Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Disusun Oleh :

PUJI IDA LESTARI 113119067


SITI ROFINGAH 113119060
TOSIX TANDANY 113119070

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
STIKES AL IRSYAD AL ISLAMIYYAH CILACAP
2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang
daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan
pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif. Pada keadaan sakit dapat
terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan
pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic,
trauma, alargi, insfeksi dan lain- lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.
RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane
disease merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan
pertukaran gas. Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh
RDS atau komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2011 didalam Leifer 2014).
Pada penyakit ini, terjadi karena kekurangan pembentukan atau pengeluaran surfaktan
sebuah kimiawi paru-paru. Surfaktan merupakan suatu campuran lipoprotein aktif
dengan permukaan yang melapisi alveoli dan mencegah alveoli kolaps pada akhir
ekspirasi. (Bobak, 2005).
Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea (> 60 x/menit) ,
pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting
(merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain, seperti:
hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan
asidosis respiratory atau asidosis campuran (Bobak, 2014).
Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin
antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA
1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang
ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1%.Di negara berkembang termasuk Indonesia
belum ada laporan tentang kejadian RDS.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease
(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan
adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak
dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah Respiratory Distress
Syndrome (RDS). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi
dengan berat 501-1500 gram (lemons et al,2014).
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun
sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2015). Saat ini RDS didapatkan
kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali
oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS.
Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang
kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan
mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik
penggunaan surfaktan buatan (Willkinson,1985), surfaktan dari cairan amnion manusia
( Merrit,1986), dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine (Enhoring,1985) dapat
dipertanggungjawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai
pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang
disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.

B.Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
b) Bagaimana etiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
c) Bagaimana patofisiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
d) Bagaimana manifestasi klinik dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
e) Bagaimana komplikasi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
f) Bagaimana pemeriksaan penunjang dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
g) Bagaimana pencegahan dari RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
h) Bagaimana penatalaksaan untuk RDS (Respiratory Distress Syndrome) ?
i) Bagaimana asuhan keperawatan pada masa neonatus dengan RDS (Respiratory
Distress Syndrome)

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk pemenuhan tugas keperawatan anak mengenai asuhan keperawatan
pada masa neonatus dengan RDS (Respiratory Distress Syndrome) serta mahasiswa
dapat mengetahui dan mendeskripsikan tentang RDS (Respiratory Distress
Syndrome)

2. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui definisi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
 Untuk mengetahui etiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
 Untuk mengetahui patofisiologi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
 Untuk mengetahui manifestasi klinik RDS (Respiratory Distress Syndrome)
 Untuk mengetahui komplikasi dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari RDS (Respiratory Distress
Syndrome)
 Untuk mengetahui pencegahan dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari RDS (Respiratory Distress Syndrome)
 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada masa neonatus dengan dengan
RDS (Respiratory Distress Syndrome)
BAB II
TINJAUAN TEORI

I. DEFINISI

Sindrom distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem


pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai
hyaline membrane disease (HMD). Penyakit membran hialin atau idiopathic respiratory
distress syndrome (IRSDS) disebabkan oleh kekurangan surfaktan, suatu zat aktif pada
alveoli yang mencengah kolaps paru. PMH seringkali terjadi pada bayi prematur,
karena produksi surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai
jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadinya PMH. Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi
prematur.

RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan
tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang
menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
(Stark,2014).

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease


(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang (Mansjoer, 2015).

