Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIK (CHRONIC RENAL FAILURE)

DISUSUN OLEH:

FRIENDKY PO.62.20.1.17.325

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA


D-IV KEPERAWATAN REGULER 4
TAHUN 2019
GAGAL GINJAL KRONIK

A. Pengertian
Penyakit gagal ginjal kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. (Suri, R. S.
2015).
Gagal ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal ini
irreversible. Eksaserbasi nefritis, obstruksi saluran kemih, kerusakan vascular akibat diabetes
mellitus, dan hipertensi yang berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan pembnetukan
jaringan parut pembuluh darah dan hilangnya fungsi ginjal secara progresif. (Baradero,
2008).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat
pada setiap nefron (biasanya berlangsung beberapa tahun dan tidak reversible). (Price &
Wilson, 2006).
Berdasarkan National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality
Initiative (K/000/) Guideline Update tahun 2002, definisi penyakit gagal ginjal kronik (GGK)
adalah kerusakan ginjal lebih dari tiga bulan berupa kelainan struktur dinjal dapat atau tanpa
disertai penurunan laju filtrasi glomerulus yang ditandai dengan kelainan patologi, adanya
pertanda kerusakan ginjal dapat berupa kelainan laboratorium darah atau urine atau kelainan
radiologi. LFG <60 ml/menit/1,73 m2 selama >3 bulan dapat disertai atau tanpa disertai
kerusakan ginjal.(Aziz, M. Farid, dkk, 2008).

B. Etiologi
Kondisi ini mungkin disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi
tak terkontrol, lesi herediter seperti pada penyakit polikistik, kalianan vascular, obstruksi
saluran perkemihan, penyakit ginjal sekunder akibat penyakit sistemik (diabetes), infeksi,
obat-obatan, atau preparat toksik. Preparat lingkungan dan okupasi yang telah menunjukkan
mempunyai dampak dalam gagal ginjal kronik termasuk timah, cadmium, merkuri, dan
kromium. Pada akhirnya dialysis atau transplantasi ginjal diperlukan untuk menyelamatkan
pasien. (Baughman, 2000).
Penyebab utama End-Stage Renal Disease (ESRD) adalah diabetes mellitus 32%,
hipertensi 28%, dan glomerulonefritis 45%. Progresi gagal ginjal kronik melewati empat
tahap, yaitu penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal, dan ESRD.
(Baradero, 2008).
C. Manifestasi Klinis
Pasien akan menunjukkan beberapa tanda gejala, keparahan kondisi bergantung pada tingkat
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
1. Manifestasi kardiovaskular: hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema pulomonal,
perikarditis. Hipertensi dapat menyebabkan pembuluh darah pada ginjal mengerut
(vasokonstriksi) sehingga aliran nutrisi ke ginjal terganggu dan mengakibatkan kerusakan
sel-sel ginjal. Pada akhirnya, dapat terjadi gangguan fungsi ginjal. Apabila tidak segera
teratasi dapat terjadi gagal ginjal terminal yang hanya dapat ditangani dengan cuci darah
(hemodialisis) atau cangkok ginjal. (Dalimartha, 2008).
2. Gejala dermatologis: gatal-gatal hebat (pruritis), serangan uremik tidak umum karena
pengobatan dini dan agresif.
3. Gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah dan cegukan, penurunan aliran saliva,
haus, rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap,
parotitis atau stomatitis.
4. Perubahan neuromuscular: perubahan tingkat kesadaran, kacau mental, letidakmampuan
konsentrasi, kedutan otot dan kejang.
5. Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan.
6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum.
7. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernapasan menjadi Kussmaul, dan
terjadi koma dalam, sering dengan konvulsi (kedutan mioklonik) atau kedutan otot.

D. Patofisiologi & Pathway


Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) patofisiologi
penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya
kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan
meningkatnya kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60% pasien masih
belum merasakan keluhan (asimptomatik). Tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang
dari 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritis, mual, muntah
dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas,
maupun infeki saluran cerna, gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi ang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi
penggganti ginjal antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
1. Stadium I
Dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal, penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
2. Stadium II
Dinamakan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini dimana lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak. GFR besarnya 25% dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum
mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di malam hari
samapi 700 ml dan poliuria (akibat kegagalan pemekatan) mulai timbul.
3. Stadium III
Dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Sekitar 90% dari massa nefron telah
hancur atau rusak, atau hanya 20.000 nefron saja ynag masih utuh. Nilai GFR hanya 10%
dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan meningkak dengan mencolok.
Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis
cairan dan elektrolit dalam tubuh yaitu oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom
uremik.
Pathway Gagal Ginjal Kronik

Vaskuler

Diabetes melitus hipertensi

↑ kadar gula Vasokonstriksi


dalam darah pembuluh darah,
↑tekanan darah
Darah menjadi dalam arteri
kental
Merusak pembuluh
↑ tekanan darah nefron secara
kapiler dalam langsung
ginjal

Kerusakan Ginjal kehilangan


pembuluh darah di kemampuan laju
ginjal filtrasi glomerulus

GFR menurun

Hipertrofi struktural dan fungsional

Terjadi peningkatan renin angiotensin


aldosteron intra renal

Hiperfiltrasi

Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus

Adaptasi fungsi

Mal adaptasi nefron

Sklerosis nefron

Penurunan fungsi nefron progresif

CKD
Stage 1(GFR > 90) Stage 2 (GFR 60 – 90) Stage 3 GFR 30-59%) Stage 4 (GFR 15-29) Stage 5 (GFR <15)

↓cadangan ginjal BUN, Kreatinin Sekresi ↓sintesis 1,25-


Proteinuria/ meningkat ↓Eritropoitin Retensi Na dihydroxyvitamin D atau
protein
albuminuria menurun
terganggu kalsitriol
asimtomatik
Sekresi protein Total CES ↑
terganggu Anemia kegagalan mengubah
hipoalbuminuria Sindroma uremia
bentuk inaktif Ca
↑Tekanan
Syndrome MK: kapiler
Pembengkakan uremia Keletihan
pergelangan Kegagalan
kaki, tangan, mengubah
wajah, perut Pruritus ↑Volume interstitial perpospater Gangguan
bentuk inaktif
Ca
nia keseimban
oedema gan asam
MK: kelebihan MK: basa
gangguan pruritus
volume cairan ↓absorbsi Ca
integritas ↑Preload
kulit MK: ↑As.
gangguan Lambung
Hipertrofi
ventrikel kiri integritas
kulit hipokalsemia
dan
Payah jantung kiri osteodistrofi

Nausea, Iritasi
↑Bendungan vomiting lambung MK:
atrium kiri Hambatan
Mobilitas
MK: mual MK: Fisik
Tekanan vena
pulmonalis Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Kapiler paru naik

Edema paru

MK : gangguan
pertukaran gas
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang penting untuk deteksi gangguan fungsi ginjal yaitu:
1. Urine rutin untuk deteksi gangguan pada ginjal dan saluran kencing.
2. Mikroalbumin untuk deteksi dini kebocoran pada glomerulus ginjal.
3. Urea-N, Kreatinin, dan Cystatin-C merupakan penanda gangguan fungsi ginjal.
(Dalimartha, 2008).
4. BUN meningkat.
5. Natrium dan osmolalitas serum akan menurun bila terjadi hipovolemia sebagai akibat dari
kelebihan retensi air.

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:


1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
3. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Diabetes melitus, infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b) Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus, uremic, frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
F. Penatalaksanaan Medis
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut Suwitra
(2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik berdasarkan
tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan
elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra 2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria ≤ 9 g
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.


Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkattkan
progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko
gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron.
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal.

4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler


Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki kardiovaskuler adalah
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Penatalaksanaan
terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit
ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal
sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat
dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

6. Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut (Raharjo, et al. 2009). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan
sisa metabolisme dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk
kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2006). Hemodialisis dilakukan untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti kelebihan ureum, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semipermeabel. Pasien PGK menjalani proses hemodialisis sebanyak dua
sampai tiga kali seminggu dimana memerlukan waktu antara empat sampai lima jam
(Rahman, Kaunang, & Elim, 2016). Hemodialisis dipercaya dapat meningkatkan
survival atau bertahan hidup pasien PGK (Widianti, Hermayanti, & Kurniawan,
2017). Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh
pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi
ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan
dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan
dialisat akan terjadi membran semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses
hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dengan memerlukan
waktu sekitar 2-45 jam setiap kali hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2007).

G. Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan


Penyakit ginjal tidak dapat disembuhkan. Perawatan difokuskan untuk meredakan gejala,
mencegah kemungkinan komplikasi, serta menghambat perkembangan penyakit gagal ginjal
kronis menjadi lebih parah. Langkah penanganan yang bisa dilakukan dokter adalah dengan
pemberian obat. Tujuan tindakan ini adalah untuk mengendalikan penyakit yang menyertai
kondisi ginjal, sehingga penurunan fungsi ginjal tidak bertambah buruk. Obat yang diberikan
antara lain:
1. Obat hipertensi. Tekanan darah tinggi dapat menurunkan fungsi ginjal dan mengubah
komposisi elektrolit dalam tubuh. Bagi penderita GGK yang juga disertai hipertensi,
dokter dapat memberikan obat ACE inhibitor atau ARB misalnya Captopril yang
berfungsi untuk mengobati hipertensi dan gagal jantung serta menangani penyakit ginjal
akibat diabetes.
2. Suplemen untuk anemia. Untuk mengatasi anemia pada penderita GGK adalah suntikan
hormon eritropoietin yang terkadang ditambah suplemen besi.
3. Obat diuretik. Obat ini dapat mengurangi penumpukan cairan pada bagian tubuh, seperti
tungkai. Contoh obat ini adalah furosemide. Efek samping yang mungkin ditimbulkan
adalah dehidrasi serta penurunan kadar kalium dan natrium dalam darah.
4. Suplemen kalsium dan vitamin D. Kedua suplemen ini diberikan untuk mencegah kondisi
tulang yang melemah dan berisiko mengalami patah tulang.
5. Obat kortikosteroid. Obat ini diberikan untuk penderita GGK karena penyakit
glomerulonefritis atau peradangan unit penyaringan dalam ginjal.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup identitas
klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat
kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa, golongan darah,
tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis, alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-tiba atau
berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat apa
yang digunakan. Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine
output sedikit sampai tidak ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera
makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau
(ureum), dan gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di anamnesa meliputi
palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation, severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan
pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan untuk
mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hiperplasia, dan prostektomi. Kaji
adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang berulang.
Penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-
obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian
dokumentasikan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Bagaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam keluarga, ada atau tidaknya riwayat
infeksi sistem perkemihan yang berulang dan riwayat alergi, penyait hereditas dan
penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis akan
menyebabkan enderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan,
banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan klien mengalami
kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan lingkungan tempat
tinggal, area lingkungan rumah.

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat kesadaran: menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat
TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
b. Sistem pernapasan
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa kusmaul. Pola napas
cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida yang
menumpuk di sirkulasi.
c. Sistem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya friction rub
yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal
jantung kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan
sesak napas, gangguan irama jantung, edem penurunan perfusi perifer sekunder dari
penurunan curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot
ventrikel. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai
akibat dari penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia
sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses
berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati
perifer, burning feet syndrome, retless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas system
rennin angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi
pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki akibat produksi
testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan
metabolic tertentu. Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai
amenorea. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit) terjadi penuruna
klirens metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang.
Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan
berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism vitamin D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat
h. Sistem pencernaan
Di dapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau mulut
ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering di
dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk saat
malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ),
petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit
jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik
secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

B. Analisa Data
Analisa data merupakan kemampuan kognitif dalam pengembangan daya berpikir dan
penalaran yang dipengaruhi oleh latar belakang ilmu dan pengetahuan, pengalaman, dan
pengertian keperawatan. Dalam melakukan analisis data, diperlukan kemampuan untuk
mengkaitkan data dan menghubungkan data tersebut dengan konsep, teori dan prinsip yang
relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan
klien.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi cairan
dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.

D. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan & Kriteria
No. Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1. Kelebihan volume Tujuan: 1. Periksa tanda dan 1. Untuk
cairan berhubungan Setelah dilakukan asuhan gejala mengetahui
dengan penurunan keperawatan selama hipervolemia (mis. apakah klien
haluran urin dan 3x24 jam volume cairan Ortopnea, dispnea, mengalami
retensi cairan dan seimbang. edema, JVP/CVP hipervolemia atau
natrium Kriteria Hasil: meningkat, refleks tidak.
 Terbebas dari hepatojugular 2. Untuk memonitor
edema, efusi, positif, suara nafas berat badan klien
anasarka tambahan). agar tetap ideal.
 Bunyi nafas 2. Timbang berat 3. Untuk mencegah
bersih,tidak adanya badan setiap hari terjadinya
dipsnea pada waktu yang dehidrasi.
 Memilihara tekanan sama. 4. Untuk membuang
vena sentral, tekanan 3. Anjurkan melapor kelebihan garam
kapiler paru, output jika haluaran urin dan air dari
jantung dan vital <0,5 mL/kg/jam dalam tubuh
sign normal. dalam 6 jam. melalui urin.
4. Kolaborasi
pemberian
diuretik.
2. Perubahan pola napas Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor pola napas 1. Untuk
berhubungan dengan keperawatan selama (frekuensi, mengetahui
hiperventilasi paru 3x24 jam nutrisi kedalaman, usaha adanya
seimbang dan adekuat. napas). peningkatan kerja
Kriteria Hasil: 2. Posisikan semi- nafas.
 Nafsu makan Fowler atau 2. Untuk
meningkat Fowler. memudahkan
 Tidak terjadi 3. Ajarkan teknik klien untuk
penurunan BB batuk efektif. bernafas.
 Masukan nutrisi 4. Kolaborasi 3. Untuk
adekuat pemberian mengeluarkan

 Menghabiskan porsi bronkodilator, secret yang

makan ekspektoran, mengganggu

 Hasil lab normal mukolitik, jika jalan nafas.

