Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TEORI EKONOMI MAKRO

Disusun Oleh
Kelompok III :
Igntius Danang
Nabila Fayha Putri
Nabila Zahrani
Siti Namirah

PROGRAM S1 MANAJEMEN
KELAS KARYAWAN
ABFI INSTITUSI PERBANAS
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat Rahmat-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Pengantar Ekonomi Makro yang diberikan oleh Ibu Widiastuti Murtiningrum selaku dosen
mata kuliah. Selain itu tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman kita mengenai penerapan ekonomi makro di Indonesia pada masa Orde Baru dan
kebijakan yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru
Penulis menyadari bahwa makalah ini msih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat dan menjadi referensi atau sumber informasi bagi pembaca.

15 November 2018
I. PEMBAHASAN

1.1 Ekonomi Makro pada Perekonomian Indonesia ditinjau dari faktor georafis, faktor
ekonomis, faktor sosial budaya, faktor politis historis
1. Faktor Geografis
Sumber daya alam yang ada tersebar di beberapa daerah, antara daerah yang satu dan
yang lainnya tidak akan pernah sama. Ada daerah yang subur dan ada juga daerah yang
gersang. Di daerah ini menghasilkan tambang, namun di daerah lain belum tentu sama bisa
juga penghasil kopi dan lain sebagainya. Penyebaran sumber daya alam sangat tidak merata
inilah yang menyebabkan kelangkaan. Salah satuc ontohnya masyarakat yang menempati
daerah dataran tinggi yang berkapur atau bebatuan sulit menemukan sumber air ketika
kemarau jadi mau tidak mau mereka harus berkorban untuk membeli air tersebut. Berbeda
dengan masyarakat yang berada di dataran rendah dimana air yang mereka pakai sulit habis
meskipun di musim kemarau karena mereka memiliki sumber air berupa sumur.
Sumber daya alam yang tersedia di masing-masing daerah tersebut juga harus
dibarengi dengan sumber daya manusia yang memadai dan terampil. Supaya pemanfaatan
sumberdaya alamnya tepat serta efisien. Sehingga bisa membantu pertumbuhan ekonomi
setidaknya di masing-masing daerah tersebut.

Berikut kelebihan serta kekurangan Letak Geografis Indonesia terhadap Ekonominya

Kelebihan:

Kelebihan letak geografis Indonesia di bidang ekonomi antara lain adalah dapat menambah
devisa negara, dapat dijadikan sebagai pusat perekonomian diantara 2 samudra dan 2 benua,
dapat dijadikan sebagai jalur perdagangan dunia, dapat mengembangkan pariwisata lebih
lanjut dalam kancah dunia dan menjadikan beberapa tempat di wilayah Indonesia sebagai
destinasi pariwista utama, contohnya adalah Bali.

Kekurangan:

Kekurangan letak geografis Indonesia dalam bidang ekonomi antara lain adalah terjadinya
pasar gelap yang tersebar di berbagai wilayah, adanya eksplorasi secara besar-besaran dan
terjadinya persaingan global yang tidak sehat.

2. Faktor Ekonomis
Masalah ekonomi umumnya berupa masalah kemiskinan, pengangguran dan lain lain.
Pada umumnya yang bertanggung jawab pada masalah ini adalah pemerintah, sebab
pemerintah kurang merata dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya.
Akibat dari masalah perekonomian ini menyebabkan masyarakat rentan untuk melakukan
tindakan kriminalitas. Faktor ekonomi juga bisa menjadi acuan suatu nengara dapat dikatakan
maju atau tidak.
Sumber daya modal juga termasuk salah satu faktor ekonomis. Ada tidaknya suatu
modal sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk Negara maju
tidak perlu diragukan lagi sumber daya modal yang mereka punya sangat mencukupi dalam
proses kegiatan ekonomi. Dan sebaliknya negara berkembang sangat membutuhkan banyak
modal untuk proses kegiatan ekonominya. Salah satu upaya untuk mendapatkan sumber daya
modal pada negara berkembang yaitu dengan melakukan pembentukan dan juga
pengembangan investasi. Dengan adanya pembentukan dan juga pengembangan investasi
maka diharapkan dapat meningkatkan suatu produktivitas.
Saat ini ada beberapa perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Contohnya, unilever, shell, danone. Adanya perusahaan asing tersebut, selain bisa membantu
partumbuhan ekonomi Indonesia dari segi modal, juga bisa menambah lahan pekerjaan bagi
para pekerja lokal, sehingga angka pengangguran di Indonesia setidaknya bisa berkurang.

