Anda di halaman 1dari 9

NAMA : ANITA WAHYUNINGSIH

Prodi : D III KEPERAWATAN

1. Pengertian Jujur dan Macam-macam Sifat Jujur dalam Agama


Islam
Pengertian Jujur – Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang cukup sulit untuk orang
yang sudah terlatih sejak kecil untuk menegakkan sifat jujur. Tanpa kebiasaan jujur sejak
kecil, sifat jujur tidak akan dapat ditegakkan dengan sebenar-benarnya jujur.

Sifat jujur termasuk ke dalam salah satu sifat baik yang dimiliki oleh manusia. Orang yang
memiliki sifat jujur merupakan orang berbudi mulia dan yang pasti merupakan orang yang
beriman.

Meskipun jujur merupakan sifat dasar manusia, akan tetapi pada kenyataannya masih
banyak yang belum memahami makna kata jujur yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari
masih banyaknya orang-orang yang mencampur adukkan sifat jujur dengan sifat
kebohongan yang pada akhirnya mendatangkan berbagai macam malapetaka baik bagi
dirinya maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya.

Nah, untuk membantu kita memahami makna kata jujur yang sebenarnya, berikut
merupakan rangkuman mengenai definisi kata jujur dapat kita gunakan sebagai sumber
referensi :
Definisi dan Pengertian Jujur
Pengertian jujur dilihat dari segi bahasa adalah mengakui, berkata, atau pun memberi
suatu informasi yang sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi/kenyataan. Dari segi
bahasa, jujur dapat disebut juga sebagai antonim atau pun lawan kata bohong yang artinya
adalah berkata tau pun memberi informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran.

Jika diartikan secara lengkap, maka jujur merupakan sikap seseorang ketika berhadapan
dengan sesuatu atau pun fenomena tertentu dan menceritakan kejadian tersebut tanpa ada
perubahan/modifikasi sedikit pun atau benar-benar sesuai dengan realita yang terjadi. Sikap
jujur merupakan apa yang keluar dari dalam hati nurani setiap manusia dan bukan
merupakan apa yang keluar dari hasil pemikiran yang melibatkan otak dan hawa nafsu.
Macam-macam Sifat Jujur dalam Agama Islam

Dalam Agama Islam, setidaknya dikenal lima jenis sifat jujur yang harus dimiliki oleh
penganutnya, yaitu :
1. Shidq Al – Qalbi

Shidq Al – Qalbi merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada niat seorang manusia.
2. Shidq Al – Hadits

Shidq Al – Hadits merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada perkataan yang
diucapkan oleh manusia.
3. Shidq Al – Amal

Shidq Al – Amal merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada aktivitas dan perbuatan
manusia.
4. Shidq Al – Wa’d

Shidq Al – Wa’d merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada janji yang diucapkan
oleh manusia.
5. Shidq Al – Hall

Shidq Al – Hall merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada kenyataan yang terjadi
dalam hidup manusia.

2. akhlaq terhadap rosullulloh

Disamping akhlak kepada Allah Swt, sebagai muslim kita juga harus berakhlak kepada
Rasulullah Saw, meskipun beliau sudah wafat dan kita tidak berjumpa dengannya,
namun keimanan kita kepadanya membuat kita harus berakhlak baik kepadanya,
sebagaimana keimanan kita kepada Allah Swt membuat kita harus berakhlak baik
kepada-Nya. Meskipun demikian, akhlak baik kepada Rasul pada masa sekarang tidak
bisa kita wujudkan dalam bentuk lahiriyah atau jasmaniyah secara langsung
sebagaimana para sahabat telah melakukannya.

1. Ridha Dalam Beriman Kepada Rasul


Iman kepada Rasul Saw merupakan salah satu bagian dari rukun iman. Keimanan akan
terasa menjadi nikmat dan lezat manakala kita memiliki rasa ridha dalam keimanan
sehingga membuktikan konsekuensi iman merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan.
Karenanya membuktikan keimanan dengan amal yang shaleh merupakan bukan suatu
beban yang memberatkan, begitulah memang bila sudah ridha. Ridha dalam beriman
kepada Rasul inilah sesuatu yang harus kita nyatakan sebagaimana hadits Nabi Saw:

Aku ridha kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai
Nabi dan Rasul (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).

