Anda di halaman 1dari 14

“BIOGRAFI SINGKAT IMAM SYAFI’I”

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Biografi Imam
Syafi’i ”. Dalam meyelesaikan makalah ini saya telah berusaha untuk mencapai hasil yang
maksimum, tetapi dengan keterbatasan wawasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan
yang saya miliki, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.

Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah sejarah hukum islam dan teman-teman.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih butuh banyak perbaikan dan
bimbingan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan
sempurnanya makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca, amin.
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Imam empat serangkai adalah imam-imam mazhab fikih dalam islam. Mereka imam-imam
bagi mazhab empat yang berkembang dalam islam. Meeka terkenal sampai kepada seluruh
umat di zaman yang silam dan sampai sekarang. Mereka itu adalah :

Abu Hanifah Annu’man

Malik Bin Anas

Muhammad Idris Asy-syafi’i

Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal

Karena pengorbana dan bakti mereka yang besar terhadap agama islam yang maha suci,
khususnya dalam bidang ilmu fikih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang
baik dan tinggi dalam islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih yang besar
dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama islam dan kaum muslimin umumnya.

Karena kesuburan dan kemasyhurannya dalam ilmu fikih di samping usaha mereka yang
bermacam-macam terhadap agama islam nama-nama mereka sangat dikenal pada zaman
kejayaannya islam. Mereka bekerja keras untuk menjaga dan menyuburkan ajaran-ajaran
islam kepada seluruh umat lebih-lebih dalam ilmu fikih sejak terbitnya nur islam.

Namun pada makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang biografi muhammad idris syafi’i
atau lebih dikenal dengan imam syafi’i. Imam syafi’i adalah imam yang ketiga menurut
susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadist dan pembaharu
dalam agama (mujaddid) dalam abad kedua hijrah.
B. Masalah

Imam syafi’i adalah salah satu dari 4 imam mazhab yang terkenal saat ini. Apalagi di
indonesia banyak orang menggunakan fatwa/fiqih dari imam syafi’i. Akan tetapi yang
menjadi problem adalah diantara beberapa buku banyak terjadi perbedaan tentang penjelasan
perjalanan hidup imam syafi’i, mulai dari sejak lahir hingga perjalanan imam syafi’i
menuntut ilmu bahkan sampai ia wafat. Maka dari itu penulis mencoba untuk memberikan
sedikit pencerahan mengenai biografi imam syafi’i berdasarkan sumber-sumber yang telah di
didapatkan. Oleh sebab itu, dalam menjawab persoalannya, akan dijelaskan dengan
memberikan batasan-batasan berdasarkan rumusan masalah.

C. Rumusan Masalah

1. Dimana imam syafi’i dilahirkan ?

2. Kemana sajakah imam syafi’i pergi mencari ilmu ?

3. Bagaimana cara imam syafi’i mengeluarkan istinbath ?

D. TUJUAN

Untuk mengetahui biografi imam syafi’i


BAB II

PEMBAHASAN
BIOGRAFI SINGKAT IMAM SYAFI’I

A. Asal Usul Imam Syafi’i Dan Nasabnya

Nama lengkap dari Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman
bin Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin ‘Abdi
Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, abu ‘Abdillah al-
Qurasyi Asy-Syafi’i al-Maliki, keluarga dekat rasulullah dan putra pamannya.[1]

Al-Muthalib adalah saudara Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muthalib. Kakek Rasulullah SAW.
Dan kakek imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) pada ‘abdi Manaf bin Qushay,
kakek Rasulullah SAW. Yang ketiga.

Idris, ayah asy-syafi’i tinggal di tanah hijaz, ia adalah keturunan arab dari kabilah qurasy.
Kemudian ibunya yang bernama fathimah al-azdiyyah adalah berasal dari salah satu kabilah
di yaman, yang hidup dan menetap di hijaz. Semenjak kecil fathimah merupakan gadis yang
banyak beribadah memegang agamanya dengan kuat dan sangat taat dengan rabb-Nya. Dia
dikenal cerdas dan mengetahui seluk beluk al-quran dan as-sunah, baik ushul maupun furu’
(cabang). [2]

Imam an-nawawi berkata : imam asy-syafi’i adalah qurasyi (berasal dari suku qurasy) dan
muthalib (keturunan muthalib) berdasarkan ijma’ para ahli riwayat dari semua golongan,
sementara ibunya berasal dari suku azdiyah. Imam asy-syafi’i dinisbahkan kepada kakeknya
yang bernama syafi’i bin as-saib, seorang sahabat kecil yang sempat bertemu dengan
rasulullah SAW. Ketika masih muda.

B. Kelahiran dan Masa Pertumbuhan Imam asy-Syafi’i dalam menuntut ilmu

1. kelahiran imam asy-syafi’i

idris bin al-abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju
kampung gazzah di palestina, dimana saat itu umat islam sedang berperang membela negeri
islam di kota asqalan, sebuah kota pesisir. Lalu mereka tinggal di kampung gazah yang sudah
dekat dengan ‘asqalan. pada saat itu fathimah sedang mengandung, idris sangat gembira
dengan hal ini, sehingga ia berkata :”jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan
kunamakan muhammad, dan akan kupanggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu
syafi’i bin asy-syaib.” Akhirnya fatimah melahirkan di gazah tersebut, dan terbuktilah apa
yang dicita-citakan oleh ayahnya. Anak itu dinamai muhammad, dan dipanggil dengan nama
asy-syafi’i. [3]

Para sejarawan sepakat bahwa imam asy-syafi’i lahir pada tahun 150 H,[4] yang merupakan
tahun wafatnya imam abu hanifah. Kemudian ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang
tempat imam asy-syafi’i lahir. Tempat yang paling populer adalah beliau dilahirkan di kota
ghazzah, dan pendapat lain mengatakan di kota ‘asqalan, dan pendapat yang lain lagi
mengatakan bahwa beliau dilahirkan di yaman.

Tidak lama setelah asy-syafi’i lahir, ayahnya meninggal, saat itu umur asy-syafi’i belum
menginjak dua tahun. Keudian ia dibesarkan dan dididik oleh ibunya. Dia melihat bahwa jika
tetap tinggal di ghazzah maka sambungan nasabnya kepada qurasy akan hilang, disamping itu
akan terhalangi untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka ibunya memutuskan
membawa asy-syafi’i ke makkah al-mukaramah, dan tinggal disebuah kampung disana dekat
masjid al-haram, yang disebut kampung al-khaif.

Asy-syafi’i dibesarkan dalam kondisi yatim dan fakir, hidup atas bantuan keluarganya dari
kabilah qurasy, namun bantuan keluarganya sangat minim, tidak cukup untuk membayar guru
yang bisa mengajarkan tahfidz al-quran serta dasar-dasar membaca dan menulis. Namun
karena sang guru melihat kecerdasan asy-syafi’i serta kecepatan hafalannya, ini dibebaskan
dari bayaran.

Asy-syafi’i pernah berkata : saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar murid-murid
tentang ayat-ayat al-quran, maka aku langsung menghafalkan, apabila ia mendiktekan
sesuatu, belum sampai guruku selesai membacakannya kepada kami, aku telah menghafal
seluruh apa yang didektekannya, maka dia berkata kepadaku suatu hari ”Demi Allah. Aku
tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen pun.”

Pendapat tentang tempat kelahiran asy-syafi’i :

Disebutkan dalam riwayat ibnu abi hatim dari ‘amr bin sawad, ia berkata : “imam syafi’i
berkata kepadaku: ‘aku dilahirkan di negeri ‘asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku
membawaku ke makkah.’ ”

Sementara imam al-baihaqi menyebutkan dengan sanadnya, dari muhammad bin ‘abdillah
bin ‘abdul hakim, ia berkata : aku dilahirkan di negeri ghazzah. Kemudian, aku dibawa ibuku
ke ‘asqalan.

Kemudian yakut menceritakan bahwa imam asy-syafi’i pernah menceritakan: aku dilahirkan
di negeri yaman, ibuku bimbang aku tidak terurus, lalu aku dibawa bersamanya ke mekah,
umurku pada waktu itu kurang lebih 10 tahun.[5]

Selanjutnya al-baihaqi berkata : ada kemungkinan yang dimaksud dari beberapa pendapat
tentang kelahiran imam syafi’i adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan yaman di
kota ghazzah, seluruh riwayat menunjukkan bahwa imam asy-syafi’i dilahirkan di kota
ghazzah kemudian ia dibawa ke ‘asqalan lalu ke mekkah. Wallahu a’lam.[6]
2. Masa pertumbuhan Imam syafi’i dalam menuntut ilmu

Ketika imam asy-syafi’i dibawa ibunya ke tanah hijaz, yakni kota makkah, ada juga yang
menyebutkan tempat dekat makkah, mulailah imam syafi’i menghafal al-quran sehingga ia
berhasil merampungkan hafalannya pada usia tujuh tahun dan juga hafal kitab al-muwatta’
(karya imam malik) dalam usia 10 tahun. Pada usia 15 tahun (ada yang mengatakan 18
tahun), imam syafi’i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama muslim bin
khalid az-zanji.

Imam syafi’i menaruh perhatian yang besar kepada syair dan bahasa dan juga adat istiadat
mereka. sehingga ia hafal syair dari suku hudzail, . Bahkan, ia hidup bergaul bersama mereka
selama 10 atau 20 tahun menurut satu riwayat. Kepada merekalah imam asy-syafi’i belajar
bahsa arab dan balaghah.

Kabilah hudzail adalah kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang paling baik bahasa
arabnya. Sehingga imam syafi’i banyak menghafal syair-syair dan qasidah dari kabilah
hudzail. Sebagai bukti, al-asmai’ pernah berkata : bahwa beliau pernah membetulkan atau
memperbaiki syair-syair hudzail dengan seorang pemuda dari keturunan bangsa qurasy yang
disebut dengan namanya muhammad bin idris, maksudnya adalah imam syafi’i.

Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai kesempatan pula mempelajari


memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh batang panah tanpa melakukan satu
kesilapan. Beliau pernah berkata : cita-citaku dua perkara : panah dan ilmu, aku berdaya
mengenakan target sepuluh dari sepuluh. Mendengar percakapan itu orang yang bersamanya
berkata : Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari memanah.

Imam asy-syafi’i belajar banyak hadist kepada para syaikh dan imam. Dia membaca sendiri
kitab al-muwatta’ di hadapan imam malik bin anas dengan hafalan sehingga imam malik pun
kagum terhadap bacaan dan kemauannya. Imam asy-syafi’i juga menimba dari imam malik,
ilmu para ulama hijaz setelah ia mengambil banyak ilmu dari syaikh muslim bin khalid az-
zanji. Selain itu, imam syafi’i juga banyak mengambil riwayat dari banyak ulama, juga
belajar al-quran kepada isma’il bin qasthanthin dari syibl, dari ibnu katsir al-maliki, dari
mujahid, dari ibnu ‘abbas, dari ubay bin ka’ab, dari rasulullah.

C. Perjalanan imam syafi’i dalam menuntut ilmu

1. Perjalanan imam syafi’i ke madinah

Pada usia 20 tahun, imam syafi’i yang saat itu tinggal di kota makkah, sedang
menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu yang dia peroleh, ia begitu rindu untuk melihat
madinah al-munawwarah, dan masjidnya yang agung, serta mengunjungi makam rasulullah
beserta dua sahabatnya, yaitu abu bakar dan umar. Akan tetapi sebelum pergi ke madinah
selain melihat kota madinah, imam syafi’i sebenarnya pergi untuk menemui imam malik,
imam syafi’i sebelumnya sudah mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-muwatta’.
Yang mana kitab muwatta’ tersebut sudah ia hafal sejak umur 10 tahun atau ada juga yang
menyebutkan dalam usia 13 tahun.

Dalam perjalanannya Imam syafi’i pernah bercerita : “aku keluar dari makkah untuk
hidup dan bergaul dengan suku hudzail di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan
mempelajari ucapannya. Mereka adalah suku arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun
tinggal bersama mereka aku pun kembali ke makkah. Kemudian aku membaca syair-syair
mereka, menyebut peristiwa dan peperangan bangsa arab. Ketika itu lewat seoranng dari suku
az-zuhri ia berkata : hai, abu abdillah, sayang sekali jika keindahan bahasa yang engkau
kuasai tidak di imbangi dengan ilmu dan fiqih. “Siapakah yang patut aku temui ?” tanya
imam syafi’i, lalu orang itu menjawab : “malik bin anas,” pemimpin umat islam. Imam
syafi’i berkata : maka timbullah minatku untuk mempelajari kitab al-muwatta’. Untuk itu aku
meminjam kitab tersebut pada seorang laki-laki di makkah. Setelah menghafalnya, aku pergi
menjumpai gubernur makkah dan mengambil surataku berikan kepada gubernur madinah dan
imam malik bin anas.

Sampainya di madinah, gubernur madinah sudah membaca surat tersebut. Dan gubernur
madinah sangat senang dengan kehadiran imam syafi’i, akan tetapi imam syafi’i yang minta
tolong kepada gubernur madinah untuk mendatangkan imam malik sangatlah susah. Pada saat
gubernur dan imam syafi’i berada di depan pintu rumah imam malik, gubernur menyerahkan
surat dari gubernur makkah, kemudian imam malik membacanya sampai selesai lalu imam
malik mencampakkan surat itu, dan imam syafi’i berkata : semoga allah memperbaikimu dan
semoga allah menjadikan tuan sebagai orang yang shalih. Kemudian imam malik memandang
imam syafi’i dan bertanya : siapakah namamu ? nama saya adalah muhammad, ia berkata :
hai muhammad bertaqwalah kepada allah, tinggalkanlah maksiat, maka engkau akan menjadi
orang besar. Sesungguhnya aku melihat cahaya dalam dirmu dan janganlah kamu padamkan
dengan maksiat. Lalu imam malik berkata lagi : datanglah besok, ada oorang yang akan
membacakan kitab al-muwatta; untukmu. Dan imam syafi’i berkata sesungguhnya aku sudah
menghafalnya.

Besoknya imam syafi’i melanjutkan : datang pagi-pagi dan mulai membaca kitab itu, namun,
imam syafi’i agak segan kepada imam malik dan ingin memberhentikan bacaannya, akan
tetapi imam malik menyuruhnya membaca terus karena imam malik tertarik dengan bacaan
i’rab imam syafi’i. Begitu setiap hari yang dilakukan imam syafi’i. Dan setelah itu, imam
syafi’i tinggal di madinah hingga imam malik wafat.

Ia pergi ke madinah dalam usia 10 atau 13 tahun yakni tahun 163 H. Kemudian, ia pulang
pergi ke madinah dan makkah dan perkampungan hudzail meskipun ia sering mendampingi
imam malik di madinah hingga imam malik wafat pada tahun 179 H.
2. Perjalanan imam syafi’i ke iraq

Saat masih di madinah, imam syafi’i mengetahui bahwa imam abu hanifah dulu berada di
iraq. Dia bertekad ingin dengannya dan para ulama yang lain. Kemudian imam syafi’i pergi
menemui imam malik dan berkata : saya berkeinginan pergi ke iraq untuk menambah ilmu.
Imam malik berkata : rasulullah bersabda : “sesungguhnya para malaikat meletakkan
sayapnya untuk penuntut ilmu, karena ridha dengan apa yang mereka cari” kemudian imam
malik menyodorkan 64 dinar sebagai bekal menuntut ilmu.

Sesampainya di kufah dia melihat seorang anak sedang shalat, karena merasa shalatnya
kurang sempurna, lalu imam syafi’i menasehatinya dan anak ini tidak terima dan anak itu
berkata : saya sudah 15 tahun dihadapan abu yusuf fan ibn al hasan dan dia tidak pernah
mengkritikku. Kemudian anak itu langsung melapor kepada abu yusuf dan ibnu hasan bahwa
ada orang yang mengkritik shalatnya. Kemudian ibnu hasan menyuruh anak itu untuk
menanyakan, bagaimana anda shalat ? lalu imam syafi’i menjawab dengan dengan dua fardhu
dan satu sunat yaitu dua fardhu adalah niat dan takbiratul ihram sementara sunnah adalah
mengangkat tangan sampai ketelinga. Mendengar jawaban itu abu yusuf dan ibnu hasan
langsung berkenalan dengan imam syafi’i. Dan ibnu hasan seringkali bertanya, dan semua
pertanyaan dijawab dengan jawaban yang cukup lengkap.

Imam syafi’i tinggal di kufah bersama ibn hasan. Selama itu dia sudah menulis sebuah buku.
Dan ibn hasan sangat senang dengan kedatangan imam syafi’i , serta mengizinkan imam
syafi’i untuk menulis buku-buku yang dia miliki di perpustakaan pribadinya sesuka hatinya.
Ketika ia hendak meninggalkan iraq, ia ingin keliling beberapa kota di iraq.

3. Perjalanan imam syafi’i ke yaman

Walaupun imam asy-syafi’i sudah sangat terkenal di makkah dan madinah, dan dikalangan
pelajar, yang aktif mengikuti pelajarannya namun ia tidak pernah mengambil upah baik
dimadinah maupun di makkah, lain halnya dengan yaman. Disana mereka mencarikan syafi’i
pekerjaan, dimana dia bisa mengambil upah dari pekerjaannya tersebut, yaitu pekerjaan
dalam bidang peradilan, yang sesuai dengan pemahamankeahlian dan bidangnya.

Kemasyhuran imam syafi’i sampai ke kota makkah sehingga ketika orang-orang yaman pergi
ke makkah bersamanya, untuk melakukan umrah di bulan rajab, pujian dan sanjungan
seringkali di ucapkan dari mulut mereka (penduduk makkah) sehingga seorang syaikh sofyan
bin uyainah, seorang ahli hadist makkah, turut menyambut ketika bertemu dengannya dan
berkata : kebaikan yang engkau perbuat di yaman telah sampai beritanya kepadaku, apapun
yang engkau kerjakan untuk allah akan kembali kepadamu. Aku berharap tidak kembali lagi
ke yaman.

Namun imam syafi’i tidak memenuhi saran gurunya dan tetap kembali ke yaman, disana
mereka telah menyediakan satu jabatan yang tinggi yaitu mengangkatnya menjadi hakim di
najran. Penduduk najran mencoba untuk mendekati dan mengambil perhatian imam syafi’i,
seperti yang mereka lakukan kepada hakim-hakim sebelumnya, namu mereka gagal. Imam
syafi’i tetap istiqamah dalam menegakkan keadilan dan menumbang kebatilan. Untuk itu
mereka mulai merancangkan sebuah kejahatan untuk menghasut amirul mukminin bahwa
syafi’i melawan pemerintah pusat.

Dia meninggalkan yaman dan kembali ke makkah, dia tidak banyak melakukan hal-hal di
yaman kecuali dia telah menikah dan mempunyai anak.

4. Kembalinya imam syafi’i ke makkah

Imam syafi’i kembali ke makkah al-mukarramah. Pada perjalanannya yang sebelumnya dia
telah menyerap ilmu-ilmu dari hijaz dan iraq. Dia kembali dengan membawa ilmu ra’yi yang
diperoleh dari pertemuannya dengan seorang fakih iraq yaitu muhammad bin hasan, teman
abu hanifah. Ilmu ini dia sinergikan dengan ilmu ahli hijaz, yang diperolehnya dari imam
malikdi masjid nabawi dan syaikh muslim khalid az-zanji, syaikh masjidil haram, dan sofyan
bin uyainah seorang alim makkah.

Kepulangan imam syafi’i bukan untuk bergabung dengan halaqah yang telah ada di masjidil
haram, akan tetapi membuat halaqah yang baaru, halaqah yang dibentuknya banyak menarik
banyak kalangan ulama, mereka turut mendengarkan metode-metode yang diterapkan dalam
mengambil hukum. Diantara ulama ini adalah imam ahmad bin hanbal. Ketika beliau ke
makkah untuk menunaikan ibadah haji. Beliau bertemu dengan ulama besar dan para perawi
hadist terutama sofyan bin syafi’i.

Seorang alim dari iraq yang datang bersama imam ahmad bin hanbal ke makkah untuk haji
dan ilmu, dan belum mengetahui asy-syafi’i, berkata kepada imam ahmad : hai abdullah !
anda meninggalkan abu uyainah untuk datang kemari ? beliau berkata; diam ! jika engkau
ketinggalan sebuah hadist dari atas, engkau bisa dapatkan dari bawah, jika engkau
ketinggalan akal ini, aku takut engkau tidak akan mendapatkan lagi, sungguh, aku belum
pernah melihat seorang fakih tentang kitab allah kecuali pemuda ini. Aku bertanya ; siapakah
dia ? dia adalah muhammad bin idris.

5. Perjalanan imam syafi’i ke baghdad

Perjalanan ke baghada yang kedua kalinya, terjadi pada tahun 195 H, setalah imam syafi’i
mendapatkan kemasyhuran yang cukup besar, leawat ulama-ulama besar hadist dan fiqih ;
seperti ; ahmad bin hanbal, ishaq bin rahawaih, dan abdurrahman bin mahdi, ulama terakhir
inilah meminta syafi’i untuk menulis bukunya yang terkenal “ar risalah “ buku yang
memuat gagasan fiqih asy-syafi’i.

Asy-syafi’i memasuki baghdad seraya mengumumkan ijtihadnya, dengan bekal ilmu,


argumen yang kuat, serta kemampuan untuk menjelaskan ide-idenya. Di baghdad ia tinggal
dirumah az- za’ fani, seorang sastrawan yng kaya dan memiliki kedekatan dengan para
penguasa iraq.
Disana imam syafi’i mendatangi masjid al-jami’ yang biasanya diadakan halaqah ilmu, dia
mulai menyampaikan pelajaran dalam bidang usul fiqih sehingga para pelajar dan ulama-
ulama berbondong- bondong dalam menimba ilmu.

Para ahli hadist dan fiqih iraq berlomba mendatangi asy-syafi’i, mereka sangat mencintainya
dimana ulama yang lain tidak merasakan hal yang sama. Ilmu yang dimiliki oleh imam asy-
syafi’i ini sungguh memberikan manfaat kepada umat. Mereka juga sering melontarkan
pujian kepada imam syafi’i. Para faqih dan ahli ijtihad serta ahli bahasa sepakat mengatakan
“mereka belum pernah melihat alim seperi asy-syafi’i.”

6. Perjalanan asy-syafi’i ke mesir

Ketika khalifah abbasiyah al-ma’mun bin harun ar-rasyid ingin mengangkat wali mesir, yaitu
al-abbas bin musa. Dan syafi’i memiliki hubungan yang baik dengan al-abbas bin musa,
sehingga timbul keinginan untuk mengunjunginya di mesir. Ketika penduduk baghdad
mengetahui rencana ini, maka mereka bersedia melepas kepergiannya, termasuk ibn hanbal.

Dalam kepergiannya imam syafi’i ditemani oleh sejumlah murid-muridnya.diantaranya : ar-


rabi’ al-mirawi, abdullah bin az-zubair al-humaidi dan yang lainnya. Tiba di mesir bulan
syawwal tahun 199 H. Al-abbas bin musa penguasa baru mesir meminta asy-syafi’i tinggal
dirumahnya, namun ia menolak dan memilih untuk tinggal bersama bani azdi.

Pagi harinya, seorang alim bernama abdullah bin abdul hakam datang menemui imam syafi’i,
ia adalah salah seorang ulama besar mesir saat itu dan salah seorang yang didektekan al-
muwatta’ oleh asy-syafi’i ketika berada di madinah. Ternyata ia sudah mendapati imam
syafi’i telah memasuki masa tua, rambutnya dipenuhi oleh warna kemerah-merahan,
badannya tinggi, suaranya sangat lantang, perkataannya menjadi hujjah dalam masalah
bahasa, tercermin tanda-tanda keberanian, wajahnya tidak dipenuhi oleh daging, pipinya
persegi panjang serta lehernya panjang demikian pula tangan dan lengannya.[7]

D. Guru dan Murid Imam Syafi’i

1. Guru-guru imam syafi’i

Guru imam syafi’i yang pertama adalah muslim khalid az-zinji dan lain-lainnya dari makkah.
Ketika umur belia 13 tahun beliau mengembara ke madinah. Di madinah beliau belajar
dengan imam malik sampai imam malik meninggal dunia[8].

1. Gurunya di makkah : muslim bin khalid az-zinji, sufyan bin uyainah, said bin al-kudah,
daud bin abdur rahman, al-attar dan abdul hamid bin abdul aziz bin abi daud.

2. Gurunya di madinah : malik bin anas, ibrahim bin sa’ad al-ansari, abdul ‘aziz bin
muhammad ad-dawardi, ibrahim bin yahya, al usami, muhammad said bin abi fudaik dan
abdullah bin nafi’ as-saigh.
3. Gurunya di yaman : matraf bin mazin, hisyam bin yusuf kadhi bagi kota san’a, umar bin
abi maslamah, dan al-laith bin sa’ad.

4. Gurunya di iraq : muhammad bin al hasan, waki’bin al-jarrah al-kufi, abu usamah
hamad bin usamah al-kufi, ismail bin attiah al-basri dan abdul wahab bin abdul majid al-
basri.

5. Gurunya di baghdad : muhammad bin al-hasan.

2. Murid-murid imam syafi’i

Di makkah : abu bakar al-humaidi, ibrahim bin muhammad al-abbas, abu bakar muhammad
bin idris, musa bin abi al-jarud

Di baghdad : al-hasan as-sabah az-za’farani, al-husin bin ali al karabisi, abu thur al-kulbi dan
ahmad bin muhammad al-asy’ari al-abasri

Di mesir : hurmalah bin yahya, yusuf bin yahya al-buwaiti, ismail bin yahya al-mizani,
muhammad bin abdullah bin abdul hakam dan ar-rabi’bin sulaiman al-jizi.

Diantara para muridnya yang termasyhur sekali adalah ahmad bin hanbal, yang mana beliau
telah memberi jawaban kepada pertanyaan tentang imam syafi’i dengan katanya : allah ta’ala
telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui imam syafi’i.

E. Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i Yang Terkenal

Para ulama telah menyebutkan karangan imam asy-syafi’i yang tidak sedikit diantara
karangannya : [9]

1. Kitab al-umm

Sebuah kitab tebal yang terdiri dari empat jilid dan berisi 128 masalah. Al-hafizh ibnu hajar
berkata : jumlah kitab (masalah) dalam kitab al-umm lebih dari 140 bab-wallahu a’lam.
Dimlai dari kitab at-thaharah (maslah bersuci) kemudian kitab (as-shalah) masalah shalat.
Begitu seterusnya yang beliau susun berdasarkan bab-bab fiqih. Kitabnya yang diringkas oleh
al-muzani yang kemudian dicetak bersama al-umm. Sebagian orang ada yang menyangka
bahwa kitab ini bukanlah pena dari imam asy-syafi’i, melainkan karangan al-buwaiti yang
disusun oleh ar-rabi’in bin sulaiman al-muradi.

Bersama dengan kitab al-umm, dicetak pula kitab-kitab lainnya, yaitu :

a. Kitab jima’ul ‘ilmi sebagai pembela terhadap as-sunah dan pengamalannya.

b. Kitab ibthaalul istihsan, sebagai sanggahan terhadap para fuqaha (ahli fiqih) dari
mazhab hanafi
c. Kitab perbedaan antara imam malik dan imam syafi’i

d. Kitab ar-radd ‘alaa muhammad bi hasan (bantahan terhadap muhammad bin hasan)

2. Kitab ar-risalah jadiidah

Sebuah kitab yang telah dicetak dan di tahqiq (diteliti) oleh syaikh ahmad syakir, yang
diambil dari riwayat ar-rabi’in bin sulaiman dari imam asy-syafi’i. Kitab ini terdiri dari satu
jilid besar. Didalam kitab ini imam syafi’i berbicara tentang al-quran dan penjelasannya,
beliau mengemukakan bahwa banyak dalil mengenai keharusan berhujjah dan
berargumentasi dengan as-sunah. Beliau juga mengupas masalah nasikh dan mansukh dalam
al-quran dan as-sunah, menguraikan tentang ‘ilal (‘illat/cacat) yang terdapat pada bagian
hadist dan alasan dari keharusan mengambil hadist ahad sebagai hujjah dan dasar hukum,
serta apa yang boleh diperselisihkan dan tidak boleh diperselisihkan di dalamnya.

Selain kedua kitab yang telah disebutkan, ada bebeerapa kitab lain yang dinisbahkan kepada
imam syafi’i, seperti kitab al-musnad, as-sunanar-radd ‘alal baraahimah, mihnatusy syafi’i,
ahkamul al-quran dan lain-lain.

Dasar atau sumber hukun yang digunakan imam syafi’i dalam melakukan ijtihad adalah :[10]

1. Al-quran

2. Sunnah, baik yang mutawatir maupun yang ahad

3. Ijmak sahabatan

4. Qaul sahabi, atau perkataan sahabat secara pribadi

5. Qiyas, yaitu keharusan membawa furu’ (masala baru) kepada ashl (masalah yang sudah
ditetapkan hukumnya dalam nash).

6. Istishab, menggunakan hukum yang sudah ada sampai ada hukum baru yang
mengubahnya.
F. Wafatnya Imam Asy-Syafi’i

Diakhir hayatnya,imam asy-syafi’i sibuk, berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di


mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit
wasir yang menyebabkankeluarnya darah. Tetapi karena kecintaannya terhadap ilmu. Imam
syafi’i tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak memperdulikan sakitnya, sampai akhir
beliau wafat pada akhir bulan rajab tahun 204 H.

Al-muzani berkata : tatkala aku menjenguk iam asy-syafi’i pada saat sakit yang membawa
kepada kematiaannya, aku bertanya kepadanya : bagaimanakah keadaanmu, wahai ustadz ?
imam syafi’i menjawab : aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku.
Aku akan meneguk piala kematian dan akan menghadap allah serta akan bertemu dengan
amal jelekku. Demi allah, aku tidak tahu kemana ruhku akan kembali : ke surga yang
dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka. [11]

Kemudian imam syafi’i melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada orang-orang di sekitar
itu: jika aku meninggal, pergilah kalian kepada penguasa, dan mintalah kepadanya agar sudi
memandikanku, lalu sepupunya berkata : kami akan turun sebentar untuk shalat, imam syafi’i
menjawab, pergilah dan setelah itu, duduklah disini menunggu keluarnya ruhku. Lalu kami
turun untuk shalat di masjid, ketika kami kembali, kami berkata kepadanya :apakah engkau
sudah shalat ? sudah jawab imam syafi’i, lalu ia meminta segelas air, pada saat itu sedang
musim dingin, kami berkata : biar kami campurkan dengan air hangat, ia berkata : jangan,
sebaiknya dengan air safarjal. Lalu ia wafat. Ada yang mengatakan wafatnya pada akhir isya
(menjelang subuh) dan ada juga yang mengatakan sesudah maghrib.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

sejarawan sepakat bahwa imam asy-syafi’i lahir pada tahun 150 H. Nama lengkap dari Imam
Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin as-Saib
bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib.

Diakhir hayatnya,imam asy-syafi’i sibuk, berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di


mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit
wasir yang menyebabkankeluarnya darah. Tetapi karena kecintaannya terhadap ilmu. Imam
syafi’i tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak memperdulikan sakitnya, sampai akhir
beliau wafat pada akhir bulan rajab tahun 204 H.

B. Saran

Saran nya yaitu supaya umat Islam sering membaca tentang tokoh Islam khusus nya (Remaja
Islam). Agar mengetahui perjuangan para tokoh-tokoh Islam dalam Islam. Agar lebih mantap
dengan Islam dan lebih mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.

Anda mungkin juga menyukai