Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-
2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena
kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut WHO
juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar
korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Fraktur adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang umum yang disebabkan oleh
trauma. Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia maka mayoritas fraktur
adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi sering
menyebabkan trauma. dan kita harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat
mengakibatkan trauma organ-organ lain. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian,
kecelakaan kerja, kecelakaan domestik, dan kecelakaan/cidera olahraga.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat selaras
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern manusia tidak akan lepas dari
fungsi normal system musculoskeletal. Salah satunya tulang yang merupakan alat gerak utama
pada manusia, namun dari kelainan ataupun ketidaksiplinan dari manusia itu sendiri (patah
tulang) fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis baik yang bersifat total maupun partial . fraktur biasanya terjadi pada cruris, karena
cruris sangat kurang di lindungi oleh jaringan lunak, sehingga mudah sekali mengalami
kerusakan (Rasjad, 1998).
Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan bahwa resiko
terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas massa tulang melainkan juga oleh
faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kerapuhan fisik (frailty) dan meningkatkannya resiko
untuk jatuh. (Sudoyo: 2010)
Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan oleh
komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya. Beberapa diantara
komplikasi tersebut adalah timbulnya dikubitus akibat tirah baring berkepanjangan,
perdarahan, trombosis vena dalam dan emboli paru; infeksi pneumonia atau infeksi saluran
kemih akibat tirah baring lama; gangguan nutrisi dan sebagainya. (Sudoyo: 2010)
Walaupun dalam kasus yang jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara
tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita.
Sehingga perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam
menangani pasien dengan kasus kegawat daruratan fraktur.

B. Rumusan Masalah
1.
2.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan kegawat daruratan pada pasien dengan
fraktur.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan konsep fraktur
b. Mampu menjelaskan konsep metodologi asuhan keperawatan kegawat daruratan pada
pasien fraktur.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002). Fraktur adalah pemisahan
atau patahnya tulang (Doenges, 1999)
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma (Tambayong: 2000).
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price,
1995). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi.

B. ETIOLOGI
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru saja menambah
tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang
yang baru mulai latihan lari.
4. Trauma
Dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi
miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
b. Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh
terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang
tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk sel darah. Tulang juga merupakan
tempat primer untuk meyimpan dan mengatur kalsium dan pospat.
Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan jaringan
organik (kolagen, proteoglikan). Kalsium dan phospat membenuk suatu kristal garam
(hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks organik
tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70 % dari osteoid adalah kolagen tipe 1 yang
kaku dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang. Materi organik lain yang juga menyusun
tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat.
Hampir semua tulang berongga dibagian tengahnya. Struktur demikian memaksimalkan
kekuatan struktural tulang dengan bahan yang relatif kecil atau ringan. Kekuatan tambahan
diperoleh dari susunan kolagen danmineral dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat
berbentuk anyaman atau lameral. Tulang yang berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan
cepat, seperti sewaktu perkembangan janin atau sesudah terjadinya patah tulang, selanjutnya
keadaan ini akan diganti oleh tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lameral. Pada orang
dewasa tulang anyaman ditemukan pada insersi ligamentum atau tendon. Tumor sarkoma
osteogenik terdiri dari tulang anyaman . tulang lameral terdapat seluruh tubuh orang
dewasa.tulang lameral tersusun dari lempengan-lempengan yang sangat padat, dan bukan
merupakan suatu massa kristal. Pola susunan semacam ini melengkapi tulang dengan kekuatan
yang besar.
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari 3 jenis sel: osteoblas, osteosid dan
osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan
sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika
sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase
alkali, yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam
matriks tulang.
Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak
yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorbsi.
Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar
dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang
tinggi. Bila tidak ada vitamin D hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang.
Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu kalsifikasi tulang, antara lain dengan
meningkatlan absorbsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.(Price dan Wilson: 1995)

KLASIFIKASI FRAKTUR
1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2
antara lain:
a) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut
dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
i. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
ii. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
iii. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
iv. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement.
b) Fraktur terbuka (opened)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial
untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah. Derajat patah tulang terbuka :
i. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal. ii. Derajat II Laserasi > 2 cm,
kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
iii. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
2. Menurut derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis fraktur
melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya
biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut Price dan Wilson ( 2006)
kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi
apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kea
rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang.
4. Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
(Mansjoer: 2000)
E. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah
fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom
compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur
terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan
jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila
sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen,
sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi
(Price dan Wilson: 1995).
F.PATHWAY
Kondisi patologis Trauma langsung/
Osteoporosis tidak langsung