2. Mencintai dan Memuliakan Rasul


Keharusan yang harus kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada Rasul adalah
mencintai beliau setelah kecintaan kita kepada Allah Swt. Penegasan bahwa urutan
kecintaan kepada Rasul setelah kecintaan kepada Allah disebutkan dalam firman Allah
yang artinya:

Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta


kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah
dan Rasul-Nya dasn (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik (QS 9:24).
Disamping itu, manakala seseorang yang telah mengaku beriman tapi lebih mencintai
yang lain selain Allah dan Rasul-Nya, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakuinya
sebagai orang yang beriman, beliau bersabda:

Tidak beriman seseorang diantara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada dirinya
sendiri, orang tuanya, anaknya dan semua manusia (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).

3. Mengikuti dan Mentaati Rasul


Mengikuti dan mentaati Rasul merupakan sesuatu yang bersifat mutlak bagi orang-
orang yang beriman. Karena itu, hal ini menjadi salah satu bagian penting dari akhlak
kepada Rasul, bahkan Allah Swt akan menempatkan orang yang mentaati Allah dan
Rasul ke dalam derajat yang tinggi dan mulia, hal ini terdapat dalam firman Allah yang
artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-
sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, orang-
orang yang benar, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya (QS 4:69).

Disamping itu, manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul Saw, Allah Swt akan
mencintai kita yang membuat kita begitu mudah mendapatkan ampunan dari Allah
manakala kita melakukan kesalahan, Allah berfirman yang artinya: Katakanlah: “jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu
dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS
3:31)

Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah Saw diutus memang untuk ditaati,
Allah Swt berfirman yang artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan
untuk ditaati dengan izin Allah (QS 4:64).

Manakala manusia telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada Rasul dengan
mentaatinya, maka ketaatan itu berarti telah disamakan dengan ketaatan kepada Allah
Swt. Dengan demikian, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi
mata uang yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman yang
artinya: Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka (QS 4:80).

4. Mengucapkan Shawalat dan Salam Kepada Rasul


Secara harfiyah, shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti do’a, istighfar dan
rahmah. Kalau Allah bershalawat kepada Nabi, itu berarti Allah memberi ampunan dan
rahmat kepada Nabi, inilah salah satu makna dari firman Allah yang artinya:
Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan Ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya (QS 33:56).

Adapun, bila kita bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa
keberuntungan bagi kita sendiri, hal ini disabdakan oleh Rasul Saw:

Barangsiapa bershalawat untukku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan
bershalawat kepadanya sepuluh kali (HR. Ahmad).

Manakala seseorang telah menunjukkan akhlaknya kepada Nabi dengan banyak


mengucapkan shalawat, maka orang tersebut akan dinyatakan oleh Rasul Saw sebagai
orang yang paling utama kepadanya pada hari kiamat, beliau bersabda:
Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa
yang paling banyak bershalawat kepadaku (HR. Tirmidzi).

Adapun orang yang tidak mau bershalawat kepada Rasul dianggap sebagai orang yang
kikir atau bakhil, hal ini dinyatakan oleh Rasul Saw:

Yang benar-benar bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku dihadapannya, ia
tidak mengucapkan shalawat kepadaku (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

5. Menghidupkan Sunnah Rasul


Kepada umatnya, Rasulullah Saw tidak mewariskan harta yang banyak, tapi yang beliau
wariskan adalah Al-Qur’an dan sunnah, karena itu kaum muslimin yang berakhlak baik
kepadanya akan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah (hadits) agar
tidak sesat, beliau bersabda:

Aku tinggalkan kepadamu dua pusaka, kamu tidak akan tersesat selamanya bila
berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku (HR. Hakim).

