Tesis Ariff
Tesis Ariff
Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Teknik Kimia
Magister Teknik Pengendalian Pencemaran Lingkungan
diajukan oleh
17/420751/PTK/11980
1. Ir. Moh Fahrurrozi, M.Sc., Ph.D. selaku Ketua Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
2. Wiratni, ST., MT., Ph.D. selaku Ketua Program Studi S2 Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
3. Prof. Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Utama
yang telah memberikan bimbingan, dan masukan dari awal hingga akhir
penelitian dan penyusunan tesis ini.
6. Prof. Ir. Arief Budiman, M.S., D.Eng. selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan penyusunan tesis.
iv
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
INTISARI......................................................................................................... xiv
ABSTRACT ..................................................................................................... xv
vi
2.3 Sodium Lignosulfonate (SLS) ....................................................... 15
3.1.4 Wetabilitas................................................................................ 25
vii
3.7.1 Water Flooding I ...................................................................... 33
3.8 Hipotesis......................................................................................... 43
viii
5.4 Uji Karakteristik Batuan .................................................................. 56
Bumi ........................................................................................ 62
Percobaan ................................................................................. 65
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.4 Grafik Simulasi Dan Data Percobaan Pada Media Sandstone ..... 60
Gambar 5.5 Grafik Simulasi Dan Data Percobaan Pada Media Limestone ..... 61
x
DAFTAR TABEL
Tabel 5.3 Data Parameter Pada Simulasi Pendesakan Minyak Bumi .............. 62
xi
DAFTAR SIMBOL
= Porositas, %
g = Percepatan gravitasi
k = Permeabilitas, darcy
M = Massa
mD = Mili Darcy
xii
P = Tekanan, atm
xiii
INTISARI
xiv
ABSTRACT
Indonesia is the largest oil producer in South East Asia with production rate of
ca. 800000 barrels oil per day. Nevertheless, the production rate of oil tends to decline
and hence requires implementation of Enhanced Oil Recovery (EOR). EOR has been
considered as a promising technology to boost the national oil production through
revitalization of existing wells in Indonesia. Chemical EOR with surfactant is known
to reduce the Interfacial Tension (IFT) values of oil and water which may lower the
mobility ratio of water to oil in reservoir. This study aims to investigate the
performance of low cost EOR surfactant from Sodium Lignosulfonate (SLS) in lab-
scale core flooding test over two types of porous media, namely sandstone and
limestone. Here, SLS was produced from lignin which was extracted from black liquor
waste of pulp mill plant. In this study we have used light oil with an oil viscosity of 0.77
cp and Gravity API of 39o. In order to determine the effectiveness of surfactant
performance prior to core flooding, several tests such as aqueos stability test, an IFT
test, CMC (Critical Micelle Concentration) test, and a filtration test have been
conducted. The preliminary test suggests that surfactant concentration of 1% fulfills
the requirement of EOR surfactant. In addition, core flooding test was conducted on
each native core of sandstone and limestone at temperature of 60oC. For core flooding
test, the sequence of flooding was water flooding I, surfactant flooding and water
flooding II / flush water. Here, we would like to evaluate the incremental oil yield after
surfactant flooding and water flooding II. The result of core flooding showed that
sandstone media provided recovery factor as much as 17.5% with 10.9 pore volume
(PV). On the other hand, the core flooding with limestone only gave marginal increase
of recovery factor as much as 4.7% with 11 PV injected. Hence, the result showed that
SLS surfactant showed a promising result for sandstone media. In addition, a
mathematical model of 1D to describe core flooding test has also been developed. The
model could reproduce the data well both for sandstone and limestone. The mobility
ratio in water flooding 1, Ωwf1, was found to be higher than the mobility ratio of water
flooding 2, Ωwf2. Hence, it could be concluded that surfactant injection may lower the
mobility ratio and hence lower the amount of oil saturation in reservoir (Sor). There is
also good agreement of Original Oil In Place (OOIP) estimation from experimental
and simulation results.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi
(migas) di dunia. Saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil migas terbesar
mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti yang tersaji pada kurva warna
Tanpa adanya intervensi teknologi, maka laju produksi migas nasional pada
tahun 2015 hingga 2050 diperkirakan akan terus menurun. Untuk meningkatkan
nilai 800.000 barrel per hari, maka diperlukan usaha untuk menemukan sumber-
1
Proses produksi migas umumnya dilakukan dengan mengandalkan tenaga
dorong alamiah dari reservoir yang masih tinggi (natural flow). Namun seiring
lift). Untuk mendukung proses pengangkatan buatan, terdapat beberapa alat bantu
antara lain Electric Submersible Pump (ESP), Sucker Rod Pump (SRP), Hydraulic
pumping.
penurunan dan masih banyak minyak yang tersisa di dalam reservoir, maka perlu
keekonomisan reservoir. Salah satu metode EOR yaitu melalui injeksi bahan
minyaknya dapat meningkat sekitar 60% dari jumlah cadangan yang ada di
dalam skala besar pada tahun 2020 (Gambar 1.1). Namun demikian, penerapan
yang dapat disajikan dalam tabel 1.1. Penerapan EOR di Indonesia membutuhkan
penerapan EOR dapat memperoleh hasil yang optimal (Dasiba et al, 2016).
2
Tabel 1.1 Kegiatan Chemical EOR di Indonesia (Abdurrahman, 2017)
(Off Shore)
Polymer
Kalimantan
n Puff)
Kalimantan
(Off Shore)
n Puff)
n Puff)
3
n Puff)
Kalimantan
Surfaktan berperan untuk menurunkan tegangan antar muka dua fase cair. Salah
surfaktan EOR (Nur fatwa, 2011). SLS merupakan hasil reaksi dari sulfit dan
lignin, lignin yang diperoleh dapat berasal dari berbagai sumber seperti lindi
hitam dari pabrik pulp, tandan kosong kelapa sawit, atau berasal dari ampas tebu.
harganya murah. Hal ini akan memberikan tingkat keekonomisan yang lebih baik
Penelitian ini akan meneliti pengaruh jenis dan sifat fisik batuan reservoir
surfaktan pada suatu reservoir meliputi sifat fisik fluida reservoir yang terdiri dari:
4
1. Spesific gravity minyak.
2. Viskositas.
3. Densitas.
1. Porositas.
2. Permeabilitas.
3. Saturasi fluida.
1. Jenis surfaktan.
2. Tegangan permukaan.
5
Minyak Bumi Dari dengan larutan SLS termodifikasi pada
Batuan Reservoir media batuan reservoir rantau minyak
Rantau Menggunakan yang dapat di recovery dari proses
Larutan Sodium injeksi air formasi sebesar 4,11 % dari
Lignosulfonate minyak awal dan 28,09 % dari minyak
Termodifikasi. yang tersisa dan secara keseluruhan
jumlah recovery minyak sebesar
89,45% . dari hasil tersebut larutan
surfaktan dapat digunakan dalam tahap
EOR
Fitriani, et al, Pengaruh epoksidasi Pengaruh suhu terhadap kinetika reaksi
3 2017 minyak biji nya- epoksida minyak biji nyamplung
mplung dan memperoleh suhu dan waktu optimum
Kosurfaktan terhadap yang memberikan konversi epoksida
0
kinerja sodium terbaik. Yaitu pada suhu 60 C.
lignosulfonat (SLS) Penambahan senyawa epoksida dan
untuk Enhanced Oil kosurfaktan pada SLS mampu
Recovery (EOR). menurunkan nilai IFT dari Formulasi
SLS.
4 Schievelbein, Penginjeksian Reservoir yang mengandung batuan
Adams, 1987 surfaktan pada karbonat yang berada di Texas bagian
reservoir batuan barat menggunakan formulasi surfaktan
karbonat baru yang diteliti dan dikembangkan
oleh Bellaire Research Laboratories,
Formulasi nya ada 2 dimana yang
formulasi pertama disebut sebagai
"formulasi nonemulsi" mengandung
1,5% (wt / vol) Solubilizer A dan 3,5%
Witco petroleum sulfonat. Dan yang
kedua yaitu "Formulasi emulsi"
mengandung 1,46% Solubilizer B, 3,6%
6
Witco petroleum sulfonat, 0,95%
sintetik sulfonat, 4% minyak gas, dan
4% minyak mentah Slaughter.
