Cover
Daftar Isi
1. PENDAHULUAN………………………………………………………………………..1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………..1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………………….2
1.3. Tujuan…………………………………………………………………………….2
1.4. Manfaat…………………………………………………………………………..2
2. KAJIAN TEORI…………………………………………………………………………3
3. GAMBARAN RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN…………………………..9
3.1. Jenis Kegiatan……………………………………………………………………9
3.2. Rencana Kegiatan………………………………………………………………..9
4. UNSUR DALAM KOMUNIKASI KESEHATAN…………………………………...10
5. HUBUNGAN DENGAN KONSEP PERILAKU SEHAT SERTA KOMUNIKASI
DALAM KONTEKS SOSIOKULTURAL……………………………………………11
6. MEDIA YANG DIGUNAKAN………………………………………………………...12
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..14
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
KOMUNIKASI KESEHATAN
(PROGRAM KOMUNIKASI KESEHATAN)
1. PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
1.4 Manfaat
1. Untuk mempromosikan kesehatan reproduksi kepada masyarakat
2. Agar masyarakat mengetahui berbagai kebudayaan Indonesia yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi
3. Agar masyarakat mengetahui kekurangan dan kelebihan dari setiap kebudayan Indonesia
yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.
2. KAJIAN TEORI
.
a. Budaya Sifon pada Masyarakat Suku Atoni Pah Meto Nusa Tenggara Timur
2
Sifon merupakan suatu ritual hubungan seksual yang dilakukan oleh pria yang setelah di
sunat secara tradisional dengan wanita dengan kepercayaan dan maksud untuk
menyembuhkan dan membuang sakit sial dan panas dari pria yang di sunat (Zulkifli
Natonis, 2014).
Mayarakat di Suku Atoni Pah Meto Nusa Tenggara Timur sangat berisiko terkena
penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS. Karena dalam Tradisi Sifon sang pria
akan berhubungan seksual dengan wanita lain sebagai syarat ritual ini (JohanBiaf, 2012).
Selain itu, teknik sunat yang masih tradisional yaitu menggunakan bambu yang
diruncingkan dapat membuat infeksi dan memperlambat penyembuhan luka setelah sunat.
Penyebab Infeksi bisa disebabkan karena bambu tersebut belum tentu steril dan terdapat
banyak bakteri dari bambu dan alat peruncing bambu tersebut (Khetye Romelya Saba,
2015).
Para istri atau perempuan yang menolak pelaksanaan Tradisi Sifon didasarkan pada tiga
hal. Pertama berisiko terhadap penularan penyakit kelamin, kedua disebabkan oleh
kecemburuan para istri karena melaksanakan hubungan seksual dengan perempuan lain,
ketiga biaya Tradisi Sifon sangat mahal sedangkan ada kebutuhan lain yang harus
dipenuhi seperti biaya pendidikan anak. Selain itu sikap penolakan para istri terhadap
pelaksanaan Tradisi Sifon ini tentu saja menimbulkan tekanan dari masyarakat sekitarnya.
Tekanan itu berupa cemoohan bahkan sampai pada pembedaan perlakuan pada acara-
acara adat yang lain (Yoseph Yapi Taum, 2013).
Jika Tradisi terus-menerus dilaksanakan maka risikonya terbesarnya yaitu penyakit
menular seksual dan HIV/AIDS yang secara pasti akan dialami seorang pria yang pernah
berhubungan seksual dengan perempuan lain atau dengan pasangan lain. Maka dari itu
resiko terkena penyakit HIV/AIDS sangat besar sehingga tradisi ini sebaiknya tidak terus-
menerus di laksanakan. Selain itu di tradisi ini pasien beresiko terkena Infeksi karena alat
yang digunakan untuk memotong adalah kayu atau bambu yang di runcingkan sehingga
alat yang digunakan kurang steril. Infeksi ini dapat memperhambat proses penyembuhan
pada penis . Selain itu di tradisi ini penis yang telah di sunat akan direndam ke dalam
sungai dengan tujuan mengurangi pendarahan pada penis. Hal ini sangat berbahaya
karena di sungai banyak mengandung bakteri yang berbahaya bagi tubuh, belum lagi luka
di penis yang masih terbuka dapat mempermudah bakteri yang masuk ke tubuh dan
menyebabkan infeksi (Nur Azizah Hidayat, 2016).
