah dengue (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Abnormalitas hemostasis dan permeabilitas kapiler pada DBD dapat
mengakibatkan sindroma syok Dengue Shock Syndrome (DSS). 1
Demam berdarah dengue (BDB) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan pendudukn, jumlah penderita dan luas daerah penyebaran
semakin bertambah. Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali
diketahui di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang
terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia dengan angka kematian
mencapai 41.3 %. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh
Indoensia.2 Pada tahun 2015, tercatat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34
provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah
tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh
perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan.3
DBD dapat terjadi melalui infeksi primer dengue, lebih sering melalui
infeksi sekunder. Peningkatan infeksi sekunder ini disebabkan adanya antibody-
dependent enhancement, yaitu antibodi serotipe pertama meningkat dengan
adanya infeksi serotipe kedua. 4
III. VEKTOR
Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang
menjadi vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping.
Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal
pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut. Kedua spesies nyamuk
tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae.
Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari
strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna
hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua
garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga
berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.
Nyamuk Aedes aegypti memiliki 4 stadium:
2
1. Stadium Telur
Telur Ae.aegypti berukuran kecil (1 mikron), berwarna hitam, berbentuk
lonjong seperti torpedo dengan berat 0,0113 mg. Telur menetas dalam waktu 1-2
hari. Tempat yang disukai adalah yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya
matahari langsung. Telur dapat bertahan sampai 6 bulan.6
2. Stadium Larva
Larva Ae.aegypti terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen, berukuran
kurang lebih 7x4 mm. Larva Ae.aegypti bergerak sangat lincah dan sangat sensitif
terhadap rangsangan getaran dan cahaya. Larva mengambil makanannya di dasar
sehingga disebut bottom feeder, dan mengambil oksigen dari udara. Larva
Ae.aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air dengan pH 5,8-8,6 dan
tahan terhadap air dengan kadar garam 10-59,5 mg klor/liter. Larva dalam waktu
kurang lebih 2 hari melakukan pengelupasan kulit untuk tumbuh menjadi pupa.6
3. Stadium Pupa
Pupa terdiri dari sefalotoraks, abdomen, dan kaki pengayuh. Sefalotoraks
memiliki sepasang corong pernapasan yang berbentuk segitiga.6
4. Stadium Dewasa
Setelah berumur 1-2 hari, pupa menjadi nyamuk dewasa jantan atau
betina. Nyamuk dewasa Ae.aegypti mempunyai warna dasar hitam dengan belang-
belang putih pada bagian badan dan kaki. Nyamuk betina setelah berumur 1 hari
siap melakukan kopulasi dengan nyamuk jantan, dan setelah kopulasi nyamuk
betina akan mencari makanan berupa darah manusia atau binatang yang
diperlukan untuk pembentukan telur. Seekor nyamuk betina Ae.aegypti setelah 4
hari menghisap darah mampu menghasilkan 80-125 butir telur dengan rata-rata
100 butir telur.6
3
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk5
IV. PEJAMU
Faktor pada pejamu yang dapat mempengaruhi keparahan penyakit antara
lain infeksi sekunder heterotipik, usia, genetik.7,8,9
Pasien yang berisiko tinggi antara lain :
1. Pasien balita dan geriatrik
2. Pasien obesitas
3. Pasien hamil
4. Pasien dengan ulkus peptikum
5. Pasien dengan menstruasi atau perdarahan vagina yang abnormal
6. Pasien dengan penyakit hemolitik (defisiensi glucose-6 phosphatase
dehydrogenase, thalasemia, hemoglobinopati lainnya)
7. Pasien dengan penyakit jantung congenital
8. Pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus, penyakit jantung
iskemik, asma, gagal ginjal kronik, sirosis
9. Pasien yang mengkonsumsi non-steroidal anti inflammatory drug
VI. PATOFISIOLOGI
Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan
membedakan demam berdarah dengue dengan dengue klasik ialah tingginya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya
hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Meningginya nilai hematokrit
pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi
sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang
rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai
hematokrit. 5
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-
ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Sel monosit dan makrofag
mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya
genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen
perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus
dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif
terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe
virus lainnya.10
5
Gambar 4. Respon primer dan sekunder infeksi dengue 10
7
interferon (IFN) alfa dan gamma. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue
serotipe berbeda dengan infeksi pertama, limfosit T CD4 berproliferasi dan
menghasilkan IFN alfa. IFN alfa itu merangsang sel yang terinfeksi virus
dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator yang
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.1,4,5
4. Mediator theory
Sel T memori yang bersifat cross-reactive akan secara cepat teraktivasi
dan berproliferasi. T helper berdiferensiasi menjadi TH1 yang akan
meningkatkan produksi IFN-γ, IL-2, TNF-α, dan TH2 yang akan
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10. Manifestasi trombositopenia berkaitan
dengan mediator IL-1β, IL-8, TNF-α, MIP-1. NS1 juga berperan dalam
aktivasi sistem komplemen. Viral load dengue juga berperan dalam
keparahan penyakit, dimana viral load lebih tinggi ditemukan pada pasien
DBD, pasien dengan efusi pleura.1,6,8,9,10
8
5. Theory on the role of endotoxin
Peran endotoksin pada kejadian DBD yaitu menyebabkan iskemia usus
serta iskemia jaringan. Translokasi bakteri dapat terjadi dari lumen usus ke
dalam sirkulasi. Endotoksin yang merupakan komponen kapsul luar bakteri
gram negatif akan memasuki sirkulasi melalui aktivasi kaskade sitokin. Hal
ini menyebabkan shock yang diikuti dengan iskemia berat. Peran limfosit
didasarkan pada limfosit yang diaktifkan pada makrofag yang terpapar virus.
Sel limfosit T akan melepaskan limfokin sehingga mengaktifkan sel B yang
jumlahnya lebih banyak pada DBD. 12
6. Theory of thrombosis
Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab
perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk
faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun.
Perubahan faktor koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar
yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem
koagulasi.4,5 Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran
pencernaran hebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama
dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis
yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai
menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai
normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit. 4,5
7. Theory of apoptosis
Teori apoptosis yang didasarkan pada proses fisiologis kematian sel. Teori
ini menyatakan bahwa beratnya penyakit DBD disebabkan oleh matinya sel
secara fisiologis bukan karena virus yang hidup pada sel target ataupun
karena makrofag melainkan karena terprogramnya sel sel tersebut untuk mati
akibat rangsangan dari limfosit yang mengeluarkan granzim dan fragmentin
yang akan mengkode apoptosis. Proses itu terdiri dari dua fase, yaitu
kerusakan inti sel dan perubahan bentuk sel serta permeabilitas membran sel.
Pada DBD dengan kerusakan hati yang parah dapat ditemukan badan
apoptotic (Councilman bodies). 12
9
Gambar 5 . Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue 10
Setelah masa inkubasi 4-10 hari, secara garis besar terdapat 3 fase
perjalanan penyakit dengue, yaitu fase febris, kritis, dan recovery.13,14
Dikarenakan sifatnya yang dinamis, keparahan penyakit biasanya hanya akan
tampak di sekitar fase defervescence, selama transisi dari fase febris ke afebris,
yang sering bersamaan dengan onset dari fase kritis.
11
Derajat hemokonsentrasi menunjukkan derajat beratnya kebocoran plasma
yang terjadi, namun hal ini dapat diatasi dengan terapi cairan intravena sedini
mungkin. Pemeriksaan hematokrit berkala perlu dilakukan untuk menentukan
kebutuhan terapi cairan intravena. Efusi pleura dan ascites biasanya hanya
terdeteksi secara klinis setelah dilakukan terapi cairan intravena, kecuali
kebocoran plasma yang terjadi sangat signifikan. Foto rontgent thorax lateral
decubitus dextra, deteksi cairan bebas di dada atau abdomen dengan USG,
maupun edema dinding kantung empedu dengan USG dapat mengarahkan ke arah
kebocoran plasma. Manifestasi perdarahan seperti mudah lebam dan perdarahan
di lokasi tusukan sangan sering terjadi.