RDS adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas gejala dispneu,
pernafasan cepat lebih dari 60 kali permenit, sianosis, merintih pada saat ekspirasi;
terdapat retraksi pada suprasternal, interkostal dan epigastrium. Pada penyakit ini
terjadi perubahan paru yaitu berupa pembentukan jaringan hialin pada membran paru
yang rusak.Kerusakan pada paru timbul akibat kekurangan komponen surfaktan
pulmonal. Surfaktan adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan pada ruang
antar alveoli sehingga dapat mencegah pergesekan dan timbulnya kerusakan pada
alveoli yang selanjutnya akan mencegah terjadinya kolaps paru. (Yuliani, 2015)
II. ETIOLOGI

RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda
usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting
penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal
diabetes, secsiocaesaria.
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk
menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang
paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul
segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi
karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan
penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), Faktor-
faktornya antara lain :

1. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida emmpat atau lebih, sosial
ekonomi rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu
pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit diabetes mellitus, dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
3. Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kelainan kongenital pada
neonaatus dan lain-lain.
4. Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
III. PATOFISIOLOGI

Berbagai teori telah dikemukakam sebagai penyebab kelainan ini. pembentukan


subtansi surfaktan paru yang tidak sempurma dalam paru, merupakan alah satu teori
yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memenggang penaranan dalam
pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein,
karbohidrat dan lemak. Senyawa utama zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk
pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksismum pada minggu ke-35. Fungsi
surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus hingga tidak terjadi
kolaps dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi. Defisiensi zat surfaktan
yang ditemukan pada PMH akan menyebabkan kemampuan paru untuk
mempertahankan stabilitas menjadi terganggu; alveolus akan kembali kolaps setiap
akhir ekspirasi, sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif
intratoraks yang lebih besar dan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru
ini memnyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO², dan
asidosis hipoksia akan menimbulkan:

a) Oksigenansi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anerobik yang


menimbulkan asam laktat dan asam organik yang menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik pada bayi.
b) Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin, selanjutnya fibrin
bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suartu lapisan
yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan
gangguan sirkulasi darah dari jantung. Demuikian pula aliran darah paru akan
menurun dan ini menyebabkan pembentukan zat surfaktan.

Secara singkat patofisiologinya dapat dilukiskan sebagai berikut:


atelektasis→hipksemia→hipoksia→asidosis→transudasi→penurunan aliran darah
paru→hambatan pembentukkan zat surfaktan→atelektasis. Hal ini berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian.
IV. MANIFESTASI KLINIK
Umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram atau 30-
36 minggu. Jarang pada bayi cukup bulan, dan sering disertai dengan riwayat asfiksia
pada waktu lahir atau tanda gawat janin pada akhir kehamilan. Gangguan pernapasan
mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai
terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membalik maka gejala akan menghilang
pada akhir minggu pertama. Bayi tampak dispenia da hiperpnea;sianosis;sianosis
karena pirau vena- arteri dalam apru dan jantung; retraksi suprasternal,
epibradikardia,hipotensi, kardiomegali,edema terutama didaerah dorsal tangan dan
kaki,hiportemia, dan tonus otot yang menurun. Gejala sentral dapat terlihat bila terjadi
komplikasi. Tanda dan gejala yang muncul biasanya adalah:

1. Manifestasi klinis respirasi


 Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per menit)
 Sianosis sentral pada suhu kamaryang menetap atau memburuk pada 48-96
jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
 Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
 Grunting : suara merintih saat ekspirasi
 Pernapasan cuping hidung
 Krepitasi inspirasi halus
 Dyspnea
2. Manifestasi ketika penyakit berkembang
 Apnea
 Flaksiditas
 Tidak bergerak
 Tidak berespons
 Suara nafas berkurang
 Bercak-bercak
3. Manifestasi berhubungan dengan penyakit berat
 Keadaan seperti syok
 Penurunan retum jantung dan bradikardia
 Tekanan darah sistemik rendah T
Tabel . Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Pemeriksaan Skor
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan 02 walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi:
< 3 =gawat napas ringan
4-5 = gawat napas sedang
> 6 = gawat napas berat

