Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI

Cover
Daftar Isi
1. PENDAHULUAN………………………………………………………………………..1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………..1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………………….2
1.3. Tujuan…………………………………………………………………………….2
1.4. Manfaat…………………………………………………………………………..2
2. KAJIAN TEORI…………………………………………………………………………3
3. GAMBARAN RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN…………………………..9
3.1. Jenis Kegiatan……………………………………………………………………9
3.2. Rencana Kegiatan………………………………………………………………..9
4. UNSUR DALAM KOMUNIKASI KESEHATAN…………………………………...10
5. HUBUNGAN DENGAN KONSEP PERILAKU SEHAT SERTA KOMUNIKASI
DALAM KONTEKS SOSIOKULTURAL……………………………………………11
6. MEDIA YANG DIGUNAKAN………………………………………………………...12
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..14
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
KOMUNIKASI KESEHATAN
(PROGRAM KOMUNIKASI KESEHATAN)

1. PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang

Pengertian dari kesehatan reproduksi di indonesia telah diatur di Undang-Undang RI


Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu suatu keadaan sehat secara fisik, mental dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Menurut Konferensi
Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and
Development) kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai suatu dimana kesejahteraan fisik,
mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya tiadanya penyakit atau kelemahan, tetapi dalam segala
hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses-prosesnya.(Nydia Rena
Benita, 2012)

Di Indonesia, pendidikan tentang kesehatan reproduksi dalam penerapannya belum


maksimal. Selain itu kasus-kasus yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi di Indonesia
masih tinggi dengan angka remaja wanita usia 15-19 tahun yang melahirkan pada tahun 2002-
2007 mencapai 52 per 1000 orang. Data dari Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa
sejak Bulan April hingga Juni 2011, kasus AIDS dilaporkan sejumlah 2.001 kasus dari 59
kabupaten/kota di 19 propinsi. Semarang menjadi kota dengan penderita HIV/AIDS terbanyak di
seluruh Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun terakhir. Dari hasil survei Youth Center Pilar
PKBI Jawa Tengah (2012) diperoleh informasi bahwa 43,22% pengetahuan remaja masih
tergolong rendah, 37,28% pengetahuan remaja tergolong cukup dan 19,50% pengetahuan remaja
tergolong memadai. Masalah-masalah yang dapat timbul karena kurangnya pengetahuan tentang
seks bebas adalah kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, depresi dan
perasaan berdosa. (Farah Aziizah, 2018)

Di Indonesia terdapat berbagai budaya yang bersangkutan dengan kesehatan reproduksi


masyarakat indonesia, kebudayaan tersebut seperti Praktik budaya Suku Badui Dalam pada
perawatan kehamilan, persalinan, dan nifas. Dalam tradisi ini sang Ibu hamil yang memeriksakan
1
kehamilannya ke paraji (dukun bayi) biasanya melakukan ritual ngaragap beteung, pada ritual ini
paraji akan melakukan pemijatan kepada ibu hamil. Saat masa nifas ibu tidak diperkenankan
menggunakan pakaian dalam termasuk pembalut, namun menggunakan kain samping yang dapat
menyebabkan infeksi (Ipa , Prasetyo, & Kasnodiharjo, 2016). Di Desa Gadingsari Yogyakarta
terdapat suatu budaya perawatan kehamilan, budaya ini terdapat pantangan-pantangan untuk
wanita hamil berupa larangan terhadap makanan-makanan tertentu seperti pisang, nanas,
mentimun, dan jenis makanan tertentu. Namun permasalahan yang besar adalah masalah gizi ibu
hamil, karena ibu hamil akan kurang asupan energy dari makanan tentunya akan berdampak
terhadap kesehatan ibu dan janinnya(Kasnodiharjo & Kristiana, 2013). Selain itu juga terdapat
sebuah tradisi dari Nusa Tenggara Timur yaitu Sifon yang mrupakan suatu ritual hubungan
seksual yang dilakukan oleh pria yang setelah di sunat secara tradisional dengan wanita dengan
kepercayaan dan maksud untuk menyembuhkan dan membuang sakit sial dan panas dari pria
yang di sunat (Zulkifli Natonis, 2014). Di Jayapura terdapat pratek budaya suku kampung yepase
terkait perawatan kehamilan, nifas dan bayi di distrik depapre kabupaten jayapura. Sang ibu akan
melakukan pemijitan di kandungan pertama kehamilan untuk menguatkan kandungan, kehamilan
5-6 bulan untuk mengatur letak dan posisi peranakan, mengeluarkan darah kotor dari kepala
akibat sakit yang berlebihan dan 9 bulan pemijitan untuk memperlancar kelahiran menggunakan
minyak kelapa dan ramuan (Ipa, Prasetyo, & Kasnodihardjo, 2016).
.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan kesehatan reproduksi dengan kebudayaan di Indonesia ?
2. Bagaimana cara untuk mempromosikan kesehatan reproduksi di Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan kesehatan reproduksi dengan kebudayaan di Indonesia
2. Untuk mengetahui cara mempromosikan kesehatan reproduksi di Indonesia

1.4 Manfaat
1. Untuk mempromosikan kesehatan reproduksi kepada masyarakat
2. Agar masyarakat mengetahui berbagai kebudayaan Indonesia yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi
3. Agar masyarakat mengetahui kekurangan dan kelebihan dari setiap kebudayan Indonesia
yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.

