Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Sampah
Sampah adalah semua buangan padat yang dihasilkan dari seluruh kegiatan manusia
dan hewan yang tidak berguna atau tidak diinginkan (Tchobanoglous, Theissen dan Eliassen,
1993). Sampah adalah limbah padat yang terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang
dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola supaya tidak membahayakan bagi lingkungan
dan melindungi investasi pembangunan (Budi Utomo dan Sulastoro,1999). Pengelolaan dan
penanganan sampah kini menjadi masalah yang kian mendesak di kota-kota, sebab apabila
tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan
keseimbangan lingkungan. Berdasarkan data (BPS Bandung, 2001), dari 384 kota yang
menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut
ke TPA adalah sebesar 4,2%, yang dibakar sebesar 37,6%, yang dibuang ke sungai 4,9% dan
yang tidak tertangani 53,3% (Bappenas, 2002). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya adalah penanganan sampah di TPA yang masih konvensional dan semakin
pesatnya pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang telah menyebabkan timbulan
sampah pada perkotaan semakin tinggi. Besarnya timbulan sampah tersebut jika tidak
ditangani dengan tepat akan menyebabkan permasalahan baik langsung maupun tidak
langsung bagi penduduk kota. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan
pengelolaan dan penanganan terhadap sampah.
B.Sumber Sampah
Menurut Budi Utomo dan Sulastoro (1999). Sumber/asal sampah dapat dipilahkan
menjadi 7 macam, yaitu:
1. Daerah pemukiman/rumah tangga, umumnya merupakan sampah basah/organik.
2. Daerah komersial, meliputi sampah yang berasal dari pasar, pertokoan, restoran.
3. Daerah institusional, terdiri atas sampah yang berasal dari perkantoran, sekolah, tempat
ibadah dan lain-lain. Umumnya merupakan sampah kering.
4. Daerah terbuka, antara lain sampah yang berasal dari pembersihan jalan, trotoar, taman
dan lain-lain. Umumnya merupakan sampah organik dan debu.
5. Daerah industry, yaitu sampah yang berasal dari sisa-sisa kegiatan industri, sangat
tergantung kepada jenis industrinya.
6. Daerah pembangunan, pemugaran dan pembongkaran, semua bahan yang berasal dari
kegiatan tersebut, dapat berupa pecahan bata, kayu, besi, dan lain-lain.
7. Rumah sakit/poliklinik, sampah di lokasi ini dapat berasal dari sampah kantor, sampah
bekas operasi, pembalut, dan lain-lain.
C. Jenis-Jenis Sampah
Menurut Gelbert dkk (1996), jenis-jenis sampah dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan–bahan hayati yang dapat
didegradasi oleh mikroba. Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses
alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk
sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa–sisa makanan, pembungkus (selain
kertas, karet dan plastik), tepung , sayuran, kulit buah, daun dan ranting.
2. Sampah Anorganik
Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan nonhayati, baik
berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang.
Sebagian besar sampah anorganik tidak dapat diurai oleh alam/mikroorganisme secara
keseluruhan dan sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama.
Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas
plastik, dan kaleng,
D. Komposisi Sampah
Data komposisi sampah rata-rata yang ada di kota-kota besar Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 2.1. Tabel
2.1 Komposisi Sampah Rata-rata yang Ada di Kota-kota Besar Indonesia.
1. Organik 73,98
2. Kertas 10,18
3. Kaca 1,75
4. Plastik 7,86
5. Logam 2,04
6. Kayu 0,98
7. Kain 1,57
8. Karet 0,55
9. Baterai 0,29
10. Lain-lain 0,86
Sumber : Studi Komposisi Dan Karakteristik BPPT,1994 dalam DKP Kota Bata, 2015.
Faktor yang mempengaruhi produksi sampah: (Alhamda dan Sriani, 2015)
1. Jumlah penduduk dan kepadatannya
Setiap pertambahan penduduk akan diikuti oleh kenaikan jumlah sampah, demikian
juga daerah perkotaan yang padat penduduknya memerlukan pengolahan sampah
yang baik.
2. Tingkat aktivitas
Semakin banyak kegiatan atau aktivitas, maka akan berpengaruh pada jumlah
sampah.
3. Pola hidup atau tingkat ekonomi
Banyak barang yang dikonsumsi manusia juga berpengaruh pada jumlah sampah.
4. Letak geografi
Daerah pegunungan, daerah pertanian akan menentukan jumlah-jumlah sampah.