V. PENATALAKSANAAN

Tindakan umum yang perlu dilakukan ialah:


i. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan
agar tetap daloam batas normal (36,5ᵒ-37ᵒC) dengan cara meletakkan bayi dan
inkubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat (70-80%).
ii. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena
berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian 0₂ yanmg terlalu
banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti: fibrosis paru, kerusakan
retina(fibroplasia retrolental) dan lain-lain. Untuk mencegah timbulnya
komplikasi, pemberian 0₂ sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisis gas
darah arteri. Bila fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah arteri tidak ada
,maka 0₂ diberikkan dengan konsentarsi 0₂ tidak adalebih dari 40% sampai gejala
sianosis menghilang. Pada PMH berat diperlukan bantuan pernapasan dengan
respirator.
iii. Pemberian cairan dengan elektorlit sangat perlu untuk mempertahankan
homoeotosis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-
10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125
ml/kg BB/ hari. Asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi
dangan memberikan NaHCO3 secara intravena. Rumus pemberian NaCHO3
(mEq)= defisit basa x 0,3 x berat badan bayi; cara memberikanya setengahnya
diberikan secara bolus intravena, dan sisanya melalui tetesan . NaHCO3 berguna
untuk mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45. Bila tidak fasilitas untuk
pemeriksaan analisis gas darah, NaHCO3 dapat diberi langsung melalui tetesan
dengan menggunakan campuran larutan glukosa 5- 10% dan NaHCO3 1,5%
dalam perbandingan 4:1. Perlu pemantauan apakah pemberian basa telah adekuat.

iv. Pembrian antibiotik. Bayi dengan PMH perluh mendapat antibiotik untuk
mencengah infeksi sekunder. Dapat diberikkan penisilin dengan dosis 50.000-
100.000 U/ kg BB/ hari,dengan atau tanpa gentamisisin 3-5 mg/kg BB/hari.
v. Kemajuan terakhir dalam pnengobatan pasien PMH pemberian surfaktan eksogen
(surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif, namun harganya amat mahal.

Setelah manajemen umum segera lakukan manajemen lanjut sesuai dengan


kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Manajemen spesifik dan
manajemen lanjut antara lain

1. Pentalaksanaa pada gangguan nafas ringan (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2014)
Gangguan nafas ringan pada bayi yang mengalami gangguan nafas ringan disebut
Transient Tacypnea of the Newborn (TTN) yang biasanya terjadi karena bedah
sesar. Kondisi ini dapat normal kembali tanpa adanya pengobatan. Gangguan nafas
ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
a. Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
b. Bila pernafasan memburuk atau timbul gejala sepsis, terapi untuk mengurangi
sepsis.
c. Berikan ASI bila bayi mampu menyusui, jika tidak mampu peras ASI.
d. Kurangi pemberian 02 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
nafas, hentikan pemberian 02 jika frekuensi nafas antara 30-6- kali/menit.
e. Amati bayi selama 24 jam selanjutnya, jika frekuensi nafas menetap antaran 30-60
kali/menit, tidak ada sepsis, dan tidak ada masalah lain yang memerlukan
perawatan bayi dapat dipulangkan.
2. Gangguan nafas sedang (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2014)
a. Lanjutkan pemberian 02 dengan kecepatan aliran sedang
b. Bayi tidak diberikan minum
c. Ambil sampel darah untuk kultur dan berikan antibiotic (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungknan besar sepsis jika tidak ada tanda- tanda sebagai berikut :

- Suhu aksiler <35oC atau >39oC


- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterine, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah
dini (>18 jam)
d. Bila suhu aksiler 34-36,5oC atau 37,5-39oC tangani untuk masalah suhu abnormal
dan ulang setelah 2 jam.

- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan pernafasan masih belum ada
perbaikan, ambil sampel darah dan berikan antibiotik untuk terapi
kemungkinan sepsis.

- Jika suhu abnormal, teruskan amati bayi. Jika suhu kembali abnormal ulangi
tahapan diatas.
e. Bila tidak ada tanda-tanda ke arah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila
bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis.
f. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan (frekuensi nafas menurun,
tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang)

- Kurangi terapi 02 secara bertahap

- Pasang pipa lambung dan berikan ASI peras setiap 2 jam

- Bila pemberian 02 tidak diperlukan lagi, bayi mulai dilatih menyusui


g. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Jika bayi
kembali tampak kemerahan tanpa pemberian 02 selama 3 hari, bayi dapat
dipulangkan dan bayi sudah bisa diberikan ASI
3. Gangguan Napas Berat