Fraktur

Terputusnya kontuinitas Psikologi Intoleransi


Jaringan aktivitas
Perubahan Takut
Saraf Perubahan peran cemas Bedrest
Rusak permeabilitas
Gangguan
kapiler KurangPenekanan
body Defisit
Lumpuh/ informasi image jaringan perawatan
Parestesia oedem/bengkak tertentu diri
Lokal/hematoma Kurang
Gangguan pengetahuan
Resti gg
mobilitas
Nyeri Resti integritas kulit
fisik
perubahan
perfusi
jaringan
perifer
(Markam, Soemarno, 1992, Sabiston, 1995, Mansjoer 2000)

G. MANIFESTASI KLINIS
Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut :
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.
2. Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak
alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot berrgantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang melengket di atas dan
bawah tempat fraktur.
4. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.
5. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement,
kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun
yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra
sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b) Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh
reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak
pada aliran darah.
c) Sindroma Kompartement
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang
disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial
yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan
pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan
kematian syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu
mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya
terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya
sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena
pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang
terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan
hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi. (Corwin: 2009)
d) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias
menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan
Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non
union.
a) Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya, membentuk sudut, atau miring. Conyoh yang khas adalah patah tulang paha yang
dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan
rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah gibs
dibung ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak
dapat mempertahankan tubuhnya untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat
dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan
mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan.
Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-fragmen tulang yang patah dn
bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan
radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi,
atau mungkin juga dengan tindakan operasi.
b) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang lebih
lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.
c) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak keadaan
yang merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak benar
akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang
tepat baik dengan cara terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot)
diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola
spesifik peredaran darah dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai darah ke satu
atau lebih fragmen tulang.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan
terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah
terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk
mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam,
komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat
dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi
rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain
memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan
berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk
mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami
cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus
disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi.
Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan
perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan
fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk
mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang
memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah
dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat
bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat
dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal
cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi
jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen
tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut,
pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus
dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan untuk
mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas,
penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom
komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi
Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut
dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih
dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patahFiksasi interna : stabilisasi tulang patah
yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam
• Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki
penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.
• Amputasi : penghilangan bagian tubuh
• Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli
bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi
terbuka
• Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
• Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis
• Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau
sintetis
• Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
• Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi
kontraktur fasia. (Ramadhan: 2008).
3. Terapi Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
(Ramadhan: 2008)
4. Prinsip 4 R pada Fraktur
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur
yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan
bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa
nyeri sekali dan bengkak.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan
pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama
atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang
femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau
kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
J. PENYEMBUHAN FRAKTUR
Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak di sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah
dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut,
bekuan akan membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel pembentuk tulang primitif
(osteogenik) berdiferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Kondroblas dan osteoblas.
Kondroblas akan mensekresi fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal
(kalus) di sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan
kalus dari fragmen satunya dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus
berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas
menyebrangi lokasi fraktur. Persatuan (union) tulang provisional ini akan menjalani transformasi
metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-
medolling di mana osteoblas akan membentuk tulang baru sementara osteoklas akan
menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyerupai
keadaan tulang aslinya. (Price: 1995).

K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma .
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah
respon stress normal setelah trauma.
d. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
e. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel, atau cedera
hati.
(Dongoes: 1999)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
“FRAKTUR”