Bila syok terjadi ketika sejumlah volume plasma hilang karena kebocoran
plasma, biasanya hal ini diawali oleh adanya warning signs. Suhu tubuh
subnormal ketika syok terjadi. Bila terjadi profound dan/atau syok
berkeoanjangan, hipoperfusi akan menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progresif, dan KID (DIC). Hal ini nantinya akan menyebabkan perdarahan
berat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok berat. Pada fase ini,
leukosit akan meningkat sebagai bentuk respon terhadap pasien dengan
perdarahan berat. Gangguan organ berat dapat terjadi seperti hepatitis berat,
ensefalitis, miokarditis, dan/ atau perdarahan berat,tanpa tanda nyata kebocoran
plasma atau syok.
Warning Signs
Muntah terus menerus dan nyeri abdomen parah adalah indikasi awal
kebocoran plasma dan akan bertambah berat ketika pasien progres ke fase syok.
Pasien akan letargis namun masih alert. Gejala-gejala ini dapat bertahan hingga
fase syok.
Lemah, pusing, atau hipotensi postural terjadi saat fase syok. Perdarahan
spontan mukosa atau dari lokasi tusukan adalah manifestasi perdarahan yang
penting. Pembesaran liver dan nyeri tekan liver sering ditemukan. Akumulasi
cairan bebas hanya dapat ditemukan bila kebocoran plasma signifikan atau setelah
terapi cairan intravena. Penurunan trombosit yang vepat dan progresif menjadi
100.000 sel/ mm3 dan peningkatan hematokrit di atas baseline menjadi tanda
12
paling awal kebocoran plasma. Hal ini biasanya diawali oleh adanya leukopenia
(≤ 5000 sel/mm3).
Fase Recovery
Setelah melewati fase kritis selama 24-48 jam, reabsorbsi bertahap cairan
ekstravaskular akan terjadi pada 48-72 jam selanjutnya. Keadaan umum pasien
akan membaik, nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik stabil, dan diureutik normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam
eritematosa atau petekia yang diselingi oleh sedikit area kulit normal yang
konfluen, yang dikenal dengan “isle of white in the sea of red”. Beberapa pasien
akan mengeluhkan gatal. Bradikardia dan perubahan EKG sering terjadi pada fase
ini. Hematokrit stabil atau lebih rendah dari baseline karen efek dilusi cairan yang
tereabsorbsi. Leukosit mulai meningkat namun peningkatan trombosit akan terjadi
setelahnya. Distres pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru,
atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/ atau fase recovery
apabila terapi cairan intravena diberikan berlebihan.
13
Karakteristik DBD utama adalah kebocoran plasma yang ditandai dengan
gangguan sirkulasi berupa hipotensi, takikardi, sempitnya tekanan nadi dan
tertundanya pengisian kembali kapiler. Dapat terjadi efusi pleura dan asites.
Komplikasi yang jarang adalah ensefalopati, ensefalitis, gagal hati, miokarditis,
dan DIC (disseminated intravascular coagulation).
Manifestasi klinis dengue dapat bervariasi dari asimtomatik,
undifferentiated febrile illness (sindrom virus), DD, DBD, hingga expanded
dengue syndrome.6
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan DD dan tingkat
keparahan DBD sebagai berikut :1,6
Ruam 10%
Manifestasi hemoragik
Tidak ada bukti kebocoran
plasma
DBD I Demam, manifetasi hemoragik dan Trombositopenia <
bukti kebocoran plasma 100000 sel/mm3,
hematokrit meningkat ≥
20%
DBD II Seperti grade I ditambah perdarahan Trombositopenia <
spontan 100000 sel/mm3,
hematokrit meningkat ≥
20%
DBD III Seperti di grade I dan II ditambah Trombositopenia <
(SSD) kegagalan sirkuler (nadi lemah, 100000 sel/mm3,
tekanan nadi sempit, hipotensi, hematokrit meningkat ≥
14
penurunan kesadaran) 20%
DBD IV Seperti di grade III, ditambah syok Trombositopenia <
(SSD) dengan tensi dan nadi tidak teraba 100000 sel/mm3,
hematokrit meningkat ≥
20%
15
dan biasanya diawali dengan adanya warning signs. Pada titik ini, pasien yang
tidak cepat menerima terapi cairan intravena akan jatuh ke fase syok secara cepat.