Semakin kecil bayi kemungkinan terjadi gangguan nafas semakin sering dan
semakin berat. Pada bayi kecil ( berat lahir <2500 gram atau umur kehamilan <37
minggu) gangguan nafas kering memburuk dala waktu 36-48 jam pertama dan tidak
banyak terjadi perubahan dalam satu dua hari berikutnya dan kemudian akan
membaik pada hari ke 4-7.
a) Tentukan pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang (antara rendah dan
tinggi)
b) Tangani sebagai kemungkinan besar sepsis.
c) Bila bayi menunjukkan tanda pemburukan atau terhadap terhadap sianosis
sentral,naikan pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi. Jika gangguan nafas
bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap walaupun diberikan O2 100%
bila kemungkinan segera rujuk bayi kerumah sakit rujukan atau ada fasilitas dan
mampu memakai ventilator mekanik.
d) Jika gangguan nafas masih menetap selama 2 jam, pasanng pipa lambung untuk
mengosongkan cairan lambung dan udara.
e) Nilai kondisi bayi 4 kali sehari apa bila ada tanda perbaikan.
f) Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekkuensi nafas
menurun,tarikan dinding dada berkurang, warna kulit membaik), maka :
(1) Kurangi pemberian O2
Jangan meneruskan pemberian O2 bila tidak perlu hentikan pemberian O2
bila bayi diletakkan pada udara ruangan tanpa pemberian O2 tidak
mengalami gangguan nafas dan tampak kemerahan.
(2) Mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambunng.
(3) Bila pemberian O2 tak diperlukan lagi,bayi mulai dilatih dengn menggunakan
salah satu alternafif cara pemberian minum.
VI. PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi
resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan
seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen
yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:

 Mencegah kelahiran < bulan (premature)


 Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
 Management yang tepat.
 Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
 Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
 Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.

VII. KOMPLIKASI

1) Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :


a. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba2
memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi.

b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat
respirasi.

c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventricular

Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan


frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi


bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

2) Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :


a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada
bayi dengan masa gestasi 36 minggu.BPD berhubungan dengan tingginya

13
volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.

b. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.

14
VIII. PATHWAYS

15
1.1. Pemeriksaan Diagnostik

1. Gambaran radiologis

Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen

toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan

penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin,

misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang

ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate

retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa

pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran

hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.

2. Gambaran laboratorium

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah :

a. Pemeriksaan darah

Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,

prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi

normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya

oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi,

karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH

darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan

metabolik dalam tubuh.

b. Pemeriksaan fungsi paru

Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi pernapasan

yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan pada fungsi

paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang,

16
functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas.

Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.

c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler

Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan dalam

fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau

pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri

paru dan sistemik.

3. Gambaran patologi/histopatologi

Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin

di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang

mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel

eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.

1.2. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan

a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar

tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam

inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).

b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena

berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu banyak

dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias

retrolental), dll.

17
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan homeostasis

dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan

jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari.

asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan

NaHCO3 secara intravena.

d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk

mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000

u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5

mg/kg BB/hari.

e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan

eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat mahal.

2. Penatalaksanaan keperawatan

Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat badan lahir

1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh karena itu, bayi ini

tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir yang demikian harus

selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya

kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan pernapasna, kesuakran

dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi, kebutuhan rasa aman dan nyaman

(kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2005).

1.3. Pencegahan

Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum

sempurna karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah

18
kelainan bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan

sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971)

memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung

perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan

lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir tidak akan menderita

penyakit membran hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi

belum matang dan akan mengalami penyakit membran hialin. Pemberian kortikosteroid

oleh beberapa sarjana dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin.

Penelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan saat ini. Cara yang paling efektif untuk

menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal ini tentu agar sulit

dikerjakan pada beberapa komplikasi kehamilan tertentu.