5. Iklim
Iklim tropis, sub tropis juga ikut berperan mempengaruhi jumlah sampah.
6. Musim
Musim gugur, musim semi, musim buah-buahan juga mempengaruhi jumlah sampah.
7. Kemajuan teknologi
Pembungkus plastik, daun, perkembangan kemasan makanan juga mempengaruhi
banyaknya jumlah sampah.
E. Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan untuk menangani sampah
sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir. Secara garis besar, kegiatan
pengelolaan sampah meliputi pengendalian timbulan sampah, pengumpulan sampah, transfer
dan transport, pengolahan dan pembuangan akhir (Kuncoro Sejati, 2009).
F. Penimbulan Sampah
Sampah pada dasarnya tidak diproduksi, tetapi ditimbulkan. Timbulan sampah yang
dihasilkan untuk suatu kota sangat tergantung dari jumlah penduduk dan aktivitas masyarakat
yang ada di daerah tersebut. Untuk kota-kota di Indonesia, timbulan sampah rata-rata adalah
2,5-3,5 liter/orang/hari.
Menurut SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh
Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, bila data pengamatan lapangan belum tersedia,
maka untuk menghitung besaran timbulan sampah dapat digunakan nilai timbulan sampah
sebagai berikut:
1. Satuan timbulan sampah kota besar = 2 – 2,5 liter/orang/hari, atau 0,4-0,5
kg/orang/hari.
2. Satuan timbulan sampah kota sedang atau kecil = 1,5 – 2 liter/orang/hari, atau 0,3 –
0,4 kg/orang/hari.
G. Penanganan di Tempat
Adapun yang dimaksud dengan penanganan sampah di tempat atau pada sumbernya
adalah semua perlakuan terhadap sampah yang dilakukan sebelum sampah ditempatkan di
lokasi tempat pembuangan. Suatu material yang sudah dibuang atau tidak dibutuhkan, sering
sekali masih memiliki nilai ekonomis. Penanganan sampah di tempat, dapat memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap penanganan sampah pada tahap-tahap selanjutnya dan
mengurangi volume sampah yang akan dibuang ke TPA.
Peran serta masyarakat merupakan hal yang penting dalam pengelolaan sampah.
Dalam program jangka panjang setiap rumah tangga disarankan mengelola sendiri
sampahnya melalui prinsip 4R. Adapun prinsip 4R yang bisa diterapkan dalam keseharian
yaitu sebagai berikut (Kuncoro Sejati, 2009) :
1. Reduce (mengurangi)
Meminimalisasi barang atau material yang kita gunakan, seperti:
a. Membawa tas belanja sendiri untuk mengurangi sampah kantong plastic
pembungkus barang belanja.
b. Membeli kemasan isi ulang daripada membeli kemasan baru setiap habis
sekali pakai
c. Membeli susu, makanan kering, detergen dan lain-lain dalam paket yang besar
daripada membeli beberapa paket kecil untuk volume yang sama. Semakin
banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.

2. Reuse
Sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian
barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang
waktu pemakaian barang sebelum menjadi sampah.
3. Recycle (daur ulang)
Daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas
kegiatan pemilahan, pengumpulan pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan
produk / material bekas pakai.Tidak semua barang bisa didaur ulang. Material yang
dapat didaur ulang antara lain adalah :
a. Botol bekas wadah kecap, saos, sirup, krim kopi baik yang putih bening maupun
yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal.
b. Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecuali kertas
yang berlapis (minyak atau palstik).
c. Plastik bekas wadah sampo, air mineral, jerigen, ember dan lain-lain.
d. Sampah basah organik dapat diolah menjadi kompos.
4. Replace (mengganti)
Mengganti barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih
tahan lama dan ramah lingkungan. Misalnya mengganti kantong tas keresek dengan
keranjang dan mengurangi pemakaian styrofoam.
Karena kedua bahan ini (tas keresek dan styrofoam) tidak bisa terdegradasi secara
alami.

