Gangguan kepribadian adalah pola perilaku atau cara berhubungan dengan orang lain
yang benar-benar kaku. Kekakuan tersebut menghalangi mereka untuk menyesuaikan diri
terhadap tuntutan eksternal. Tanda-tanda gangguan kepribadian dapat dideteksi pada masa
kanak-kanak. Anak-anak dengan gangguan psikologis seperti gangguan tingkah laku, depresi,
kecemasan, dan ketidakmatangan, lebih besar risikonya untuk mengembangkan gangguan
kepribadian di kemudian hari.
Orang dengan gangguan kepribadian pada umumnya tidak merasa merasa perlu untuk
berubah. DSM menyebutkan bahwa orang dengan gangguan kepribadian cenderung
menganggap trait-trait mereka sebagai ego syntonic atau bagian alami dari diri mereka.
Akibatnya, mereka cenderung dibawa ke ahli kesehatan mental oleh orang lain daripada oleh
diri mereka sendiri. Sebaliknya, orang dengan gangguan kecemasan atau gangguan mood
cenderung menganggap perilaku terganggu mereka sebagai ego dystonic atau bukan bagian dari
bagian dari identitas diri mereka sehingga mereka cenderung mencari pertolongan untuk melepaskan
distres yang disebabkan oleh perilaku itu.
DSM membagi gangguan kepribadian menjadi 3 kelompok:
1. Kelompok A (Ditandai oleh Perilaku Aneh atau Eksentrik)
Mencakup gangguan kepribadian paranoid, skizoid, dan skizotipal. Orang dengan gangguan
ini sering memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, atau menunjukkan sedikit
atau tidak adanya minat dalam mengembangkan hubungan sosial.
Gangguan kepribadian paranoid
Trait penentu dalam gangguan ini adalah perasaan curiga yang pervasif—
kecenderungan untuk menginterpretasi perilaku orang lain sebagai hal yang mengancam
atau merendahkan. Orang dengan gangguan ini sangat tidak percaya pada orang lain
sehingga mengganggu hubungan sosial mereka.
Orang dengan kepribadian paranoid cenderung terlalu sensitif terhadap kritikan.
Mereka tidak terima bila mereka pikir mereka telah diperlakukan dengan buruk. Mereka
mempertanyakan ketulusan dan kelayakan untuk dipercaya dari teman dan rekan-rekan
mereka. Akibatnya, mereka hanya memiliki sedikit teman dan hubungan erat. Saat
membangun hubungan erat, mereka mencurigai kesetiaan. Mereka tidak mau disalahkan
untuk kekeliruan mereka, meski sudah diberi bukti-bukti, dan mereka dianggap oleh orang
lain sebagai dingin, menjaga jarak, punya rencana licik, pembohong, dan tidak memiliki rasa
humor. Mereka cenderung argumentatif dan dapat mengajukan tuntutan hukum berulang
kali terhadap orang yang mereka yakini telah memperlakukan mereka dengan buruk.
Para klinisi perlu menimbang faktor budaya dan sosial politik saat melakukan
diagnosis gangguan kepribadian paranoid. Mereka bisa saja para imigran atau kelompok
etnik minoritas, tahanan politik, atau orang dari budaya lain yang berperilaku sangat hati-
hati atau defensif. Perilaku ini dapat merefleksikan ketidakbiasaan dengan bahasa, adat
istiadat, atau aturan dan regulasi dalam budaya mayoritas; mungkin juga merefleksikan
kecurigaan budaya yang muncul dari sejarah pengabaian atau penindasan terhadap budaya
atau kelompok etnik individu. Perilaku seperti itu sebaiknya tidak dirancukan dengan
gangguan kepribadian paranoid.
Meskipun kecurigaan orang yang menderita gangguan kepribadian paranoid sangat
berlebihan dan tidak berdasar, tidak terdapat kehadiran delusi paranoid yang menandai pola
pikir dari orang yang menderita skizofrenia paranoid.