Anda di halaman 1dari 32

Disusun Oleh:

Bellyana Octavia Chandra - 07120110082

Pembimbing:
dr. Wibisono, SpOT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 20 JULI – 26 SEPTEMBER 2015

DAFTAR ISI

BAB I (PENDAHULUAN) ............................................................. 3-4

BAB II (TINJAUAN PUSTAKA) .................................................. 5-18


1. Definisi .......................................................................................... 5
2. Epidemiologi ................................................................................ 5
3. Etiologi ......................................................................................... 6
4. Anatomi ........................................................................................ 6-10
5. Patofisiologi .................................................................................. 11-12
6. Manifestasi Klinis ........................................................................ 12-13
7. Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 13-15
8. Tatalaksana .................................................................................. 15-18

BAB III (ILUSTRASI KASUS) ....................................................... 19-30


1. Identitas Pasien ............................................................................. 19
2. Anamnesa ...................................................................................... 19-21
3. Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 21-24
4. Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 24-28
5. Diagnosis ........................................................................................ 29
6. Tatalaksana .................................................................................... 29-30

2
BAB I

PENDAHULUAN

Spondylitis Tuberkulosis atau yang dikenal dengan sebagai Pott’s Disease,


merupakan suatu infeksi pada tulang belakang atau vertebra beserta dengan diskus
intervertebralis yang disebabkan oleh suatu bakteri aerob, yaitu Mycobacterium
tuberculosis. Lebih dari 5.8 juta kasus TB baru (dalam segala bentuk, pulmoner
maupun extra-pulmoner) dilaporkan kepada World Health Organisation (WHO)
pada tahun 2009.1 Di Amerika Serikat, tuberkulosis pada tulang dan sendi
diperhitungkan sebanyak 10% dari total kasus-kasus infeksi bakteri
M.tuberkulosis.1 Tulang yang sering terinfeksi adalah tulang-tulang yang pada
umumnya menjadi tumpuan berat (Weight-bearing), antara lain tulang belakang
(pada 40% kasus), tulang pinggul (pada 13% kasus), dan tulang patella (pada 10%
kasus). 1

Penyebaran infeksi TB ektrapulmoner pada tulang paling sering


ditemukan pada tulang vertebra, dimana sebanyak 50% kasus di antara regio
tulang lainnya.2 Regio vertebra yang sering terkena infeksi pada anak-anak adalah
regio thoracalis atas, sedangkan pada orang dewasa, infeksi paling sering
ditemukan pada regio thoracalis bawah dan lumbalis atas (thoraco-lumbalis).1
Infeksi TB pada vertebra dapat menganggu fungsi dasar dari vertebra yaitu
sebagai suatu pilar dalam menopang postur tubuh dan tempat berjalannya medulla
spinalis. Gejala klinis khas yang paling sering tampak jelas terlihat adalah postur
tubuh dengan struktural kyphosis (gibbus) dengan “cold abcess” paravertebra
disertai dengan nyeri pinggang dan paraplegi.1

Seringkali, foto x-ray thorax pada 2/3 pasien dengan Spondylitis TB


menunjukkan adanya kelainan yang cenderung membuktikan bahwa terdapat
infeksi primer TB paru.2 Pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
memiliki resiko tinggi untuk terkena spondylitis TB oleh karena sistem imun yang
rendah.

3
Penanganan infeksi Spondylitis TB dapat mencangkup terapi non-operatif
atau terapi operatif. Pemilihan terapi ditentukan dari pemeriksaan fisik kondisi
pasien saat datang dan hasil pemeriksaan penunjang. Semakin berat kondisi
deformitas dari vertebra, maka dibutuhkan terapi operatif, akan tetapi jika belum
ditemukan tanda-tanda kolaps pada tulang vertebra, maka pasien dapat diberikan
terapi secara non-operatif.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi yang kronis dan


progresif dan selalu bersifat sekunder dari infeksi primer tuberkulosis pada
bagian tubuh yang lain. Infeksi ini mendestruksi tulang vertebra pada bagian
anterior yang kemudian disertai dengan osteoporosis regional. Dengan
meluasnya infeksi, regenerasi dari tulang baru tidak dapat terjadi dan pada
saat yang bersamaan menyebabkan avaskularisasi dari tulang, sehingga
membentuk tuberculous sequestrae khususnya pada segmen vertebra yang
sering terkena, yaitu segmen torakal.3

2. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian yang sering


ditemukan menurut penelitian Global TB Report 2010, yang diteliti oleh
World Health Organization pada 2009. Sebanyak 55% kasus tuberkulosis
ditemukan di Asia, 30% di Afrika, 7% di Mediterania timur, 4% di Eropa dan
3% di Amerika. Dari 9.4 juta kasus pada 2009, sekitar 11-13% adalah HIV
positif. Penyakit tersebut sering ditemukan pada negara berkembang oleh
karena kemiskinan, nutrisi dan tempat tinggal yang buruk. Kondisi akan
diperburuk dengan M. tuberculosis yang bersifat multidrug-resistant, HIV dan
usia tua. Usia rata-rata penderita spondylitis tuberkulosis adalah usia 30-40
dan lebih sering ditemukan pada usia dibawah 40 tahun dibanding diatas 40
tahun. Faktor resiko yang ditemukan pada penyakit spndylitis tuberkulosis
adalah diabetes melitus (5-25%), gagal ginjal (2-31%) dan penggunaan
kortikosteroid jangka (3-13%).4

5
3. ETIOLOGI

Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi sekunder dari infeksi


tuberculosis di tempat lain, dimana asal infeksi primer paling sering yaitu dari
infeksi Tuberkulosis pada paru-paru, yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis. Infeksi tuberculosis dapat juga terjadi pada traktus urinaria
sehingga menyebabkan infeksi sekunder pada tulang vertebra segmen torako-
lumbalis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang
yang bersifat acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan,
sehingga disebut juga sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)) dan tidak dapat
diwarnai dengan cara pewarnaan yang konvensional.

4. ANATOMI
Tulang belakang manusia berfungsi sebagai pilar untuk menopang berat
tubuh dan tempat dimana terletaknya medulla spinalis. Tulang belakang juga
berfunsi untuk menyangga kepala dan sebagai titik sambungan terhadap
tulang iga, pelivs dan otot-otot punggung. Susunan tulang belakang manusia
terdiri dari tulang vertebra dan discus intervertebralis. Fungsi dari discus
intervertebralis di antara tulang vertebra adalah sebagai bantalan untuk
memberikan sifat fleksibel terhadap pergerakkan tubuh, baik ke arah anterior,
posterior, lateral maupun rotasi dan juga berfungsi agar tulang vertebra tidak
bertabrakkan satu dengan yang lainnya.

6
Gambar 1. Gambaran segmen normal tulang belakang

Terdapat 33 tulang vertebra yang dibagi menjadi 5 segmen berdasarkan


morfologi dan lokasi, antara lain:
 7 vertebra servikalis yang terletak di antara thorax dan tengkorak,
dengan karakteristik bentuk yang kecil, prosesus spinosus yang
terbagi dua, dan foramen pada prosesus tranversus;
 12 vertebra torakalis;
 5 vertebra lumbalis yang terletak dibawah vertebra thorakalis,
dimana berfungsi sebagai penyanga bagian posterior dari dinding
abdomen dan dengan karkteristik bentuk yang besar;
 5 vertebra sakrum yang tergabung menjadi 1 tulang sakrum;
 4 vertebra coccygeal yang tergabung menjadi 1 tulang coccyx yang
terbentuk seperti segitiga kecil.

Gambar 2. Susunan tulang vertebra

Tulang vertebra pada segmen cervikalis, torakalis maupun lumbalis


memiliki strutur dasar yang sama satu dengan yang lainnya. Pada sisi anterior

7
terdapat tubuh dari tulang vertebra (vertebrae body) yang berfungsi untuk
menahan berat yang paling banyak. Pada bagian posterior terdapat 3 prosesus,
antara lain 1 procesus spinosus pada bagian medial dan 2 prosesus
transversus pada bagian lateral. Bagian anterior dan posterior dari tulang
vertebra digabungkan kaki-kaki yang disebut dengan pedicle. Pada vertebra
torakalis, terdapat yang disebut dengan facet dimana titik pertemuan vertebra
torakalis dengan tulang iga.

Foramen vertebralis terletak di tengah-tengah antara bagian anterior dan


posterior dari tulang vertebra. Foramen vertebralis berfungsi sebagai tempat
letaknya medulla spinalis yang dimulai dari dasar basis cranii hingga vertebra
lumbalis 1, yang kemudian diakhiri pada bagian distal dengan kumpulan
ujung saraf spinalis yang disebut dengan cauda equina.

Gambar 3. Struktur tulang vertebra (a)vertebra cervicalis (b)vertebra torakalis (c) vertebra lumbalis

Kolum vertebralis memiliki 2 kurvatur normal, antara lain:

 Kurvatur Primer  melengkung ke arah anterior (concave anteriorly):


Segmen Torakalis & Sakral
 Kurvatur Sekunder  melengkung ke arah posterior (concave
posteriorly): Segmen Servikalis & Lumbalis

8
Segmen servikalis dan lumbalis
merupakan titik tumpuan garis
gravitasi (weight-bearing point)
agar tubuh manusia dapat terletak
pada satu garis vertikal.

Pembulu darah yang memperdarahi tulang-tulang vertebralis berasal dari


Aorta asenden yang memperdarahi vertebra servikalis dan desenden yang
memperdarahi sisa vertebra lainnya. Aorta asenden akan bercabang menjadi
Brachiocephalic trunk, common carotid dan arteri subklavian.
Brachiocephalic trunk akan terbagi menjadi arteri subklavian dan common
carotid. Aorta desenden berjalan bersamaan dengan kolum vertebralis,
dimana pada setiap vertebralis akan terdapat percabangan dari Aorta
desenden, seperti Thoracic segmental arteries dan Lumbal segmental arteries
yang juga memperdarahi medula spinalis dan tulang iga.5

Gambar 4. Arteri yang memperdarahi tulang vertebra

9
Vena yang memperdarahi tulang vertebra servikalis adalah vena Jugularis
interna dan externa yang merupakan percabangan dari Vena Cava Superior.
Sedangkan vena yang memperdarahi tulang vertebra lainnya berasal dari
Vena Cava Inferior. Selain itu, vena azigos berkomunikasi dengan plexus
Batson yang befungsi sebagai jalur alternatif ketika Vena Cava Superior
teroklusi, maupun secara parsial ataupun total. Batson plexus berjalan pada
foramen vertebralis. Batson plexus merupakan vena yang tidak memiliki
katup.5

Gambar 5. Vena yang memperdarahi tulang vertebra

10
Gambar 6. Batson
Plexus pada vertebra

5. PATOFISIOLOGI
Infeksi tuberkulosis pada tulang vertebra terjadi akibat infeksi sekunder
dari infeksi primer di bagian tubuh lainnya. Cara penyebaran utama bakteri ke
bagian tulang vertebra adalah melalui aliran darah pada arteri maupun vena.
Oleh sebab itu spondylitis TB disebut sebagai blood-borne disease dimana
penyebaran terjadi secara hematogen. Sumber infeksi primer paling sering
terjadi pada organ paru dan traktus urinaria. Jika infeksi menyerang segmen
torakalis atas maka sumber infeksi primer cenderung berasal dari infeksi TB
paru, sedangkan jika infeksi terjadi pada segmen torako-lumbal maka sumber
infeksi primer cenderung lebih berasal dari infeksi pada traktus urinaria.
Pada awal infeksi, akan terjadi destruksi tulang vertebra bagian anterior
atau korpus vertebra yang disebut dengan proses osteolysis lokal dan disertai
dengan osteoporosis regional. Kemudian infeksi akan menyebar dan terjadi
avaskularisasi sehingga pada saat yang bersamaan produksi tulang baru
terhambat. Tuberculous sequestra akhirnya terbentuk pada segmen tulang
vertebra yang terinfeksi. Secara perlahan jaringan tuberculous sequestra ini
akan mulai mempenetrasi dinding tipis dari bagian tulang vertebra sehingga
terbentuk yang disebut dengan abses paravertebra. Abses paravetebra akan
menyebar ke arah muskulus psoas. Akan tetapi, abses ini akan menunjukkan
tanda-tanda inflamasi yang minimal, oleh sebab itu abses ini sering dikenal
sebagai “cold abcess”.
Infeksi tersebut kemudian akan menjalar ke tulang vertebra lainnya secara
anterior maupun posterior melalui ligamen longitudinal. Diskus
intervertebralis tidak dapat terinfeksi sebab tidak ada aliran vaskular yang
melaluinya. Akan tetapi diskus intervertebralis secara perlahan akan terdesak
oleh jaringan granulasi tuberkulosis dan menjadi hancur. Pada anak-anak,
diskus intervertebralis dapat terinfeksi oleh sebab masih adanya aliran
vaskular yang melalui diskus intervertebralis. Ketika infeksi menyerang

11
tulang vertebra beserta dengan diskus intervertebralis, maka penyakit tersebut
bukan disebut sebagai spondylitis, akan tetapi disebut sebagai
spondylodiscitis.
Oleh karena destruksi tulang terjadi pada bagian anterior tulang vertebra,
maka secara progresif terjadi kolaps dari tulang vertebra pada regio anterior
sehingga membuat postur tidak normal pada penderitanya, dimana wedging
pada tulang vertebra sisi anterior terjadi dan membentuk angulasi dan gibbus.
Maka secara klinis, pasien akan datang dengan postur bungkuk atau yang
dikenal sebagai postur kyphosis.
Ketika terjadi kolaps pada tulang vertebra dan penjepitan diskus
intervertebralis, maka struktur yang berada di dalam foramen vertebralis,
yaitu medulla spinalis akan tertekan sehingga akan tampak keluhan
neurologis. Keluhan neurologis oleh karena penekanan mekanik terhadap
medulla spinalis yang paling sering ditemukan pada penderita spondylitis TB
adalah paraplegia. 3

6. MANEFESTASI KLINIS

Gambaran klinis
Pasien dengan Spondilitis TB sering kali adalah anak kecil yang datang
dengan keluhan utama nyeri hebat pada punggung yang disertai kaku dan
demam. Nyeri yang dirasakan dapat berupa nyeri dalam yang bersifat lokal
dimana hanya sekitar lesi atau nyeri yang menjalar sesuai dermatom saraf
yang teriritasi. Spasme otot punggung dirasakan sebagai suatu mekanisme
dimana tubuh menghindari pergerakan pada tulang vertebra yang terinfeksi
agar tidak menimbulkan nyeri yang hebat. Spasme otot akan menghilang
ketika anak sedang berbaring atau tertidur, maka dari itu gejala ini disebut
sebagai “night cry”, dikarenakan ketika terbangun spasme otot terjadi lagi
dan menyebabkan sakit yang tidak tertahankan.

Keluhan neurologis yang paling sering ditemukan adalah paraplegia,


dimana kedua tungkai bawah penderita spondylitis TB menjadi lemah dan

12
tidak dapat berjalan. Pada anak, paralisis umumnya timbul kira-kira dalam
waktu 3 tahun. Tampak juga deformitas dari tulang belakang yang disebut
dengan kyphosis, dimana penderita spondylitis TB akan membungkuk.

Uraian mengenai gejala-gejala yang sering ditemukan pada penderita


spondylitis tuberkulosis, antara lain:
 Nyeri punggung  bersifat kronik progresif, terlokalisir,
diperburuk dengan gerakan atau batuk, disertai kaku dan
spasme pada otot punggung (“night cry”)
 Deformitas pada tulang punggung  postur tubuh kyphosis yang
tampak seperti orang bungkuk atau tampak gibbus.
 Gejala neurologis  paraplegia, paraparesis, gejala LMN, cauda
equina syndrome
 Gejala khas tuberkulosis non-spesifik  malaise, anorexia, demam,
keringat malam, berat badan turun, lemas, nyeri di seluruh tubuh
 Abses  abses pada penderita spondylitis TB sangat khas oleh
karena tanda-tanda inflamasi pada abses akan tampak sangat minimal.
Abses terbentuk secara perlahan tanpa disadari penderita sampai mulai
terlihat jelas atau memberikan keluhan yang signifikan.
o Pada daerah cervical akan terbentuk abses retropharyngeal
sehingga menimbulkan gejala disfagia, sesak atau
perubahan suara.
o Pada daerah torakal dan lumbalis akan tampak benjolan di
regio paravertebral atau jika abses pada daerah torakal
terbentuk ke arah anterior, akan terbentuk abses di daerah
mediastinal.

13
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72
jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi
atau disertai penyakit lain)
c. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara
serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
 Pemeriksaan gambaran radiologis.
o Foto polos thorax dilakukan pada seluruh penderita yang dicurigai
terkena infeksi tuberculosis untuk mencari bukti infeksi primer
tuberkulosa pada paru .
o Foto polos seluruh vertebra diperlukan untuk menguatkan bukti
terdapat kelainan pada struktur vertebra dan sekitarnya yang
mengarah pada infeksi tuberkulosa pada vertebra. Tanda-tanda
radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
Foto polos vertebra dilakukan secara antero-posterior dan lateral.
Gambaran yang dapat ditemukan pada foto polos vertebra antara
lain; penyempitan ruang diskus intervertebralis, kolaps corpus
anterior, erosi end-plate vertebra, keterlibatan lebih dari 1 tulang
vertebra, dan pembentukkan cold abcess. Kerugian pada foto polos
vertebra adalah dimana ketika pada fase awal penyakit hasil
gambaran foto vertebra akan tampak normal. Sekitar 1/3 dari

14
kalsium harus hilang dari suatu bagian agar gambaran osteolisis
dapat tampak. Selain itu, sulit untuk menilai kompresi dari tulang
belakang, kelainan pada jaringan ikat dan abses pada foto polos.
Apabila kelainan tampak jelas pada foto polos, maka penyakit
tersebut sudah dalam fase lanjut dimana sudah terdapat kerusakan
pada tulang vertebra dan gangguan neurologis.
o Foto Computed Tomography (CT Scan) yang bermanfaat untuk
melihat adanya keterlibatan infeksi pada tulang iga yang tidak
tampak pada foto polos vertebra. Keterlibatan infeksi pada bagian
pedikel akan tampak juga dengan CT-Scan. Foto CT-Scan juga
dapat memberikan gambaran kelainan pada fase awal dari penyakit
karena kerusakan-kerusakan tulang yang minimal akan terlihat
lebih jelas dibandingkan dengan foto polos vertebra. Abses
paravertebral juga akan tampak lebih jelas terlihat.
o Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan kelainan
pada jaringan lunak seperti medula spinalis, destruksi/degenerasi
pada tulang vertebra dan diskus intervertebralis, pembentukkan
abscess dan kavitasi pada medula spinalis.

8. PENATALAKSANAAN
TERAPI NON-OPERATIF
Pemberian terapi anti tuberculosis merupakan prinsip utama dalam
penatalaksanaan seluruh kasus infeksi tuberculosis, termasuk tuberculosis
pada tulang belakang. Menurut WHO, terapi anti tuberculosis harus
diberikan minimal selama 9 bulan, khususnya pada kasus infeksi
tuberculosis tulang. Pengobatan ini terbagi menjadi dua fase, antara lain:
* Fase awal (2 bulan pertama)
 Isoniazid
 Rifampisin
 Streptomisin
 Pyrazinamide

* Fase lanjut (4 bulan setelah)

15
 Isoniazid
 Rifampisin

Terapi anti tuberculosis diberikan hingga foto rontgen


menunjukkan adanya resolusi pada tulang belakang. Masalah yang sering
timbul dari pemberian tatalaksana anti tuberculosis ini adalah mengenai
ketaatan pasien dalam menjalani terapi yang berdurasi panjang ini. Jika
terapi dijalankan terlalu singkat dari waktu yang ditetapkan, maka akan
menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat
mengalami resistensi obat.

Penderita dengan spondylitis TB dengan fase lanjut, dimana sudah


tampak gejala neurologis dan gejala kompresi tulang belakang lainnya
diwajibkan untuk istirahat tirah baring. Tindakan ini dilakukan untuk
meminimalkan aktivitas penderitanya. Secara klinis ditemukan
berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu
makan dan berat badan meningkat.

Cara lain untuk mengistirahatkan bagian punggung dari penderita


spondylitis TB adalah dengan pemasangan gips agar tulang belakang
terlindungi dan terimobilisasi. Pemberian gips ditujukan untuk mencegah
pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal,
torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket;
sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan
immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai
dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung
kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita


harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu
dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulosa,

16
jaringan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek,
gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

TERAPI OPERATIF

Terapi operatif dilakukan hanya pada penderita dengan lesi


kompresif secara radiologis dan yang sudah tampak kelainan-kelainan
secara neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat
di tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operatif juga dilakukan bila
setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat anti tuberkulosa dengan terapi
konservatif telah dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik.

Indikasi tatalaksana operatif pada pasien dengan Spondilitis TB

Response to chemotherapy

Lack of clinical response after six weeks of chemotherapy

Recurrence of disease despite chemotherapy

Neurological deficit

Severe neurological deficit at presentation

Rapidly worsening deficits

New onset or deterioration of deficits during chemotherapy

Unimproved deficits after six to eight weeks of chemotherapy

Spinal instability

Panvertebral disease

Loss of >1 vertebral body in thoracic spine or >1.5 vertebral bodies in lumbar spine

Initial kyphosis of >30° in a child

17
“Spine-at-risk” signs in a child

Posterior neural arch lesion with pedicular destruction

Axial pain due to instability

Late deformity

Severe kyphosis with late onset neurological deficits

Tatalaksana operatif dilakukan dengan tujuan untuk debridement dan


drainase dari “cold abcess”, begitu juga untuk dekompresi dari medulla spinalis
dan strukturnya, mencegah instabilasi dari struktur tulang belakang, dan
memperbaiki dan mencegah deformitas pada struktur tulang belakang. Teknik
operatif untuk terapi Spondylitis TB ada dua, antara lain anterior dekompresi dan
posterior dekompresi. Pilihan tindakan operasi dekompresi secara anterior atau
posterior bergantung pada lokasi lesi pada tulang vertebra. Jika lesi terletak pada
bagian anterior maka tindakan operatif yang dipilih adalah anterior dekompresi,
begitu juga sebaliknya jika lesi terdapat pada posterior, maka tindakan operasi
dekompresi posterior akan dipilih.

Anterior dekompresi menjadi pilihan terapi operatif paling sering sebab


spondylitis TB umumnya menyerang bagian kolum anterior dari tulang belakang.
Oleh sebab itu, dengan melakukan anterior dekompresi akan mempermudah
tindakan debridement yang dilakukan supaya adekuat dan sesuai, begitu juga
tindakan rekonstruksi deformitas yang terjadi dapat dilakukan secara maksimal.
Debridement saja dapat dilakukan untuk membersihkan infeksi setempat, akan
tetapi jika tidak dilakukan rekontruksi maka progress untuk terjadinya deformitas
tetap dapat berlangsung.

Pada tindakan operatif, debridement dilakukan dengan membersihkan area


nekrotik yang mengandung tulang mati beserta jaringan granulasi agar lesi bersih
dan jaringan nekrotik tidak akan menyebar lebih luas. Setelah itu akan terdapat
rongga yang kemudian akan diisi dengan autogenous bone graft dari tulang iga

18
atau tulang ilika. Pemilihan terapi operatif seperti ini akan mendorong
penyembuhan dengan cepat dan stabilisasi tulang belakang akan tercapai dengan
memfusikan tulang vertebra yang terkena. Fusi tulang vertebra posterior hanya
dilakukan bila terdapat destruksi dua atau lebih dari korpus bertebra, adanya
instabilitas karena destruksi tulang vertebra bagian posterior, dan jika tindakan
prosedur dekompresi anterior tidak memungkinkan. Akan tetapi, pemberian obat
antituberkulosa tetap menjadi terapi wajib bagi penderita spondylitis TB
walaupun tindakan operatif telah dilakukan.

19
BAB III

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ms. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 16 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Perum, Tangerang
Agama : Islam
No. Rekam Medis : SHLK 0000490140

II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu
pasien di Ruang Fisioterapi Siloam LV pada tanggal 29 Agustus 2015.

Tanggal masuk RS : 20 Juli 2015


Keluhan Utama : lemas pada kedua tunggal sejak ± 1 bulan smrs.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang dengan keluhan kedua tungkai kaki lemas sejak ± 1 bulan
smrs. Awalnya pasien merasa pegal pada punggung, yaitu sekitar bulan Juni.
Menurut pasien rasa pegal tersebut dirasakan terus menerus tetapi
intensitasnya tidak sampai menganggu aktivitas. Pegal pada punggung
tersebut dirasakan pada bagian tengah punggung dan terkadang dibagian
samping punggung. Menurut pasien tidak ada yang memperingan atau
memperburuk keadaannya tersebut. Pasien kemudian berobat ke dokter
umum untuk keluhan pegal punggungnya tersebut dan sudah diberi obat
tetapi rasa pegal tersebut tidak hilang.

20
Setelah ± 2 minggu setelah keluhan pegal pada punggung tersebut, pasien
tiba-tiba terjatuh ketika sedang berjalan. Menurut pasien kedua tungkai
kakinya tiba-tiba terasa lemas sehingga pasien tidak kuat untuk berdiri.
Setelah terjatuh pasien masih dapat bediri kembali tetapi sambil dibantu.
Kemudian menurut pasien ia berobat ke dokter umum dan diberikan vitamin
saraf. Rasa lemas pada kedua tungkai masih terasa tetapi pasien masih dapat
berjalan perlahan-lahan dan beraktivitas, hanya menurut pasien bagian lutut
hingga telapak kakinya mulai terasa sedikit baal.

Kemudian 1 minggu setelah kejadian itu, pasien jatuh untuk kedua kalinya
ketika sedang berjalan ke kamar mandi. Menurut ibu pasien jatuh kedua kali
ini lebih parah keadaannya dibandingkan yang pertama. Pasien tidak dapat
bangun untuk berdiri. Menurut pasien rasa lemas pada kedua tungkainya
semakin terasa dan pasien mulai merasa baal dari pinggang hingga ke tungkai
bawah. Menurut ibu pasien, 1 minggu sebelum pasien jatuh, ibu pasien
memperhatikan bahwa pundak pasien terlihat miring ke kanan ketika pasien
berjalan. Kemudian pasien dibawa ke IGD sambil dipapah dan dirawat oleh
dokter spesialis saraf. Pasien lalu diminta untuk melakukan foto MRI tulang
belakang dan dikonsulkan ke dokter bedah ortopedi.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Menurut pasien tidak ada riwayat batuk lama, demam, dan penurunan
berat badan. Sakit kepala, pusing, dan riwayat trauma disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Menurut pasien tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami gejala
yang serupa. Tidak ada penyakit turunan dari keluarga yang signifikan.

Riwayat Pengobatan

Pasien mengaku sudah berobat untuk keluhannya ini selama 1 bulan


terakhir ke dokter umum, tetapi keluhan yang dirasakan menetap dan tidak
membaik. Menurut riwayat perjalanan pernyakit yang diceritakan, keadaan

21
pasien menjadi bertambah buruh. Menurut ibu pasien, dokter hanya
memberikan vitamin saraf dan obat anti nyeri. Pasien juga sudah berobat
untuk TB paru dan sudah minum OAT secara rutin.

Obat yang sudah dikonsumsi sebelum masuk ke RS:

 Streptomisin 1gr 1x1


 INH 300mg 1x1
 Rimactame 600mg 1x1
 Ethambutol 500mg 2x1
 Pyramizide 500mg 3x1
 Pehadoxin Forte 1 tab 1x1
 Methylcobalamin 500mg 3x1
 Curcuma 500 mg 3x1
 Cavit 500mg 1x1

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALISATA

Kesadaran : Compos Mentis


GCS : E4 M6 V5
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 88x/mnt
Suhu : 36.5C
Pernafasan : 19x/mnt

Tinggi Badan : 163 cm


Berat Badan : 103 kg
BMI : 38,8 (obese)

 Kepala dan Leher : dalam batas normal


 Mata
 Konjungtiva anemis (-/-)

22
 Pupil isokor 2mm/2mm
 Refleks cahaya direk/indirek (+/+)
 Thorax : dalam batas normal
 Abdomen : dalam batas normal
 Punggung :
LOOK
 Postur : kyphosis
 Gibbus :-
 Luka operasi :+
 Luka :-
 Abses :-

FEEL

 Nyeri tekan :-
 Temperatur : afebrile

MOVE

 Range of Movement : Terbatas karena nyeri pada punggung yang


dirasakan

STATUS NEUROLOGIS

1.) MOTORIK

 Inspeksi: Eutrofi Eutrofi

Eutrofi Eutrofi

 Palpasi: Tonus
Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

23
 Kekuatan Motorik: 5555 5555

3333 3333

 Refleks Fisiologis:

Kanan Kiri

Biceps +2 +2

Triceps +2 +2

KPR +2 +2

APR +2 +2

 Refleks Patologis:

Kanan Kiri

Babinski - -

Chaddock - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Schaffer - -

Rossolimo - -

2.) SENSORIK

 Ekstrimitas superior dextra dan sinistra : dalam batas normal

24
 Ekstrimitas inferior dextra dan sinistra : parahipestesi
setinggi T7

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Cek Lab darah pada tanggal 04 Agustus 2015

Complete Blood Count Hematology

Hemoglobin 10.50 g/dL  Prothrombin Time

Hematocrit 31.40 %  Control 11.40 sec

RBC 3,55 10^6/μL  Patient 10.60 sec

WBC 21.97 10^3/μL  INR 1.02 sec

Platelet 166 10^3/μL Activated Partial Thromboplastin Time

MCV 88.5 fL Control 33.30 sec

MCH 29.60 pg Patient 38.80 sec

MCHC 33.40 g/dL

25
b) Foto Rontgen Thorax AP/PA dilakukan pada tanggal 20 Juli 2015.

Kedua Sinus costophrenicus dan diafragma normal


COR : CTR <50%
Aorta : Baik
Kedua Hillus : Kasar
Pulmo : Tampak infiltrat pada kedua perihiller dan paracardial kanan
Tulang-tulang dada baik

*Kesan : Infiltrat pada kedua perhiller dan paracardial kanan

c) Foto MRI Thoracolumbal dilakukan pada tanggal 20 Juli 2015.

Telah dilakukan pemeriksaan MRI Thoracolumbal potongan sagital T1 dan


T2, axial T1 dan T2, serta MR-myelografi tanpa kontras. Dilanjutkan
pemberian kontras Gadolinium Gadovist 1.0 mmol/mL sebanyak 5 mL
potongan sagital dan koronal T1FatSup. Hasil sebagai berikut:

 Tampak destruksi corpus-lamina-pedikel bilateral Th4-Th7 dengan


fraktur kompresi corpus vertebra Th5, disertai infiltrat paravertebra
yang menonjol ke anterior setinggi Th4-Th6 dan posterior setinggi
Th4-Th7 mengakibatkan penekanan terhadap thoracal sac/medulla

31
sepinalis dan struktur radix di dalamnya, selanjutknya tampak
myelopati pada medulla spinalis setinggi Th5. Setelah pemberian
kontras tampak penyangatan pada infiltrat tersebut.
 Tampak pula lesi destruktif pada corpus Th11 dan lamina-pedikel
bilateral Th11-12, disertai abses pada pedikel kiri TH11.
 Struktur tulang lainnya masih tampak baik.
 Discus intervertebralis normal dengan intensitas yang normal.
 Tidak tampak herniasi discus intervertebralis/
 Conus medullaris setinggi L1.

*Kesan:

 Destruksi corpus-lamina-pedikel bilateral Th4-7 dengan fraktur


kompresi corpus vertebra Th5, disertai infiltrat paravertebra
menyangkat kontras yang menonjol ke anterior setinggi TH4-Th6
dan posterior setinggi Th4-Th7 mengakibatkan penekanan terhadap
thoracal sac/medulla spinalis dan struktur radis di dalamnya,
selanjutnya tampak myelopati pada medulla spinalis setinggi Th5.
 Lesi destruktif corpus Th1 dan lamina-pedikel bilateral Th11-12,
disertai abses pedikel kiri Th11.  Sugestif Spondylitis TB
 Tidak tampak herniasi discus intervertebralis.

31
31
31
DIAGNOSIS

Spondilitis Tuberkulosis Torakal post Dekompresi + Stabilisasi Posterior

V. TATA LAKSANA
 Operasi: Debridement - Dekompresi Posterior - Stabilisasi

Ringkasan Laporan Operasi:

 Ditemukan tulang T5-T7 rapuh dan terdapat jaringan fibrotik.


 Dilakukan debridement, T5 laminektomi kemudian fusi dengan pedicle screw
pada T3-T4 & T6-T8 + crosslink T5.
 Spesimen dari gibus pada T5 diperoleh dan dikirim ke patologi anatomi untuk
diperiksa.

Foto Rontgen Vertebra Thoracalis

- Dilakukan pada tanggal 04 Agustus 2015, setelah dilakukan tindakan operatif.

31
Kondisi post Spondilitis TBC T5-T6 thoracal

 Telah terpasang fiksasi interna pada vertebra Th3-Th7 dengan kedudukan baik.
 Tidak tampak spondilolisthesis.
 Tidak tampak spur prominent
 Sela discus intervertebralis tidak melebar.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison. Principles of Internal Medicine.; 2012


2. Wheeless’ Textbook of Orthopaedics. Tuberculous Spondylitis; 2013. Diunduh
dari: http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous_spondylitis.
3. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries of
The Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009 :
228-31
4. Trecarichi EM, Di Meco E, Mazzotta V, et al. Tuberculous spondylodiscitis:
epidemiology, clinical features, treatment & outcome. Italy: European Review for
Medical and Pharmacological Sciences; 2012. h. 58-68.
5. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 12 ed. United
States of America: John Wiley & Sons, Inc. 2009. h. 216-226
6. Frompo. Batson’s Venous Plexus; 2012. Diunduh dari:
http://image.frompo.com/748938776c8543de6e5d8012cecc8dda.
7. Image of Normal Spinal Segment; 2007. Diunduh dari:
http://www.inforehab.com/?page_id=195 – 1
8. Regional Characteristics of Vertebrae; 2015; Diunduh dari:
http://www.rrnursingschool.biz/unity-companies/regional-characteristics-of-
vertebrae.html
9. Pathophysiology and Treatment of Spinal Tuberculosis; 2014. Diunduh dari:
http://reviews.jbjs.org/content/2/9/e4
10. Anterior Cervical Decompression and Spine Fusion Procedure; 2012. Diunduh
dari: http://www.spine-health.com/treatment/spinal-fusion/anterior-cervical-
decompression-and-spine-fusion-procedure
11. Pott Disease; 2012-2015. Diunduh dari: http://radiopaedia.org/articles/pott-
disease

31

Anda mungkin juga menyukai