3. Faktor Sosial Budaya


Faktor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi
adalah faktor sosial-budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan makan,
perubahan etikadan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap
lebih hebat (tipe ideal). Misalnya, berubahnya kebiasaan belanja dari pasar tradisional ke
pasar swalayan.
Sosial budaya juga menjadi salah satu faktor penentu dalam pertumbuhan ekonomi.
Dua aspek ini memberikan pengaruh terhadap manusia yang bergelut di dunia ekonomi.
Sosial budaya yang baik akan mengarahkan individu ke hal-hal yang baik dan terhindar dari
sesuatu hal yang jelek seperti korupsi, pemborosan egoisme dan lainnya.
Dari bukti sejarah yang ada, sekarang jelas bahwa faktor non-ekonomi sama
pentingnya dalam pengembangan sebagai faktor ekonomi yang merupakan hukum ekonomi
pembangunan. Di sini kita mencoba untuk menjelaskan bagaimana pengaruh mereka
terhadap proses pembangunan ekonomi:

1. Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam pembangunan ekonomi.
Manusia menyediakan tenaga kerja untuk produksi dan jika tenaga kerja di negara itu efisien
dan terampil, kapasitasnya untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan pasti akan tinggi.
Produktifitas orang-orang yang buta huruf, tidak terampil dan percaya takhayul umumnya
rendah dan mereka tidak memberikan harapan untuk perkembangan di suatu negara. Tetapi
jika sumber daya manusia tetap tidak terpakai atau manajemen ketenagakerjaan tetap rusak,
orang yang sama yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap aktivitas pertumbuhan
terbukti menjadi beban ekonomi.

2. Pengetahuan Teknis dan Pendidikan Umum


Belum pernah, diragukan bahwa tingkat pengetahuan teknis memiliki kaitan langsung
dengan laju pembangunan. Seiring kemajuan pengetahuan ilmiah dan teknologi, manusia
menemukan teknik produksi yang lebih canggih dan semakin meningkatkan tingkat
produktivitas. Karena teknologi sekarang telah menjadi sangat canggih, perhatian yang lebih
besar harus diberikan pada Penelitian dan Pengembangan untuk kemajuan lebih lanjut.
Dengan asumsi fungsi produksi homogen linier dan perubahan teknis netral yang tidak
mempengaruhi tingkat substitusi antara modal dan tenaga kerja.

3. Kebebasan Politik
Melihat sejarah dunia zaman modern, kita belajar bahwa proses pembangunan dan
keterbelakangan saling terkait dan salah melihatnya dalam keterasingan. Pemerintahan juga
secara terang-terangan menjelaskan bahwa pembuangan kekayaan adalah penyebab utama
meningkatnya kemiskinan selama periode tertentu, yang pada gilirannya menahan
pembangunan ekonomi negara.

4. Organisasi Sosial
Partisipasi masyrakat dalam program pembangunan merupakan prasyarat untuk
mempercepat proses pertumbuhan. Namun, orang menunjukkan minat pada aktivitas
pengembangan hanya jika mereka merasa bahwa hasil pertumbuhan akan terbagi secara adil.
Pengalaman dari sejumlah negara menunjukkan bahwa setiap kali organisasi sosial yang
cacat mengizinkan beberapa kelompok elit untuk menyesuaikan manfaat pertumbuhan, massa
umum orang mengembangkan sikap apatis terhadap program pembangunan negara. Dalam
keadaan seperti ini, sia-sia agar masyarakat akan berpartisipasi dalam proyek pembangunan
yang dilakukan oleh Negara.

5. Korupsi
Korupsi merajalela di negara-negara berkembang di berbagai tingkatan dan beroperasi
sebagai faktor negatif dalam proses pertumbuhan mereka. Sampai dan kecuali negara-negara
ini membasmi korupsi dalam sistem administrasi mereka, wajar bila para kapitalis, pedagang
dan kelas ekonomi kuat lainnya akan terus mengeksploitasi sumber daya nasional untuk
kepentingan pribadi mereka. Sistem peraturan juga sering disalahgunakan dan lisensi tidak
selalu diberikan secara pantas. Seni penghindaran pajak telah disempurnakan di negara-
negara kurang berkembang oleh bagian-bagian tertentu dari masyarakat dan seringkali pajak
dihindari dengan dukungan pejabat pemerintah.