Solubilizers A dan B adalah sulfat alkil
eter dan sulfar alkilaril eter.
7
5 Berger, Lee, Konsentrasi surfaktan Jenis surfaktan yang dikembangkan
2002 yang sangat rendah dalam penelitian ini yaitu Alkaline
untuk matriks batuan Surfactant polymer(ASP) dan
sandstone dan pengembangan bisa menghasilkan
limestone konsentrasi yang sangat rendah untuk
menghasilkan tegangan permukaan
yang rendah.
8
baru untuk TDS sedang, dalam formasi
batuan karbonat, pada surfaktan C ini
mempunyai nilai IFT yang rendah
dengan berbagai konsentrasi natrium
karbonat.
campuran surfaktan 0,2% C dan 2,0%
Na2CO3 akan memberikan hasil IFT
dan penyerapan yang sangat baik.
jenis batuan.
9
3. Memperoleh model matematika pendesakan 1D yang bermanfaat untuk
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EOR adalah salah satu teknologi yang lazim digunakan untuk meningkatkan
perolehan minyak bumi dari suatu reservoir. EOR juga dapat dikelompokkan
sebagai metode tertiary recovery karena EOR umumnya diambil sebagai pilihan
terakhir dalam usaha peningkatan produksi minyak. Hal ini terjadi saat usaha
primary recovery dan secondary recovery sudah tidak mampu lagi meningkatkan
produksi minyak atau tenaga dorongan di reservoir yang sudah melemah yang
yang terlihat pada gambar 2.1, terdapat berbagai macam teknologi EOR antara
dan meningkatkan laju aliran fluida yang berada di reservoir (gas injection), dan
metode thermal, dengan cara memanaskan minyak mentah dalam reservoir yang
berguna untuk mengurangi viskositas dan terjadi penguapan dari fluida sehingga
fluida. Penelitian ini fokus pada penerapan Chemical EOR melalui pemanfaatan
11
Proses untuk memilih teknologi EOR yang tepat setidaknya dilakukan
melalui dua tahap penyaringan yaitu penyaringan berdasar aspek teknologi dan
pendukungnya harus diimpor dari luar negeri seperti polymer, surfaktan, dan zat
kimia lainnya.
Polymer
Chemical
Surfactant
Flooding
Alkaline
Carbondioxide
Nitrogen
Steam flooding
Hot water
Thermal
flooding
Electrical
Heating
Gambar 2.1 Berbagai Teknologi EOR. Penelitian ini fokus pada penerapan
Chemical EOR dengan surfaktan
12
Metode pemilihan teknologi EOR yang tepat telah memiliki berbagai
dikembangkan Taber telah diuji dengan berbagai metoda EOR seperti CO2,
juga mempertimbangkan nilai API , viskositas dan tipe formasi yang jadi bahan
13
6 Combustion > 10 < 5,0 > 50 High- > 50 <11,500
porosity
sand/
sandstone
7 Steam > 8 to < > 40 High- >200 < 4,500
13.5 200,000 porosity
sand/
sandstone
2.2 Surfaktan
dari dua cairan yang tidak saling bercampur. Dalam EOR, surfaktan juga berperan
untuk meningkatkan mobilitas minyak yang melekat pada padatan agar dapat
permukaan, dan surfaktan membentuk misel, dimana misel ini adalah suatu
senyawa molekul organik yang memiliki bagian hidrofobik (bagian ekor) dan
hidrofilik (bagian kepala). Bagian hidrofobik memiliki kelarutan yang kurang baik
oleh pelarut karena mempunyai afinitas yang lebih kecil pada molekul-molekul
Untuk fasa minyak dan air bagian hidrofilik mengikat air dan hidrofobik mengikat
minyak.
14
Gambar 2.2 Struktur molekul surfaktan (PSE,2015)
proses Enhanced Oil Recovery (EOR) dalam industri minyak bumi (Fitriani,
2017). Sodium lignosulfonat berasal dari hasil sulfonasi lignin yang dilarutkan
SLS telah banyak diteliti sebagai surfaktan EOR dan mampu melakukan
pendesakan minyak bumi. Selain itu, dari segi ekonomis, SLS memiliki harga
15
yang terjangkau dan berasal dari bahan alam yang mudah diperoleh. Dengan
surfaktan petroleum sulfonat yang hingga kini masih banyak dipakai dalam
industri minyak dan gas bumi. Bahan baku utama SLS adalah lignin yang dapat
diperoleh dari beberapa sumber antara lain lindi hitam dari pabrik kertas, tandan
kosong kelapa sawit, ampas tebu, dan biomassa lainnya yang mengandung lignin.
lingkungan dan dari segi ekonomis sangat efisien bagi industri minyak bumi.
Selain untuk EOR, SLS juga dapat digunakan dalam proses pemboran sumur
Bila dua zat yang tidak saling bercampur ditempatkan bersama-sama, maka
kedua fluida akan saling bersinggungan satu dengan yang lainnya, sehingga di
antara kedua zat tersebut terdapat suatu bidang pemisah yang disebut sebagai
bidang antar-muka. Pada bidang antar muka ini terjadi interaksi antar molekul dari
kedua zat tersebut, sehingga akan timbul dua macam gaya, yaitu gaya adhesi yaitu
gaya yang timbul dari molekul-molekul tidak sejenis, dan gaya kohesi yaitu gaya
16
Tegangan antar muka dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
1. Suhu
Suhu jika dinaikkan dalam suatu sistem, maka system tersebut akan
kecepatan pergerakan molekul dalam sistem dan juga bertambahnya jarak antara
molekul dalam system karena ekspansi. Dengan demikian, maka luas permukaan
sistem bertambah dan menyebabkan energi bebas permukaan tiap molekul akan
berkurang
2. Tekanan
apabila dimasukkan komponen kedua ke dalam sistem seperti gas inert, yaitu gas
atau campuran gas yang dapat mempertahankan kadar oksigen dalam presentase
rendah sehingga mencegah terjadinya ledakan. Penambahan gas pada sistem akan
mengakibatkan sebagian dari gas terserap oleh permukaan cairan, sehingga gaya
permukaan.
17
sehingga tegangan permukaan semakin besar. Surfaktan adalah zat yang dapat
mengaktifkan permukaan karena cenderung terkonsentrasi pada permukaan.
Penambahan surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan.
2.5 Sandstone
penyusunnya adalah butiran-butiran pasir. Butiran pasir ini terbawa oleh adanya
pergerakkan air dari formasi, aliran sungai, dll. Sehingga penumpukan butiran
pasir terjadi dan menjadi batuan pasir ketika kompaksi oleh tekanan dan endapan
butiran pasir yang sudah terakumulasi tersementasi dengan mineral dalam pori-
pori batuan pasir. Batuan ini sering dipakai dalam perindustrian salah satunya
dalam industri minyak bumi. Sandstone pada umumnya mempunyai ukuran dalam
skala 63µm-2 mm. Batuan pasir mempunyai jenis batuan silisiklastik yaitu:
2.6 Limestone
Limestone juga merupakan salah satu bagian dari batuan karbonat, dimana batuan
karbonat merupakan batuan yang mengandung komposisi karbonat lebih dari 50%
18
dari partikel karbonat yang dipadatkan (Rejers&Hsu, 1986) dan batuan karbonat
ini tesusun oleh ion kalsium (Ca2+), ion Magnesium (Mg2+), karbonat (CO3-)
kalsium adalah logam umum yang dijumpai pada hampir semua batuan karbonat
batu gamping yang ditunjukkan oleh tekstur pengendapan yaitu limemud. Batuan
1. Mud Stone
Mud stone adalah batuan sedimen jenis non klastik, batuan ini memiliki
struktur kimia karbonat dan strukturnya tidak berlapis. Batuan sedimen ini
mempunyai ukuran 0,063 milimeter. Salah satu dari batuan karbonat adalah
kalsilutit atau Munstone. Batuan ini mempunyai nama yang berbeda, karena dari
menurut dunham nama untuk batuan tersebut adalah mudstone, karena batuan ini
2. Wackestone
dari 10% allochems dalam matriks lumpur karbonat. Allochems merupakan ooids
dan peloids menurut Dunham (1962), definisi dari ooid adalah butiran karbonat
yang berbentuk bulat dan mempunyai struktur lamina yang konsentris, dan peloid
adalah butiran karbonat yang terdiri dari mikrit. Sedangkan menurut Folk (1959)
19
Allochems merupakan hasil dari prespitasi kimiawi yang sudah menjalani
intrabarsinal.