b. Praktik Budaya Suku Badui Dalam pada Perawatan Kehamilan, Persalinan, Dan
Nifas
Budaya kesederhanaan tampak pada masyarakat Baduy Dalam, termasuk dalam
segi kesehatannya. Masyarakat Baduy dalam lebih sering mengobati penyakit dengan
obat-obat tradisional. Bagi mereka mengaksesfasilitas kesehatan merupakan pilihan yang
paling akhir, termasuk dalam pemilihan persalinan. Mereka lebih memilih melahirkan di
dukun bayi daripada di bidan atau dokter. Ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya
ke paraji (dukun bayi) biasanya melakukan ritual ngaragap beteung, pada ritual ini paraji
akan melakukan pemijatan kepada ibu hamil. Dalam segi kesehatan proses pemijatan ini
3
baik jika dilakukan dengan baik dan benar, namun jika dilakukan dengan penuh tekanan
dapat menganggu janin. Mengurut perut ibu hamil terutama pada trimester tiga tidak
diperbolehkan dalam praktik kedokteran/kebidanan. Pengurutan hanya boleh dilakukan
jika kondisi janin sungsang. Prosesi melahirkan Etnik Baduy Dalam dilakukan dengan
posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti jongkok. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar
menunjukkan bahwa tindakan persalinan dengan posisi duduk bersandar dan kaki
diluruskan ke depan dapan menyebabkan pendarahan dan pembengkakan. Pemotongan
ari-ari pada ibu juga menggunakan media sembilu yang berasal dari bambu, penggunaan
sembilu tanpa sterilisasi dapat menimbulkan infeksi pada bayi yang baru dilahirkan.
Pada saat masa nifat ibu tidak diperkenankan menggunakan pakaian dalam termasuk
pembalut, sehingga darah nifas yang keluar hanya menggunakan kain sampingyang
dikenakannya. Kain samping ini berisiko terhadap kesehatan alat reproduksinya
mengingat kontaminasi agent baik bakteri maupun parasite dapat menyebabkan infeksi
(Ipa , Prasetyo, & Kasnodiharjo, 2016).
c. Praktek Budaya Perawatan Kehamilan di Desa Gadingsari Yogyakarta
Pada budaya yang ada di Yogyakarta, terdapat pantangan-pantangan untuk wanita
hamil. Pantangan pada wanita hamil adalah larangan terhadap makanan-makanan tertentu
seperti pisang, nanas, mentimun, dan lain-lain. Jenis makanan tertentu. Berdasarkan
penelitian buah-buah tersebut jika dimakan akan menimbulkan pengaruh jikadimakan ibu
hamil. Jika ibu hamil mengonsumsi buah nanas dan durian akan menyebabkan rasa panas
pada perut. Rasa panas ini timbul karaena efek gas yang dihasilkan oleh buah-buahan
tersebut dan hal itu tidak baik bagi ibu dan janin yang dikandungangnya. Namun
permasalahan yang besar adalah masalah gizi ibu hamil, karena ibu hamil mendapatkan
pantangan-pantangan untuk makan-makanan tertentu seperti telur, apabila kurang asupan
energy dari makanan tentunya akan berdampak terhadap kesehatan ibu dan janinnya.
Tidak mengherankan jika masalah kurang gizi dan anemia sering terjadi pada masyarakat
yang menganut tradisi daerahnya (Kasnodiharjo & Kristiana, 2013).
d. Pratek Budaya Suku Kampung Yepase Terkait Perawatan Kehamilan, Nifas dan
Bayi Di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura
Praktek Perawatan Kehamilan Suku Yepase
Dalam perawatan kehamilan masyarakat kampung Yepase, ibu melakukan
pemijitan pada usia kandungan pertama kehamilan untuk menguatkan kandungan,
kehamilan 5-6 bulan untuk mengatur letak dan posisi peranakan, mengeluarkan darah
kotor dari kepala akibat sakit yang berlebihan dan 9 bulan pemijitan untuk memperlancar
kelahiran menggunakan minyak kelapa dan ramuan dengan mantra “nameng tena setena
tapenya wela basu mewe” (eh cepat keluar sudah jangan bikin berat mama)”. Dalam segi
kesehatan proses pemijatan ini baik jika dilakukan dengan baik dan benar, namun jika
dilakukan dengan penuh tekanan dapat menganggu janin. Mengurut perut ibu hamil
terutama pada trimester tiga tidak diperbolehkan dalam praktik kedokteran/kebidanan.
Pengurutan hanya boleh dilakukan jika kondisi janin sungsang (Ipa, Prasetyo, &
Kasnodihardjo, 2016).
Selama kehamilan masyarakat kampung Yepase memiliki pantangan terhadap
makanan tertentu seperti ikan yang berukuran besar karena dapat mengakibatkan
4
pendarahan, buah yang banyak mengandung air karena dapat mengakibatkan vagina
berair, dan ibu hamil dianjurkan lebih banyak makan sagu dari pada nasi, serta selama
masa kehamilan ibu lebih sering mengkonsumsi sagu (papeda) campur kelapa tua serta
kuah garam. Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan
suami misalnya :
1) Ibu hamil dilarang tidur apalagi sore hari dan pada saat bulan purnama, karena
rohnya dapat keluar dan berjalan. Jika ada orang yang tidak senang pada ibu atau
keluarga dari ibu hamil mereka bisa membunuh rohnya dan ibu meninggal di
rumah.
2) Ibu dianjurkan melakukan aktifitas dan pekerjaan berat supaya proses persalinannya
lebih lancar.
3) Ibu dianjurkan tidak menggunakan pakaian yang ketat. Khususnya pada malam hari
ibu mengggunakan sarung atau kain dan ibu tidur diteras sampai larut malam.
Manfaatnya bagi keluarga ibu tidak kepanasan karena dapat melancarkan
pernafasan. Hal ini menyebabkan ibu mudah terkena malaria.
4) Ibu dianjurkan tidak mandi lebih dari jam 6 sore karena dapat diikuti oleh mashe
detro dan mengakibatkan anggota tubuh ibu hamil ada yang hilang atau hamil
kembar air.
5) Suami dilarang masuk ke dalam tempat keramat milik suku lain dan memegang
parang memotong tanaman milik orang lain saat ibu hamil karena anak dapat lahir
cacat.
Pantangan-pantangan tersebut sebagian tidak berpengaruh pada kesehatan dan
sebagiannya lagi berpengaruh baik bagi kesehatan seperti ibu tidak dianjutkan tidak
menggunakan pakaian ketat dan ibu dianjurkan tidak mandi lebih dari jam 6 sore.
Pada masa kehamilan ibu hamil masih tetap melakukan hubungan seks dengan suaminya,
kadang kondisi suami dalam keadaan mabuk atau kotor. Hal ini karenakan suami dalam
tradisi masyarakat kampung yepase harus didengar dan dituruti. Menurut (Farhani, 2014),
hubungan seksual tidak dilarang dalam kehamilan, kecuali 6 minggu sebelum dan 6
minggu setelah persalinan.
Masyarakat kampung Yepase tidak menggunakan obat berbahan kimia dalam
mengatasi masalah atau gangguan saat hamil. Upaya pencegahan yang dilakukan dalam
mengatasi keluhan-keluhan atau gangguan saat kehamilan masyarakat menggunakan
ramuan tradisioanal berupa: daun meyana untuk menguatakan dan mencegah kurang
darah, daun pandan hutan untuk menguatkan kandungan, minyak kelapa untuk
melicinkan anak pada saat persalinan. Meskipun menurut kesehatan upaya pencegahan
perlu dilakukan jika ada pemeriksaan atau diagnosa yang dilakukan oleh petugas
kesehatan dan ramuan yang digunakan sudah dilakukan pengujian kualitas dan
khasiatnya.
7
Menurut Depkes RI (2004), kebiasaan yang di lakukan oleh ibu sudah baik, karena ibu
tidak menggunakan daun-daun, ramuan atau obat bubuk, namun ibu harus
memperhatikan kebersihan tangannya karena kematian bayi banyak disebabkan oleh
Tetanus neonatrum akibat perawatan yang kurang bersih. Namun setelah tali pusat jatuh
pada usia 3 bulan bayi sudah dimandikan air dingin. Hal ini diyakini bahwa pada masa
pertumbuhan bayi akan tahan terhadap perubahan iklim dan tulang menjadi kuat untuk
memikul barang yang berat.