6. Keinginan untuk Berkembang


Aktivitas pembangunan bukanlah proses mekanis. Laju pertumbuhan ekonomi di
negara manapun sangat bergantung pada keinginan masyarakat untuk berkembang. Jika di
tingkat kesadaran beberapa negara rendah dan massa umum masyarakat telah menerima
kemiskinan sebagai takdirnya, maka akan sedikit harapan untuk pembangunan.

1.2 Penerapan Ekonomi Makro di Indonesia Pada Masa Orde Baru


Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan presiden Soeharto di Indonesia.
Masa Orde baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Orde baru menggantikan Orde
Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Di awal Orde Baru, Soeharto
berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa
lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Soeharto pertama memerintah adalah keadaan
ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada
pemerintahan Soeharto. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat
kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau
lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan
ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk
menarik modal. Indikator yang digunakan untuk melihat penerapan ekonomi makro di
Indonesia pada masa Orde Baru dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi,
tinkat pengangguran, neraca pembayaran, dan nilai tukar.

1. Pertumbuhan ekonomi
Pada masa orde lama yang berlangsung dari tahun 1945 hingga 1965 berdasarkan data
terlampir, tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi pada tahun 1961 yaitu sebesar 6,1%
sedangkan terjadi kemerosotan perekonomian yang sangat besar di tahun 1963 yaitu sebesar -
2,3%. Secara umum pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa orde lama ini sangat buruk,
hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: nasionalisasi perusahaan asing, kekurangan
capital, kebijakan anti investasi asing, hilangnya pangsa pasar sejumlah komoditas
perdagangan internasional, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah
pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat
jelek selama rezim tersebut. Sehingga dengan kondisi politik dan sosial dalam negeri seperti
ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Pada masa orde baru yang berlangsung sejak tahun 1966 hingga 1998 pertumbuhan
ekonomi Indonesia mengalami gejolak fluktuasi yang tajam. Pada masa ini terdapat 2 periode
pertumbuhan ekonomi yang berbanding terbalik. Sejak kemerdekaan hingga sekarang tingkat
pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada masa kejayaan pembangunan ekonomi yaitu
pada periode tahun 1968 dengan persentase sebesar 12%. Hal ini disebabkan karena program
ekonomi jangka pendek yaitu pada tahap stabilisasi antara bulan januari hingga juni tahun
1968. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada masa krisis ekonomi
pada priode tahun 1998 dengan persentase sebesar -13,1%. Hal ini disebabkan karena Krisis
rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik.

2. Tingkat Inflasi
Tingkat inflasi pada masa Orde Lama, mencapai kurang lebih 300% pertahun. Inflasi
pada masa Orde lama terjadi karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Saat itu untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan 3 mata uang yang
berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank, lalu uang NICA dan uang kertas
baru yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia).
Usaha-usaha yang dijalankan pemerintah pada masa orde lama yaitu : melakukan
pinjaman nasional, upaya menebus blockade, melakukan Konferensi Ekonomi Februari 1946,
pembentukan Planning Board dan Kasino Plan. Dan Pada sekitar tahun 1959-1967 Indonesia
menjalankan sistem demokrasi terpimpin, yang segala sesuatu baik stuktur ekonomi
indonesia diatur sepenuhnya oleh pemerintah namun kebijakan ini belum dapat memperbaiki
keadaan kondisi di negara ini. Hal ini di lihat ketika pemerintah menjadikan uang Rp 1.000
menjadi Rp. 1 Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama,
tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan
pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Pada masa orde baru, Ketika Soeharto menjabat menjadi presiden RI saat ini kondisi
perekonomian di indonesia masih sangat buruk, tingkat inflasi yang terjadi pada negara kita
mencapai 1.195,4% pada tahun 1966. Presiden Soeharto saat itu menambahkan langkah yang
telah di lakukan sebelumnya oleh Soekarno, dan ternyata Soeharto berhasil menekan inflasi
dari 1.195,4 % menjadi dibawah 3% dalam waktu kurang dari lima tahun. Soeharto
melakukan hal yang jauh berbeda dengan presiden sebelumnya, beliau membuat anggaran,
menerbitkan sektor perbankan, mengembalikan sektor ekonomi dan merangkul negara-negara
barat untuk menarik modal. Tingkat inflasi mencapai 46,5% pada tahun 1974, tapi berhasil
ditekan jadi selama periode 1970-1992 mencapai tingkatan rata-rata 12,7%, lalu 1988 angka
inflasi selalu dibawah 10% sampai pada tahun 1997. Setelah itu pada tahun 1998 terjadi krisis
moneter yang dimana tingkat inflasi pada saat itu naik menjadi 75,3% yang kemudian
menyebabkan lengsernya presiden Soeharto.