2. KAJIAN TEORI
.
a. Budaya Sifon pada Masyarakat Suku Atoni Pah Meto Nusa Tenggara Timur
2
Sifon merupakan suatu ritual hubungan seksual yang dilakukan oleh pria yang setelah di
sunat secara tradisional dengan wanita dengan kepercayaan dan maksud untuk
menyembuhkan dan membuang sakit sial dan panas dari pria yang di sunat (Zulkifli
Natonis, 2014).
Mayarakat di Suku Atoni Pah Meto Nusa Tenggara Timur sangat berisiko terkena
penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS. Karena dalam Tradisi Sifon sang pria
akan berhubungan seksual dengan wanita lain sebagai syarat ritual ini (JohanBiaf, 2012).
Selain itu, teknik sunat yang masih tradisional yaitu menggunakan bambu yang
diruncingkan dapat membuat infeksi dan memperlambat penyembuhan luka setelah sunat.
Penyebab Infeksi bisa disebabkan karena bambu tersebut belum tentu steril dan terdapat
banyak bakteri dari bambu dan alat peruncing bambu tersebut (Khetye Romelya Saba,
2015).
Para istri atau perempuan yang menolak pelaksanaan Tradisi Sifon didasarkan pada tiga
hal. Pertama berisiko terhadap penularan penyakit kelamin, kedua disebabkan oleh
kecemburuan para istri karena melaksanakan hubungan seksual dengan perempuan lain,
ketiga biaya Tradisi Sifon sangat mahal sedangkan ada kebutuhan lain yang harus
dipenuhi seperti biaya pendidikan anak. Selain itu sikap penolakan para istri terhadap
pelaksanaan Tradisi Sifon ini tentu saja menimbulkan tekanan dari masyarakat sekitarnya.
Tekanan itu berupa cemoohan bahkan sampai pada pembedaan perlakuan pada acara-
acara adat yang lain (Yoseph Yapi Taum, 2013).
Jika Tradisi terus-menerus dilaksanakan maka risikonya terbesarnya yaitu penyakit
menular seksual dan HIV/AIDS yang secara pasti akan dialami seorang pria yang pernah
berhubungan seksual dengan perempuan lain atau dengan pasangan lain. Maka dari itu
resiko terkena penyakit HIV/AIDS sangat besar sehingga tradisi ini sebaiknya tidak terus-
menerus di laksanakan. Selain itu di tradisi ini pasien beresiko terkena Infeksi karena alat
yang digunakan untuk memotong adalah kayu atau bambu yang di runcingkan sehingga
alat yang digunakan kurang steril. Infeksi ini dapat memperhambat proses penyembuhan
pada penis . Selain itu di tradisi ini penis yang telah di sunat akan direndam ke dalam
sungai dengan tujuan mengurangi pendarahan pada penis. Hal ini sangat berbahaya
karena di sungai banyak mengandung bakteri yang berbahaya bagi tubuh, belum lagi luka
di penis yang masih terbuka dapat mempermudah bakteri yang masuk ke tubuh dan
menyebabkan infeksi (Nur Azizah Hidayat, 2016).
b. Praktik Budaya Suku Badui Dalam pada Perawatan Kehamilan, Persalinan, Dan
Nifas
Budaya kesederhanaan tampak pada masyarakat Baduy Dalam, termasuk dalam
segi kesehatannya. Masyarakat Baduy dalam lebih sering mengobati penyakit dengan
obat-obat tradisional. Bagi mereka mengaksesfasilitas kesehatan merupakan pilihan yang
paling akhir, termasuk dalam pemilihan persalinan. Mereka lebih memilih melahirkan di
dukun bayi daripada di bidan atau dokter. Ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya
ke paraji (dukun bayi) biasanya melakukan ritual ngaragap beteung, pada ritual ini paraji
akan melakukan pemijatan kepada ibu hamil. Dalam segi kesehatan proses pemijatan ini
3
baik jika dilakukan dengan baik dan benar, namun jika dilakukan dengan penuh tekanan
dapat menganggu janin. Mengurut perut ibu hamil terutama pada trimester tiga tidak
diperbolehkan dalam praktik kedokteran/kebidanan. Pengurutan hanya boleh dilakukan
jika kondisi janin sungsang. Prosesi melahirkan Etnik Baduy Dalam dilakukan dengan
posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti jongkok. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar
menunjukkan bahwa tindakan persalinan dengan posisi duduk bersandar dan kaki
diluruskan ke depan dapan menyebabkan pendarahan dan pembengkakan. Pemotongan
ari-ari pada ibu juga menggunakan media sembilu yang berasal dari bambu, penggunaan
sembilu tanpa sterilisasi dapat menimbulkan infeksi pada bayi yang baru dilahirkan.
Pada saat masa nifat ibu tidak diperkenankan menggunakan pakaian dalam termasuk
pembalut, sehingga darah nifas yang keluar hanya menggunakan kain sampingyang
dikenakannya. Kain samping ini berisiko terhadap kesehatan alat reproduksinya
mengingat kontaminasi agent baik bakteri maupun parasite dapat menyebabkan infeksi
(Ipa , Prasetyo, & Kasnodiharjo, 2016).
c. Praktek Budaya Perawatan Kehamilan di Desa Gadingsari Yogyakarta
Pada budaya yang ada di Yogyakarta, terdapat pantangan-pantangan untuk wanita
hamil. Pantangan pada wanita hamil adalah larangan terhadap makanan-makanan tertentu
seperti pisang, nanas, mentimun, dan lain-lain. Jenis makanan tertentu. Berdasarkan
penelitian buah-buah tersebut jika dimakan akan menimbulkan pengaruh jikadimakan ibu
hamil. Jika ibu hamil mengonsumsi buah nanas dan durian akan menyebabkan rasa panas
pada perut. Rasa panas ini timbul karaena efek gas yang dihasilkan oleh buah-buahan
tersebut dan hal itu tidak baik bagi ibu dan janin yang dikandungangnya. Namun
permasalahan yang besar adalah masalah gizi ibu hamil, karena ibu hamil mendapatkan
pantangan-pantangan untuk makan-makanan tertentu seperti telur, apabila kurang asupan
energy dari makanan tentunya akan berdampak terhadap kesehatan ibu dan janinnya.
Tidak mengherankan jika masalah kurang gizi dan anemia sering terjadi pada masyarakat
yang menganut tradisi daerahnya (Kasnodiharjo & Kristiana, 2013).
d. Pratek Budaya Suku Kampung Yepase Terkait Perawatan Kehamilan, Nifas dan
Bayi Di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura
Praktek Perawatan Kehamilan Suku Yepase
Dalam perawatan kehamilan masyarakat kampung Yepase, ibu melakukan
pemijitan pada usia kandungan pertama kehamilan untuk menguatkan kandungan,
kehamilan 5-6 bulan untuk mengatur letak dan posisi peranakan, mengeluarkan darah
kotor dari kepala akibat sakit yang berlebihan dan 9 bulan pemijitan untuk memperlancar
kelahiran menggunakan minyak kelapa dan ramuan dengan mantra “nameng tena setena
tapenya wela basu mewe” (eh cepat keluar sudah jangan bikin berat mama)”. Dalam segi
kesehatan proses pemijatan ini baik jika dilakukan dengan baik dan benar, namun jika
dilakukan dengan penuh tekanan dapat menganggu janin. Mengurut perut ibu hamil
terutama pada trimester tiga tidak diperbolehkan dalam praktik kedokteran/kebidanan.
Pengurutan hanya boleh dilakukan jika kondisi janin sungsang (Ipa, Prasetyo, &
Kasnodihardjo, 2016).
Selama kehamilan masyarakat kampung Yepase memiliki pantangan terhadap
makanan tertentu seperti ikan yang berukuran besar karena dapat mengakibatkan
4
pendarahan, buah yang banyak mengandung air karena dapat mengakibatkan vagina
berair, dan ibu hamil dianjurkan lebih banyak makan sagu dari pada nasi, serta selama
masa kehamilan ibu lebih sering mengkonsumsi sagu (papeda) campur kelapa tua serta
kuah garam. Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan
suami misalnya :
1) Ibu hamil dilarang tidur apalagi sore hari dan pada saat bulan purnama, karena
rohnya dapat keluar dan berjalan. Jika ada orang yang tidak senang pada ibu atau
keluarga dari ibu hamil mereka bisa membunuh rohnya dan ibu meninggal di
rumah.
2) Ibu dianjurkan melakukan aktifitas dan pekerjaan berat supaya proses persalinannya
lebih lancar.
3) Ibu dianjurkan tidak menggunakan pakaian yang ketat. Khususnya pada malam hari
ibu mengggunakan sarung atau kain dan ibu tidur diteras sampai larut malam.
Manfaatnya bagi keluarga ibu tidak kepanasan karena dapat melancarkan
pernafasan. Hal ini menyebabkan ibu mudah terkena malaria.
4) Ibu dianjurkan tidak mandi lebih dari jam 6 sore karena dapat diikuti oleh mashe
detro dan mengakibatkan anggota tubuh ibu hamil ada yang hilang atau hamil
kembar air.
5) Suami dilarang masuk ke dalam tempat keramat milik suku lain dan memegang
parang memotong tanaman milik orang lain saat ibu hamil karena anak dapat lahir
cacat.
Pantangan-pantangan tersebut sebagian tidak berpengaruh pada kesehatan dan
sebagiannya lagi berpengaruh baik bagi kesehatan seperti ibu tidak dianjutkan tidak
menggunakan pakaian ketat dan ibu dianjurkan tidak mandi lebih dari jam 6 sore.
Pada masa kehamilan ibu hamil masih tetap melakukan hubungan seks dengan suaminya,
kadang kondisi suami dalam keadaan mabuk atau kotor. Hal ini karenakan suami dalam
tradisi masyarakat kampung yepase harus didengar dan dituruti. Menurut (Farhani, 2014),
hubungan seksual tidak dilarang dalam kehamilan, kecuali 6 minggu sebelum dan 6
minggu setelah persalinan.
Masyarakat kampung Yepase tidak menggunakan obat berbahan kimia dalam
mengatasi masalah atau gangguan saat hamil. Upaya pencegahan yang dilakukan dalam
mengatasi keluhan-keluhan atau gangguan saat kehamilan masyarakat menggunakan
ramuan tradisioanal berupa: daun meyana untuk menguatakan dan mencegah kurang
darah, daun pandan hutan untuk menguatkan kandungan, minyak kelapa untuk
melicinkan anak pada saat persalinan. Meskipun menurut kesehatan upaya pencegahan
perlu dilakukan jika ada pemeriksaan atau diagnosa yang dilakukan oleh petugas
kesehatan dan ramuan yang digunakan sudah dilakukan pengujian kualitas dan
khasiatnya.

Praktek Perawatan Nifas Suku Yepase


Perawatan nifas masyarakat kampung Yepase dimulai setelah ibu menyusui bayi
pertama kali yaitu dengan memberikan sagu (papeda’ Phi’) panas-panas sekali untuk ibu
5
makan agar memperlancar peredaran darah keluar dari dalam. Dalam perawatan nifas,
hanya dilakukan di rumah dalam kamar atau satu ruangan yang di sediakan khusus
karena masih bauh darah dan amis, dukun akan membuat air panas ibu di dudukan
dengan posisi kaki terlentang ke depan kemudian handuk panas dicelupkan ke dalam air
panas lalu ibu di dudukan diatas uap handuk panas sampai darah kotor keluar (cara
sauna). Setelah itu dengan tangan dukun akan memeriksa bagian dalam apakah sudah
bersih, hal ini dilakukan selama 1 bulan sampai benar-benar bersih, setelah itu diberikan
minuman ramuan prakepei (tali kuning yang tergantung di pohon) untuk mengatasi gatal-
gatal, daun siri untuk mengeringkan luka, daun miyana untuk pendarahan dan daun turi
untuk darah putih. Setelah melakukan perawatan ibu hanya menggunakan handuk
(handuk yang dijahit membentuk pembalut) setelah darah penuh lalu dicuci dan pakai
lagi selama masa nifas. Masyarakat kampung Yepase sudah mengenal KB alami untuk
mengatur jarak kelahiran anak secara turun-temurun, jarak kelahiran anak akan
disampaikan oleh dukun dengan melihat pada titik hitam yang berada ditali pusat anak
sebelum dipotong. Menurut Povelita 50% penyebab kematian ibu adalah infeksi pada
masa nifas hal ini terkait dengan peradangan yang disebabkan oleh masuknya kuman-
kuman ke dalam genital pada waktu persalinan dan nifas oleh sebab tangan terkena
kontaminasi dengan kuman, serta dalam rumah terlalu banyak kuman-kuman pahtoghen,
alat atau pakaian yang di gunakan tidak diperhatikan kebersihannya. Kadang-kadang
robekan serviks atau robekan rahim tidak di diagnosis sewaktu persalinan, karena
pendarahan pada waktu itu tidak menonjol. Menurut anjuran kesehatan pemeriksaan 40
hari ini tidak merupakan pemeriksaan terakhir apalagi bila ditemukan kelainan meskipun
sifatnya ringan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perawatan nifas masyarakat kampung
Yepase tidak baik dalam segi kesehatan.
Selama masa nifas masyarakat masih berpantangan terhadap hal-hal tertentu
seperti tidak melakukan pekerjaan ke hutan atau ke pantai karena masih bau darah atau
amis hal ini diyakini ibu tersebut dapat diikuti oleh roh-roh jahat sehingga dapat
menimbulkan kelainan pada anggota tubuh seperti; kehilangan payudara atau payudara
mengecil (kempes), mandi harus menggunakan pakaian, tidak boleh melakukan
hubungan seks. Jika terjadi perdarahan pada masa nifas ibu lebih melakukan perawatan
secara tradisional dengan meminum ramuan mencegah darah putih, perawatan badan agar
tetap hangat dan kuat dengan tidur didekat tunggku api hal ini
diyakini dapat memperlancar peredaran darah dan mencegah darah putih. Tradisi dalam
masa perawatan nifas ini membuat masyarakat tidak memerlukan kunjungan ulang pasca
melahirkan pada tenaga kesehatan.
Pada masa nifas ibu dianjurkan melakukan pekerjaan rumah tangga 2 hari pasca
melahirkan untuk mempercepat proses pemulihan, namun pekerjaan yang dilakukan
seperti membelah kayu bakar, mencuci pakaian dan memasak yang masih merupakan
pekerjaan berat. Budaya positif pada masyarakat kampung Yepase adalah melakukan
perawatan payudara agar ASI tetap lancar. Selama masa nifas ibu tidak melakukan
hubungan seks karena menurut masyarakat ibu masih kotor, setelah masa nifas
6
tergantung pada keinginan suami. Namun untuk mengatur jarak kehamilan yang
informasinya sudah disampaikan oleh dukun pasca melahirkan dengan melihat jarak
titik hitam apabila jaraknya selebar dua jari dukun maka hubungan seks harus
diperhitungkan karena jarak anak akan sangat dekat, apabila jarak titik hitam sejengkal
tangan dukun maka jarak anak akan jauh.

Praktek Perawatan Bayi Suku Yepase


Perawatan bayi masyarakat kampung Yepase dilakukan langsung setelah
persalinan dengan bidan atau dukun yaitu memberikan kopi kental dicampur air
kemudian diminumkan, setelah itu bayi ditidurkan dengan posisi tengkurap ke bawah
untuk mengeluarkan kotoran dari dalam mulut yang tertelan saat berada pada pintu
harim. Bayi diberikan air susu pertama yang berwarna hijau kekuning-kuningan.
Meskipun diberikan ASI pertama, jika ASI kurang maka akan ditambah dengan air
kelapa muda yang diambil dari atas pohon dan tidak boleh di jatuhkan ke bawah karena
nanti anak minum bisa sakit atau buah ketepeng hutan yang tumbuh dipinggir pantai
dengan mengambil air perasan sarinya lalu di minumkan untuk mencegah anak
kehausan. Untuk MP ASI bayi diberikan sagu dan betatas. Perawatan tali pusat dukun
atau orang tua menggunakan bakaran bekas tempurung kelapa dan daun-daunan lalu
panas api di panaskan pada tangan kosong dan diraurau di pusat dan sekitar pusat anak
sampai dengan tali pusatnya jatuh.
Tradisi masyarakat kampung Yepase bayi lahir sampai dengan usia satu bulan
akan dihangatkan dengan diletakannya bayi di samping sisa bakaran bara api kayu dan
tempurung kelapa dalam suatu ruangan agar bayi tetap merasa hangat. Menurut WHO
(2012), polusi udara dalam ruangan sebagai akibat penggunaan bakar biomassa seperti
kayu bakar, batu bara atau bakaran bahan-bahan lain dapat menyebabkan kematian 1,6
juta jiwa pertahun sebagian besar terjadi pada bayi. Dapat disimpulkan, proses
penghangatan pada bayi masyarakat kampung Yepase tersebut tidak baik menurut
kesehatan.
Memandikan bayi sudah dilakukan sejak turun-temurun berdasarkan pengalaman
orang tua dari missionaris (orang belanda) yang datang, dalam memandikan bayi yang
diperhatikan adalah alat kelamin, karena kelamin anak perempuan berbeda dengan
kelamin anak laki-laki, informan utama penelitian juga mengatakan sebelum pusat anak
jatuh maka bayi tidak boleh dimandikan dengan cara mencelupkan ke dalam air hanya
dengan menyeka pada bagian tertentu dilakukan 2 kali sehari sampai dengan pusat anak
jatuh. Pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dilakukan ibu-ibu kampong Yapase
sama dengan prinsip memandikan bayi yang diungkapkan Depkes RI (2008).
Perawatan tali pusat yang dilakukan secara tradisional yaitu hanya menggunakan arang
tempurung bekas bakaran dengan daun-daunan dan di usap-usap (rau-rau) dengan
tangan yang di hangatkan di panas api di pusat dan sekitar pusat bayi sampai sudah agak
kering setelah itu di ikat dengan kain kasa 2 kali sehari setelah menyeka bayi. Menurut
kepercayaan mereka perawatan tali pusat yang dilakukan lebih cepat kering dan jatuh.

7
Menurut Depkes RI (2004), kebiasaan yang di lakukan oleh ibu sudah baik, karena ibu
tidak menggunakan daun-daun, ramuan atau obat bubuk, namun ibu harus
memperhatikan kebersihan tangannya karena kematian bayi banyak disebabkan oleh
Tetanus neonatrum akibat perawatan yang kurang bersih. Namun setelah tali pusat jatuh
pada usia 3 bulan bayi sudah dimandikan air dingin. Hal ini diyakini bahwa pada masa
pertumbuhan bayi akan tahan terhadap perubahan iklim dan tulang menjadi kuat untuk
memikul barang yang berat.
Dalam perawatan bayi masyarakat Yepase memiliki pantangan-pantangan yang
dipercaya jika dilakukan oleh ibu dan ayah (suami) dapat berdampak pada kesakitan dan
kematian bayi. Pantangan-pantangan tersebut seperti :
1) Ibu nifas tidak boleh bekerja berat sebelum pusat bayi terlepas, karena bisa
memperlambat keringnya tali pusat.
2) Suami tidak boleh memotong pohon atau tanaman di hutan sebelum tali pusat
anak terlepas karena darah bisa keluar dari pusat anak.
3) Anak sakit akibat pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua.
4) Suami tidak boleh menanam tanaman jangka panjang anak bisa terlambat jalan.
5) Bayi biar kuat dan tidak menangis harus di beri makan seperti; sagu, pisang, dan
betatas.
6) Batuk pilek pada anak masih dihubungkan dengan alam, seperti musim buah-
buahan akan datang.
Pantangan pada masyarakat kampung Yepase dalam melakukan perawatan bayi sama
halnya dengan kepercayaan budaya Jawa yang percaya pada mitos-mitos mengenai ibu
pada masa perawatan bayi. Bayi diberi makan pisang usia seminggu dicampur nasi agar
tidak kelaparan. Pada kenyataannya hal tersebut adalah salah, pasalnya usus bayi di usia
ini belum punya enzim yang mampu mencerna karbohidrat dan serat-serat tumbuhan
yang begitu tinggi. Akibatnya bayi jadi sembelit, karena makanan padat pertama adalah di
usia 4 bulan yakni bubur sun dan 6 bulan makanan padat ke dua.

3. GAMBARAN RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN


a. Jenis Kegiatan
Kegiatan ini dilakukan dengan konsep pameran seni atau art exhibition. Pameran
seni ini merupakan salah satu cara untuk melakukan program komunikasi kesehatan
yang sesuai dengan masa millenials. Berkaca dari minat masyarakat terutama
kalangan remaja atau kaum milenial yang sangat antusias untuk melakukan swafoto
atau berfoto di tempat yang Instagramable. Antusiasme masyarakat terhadap tempat-
tempat foto tersebut dapat dijadikan sarana yang tepat untuk melakukan kegiatan
promosi kesehatan, selain foto yang menarik mereka juga akan sekaligus
mendapatkan informasi kesehatan yang dikemas dengan cara yang menarik.
Pameran seni ini terdapat 3 instalasi ruang yang dimana pada setiap ruangan akan
di rancang sesuai tema yaitu Culture and Health Reproduction. Setiap instalasi akan
dijaga oleh seorang komunikator yang bertujuan untuk menjelaskan tema ruangan.

8
Komunikator akan memberikan informasi-informasi terkait dengan tema sebelum
masyarakat menikmati ruangan tersebut. Selain bentuk pejelasan melalui
komunikator dan juga media ruangan yang dihias, instalasi juga di lengkapi dengan
fasilitas penunjang agar masyarakat juga dapat berperan dalam hal menerima pesan
yang kami sampaikan. Seperti contoh pada ruangan ke 3 atau ruangan terakhir,
dimana pada ruangan tersebut masyarakat dimintai pendapat mengenai perspektif
mereka terhadap kebudayaan Indonesia yang memiliki hubungan dengan kesehatan
reproduksi yang harus mereka tuliskan pada secarik kertas, lalu kertas itu ditempelkan
pada dinding kosong. Semakin banyak pendapat maka setiap orang akan mengerti
bahwa setiap masyarakat memiliki berbagai perspektif terkait tema yang diangkat.
Pameran ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat lebih tertarik untuk
mempelajari kesehatan resproduksi. Masyarakat memiliki banyak kebudayaan yang
berbeda-beda dan masih banyak pula diantara mereka yang tidak mengerti jika
kebudayaan yang mereka pahami memiliki kaitan yang sangat kuat dengan kesehatan
reproduksi setiap individu. Oleh karena itu, perlu diadakannya program inovasi baru
yang dapat emnarik antusias dari masyarakat. Masyarakat akan dapat belajar dan
menambah pengetahuan serta berwisata.
b. Rencana Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan berupa kunjungan di beberapa ruang dengan tema yang
berbeda. Komunikan akan masuk di ruangan pertama dengan didampingi oleh
komunikator untuk menjelaskan tema dari ruangan pertama. Ruangan pertama berisi
informasi tentang kesehatan resproduksi yang berupa mural pada dinding ruangan.
Kegiatan di ruangan pertama didampingi oleh penjaga pada tempat tersebut yang juga
bertugas sebagai komunikator. Informasi yang disampaikan oleh komunikator akan
mudah ditangkap oleh komunikan serta komunikan akan lebih mudah untuk bertanya
dan tidak mudah bosan dengan informasi yang berada di dinding dikarenakan
informasi dikemas dalam bentuk yang menarik dengan banyak bentuk dan warna.
Setelah itu, komunikan akan masuk ke ruangan kedua yang lebih menjelaskan
tentang hubungan kebudayaan dengan kesehatan reproduksi. Ruangan kedua didesain
menjadi ruangan yang menggambarkan tentang beberapa budaya yang berhubungan
dengan kesehatan reproduksi. Salah satu budaya yang diambil adalah tradisi Panamou
yang ada di Maluku yaitu pengasingan wanita haid di sebuah gubuk kecil tidak boleh
keluar sama sekali dan tidak melakukan komunikasi. Tradisi tersebut sangat
berpengaruh sekali dengan kesehatan reproduksi pada wanita. Nantinya didalam
ruangan tersebut akan dibuat beberapa gubuk salah satunya gubuk untuk tradisi
panamou. Komunikan dapat mencoba merasakan gubuk tersebut seolah-olah sedang
melakukan tradisi tersebut. Sebelum komunikan mencoba, komunikator akan
menjelaskan satu persatu hubungan dari budaya yang ada di dalam ruangan tersebut
dengan kesehatan reproduksi sehingga komunikan akan lebih faham dan lebih mudah
mengingat informasi yang disampaikan oleh komunikator dikarenakan komunikan
ikut berpartisipasi secara langsung.
9
Pada ruangan yang terakhir, komunikan akan diminta oleh komunikator untuk
menempelkan kertas pada dinding. Kertas tersebut berisi tentang pendapat mereka
tentang kesehatan reproduksi serta pesan dan kesan mereka terhadap art exhibition
tersebut. Hal tersebut untuk mengetahui apakah komunikan telah faham mengenai
informasi yang telah disampaikan oleh komunikator. Di sepanjang ruangan,
komunikan diperbolehkan untuk berfoto-foto dengan estimasi waktu ± 45 menit.
Kunjungan ruangan akan dilakukan oleh 15 orang untuk per kunjungannya agar
memudah proses penyampaian informasi serta agar tidak mengganggu kenyamanan
dari komunikan.

4. UNSUR DALAM KOMUNIKASI KESEHATAN

1. Komunikator : mahasiswa kesehatan masyarakat atau tenaga kesehatan. Alasannya


karena konsep program yang kami pilih berupa kegiatan pameran dengan tema
kebudayaan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, jadi komunikator
haruslah seseorang yang memahami tentang kesehatan reproduksi.
2. Komunikan : semua kalangan yang masih produktif, karena di usia yang produktif
lebih rentan terhadap penyakit terkait reproduksi.
3. Pesan : tema yang disampaikan yaitu kebudayaan yang berhubungan dengan
kesehatan reproduksi, karena dalam kajian kami memaparkan beberapa budaya
yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
4. Media :
5. Dampak : peningkatan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, yang nantinya
diharapkan memberikan perubahan perilaku kesehatan reproduksi serta
meningkatkan status kesehatan.

5. HUBUNGAN DENGAN KONSEP PERILAKU SEHAT SERTA KOMUNIKASI


DALAM KONTEKS SOSIOKULTURAL
Jika dilihat dari aspek sosial yang mempengaruhi status kesehatan dan perilaku
kesehatan ada 4 yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, sosial ekonomi. Berdasarkan
golongan umur terdapat perbedaan pola penyakit, contoh pernikahan remaja dengan usia
di bawah 20 tahun di suku Baduy, dari sisi kesehatan usia di bawah 20 tahun rentan
untuk terjadinya komplikasi saat persalinan. Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih
rentan terkena penyakit kanker payudara sedangkan laki-laki banyak yang menderita
kanker prostat. Berdasarkan tingkat pendidikan misalnya warga suku baduy yang tidak
diperkenankan untuk menempuh pendidikan secara formal, hal tersebut tentunya
berpengaruh pada pengetahuan mengenai kesehatan yang tentunya juga akan berpengaruh
dalam berperilaku sehat. Berdasarkan sosial ekonomi, golongan dengan status ekonomi
tinggi lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan.
Jika dilihat dari aspek budaya yang mempengaruhi status kesehatan dan perilaku
kesehatan ada beberapa aspek yang mempengaruhi kesehatan seseorang antara lain
adalah tradisi, sikap ethnocentris, unsur budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses
sosialisasi. Pengaruh tradisi terhadap perilaku kesehatan dan status kesehatan
10
1. Tradisi dapat memberikan dampak negative dan positif terhadap kesehatan
contohnya;
a. Tradisi panggang dan tatobi ibu nifas yang melakukan persalinan di rumah
bulat dan mendapat perawatan 40 hari serta tidak boleh keluar di suku timor di
kecamatan mollo tengah kabupaten timor tengah. Pengaruh tradisi tersebut
terhadap kesehatan adalah dapat menyebabkan ISPA, infeksi terhadap luka
akibat dari persalinan, dapat menyebabkan anemia, dan juga luka bakar
b. Tradisi ibu hamil dianjurkan banyak makanan yang berserat seperti daging,
ikan, sayur-sayuran dan buah-buahan selain nanas dan durian agar janin dalam
kandungan mendapat asupan gizi atau nutrisi yang cukup.
2. Pengaruh sikap ethnocentris terhadap perilaku dan status kesehatan
Sikap ethnocentris adalah sikap yang memandang budaya nya sendiri yang paling baik,
contohnya;
Pikukuh (adat mutlak) sebagai sistem nilai budaya yang melandasi falsafah hidup yang
merasuk ke semua aspek kehidupan masyarakat Suku Baduy Dalam termasuk aspek
kesehatan diantaranya sistem budaya pelayanan kesehatan. Masyarakat Suku Baduy
Dalam lebih mengacu pada sistem budaya pelayanan kesehatan tradisional, mereka lebih
memilih berobat ke dukun, paraji (dukun bayi) setempat, sedang pengobatan modern
sebagai
pilihan sekunder.
3. Pengaruh unsur budaya dipelajari dalam proses sosialisasi
Sesuatu yang diajarkan oleh orang tua maupun orang-orang sekitar akan menjadi suatu
kebiasaan yang akan terus-menerus dilakukan, contohnya :
Ritual dimasa kehamilan mulai dilaksanakan saatkehamilan seorang ibu menginjak usia
3,5 dan 7 bulan. Tujuan diadakan upacara tersebut adalah sebagai salah satu cara untuk
meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar si calon Ibu dan anak selamat
ketika menjalani masa kehamilan.

Hubungan aspek sosiokultural dengan komunikasi kesehatan yaitu, masyarakat


mempercayai segala instruksi yang disampaikan oleh tokoh masyarakat dan kemudian diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari termasuk juga terhadap tindakan yang berhubungan dengan
kesehatan. Untuk itu, diperlukan adanya kerja sama antara tokoh masyarakat dengan tenaga
kesehatan agar komunikasi kesehatan yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat.

6. MEDIA YANG DIGUNAKAN


Media yang kami gunakan adalah ruangan yang berisi tulisan/ mural mengenai Kesehatan
reproduksi, selain itu kami juga memakai Simulasi mengenai Budaya yang ada di NTT
sesuai dengan kajian teori. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengerti secara langsung
proses budaya tersebut serta dapat mengerti dampak yang ditimbulkan.

11
Gambar 1. Desain ruang 1

Gambar 2. Desain ruang 2

12
Gambar 3. Desain ruang 3
DAFTAR PUSTAKA

Christiana, N.R., Budiyono, B., Setiani, O., 2018. HUBUNGAN KONDISI KESEHATAN
LINGKUNGAN RUMAH BULAT SUKU DAWAN DAN TRADISI SE’I DENGAN
KEJADIAN ISPA PADA BAYI DI PUSKESMAS KUANFATU KECAMATAN
KUANFATU. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) 6, 496–504.
Korbaffo, A.R., Prasetyo, B., Soedirham, O., 2018. The Roast Tradition (se’i/nu) and Acute
Respiratory Infection in Infants. Health Notions 2, 376–379.
https://doi.org/10.33846/hn.v2i3.155
Ipa , M., Prasetyo, D. A., & Kasnodiharjo. (2016). Praktik Budaya Perawatan dalam Kehamilan
Persalinan dan Nifas pada Etnik Baduy Dalam. 25-36.
Kasnodiharjo, & Kristiana, L. (2013). Praktek Budaya Perawatan Kehamilan di Desa Gadingsari
Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 113-123.
Yoseph Yapi Taum. (2013). SUNAT RITUAL, RELIGIOSITAS, DAN IDENTITAS
KULTURAL ORANG DAWAN DI NTT 1, 21.
Zulkifli Natonis. (2014). Larangan Berzina dalam Al-Qur’an dan Ritual “SIFON” pada Etnis
Suku Timor NTT, 67.
JohanBiaf. (2012). PEMAHAMANPRIADEWASAATOINMETOFATUMNASI
TERHADAPSIFON,RASABERSALAHDANUPAYAPENYADARANMELALUI
KONSELINGLINTASBUDAYA.
Khetye Romelya Saba. (2015). WANITA SIFON (Studi Ethno-Phenomenology).
13
Nur Azizah Hidayat. (2016). KONFLIK HUKUM DALAM TRADISI SIFON SUKU ATONI
PAH METO DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR, 15.
Farah Aziizah. (2018). HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DAN PENGETAHUAN
TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP PERILAKU SEKSUAL
PRANIKAH MURID SEKOLAH MENENGAH ATAS. (UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA).
Nydia Rena Benita. (2012). Pengaruh Ppenyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan
Reproduksi Pada Remaja Siswa SMP KRISTEN GERGAJI. (UNIVERSITAS
DIPONEGORO).

14

Anda mungkin juga menyukai