3. Boundstone
terumbu karang yang sudah berumur 2,5-3 juta tahun yang lalu. Boundstone juga
bafflestone.
20
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1.1 Porositas
rongga pori dalam batuan. Porositas digunakan dalam perhitungan isi awal
yang kosong (pore volume) terhadap volume total batuan (bulk volume) dari suatu
batuan atau ukuran yang menunjukkan besar rongga dalam batuan, ruang kosong
merupakan pori-pori yang saling berhubungan antara satu sama yang lain, tetapi
dapat dirumuskan:
Vp
φ=
Vb ........................................................................................................... (3.1)
a. Porositas primer
21
- Pemilihan butir
b. Porositas sekunder
proses geologi setelah batuan sedimen tersebut terendapkan. Dalam hal ini baik
ukuran, bentuk, letak, maupun hubungan antar pori sudah tidak ada hubungannya
3.1.2 Permeabilitas
dari perancis pada tahun 1856 mempelajari aliran air yang melewati suatu lapisan
dinyatakan dalam Darcy atau Milidarcy. 1 darcy adalah kemampuan batuan untuk
22
mengalirkan fluida pada kecepatan 1 cm3/detik dengan viskositas 1 centipoise
melalui penampang pipa atau pori 1cm2 sepanjang 1 cm, pada perbedaan tekanan
sebesar 1 atmosfer.
k . A dP
Q=−
µ dL ................................................................................................. (3.2)
Berdasarkan dari fasa yang mengalir dalam batuan reservoir, permeabilitas dibagi
menjadi 3 yaitu:
1. Permeabilitas efektif
berporous terdiri dari satu macam fluida misalnya minyak, gas, dan air. Simbol
untuk permeabilitas efektif untuk minyak,air, dan gas yaitu ko, kw, kg.
2. Permeabilitas absolut
tersebut hanya satu fasa saja, simbolis dari permeabilitas absolute sendiri adalah K
3. Permeabilitas relatif
23
Yaitu sebagai perbandingan antara permeabilitas efektif dengan
ko
k ro =
k ........................................................................................................... (3.3)
kw
k rw =
k .......................................................................................................... (3.4)
kg
k rg =
k .......................................................................................................... (3.5)
Permeabilitas Keterangan
(Milidarcy)
>1000 Istimewa
100-1000 Baik sekali
10-100 Baik
5-10 Sedang
<5 Ketat
3.1.3 Saturasi
Saturasi adalah jumlah kandungan fluida yang berada pada batuan berpori
dari suatu formasi. Kandungan fluida tersebut dapat berupa air, minyak, maupun
gas, baik secara bersama-sama maupun minyak dan air atau gas dengan air saja.
24
Dalam reservoir maka jumlah air, minyak, dan gas persatuan volume pori
dinyatakan dalam istilah saturasi. Saturasi minyak (So), saturasi air (Sw), saturasi
gas (Sg).
S w + S o + S g =1 .............................................................................................. ( 3.6)
S w + S o = 1 .................................................................................................... (3.7)
3.1.4 Wettabilitas
dengan fasa fluida, Apabila diberikan dua jenis cairan yang tidak saling
bercampur. Pada bidang antar-muka cairan dengan benda padat terjadi gaya tarik-
menarik antara cairan dengan benda padat yang merupakan faktor dari tegangan
antar-muka antara fluida dan batuan. Dalam reservoir digambarkan sebagai air
Fluida, hal yang dijumpai pada umumnya fluida dalam bentuk cair, bahan untuk
jadi bahan pertimbanagan terkait untuk fluida reservoir yaitu densitas, specific
3.2.1 Viskositas
juga viskositas minyak adalah suatu ukuran tentang besarnya keengganan minyak
25
untuk mengalir. Viskositas juga dipengaruhi oleh temperatur karena semakin
3.2.2 Densitas
tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula masa setiap volumenya.
Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi dengan total
m
ρ= .............................................................................................................. (3.9)
v
densitas zat pada kondisi standart, untuk gas kondisi standart yang digunakan
adalah udara, sedangkan untuk cairan yang digunakan itu adalah air, SG dapat
ρ
SG= ......................................................................................................... (3.10)
ρr
Densitas air sebagai acuan untuk cairan sebesar 62,4 lb/ft3, sementara untuk gas
Mw g
SG= ....................................................................................................... (3.11)
Mwu
murni pada volume dan temperature yang sama. Contoh fluida ataupun liquid
yang dianalisa harus dapat mewakili sistem. Maksudnya adalah apabila akan
26
mengukur spesific gravity fluida yang ditampung dalam sebuah tangki maka
contoh fluida tersebut diambil dari bagian atas , bagian tengah, dan bagian bawah
berikut:
0 141,5
API Gravity= − 131,5 ............................................................................ (3.12)
SG
CMC adalah bagian yang signifikan dalam surfaktan untuk melihat batas
konsentrasi kritis surfaktan, dimana ketika melewati titik CMC surfaktan akan
kisaran nilai CMC, akan tetapi jika nilainya jauh dari CMC akan mengakibatnya
terjadi emulsi balik dan untuk ekonomis tidak menguntungkan. Menentukan harga
CMC ini diukur dari tegangan antar muka surfaktan yang ditinjau, semakin tinggi
nilai konsentrasi dari surfaktan akan mengakibatkan tegangan antar muka semakin
rendah hingga mencapai konsentrasi tegangan antar muka yang konstan, dimana
27
misel kritis atau CMC. Dengan terbentuknya misel, sifat-sifat larutan akan
Gambar 3.1 menunjukkan (pada konsentrasi (a) dibawah CMC dan (b)
diatas CMC), setelah mencapai CMC setiap penambahan dari surfaktan hanya
akan meningkatkan jumlah micelle (dalam kasus yang ideal), seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.1. Dengan kata lain, sebelum mencapai CMC,
Misel dalam larutan encer membentuk suatu kumpulan dengan kepala gugus
ekor gugus hidrofobik didalam pusat misel. Misel biasanya berbentuk globular
dan secara garis besar berbentuk speris, akan tetapi dapat pula berbentuk
elipsoida, silinder, dan bilayer. Bentuk dan ukuran misel merupakan fungsi dari
geometri molekular dari molekul surfaktan tersebut dan kondisi larutan seperti
28
konsentrasi surfaktan, temperatur, pH, dan kekuatan ionik. Proses pembentukan
Salah satu parameter yang terkait dengan CMC adalah Kraft temperature,
atau critical micelle temperature. Ini merupakan suhu minimum di mana surfaktan
Penentuan CMC pada umumnya dengan cara mengukur tegangan antar muka
surfaktan dalam air formasi untuk menentukan surfaktan yang cocok dengan
teknologi injeksi surfaktan. Kelarutan surfaktan dalam brine yang baik sangat
ketika kelarutan surfaktan tidak sempurna, maka distribusi surfaktan dalam brine
jernih. Begitu juga sebaliknya, jika larut sermpurna dengan penampakan keruh
atau membentuk dua fasa, maka surfaktan tidak memenuhi kriteria ini.
Kelakuan fasa sangat dipengaruhi oleh salinitas brine, seperti yang terlihat
pada gambar 3.2 – 3.4 Pada salinitas rendah akan menghasilkan kelarutan fasa air
yang bagus dan kelarutan fasa minyak yang buruk. Pada batas minyak-air akan
29
terdapat dua fasa, yaitu fasa minyak lebih (excess oil) yang terdiri dari pure oil
dan fasa mikroemulsi yang terdiri dari brine, surfaktan, dan beberapa minyak
yang ikut larut dan mengisi bagian dalam swollen micelle. Tipe fasa seperti ini
dikenal sebagai sistem Winsor tipe I atau sistem tipe II (-), sistem water
kelarutan surfaktan dalam fasa air. Pada daerah batas minyak-air akan terdiri dari
fasa brine lebih (excess brine) dan fasa mikroemulsi yang terdiri dari surfaktan
dan beberapa brine yang larut, yang mengisi bagian dalam swollen micelle. Tipe
fasa ini dikenal sebagai sistem Winsor tipe II atau sistem tipe II (+), sistem oil
continuous, seperti yang ditunjukkan oleh gambar 3.3 (Salter, S. J., 1986).
30
Gambar 3.3 Skematik Sistem Winsor Type II
Untuk salinitas yang berada diantara rendah dan tinggi, akan terdapat
perubahan yang kontinu antara sistem tipe II (-) dan tipe II (+), dimana akan
terbentuk fasa kaya surfaktan. Sehingga akan terdapat tiga fasa yang terdiri dari
fasa excess oil, brine dan fasa mikroemulsi yang memiliki komposisi seragam
(invariant). Tipe ini disebut sistem Winsor tipe III atau sistem tipe III, seperti
yang ditunjukkan oleh gambar 3.4. Pada daerah tiga fasa tersebut akan terbentuk
dua tegangan permukaan, yaitu antara mikroemulsi dengan minyak, σso dan
31
Gambar 3.4 Skematik Sistem Winsor Type III
3.6 Filtrasi
dengan mensimulasikan laju alir surfaktan pada media berpori dengan kertas
membran yang berukuran 0,45 µm. Perbandingan antara volume dengan waktu
yang akan menunjukan nilai filtration ratio (FR) dimana besaran nilai filtrasi
apabila dekat dengan angka 1 yang berarti laju alirnya konstan dan tidak ada
angka 1,2 atau kurang dari 1,2 dari perbandingan volume dengan waktu.
32
3.7 Pemodelan matematis
(2004) dan terakhir oleh Putri (2018). Model ini menjelaskan aliran dua fasa
dengan satu dimensi pada media berpori. Gambar 3.5 menunjukkan dasar
penyusunan model untuk fluida yang mengalir pada media berpori pada elemen
volume A.∆x.
33
Neraca massa pada elemen volume A.∆x
∂
ρ w ⋅ q w x −ρ w ⋅ q x + Δx = (φ ⋅ A ⋅ Δx ⋅ ρ w ⋅ S w )
∂t .................................... (3.13)
qw x+Δx − qw x ∂
= −φ ⋅ A ⋅ (sw )
Δx ∂t ..................................................................... (3.14)
∂q w ∂
= − φ ⋅ A ⋅ (Sw )
∂x ∂t ................................................................................... (3.15)
Atau
∂s w 1 ∂q w
=−
∂t φ ⋅ A ∂x .......................................................................................... (3.16)
∂s o 1 ∂q o
=−
∂t φ ⋅ A ∂x .......................................................................................... (3.17)
q w + q o = q .................................................................................................. (3.18)
s w + so =1 .................................................................................................... (3.19)
34
Apabila persamaan dari (3.16) dan (3.17) dijumlahkan akan menjadi:
∂
(s w + so ) = − 1 ∂ (qo + q w )
∂t φ ⋅ A ∂x .................................................................. (3.20)
Jika s w + s o = 1, maka:
∂q
=0
∂x ............................................................................................................ (3.21)
menjadi:
k w A ⎛ ∂Pw ⎞
qw = − ⎜ ⎟
µ w ⎝ ∂x ⎠ ........................................................................................ (3.22)
Dianalogikan untuk kecepatan minyak, maka:
k o A ⎛ ∂Po ⎞
qo = − ⎜ ⎟
µ o ⎝ ∂x ⎠ .......................................................................................... (3.23)
sebagai permeabilitas aliran satu fasa (k) yang dikalikan dengan permeabilitasnya
relatifnya, sehingga:
k w = k ⋅ K rw .................................................................................................... (3.24)
k o = k ⋅ K ro ..................................................................................................... (3.25)
35
maka persamaan (3.24) dan (3.25) akan menjadi:
k ⋅ K rw A ⎛ ∂Pw ⎞
qw = − ⎜ ⎟
µ w ⎝ ∂x ⎠ ................................................................................... (3.26)
k ⋅ K ro A ⎛ ∂Po ⎞
qo = − ⎜ ⎟
µ o ⎝ ∂x ⎠ ................................................................................... (3.27)
Fraksi alir dalam aliran dinyatakan dengan persamaan menurut Buckley, maka
f o =1 − f w ....................................................................................................... (3.28)
Pada rasio koefisien persamaan relatif adalah fungsi saturasi, sedangkan rasio
∂q w ∂f
=q w
∂x ∂x ................................................................................................... (3.29)
∂qw ∂f ∂s
=q w w
∂x ∂sw ∂x ............................................................................................. (3.30)
∂s w q ∂f w ∂s w
=−
∂t φ ⋅ A ∂s w ∂x ................................................................................... (3.31)
∂s o q ∂f o ∂s o
=−
∂t φ ⋅ A ∂s o ∂x ..................................................................................... (3.32)
36
q
Dimana, kecepatan linier fluida: u = maka persamaan (3.33)
A
∂s w u ∂f w ∂s w
=−
∂t φ ∂s w ∂x ........................................................................................ (3.33)
∂s o u ∂f o ∂s o
=−
∂t φ ∂s o ∂x ......................................................................................... (3.34)
Kondisi awal:
kondisi batas
t=0 x=0 sw = 1
Neraca massa air pada elemen volume saat penyapuan dengan surfaktan secara
37
∂s w 1 ∂q w
=−
∂t φ ⋅ A ∂x ......................................................................................... (3.37)
dengan
q w = q ⋅ f w ....................................................................................................... (3.38)
menjadi:
∂s w q ∂f w
=−
∂t φ ⋅ A ∂x ......................................................................................... (3.39)
q
Dimana, kecepatan linier fluida u = , sehingga persamaan menjadi:
A
∂s w u ∂f w
=−
∂t φ ∂x ............................................................................................... (3.40)
Pada penyapuan minyak dengan surfaktan, fraksi air diasumsikan dalam aliran
∂f w ∂f w ∂s w ∂f w ∂C s
= +
∂x ∂s w ∂x ∂C s ∂x ............................................................................ (3.41)
persamaan menjadi:
∂s w u ⎛ ∂f ∂s ∂f ∂C s ⎞
= − ⎜⎜ w w + w ⎟
∂t φ ⎝ ∂s w ∂x ∂C s ∂x ⎟⎠ ................................................................. (3.42)
38
Neraca massa surfaktan pada elemen volume A.∆x
⎡ qw ⎤ ⎡ qw ⎤ Δ(s w ⋅ C s )
⎢ A ⋅ N |
p X + A ⋅ C | −
s x⎥ ⎢ A ⋅ N |
p x + Δx + A C |
s x + Δx ⎥ = φ ⋅ A ⋅ Δx ⋅
⎣ A ⎦ ⎣ A ⎦ Δt (3.43)
⎡ qw qw ⎤
⎢ N p |x − N p |x + Δx A Cs |x − A Cs |x + Δx ⎥ Α(sw ⋅ Cs )
−⎢ + ⎥ =φ
⎢ Δ x Δx ⎥ Δt
⎣ ⎦ ................................ (3.44)
∂N p qw ∂ ∂ (sw Cs )
− − ( f w ⋅ Cs ) = φ
∂x A ∂x ∂t ........................................................... (3.45)
∂Cs
N p = − De
Berdasarkan hukum fick: ∂x
∂ 2 C s qw ∂C q ∂f ∂C q ∂S
De 2 − ⋅ f w s − w ⋅ Cs w = φ ⋅ S w ⋅ s + w ⋅ Cs w
∂x A ∂x A ∂x ∂t A ∂t ..................... (3.47)
∂ 2 Cs qw ∂C ∂C
De 2 − ⋅ f w s = φ ⋅ S w ⋅ s
∂x A ∂x ∂t ............................................................... (3.48)
Jika kecepatan linier fluida adalah u = q/A, maka persamaan diatas menjadi:
39
∂ 2Cs ∂C ∂C
De 2
− u ⋅ f w s =φ ⋅ Sw ⋅ s
∂x ∂x ∂t ................................................................. (3.49)
1
fw = n2
1+
(1 − s ) ............................................................................................ (3.50)
Ω1 ⋅ s n1
sw − swr
S=
1 − swr − sor ⋅ s ............................................................................................. (3.51)
s or ⋅ s = sorw1 − a1 ⋅ Cs
.......................................................................................... (3.52)
0
Ω1 = Ω1 wf 1 − a2 ⋅Cs
......................................................................................... (3.53)
Kondisi awal
Pemodelan yang digunakan untuk water flooding II dengan asumsi antara lain:
• Compressible fluid
40
• Fluida satu dimensi mengikuti pola aliran plug flow
∂ 2Cs ∂C ∂C
De 2
− u ⋅ f w s =φ ⋅ Sw ⋅ s
∂x ∂x ∂t .......................................................... (3.54)
flooding, maka perlu adanya modifikasi persamaan fraksi air, saturasi oil residu
dan mobilitas minyak. Sehingga, persamaan fraksi air atau 𝑓𝑤 tersebut dapat
1
fw = m2
1+
(1 − s ) ............................................................................................ (3.55)
Ω 2 ⋅ s m1
sw − swr
S=
1 − swr − sor ⋅ s ............................................................................................. (3.56)
s or , s = sorw2 − a1 ⋅ C s
......................................................................................... (3.57)
0
Ω0 2 = Ω 2 wf 2 − a2 ⋅ C s
.................................................................................... (3.58)
41
Neraca massa air pada elemen volume A.∆x
Neraca massa air pada elemen volume saat penyapuan dengan water
∂s w u ∂f w
=−
∂t φ ∂x ............................................................................................... (3.59)
dalam aliran merupakan fungsi saturasi air dan konsentrasi surfaktan yang tersisa
∂f w ∂f w ∂s w ∂f w ∂C s
= +
∂x ∂s w ∂x ∂C s ∂x ............................................................................ (3.60)
menjadi:
∂s w u ⎛ ∂f ∂s ∂f ∂C s ⎞
= − ⎜⎜ w w + w ⎟
∂t φ ⎝ ∂s w ∂x ∂C s ∂x ⎟⎠ ................................................................. (3.61)
Dimana, fw merupakan fungsi dari mobilitas dan saturasi seperti persamaan (3.55)
1
fw =
1+
(1 − s )n 2 ........................................................................................... (3.62)
n1
Ω2 ⋅ s
Kondisi awal:
42
t=0 0≤x≤L sw=Sw0 ;Cs = 0
Kondisi batas:
3.8 Hipotesis
43
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Pertamina (Persero)
MINYAK DAN GAS BUMI "LEMIGAS", Cipulir, Jakarta Selatan. Alat yang
44
1. Helium Porosimeter
perbandingan antara celah pori-pori batuan dengan kepadatan batuan yang diteliti,
dan prinsip alat penelitian tersebut adalah dengan menginjeksikan gas helium ke
dalam batuan dengan diberi tekanan. Penggunaan gas helium ini untuk
45
2. Alat rangkaian Penelitian
Gambaran skema rangkaian alat untuk coreflooding ada pada gambar 4.2
air formasi untuk menghasilkan nilai RF yang didapatkan dari visual, besaran RF
ini akan mengetahui kinerja surfaktan yang diinjeksikan pada media berpori
sebelum pada tahapan coreflooding harus di uji surfaktannya terhadap air formasi
46
ditentukan menunjukkan bahwa besaran IFT tidal memenuhi syarat, maka harus
Gambaran dibawah ini adalah skema alat dari spinning drop tensiometer TX-
500D:
Dalam tahap penelitian ini ada beberapa tahapan yaitu aqueous stability
dengan melihat kejernihan pada konsentrasi surfaktan pada air formasi, lalu uji
filtrasi, menghitung sifat fisik batuan, dan core flooding dengan surfkatan, pada
47
4.3.1 Penggunaan Helium Porosimeter
• Persiapan:
1. Pada tahap pertama yang dilakukan adalah sediakan batuan native core
2. Periksa dan pastikan semua koneksi tubing dan selang terhubung dengan
pengukuran.
pada angka 250 psi untuk konstan pada tekanan 7 bar (101.53 psi)
6. Setting regulator pada tabung gas helium agar tekanannya konstan pada
10. Perhatikan koneksi antara PC dan unit yang terlihat pada layar.
• Pengukuran:
48
5. Klik auto selected billets pada software untuk menentukan billets yang
7. Klik start grain measurement dan tunggu sampai didapat grain density
kedalam coreholder.
10. Buka tab result untuk melihat semua hasil pengukuran minyak.
surfaktan dan air formasi yang sudah di campur dan diaduk dengan magnetic
stirrer selama setengah jam. Hal ini juga dapat melihat dari kejernihan surfaktan,
setelah itu masukkan surfaktan yang sudah tercampur air formasi ke dalam suatu
kapiler yang ada di dalam alat spinning drop tensiometer secara horizontal, lalu
diatur dengan suhu 60 oC dengan putaran 6000 rpm. Kemudian amati cairan nya
akan memanjang dan tegangan antar muka fluida bias diukur dan didapatkan
49
batuan sandstone dan limestone untuk memperoleh peningkatan minyak dan
1. Saturasi Air
Tahapan saturasi air pada masing-masing sampel batuan atau native core
2. Saturasi Minyak
Setelah batuan tersaturasi dengan air / terjenuhi air secara sempurna, maka
• Injeksi minyak dilakukan sampai air tidak keluar lagi dari batuan.
50
• Aging core selama 1x24 jam untuk memastikan batuan terjenuhi
3. Coreflooding
sesuai kondisi lapangan saat ini / eksisting. Tahapan coreflood adalah sebagai
berikut:
• Injeksi dengan air atau waterflood dengan laju alir 0.3 cc/menit. Catat
minyak dan air yang keluar dari batuan. Injeksi air bisa dilakukan secara
• Injeksi larutan kimia. Catat minyak dan air yang terproduksi dari dalam
• Injeksi kimia bisa dilakukan secara terus menerus (kontinyu) atau sampai
PV injected tertentu.
• Flush dengan air, dengan laju alir injeksi yang sama (0.3 cc/menit)
Untuk menganalisis data yang diteliti maka ada perhitungan sebagai berikut:
51
Untuk mengetahui presentase kandungan minyak awal yang tersaturasi
digunakan persamaan:
**+,
Soi= 𝑥 100% .......................................................................................... (4.2)
,-
Pada saat ingin mengetahui presentase minyak yang tersisa pada batuan
presentase recovery factor hal ini ditunjukkan untuk melihat peningkatan minyak
52
BAB V
Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil yang diperoleh dari penelitian ini
meliputi aqueous stability, uji, filtrasi, IFT/CMC, uji karakteristik batuan, uji
Pada tahap awal penelitian ini ingin dilakukan uji aqueous stability untuk
Dari gambar 5.1 dapat terlihat bahwa jenis surfaktan berbasis SLS pada
konsentrasi 1% larut sempurna dengan penampakan yang jernih. Jika pada uji
aqueous stability menunjukkan adanya endapan maka pada saat dilakukan injeksi
53
surfaktan dapat menimbulkan plugging pada batuan. Hal ini perlu dihindari karena
akan mempengaruhi kinerja surfaktan dalam mendesak minyak keluar dari batuan.
Langkah berikutnya yaitu melihat laju surfaktan pada media berpori yaitu
dengan kertas berpori yang berukuran 0,45 µm dengan tekanan tertentu. Tabel 5.1
t (s) 1,35 2,82 4,51 6,26 8,22 10,21 12,21 14,16 16,15
Vol cum(ml) 200 220 240 260 280 300 320 340 360
t (s) 36,82
Tabel di atas adalah hasil uji filtrasi yang menunjukkan pengukuran volume
cairan yang tertampung sebagai fungsi waktu. Dengan demikian, nilai filtration
ratio (FR) dapat ditentukan. Interval volume yang digunakan adalah tiap 20 ml.
54
9EFF GH I9JKF GH
𝐹𝑅 =
9KF GH I9LF GH
Hasil uji filtrasi memberikan nilai sebesar 1,14 dan nilai sebesar 1,14
dikategorikan lulus karena masih dibawah nilai 1,2. Hasil tersebut juga
menunjukkan bahwa tidak ada pengotor atau endapan dalam surfaktan yang sudah
relatif konstan.
1.00E+00
1.00E-01
IFT
1.00E-02
1.00E-03
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Konsentrasi Surfaktan (%)
Hasil dari grafik CMC pada surfaktan SLS (Gambar 5.2) menunjukkan nilai
IFT untuk 4 konsentrasi surfaktan yaitu pada konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5% dan 2%.
Dari keempat konsentrasi didapatkan nilai CMC, nilai CMC ini diambil dari titik
55
terendah IFT nya, dimana nilai pada konsentrasi 1% dengan kisaran nilai IFT
4,1×10-3. Pada umumnya konsentrasi surfaktan yang dipilih berada pada kisaran
30% lebih tinggi dari titik CMC, apabila terlalu jauh dari titik CMC akan
sebelum dilakukan uji pendesakan. Tabel 5.2 menunjukkan hasil dari pengukuran
D, mm 25,25 24,81
L, mm 33,32 34,67
jenis sandstone dan limestone secara umum mempunyai kategori yang baik.
Sementara itu, nilai permeabilitas pada batuan reservoir jenis sandstone yaitu
56
105,98 mD dengan dikategorikan baik sekali sedangkan untuk jenis limestone
Pada tahap selanjutnya dilakukan core flooding dalam pembahasan ini ada 4
pembahasan dalam uji coreflooding, yaitu:
dari lapangan X yang mempunyai nilai viskositas sebesar 0.77 cp dan API Gravity
39o. Skenario yang akan dilakukan yaitu ada 3 tahapan yaitu injeksi air, injeksi
surfaktan, dan terakhir injeksi flush water dengan kondisi suhu 60oC dan
confining pressure sebesar 150 psig dengan injection rate 0,3 cm3/min.
Gambar 5.3 Grafik injeksi surfaktan SLS 1 % pada media sandstone dan
limestone.
57
Gambar 5.3 menunjukkan hasil coreflooding untuk batuan sandstone dan
limestone. Pada batuan sandstone, nilai IFT surfaktan yang digunakan pada core
flooding ini bernilai sebesar 4,23× 10-3 mN/m. Nilai recovery factor yang
dihasilkan dari WF (water flooding) sebesar 42,08% dengan 4,1 PVsehingga dari
Soi yang awalnya sebesar 60,71% turun menjadi 35,16% (nilai Sor) dengan
perolehan minyak (incremental oil recovery) dari surfactant flooding dengan 7,1
PV sebesar 13,3% dengan perolehan minyak 0,32 cm3, dan nilai Sor nya turun
flush water sebesar 10,9 PV menghasilkan incremental oil sebanyak 0,1 cm3 atau
sebesar 4,2%. Pada kondisi ini, nilai Sor juga turun menjadi 24,5%. Dengan
demikian, total RF dari awal surfactant flooding hingga flush water diperoleh
sebesar 17,5%.
Gambar 5.3 juga menunjukkan hasil injeksi surfaktan berbasis SLS pada
media limestone. Dalam hal ini nilai IFT surfaktan yang terukur adalah 3,17×10-3
mN/m. Proses water flooding menghasilkan nilai RF sebesar 42,74% atau minyak
yang didapatkan sebanyak 1 cm3. Nilai ini diperoleh dengan jumlah air injeksi
sebesar 4,1 PV. Hasil pendesakan juga menunjukkan bahwa nilai Soi yang pada
mulanya 81,46% turun menjadi sebesar 46,64% (nilai Sor). Jumlah minyak yang
tersisa pada batuan sebanyak 1,34 cm3. Setelah itu dilanjutkan dengan surfactant
flooding hingga minyak tidak terproduksi lagi dan didapatkan kenaikan nilai RF
sebesar 2.14% atau setara dengan perolehan minyak sebanyak 0,05 cm3 dengan
58
injeksi 7,4 PV pada akhir surfactant flooding. Pada kondisi ini, nilai Sor turun
menjadi 44,9% atau minyak yang tersisa pada batuan menjadi sebesar 1,29 cm3.
Pada tahapan berikutnya, dilakukan injeksi air (flush water) dan meningkatkan
terproduksi sebanyak 0,06 cm3. Pada kondisi ini, nilai Sor kembali turun menjadi
42,8% dan nilai ini setara dengan jumlah sisa minyak yang masih berada pada
batuan sebanyak 1,23 cm3. Dengan demikian, jadi total RF yang dihasilkan dari
injeksi surfaktan hingga flush water pada batuan limestone adalah 4,7%.
bahwa jumlah PV surfaktan yang diinjeksikan relatif sama dengan nilai IFT yang
chemical flooding disarankan media berpori yang digunakan yaitu sandstone dan
hasil pendesakan pada limestone memiliki peningkatan oil yield yang cukup
rendah.
SLS memberikan kenaikan RF pada kedua batuan. Hal ini menunjukkan bahwa
secara umum injeksi surfaktan berbasis SLS telah berperan dalam menurunkan
nilai IFT. Akibatnya, minyak yang tersisa mudah mengalir melalui pori-pori
59
Sedangkan untuk batuan limestone, nilai RF yang dihasilkan lebih rendah yang
bias jadi disebabkan karena adanya kandungan clay pada batuan limestone.
secara axial 1D. Gambar 5.4 menunjukkan hasil pemodelan dan percobaan pada
batuan sandstone.
Gambar 5.4 Grafik Simulasi Dan Data Percobaan Pada Media Sandstone
60
Terkait gambar diatas menunjukkan grafik simulasi dengan data percobaan
dimana hasil dari grafik tersebut adalah antara RF vs waktu dan menunjukkan
bahwa pendekatan dengan pemodelannya sudah hampir sesuai dengan data hasil
percobaanya. Dalam pemodelan ini OOIP yang berada dalam batuan sandstone
3,01 cm3 sedangkan pada percobaannya sebesar 2,4 cm3. Pada gambar 5.4 pada
water flooding I untuk simulasi mendapatkan hasil RF sebesar 42,5%, dan untuk
percobaan yaitu 42,1%, setelah itu injeksi surfaktan sampai fluida tidak
terproduksi lagi dan didapatkan nilai RF dari hasil injeksi surfaktan sebesar 55,3
% untuk simulasi dan untuk percobaan sebanyak 55,4% akan tetapi apabila
dilihat dari gambar 5.4 dalam surfactant flooding kenaikan untuk perolehan
minyak, simulasi dengan data percobaan berbeda hal ini dikarenakan adanya rasio
mobilitas dan difusi pada konsentrasi surfaktan yang mempengaruhi dari kenaikan
flooding II pada gambar 5.4 terlihat hasil simulasi dengan percobaan RF nya sama
yaitu 59,6%.