3. Tingkat Pegangguran
Pada masa orde lama, tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 4,5 juta jiwa.
Tingkat pengangguran pada masa ini disebabkan karena adanya blockade ekonomi dan
eksploitasi besar-besar pada masa penjajahan. Pada masa orde baru, tingkat pengangguran di
Indonesia mencapai 6,73 juta jiwa dengan persentase rata-rata 3% dari jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 1966 hingga tahun 1998. Hal ini disebabkan karena kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan
untuk mendukung proses industrialisasi. Selain itu barang – barang impor (berasal dari luar
negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga industri
Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut.

4. Balance of Payment
Pada masa orde lama, neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit yaitu sebesar
US$ 2,7milyar. Besarnya jumlah defisit ini diakibatkan oleh adanya blockade ekonomi yang
dilakukan belanda untuk menutup pintu perdagangan luar negeri Republik Indonesia.
Pada masa orde baru, neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus yaitu sebesar US$
6,7milyar. Besarnya jumlah surplus ini dikarenakan suksesnya program REPELITA yang
menyebabkan tercukupinya bahan pangan sehingga produksi dalam negeri yang dapat
diekspor keluar negeri.

5. Nilai Tukar
Pada masa orde lama belum terdapat besaran nilai tukar, hal ini disebabkan karena
Indonesia masih menggunakan mata uang dollar. Namun, mulai sejak masuknya orde baru
tepatnya pada tahun 1966 indonesia memiliki mata uangnya sendiri yaitu Rupiah dengan nilai
tukar terhadap dolar sebesar 149,6 rupiah per dolar. Nilai tukar ini terus meningkat setiap
tahunnya dengan rata-rata 8%. Pada tahun 1972 hingga 1977 nilai tukar Indonesia terhadap
dolar tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada posisi 415 rupiah per dolar. Sedangkan
pada masa reformasi hingga sekarang, nilai tukar rupiah fluktuasi setiap harinya.
1.3 Kebijakan Ekonomi di Indonesia Pada Masa Orde Baru
1. Kebijakan Devisa di Indonesia Tahun 1966-1983
Di awal periode ini, bidang devisa ditandai oleh deficit neraca pembayaran sebesar
USD364 juta dan tidak terbayarnya pinjaman luar negeri sebesar USD2,4 milyar.
Oleh karena itu, melalui Peraturan Pemerintah No.64 tahun 1970 menggantikan UU
No.32 Tahun 1964, Pemerintah melonggarkan pengawasan devisa dan membuka kesempatan
bagi masuknya penerimaan modal asing. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk melancarkan
kegiatan ekspor dan lalu lintas devisa. Dalam Peraturan pemerintah tersebut diperkenalkan
dua macam devisa, yaitu Devisa Umum (DU) dan Devisa Kredit (DK). DU berasal dari
perdagangan barang dan jasa, sedangan DK berasal dari bantuan luar negeri, yaitu berupa
pinjaman luar negeri dan hibah.
Bank Indonesia diberi tugas melakukan pengawasan lalu lintas devisa. Sementara itu,
Pemerintah juga membentuk Lembaga Pengembangan Ekspor nasional (LPEN) guna
meningkatkan ekspor. Tugas LPEN tersebut antara lain menyediakan dan memberikan
penerangan kepada jawatan Pemerintah, eksportir dan pembeli di luar negeri.
Kebijakan devisa semi terkontrol tersebut berlaku hingga tahun 1982. Selanjutnya
Indonesia menganut kebijakan devisa bebas berdasarkan PP No.1 tahun 1982. Dalam PP
tersebut dinyatakan bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan
devisa tanpa mengatur tentang kewajiban melapor, tidak seperti di negara-negara lain.

2. Kebijakan nilai tukar di Indonesia Tahun 1966-1983


Dengan Peraturan Pemerintah tanggal 28 Juli 1967, multiple exchange rate system
disederhanakan dengan cara mematok nilai tukar Rupiah terhadap USD berdasarkan dua nilai
tukar dasar, yaitu System Bonus Ekspor dan Devisa Pelengkap (DP). Dalam hal ini, eksportir
setiap menjual devisa hasil ekspor memperoleh bonus ekspor dan devisa pelengkap. Bonus
ekspor digunakan untuk impor atau pembelian barang yang diprioritaskan, sedangkan DP
digunakan untuk segala macam tujuan. System nilai tukar ganda ini kemudian dicabut pada
tanggal 17 April 1971 dan diganti dengan nilai tukar tunggal sebesar Rp.378,- per USD1,-
Nilai tukar dimaksud kemudian didevaluasi menjadi Rp.415,- per USD pada tanggal
23 Agustus 1971. Selanjutnya, pada tanggal 15 November 1978 didevaluasi lagi menjadi
Rp.625,- per USD1,- dan sekaligus mengubah system nilai tukar dari sebelumnya hanya
dikaitkan dengan USD diganti dengan sekeranjang mata uang mitra dagang utama.
Dengan perubahan ini maka nilai tukar Rupiah semakin didekatkan pada berbagai
pasar sehingga diharapkan dapat lebih mendorong ekspor. Di akhir periode ini, tepatnya 30
Maret 1983 dilakukan devaluasi lagi sehingga menjadi Rp.970,- per USD1,-

3. Kebijakan Hutang Luar Negeri Tahun 1966-1983


Pada awal periode ini, Pemerintah memulai pelaksanaan APBN yang berimbang
dengan utang luar negeri sebagai sumber dana penyeimbangnya. Selain itu, kebijakan
Pemerintah adalah mengusahakan untuk memperoleh persetujuan penjadwalan kembali
utang-utang luar negeri (lama) yang diperoleh pemerintahan sebelumnya dari negara-negara
donor, baik blok barat maupun blok timur. Selain itu, juga diusahakan memperoleh utang
baru untuk membiayai program pembangunan sehingga tidak lagi semata-mata
mengandalkan pembiayaan dari bank sentral.
Usaha penjadwalan kembali utang lama Pemerintah dilakukan melalui forum The
Paris Club, dengan Pemerintah Belanda sebagai tuan rumah. Pertemuan tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh persetujuan penjadualan kembali utang-utang lama
Pemerintah. Setelah melalui beberapa pertemuan, dalam pertemuan Paris Club April 1970,
disetujui cara-cara pembiayaan utang lama, yaitu utang pokok dibayar selama 30 tahun dari
tahun 1970 hingga tahun 1999 dengan cara angsuran tahunan dan pembayaran bunga
pinjaman dilakukan dalam 15 kali angsuran mulai tahun 1981. Utang pokok akan dibayar
dalam jangka waktu 30 tahun dengan jumlah angsuran tahunan yang sama. Pembayaran
angsuran pertama dilakukan pada tahun 1970, sedangkan utang bunga akan dibayar dalam
jangka waktu 15 tahun dengan jumlah angsuran tahunan yang sama. Pembayaran angsuran
bunga dilakukan mulai tahun 1985.
Untuk menggerakkan kegiatan perekonomian, pada Februari 1967 dilakukan
pertemuan di Amsterdam untuk membahas kebutuhan pinjaman, yang merupakan sumber
pembiayaan pelengkap dalam APBN guna membiayai program pembangunan dengan syarat-
syarat lunak. Dari pertemuan tersebut lahirlah Inter Governmental Group on Indonesia
(IGGI). IGGI merupakan organisasi yang informal dalam arti tidak memiliki anggaran dasar
yang resmi, tidak memiliki sekretariat yang permanent, dan piranti institusional lainnya yang
mencerminkan status organisasi yang resmi. Organisasi ini adalah sebuah lembaga
internasional tanpa beban atau paksaan bagi para anggotanya. Tujuan IGGI hanya sebagai
forum untuk memperlancar aktivitas terkoordinir diantara anggota-anggotanya sebagai media
berbagi pendapat.

1.4 APBN
APBN tahun 2018 disusun dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian global
maupun domestik, yang tercermin dari asumsi dasar ekonomi makro sebagai berikut.

1. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,4 persen;


2. Inflasi dapat terkendali dalam kisaran 3,5 persen;
3. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan berada pada
Rp13.400 per dolar Amerika Serikat;
4. Tingkat suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,2 persen
5. Indonesia Crude Price (ICP) diperkirakan rata-rata mencapai USD48,0 per barel;
6. Lifting minyak dan gas bumi tahun 2018 diperkirakan masing-masing mencapai 800
ribu barel per hari dan 1.200 ribu barel setara minyak per hari.

