Anda di halaman 1dari 23

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSJD Atma Husada Mahakam

GANGGUAN DEPRESI BERAT

Oleh

Antonius Priliandro Paskah Putra

1910027021

Pembimbing
dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp.KJ

LAB / SMF KESEHATAN JIWA


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSJD Atma Husada Mahakam
2019

1
GANGGUAN DEPRESI BERAT

Oleh

Antonius Priliandro Paskah Putra


NIM. 1910027021

Dipresentasikan pada Agustus 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp.KJ

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang
penguasa seluruh alam,karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat
menyelesaikan tutorial klinik yang berjudul gangguan depresi berat ini tepat pada
waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang


episode depresi, dan bagaimanamenghadapi masalah ini dalam praktik kedokteran.

Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. Eka Yuni


Nugrahayu, Sp.KJ, selaku pembimbing penulis atas segala bantuan dan bimbingan
dalam menyelesaikan makalah ini.

Oleh karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kepustakaan, penulis


mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat menjadi masukan yang berarti dalam perbaikan
proses pembelajaran.

Samarinda, Agustus 2019

Penulis

3
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Data Medis Pasien


A. Identitas Pasien :
1. Nama : Ny. AK
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 48 tahun
4. No. RM : 2019 07 0121
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Agama : Islam
7. Status Pernikahan : Menikah
8. Pendidikan :
9. Alamat : Sidomulyo, Samarinda Ilir
10. Tanggal Pemeriksaan : 30 Juli 2019
B. Identitas Penanggung Jawab :
1. Nama : Nn. A
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Hubungan : Anak
C. Riwayat Psikiatri :
1. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Autoanamnesis
Pasien merasa sedih karena masalah keluarga yang berat. Sang suami
selingkuh dengan wanita lain dan wanita selingkuhannya tersebut
mengirimi foto anak mereka ke pasien. Hal lainnya yang menambah beban
pikiran pasien ialah anak perempuannya minta segera dinikahkan dengan
pacarnya. Pasien mengatakan bahwa ia ingin mati lompat ke sungai
Mahakam. Pasien mengaku sudah mencari baygon namun tidak dapat.
Saat di IGD pasien mengatakan ingin disuntik mati saja, pasien tidak kuat
menerima beban ini. Selama ini pasien selalu memendam masalahnya

4
sendiri dan tidak ada seseorang untuk bercerita. Pasien putus obat sejak
hari senin, 26 Agustus 2019 karna efek dari obat. Pasien mengatakan
bahwa ia kadang sedih dan menangis namun terkadang tertawa sendiri,
pasien mengatakan bahwa ia ingin jadi orang gila saja.

2) Heteroanamnesis
Asisten rumah tangga: pasien mengeluh sesak nafas dan ingin dibawa ke
RSJD Atma Husada. Menurut asisten rumah tangga Ny. AK sering bicara
melantur, gelisah, dan bicara ingin mati lompat ke sungai. Ny. AK pernah
minta untuk dibelikan baygon untuk mati.
Anak Ny. AK: Ny. AK gelisah dan sering menangis. Ny. Ak mengatakan
bahwa ia lelah hidup dan ingin mati saja. Menurut anaknya Ny, AK sedang
mengahadapi masalah keluarga yang sangat berat.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus

4. Gambaran Premorbid
Pasien adalah orang yang tertutup untuk bercerita dengan keluarga jika
memiliki masalah

5. Faktor Pencetus
Masalah keluarga

5
6. Genogram

Perempuan

Laki

Pasien

7. Riwayat Pribadi
1) Masa kanak-kanak awal (0-3tahun)
- Riwayat prenatal, kehamilan ibu, dan kelahiran:
Pasien dikandung selama 9 bulan. Pasien lahir secara spontan
pervaginam. Tidak ada penyulit selama kehamilan dan persalinan.Berat
dan panjang badan lahir normal

- Kebiasaan makan dan minum:


Pasien mendapatkan ASI selama 2 tahun dan tidak berbeda dengan
anak-anak yang lain.

- Perkembangan awal:
Tidak dapat digali
2) Masa kanak-kanak pertengahan (3-11 tahun)
- Hubungan pasien dengan saudara kandung cukup baik
- Pasien merupakan pribadi yang pendiam, pemalu, dan tertutup

6
3) Masa kanak-kanak akhir (Pubertas sampai remaja)
- Hubungan pasien dengan teman sebaya:
Pasien merupakan pribadi yang tertutup
4) Masa dewasa
- Riwayat pekerjaan
Sehari-hari pasien menjalani keseharian sebagai ibu rumah tangga
- Aktivitas sosial
Pasien kenal dengan tetangga sekitar namun tidak akrab karena pasien
lebih senang menyendiri di rumah
8. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Penampilan rapi, tenang, kooperatif, dan tampak
lemas lesu
2) Kesadaran : Composmentis
3) Tanda vital : TD=160/100 mmHg, N=97x/menit,
RR= 19x/menit, T= 37oC
4) Kepala : Ikterus (-/-), sianosis (-/-), anemis (-/-)
5) Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB, benjolan (-)
6) Dada : Simetris kiri & kanan
7) Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
8) Paru : Bronkovesikular (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
9) Perut : Soefl, bising usus normal
10) Anggota gerak : Akral hangat, CRT<2 detik, ekstremitas lengkap
9. Status neurologis
1) GCS : E4 V5 M6
2) Refleks fisiologis : Tidak dievaluasi
3) Refleks patologis : Tidak dievaluasi
4) Meningeal sign : Tidak dievaluasi

7
10. Pemeriksaan Psikiatrik
1) Kesan Umum : Penampilan rapi, kooperatif, dan tampak
lemas lesu, sedih dan menangis
2) Kontak : Verbal (+) , visual (+)
3) Kesadaran : Komposmentis
4) Orientasi : Orientasi waktu (+), tempat (+), orang (+)
5) Atensi/Konsentrasi : Atensi (+)
6) Emosi/Afek : sedih, afek depresif (+)
7) Proses Berpikir : Koheren, pikiran bunuh diri.
8) Intelegensi : Cukup
9) Persepsi : halusinasi disangkal, ilusi disangkal
10) Psikomotor : Dalam batas normal
11) Kemauan : ADL diarahkan secara kooperatif
11. Diagnosis Multiaksial
Axis I : F.32.2Episode Depresif berat tanpa gejala psikotik Axis II
: Takut bercerita masalah pribadi kepada siapapun
Axis III : Diabetes Mellitus
Axis IV : Masalah dengan keluarga
Axis V : GAF scale 70-61
12. Penatalaksanaan
1) Non farmakologi
- Familiy Theraphy
- Psikoterapi suportif
2) Farmakologi
- Clobazam 2x5mg
- Fluoxetin 20mg 1-0-0
- Aripiprazole1x5mg
- Metformin 3x500mg
- Observasi perilaku bunuh diri

8
13. Prognosis
Dubia ad bonam jika:
 Pasien minum obat secara teratur
 Pasien memiliki keinginan untuk sembuh disertai dukungan dan kasih
sayang keluarga.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Gangguan mood atau gangguan afektif meliputi sekelompok besar gangguan
dengan mood patologis serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran
klinisnya.Gangguan ini mengacu pada keadaan emosi yang menetap, bukan hanya
ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Gangguan mood
paling baik dianggap sebagai sindrom yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala
yang bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, yang menunjukkan
penyimpangan fungsi habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh dalam
bentuk periodik atau siklik (Sadock & Sadock, 2010).
Pasien dengan mood menurun menunjukkan hilangnya energi dan minat, rasa
bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, serta pikiran mengenai kematian
dan bunuh diri. Gejala atau tanda lainnya berupa perubahan tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, pembicaraan, serta fungsi vegetative yang hampir selalu
menimbulkan gangguan fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan (Sadock &
Sadock, 2010).
Depresi adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih, merasa
sendirian, rendah diri, putus asa, biasanya disertai tanda–tanda retardasi psikomotor
atau kadang-kadang agitasi, menarik diri dan terdapat gangguan vegetatif
seperti insomnia dan anoreksia(Sadock & Sadock, 2014).

2.2 FAKTOR RISIKO


1) Usia
Onset depresi terjadi rata-rata pada usia sekitar 40 tahun-an, namun pada 50
persen kasus tidak jarang onset terjadi diantara usia 20-50 tahun. Gangguan depresi
berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia (Sadock & Sadock, 2014).
2) Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai predisposisi lebih yaitu sekitar 2:1 dalam prevalensi
depresi pada remaja setelah pubertas.Terdapat temuan yang kuat berdasarkan

10
penelitian secara epidemiologi dan klinis namun alasan perbedaan kerentanan depresi
berdasarkan jenis kelamin ini kemungkinan terkait dengan perubahan hormon
perempuan yang memengaruhi mood, kepekaan otak, dan respon terhadap stres
(Thapar, Collishaw, Pine, & Thapar, 2012).
3) Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Depresi lebih
rentan terjadi pada seseorang yang tidak menikah dan cerai dibandingkan dengan
seseorang yang menikah (Yan, Huang, Huang, Wu, & Qin, 2011)
4) Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan kolerasi antara status sosioekonomi dengan gangguan
depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding perkotaan
(Ismail & Siste, 2015).
5) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia
dewasa-tua. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yangbaik.
Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lansia yang hanya menamatkan pendidikan
dasar mempunyai risiko terhadap depresi 2,2 kali lebih besar (Marsasina, 2016).

2.3 ETIOLOGI
3.3.1 Faktor Biologis
Neuroimaging
Berdasarkan berbagai penelitian yang berbeda terdapat hubungan yang
konsisten dan resiprokal antara daerah dorsokortikal serta ventrolimbik pada
depresi.Variasi kelainan dalam region ventromedial termasuk cingulate anterior
konsisten pada gangguan depresi.Terdapat pengecilan volume hipokampus pada
pasien depresi dibandingkan dengan yang normal (Marsasina, 2016).

11
Neurokimiawi
Terdapat peran neurotransmitter serotonin pada gangguan mood.Serotonin
disintesis dari asam amino esensial tryptophan dalam 2 tahap enzimatis. Perubahan
fungsi serotonergik otak menunjukkan perubahan fungsi tubuh dan perilaku pada
depresi seperti nafsu makan, fungsi seksual, sensitivitas nyeri, dan temperatur tubuh.
Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah dalam cairan
serebrospinal (Sadock & Sadock, 2010).
Bukti lain menunjukkan adanya keterlibatan reseptor prasinaps β2-adrenergik
pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan jumlah norepinefrin yang
dilepaskan. Reseptor ini juga terletak pada neuron serotonergik serta mengatur jumlah
serotonin yang dilepaskan (Sadock & Sadock, 2010).
Aktivitas dopamine berkurang pada depresi.Dua teori terkini mengenai
dopamine dan depresi adalah bahwa jaras dopamine mesolimbic mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamine D1 mungkin hipoaktif pada
depresi (Sadock & Sadock, 2010).

Regulasi Neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin dan juga
menerima berbagai input saraf melalui neurotransmitter amin biogenik. Berbagai
disregulasi neuroendoktrin dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood, sehingga
regulasi aksis neuroendokrin yang abnormal merupakan akibat fungsi neuron yang
mengandung amin biogenik yang abnormal pula. Aksis neuroendokrin utama yang
dimaksud disini adalah aksis adrenal, tiroid, serta hormone pertumbuhan.Sekitar 50%
pasien yang mengalami depresi memiliki tingkat kortisol yang meningkat. Sekitar
sepertiga pasien dengan gangguan depresif berat yang tidak memiliki aksis tiroid
normal ditemukan memiliki respon tirotropin dan hormone perangsang tiroid (TSH)
yang tumpul terhadap hormone pelepas tirotropin (TRH). Pasien depresi memiliki
respon stimulasi pelepasan hormone pertumbuhan oleh tidur yang tumpul (Sadock &
Sadock, 2010).

12
2.3.2 Faktor Genetik
Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi dari gangguan
depresi unipolar pada umumnya menunjukkan risiko mendasar dari komponen yang
dapat diturunkan, namun gangguan bipolar mempunya sifat menurun yang tinggi
dibandingkan depresi unipolar berulang (Marsasina, 2016).

2.3.3 Faktor Psikososial


Peristiwa Hidup dan Stres Lingkungan
Peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode
gangguan mood yang mengikuti.Stress yang mendahului episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama pada biologi otak. Perubahan ini dapat
menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan system
pemberian sinyal intraneuron, hilangnya neuron, dan berkurangnya kontak sinaps
yang berlebihan.Sehingga penderita memiliki risiko tinggi mengalami episode
gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal (Sadock & Sadock,
2010).

Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
menjadi predisposisi depresi.Semua orang dengan pola kepribadian apapun dapat
mengalami depresi di bawah situasi yang sesuai (Sadock & Sadock, 2010).

2.4 DIAGNOSIS
Berikut kriteria diagnosis episode depresif menurut PPDGJ-III
F32 Episode Depresif
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat)
- Afek depresif,
- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- Berkurangnya energi, mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit
saja) dan menurunnya aktivitas (Maslim, 2013).

13
Gejala lainnya :
(a) Konsentrasi dan perhatian berkurang;
(b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
(c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
(d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
(e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
(f) Tidur terganggu;
(g) Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, namun periode yang lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala sangat berat dan berlangsung cepat.Kategori
episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2) hanya digunakan
untuk episode depresi tunggal (yang pertama).Episode depresif berikutnya harus
diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-)
(Maslim, 2013).

F32.0 Episode Depresif Ringan


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti disebut
diatas;
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a) sampai dengan (g).
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

F32.1 Episode Depresif Sedang


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan;
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.

14
 Menghadapi kesulitan nyata utnuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


 Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria meurut F32.2 tersebut diatas;
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggungjawab atas hal itu. Halusianasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

15
2.5 TATALAKSANA
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa tujuan.
Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi diagnostik
pasien harus dilaksanakan.Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk gejala, tetapi
kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan.Walaupun penatalaksanaan
farmakoterapi dan psikoterapi harus dipikirkan pada pasien, peristiwa kehidupan
yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka kekambuhan pasien dengan
gangguan mood. Selanjutnya melalui terapi harus dapat menurunkam banyak stresor
berat dalam pasien. Secara keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood harus
diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu empat
bulan degan pengobatan yang adekuat (Ismail & Siste, 2015).

2.5.1 Rawat inap


Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis,
risiko bunuh diri atau membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis
untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal. Riwayat gejala yang berkembang
cepat serta rusaknya sistem dukungan pasien yang biasa juga merupakan indikasi
rawat inap. Pasien dengan gangguan mood sering tidak ingin masuk rumah sakit
dengan sukarela dan mungkin harus dipaksa masuk (Sadock & Sadock, 2014).

2.5.2 Terapi keluarga


Terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi primer untuk gangguan
depresi berat, tetapi meningkatkan bukti klinis dapat membantu pasien dengan
gangguan mood untuk mengurangi dan menghadapi stres dan untuk mengurangi
adanya kekambuhan.Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang
membahayakan perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood
didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga.Terapi keluarga menguji peran
pasien gangguan mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran pasien gangguan
mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran dari keluarga untuk menangani
gejala pasien(Ismail & Siste, 2015).

