Laporan Kasus Vertigo Post Traumatic Asti
Laporan Kasus Vertigo Post Traumatic Asti
I.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa dan aloanamnesa di bangsal Cempaka
pada tanggal 23 Agustus 2015. Pasien merupakan pasien bedah yang dikonsulkan ke
bagian Saraf pada hari ke 6 perawatan bagian bedah.
1
dan kesemutan. Penderita juga mengaku tidak mengalami masalah kesulitan menelan,
mengunyah, berbicara dan penciuman. BAB dan BAK normal.
1 minggu SMRS, os sedang menyebrang jalan dan diserempet motor dari arah
kiri, os terpelanting jatuh ke sebelah kanan, os masih ingat kejadian, riwayat pingsan
disangkal, kepala terbentur dan masih tertahan oleh tangan. Muntah menyemprot
disangkal, perdarahan dari hidung dan telinga disangkal. Os langsung dibawa ke IGD
RSUD Ambarawa oleh warga sekitar dan dirawat oleh bagian bedah dengan cedera kepala
ringan. Setelah 6 hari perawatan, os dikonsulkan ke bagian saraf karena pusing berputar
yang muncul pada hari ke-3 dan tidak berkurang selama 3 hari.
II.1 Diskusi I
2
Dari anamnesa didapatkan seorang pasien perempuan usia 69 tahun
mengalami keluhan pusing berputar. Vertigo adalah halusinasi gerakan
lingkungan sekitar terasa seperti berputar mengelilingi pasien, atau pasien merasa
seperti berputar mengelilingi lingkungan sekitar. 1 Keluhan yang sering
disampaikan pasien beragam, misalnya puyeng, sempoyongan, mumet, muter,
pusing, rasa seperti mengambang, dan rasa seperti melayang. Vertigo berasal dari
bahasa latin vertere yang artinya memutar, merujuk pada sensasi berputar
sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh
gangguan pada sistem keseimbangan.1
1. Memastikan keluhan
3
menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa
nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan, dan gejala-gejala lainnya.3
Vertigo dapat timbul bila ada gangguan pada salah satu atau lebih dari
ketiga sistem tersebut pada tingkat resepsi, integrasi, maupun resepsi. Vertigo
dibagi menjadi dua, vertigo vestibular bila kelainan pada vestibular, dan vertigo
non vestibular apabila terjadi pada visual dan proprioseptif. Vertigo juga dibagi
menjadi vertigo yang terjadi dengan letak lesi di perifer (labirin dan n. Vestibularis)
dan vertigo yang terjadi dengan letak lesi di sentral (batang otak hingga korteks).
VERTIGO PERIFER VERTIGO SENTRAL
Letak lesi Labirin dan N. Batang otak hingga korteks
Vestibularis
Sifat vertigo Rasa berputar (true Melayang, hilang
vertigo) keseimbangan
Serangan Episodik Kontinyu
Mual/muntah + –
Gangguan +/– –
pendengaran
dan/atau tinnitus
Gerakan pencetus Gerakan kepala Gerakan obyek visual
Gejala gangguan – + (diplopia, parestesi,
SSP gejala fokal serebral)
Gejala Otonom ++ –
Nistagmus Horizontal Vertikal
3. Mencari penyebab
PENYEBAB
Vertigo Perifer Vertigo Sentral
· BPPV · Vascular
· Labirinitis · Demyelinating
· Vestibular neuritis · Neoplasm
· Meniere’s Disease
· Labyrinthie Ischemia
· Trauma
· Toxin
Berbagai macam proses patologis dapat terjadi pada ketiga sistem somatosensorik,
vestibular, maupun visual, baik pada tingkat resepsi, integrasi, maupun persepsi. 4 Vertigo
timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan
ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) dengan apa yang dipersepsi oleh
susunan saraf pusat. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap
oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik. Reseptor vestibuler memberikan
4
kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang
paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.5
4. Teori otonomik.
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi perubahan posisi.Gejala klinis timbul jika sistem simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis mulai berperan.
5
5. Teori neurohumoral.
6. Teori sinaps.
6
Patofisiologi
Dari seluruh mekanisme patofisiologi vertigo post trauma, traumatic BPPV paling
mudah dipahami. Mekanisme yang mendasari BPPV traumatic sama seperti BPPV
idiopatik dan termasuk didalamnya teori canalolithiasis dan cupulolithiasis. Canalithiasis
diartikan sebagai suatu kondisi partikel yang berada dalam canal pada canalis
semisirkularis. Karena keberadaannya mengambang dan dapat bergerak yang dapat
menyebabkan vertigo yg disebabkan pergerakan akibat suatu gaya. Berbeda pada
cupulolitiasis yang mengarah pada kepadatan parrtikel yang menempel pada cupula di
dalam Krista ampularis. Partikel cupulolith berada di dalam ampula yang berada di dalam
kanalis semisirkularis dan tidak mengambang bebas.
7
robekan membrane oval pada pelekatan ligamentum kaki stapes pada tepi tingkap lonjong.
Goodhill, yang menjelaskan patofisiologi yang tepat mengenai PLF, menjelaskan 2
mekanisme penting tentang rupturnya tingkap lonjong atau bulat : eksplosif dan implosive.
Teori postulat mekanisme eksplosif menyebabkan peningkatan secara tiba-tiba tekanan
cairan serebrospinal yang mentransmisikan ke cairan perilimfatik yang menyebabkan
rupture membrane secara eksplosif. Mekanisme implosive muncul ketika trauma eksternal
mengenai membrane timpani yang menyebabkan rupture implosive pada membrane.
Servikal vertigo
Mekanisme patofisiologi servikal vertigo kurang dimengerti. Walaupun banyak
teori muncul, kebanyakan penulis berpendapat jika servikal vertigo terjadi dikarenakan
kompresi vascular dan perubahan input sensoris system vestibular.
8
Dosis satu tablet sehari, ½ tablet pagi ½ tablet malam
Efek samping mengantuk dan rasa lemas yang sifatnya sementara.
Kontra indikasi belum diketahui.
Keamanan penggunaan pada wanita hamil,ibu menyusui,dan anak belum
diketahui.
2) Antihistamin : Efek antikolinergik dan merangsang inhibitori monoaminergik,
akibatnya inhibisi nervus vestibularis. Obat : Sinarisin ( Merron ), dimenhidrinat
(Dramamine), prometasin (Phenergan), meclizine, cyclizine
3) Antikolinergik : Mengurangi eksitabilitas neuron dengan menghambat jaras
eksitatori kolinergik ke nervus vestibularis, mengurangi firing rate dan respon
nervus vestibularis terhadap rangsang. Obat : Skopolamin, atropin
4) Monoaminergik : Merangsang jaras inhibitori-monoaminergik pada n.
vestibularis sehingga eksitabilitas neuron berkurang. Obat : Amphetamine, efedrin
5) Bensodiasepin : Menurunkan resting aktiviti neuron
6) Antidopaminergik : Bekerja pada CTZ dan pusat muntah di medula oblongata.
Obat : Clorpromazin (largactil), proclorperazine (Stemetil), Halloperidol (Haldol)
7) Histaminik : Inhibisi neuron polisinaptik pada nervus vestibularis lateralis. Obat :
betahistin. Analog histamin
Meningkatkan aliran darah a.vertebrobasiler
Memperbaiki mikrosirkulasi telinga dalam
Menghambat neuron polisinaptik
Dosis 1 tablet 3 kali sehari
Hati-hati pada penderita gastric ulcer, asma bronchiale, pheochromocytoma
8) Antiepileptik : Karbamasepin, fenitoin pada temporal lobe epilepsi dengan gejala
vertigo
9
10
3. Pengobatan Rehabilitatif : Untuk menimbulkan dan meningkatkan
kompensasi sentral. Mekanisme kerjanya melalui :
A. Substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensorik untuk fungsi
vestibular yang terganggu.
B.Mengaktifkan kembali pada inti vestibuler oleh serebelum sistem visual dan
somatosensorik.
C. Menimbulkan habituasi berkurangnya respon terhadap stimulasi sensorik.
11
Inspeksi : Jejas (-), bentuk normal, gerak kedua hemitoraks simetris
pada saat statis dan dinamis
Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : sonor di hemithoraks kiri dan kanan
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+ , rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula
sinistra, kuat angkat
Perkusi : Batas kanan ICS V linea sternalis dekstra; batas kiri ICSV
linea midclavicula sinistra ; batas atas ICS III linea sternalis
sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran hepar dan
lien.
Perkusi : Timpani diseluruh regio abdomen,nyeri ketok CVA(-)
Urogenital : Tidak diperiksa
Ekstremitas : edema ekstremitas inferior et superior (-/-), sianosis (-),
ikterik (-), VE a/r brakhialis dekstra, VL a/r cruris dekstra,
granulasi (+)
12
Superior N N
Inferior N N
Medial N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil bulat bulat
Reflek cahaya langsung + +
Reflek cahaya tidak langsung + +
Strabismus divergen - -
N IV (Troklearis)
Gerak bola mata ke lateral bawah N N
Strabismus konvergen - -
Menggigit N N
Membuka mulut N N
N V (Trigeminus)
Sensibilitas muka N N
Refleks kornea + +
Trismus - -
N VI ( Abdusens)
Gerakan mata ke lateral N N
Strabismus Konvergen - -
N VII (Facialis)
Kerutan kulit dahi simetris simetris
Kedipan mata N N
Mengerutkan dahi simetris simetris
Mengerutkan alis simetris simetris
Menutup mata N N
Lipatan nasolabial simetris simetris
Sudut mulut simetris simetris
Meringis N N
Menggembungkan pipi N N
Daya kecap lidah 2/3 depan + +
N VIII (Akustikus)
Mendengar suara + +
Mendengar detik arloji + +
Tes Rinne tidak dilakukan
Tes Schwabah tidak dilakukan
Tes Weber tidak dilakukan
N IX (Glosofaringeus)
Daya kecap lidah 1/3 belakang + +
Reflek muntah + +
Sengau - -
Tersedak - -
N X (Vagus)
Denyut nadi 100x/ menit, reguler, kuat angkat
Bersuara + +
Menelan + +
N XI (Asesorius)
Memalingkan kepala + +
Sikap bahu simetris simetris
Mengangkat bahu simetris simetris
13
Trofi otot bahu eutrofi eutrofi
N XII (Hipoglosus)
Sikap lidah N N
Artikulasi + +
Tremor lidah - -
Menjulurkan lidah + +
Trofi otot lidah eutrofi eutrofi
Fasikulasi lidah - -
Meningeal Sign (-)
Anggota Gerak
B B 5 5 N N E E
G B B
K 5 5 TN N N
Tr E E
N N - - - - -
N N - - -
CL
Tes Nistagmus : +/+
RPbatas normal
RFSensibilitas : dalam
Vegetatif : dalam batas normal
Pemeriksaan Romberg test tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif
Pemeriksaan Dix Hallpik dan tes kalori : tidak dilakukan karena pasien tidak
Kooperatif
Diagnosis sementara
14
Hemoglobin 14.9 13,5 – 17,5 g/dl
Hematokrit 43,9 40 – 50 %
Eritrosit 4.80 4.5 – 5.8 juta/ul
Leukosit 14800 4000 –10.000/ul
Trombosit 192000 150.000 – 400.000/ul
MCV 91,5 82 – 98 fl
MCH 31,0 ≥27 pg
MCHC 33,8 32 – 36 g/dl
KIMIA KLINIK Nilai rujukan
SGOT (AST) 36 0-50 U/L
SGPT (ALT) 37 0-50 U/L
Ureum 60,3 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,75 0,62-1,1 mg/dl
Glukosa sewaktu 130 70-100 mg/dL
IMUNOSEROLOGI Nilai Rujukan
PEMERIKSAAN HASIL
1. Rontgen Cervical AP/Lat/Obliq
- Pasien tidur sulit diposisikan
- Alignment VC 1-4 lurus
- Tak tampak penyempitan diskus dan foramen invertebralis
- Spondilosis servikalis
15
Gambar 1. Rontgen Cervical Ny. SD
Kesan
16
Gambar 3. CT SCAN kepala Ny. SD
DISKUSI II
17
lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi
simtomatik yang sesuai.
Pemeriksaan Neurologis
1. Fungsi vestibuler/serebeler
a. Uji Romberg : Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan namun
masih dapat berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral memiliki instabilitas yang
parah dan seringkali tidak dapat berjalan. Walaupun Romberg’s sign konsisten dengan
masalah vestibular atau propioseptif, hal ini tidak dapat digunakan dalam mendiagnosis
vertigo. Pada sebuah studi, hanya 19% sensitive untuk gangguan vestibular dan tidak
berhubungan dengan penyebab yang lebih serius dari dizziness (tidak hanya terbatas pada
vertigo) misalnya drug related vertigo, seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular event3.
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka
kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan
bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya
atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita
akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan
penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang
baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup. Pada pasien ini tidak dilakukan tes
Romberg karena pasien tidak kooperatif.
18
b. Tandem gait. Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari
kaki kanan/kiri ganti berganti.Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan menyimpang
dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh. Pada pasien ini tidak
dilakukan tes tandem gait karena pasien tidak kooperatif.
c. Uji Unterberger. Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan dan jalan di
tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan
vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti
orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke
arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai
nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi. Pada pasien ini tidak dilakukan tes tandem gait
karena pasien tidak kooperatif.
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan penderita disuruh mengangkat
lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa.
Hal ini dilakukan berulang- ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan
vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi. Pada pasien ini tidak
dilakukan tes past pointing karena pasien tidak kooperatif.
e. Uji Babinsky-Weil. Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke
depan dan lima langkah ke belakang selama setengan menit; jika ada gangguan vestibuler
unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang. Pada pasien ini tidak
dilakukan karena pasien tidak kooperatif.
Pada pemeriksaan motorik didapatkan sistem motorik masih dalam batas normal,
fungsi vegetatif masih dalam batas normal sehingga vertigo sentral dapat dihilangkan.
Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer.
1. Fungsi Vestibuler
a. Uji Dix Hallpike (Gb. 9). Perhatikan adanya nistagmus, lakukan uji ini ke kanan dan
kiri. Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan
cepat, sehingga kepalanya menggantung 45° di bawah garis horizontal, kemudian
19
kepalanya dimiringkan 45° ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya
vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral.
Perifer, vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu
kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali
(fatigue). Sentral, tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1
menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).
b. Tes Kalori : Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air
dingin (30°C) dan air hangat (44°C) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap
irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai
hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan
adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis
adalah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat
maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas
ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis
menunjukkan lesi perifer di labarin atau n.VIII, sedangkan directional preponderance
menunjukkan lesi sentral.
2. FUNGSI PENDENGARAN
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes
Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif, tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke
yang tuli dan schwabach memendek. Pada pasien ini tidak dilakukan karena keterbatasan
alat.
b. Audiometri
Ada beberapa macam pemeriiksaan audiometri seperti Ludness BalanceTest, SISI, Bekesy
Audiometry, ToneDecay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus
visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran dan fungsi menelan. Juga
20
fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan
serebelar (tremor, gangguan cara berjalan). Pada pasien ini tidak dilakukan karena
keterbatasan alat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai
indikasi.
21
postur tegak
Pemeriksaa Pasien memiliki Tidak terdapat gangguan Kadang-kadang
n fisik pendengaran yang normal, pendengaran,ataupun terdapat reaksi
tidak ada nistagmus tinnitus, tetapi dapat konversi, meliputi
spontan, dan pada evaluasi terjadi otalgia gangguan penglihatan,
neurologis normal. Pada gangguan pendengaran,
pasien BPPV setelah ataksia, parese atau
provokasi Dix Halpik lebih anggota gerak dan
ditemukan nistagmus yang keluhan gangguan
timbulnya lambat, ± 40 sensorik yang tidak
detik, kemudian nistagmus jelas.
menghilang kurang dari
satu menit bila sebabnya
kanalitiasis, pada
kupulolitiasis nistagmus
dapat terjadi lebih dari satu
menit, biasanya serangan
vertigo berat dan timbul
bersamaan dengan
nistagmus.3
Pemeriksaa Radiologis : normal Radiologi : Dapat berupa fraktur os
n kompresi, fraktur, cranium atau
penunjang penyempitan diskus perdarahan intracranial
MRI-neck and
MRI-brain (looking for
other causes and
herniation of disks)
CT scan of the
neck if MRI suggests a
bony disorder (such as
C1-C2 anomalies).
Flexion/extensio
n x-rays of neck
(looking for instability)
DIAGNOSIS AKHIR
22
Diagnosis Etiologis : perifer (BPPV)
Saran Pemeriksaan
Audiometri
BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry)
Elektronistagmogram
PENATALAKSANAAN
- Infus RL 20 tpm
- inj. Cefotaxime 2x1 gr
- Flunarizine 2x 5 mg
PROGNOSIS
Death : dubia
Disease : dubia
DISKUSI III
23
Cefotaxime
Ranitidin
Diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi dari obat lain.
Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin
pada reseptor H2 di lambung dan mengurangi sekresi asam lambung.
Unalium (Flunarizine)
Flunarizine (1 - [bis (4-fluorophenyl) metil] -4 - [(2 E)-3-phenylprop-2-en-1-
il] piperazine) yang ditemukan di Janssen Pharmaceutica di 1967 adalah salah satu
antagonis kalsium terbaru dengan efek antimigrain. Flunarizine adalah penghambat
selektif masuknya kalsium dengan cara ikatan calmodulin dan aktivitas hambatan histamin
H1. Flunarizine dapat mencegah terjadinya kerusakan sel akibat overload kalsium dengan
menghalangi secara selektif masuknya kalsium ke dalam jaringan sel. Flunarizine juga
terbukti dapat menghambat kontraksi otot polos pembuluh darah, melindungi kekakuan
sel-sel darah merah serta mampu melindungi sel-sel otak dari efek hipoksia
(kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan
ketinggian).
Piracetam
Meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan aktifitas adenylat kinase (AK) yang
merupakan kunci metabolisme energi dimana mengubah ADP menjadi ATP dan AMP,
meningkatkan sintesis dan pertukaran cytochrome b5 yang merupakan komponen kunci
dalam rantai transport elektron dimana energi ATP diproduksi di mitokondria (James,
2004). Piracetam juga digunakan untuk perbaikan defisit neurologi khususnya kelemahan
motorik dan kemampuan bicara pada kasus-kasus cerebral iskemia, dan juga dapat
mengurangi severitas atau kemunculan post traumatik/concussion sindrom. Piracetam
mempengaruhi aktifitas otak melalui berbagai mekanisme antara lain :
a. Merangsang transmisi neuron di otak.
b. Merangsang metabolimse otak.
c. Memperbaiki mikrovaskular tanpa efek vasodilatasi.
24
Ketorolak
Analgesik poten dengan anti-inflamasi sedang. Ketorolac memperlihatkan efektivitas
sebanding morfin, masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Karena
ketorolac sangat selektif menghambat COX-1, maka obat ini hanya dianjurkan dipakai
tidak lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak lambung dan iritasi lambung besar
sekali. Pada pasien ini ketorolak diberikan untuk meredakan nyeri post traumatic.
Pantoprazole
Penghambat pompa proton adalah golongan obat yang bekerja dengan menghambat
produksi asam pada tahap akhir mekanisme sekresi asam yaitu pada enzim (H+, K+)-
ATPase dari pompa proton suatu sel parietal. PPI bersifat lipofilik (larut dalam lemak)
sehingga dapat dengan mudah menembus membran sel parietal tempat asam dihasilkan
serta hanya aktif dalam lingkungan asam dan pada satu tipe sel saja yaitu sel parietal dari
mukosa lambung. Pantoprazole diberikan untuk mengurangi asam lambung pada tahap
pembentukan akhir dikarenakan untuk mengimbangi penggunaan ketorolak yang memiliki
efek samaping tukak lambung.
25
FOLLOW UP
Tanggal S O A P Keterangan
23/08/15 Pusing berputar Kesadaran : CM E4M6V5 Vertigo · inj. Cefotaxime 2x1 gr
(+) terutama pa KU : tampak sakit sedang - inj. Ketorolac 3x30mg
pada saat - inj. Piracetam 2x3 gr
TD : 160/80mmHg, N: 84x/menit, RR : 24x/menit,
perubahan - inj. Ranitidine 2x1 amp
posisi, sesak (+) S : 36,70C - inj. Pantoprazole 1x1 amp
Kepala : normocephal, dbn - Flunarizine 2x 5 mg
- pro Ro
Mata : mata pupil isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+) - comtusi syr 3x1
Cervical
Thx : Wh +/+. - Pro CT
Ekstremitas :
Scan Kepala
N N
GNN N
24/08/15 Pasien merasa KU: tampak sakit sedang Vertigo · inj. Cefotaxime 2x1 gr
pusing yang Kes: CM E4M6V5 perifer - inj. Ketorolac 3x30mg
masih menetap, TD: 150/90 - inj. Piracetam 2x3 gr
sesak (-) N: 74 x/m - inj. Ranitidine 2x1 amp
S: 36,5oC - inj. Pantoprazole 1x1 amp
Kepala : normocephal, dbn - Flunarizine 2x 5 mg
Mata : mata pupil isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Thx : Wh -/-.
CT Scan : tidak ada perdarahan intraserebral, tidak
ada fraktur os temporal
Rontgen cervical : tidak terdapat penyempitan diskus
maupun penyempitan foramen intervertebralis
26
Nistagmus +/+
Ekstremitas :
N N
GNN N
25/08/15 Pasien merasa KU: tampak sakit sedang Vertigo · inj. Cefotaxime 2x1 gr
pusing Kes: CM E4M6V5 perifer - inj. Ketorolac 3x30mg
berkurang TD: 140/80 - inj. Piracetam 2x3 gr
N: 80 x/m - inj. Ranitidine 2x1 amp
S: 36,5oC - inj. Pantoprazole 1x1 amp
Kepala : normocephal, dbn - Flunarizine 2x10 mg
Mata : mata pupil isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+) .
Thx : Wh -/-.
Ekstremitas :
N N
GN N N
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Wreksoatmojo BR. Vertigo-Aspek Neurologi. [online] 2009 [cited 2009 May 30th].
Available from : URL:http://www.google.com/vertigo/cermin dunia kedokteran
.html
2. Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59
3. Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar N,
Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9
4. Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited 2009
May 20th]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/884261-
overview
5. Johnson J & Lalwani AK. Vestibular Disorders. In : Lalwani AK, editor. Current
Diagnosis & treatment in Otolaryngology- Head & Neck Surgery. New York : Mc
Graw Hill Companies. 2004. p 761-5
6. Bashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Gangguan Keseimbangan. Dalam : Arsyad
E, Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 94-101
7. Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi H, Santoso R,
Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta : EGC. 1997. h 39-
45
8. Sherwood L. Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan. Dalam: Fisiologi Manusia
dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1996. p 176-189
9. Hain TC. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited 2009 May
20th]. Available from : http://www .dizziness-and-balance.com/bppv.htm
10. Mansjoer a, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setowulan W. Penyakit Menierre.
Dalam : KApita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI. 2001. Hal 93-94
11. http://emedicine.medscape.com/article/884361-overview#showall
28