Pengkajian Fokus
1. Pengkajian primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek
batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau
tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung
normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut.
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
i. kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
ii. Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
3) Tachikardi
4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
5) Cailary refil melambat
6) Pucat pada bagian yang terkena
7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
1) Kesemutan
2) Deformitas, krepitasi, pemendekan
3)Kelemahan
d. Kenyamanan
1) nyeri tiba-tiba saat cidera
2) spasme/ kram otot
e. Keamanan
1) Laserasi kulit
2) Perdarahan
3) Perubahan warna
4) Pembengkakan local
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi/look
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat adanya asimetris pada kontur
atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna local. Pasien merasa kesakitan, mencoba
melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa
bengkok, terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Adanya luka kulit,
laserasi atau abrasi, dan perubahan warna di bagian distal luka meningkatkan kecurigaan adanya
fraktur terbuka. Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi, bandingkan dengan
sisi yang sehat
Palpasi/feel
Nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara objektif pada
palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu
menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah dengan sumbunya.
Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah
ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang
mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi yang perlu diperhatikan pada bagian
distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill
test), sensibilitas.
Palpasi harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah ada nyeri tekan, gerakan abnormal,
kontinuitas tulang, dan krepitasi. Juga untuk mengetahui status vaskuler di bagian distal lesi.
Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur.
Pada tes gerakan, yang digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan, mungkin sudah terjadi
perluasan fraktur.
Gerakan/moving
Gerakan antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan
mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam
pemeriksaan rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri, akibat fungsi terganggu (Loss of
function).
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan fraktur menurut Doengoes (2000) :
Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan
cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu beradaptasi dengan nyeri yang di
alami.
Kriteria hasil : nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.
Intervensi :
Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
Rasional : hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.
Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
Rasional : tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukan skala nyeri.
Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
Rasional : memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
Observasi tanda- tanda vital.
Rasional : untuk mengetahui perkembangan klien.
Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgetik berfungsi untuk memblok
stimulasi nyeri.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau ketidaknyamanan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan mobilisasi fisik tidak terganggu
Kriteria hasil :
Mempertahankan posisi fungsional
Menunjukkan teknik yang memampukan melakukan aktivitas
Pasien menyatakan badan terasa lebih kuat
Pasien tampak lebih kuat
Intervensi :
Kaji kemampuan klien
R : untuk mengetahui seberapa kemampuan klien
Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi, pertahankan rangsang lingkungan,radio,
koran.
R : memberikan kesempatan untuk megeluarkan energi, menngkatkan rasa kontrol diri/ harga diri
dan menurunkan isolasi sosial
Instruksikan pada pasien untuk bantu dalam rentang gerak posisi aktif dalam ekstremitas yang
sakit dan tidak sakit.
R : meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang rusuk, meningkatkan tonus otot, mempertahankan
gerak sendi, mencegah atropi.
Awasi tekanan darah dengan melakukan aktivitas,perhatikan keluhan pusing.
R : hipotensi postural adalah masalah utama yang menyetai tirah baring lama
Berikan pujian setiap perubahan
R : dapat meningkatkan semangat dalam mobilisasi
Berikan diit tinggi protein,karbohidrat, vitamin,kalsium, dan mineral.
R : dapat mempercepat penyembuhan
Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, perawatan diri pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien dapat berpartisipasi pada aktivitas sehari-hari dalam meningkatkan kemampuan diri
Pasien menyatakan dapat ikut berpartisipasi dalam perawatan dirinya
Intervensi :
Kaji kemampuan klien
R : kondisi dasar akan menetukan tingkat kekurangan/kebutuhan
Berikan bantuan dengan aktivitas
R : untuk memenuhi perawatan diri pasien
Dorong/gunakan teknik penghematan energi seperti duduk, tidak berdiri, melakukan tugas dan
peningkatan bertahap
R : menghemat energi, menurunkan kelemahan dan meningkatkan kemampuan pasien
Bekerjasama dengan klien untuk memprioritaskan tugas-tugas merawat diri
R : meningkatkan kemampuan dalam perawatan diri
Ajarkan klien dan keluarga tentang cara-cara untuk memodifikasi perubahan perawatan diri
R : agar perawatan diri dapat terpenuhi
Evaluasi kemajuan kemampuan klien
R : mengetahui perkembangan kemampuan klien

Resti perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan sirkulasi darah menurun
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi perfusi jaringan primer
Kriteria hasil : Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh tanda vital stabil,kulit hangat,
terabanya nadi
Intervensi :
Selidiki tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba seperti penurunan suhu kulit dan peningkatan nyeri
R : dislokasi fraktur sendi dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan dengan akibat
hilangnya aliran darah ke distal.
Dorong pasien untuk secara rutin latihan jari / sendi
R : meningkatkan sirkulasi dan mengurangi pengumpulan darah pada ektremitas bawah
Awasi atnda vital, perhatikan tanda pucat/sianosis
R : ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan
Berikan kompres es sesuai indikasi
R : menurunkan edema/ pembentukn hemtoma yang dapat mengganggu aktivitas
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam pengetahuan pasien bertambah