Syok Dengue berkembang mulai dari kebocoran plasma yang asimtomatik
ke syok terkompensasi lalu ke syok hypotensive dan akhirnya ke henti jantung.
Takikardia (tanpa adanya demam selama masa defervescene) adalah tanda
awal respon jantung terhadap hipovolemia. Remaja dan orang dewasa jarang
menunjukkan gejala takikardia bahkan saat syok.
Selama fase awal syok, mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik ditunjukkan dengan takikardia, takipnea (tanpa peningkatan
usaha bernapas), dan vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi kulit
(ekstremitas dingin dan CRT > 2 detik dan pulsasi nadi lemah). Dikarenakan
resistensi vaskular perifer meningkat, maka tekanan diastolik meningkat
mendekati tekanan sistolik dan tekanan nadi pun menyempit. Pasien dikatan
mengalami syok terkompensasi bila tekanan sistolik normal namun tekanan nadi ≤
20 mmHg pada anak-anak atau bila terdapat tanda perfusi jaringan yang buruk
(ekstremitas dingin, CRT memanjang, atau takikardia). Pada orang dewasa,
tekanan nadi ≤ 20 mmHg mengindikasikan syok yang lebih berat. Asidosis
metabolik terkompensasi dikatakan apabila pH normal dengan pCO2 rendah dan
bikarbonat rendah. Pasien dengan dengue dan syok terkompensasi biasanya sadar.
Syok hipovolemik yang memburuk bermanifestasi sebagai peningkatan
takikardia dan vasokonstriksi perifer. Tidak hanya ekstremitas dingin dan
sianosis, namun ekstremitas bawah menjadi pucat dan dingin. Pernapasan menjadi
cepat dan dalam – sebagai kompensasi asidosis metabolik (Kussmaul’s
breathing). Apabila terjadi dekompensasi, baik tekanan sistolik maupun diastolik
menjadi tidak terdeteksi tiba-tiba dan pasien pun masuk ke fase syok hipotensive
atau syok dekompensasi. Pada fase ini, nadi perifer dan nadi central (femoral)
menjadi lemah. Perubahan status mental terjadi akibat perfusi otak menurun.
Pasien menjadi gelisah, bingung, dan sangat letargis. Kejang dapat terjadi dan
agitasi dapat terjadi berselingan dengan letargi. Sementara itu, anak-anak dan
dewasa muda biasanya tetap sadar walaupun dalam fase profound shock.
Syok hipotensi berkepanjangan dan hipoksia akan menyebabkan asidosis
metabolik, gagal organ multipel, dan kondisi klinis yang lebih menyulitkan.
16
Hipotensi diasosiasikan dengan kondisi syok berkepanjangan yang
dikomplikasikan dengan perdarahan mayor. Pasien dengan dengue berat biasanya
memiliki berbagai derajat gangguan koagulasi, namun biasanya tidak cukup untuk
menyebabkan perdarahn mayor. Ketikan perdarahan mayor terjadi, biasanya
disebabkan profound shock dikombinasikan dengan trombositopenia, hipoksia,
dan asidosis, dan dapat menyebabkan gagal organ multipel dan KID (DIC).
Perdarahan masif dapat terjadi tanpa profound shock ketika pasien
mengonsumsi aspirin, ibuprofen, atau kortikosteroid. Perdarahan juga dapat
terjadi pada pasien dengan riwayat ulkus duodenum atau peptikum. Keadaan
acute liver, renal failure, dan ensefalopati dapat muncul pada syok berat, bahkan
keadaan-keadaan ini pernah ditemukan pada keadaan tanpa kebocoran plasma
maupun tanpa syok. Kardiomiopati dan ensefalitis pernah dilaporkan pada
beberapa kasus dengue. Namun, kematian terbanyak disebabkan oleh profound
and prolonged shock disebabkan kebocoran plasma dengan komplikasi
perdarahan dan/ atau cairan berlebih.