Besaran indikator ekonomi makro tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari luar
(global) maupun dalam negeri (domestik). Pengaruh faktor global diantaranya harga
komoditas yang masih lemah, perdagangan dunia meningkat namun masih dibayangi isu
proteksionisme dan perlambatan tingkat permintaan dari Tiongkok, Uni Eropa dan Jepang,
serta ketegangan geo politik di Timur Tengah dan Asia.
Pengaruh dari faktor domestik, yaitu tingkat kepercayaan dan daya beli masyarakat,
keyakinan pelaku usaha, peningkatan peran swasta melalui kredit investasi dan investasi
langsung, perbaikan neraca pembayaran serta penguatan cadangan devisa.

Pokok-pokok Kebijakan APBN Tahun 2018

1. Pendapatan Negara
Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7
triliun. Jumlah ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan
Negara Bukan Pajak sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun.
Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah akan melakukan berbagai upaya
penguatan reformasi di bidang perpajakan serta Kepabeanan dan Cukai, antara lain melalui:

1. Dukungan Automatic Exchange of Information (AEoI) agar dapat meningkatkan basis


pajak serta mencegah praktik penghindaran pajak dan erosi perpajakan;
2. Penguatan data dan Sistem Informasi Perpajakan agar lebih up to date dan
terintegrasi, melalui e-filing, e-form dan e-faktur;
3. Membangun kepatuhan dan kesadaran pajak (sustainable compliance);
4. Perbaikan kemudahan dan percepatan pelayanan di pelabuhan dan bandara serta,
penegakan pemberantasan penyelundupan.

Sedangkan di bidang PNBP, pencapaian target didukung dengan langkah efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya alam, peningkatan kinerja BUMN, perbaikan regulasi
PNBP serta perbaikan pengelolaan PNBP di Kementerian/Lembaga.

2. Belanja Negara
Belanja negara dalam APBN 2018, pemerintah dan DPR RI menyepakati belanja
sebesar Rp2.220,7 triliun. Besaran ini meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.454,5
triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp766,2 triliun.
Sementara itu, transfer ke daerah dan dana desa dalam APBN 2018 dialokasikan
sebesar Rp766,2 triliun. Alokasi ini diarahkan untuk meningkatkan pemerataan kemampuan
keuangan antardaerah, meningkatkan kualitas dan mengurangi ketimpangan layanan publik
antardaerah, serta mendukung upaya percepatan pengentasan kemiskinan di daerah.
Adapun kebijakan dan output yang menjadi sasaran alokasi transfer ke daerah dan
dana desa sebagai berikut :

(1) DAU diarahkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan antar daerah dengan
sasaran membaiknya indeks pemerataan menjadi 0,5947.
(2) DAK Fisik diarahkan untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur layanan publik
dengan sasaran antara lain sarana dan prasarana puskesmas 15,7 Ribu unit, irigasi
51 Ribu ha, rehabilitasi jaringan irigasi 771,9 Ribu ha, stimulan pembangunan
perumahan baru 225,8 Ribu rumah tangga.
(3) DAK non fisik diarahkan untuk mengurangi beban masyarakat terhadap layanan
publik dengan sasaran BOS 47,4 Juta siswa, tunjangan profesi guru (TPG) 1,2 Juta
guru, dan bantuan operasional kesehatan (BOK) 9.785 puskesmas.
(4) Dana Desa diarahkan untuk pengentasan kemiskinan melalui penurunan porsi
alokasi yang dibagi merata dan peningkatan alokasi formula, pemberian bobot yang
lebih besar kepada jumlah penduduk miskin dan afirmasi kepada daerah tertinggal
dan sangat tertinggal dengan jumlah penduduk miskin tinggi, dengan alokasi per
desa rata rata Rp1,15 Miliar untuk 74.958 desa.
3. Pengelolaan Pembiyaan
Berdasarkan perkiraan pendapatan negara dan rencana belanja negara, maka defisit
anggaran pada APBN tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp325,9 triliun (2,19 persen PDB).
Besaran ini lebih rendah dibandingkan outlook APBN Perubahan tahun 2017 sebesar 2,67%
terhadap PDB. Keseimbangan primer juga turun menjadi negatif Rp87,3 triliun dari outlook
tahun 2017 sebesar negatif Rp144,3 triliun.
Defisit anggaran tersebut akan ditutup dengan sumber-sumber pembiayaan anggaran
yang mengacu pada kebijakan untuk mengendalikan rasio utang terhadap PDB dalam batas
aman dan efisiensi pembiayaan anggaran agar tercapai fiscal sustainability. Selain itu,
pembiayaan anggaran tahun 2018 juga diarahkan untuk pembiayaan investasi dalam rangka
mendukung pembangunan infrastruktur, perbaikan kualitas pendidikan, dan UMKM.

Anda mungkin juga menyukai