H. Pengumpulan
Cara pengumpulan atau pengambilan sampah dilakukan dengan 2 cara yaitu (Kuncoro
Sejati, 2009):
1. Langsung : kendaraan pengangkut mengambil sampah dan langsung di bawa ke
tempat pengolahan.
2. Tidak langsung : sampah diangkut dari wadahnya dengan gerobak pengangkutan
sampah atau sejenisnya untuk terlebih dahulu dikumpulkan di TPS dan kemudian
diambil oleh kendaraan pengangkut dibawa ke TPA. Faktor yang perlu
diperhatikan adalah jarak antara tempat-tempat pengumpulan sementara.
I. Pengangkutan
Pengangkutan sampah adalah proses pemindahan dari suatu tempat atau berbagai
tempat ke suatu lokasi pengumpulan sampah tersebut. Jenis peralatan pengangkutan
adalah truk biasa, dump, truk, arm roll truk, multi loader truk (Kuncoro Sejati, 2009).
J. Pengolahan
Berbagai alternatif yang tersedia dalam proses pengolahan sampah diantaranya adalah
(Kuncoro Sejati, 2009) :
1. Transformasi fisik, meliputi pemisahan sampah dan pemadatan yang bertujuan
untuk mempermudah penyimpanan dan pengangkutan.
2. Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah yang dapat
mengubah sampah menjadi abu, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-
95%. Meski merupakan teknik yang efektif, tetapi bukan merupakan teknik yang
dianjurkan. Hal ini disebabkan karena memerlukan biaya yang sangat besar untuk
membangun tempat pembakaran sampah tersebut. Selain itu juga diperlukan
tempat yang jauh dari segala kegiatan untuk menghindari asap, bau dan
kemungkinan terjadinya kebakaran. Di samping itu teknik baru ini akan berfungsi
dengan baik bila kualitas sampah yang diolah memenuhi syarattertentu, seperti
tidak terlalu banyak mengandung sampah basah dan mempunyai niali kalor yang
cukup tinggi. Di Indonesia proses ini sulit diterapkan mengingat persentase
sampah adalah sampah organik atau sampah basah dengan kandungan air yang
tinggi sehingga diperlukan proses pengeringan terlebih dahulu untuk kemudian
bisa dibakar
3. Pembuatan kompos (composting), yaitu mengubah sampah melalui proses
mikrobiologi menjadi produk lain yang dapat dipergunakan. Hasil dari proses ini
adalah kompos dan biogas. Cara pengomposan merupakan cara sederhana dan
dapat menghasilkan pupuk yang mempunyai nilai ekonomi. Pengomposan
merupakan pengolahan sampah dengan cara penguraian dan pemantapan bahan-
bahan organik secara biologis dalam suhu tinggi dengan hasil akhir berupa bahan
yang cukup bagus untuk diaplikasikan ke tanah. Teknologi pengomposan sampah
beragam, baik secara aerob maupun anaerob, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Bahan tambahan yang biasanya digunakan adalah cacing dan mikroorganisme
dekomposer. Pengomposan secara aerob paling banyak digunakan, karena murah
dan mudah dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang sulit.
Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri
dengan bantuan udara. Sementara pengomposan secara anaerob memanfaatkan
mikroorganisme anaerob dalam mendegradasi bahan organik.
4. Energy recovery, yaitu transformasi sampah menjadi energi, baik energi panas
maupun energi listrik. Metode ini telah banyak dikembangkan di negara maju.