17
Hemolytic uremic syndrome
Jantung Abnormalitas konduksi
Miokarditis
Perikarditis
Sistem pernafasan Acute respiratory distress syndrome
Perdarahan paru
Muskuloskeletal Myositis
Rhabdomiolisis
Limforetikular/ sumsum Sindrom hemofagositik
tulang Idiopathic thrombocytopenic purpura
Infark kelenjar getah bening
Mata Perdarahan macular
Gangguan ketajaman penglihatan
Neuritis optika
Lainnya Sindrom lelah kronik, depresi, halusinasi, psikosis,
alopesia
18
dan demam berkepanjangan harus dipertimbangkan malaria dan demam tifoid
sevagai diagnosis banding. Demam, malaise, muntah, hepatomegali, dan
peningkatan enzim liver sering menyebabkan diagnosis dengue dan hepatitis
tertukar. Bukti adanya kebocoran plasma dan trombositopenia menguatkan
kepada dengue. Ruam berhubungan dengan campak dan rubella memiliki
distribusi khas mulai dari kepala, ke badan, lalu ekstremitas, namun pada dengue
ruam biasanya muncul di badan lalu ke wajah dan ekstremitas. Pasien campak
umumnya memiliki gejala batuk, rinitis, dan konjungtivitis. Demam, ruam, dan
adenopati umumnya ada pada dengue, rubella, infeksi eritema oleh parvovirus
B19, dan infeksi virus herper tipe 6.
Sepsis dan penyakit meningococcal harus dipertimbangkan pada pasien
syok karena kebutuhan pemakaian antibiotik. Tanda dan gejala umum penyakit
dengue seperti demam, ruam, petekia, perdarahan, dan syok berasosiasi dengan
leukopenia dan trombositopenia. Pada syok sepsis biasanya suhu badan tinggi,
walaupun bisa saja subnormal pada fase akhir. Nadi kuat dan ekstremitas hangat
biasanya ada pada syok sepsis fase awal. 14
Membedakan keadaan klinis leptospirosis dan dengue merupakan sebuah
tantangan. Jaundice lebih sering diasosiasikan dengan leptospirosis, namun nyeri
okular, atralgia, dan diare dapat saja muncul. Leptospirosis umumnya
diasosiasikan dengan perkerjaan berhubungan dengan sampah maupun pertanian
atau dengan riwayat-riwayat kegiatan yang behubungan dengan air. Perdarahan
paru adalah bentuk khusus leptospirosis tanpa jaundice yang memiliki beberapa
tanda dan gejala yang sama dengan dengue berat, yaitu demam, trombositopenia,
syok, dan perdarahan masif di paru-paru. Perdarahan paru jarang terjadi pada
dengue; bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura atau ascites mengarahkan ke
diagnosis dengue. 14
Leukopenia dan trombositopenia, dengan atau tanpa perdarahan, dapat
merupakan manifestasi malaria, tifoid, tifus, sepsis bakterial, dan serokonversi
HIV akut. Leukopenia dan trombositopenia dapat muncul di penyakit non-infeksi
seperti SLE atau penyakit autoimmune lainnya, leukemia akut, dan kelainan
hematologis lainnya seperti HSP, TTP, dan ITP. 14
19
Selama fase kritis dengue, pasien dapat mengalami keluhan nyeri perut
berat ketika demam sudah turun. Nyeri perut berat ini dapat menyerupai
appendisitis akut dan kolesistitis akut. Cara membedakan gejala akut abdomen
karena kasus bedah dengan akut abdomen karena dengue adalah nyeri abdomen
pada dengue tidak terlalu tajam dan nyeri berkurang dengan resusitasi cairan. 14
Penyakit demam hemoragik viral memiliki keluhan serupa yaitu
perdarahan, trombositopenia, dan syok. Semua penyakit tersebut menyerang
monosit dan makrofag sebagai target sel. Penyakit-penyakit ini muncul di area
geografis yang berbeda-beda dan memiliki vektor yang berbeda. Perbedaan
dengan dengue yaitu bahwa derajat beratnya dengue ditentukan oleh gangguan
immunologis yang menyebabkan infeksi virus menimbulkan gejala komplikasi. 14
20
DAFTAR PUSTAKA
21
pelatih dokter spesialis dalam tatalaksana DBD. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002. p. 150-61.
13. World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. New edition. 2009.p.3-54.
14. World Health Organization: Handbook for Clinical Management of
Dengue. World Health Organization, 2012.
22