Dalam perawatan bayi masyarakat Yepase memiliki pantangan-pantangan yang
dipercaya jika dilakukan oleh ibu dan ayah (suami) dapat berdampak pada kesakitan dan
kematian bayi. Pantangan-pantangan tersebut seperti :
1) Ibu nifas tidak boleh bekerja berat sebelum pusat bayi terlepas, karena bisa
memperlambat keringnya tali pusat.
2) Suami tidak boleh memotong pohon atau tanaman di hutan sebelum tali pusat
anak terlepas karena darah bisa keluar dari pusat anak.
3) Anak sakit akibat pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua.
4) Suami tidak boleh menanam tanaman jangka panjang anak bisa terlambat jalan.
5) Bayi biar kuat dan tidak menangis harus di beri makan seperti; sagu, pisang, dan
betatas.
6) Batuk pilek pada anak masih dihubungkan dengan alam, seperti musim buah-
buahan akan datang.
Pantangan pada masyarakat kampung Yepase dalam melakukan perawatan bayi sama
halnya dengan kepercayaan budaya Jawa yang percaya pada mitos-mitos mengenai ibu
pada masa perawatan bayi. Bayi diberi makan pisang usia seminggu dicampur nasi agar
tidak kelaparan. Pada kenyataannya hal tersebut adalah salah, pasalnya usus bayi di usia
ini belum punya enzim yang mampu mencerna karbohidrat dan serat-serat tumbuhan
yang begitu tinggi. Akibatnya bayi jadi sembelit, karena makanan padat pertama adalah di
usia 4 bulan yakni bubur sun dan 6 bulan makanan padat ke dua.
8
Komunikator akan memberikan informasi-informasi terkait dengan tema sebelum
masyarakat menikmati ruangan tersebut. Selain bentuk pejelasan melalui
komunikator dan juga media ruangan yang dihias, instalasi juga di lengkapi dengan
fasilitas penunjang agar masyarakat juga dapat berperan dalam hal menerima pesan
yang kami sampaikan. Seperti contoh pada ruangan ke 3 atau ruangan terakhir,
dimana pada ruangan tersebut masyarakat dimintai pendapat mengenai perspektif
mereka terhadap kebudayaan Indonesia yang memiliki hubungan dengan kesehatan
reproduksi yang harus mereka tuliskan pada secarik kertas, lalu kertas itu ditempelkan
pada dinding kosong. Semakin banyak pendapat maka setiap orang akan mengerti
bahwa setiap masyarakat memiliki berbagai perspektif terkait tema yang diangkat.
Pameran ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat lebih tertarik untuk
mempelajari kesehatan resproduksi. Masyarakat memiliki banyak kebudayaan yang
berbeda-beda dan masih banyak pula diantara mereka yang tidak mengerti jika
kebudayaan yang mereka pahami memiliki kaitan yang sangat kuat dengan kesehatan
reproduksi setiap individu. Oleh karena itu, perlu diadakannya program inovasi baru
yang dapat emnarik antusias dari masyarakat. Masyarakat akan dapat belajar dan
menambah pengetahuan serta berwisata.
b. Rencana Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan berupa kunjungan di beberapa ruang dengan tema yang
berbeda. Komunikan akan masuk di ruangan pertama dengan didampingi oleh
komunikator untuk menjelaskan tema dari ruangan pertama. Ruangan pertama berisi
informasi tentang kesehatan resproduksi yang berupa mural pada dinding ruangan.
Kegiatan di ruangan pertama didampingi oleh penjaga pada tempat tersebut yang juga
bertugas sebagai komunikator. Informasi yang disampaikan oleh komunikator akan
mudah ditangkap oleh komunikan serta komunikan akan lebih mudah untuk bertanya
dan tidak mudah bosan dengan informasi yang berada di dinding dikarenakan
informasi dikemas dalam bentuk yang menarik dengan banyak bentuk dan warna.