(albumin, kalium) perlu. 4. Untuk


melancarkan
pernapasan.
3. Gangguan nutrisi Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi status 1. Untuk
kurang dari keperawatan selama nutrisi. mengetahui
kebutuhan tubuh 1x24 jam pola nafas 2. Lakukan oral keadaan nutrisi
berhubungan dengan adekuat. hygiene sebelum klien.
anoreksia mual Kriteria Hasil: makan, jika perlu. 2. Untuk
muntah  Peningkatan ventilasi 3. Anjurkan posisi meningkatkan
dan oksigenasi yang duduk, jika kebersihan oral
adekuat mampu. dan selera makan
 Bebas dari tanda tanda 4. Kolaborasi dengan klien.
distress pernafasan ahli gizi untuk 3. Untuk
 Suara nafas yang menentukan memudahkan
bersih, tidak ada jumlah kalori dan klien dalam
sianosis dan dyspneu jenis nutrien yang menelan
(mampu dibutuhkan, jika makanan.
mengeluarkan sputum, perlu. 4. Untuk
mampu bernafas mengidentifikasi
dengan mudah, tidak malnutrisi
ada pursed lips) protein-protein.

 Tanda tanda vital Khususnya bila

dalam rentang normal BB kurang dari


normal.
4. Gangguan perfusi Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi faktor 1. Untuk
jaringan berhubungan keperawatan selama risiko gangguan mengetahui
dengan penurunan 3x24 jam perfusi jaringan sirkulasi (mis. riwayat kesehatan
suplai O2 dan nutrisi adekuat. Diabetes, perokok, klien.
ke jaringan sekunder Kriteria Hasil: orang tua, 2. Untuk mencegah
 Membran mukosa hipertensi, dan terjadinya
merah muda kadar kolesterol penurunan
 Conjunctiva tidak tinggi). perfusi oksigen
anemis 2. Hindari ke jaringan.
 Akral hangat pemasangan infus 3. Untuk mencegah

 TTV dalam batas atau pengambilan terjadinya

normal. darah diarea gangguan perfusi

 Tidak ada edema keterbatasan jaringan.


perfusi.
3. Anjurkan berhenti
merokok.
5. Intoleransi aktivitas Tujuan: 1. Identifikasi 1. Untuk
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan gangguan fungsi mengetahui
keletihan anemia, keperawatan selama tubuh yang penyebab
retensi produk 3x24 jam volume cairan mengakibatkan kelelahan.
sampah dan prosedur seimbang. kelelahan. 2. Untuk
dialysis Kriteria Hasil: 2. Sediakan memudahkan
 Mampu melakukan lingkungan klien dalam
aktivitas sehari-hari nyaman dan beristirahat.
secara mandiri. rendah stimulus 3. Untuk membantu
 Tanda-tanda vital (mis. cahaya, klien dalam
normal. suara, kunjungan). melatih
 Mampu berpindah 3. Anjurkan kemampuan ADL
dengan atau tanpa melakukan secara bertahap.
bantuan alat. aktivitas secara 4. Untuk
bertahap. memberikan
4. Kolaborasi dengan energi yang
ahli gizi tentang cukup sesuai
cara meningkatkan dengan asupan
asupan makanan.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, M., Kaunang, T., & Elim, C. (2016). Hubungan antara lama menjalani
hemodialisis dengan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis di Unit
Hemodialisis RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. e-CliniC, 4(1).

Widianti, A. T., Hermayanti, Y., & Kurniawan, T. (2017). Pengaruh latihan kekuatan
terhadap restless legs syndrome pasien hemodialisis. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
5(1), 47-56.

Nurarif. A. H. Dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Suri, R.S. 2015. Update of the KDOQI clinical practice guideline for hemodialysis
adequacy.

Aziz, M. Farid, dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin


Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.

Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC.

Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing, critical thinking
for collaborative care. Elsevier Saunders.

Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.

Suwitra, Ketut. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai