Anda di halaman 1dari 2

Tabel III.

Keadaan yang perlu dicurigai adanya tumpang tindih dari rhinopati yang berbeda
(rhinitis allergi +NARES, NARMA or NARESMA).

Kriteria klinis :
1. Gejala rinitis “vasomotor” kronis (hidung tersumbat, rhinorrhoea, serangan
bersin) yang muncul meskipun di luar musim pollen (serbuk sari), skin prick
tes pasien dan atau tes RAST yang positif.
2. Meningkatnya “vasomotor” - tipe reaktivitas hidung terhadap rangsangan
non-spesifik (perubahan suhu secara tiba-tiba, rangsangan ringan, bau kuat,
asap rokok,paparan klorin (berenang), dll).
3. Gangguan dalam perasa dan pembau (curiga timbulnya nasal polyposis).
4. Riwayat keluarga yang positif nasal polyposis, NARES, NARMA,
NARESMA, asma, sensitif terhadap asam asetilsalisilat, hipoanosmia,
rhinitis vasomotor yang “non-spesifik”, operasi pada turbinate (konka
nasalis) sebelumnya untuk hidung yang tersumbat yang memberikan hasil
jangka menengah sampai jangka panjang.
5. Penggunaan dekongestan nasal berulang.
6. Sedikit atau tidak terdapat manfaat klinis setelah operasi turbinate untuk
hidung yang tersumbat.
7. Sedikit atau tidak terdapat manfaat klinis setelah siklus imunoterapi spesifik
(SIT).
Kriteria Sitologi :
1. Dengan gejala yang “persisten”, adanya tumpang tindih harus dicurigai pada
semua pasien dengan rinositogram yang menunjukkan profil sel yang
bentuknya berbeda terkait dengan "peradangan minimal yang persisten"
(berbeda dengan yang ditandai oleh banyak neutrofil, beberapa limfosit dan
terkadang eosinofil, dengan tanda degranulasi yang jarang), di mana
terdapat eosinofil >20% dan / atau sel mast >10%.
2. Dengan gejala “Intermittent”, adanya tumpang tindih harus dicurigai pada
semua pasien dengan rinositogram positif (eosinofil >20% dan atau sel mast
>10%) di luar musim pollen untuk alergen / yang diidentifikasi dengan tes
alergi (skin prick test dan atau tes RAST).
3. Pada rinositologi, bula November cenderung lebih disukai untuk “melepas”
adanya tumpang tindih rinopati, karena bulan ini adalah bulan dimana
sebagian besar serbuk sari di udara tidak ada.
4. Adanya sel immuno-inflammatory (eosinofil dan atau sel mast) yang terkait
dengan gejala rhinitis menegaskan adanya tumpang tindih pada penyakit.

Secara khusus, rhinitis yang disebabkan oleh sistem seluler seperti NARES, NARMA
dan NARESMA memiliki persentase positif yang tinggi terhadap riwayat keluarga yang
memiliki asma dan nasal polyposis, mirip dengan pasien dengan NP (24,3 vs 16,4% dan 17,8
vs 16,4%); sementara rinitis alergi (meskipun dengan kejadian asma pada keluarga lebih
tinggi dari pada pasien dengan NP [19,4 vs 16,4%]) dengan gambaran riwayat keluarga positif
yang lebih rendah untuk nasal polyposis (4,7 vs 16,4%), mendekati gambaran data
epidemiologis pada populasi umum.
Penderita dengan rinitis yang mengalami tumpang tindih (AR + NAR) menunjukkan
angka kejadian asma dan polyposis hidung pada keluarga lebih besar daripada tipe NAR,
masing-masing 38,4 dan 19,6%. Data tersebut menggambarkan insiden keluarga degan NP,
baik yang disebabkan oleh sistem seluler maupun karena rhinitis yang tumpang tindih
(masing-masing 17,8 dan 19,6%) menunjukkan hubungan yang jelas antara penyakit ini dan
NP (OR = 4,45; 95% CI = 1,70-11,61, p = 0,0019), kemudian telah dikonfirmasi
kesimpangsiuran dari berbagai teori aetiopathogenetic pada pembentukan polip hidung yang
dijelaskan dalam 20 tahun terakhir, dan dari waktu ke waktu bantahan mengenai teori
"epithelial breaking ", etiologi mengenai jamur, superantigen, dll. Peneliti mengajukan
hipotesis berdasarkan keturunan dalam keluarga yang mengarah pada pembentukan polip
hidung sebagai evolusi "hiperplastik” dari rhinopati vasomotor tipe seluler. Jika hal ini
berhubungan dengan alergi, komponen IgE tidak akan menyebabkan hiperplasia. Meski
begitu, Studi longitudinal pasien dengan NARES, NARMA dan NARESMA diperlukan untuk
mengkonfirmasi hipotesis ini.
Mengenai AR, data peneliti mengkonfirmasi kebenaran literatur yang meniadakan
etiologi umum dengan NP, dengan Kejadian 32,8% pada kelompok pasien dengan NP, serupa
dengan yang ditemukan pada populasi umum. Tentang Prevalensi asma pada rhinitis, data
peneliti juga konsisten dengan yang dilaporkan dalam studi epidemiologi untuk kedua AR
(14,8%) dan NP (32,8%). Di sisi lain, temuan peneliti sangat berbeda dalam kejadian asma
antara rinitis NAR tipe seluler (7,5%) dan rhinitis yang tumpang tindih (22,3%) lebih sulit
diinterpretasikan. Tidak diragukan lagi, adanya dua penyakit (AR + NAR) pada pasien yang
sama dapat memberikan alasan terjadinya peningkatan kerusakan epitel pernafasan.
Yang tersisa dalam bidang diagnostik rhino-alergy, rhinitis yang mengalami tumpang
tindih harus selalu didiagnosis, karena memiliki evolusi klinis yang berbeda dari bentuk asli
AR. Diagnosisnya akan menghindarkan dari kekeliruan perkiraan epidemiologi, seperti: i)
menunjukkan bahwa AR dapat meningkatkan kejadian asma, atau meningkatkan
komorbiditas seperti sinusitis, penyakit otologis, gangguan tidur dan polip hidung; ii)
kegagalan terapi (misalnya kegagalan imunoterapi spesifik), dan iii) mencegah komplikasi
seperti asma, polip hidung, dll).
Dalam hal ini, yang paling penting adalah peran sitologi hidung, karena hanya dengan
pemeriksaan laboratorium yang dapat mendiagnosis NAR tipe seluler, untuk menunjukkan
rhinitis yang mengalami tumpang tindih (Tabel III), dan untuk mengkonfirmasi rhinitis yang
dimediasi oleh IgE dan yang dimonitor oleh terapi. Meskipun sedikit yang menggunakan dan
yang mempunyai nilai, menurut peneliti metode ini sangat berguna dan harus dilakukan
secara sistematis sebagai alat untuk diagnosis rhinitis.
Diagnosis alergi pada hidung bersifat jelas dan dengan prosedur yang kompleks,dan
riwayat pasien yang detail sangat penting. Diagnostik menggunakan alat memiliki peran
penting dalam diagnosis klinis, terutama pada rinitis vasomotor non-alergi tipe seluler dan
rhinitis yang mengalami tumpang tindih, penyakit yang tidak selalu didiagnosis dengan benar
dan masih banyak yang belum diketahui. Hasil peneliti cukup menyarankan adanya hubungan
langsung antara rhinitis non-alergi dan nasal polyposis, berdasarkan aspek keturunan
keluarga. Studi kohort yang lebih sistematis dan lebih besar akan membantu dalam
memahami mekanisme patogenetik antara nasal polyposis dan komorbiditasnya.

Anda mungkin juga menyukai