1.4. Komplikasi

1. Pneumotoraks / pneumomediastinum

2. Pulmonary interstitial dysplasia

3. Patent ductus arteriosus (PDA)

4. Hipotensi

5. Asidosis

6. Hiponatermi / hipernatremi

7. Hipokalemi

8. Hipoglikemi

9. Intraventricular hemorrhage

10. Retinopathy pada prematur

19
11. Infeksi sekunder

(Suriadi dan Yuliani, 2006).

1.5. Prognosis

Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan

beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita

penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20-40% (Scopes, 1971).

20
ASUHAN KEPERAWATAN RDS
(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

3.1. Pengkajian

1. Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal

pengkajian.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat maternal

Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta, tipe

dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.

b. Status infant saat lahir

Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui

operasi caesar.

3. Data dasar pengkajian

a. Cardiovaskuler

 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat

 Murmur sistolik

 Denyut jantung DBN

b. Integumen

 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral

 Pitting edema pada tangan dan kaki

 Mottling

21
c. Neurologis

 Immobilitas, kelemahan

 Penurunan suhu tubuh

d. Pulmonary

 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)

 Nafas grunting

 Pernapasan cuping hidung

 Pernapasan dangkal

 Retraksi suprasternal dan substernal

 Sianosis

 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea

e. Status behavioral

 Letargi

4. Pemeriksaan Doagnostik

a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma dengan

over distensi duktus alveolar

b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas

c. Data laboratorium :

 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion

(untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)

 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru

 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu

 Tingkat phospatydylinositol

22
 AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH 7,3-

7,45.

 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel

alveolar yang rusak.

3.2. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1 DO : Surfaktan ↓ Kerusakan
pertukaran gas
- Hiperkapnea 
- Hipoksia
- Takipnea Tegangan permukaan alveolus ↑
- Sianosis 
- Letargi
- Dispnea Ketidakseimbangan infasi saat inspirasi
- GDA abnormal

- Pucat
Kolaps alveoli

Gangguan ventilasi pulmonal

Hipoksia Retensio CO2 Peningkatan


pulmonary
  vaskular
Kerusakan endotel Asidosis resistance
dan epitel duktus respiratorik 
arteriousus
 Hipoperfusi

Vasokonstriksi jaringan paru
Transudasi alveoli
 

Penurunan Menurunkan
Pembentukan aliran darah
sirkulasi paru dan
fibrin pulmonal
perfusi alveolar

Membran hialin
melapisi alveoli
23
Kerusakan
pertukaran gas

2 DO : Surfaktan menurun Pola napas tidak


efektif
- Dispnea; takipnea 
- Periode apnea
- Pernapasan cuping Janin tidak dapat menjaga rongga paru tetap
hidung Mengembang
- Retraksi dinding
dada 
- Sianosis
Usaha inspirasi lebih kuat
- Mendengkur
- Napas grunting 
- Kelelahan
- Sukar bernapas
- Dispnea
- Retraksi dinding dada
- Kelelahan
- Pernapasan cuping hidung

MK : pola nafas tidak efektif

3 DO : Metabolisme anaerob Termoregulasi


tidak efektif
- Hipotermia 
- Letargi
- Menangis buruk Timbunan asam laktat
- Aterosianosis Asidosis metabolik
- Takipnea; apnea
- Turgor kulit buruk 
- Hipoglikemia
Kurangnya cadangan glikogen dan lemak coklat

Respons menggigil pada bayi kurang/tidak ada

Bayi kehilangan panas tubuh/tidak dapat
meningkatkan panas tubuh

24
MK : Termoregulasi tidak efektif

4 DO : Kolaps paru Risiko tinggi


penurunan curah
- Bradikardia 
jantung
- Sianosis umum
- Pucat Gangguan ventilasi pulmonal
- Hipotensi 
- Dispnea
- Edema perifer Hipoksia Peningkatan PVR
- Lelah
- Murmur sistolik  
Kontriksi Pembalikan parsial
vaskularisasi sirkulasi darah
pulmonal
janin

Penurunan
oksigenasi
jaringan


Penurunan curah
jantung
MK : Penurunan
curah jantung

3.3. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan,

ketidakseimbangan perfusi ventilasi.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi/kelelahan, keterbatasan

pengembangan otot.

3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan,

peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS.

25
4. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan ventilasi

pulmonal

26
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(NOC) (NIC)
1 Ketidakefektifan Pola nafas NOC : NIC

Batasan Karakteristik : Respiratory status : Ventilation Oxygen Therapy

 Bradipnea Setelah dilakukan tindakan  Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
keperawatan ..x.. jam diharapkan  Pertahankan jalan nafas yang paten
 Dispnea
pola nafas pasien teratur dengan  Siapkan peralatan oksigenasi
 Fase ekspirasi memanjang kriteria :  Monitor aliran oksigen

 Ortopnea  Irama pernafasan teratur/  Monitor respirasi dan status O2


tidak sesak  Pertahankan posisi pasien
 Penggunaan otot bantu
 Pernafasan dalam batas normal  Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul
pernafasan
(dewasa: 16-20x/menit) yang digunakan.
 Penggunaan posisi tiga titik  Kedalaman pernafasan normal  Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah

 Peningkatan diameter  Suara perkusi jaringan paru diberikan

anterior-posterior normal (sonor)  Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi


 Cemas berkurang  Monitor tingkat kecemasan pasien yang
 Penurunan kapasitas vital
kemungkinan diberikan terapi O2
 Penurunan tekanan ekspirasi

 Penurunan tekanan inspirasi

27
 Penurunan ventilasi semenit

 Pernafasan bibir

 Pernafasan cuping hidung

 Pernafasan ekskursi dada

 Pola nafas abnormal (mis.,


irama, frekuensi, kedalaman)

 Takipnea

Faktor yang berhubungan

 Ansietas
 Cedera medulaspinalis
 Deformitas dinding dada
 Deformitas tulang
 Disfungsi neuromuskular
 Gangguan muskuluskeletal
 Gangguan Neurologis
(misalnya :
elektroenselopalogram(EEG)

28
positif, trauma kepala,
gangguan kejang)
 Hiperventilasi
 Imaturitas neurologis
 Keletihan
 Keletihan otot pernafasa
 Nyeri
 Obesitas
 Posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru
 Sindrom hipoventilasi

2 Gangguan pertukaran gas NOC NIC

Batasan Karakteristik : Respiratory status: Gas Exchange Acid Base Management

 Diaforesis Setelah dilakukan tindakan  Pertahankan kepatenan jalan nafas


keperawatan ..x.. jam diharapkan
 Dispnea  Posisikan pasien untuk mendapatkan ventilasi
hasil AGD pasien dalam batas
yang adekuat(mis., buka jalan nafas dan
 Gangguan pengelihatan normal dengan kriteria hasil :
tinggikan kepala dari tempat tidur)
 Gas darah arteri abnormal PaO2 dalam batas normal (80-
 Monitor hemodinamika status (CVP & MAP)
100 mmHg)

29
 Gelisah PaCO2 dalam batas normal (35-  Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2 darah
45 mmHg) melalui hasil AGD
 Hiperkapnia
pH normal (7,35-7,45) Monitor tanda-tanda gagal napas
 Hipoksemia
SaO2 normal (95-100%) Monitor
 Hipoksia
Tidak ada sianosis Monitor status neurologis
 Iritabilitas
Tidak ada penurunan kesadaran Monitor status pernapasan dan status
 Konfusi
oksigenasi klien
 Nafas cuping hidung
Atur intake cairan
 Penurunan karbon dioksida
Auskultasi bunyi napas dan adanya suara napas
 pH arteri abnormal tambahan (ronchi, wheezing, krekels, dll)

 Pola pernafasan abnormal (mis., Kolaborasi pemberian nebulizer, jika


kecepatan, irama, kedalaman) diperlukan

 Sakit kepala saat bangun Kolaborasi pemberian oksigen, jika diperlukan.

 Sianosis

 Somnolen

 Takikardia

 Warna kulit abnormal (mis.,

30
pucat, kehitaman )

Faktor yang berhubungan :

 Ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi
 Perubahan membran alveolar-
kapiler

3 Penurunan curah jantung Setelah diberikan asuhan NIC Label :


keperawatan selama ...... x ...... jam,
berhubungan dengan : Cardiac Care
diharapkan
 Perubahan frekuensi jantung (Heart ...........................................................  Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi,
rate, HR) ........................................................... rambatan, durasi, serta faktor yang menimbulkan
 Perubahan ritme jantung ................................ dan meringankan gejala).
 Perubahan afterload  Monitor EKG untuk perubahan ST, jika
 Perubahan kontraktilitas NOC Label : diperlukan.
 Perubahan preload Cardiac Pump Effectiveness  Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi
 Perubahan volume sekuncup perifer (Cek nadi perifer, edema,CRT, serta warna
 Tekanan darah sistolik (TDS) dan temperatur ekstremitas) secara rutin.
dalam batas normal (< 120  Monitor tanda-tanda vital secara teratur.
DS : mmHg)  Monitor status kardiovaskuler.
..............................................................  Tekanan darah diastolik (TDD)  Monitor disritmia jantung.
.............................................................. dalam batas normal (< 80  Dokumentasikan disritmia jantung.
mmHg)  Catat tanda dan gejala dari penurunan curah
..............................................................
 Frekuensi jantung (Heart rate, jantung.
..............................................................
HR) dalam batas normal (60-100  Monitor status repirasi sebagai gejala dari gagal
.............................................................. x/menit) jantung.
..............................................................  Peningkatan fraksi ejeksi  Monitor abdomen sebagai indikasi penurunan
..............................................................  Peningkatan nadi perifer perfusi.
.............................................................  Oliguria (-)  Monitor nilai laboratorium terkait (enzim

31
DO :  Peningkatan tekanan vena sentral jantung).
(Central venous pressure, CVP)  Monitor fungsi peacemaker, jika diperlukan.
Perubahan Frekuensi/Irama Jantung  Distensi vena jugularis (-)  Evaluasi perubahan tekanan darah.
 Bradikardia  Disritmia (-)  Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada
 Perubahan EKG (Contoh : aritmia,  Bunyi jantung abnormal (-) kebijaksanaan unit (Contoh medikasi antiaritmia,
abnormalitas konduksi, iskemia)  Angina (-) cardioverion, defibrilator), jika diperlukan.
 Palpitasi  Edema perifer (-)  Monitor penerimaan atau respon pasien terhadap
 Takikardia  Edema paru (-) medikasi antiaritmia.
 Diaforesis (-)  Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.
 Nausea (-)
Perubahan Preload  Keletihan (-)
 Dispnea saat istirahat (-) Cardiac Care : Acute
 Penurunan tekanan vena sentral  Dispnea dengan aktivitas sedang
(Central venous pressure, CVP)  Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi,
(-) rambatan, durasi, serta faktor yang menimbulkan
 Peningkatan tekanan vena sentral  Penurunan berat badan
(Central venous pressure, CVP) dan meringankan gejala).
 Ascites (-)  Monitor EKG untuk perubahan ST, jika
 Penurunan tekanan arteri paru  Hepatomegali (-)
(Pulmonary artery wedge pressure, diperlukan.
 Kelemahan kognitif (-)  Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi
PAWP)  Pallor (-)
 Peningkatan tekanan arteri paru perifer.
 Sianosis (-)  Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung.
(Pulmonary artery wedge pressure,
PAWP)  Auskultasi bunyi jantung.
 Edema Circulation Status  Auskultasi paru-paru untuk crackles atau suara
 Keletihan nafas tambahan lainnya.
 Murmur  Tekanan darah sistolik (TDS)  Monitor efektifitas terapi oksigen, jika diperlukan.
 Distensi vena jugularis dalam batas normal (< 120  Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran
 Peningkatan berat badan mmHg) oksigen (PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika
 Tekanan darah diastolik (TDD) diperlukan.
dalam batas normal (< 80  Monitor status neurologis.
Perubahan Afterload mmHg)  Monitor EKG (12-leads), jika diperlukan.
 Tekanan nadi yang melebar (-)  Monitor fungsi ginjal (Nilai BUN dan kreatinin),
 Warna kulit yang abnormal  MAP dalam batas normal (60-70 jika diperlukan.
(Contoh : pucat, kehitam- mmHg)  Monitor hasil tes untuk fungsi hati, jika
hitaman/agak hitam, sianosis)  PaO2 dalam btas normal (80-95 diperlukan.