K. Pembuangan Akhir
Pembuangan akhir sampah harus memenuhi syarat kesehatan dan kelestarian
lingkungan. Mengingat pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan bersifat
terpusat. Metode yang saat ini banyak digunakan di TPA adalah metode open
dumping, yaitu sampah yang ada hanya ditempatkan begitu saja tidak dimusnahkan
secara langsung, namun dibiarkan membusuk menjadi sampah organik sehingga
kapasitas TPA tidak lagi terpenuhi. Metode ini bersifat murah, sederhana, tetapi
menimbulkan risiko seperti terjangkitnya penyakit menular, timbulnya pencemaran,
bau dan kotor. Adapun metode yang direkomendasikan adalah sanitary landfill, yaitu
pada lokasi TPA dilakukan kegiatan tertentu untuk mengolah timbunan sampah.
Metode ini hampir sama dengan dengan penumpukan, tapi cekungan yang telah terisi
sampah kemudian ditutupi dengan tanah (Budi Utomo dan Sulastoro, 1999).
L. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Menurut Budi Utomo dan Sulastoro (1999), pemilihan lokasi TPA harus
mempertimbangkan beberapa hal, antara lain :
1. Kebutuhan lokasi
a. Luas.
b. Volume tampungan, dipengaruhi oleh jumlah penduduk, jenis penghasil
timbulan, tingkat pemadatan.
2. Pertimbangan hidrologi dan klimatologi
a. Curah hujan.
b. Karakteristik aliran air.
c. Evaporasi/ penguapan.
d. Gerakan air tanah.
e. Karakteristik angin.
3. Pertimbangan geologi
a. Bentang alam.
b. Jenis tanah dan batuan, mempengaruhi pemanfaatan sebagai tanah
penutup.
4. Pertimbangan lingkungan
Suatu TPA berdampak terhadap lingkungan sekitar, baik dampak positif maupun
dampak negatif. Yang harus diupayakan adalah mengurangi dampak negatif dan
meningkatkan dampak positif. Untuk keperluan perlindungan lingkungan, maka
TPA dengan volume tampungan tertentu wajib dilengkapi dengan studi AMDAL
(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Wajib AMDAL harus dilakukan untuk
penyesuaian terhadap luas kawasan TPA dengan daya tampung TPA dan
perubahan paradigma dari tempat pembuangan/penampungan akhir menjadi
tempat pengolahan akhir. Pengelolaan sampah di mana konsep 3R menjadi bagian
dri kegiatan AMDAL TPA. Untuk incinerator biasanya untuk kapasitas yang kecil
(<100 ton/hari) dan control dan sanitary landfill lebih besar sama dengan 10 ha.
5. Pertimbangan reklamasi Rencana pemanfaatan kembali TPA setelah habis masa
pakainya, misalnya sebagai taman, lapangan hijau, hutan kota, dan lain
sebagainya.
6. Pertimbangan umum lokasi yang ideal
a. Jarak lokasi TPA terhadap lokasi pemukiman dan sarananya harus cukup
aman untuk mencegah dampak negatif yaitu pencemaran udara dan air. Jarak
umum dari pemukiman sekitar 10 km.
b. Jarak TPA terhadap sumber timbunan sampah tidak jauh untuk menghemat
biaya transportasi.
c. Lokasi TPA pada daerah yang kondisi lapisannya kedap air.
d. Lokasi TPA harus terletak pada daerah yang bebas banjir.
e. Pemilihan TPA harus mempertimbangkan tata ruang kota pada masa yang
akan datang.
f. Volume yang ditampung sebaiknya mampu menampung sampai 5-10 tahun.

M. Lalat
Lalat adalah jenis serangga yang berasal dari Subordo Cyclorrapha Ordo Diptera
yang pada umumnya mempunyai sepasang sayap asli serta sepasang sayap kecil
yangdigunakan untuk menjaga stabilitas saat terbang (Wikipedia, 2012). Selain
itu, lalat memiliki kecenderungan untuk memilih warna alami batang (coklat), dan
warna alami dari buah yaitu warna hijau ( seperti : apel, mangga)

N. Pola Hidup Lalat


Pola hidup lalat terbagi menjadi beberapa bagian. Adapun pola hidup lalat adalah
sebagai berikut.
1. Tempat perindukan/berbiak
Tempat yang disenangi lalat adalah tempat basah, benda-benda organik, tinja,
sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, kotoran yang
menumpuk secara kumulatif (dikandang hewan) sangat disenangi oleh larva
lalat, sedangkan yang tercecer jarang dipakai sebagai tempat berbiak lalat.
(Depkes RI, 1991)
2. Jarak Terbang
Jarak terbang lalat sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia,
rata-rata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai 19-20 km dari tempat
berbiak atau 7-12 mil dari tempat perkembangbiakannya. Selain itu lalat juga
mampu terbang 4 mil/jam
3. Kebiasaan Makan
Lalat memakan makanan yang dimakan oleh manusia sehari-hari, seperti gula,
susu dan makanan lainnya, kotoran manusia serta darah. Bentuk makanannya
cair atau makanan yang basah, sedang makanan yang kering dibasahi oleh
ludahnya terlebih dulu, baru diisap (Depkes, 1991). Lalat lebih menyukai
makanan yang bersuhu tinggi daripada lingkungan sekitarnya (Widyati &
Yuliarsih, 2002)
4. Tempat Istirahat
Dalam memilih tempat istirahat (resting place), lalat lebih menyukai tempat
yang tidak berangin, tetapi sejuk, dan kalau malam hari sering hinggap di
semak-semak di luar tempat tinggal.
5. Lama Hidup
Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada musim
dingin bisa mencapai 70 hari (Depkes, 1991). Widyati dan Yuliarsih (2002)
menyatakan bahwa: “ Tanpa air lalat tidak dapat hidup lebih dari 46 jam”.
Sehingga lama hidup lalat pada umumnya berkisar antara 2-70 hari.
6. Tempeatur dan Kelembapan
Lalat mulai terbang pada temperatur 150C dan aktifitas optimumnya pada
temperatur 210C. Pada temperatur di bawah 7,50C tidak aktif dan di atas 450C
terjadi kematian pada lalat. Sedangkan Kelembaban erat hubungannya dengan
temperatur setempat (Depkes, 1991).

Anda mungkin juga menyukai