Setelah itu, komunikan akan masuk ke ruangan kedua yang lebih menjelaskan
tentang hubungan kebudayaan dengan kesehatan reproduksi. Ruangan kedua didesain
menjadi ruangan yang menggambarkan tentang beberapa budaya yang berhubungan
dengan kesehatan reproduksi. Salah satu budaya yang diambil adalah tradisi Panamou
yang ada di Maluku yaitu pengasingan wanita haid di sebuah gubuk kecil tidak boleh
keluar sama sekali dan tidak melakukan komunikasi. Tradisi tersebut sangat
berpengaruh sekali dengan kesehatan reproduksi pada wanita. Nantinya didalam
ruangan tersebut akan dibuat beberapa gubuk salah satunya gubuk untuk tradisi
panamou. Komunikan dapat mencoba merasakan gubuk tersebut seolah-olah sedang
melakukan tradisi tersebut. Sebelum komunikan mencoba, komunikator akan
menjelaskan satu persatu hubungan dari budaya yang ada di dalam ruangan tersebut
dengan kesehatan reproduksi sehingga komunikan akan lebih faham dan lebih mudah
mengingat informasi yang disampaikan oleh komunikator dikarenakan komunikan
ikut berpartisipasi secara langsung.
9
Pada ruangan yang terakhir, komunikan akan diminta oleh komunikator untuk
menempelkan kertas pada dinding. Kertas tersebut berisi tentang pendapat mereka
tentang kesehatan reproduksi serta pesan dan kesan mereka terhadap art exhibition
tersebut. Hal tersebut untuk mengetahui apakah komunikan telah faham mengenai
informasi yang telah disampaikan oleh komunikator. Di sepanjang ruangan,
komunikan diperbolehkan untuk berfoto-foto dengan estimasi waktu ± 45 menit.
Kunjungan ruangan akan dilakukan oleh 15 orang untuk per kunjungannya agar
memudah proses penyampaian informasi serta agar tidak mengganggu kenyamanan
dari komunikan.
11
Gambar 1. Desain ruang 1
12
Gambar 3. Desain ruang 3
DAFTAR PUSTAKA
Christiana, N.R., Budiyono, B., Setiani, O., 2018. HUBUNGAN KONDISI KESEHATAN
LINGKUNGAN RUMAH BULAT SUKU DAWAN DAN TRADISI SE’I DENGAN
KEJADIAN ISPA PADA BAYI DI PUSKESMAS KUANFATU KECAMATAN
KUANFATU. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) 6, 496–504.
Korbaffo, A.R., Prasetyo, B., Soedirham, O., 2018. The Roast Tradition (se’i/nu) and Acute
Respiratory Infection in Infants. Health Notions 2, 376–379.
https://doi.org/10.33846/hn.v2i3.155
Ipa , M., Prasetyo, D. A., & Kasnodiharjo. (2016). Praktik Budaya Perawatan dalam Kehamilan
Persalinan dan Nifas pada Etnik Baduy Dalam. 25-36.
Kasnodiharjo, & Kristiana, L. (2013). Praktek Budaya Perawatan Kehamilan di Desa Gadingsari
Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 113-123.
Yoseph Yapi Taum. (2013). SUNAT RITUAL, RELIGIOSITAS, DAN IDENTITAS
KULTURAL ORANG DAWAN DI NTT 1, 21.
Zulkifli Natonis. (2014). Larangan Berzina dalam Al-Qur’an dan Ritual “SIFON” pada Etnis
Suku Timor NTT, 67.
JohanBiaf. (2012). PEMAHAMANPRIADEWASAATOINMETOFATUMNASI
TERHADAPSIFON,RASABERSALAHDANUPAYAPENYADARANMELALUI
KONSELINGLINTASBUDAYA.
Khetye Romelya Saba. (2015). WANITA SIFON (Studi Ethno-Phenomenology).
13
Nur Azizah Hidayat. (2016). KONFLIK HUKUM DALAM TRADISI SIFON SUKU ATONI
PAH METO DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR, 15.
Farah Aziizah. (2018). HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DAN PENGETAHUAN
TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP PERILAKU SEKSUAL
PRANIKAH MURID SEKOLAH MENENGAH ATAS. (UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA).
Nydia Rena Benita. (2012). Pengaruh Ppenyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan
Reproduksi Pada Remaja Siswa SMP KRISTEN GERGAJI. (UNIVERSITAS
DIPONEGORO).
14