32
 Perubahan tekanan darah mmHg atau 10,6-12,6 kPa)  Monitor nilai laboratorium elektrolit yang bisa
 Kulit lembab  PaCO2 dalam batas normal (35- meningkatkan risiko disritmia (serum K dan Mg),
 Penurunan nadi perifer 45 mmHg atau 4,66-5,98 kPa) jika diperlukan.
 Penurunan resistensi vaskular paru  SpO2 dalam batas normal (>  Administrasikan medikasi untuk mengurangi atau
(Pulmonary Vascular Resistance, 95%) mencegah nyeri dan iskemia, sesuai kebutuhan.
PVR)  Capillary Refill Time (CRT)
 Peningkatan resistensi vaskular dalam batas normal (< 3 detik)
paru (Pulmonary Vascular  Hipertensi ortostatik (-) Vital Signs Monitoring
Resistance, PVR)  Edema perifer (-)  Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan RR.
 Penurunan resistensi vaskular  Ascites (-)  Catat adanya fluktuasi tekanan darah.
sistemik Systemic Vascular  Keletihan (-)  Monitor tekanan darah saat pasien berbaring,
Resistance, PVR)  Kelemahan kognitif (-) duduk, atau berdiri, sebelum dan sesudah
 Peningkatan resistensi vaskular  Pallor (-) perubahan posisi.
sistemik (Systemic Vascular  Parathesia (-)  Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan
Resistance, PVR)  Pitting edema (-) bandingkan.
 Dispnea  Monitor tekanan darah, nadi, RR, sebelum,
 Oliguria selama, dan setelah aktivitas.
 Pengisian kapiler memanjang Tissue Perfussion : Cardiac
 Monitor kualitas dari nadi.
 Frekuensi jantung apikal dan  Monitor adanya pulsus paradoksus.
Perubahan Kontraktilitas radial dalam batas normal (60-  Monitor adanya pulsus alterans.
100 x/menit)  Monitor jumlah dan irama jantung.
 Batuk  Tekanan darah sistolik (TDS)  Monitor bunyi jantung.
 Crackle dalam batas normal (< 120  Monitor frekuensi dan irama pernapasan.
 Penurunan indeks jantung mmHg)  Monitor suara paru-paru.
 Penurunan fraksi ejeksi  Tekanan darah diastolik (TDD)  Monitor pola pernapasan abnormal.
 Penurunan indeks kerja pengisian dalam batas normal (< 80  Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit.
ventrikel kiri (Left ventricular mmHg)  Monitor sianosis perifer.
stroke work index,LVSWI)  MAP dalam batas normal (60-70  Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
 Penurunan indeks volume mmHg) melebar, bradikardi, peningkatan sistolik).
sekuncup (Stroke volume index,  Angina, aritmia (-)  Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign.
SVI)  Takikardia, bradikardia (-)
 Ortopnea  Nausea, vomiting (-)
 Dispnea parokismal nokturnal

33
 Bunyi S3
 Bunyi S4
Vital Signs

Perilaku/Emosi  Temperatur tubuh dalam batas


normal (36,5-37,5oC)
 Kecemasan atau ansietas  Frekuensi jantung apikal dalam
 Gelisah batas normal (60-100 x/menit)
 RR dalam batas normal (12-20
x/menit)
 Tekanan darah sistolik (TDS)
dalam batas normal (< 120
mmHg)
 Tekanan darah diastolik (TDD)
dalam batas normal (< 80
mmHg)

34
DAFTAR PUSTAKA

Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk


Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak
Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.

Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

35

Anda mungkin juga menyukai