Oleh
Sugianto
1. Ketegasan beliau dalam memimpin saat itu “ sbg Wakil ketua I STAIN Cirebon
tahun 2005 , secara priibadi saya banyak berargumentasi untuk mencari
kebenaran berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan sebagai
Kebiasaan pada saat itu saya memperjuangkan hak saya sebagai PNS Dosen
karena saya sudah mempunyai Fungsional jabatan Akademik Lektor sbg Dosen
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG ) Cirebon dari tahun 1993
s/d tahun 2004 “tentunya dalam peraturan jabatan Fungsional tersebut yang
diperoleh dari PTS (Perguruan Tinggi Swasta ) Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan harus di akomodir pada saat diterima sebagai PNS Dosen
“ beliau sebagai Wakil Ketua I STAIN Cirebon saat itu tetap berprinsip menjaga
eksistensi kebenaran tersendiri karena beliau berpendapat di PTKAIN
dilingkungan Kementrian Agama “ STAIN, IAIN & UIN ) bahwa CPNS Dosen
saat di angkat harus menjalani TA,TP dan TE pada hal dalam Perguruan Tinggi
Negeri ( PTN ) dilingkungan Kemendikbud “saat itu tahun 2005 tidak dikenal
istilah tersebut Tenaga Akademik,Tenaga Pendidik,Tenaga Edukatip “ . Dalam
memperjuangkan Hak saya yang memiliki Jabatan Fungsional akademik sbg
Lektor saat diterima sbg CPNS Dosen STAIN Cirebon setelah Prajabatan
diangkat PNS 100 % Kedudukan saya di akomodir oleh beliau dengan
Fungsional Lektor Gol PNS III B karena berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan,” Saat itu beliau tegas dan berprinsip pada Kebiasaan “ itulah salut
nya saya pada beliau.
2. Pada tahun 2006 -2009 saya dipercaya oleh Pimpinan STAIN Cirebon dibawah
Kendali Dr H Imron Abdulah ,MA Sebagai Ketua “ Dengan ketegasan saya
berkomitmen pada Aturan dalam menjalankan tugas :” saya dipercaya sebagai
Ketua LKBH ( Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum ) STAIN Cirebon pada saat
itu saya banyak membangun Networking “ menjalankan kerja sama dengan
berbagai pihak baik di pusat maupun didaerah yang saat ini LKBH STAIN
Cirebon bekerja sama dengan DPN PERADI Pusat yang pertama kali
melaksanakan Pendidikan Profesi Calon Advokat (PKPA ) hal tersebut amanat
UU no 18 tahun 2003 tentang Advokat “ yang menarik pada saat itu
Kepemimpinan saya sebagai Ketua LKBH STAIN di Fuji oleh beliau Prof Dr H
Maksum Muktar MA Wakil Ketua I Bidang akademik “Saat itu “.setiap acara
dibuka oleh beliau dengan peserta calon Advokat yang mengikuti Pendidikan
dari alumni berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia sampai tiga angkatan “
Satu angkatan 45 orang “.saat itu banyak membantu masyarakat yang
berhadapan dengan Hukum yang mayoritas Kasus Keperdataan”.
3. Pada tahun 2009 sebelum berakhirnya Status STAINCirebon menjadi IAIN
Cirebn “ saya dipercaya masuk Team Panitia Pengadaan Tanah yang berlokasi
di Ciperna Kabupaten Cirebon dibawah Kendali sebagai Ketua Team Prof Dr H
Maksum Muktar MA Saat itu yang Juga Wakil Ketua STAIN Cirebon “ dengan
jumlah anggota 9 (sembilan ) anggota “pada saat menjalankan tugas sbg
Panitia Pengadaan tanah tersebut menarik dengan prinsip beliau sebagai
Ketua Panitia “ banyak suka dan duka “ yang menariknya bagi saya dalam
rapat panitia selalu berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan
“Khusus Pengadaan tanah untuk kepentingan Negara dalam hal ini Kampus
STAIN Cirebon namun realisasinya dilapangan sering keluar dari koridor hasil
Rapat yang diputuskan secara Prinsip pelaksanaan ditempuh melalui
Musyawarah Pemilik tanah di kantor Desa dengan beberapa kali yang
dilaksanakan pada malam hari “ dengan kekompakan team panitia Pengadaan
tanah dibawah kendali Ketua Prof Dr H Maksum Muktar ,MA Secara Prinsip
dilaksanakan dengan baik ,namun realitanya ada duka membara pengadaan
tanah dilokasi tersebut gagal karena kebijakan yang tidak bermartabat “ yang
akhirnya Pengadaan pembelian tanah dilokasi tersebut dibatalkan dan
anggaran dikembalikan pada Kas Negara “ saat itu “ ( Kedekatan dengan
beliau dan kepemimpinan beliau sebagai Ketua sangat Prinsip dan tegas “.
4. Pasca alih status STAIN Cirebon menjadi IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada tahun
2009 “ yang menarik bagi saya Pribadi Beliau sebagai Figur Militan ,Prinsip dan
berkarakter “perjuangan beliau gigih “, pada tahun 2011 -2014 beliau terpilih
sebagai Rekror IAIN Syekh Nurjati Cirebon “ Pertama Definitip” saya
menganggap beliau Alm Prof Dr H Maksum Muktar MA sebagai Pemimpin
yang cukup Bijak dan bisa merangkul semua Pihak “ Pemerataan komposisi
SDM “dan pada periode tersebut saya Pribadi diPercaya mengemban amanah
ditunjuk sebagai Wakil Dekan III Bidang kemahasiswaan Fakultas Syariah
dibawah kepemimpinan Dekan Dr Achmad Kholiq MA dan Ahhamdulilah
selama melaksanakan tugas “ Tussi sbg Wakil Dekan “ telah terbangun
harmonies dan sinergitas baik Internal maupun Eksternal dalam rangka
terwujud Program Fakultas Syariah bermartabat tentunya di wujudkan dalam
bentuk membangun Zejaring “ Networking “ .
Terlebih yang menarik pada Diri saya selama Kepemimpinan Alm Prof Dr H
Maksum Muktar MA Sebagai Rektor , yang terharu bagi saya setiap dalam
Rapat Unsur Pimpinan dan setiap Rapat team pengembangan beliau selalu
mengatakan pada saya “ Wakil Dekan III Fakultas Syariah tukang “MOU”ini
kenangan bagi saya bekerja bersama beliau “ Pemimpin tegas , di segani,
Beprinsip dan berkarakter “ .
Pemimpin berkarakter juga menjadi inspirasi keteladanan. Boleh jadi ini aspek
kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan kini.
Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka
tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan
lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya. Pemimpin yang inspiratif, semestinya
sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan,
satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang
menyebut sikap otentik ini dengan istliah “makoto”, artinya sungguh-sunggguh, tanpa
kepura-puraan. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang
harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran
tujuan (sense of purpose).
Kesadaran diri sendiri (self awareness) jujur terhadap diri sendiri dan terhadap oranglain,
jujur terhadap kekuatan diri, kelemahan dan usaha yang tulus untuk memperbaikinya.
Memiliki rasa ingin tahu dan dapat didekati sehingga orang lain merasa aman dalam
menyampaikan umpan balik dan gagasan-gagasan baru secara jujur, lugas dan penuh
rasa hormat kepada pemimpinnya.
Bersikap transparan dan mampu menghormati pesaing (lawan politik) atau musuh, dan
belajar dari mereka dalam situasi kepemimpinan ataupun kondisi bisnis pada umumnya.
Memiliki kecerdasan, cermat dan tangguh sehingga mampu bekerja secara professional
keilmuan dalam jabatannya. Hasil pekerjaanya berguna bagi dirinya, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.
Memiliki rasa kehormatan diri (a sense of personal honour and personal dignity) dan
berdisiplin pribadi, sehingga mampu dan mempunyai rasa tanggungjawab pribadi atas
perilaku pribadinya. Tidak seperti saat ini para pemimpin saling lempar ucapan pedas
terhadap rekan sejawatnya yang berbeda aliran politiknya.
Pemimpin berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan
memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. Selain keunggulan spesifiknya pada
sisi inteligensia, pemimpin yang berkarakter juga dituntut untuk menguasai moral capital
yang kuat. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen para pemimpin
dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat.
Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara
aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar
kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan
potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi
perilaku masyarakat.
Setidaknya ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan,
menjaga, dan memobilisasi ”moral capital” secara politik. Pertama, basis moralitas;
menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan
dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik; menyangkut
kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-
ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; menyangkut
contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan
kepercayaan kepada komunitas politik. Keempat, komunikasi politik; kemampuan
seorang pemimpin untuk mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam
bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas
masyarakat.
Dengan keempat ukuran tersebut, kita bisa menakar kualitas moral capital dari para
politisi dan aparatur negara kita. Kebanyakan para pemimpin politik kita telah gugur
pada kriteria pertama. Integritas moral politik macam apa yang dijanjikan oleh pemimpin
partai yang ”menggelapkan uang negara”, bermain-main dengan hukum, atau
berkompromi dengan para koruptor demi tambahan pundi-pundi keuangan partai dan
dirinya sendiri.Pada kriteria kedua, lebih sedikit lagi yang bisa lolos. Hampir tidak ada
partai yang sungguh-sungguh setia pada fatsoen politik atau sanggup menerjemahkan
klaim ideologisnya ke dalam bentuk kebijakan dan agenda politik yang konkret. Partai-
partai yang mengibarkan bendera Islam jarang yang sungguh-sungguh memuliakan
moralitas Islam; begitu pun partai yang mengusung ’marhaenisme’ tak pernah sungguh-
sungguh memperjuangkan kehidupan rakyat kecil.Pada kriteria ketiga, lebih sulit lagi
ditemui. Pemimpin yang mengklaim sebagai demokrat justru lebih sering berprilaku
tiranik. Pemimpin yang mengaku pejuang wong cilik justru menjaga jarak dari rakyat.
Akhirnya, komunikasi politik para pemimpin kita juga gagal. Bukan hanya mencerminkan
kelemahan perseorangan, melainkan karena tak tersedianya mekanisme
pertanggungjawaban publik, yang menjamin adanya pertautan antara para pemimpin
dan pengikutnya. Dengan tiadanya modal moral yang kuat, kita mengalami ketiadaan
jangkar keyakinan dan kepercayaan. Sehingga upaya pemulihan krisis seperti
menegakkan benang basah.