Selain itu, Rasul Saw juga mengingatkan umatnya agar waspada terhadap bid’ah
dengan segala bahayanya, beliau bersabda:

Sesungguhnya, siapa yang hidup sesudahku, akan terjadi banyak pertentangan. Oleh
karena itu,. Kamu semua agar berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para
penggantiku. Berpegang teguhlah kepada petunjuk-petunjuk tersebut dan waspadalah
kamu kepada sesuatu yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah
itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
Hakim, Baihaki dan Tirmidzi).

Dengan demikian, menghidupkan sunnah Rasul menjadi sesuatu yang amat penting
sehingga begitu ditekankan oleh Rasulullah Saw.

6. Menghormati Pewaris Rasul


Berakhlak baik kepada Rasul Saw juga berarti harus menghormati para pewarisnya,
yakni para ulama yang konsisten dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam, yakni
yang takut kepada Allah Swt dengan sebab ilmu yang dimilikinya.

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.


Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS 35:28).

Kedudukan ulama sebagai pewaris Nabi dinyatakan oleh Rasulullah Saw:

Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Sesungguhnya Nabi tidak tidak
mewariskan uang dinar atau dirham, sesungguhnya Nabi hanya mewariskan ilmui
kepada mereka, maka barangsiapa yang telah mendapatkannya berarti telah
mengambil mbagian yang besar (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Karena ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama seharusnya tidak
hanya memahami tentang seluk beluk agama Islam, tapi juga memiliki sikap dan
kepribadian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti inilah
yang harus kita hormati. Adapun orang yang dianggap ulama karena pengetahuan
agamanya yang luas, tapi tidak mencerminkan pribadi Nabi, maka orang seperti itu
bukanlah ulama yang berarti tidak ada kewajiban kita untuk menghormatinya.
7. Melanjutkan Misi Rasul
Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan menegakkan nilai-nilai Islam. Tugas yang
mulia ini harus dilanjutkan oleh kaum muslimin, karena Rasul telah wafat dan Allah tidak
akan mengutus lagi seorang Rasul. Meskipun demikian, menyampaikan nilai-nilai harus
dengan kehati-hatian agar kita tidak menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada
dari Rasulullah Saw. Keharusan kita melanjutkan misi Rasul ini ditegaskan oleh Rasul
Saw:

Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, dan berceritalah tentang Bani Israil tidak
ada larangan. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah
ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi dari
Ibnu Umar).

Demikian beberapa hal yang harus kita tunjukkan agar kita termasuk orang yang
memiliki akhlak yang baik kepada Nabi Muhammad Saw.

3.metode nasehat

Nasehat menasehati menuju kebenaran harus digalakkan, bagi yang dinasehati


seharusnya ia berterima kasih kepada orang yang telah menunjukkan kekurangan dan
kesalahannya, hanya saja hal ini jarang terjadi, pada umumnya manusia tidak suka disalahkan
apalagi kalau teguran itu disampaikan kepadanya dengan cara yang tidak baik.

Seorang pemberi nasehat haruslah mengetahui metode yang baik agar nasehatnya dapat
diterima oleh orang lain. Diantara metode nasehat yang baik adalah memberi nasehat kepada
orang lain secara rahasia tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam kesempatan ini akan kami
nukilkan penjelasan para ulama tentang adab yang satu ini. Imam Ibnu Hibban (wafat tahun
534 H) berkata, Nasehat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah
kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan cara
rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasehati saudaranya dihadapan orang
lain maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia
maka dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh perhatian
kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar
kemungkinannya untuk diterima dibandingkan menyampaikan dengan maksud mencelanya.

Kemudian Imam Ibnu Hibban menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia
berkata, Saya berkata kepada Mis”ar, ”Apakah engkau suka apabila ada orang lain
memberitahumu tentang kekurangan-kekuranganmu?” Maka ia berkata, ”Apabila yang
datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-
jelekkanku maka saya tidak senang, tapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang
pemberi nasehat maka saya senang”.

Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said al Qazzaz telah
memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Mansur telah menceritakan kepada kami, Ali
ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan ia berkata, Talhah datang menemui
Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul
Jabbar menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka
Abdul Jabbar bin Wail berkata, ”Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku?” Ia
berkata, ”Saya melihatmu ketika engkau sendang shalat kemarin sempat melirik ke arah
lain”.

Imam Ibnu Hibban berkata, Nasehat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah kami
sebutkan akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya ukhuwah.

Imam Ibnu Hazm (wafat tahun 456H) berkata, Maka wajib atas seseorang untuk selalu
memberi nasehat, baik yang diberi nasehat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak
tersinggung. Apabila engkau memberi nasehat maka nasehatilah secara rahasia, jangan
dihadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung,
kecuali apabila orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu maka harus secara terus
terang. Janganlah engkau menasehati orang lain dengan syarat nasehatmu harus diterima.
Apabila engkau melampaui adab-adab tadi maka engkau yang dzalim bukan pemberi nasehat,
dan gila ketaatan serta gila kekuasaan bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukuwah. Ini
(-yakni memberi nasehat dengan syarat harus diterima-) bukanlah termasuk hukum akal dan
hukum persahabatan melainkan hukum rimba, bagaikan seorang penguasa dengan rakyatnya
dan tuan dengan hamba sahayanya.

Imam Ibnu Rajab (wafat tahun 795H) berkata, Al Fudhail (wafat tahun 187H) berkata,
”Seorang mukmin menutup (aib saudaranya) dan menasehatinya sedangkan seorang fajir
(pelaku maksiat) membocorkan (aib saudaranya) dan memburuk-burukkannya”.

Apa yang disebutkan oleh al Fudhail ini merupakan ciri antara nasehat dan memburuk-
burukkan, yaitu bahwa nasehat itu dengan cara rahasia sedangkan menjelek-jelekkan itu
ditandai dengan penyiaran. Sebagaimana dikatakan, ”Barangsiapa mengingatkan saudaranya
ditengah-tengah orang banyak maka ia telah menjelek-jelekkannya.

Dan orang-orang salaf membenci amar ma”ruf nahi mungkar secara terang-terangan, mereka
suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasehati dengan yang dinasehati, ini
merupakan ciri nasehat yang murni dan ikhlash, karena si penasehat tidak mempunyai tujuan
untuk menyebarkan aib-aib orang yang dinasehatinya, ia hanya mempunyai tujuan
menghilangkan kesalahan yang dilakukannya.

Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain maka hal tersebut yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta”ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang
yang ingin agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Alleh mengetahui
sedangkan kalian tidak mengetahui.” (An Nur : 19).

Dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menutup aib seorang muslim tidak
terhitung banyaknya.

Imam Syafi”i (wafat tahun 204H) berkata dalam syairnya:


Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirian
Hindarilah memberi nasehat kepadaku ditengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasehat dihadapan banyak orang sama saja dengan
memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku maka janganlah engkau kaget
apabila nasehatmu tidak ditaati.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, Perlu diketahui bahwa nasehat itu adalah
pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena apabila engkau
menasehatinya secara rahasia dengan empat mata maka sangat membekas pada dirinya, dan
dia tahu bahwa engkau pemberi nasehat, tetapi apabila engkau bicarakan dia dihadapan orang
banyak maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat
dosa dengan tidak menerima nasehat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya
ingin balas dendam dan mendeskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata
manusia, sehingga ia tidak menerima isi nasehat tersebut, tetapi apabila dilakukan secara
rahasia antara kamu dan dia berdua maka nasehatmu itu amat berarti bagi dia, dan dia akan
menerimanya darimu.

Kapan dibolehkan memberi nasehat dihadapan orang lain?

Walaupun demikian ada beberapa perkecualian yang membolehkan atau mengharuskan


seseorang untuk menasehati orang lain di depan banyak orang.

Salah seorang Imam Masjid di kota Khobar Saudi Arabia dalam salah satu khutbah
Jum”ahnya mengatakan, Umat Islam, mereka itu memiliki kehormatan dan harga diri, oleh
karena tiu haruslah kita menjaga hak-hak dan kehormatan mereka, haruslah kita memelihara
perasaan mereka, tetapi kadang-kadang sesuatu nasehat yang akan engkau sampaikan kepada
orang lain apabila engkau tunda, maka akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau
menasehatinya sebelum terlambat. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim.
Dari Jabir bahwasanya ia berkata, ”Sulaik al Ghathafani datang (ke masjid) hari Jum”ah dan
Rasulullah shallallahu ”alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, maka Sulaik langsung
duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka Rasulullah shallallahu ”alaihi wasallam bertanya
kepadanya, ”Apakah engaku telah melaksanakan sholat dua rakaat?” Ia berkata, ”Belum”
Maka beliau shallallahu ”alaihi wasallam memerintahkan kepadanya, ”Bangunlah dan
shalatlah dua rakaat”.”

Ini bukannya sedang memburuk-burukkan atau menyiarkan kesalahan orang tersebut, karena
saat itu adalah waktu yang tepat untuk menasehatinya, apabila dibiarkan maka akan
terlewatkan, karena Rasulullah shallallahu ”alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim
yang masuk ke dalam masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk,
perintah tersebut mengharuskan untuk dilaksanakan padaa saat itu juga tidak bisa ditunda
sampai selesai shalat Jum”ah.

Akan tetapi apabila memungkinkan bagimu untuk menunda nasehat sampai selesainya
majelis lalu engkau menasiehati sesreorang dihadapan orang lain di majelis tersebut maka hal
ini tidak benar.

Sangat disayangkan sekali ketika kita mendengar tentang orang-orang yang termasuk
memiliki kesungguhan dalam mencari dan menerima kebenaran, akan tetapi mereka berpecah
belah, masing-masing di antara mereka memiliki nama dan sifat tertentu. Fenomena seperti
ini sesungghunya tidak benar, dan sesungguhnya dien Allah itu satu dan ummat Islam adalah
ummat yang satu, Allah berfirman: “Sesunggunya (agama tauhid) ini adalah agama kalian
semua, agama yang satu dan Aku adalah Rab kalian maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al
Mu-minun: 52)

Dan Allah Ta”ala berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ”alaihi wasallam:


Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al An”am : 159)

Dan Allah Ta”ala berfirman, “Dia telah mensyaratkan bagi kalian tentang dien yang telah
diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah
Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah dien dan janganlah kalian
berpecah belah tentangnya.” (Asy Syura: 13).

Apabila hal ini merupakan bimbingan Allah kepada kita maka seharusnya kita praktekkan
bimbingan ini, kita berkumpul untuk mengadakan suatu pembahasan, saling berdiskusi dalam
rangka ishlah (perbaikan) bukan untuk mendeskreditkan atau membalas dendam, karena
sesungguhnya siapa saja yang membantah orang lain atau adu argumentasi dengan maksud
mempertahankan pendapatnya atau untuk menghinakan pendapat orang lain dan bermaksud
untuk mencela bukan untuk ishlah maka hasilnya tidak di ridhai oleh Allah dan rasul-Nya,
pada umumnya demikian.

Kewajiban kita adalah untuk menjadi umat yang satu, kita tidak mengatakan bahwa setiap
manusia tidak memiliki kesalahan, bahkan manusia itu memiliki kesalahan disamping
memiliki kebenaran. Hanya saja pembicaraan kita sekarang ini mengenai cara memperbaiki
kesalahan, maka bukan cara yang benar untuk memperbaiki kesalahan apabila kita
menyebutkannya dibelakang orang tersebut sambil menjelek-jelekkannya, akan tetapi cara
yang benar untuk memperbaikinya adalah berkumpul dengannya dan mendiskusikannnya,
apabila terbukti setelah itu bahwa orang tersebut tetap mempertahankan kebatilannya maka
saat itu kita memiliki alasan bahkan wajib atas kita untuk menjelaskan kesalahannya, dan
memperingatkan manusia dari kesalahan orang tersebut, dengan demikian urusan-urusan
menjadi baik.

Sedangkan perpecahan dan bergolong-golongan maka sesungguhnya yang demikian tidak


disukai oleh siapapun, kecuali oleh musuh-musuh Islam dan musuh kaum muslimin.

Anda mungkin juga menyukai