Gambar 5.5 Grafik Simulasi Dan Data Percobaan Pada Media limestone
61
Gambar 5.5 menunjukkan perbandingan hasil simulasi dan percobaan untuk
pendesakan minyak bumi dengan media limestone. Secara umum, model yang
bahwa nilai OOIP yang diperoleh sebesar 3,156 cm3, sedangkan nilai OOIP
berdasar hasil percobaan sebesar 2,34 cm3. Pada tahapan water flooding I
nilai RF saat akhir injeksi surfaktan berdasar simulasi sebesar 45,53% dan untuk
data percobaan 44,9%. Pada tahap akhir, yaitu tahap flush water atau water
Bumi
Ωwf1, n1, dan n2. Sedangkan parameter yang berpengaruh saat pendesakan dengan
surfaktan adalah De, a1, a2. Akhirnya, parameter untuk water flooding II yaitu
Jenis Batuan
Parameter
Sandstone Limestone
62
n1 (-) 0,538 0,778
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa untuk media sandstone nilai rasio mobilitas
pada water flooding I (Ω0wf1) yaitu sebesar 1,832, untuk nilai besaran n1 dan n2
mempengaruhi besar perolehan minyak dari fungsi viskositas dengan nilai 0,538
untuk n1 dan 1,871 untuk n2. Selanjutnya didapatkan nilai Sorw1 dari ketiga
2,95E-06 cm2/s dengan nilai a1 dan a2 yang ada pada tabel 5.3.
mobilitas (Ω0wf2) sebesar 0,852. Disini dapat dilihar bahwa nilai Ω0wf2 lebih
rendah daripada nilai Ω0wf1 sehingga nilai Sor pada water flooding II menurun
63
menjadi 0,398. Laju injeksi juga mempengaruhi kenaikan RF pada simulasi
pendesakan dan pada sandstone digunakan laju injeksi volumetrik sebesar 0,0211
cm3/detik.
Tabel 5.3 juga menunjukkan nilai parameter pada simulasi minyak bumi
dengan media limestone. Pada tahapan water flooding I, nilai Ω0wf1 diperoleh
sebesar 0,982 dan nilai n1 lebih kecil dibandingkan n2. Hal ini mempengaruhi
perolehan minyak atau RF dimana hasil Sor pada water flooding I sebesar 0,495.
Pada tahapan water flooding II, nilai rasio mobilitas (Ω0wf2) menurun
dibandingkan dengan nilai Ω0wf1 pada water flooding I sehingga perolehan minyak
meningkat. Sementara itu, nilai Sor water flooding II menjadi 0,468. Pada media
limestone, laju volumetrik injeksi fluida yang digunakan pada pemodelan ini
Dilihat dari kedua jenis media batuan berpori, nilai Ω0wf1 secara konsisten
memiliki nilai yang lebih besar daripada nilai Ω0wf2. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin kecil rasio mobilitasnya maka akan menurunkan jumlah sisa minyak
yang berada dalam batuan (Sor) yang dibarengi dengan peningkatan nilai RF. Hal
ini sejalan dengan Sheng (2011) yang menyatakan bahwa penurunan rasio
mobilitas berkaitan erat dengan jumlah minyak yang tersisa di reservoir (Sor).
64
5.5.4 Perbandingan Perhitungan Parameter Simulasi dengan Percobaan
pendesakan minyak bumi yang dapat diperoleh dari simulasi dan percobaan. Pada
sub bab ini akan dibahas perbandingan beberapa nilai parameter yang diperoleh
Sandstone
Parameter
simulasi percobaan
dari simulasi dan data percobaan. Nilai Sor pada water flooding I diperoleh 0,535 ,
sedangkan dari data percobaan 0,3522. Jumlah minyak tersisa pada batuan untuk
water flooding II yaitu 0,398 untuk simulasi dan percobaan 0,245. Jika ditinjau
selisih dari Sorw1 dan Sorw2, maka dapat dilihat bahwa penurunan Sor
berdasarkan hasil simulasi dan percobaan cukup mirip dengan nilai sekitar 0,1.
Hasil evaluasi OOIP menunjukkan hasil yang cukup mirip antara simulasi
dan data percobaan. Perbedaan ini barangkali dapat dikaitkan dengan penggunaan
65
Tabel 5.5 Parameter Simulasi dengan Percobaan Pada Limestone
Limestone
Parameter simulasi percobaan
simulasi berbasis MATLAB dengan media limestone. Jumlah minyak yang tersisa
(Sorw1 dan Sorw2) memiliki nilai yang hampir sama untuk simulasi dan hasil
percobaan. Demikian pula dengan nilai OOIP yang nilainya relatif sama. Hal ini
bias jadi karena nilai laju injeksi antara simulasi dan percobaan hampir sama yaitu
66
BAB VI
6.1. Kesimpulan
telah dilakukan pada batuan sandstone dan limestone. Beberapa kesimpulan yang
kriteria SKK MIGAS karena memiliki nilai Recovery Factor lebih dari
memenuhi kriteria SKK MIGAS karena nilai Recovery Factor yang lebih
percobaan dengan cukup baik. Hasil evaluasi parameter Sorw1, Sorw2 dan
OOIP juga menunjukkan nilai yang cukup mirip antara hasil simulasi dan
digunakan sebagai acuan untuk evaluasi nilai rasio mobilitas minyak dan
67
6.2. Saran
lain:
1. Perlu dilakukan uji sensitivitas laju injeksi terhadap Recovery Factor pada
batuan sandstone dan limestone. Hal ini untuk meneliti besaran tahanan
68
DAFTAR PUSTAKA
69
Menggunakan Larutan Sodium Lignosulfonat Termodifikasi. Skripsi,
Laporan Penelitian Laboratorium Teknologi Minyak Bumi, Departemen
Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Irham, S. (2002). Penuntun Praktikum Analisa Batuan Reservoir. Universitas
Trisakti, Jakarta.
Ismiyati., Ani, S., Djumali, M., Machfud., Erliza, H. (2007). Optimasi Proses
Sulfonasi Lignin Menjadi Natrium Lignosulfonat (NaLS) Dan Karakterisasi
Sebagai Aditif Jenis Water Reducing Admixtures (WRA). Jurnal Inovisi.
vol 06 -02.
Purwono, S., Murachman, B., Wiyono, A., Sumadi. (1999). Improving Recovery
Percentage Of Residual Oil In Simulated Reservoir Using Petroleum And
Non-Petroleum Base Surfactant. Forum Teknik.
Pusat Studi Energi. (2015). Optimasi Proses dan Kinetika Reaksi serta Formulasi
Surfaktan SLS Berbahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit untuk
Enhanced Oil Recovery. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
70
Lignosulfonat(SLS). Tesis, Departemen Teknik Kimia, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Sheng J.J.( 2011). Modern Chemical Enhanced Oil Recovery : Theory and
Practice. New York. Gulf Proffesional Publishing.
Taber J.J., Martin F.D., Seright R.S. (1996). EOR Screening Criteria Revisited
part 1: Introduction to Screening Criteria and Enhanced Recovery Field
Project. Society Petroleum Engineering 35385. Symposium Improved Oil
Recovery, Tulsa, Oklahoma.
Wibowo, E. B., Buntoro, A., & M.Natsir. (2007). Upaya peningkatan perolehan
minyak menggunakan metode chemical flooding di lapangan limau, Paper
IATMI 2007-TS-35 presented at the IATMI National symposium, 25-28
july 2007, Yogyakarta, Indonesia.
Willhite, P., Green. (1998). Enhanced Oil Recovery. Society Petroleum
Engineering Textbook. Richardson, Texas.
Willhite, P., Green. (1986). Waterflooding. Society Petroleum Engineering
Textbook. Richardson, Texas.
Yuliansyah, A. T. (2004). Aliran Dua Fasa Melalui Media Berpori Pada
Enhanced Oil Recovery Dengan Polymer Flooding. Thesis, Laporan
Penelitian Laboratorium Teknologi Minyak Bumi, Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
71
LAMPIRAN A
DATA PERCOBAAN
72
A.2. Tabel perhitungan hasil analisa pendesakan minyak pada media sandstone
COREFLOOD SUMMARY
Step 1: Brine Saturation
Method Injection
Dry weight 33.76 gr
Wet weight 37.66 gr
PV Brine 3.95 cm3
Remark 0
Step 2: Oil Saturation
Method 0.3 cc/min
Displaced water 2.40 cm3
Oil in place OOIP 2.40 cm3
Oil saturation Soi 60.71 %
Water in place 1.55 cm3
Water saturation Swi 39.29 %
Remark 0
Step 3: Water Flood
Injected amount 4.10 PV
Oil produced Np WF 1.01 cm3
Recovery factor RF WF 42.08 %
Remaining oil 1.39 cm3
Residual oil saturation Sor WF 35.16 %
Remark
Step 4: Surfactant Flood
Injected chemical 7.11 PV
Oil produced Np SF 0.32 cm3
Recovery factor RF SF 13.33 % IOIP
23.02 % ROIP
Remaining oil 1.07 cm3
Residual oil saturation Sor SF 27.07 %
Remark Emulsion in effluent
flush water
Injected chemical 10.9 PV
Oil produced 0.10 cm3
Recovery factor 4.167 %
73
74
A.4. Tabel perhitungan hasil analisa pendesakan minyak pada media limestone
COREFLOOD SUMMARY
Step 1: Brine Saturation
Method Injection
Dry weight 33.88 Gr
Wet weight 36.71 Gr
PV Brine 2.9 cm3
Step 2: Oil Saturation
Method 0.3 cc/min
Displaced water 2.34 cm3
Oil in place OOIP 2.34 cm3
Oil saturation Soi 81.46 %
Water in place 0.53 cm3
Water saturation Swi 18.54 %
Step 3: Water Flood
Injected amount 4.1 PV
Oil produced Np WF 1.00 cm3
Recovery factor RF WF 42.74 %
Remaining oil 1.34 cm3
Residual oil saturation Sor WF 46.65 %
Step 4: Surfactant Flood
Injected chemical 7.4 PV
Oil produced Np SF 0.05 cm3
Recovery factor RF SF 2.14 % IOIP
Remaining oil 1.29 cm3
Residual oil saturation Sor SF 44.91 %
Flush water
Injected chemical 11.0 PV
Oil produced 0.06 cm3
Recovery factor 2.564 %
75
LAMPIRAN B
%main program
close all
clear all
clc
load data.tesis.mat;
% data
L=3.333;
Nz=42;
dz=L/(Nz-1);
delw=1e-1;
delt=1;
Dcore=2.54;
porositas=0.185;
Area=pi./4.*Dcore.^2;
Input=zeros(length(Data(:,1)),2);
Input(1:41,1)=Data(1:41,1);
Input(13:33,2)=1e-2;
76
n2=1.871;
De=2.95e-06;
a1=12.826;
a2=10.976;%1.976
omegawf2=0.852;
m1=2.011;
m2=1.845;
Sorw1=0.535;%0.535
Sorw2=0.398;
Swr=0.0354;
uflux=0.0211./Area;
fwin=1;
qflux=uflux./porositas;
tspan=0:delt:Data(end,1);
Y0=zeros(1,2.*Nz);
Y0(1:Nz)=Swr;
77
%Menghitung besaran OOIP (Original Oil in Place)
XX=linspace(0,L,Nz);
OOIP=porositas*Area.*trapz(XX,1-Y0(1:Nz))
%Menghitung Volume Total Minyak yang Terproduksi dengan Fungsi Waktu dan
Posisi
VV=zeros(length(tspan),1);
for i=1:length(tspan)
XX=0:dz:L;
YY=Y(i,1:Nz);
VV(i)=porositas.*Area.*trapz(XX,1-YY);
VOP(i)=1/OOIP.*(OOIP-VV(i)).*1e2;
end
RF=interp1(t,VOP',Data(:,1));
%Fraksi Surfaktan
figure(2)
imagesc(0:dz:L,tspan,Y(:,Nz+1:2.*Nz))
grid on
colorbar
78
figure(3)
plot(tspan,VOP,'-b')
hold on
plot(Data(:,1),Data(:,2),'or')
grid on
_________________________________________________________________
function
dYdt=myfun(t,Y,dz,Nz,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Sorw1,Sorw2,S
wr,delw,qflux,fwin,Input,porositas,De)
Csin=interp1(Input(:,1),Input(:,2),t);
%Csin=0;
%% Input Vektor Y
Sw=Y(1:Nz);
Cs=Y(Nz+1:2.*Nz);
dYdt=zeros(2.*Nz,1);
fw(i)=fwcalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csa,Sorw1,Sorw2,S
wr,t);
end
%% Memulai FDA
for i=1
dfwdz(i)=(fwin-0.5.*(fw(i)+fw(i+1)))./dz;
79
fwmean=0.5.*(fw(i)+fw(i+1));
Csmean=0.5.*(Cs(i)+Cs(i+1));
term1=2.*qflux./porositas./Sw(i).*(fwin.*Csin-fwmean.*Csmean);
term2=2.*De./porositas./Sw(i).*(Cs(i+1)-Cs(i))./dz.^2;
term3=Cs(i)./Sw(i).*dYdt(i);
dYdt(i)=2.*qflux.*dfwdz(i);
dYdt(Nz+i)=term1-term2-term3;
end
for i=2:Nz-1
% FDA for discretization of Sw
Swa=Sw(i);
Csa=Cs(i);
dfwdsw(i)=dfwdswcalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csa,Sorw1
,Sorw2,Swr,delw,t);
dswdz(i)=(Sw(i+1)-Sw(i-1))./(2.*dz);
dfwdcs(i)=dfwdcscalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csa,Sorw1,
Sorw2,Swr,delw,t);
dcsdz(i)=(Cs(i+1)-Cs(i-1))./(2.*dz);
dYdt(i)=-qflux.*(dfwdsw(i).*dswdz(i)+dfwdcs(i).*dcsdz(i));
for i=Nz
dfwdz(i)=((fw(Nz-1)+fw(Nz))/2-fw(Nz))./dz;
fwmean=0.5.*(fw(i-1)+fw(i));
80
Csmean=0.5.*(Cs(i-1)+Cs(i));
term1=2.*qflux./porositas./Sw(i).*(fwmean.*Csmean-fw(i).*Cs(i))./dz;
term2=2.*De./porositas./Sw(i).*(Csin-Cs(i))./dz.^2;
term3=Cs(i)./Sw(i).*dYdt(i);
dYdt(i)=2.*qflux.*dfwdz(i);
dYdt(2.*Nz)=term1-term2-term3;
end
end
__________________________________________________________________
function
dfwdcs=dfwdcscalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csa,Sorw1,So
rw2,Swr,delw,t);
Csb=(1+delw).*Csa;
fw_a=fwcalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csa,Sorw1,Sorw2,S
wr,t);
fw_b=fwcalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csb,Sorw1,Sorw2,S
wr,t);
if Csa<=0
dfwdcs=0;
else
dfwdcs=(fw_b-fw_a)./(delw.*Csa);
end
end
________________________________________________________
function
dfwdcs=dfwdcscalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csa,Sorw1,So
rw2,Swr,delw,t);
Csb=(1+delw).*Csa;
81
fw_a=fwcalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csa,Sorw1,Sorw2,S
wr,t);
fw_b=fwcalc(Swa,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Csb,Sorw1,Sorw2,S
wr,t);
if Csa<=0
dfwdcs=0;
else
dfwdcs=(fw_b-fw_a)./(delw.*Csa);
end
end
function
fw=fwcalc(Sw,omegawf1,omegawf2,a1,a2,n1,n2,m1,m2,Cs,Sorw1,Sorw2,Swr,t)
if t<=2398
omega0=omegawf1-a2.*Cs;
Sorp=Sorw1-a1.*Cs;
else
omega0=omegawf2-a2.*Cs;
Sorp=Sorw2-a1.*Cs;
end
S=(Sw-Swr)./(1-Swr-Sorp);
82
if t<=2398
bawah1=1+((1-S).^n2)/(omega0.*S.^n1);
else
bawah1=1+((1-S).^m2)/(omega0.*S.^m1);
end
fw=1./bawah1;
end
Gambar B.1 Grafik Simulasi Dan Data Percobaan Pada Media Sandstone
83
Gambar B.2 Grafik Simulasi Dan Data Percobaan Pada Media Sandstone
84