16
2.5.3 Farmakoterapi
Gejala pertama yang menjadi penanganan adalah sulit tidur dan gangguan
dalam pola makan.Gejala lainnya yang dapat timbul adalah mengamuk, cemas, dan
rasa putus asa.Target gejala lainnya termasuk energy menurun, kurang konsentrasi,
tidak berdaya, dan menurunnya libido.
Obat yang biasa digunakan dalam terapi depresi adalah golongan SSRIs, yang
merupankan obat pilihan efektif, mudah digunakan, dan relative kurang efek samping
meskipun dalam dosis tinggi.Contoh SSRIs yang sering digunakan misalnya, Floxetin,
Paroxetine, dan Sertralin. Antidepresan golongan lain misalnya bupropion,
venlafaxine, nefazodone (serzone) dan mirtazapine (remeron), menunjukkan secara
klinis hasil yang sama efektif dengan obat terdahulu tetapi lebih aman dan
toleransinya lebih baik. Obat-obatan tersebut cenderung lebih aman diibandingkan
trisiklik, tetrasiklik, dan MAOIs, dan menunjukkan efektifitas pada uji klinik.Obat
golongan trisiklik dan tetrasiklik, misalnya trazadone, dan mirtazapine dapat
menyebabkan sedasi.Selain itu terdapat juga golongan MAOIs, misalnya
Troamfetamin dan Metilfenidat mungkin menghasilkan perbaikan mood yang cepat
(dalam minggu pertama) dan diindikasikan pemantauan yang ketat.

Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai hal


penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat dan dosis yang paling
sesuai.Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter perlu
menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan
psikologi; kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi pengobatan. Dokter
juga harus menekankan kepada pasien tidak akan menjadi ketergantungan dengan
obat antidepresan karena obat tidak memberikan kepuasan segera dan dosis obat akan
diturunkan secara perlahan-lahan sesuai dengan evaluasi gejala.

Pada pemberian antidepresan, obat akan memperlihatkan efek antidepresan


yang optimal dalam 3 sampai 4 minggu. Timbulnya efek samping menunjukkan obat
bekerja, tetap efek samping yang timbul ini harus dijelaskan secara detail.Sebagai

17
contoh, beberapa pasien yang meminum antidepresan golongan SSRIs menjadi
gelisah, mual dan muntah sebelum adanya perbaikan gejala.Efek samping berkurang
seiring berjalannya waktu. Dengan obat trisiklik dan MAOis, dokter akan
menjelaskan kepada pasien bahwa gejala yang akan membaik lebih awal adalah
adanya perbaikan tidur dan selera makan, yang diikuti oleh perbaikan pada perasaan
kurang energy, dan terakhir perasaan depresi, untungnya hal terakhir merupakan
gejala yang terakhir muncul. Apabila pada 3 minggu setelah pemberian obat
antidepresan pasien belum memperlihatkan perbaikan gejala atau perbaikan gejala
kurang dari 20% maka perlu mengganti antidepresan dengan antidepresan golongan
lainnya. Namun setelah 3-6 minggu pemberian antidepresan hanya didapatkan respon
parsial, maka dosis obat harus terus dinaikkan sampai dosis maksimal atau dengan
pemberian augmentasi, misalnya dengan litium atau psikostimulan, yang terbukti ada
penelitian mempercepat perbaikan gejala dalam waktu 1-2 minggu pada 25% pasien
(Ismail & Siste, 2015).

18
Gambar 2.1 Algoritma terapi depresi tanpa komplikasi (Marsasina, 2016)

2.5.4 Psikoterapi
Penggunaan psikoterapi direkomendasikan sebagai pilihan pengobatan awal
untuk pasien gangguan depresi ringan sampai sedang, dengan bukti klinis yang
mendukung penggunaan terapi kognitif-perilaku, psikoterapi interpersonal,
psikodinamik terapi, dan terapi pemecahan masalah pada masing masing individu
maupun berkelompok.Faktor-faktor dilakukannya intervensi psikoterapi adalah

19
adanya stres psikososial yang signifikan, konflik intrapsikis, kesulitan interpersonal,
gangguan pada axis II, ketersediaan pengobatan, atau yang keinginan pasien (APA,
2015).
 Terapi kognitif-perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.Teknik
utama yang digunakan adalah pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback (Saddock & Saddock, 2010).
 Terapi suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang
ada dan belum tampak, didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi optimal dan
fungsi sosial dan pekerjaannya (Saddock & Saddock, 2010).
 Psikoterapi berorientasi tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah
sadar, menilik egostrengh, relasi objek, serta keutuhan self pasien (Saddock &
Saddock, 2010).
Pada wanita yang sedang hamil, ingin hamil, atau sedang menyusui, terapi
psikoterapi tanpa farmakoterapi dipertimbangkan sebagai pilihan awal dan tergantung
pada tingkat keparahan gejala. Pertimbangan dalam memilih jenis dari psikoterapi
mencakup tujuan, respon positif pada terapi psikoterapi sebelumnya, keinginan pasien,
dan ketersediaan dokter ahli dalam pendekatan psikoterapi yang spesifik(APA, 2015)
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi
yang bermakna untuk depresi.Pemberian psikoterapi dan obat, lebih efektif.Terapi
penggabungan ini lebih baik hasilnya daripada hanya pemberian obat saja. Pasien
juga dapat bertahan lebih lama menggunakan obat bila ia dalam proses psikoterapi.
Hal yang perlu diingat pada pemilihan jenis psikoterapi adalah tentang kondisi pasien.
Bila pasien dalam kondisi depresi berat, terlebih dengan ciri psikotik, yang dapat
dilakukan hanya psikoterapi suportif, jangan menghibur pasien atau langsung diberi
nasihat karena pasien akan bertambah sedih bila tidak mampu melaksanakan nasihat
dokternya. Bila pasien sudah lebih tenang, tidak dipengaruhi gejala psikotiknya,

20
dapat dipertimbangkan pemberian psikoterapi kognitif, atau kognitif-perilaku atau
psikoterapi dinamik (Ismail & Siste, 2015).

2.5.5 Electrocolvulsice Therapy


Electroconvulsive Therapy (ECT) biasanya digunakan jika pasien tidak
berespon terhadap farmakoterapi dengan dosis yang sudah adekuat atau tidak dapat
mentoleransi farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat yang
memperlihatkan perbaikan sangatcepat dengan penggunaan ECT (Ismail & Siste,
2015).

2.6 PROGNOSIS
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan.Biasanya
cenderung untuk menjadi kronik dan kambuh.Episode pertama gangguan depresi
berat yang dirawat di rumah sakit sekitar 50 persen angka kesembuhannya pada tahun
pertama.Persentase pasien untuk sembuh setelah perawatan berulang berkurang
seiring berjalannya waktu. Banyak pasien yang tidak pulih akan menderita gangguan
distimik. Kekambuhan depresi berat juga sering terjadi. Sekitar 25 persen pada 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 30 sampai 50 persen dalam 2 tahun
pertama, dan sekitar 50 sampai 75 persen dalam periode 5 tahun. Insiden relaps
berkurang pada pasien yang melanjutkan terapi psikofarma profilaksis dan pasien
yang hanya mempunyai satu atau dua episode depresi. Secara umum, semakin sering
pasien mengalami episode depresi, semakin memperburuk keadaannya (Sadock &
Sadock, 2014).
Indikator prognosis adalah identifikasi indikator prognosis baik dan buruk pada
depresi berat. Pasien mempunyai kemungkinan prognosis baik jika episode ringan,
tidak ada gejala psikotik, singkatnya waktu rawat inap, indikator psikososial meliputi
mempunyai teman akrab selama remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun sebelum
sakit secara umum fungsi sosial baik. Sebagai tambahan, tidak ada komorbiditas
dengan gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan depresi berat,
onsetnya awal pada usia lanjut. Pasien mempunyai kemungkinan prognosis buruk

21
jika depresi berat bersamaan dengan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain,
ditemukan gejala gangguan cemas, ada riwayat lebih dari sekali episode depresi
sebelumnya (Ismail & Siste, 2015)

22
DAFTAR PUSTAKA

American Pyschiatric Association.(2015). Practice guideline for the treatment of


patients with major depressive disorder, third edition. United States: National
Guideline Clearing House.
Ismail, R. I., & Siste, K. (2015). Gangguan Depresi. In S. D. Elvira, & G.
Hadisukanto, Buku Ajar Psikiatri (p. 228). Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Marsasina A. (2016). Gambaran dan Hubungan Tingkat Depresi dengan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas. Jurnal
Undip. 2016, 29-33
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010).Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Thapar, A., Collishaw, S., Pine, D. S., & Thapar, A. K. (2012). Depression in
adolescence.The Lancet, 379(9820), 1056–1067.

23

Anda mungkin juga menyukai