Kriteria Hasil :
Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan kebutuhan meningkat
Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan
Intervensi :
Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya
R : memberikan dasar pengetahuan dimana klien dapat membuat pilihan informasi
Ambulasi sesuai instruksi dengan terapi fisik bila diindikasikan
R : banyak fraktur memerlukan gips,bebat, atau penjepit selama proses penyembuhan
Identifikasi tersedianya sumber pelayanan masyarakat
R : memberikan bantuan untuk memudahkan perawatan diri dan mendukung kemandirian
Dorong pasien untuk melanjutkan latian aktif untuk sendi di atas dan di bawah fraktur
R : mencegah kemampuan sendi, kontraktur,dan kelelahan otot, meningkatkan kembalinya
aktifitas sehari-hari secara dini.
Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik misal nyeri bert, demam menggigil,
bau tidak enak, perubahan sensori
R : intervensi cepat dapat dapat menurunkan beratnya komplikasi seperti infeksi/ gangguan
sirkulasi.
Gangguan harga diri/ citra diri, penampilan peran berhubungan dengan fraktur
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi gangguan harga diri/ harga diri
menjadi naik
Kriteria Hasil :
Menyatakan penerimaan situasi diri
Bicara dengan keluarga/ orang terdekat tentang situasi, perubahan yang terjadi
Membuat tujuan realitas/ rencana untuk masa depan
Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi :
Kaji,makna kehilangan / perubahan pada pasien/ orang terdekat
R : membuat perasaan kehilangan pada kehilangan aktual/ yang dirasakan
Terima dan akui ekspresi/ frustasi, ketergantungan,marah,kedukaan
R : penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
Bersikap realistik, dan positif selama pengobatan dan menyusun tujuan dalam keterbatasan
R : meningkatkan kepercayaan diri dan hubungan antara pasien dengan perawat
Dorong interaksi keluarga dan tim rehabilitasi
R : mempertahankan/ membuka garis komunikasi dan memberikan dukungan terus menerus pada
pasien dan keluarga
Berikan kelompok pendukung bagi orang terdekat
R : meningkatkan perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien
Resti gangguan integritas kulit bd status metabolik, sirkulasi dan sensori, penurunan aktivitas
Tujuan : tidak terjadi kerukan integritas kulit yang lebih lanjut
Kriteria Hasil :
Menyatakan ketidaknyamanan hilang
Menunjukkan perilaku teknik untuk mencegah kerusakan kulit lebih lanjut
Intervensi :
kaji derajat, imobilisasi yang dihasilkan oleh cedera/ pengobatan
R : pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri tentang keterbatasan fisik
instruksikan pasien dalam rentang gerak aktif/pasif
R: meningkatkan aliran darah ke ototdan tulang untuk meningkatkantonus otot, mencegah
kontaktur/atropi
bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tingkat, sesegera mungkin
R : mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring , meningkatkan penyembuhan dan
normalisasi fungsi organ.
ubah posisi secara periodik
R : mencegah/ menurunkan insiden komplikasi kulit
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan
menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. Fraktur disebabkan oleh cidera, fraktur patologi, dan
fraktur beban. Secara umum fraktur dibedakan menjadi 2 yaitu terbuka dan tertutup. Manifestasi
klinis dari fraktur itu sendiri yaitu nyeri, hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, Pembengkakan lokal dan Perubahan warna.
Penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Sementara
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien fraktur adalah:
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur.
4. Resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.
Saran
Walaupun dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat
atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga
perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien
dengan kasus kegawat daruratan fraktur. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera
mungkin. Untuk itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani pasien gawat darurat,
terutama dalam hal ini adalah pasien dengan kegawat daruratan sistem muskuloskeletal, fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC
Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Editor, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4
Vol.1. Jakarta: EGC
Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta:
EGC
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang Lamupate.
Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC
Sylvia,Price A.and Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Wilkinson M J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Ktriteria
Hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai