Disusun Oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang
daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan
pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif. Pada keadaan sakit dapat
terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan
pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic,
trauma, alargi, insfeksi dan lain- lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.
RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane
disease merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan
pertukaran gas. Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh
RDS atau komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2011 didalam Leifer 2014).
Pada penyakit ini, terjadi karena kekurangan pembentukan atau pengeluaran surfaktan
sebuah kimiawi paru-paru. Surfaktan merupakan suatu campuran lipoprotein aktif
dengan permukaan yang melapisi alveoli dan mencegah alveoli kolaps pada akhir
ekspirasi. (Bobak, 2005).
Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea (> 60 x/menit) ,
pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting
(merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain, seperti:
hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan
asidosis respiratory atau asidosis campuran (Bobak, 2014).
Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin
antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA
1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang
ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1%.Di negara berkembang termasuk Indonesia
belum ada laporan tentang kejadian RDS.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease
(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan
adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak
dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah Respiratory Distress
Syndrome (RDS). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi
dengan berat 501-1500 gram (lemons et al,2014).
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun
sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2015). Saat ini RDS didapatkan
kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali
oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS.
Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang
kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan
mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik
penggunaan surfaktan buatan (Willkinson,1985), surfaktan dari cairan amnion manusia
( Merrit,1986), dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine (Enhoring,1985) dapat
dipertanggungjawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai
pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang
disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.
B.Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
b) Bagaimana etiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
c) Bagaimana patofisiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
d) Bagaimana manifestasi klinik dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
e) Bagaimana komplikasi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
f) Bagaimana pemeriksaan penunjang dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
g) Bagaimana pencegahan dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
h) Bagaimana penatalaksaan untuk RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
i) Bagaimana asuhan keperawatan pada masa neonatus dengan RDS (Respiratory
Distress Syndrome)
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk pemenuhan tugas keperawatan anak mengenai asuhan keperawatan
pada masa neonatus dengan RDS (Respiratory Distress Syndrome) serta mahasiswa
dapat mengetahui dan mendeskripsikan tentang RDS (Respiratory Distress
Syndrome)
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui definisi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Untuk mengetahui etiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Untuk mengetahui patofisiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Untuk mengetahui manifestasi klinik RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Untuk mengetahui komplikasi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari RDS (Respiratory Distress
Syndrome)
Untuk mengetahui pencegahan dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Untuk mengetahui penatalaksanaan dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada masa neonatus dengan dengan
RDS (Respiratory Distress Syndrome)
BAB II
TINJAUAN TEORI
I. DEFINISI
RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan
tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang
menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
(Stark,2014).
RDS adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas gejala dispneu,
pernafasan cepat lebih dari 60 kali permenit, sianosis, merintih pada saat ekspirasi;
terdapat retraksi pada suprasternal, interkostal dan epigastrium. Pada penyakit ini
terjadi perubahan paru yaitu berupa pembentukan jaringan hialin pada membran paru
yang rusak.Kerusakan pada paru timbul akibat kekurangan komponen surfaktan
pulmonal. Surfaktan adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan pada ruang
antar alveoli sehingga dapat mencegah pergesekan dan timbulnya kerusakan pada
alveoli yang selanjutnya akan mencegah terjadinya kolaps paru. (Yuliani, 2015)
II. ETIOLOGI
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda
usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting
penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal
diabetes, secsiocaesaria.
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk
menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang
paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul
segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi
karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan
penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), Faktor-
faktornya antara lain :
1. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida emmpat atau lebih, sosial
ekonomi rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu
pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit diabetes mellitus, dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
3. Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kelainan kongenital pada
neonaatus dan lain-lain.
4. Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
III. PATOFISIOLOGI
V. PENATALAKSANAAN
iv. Pembrian antibiotik. Bayi dengan PMH perluh mendapat antibiotik untuk
mencengah infeksi sekunder. Dapat diberikkan penisilin dengan dosis 50.000-
100.000 U/ kg BB/ hari,dengan atau tanpa gentamisisin 3-5 mg/kg BB/hari.
v. Kemajuan terakhir dalam pnengobatan pasien PMH pemberian surfaktan eksogen
(surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif, namun harganya amat mahal.
1. Pentalaksanaa pada gangguan nafas ringan (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2014)
Gangguan nafas ringan pada bayi yang mengalami gangguan nafas ringan disebut
Transient Tacypnea of the Newborn (TTN) yang biasanya terjadi karena bedah
sesar. Kondisi ini dapat normal kembali tanpa adanya pengobatan. Gangguan nafas
ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
a. Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
b. Bila pernafasan memburuk atau timbul gejala sepsis, terapi untuk mengurangi
sepsis.
c. Berikan ASI bila bayi mampu menyusui, jika tidak mampu peras ASI.
d. Kurangi pemberian 02 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
nafas, hentikan pemberian 02 jika frekuensi nafas antara 30-6- kali/menit.
e. Amati bayi selama 24 jam selanjutnya, jika frekuensi nafas menetap antaran 30-60
kali/menit, tidak ada sepsis, dan tidak ada masalah lain yang memerlukan
perawatan bayi dapat dipulangkan.
2. Gangguan nafas sedang (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2014)
a. Lanjutkan pemberian 02 dengan kecepatan aliran sedang
b. Bayi tidak diberikan minum
c. Ambil sampel darah untuk kultur dan berikan antibiotic (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungknan besar sepsis jika tidak ada tanda- tanda sebagai berikut :
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan pernafasan masih belum ada
perbaikan, ambil sampel darah dan berikan antibiotik untuk terapi
kemungkinan sepsis.
- Jika suhu abnormal, teruskan amati bayi. Jika suhu kembali abnormal ulangi
tahapan diatas.
e. Bila tidak ada tanda-tanda ke arah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila
bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis.
f. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan (frekuensi nafas menurun,
tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang)
Semakin kecil bayi kemungkinan terjadi gangguan nafas semakin sering dan
semakin berat. Pada bayi kecil ( berat lahir <2500 gram atau umur kehamilan <37
minggu) gangguan nafas kering memburuk dala waktu 36-48 jam pertama dan tidak
banyak terjadi perubahan dalam satu dua hari berikutnya dan kemudian akan
membaik pada hari ke 4-7.
a) Tentukan pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang (antara rendah dan
tinggi)
b) Tangani sebagai kemungkinan besar sepsis.
c) Bila bayi menunjukkan tanda pemburukan atau terhadap terhadap sianosis
sentral,naikan pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi. Jika gangguan nafas
bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap walaupun diberikan O2 100%
bila kemungkinan segera rujuk bayi kerumah sakit rujukan atau ada fasilitas dan
mampu memakai ventilator mekanik.
d) Jika gangguan nafas masih menetap selama 2 jam, pasanng pipa lambung untuk
mengosongkan cairan lambung dan udara.
e) Nilai kondisi bayi 4 kali sehari apa bila ada tanda perbaikan.
f) Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekkuensi nafas
menurun,tarikan dinding dada berkurang, warna kulit membaik), maka :
(1) Kurangi pemberian O2
Jangan meneruskan pemberian O2 bila tidak perlu hentikan pemberian O2
bila bayi diletakkan pada udara ruangan tanpa pemberian O2 tidak
mengalami gangguan nafas dan tampak kemerahan.
(2) Mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambunng.
(3) Bila pemberian O2 tak diperlukan lagi,bayi mulai dilatih dengn menggunakan
salah satu alternafif cara pemberian minum.
VI. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi
resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan
seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen
yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
VII. KOMPLIKASI
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat
respirasi.
13
volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
b. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
14
VIII. PATHWAYS
15
1.1. Pemeriksaan Diagnostik
1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen
penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin,
ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate
retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa
pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran
2. Gambaran laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,
prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya
oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi,
karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH
darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi pernapasan
yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan pada fungsi
16
functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas.
fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau
pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri
3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin
di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang
mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel
eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.
1.2. Penatalaksanaan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar
tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam
retrolental), dll.
17
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan homeostasis
jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari.
asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan
u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5
mg/kg BB/hari.
eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat mahal.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat badan lahir
1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh karena itu, bayi ini
tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir yang demikian harus
selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya
kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan pernapasna, kesuakran
dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi, kebutuhan rasa aman dan nyaman
1.3. Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum
sempurna karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah
18
kelainan bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan
sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971)
perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan
lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir tidak akan menderita
penyakit membran hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi
belum matang dan akan mengalami penyakit membran hialin. Pemberian kortikosteroid
oleh beberapa sarjana dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin.
Penelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan saat ini. Cara yang paling efektif untuk
menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal ini tentu agar sulit
1.4. Komplikasi
1. Pneumotoraks / pneumomediastinum
4. Hipotensi
5. Asidosis
6. Hiponatermi / hipernatremi
7. Hipokalemi
8. Hipoglikemi
9. Intraventricular hemorrhage
19
11. Infeksi sekunder
1.5. Prognosis
beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita
penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20-40% (Scopes, 1971).
20
ASUHAN KEPERAWATAN RDS
(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)
3.1. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta, tipe
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui
operasi caesar.
a. Cardiovaskuler
Murmur sistolik
b. Integumen
Mottling
21
c. Neurologis
Immobilitas, kelemahan
d. Pulmonary
Nafas grunting
Pernapasan dangkal
Sianosis
e. Status behavioral
Letargi
4. Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma dengan
c. Data laboratorium :
Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion
Tingkat phospatydylinositol
22
AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH 7,3-
7,45.
Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
24
MK : Termoregulasi tidak efektif
Penurunan curah
jantung
MK : Penurunan
curah jantung
pengembangan otot.
25
4. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan ventilasi
pulmonal
26
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(NOC) (NIC)
1 Ketidakefektifan Pola nafas NOC : NIC
Bradipnea Setelah dilakukan tindakan Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
keperawatan ..x.. jam diharapkan Pertahankan jalan nafas yang paten
Dispnea
pola nafas pasien teratur dengan Siapkan peralatan oksigenasi
Fase ekspirasi memanjang kriteria : Monitor aliran oksigen
27
Penurunan ventilasi semenit
Pernafasan bibir
Takipnea
Ansietas
Cedera medulaspinalis
Deformitas dinding dada
Deformitas tulang
Disfungsi neuromuskular
Gangguan muskuluskeletal
Gangguan Neurologis
(misalnya :
elektroenselopalogram(EEG)
28
positif, trauma kepala,
gangguan kejang)
Hiperventilasi
Imaturitas neurologis
Keletihan
Keletihan otot pernafasa
Nyeri
Obesitas
Posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru
Sindrom hipoventilasi
29
Gelisah PaCO2 dalam batas normal (35- Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2 darah
45 mmHg) melalui hasil AGD
Hiperkapnia
pH normal (7,35-7,45) Monitor tanda-tanda gagal napas
Hipoksemia
SaO2 normal (95-100%) Monitor
Hipoksia
Tidak ada sianosis Monitor status neurologis
Iritabilitas
Tidak ada penurunan kesadaran Monitor status pernapasan dan status
Konfusi
oksigenasi klien
Nafas cuping hidung
Atur intake cairan
Penurunan karbon dioksida
Auskultasi bunyi napas dan adanya suara napas
pH arteri abnormal tambahan (ronchi, wheezing, krekels, dll)
Sianosis
Somnolen
Takikardia
30
pucat, kehitaman )
Ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi
Perubahan membran alveolar-
kapiler
31
DO : Peningkatan tekanan vena sentral jantung).
(Central venous pressure, CVP) Monitor fungsi peacemaker, jika diperlukan.
Perubahan Frekuensi/Irama Jantung Distensi vena jugularis (-) Evaluasi perubahan tekanan darah.
Bradikardia Disritmia (-) Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada
Perubahan EKG (Contoh : aritmia, Bunyi jantung abnormal (-) kebijaksanaan unit (Contoh medikasi antiaritmia,
abnormalitas konduksi, iskemia) Angina (-) cardioverion, defibrilator), jika diperlukan.
Palpitasi Edema perifer (-) Monitor penerimaan atau respon pasien terhadap
Takikardia Edema paru (-) medikasi antiaritmia.
Diaforesis (-) Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.
Nausea (-)
Perubahan Preload Keletihan (-)
Dispnea saat istirahat (-) Cardiac Care : Acute
Penurunan tekanan vena sentral Dispnea dengan aktivitas sedang
(Central venous pressure, CVP) Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi,
(-) rambatan, durasi, serta faktor yang menimbulkan
Peningkatan tekanan vena sentral Penurunan berat badan
(Central venous pressure, CVP) dan meringankan gejala).
Ascites (-) Monitor EKG untuk perubahan ST, jika
Penurunan tekanan arteri paru Hepatomegali (-)
(Pulmonary artery wedge pressure, diperlukan.
Kelemahan kognitif (-) Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi
PAWP) Pallor (-)
Peningkatan tekanan arteri paru perifer.
Sianosis (-) Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung.
(Pulmonary artery wedge pressure,
PAWP) Auskultasi bunyi jantung.
Edema Circulation Status Auskultasi paru-paru untuk crackles atau suara
Keletihan nafas tambahan lainnya.
Murmur Tekanan darah sistolik (TDS) Monitor efektifitas terapi oksigen, jika diperlukan.
Distensi vena jugularis dalam batas normal (< 120 Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran
Peningkatan berat badan mmHg) oksigen (PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika
Tekanan darah diastolik (TDD) diperlukan.
dalam batas normal (< 80 Monitor status neurologis.
Perubahan Afterload mmHg) Monitor EKG (12-leads), jika diperlukan.
Tekanan nadi yang melebar (-) Monitor fungsi ginjal (Nilai BUN dan kreatinin),
Warna kulit yang abnormal MAP dalam batas normal (60-70 jika diperlukan.
(Contoh : pucat, kehitam- mmHg) Monitor hasil tes untuk fungsi hati, jika
hitaman/agak hitam, sianosis) PaO2 dalam btas normal (80-95 diperlukan.
32
Perubahan tekanan darah mmHg atau 10,6-12,6 kPa) Monitor nilai laboratorium elektrolit yang bisa
Kulit lembab PaCO2 dalam batas normal (35- meningkatkan risiko disritmia (serum K dan Mg),
Penurunan nadi perifer 45 mmHg atau 4,66-5,98 kPa) jika diperlukan.
Penurunan resistensi vaskular paru SpO2 dalam batas normal (> Administrasikan medikasi untuk mengurangi atau
(Pulmonary Vascular Resistance, 95%) mencegah nyeri dan iskemia, sesuai kebutuhan.
PVR) Capillary Refill Time (CRT)
Peningkatan resistensi vaskular dalam batas normal (< 3 detik)
paru (Pulmonary Vascular Hipertensi ortostatik (-) Vital Signs Monitoring
Resistance, PVR) Edema perifer (-) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan RR.
Penurunan resistensi vaskular Ascites (-) Catat adanya fluktuasi tekanan darah.
sistemik Systemic Vascular Keletihan (-) Monitor tekanan darah saat pasien berbaring,
Resistance, PVR) Kelemahan kognitif (-) duduk, atau berdiri, sebelum dan sesudah
Peningkatan resistensi vaskular Pallor (-) perubahan posisi.
sistemik (Systemic Vascular Parathesia (-) Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan
Resistance, PVR) Pitting edema (-) bandingkan.
Dispnea Monitor tekanan darah, nadi, RR, sebelum,
Oliguria selama, dan setelah aktivitas.
Pengisian kapiler memanjang Tissue Perfussion : Cardiac
Monitor kualitas dari nadi.
Frekuensi jantung apikal dan Monitor adanya pulsus paradoksus.
Perubahan Kontraktilitas radial dalam batas normal (60- Monitor adanya pulsus alterans.
100 x/menit) Monitor jumlah dan irama jantung.
Batuk Tekanan darah sistolik (TDS) Monitor bunyi jantung.
Crackle dalam batas normal (< 120 Monitor frekuensi dan irama pernapasan.
Penurunan indeks jantung mmHg) Monitor suara paru-paru.
Penurunan fraksi ejeksi Tekanan darah diastolik (TDD) Monitor pola pernapasan abnormal.
Penurunan indeks kerja pengisian dalam batas normal (< 80 Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit.
ventrikel kiri (Left ventricular mmHg) Monitor sianosis perifer.
stroke work index,LVSWI) MAP dalam batas normal (60-70 Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
Penurunan indeks volume mmHg) melebar, bradikardi, peningkatan sistolik).
sekuncup (Stroke volume index, Angina, aritmia (-) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign.
SVI) Takikardia, bradikardia (-)
Ortopnea Nausea, vomiting (-)
Dispnea parokismal nokturnal
33
Bunyi S3
Bunyi S4
Vital Signs
34
DAFTAR PUSTAKA
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak
Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.
35