Blok 26 TBC.
Blok 26 TBC.
Pada blok 26 ini, topik pembelajaran yang kami dapat adalah mengenai kesehatan
masyarkat dan kedokteran komunitas. Dalam Belajar Mandiri Terarah, kami ditugaskan untuk
membuat sebuah tinjauan pustaka tentang pemberantasan penyakit menular tuberculosis paru.
Pada akhirnya, kami pun dapat menyusun tinjauan pustaka ini. Tujuan penting dari penyusunan
tinjauan pustaka ini ialah agar kami dapat memahami lebih dalam materi tentang pemberantasan
penyakit menular tuberculosis paru, serta hal-hal penting yang terkait di dalamnya, seperti
penegakan diagnosis, epidemiologi TBC, program puskesmas untuk TBC, peran dokter keluarga,
dan lain-lain.
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pemberantasan penyakit menular tuberculosis
paru, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu tuberculosis paru.
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan bagian bawah
terutama paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penularan kuman dipindahkan
melalui udara ketika seseorang sedang batuk atau bersin, yang kemudian terjadi droplet. Seorang
penderita TBC akan mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, anoreksia,
penurunan berat-badan, haid tidak teratur pada wanita, demam sub febris dari beberapa minggu
sampai beberapa bulan, malam batuk, produksi sputum mukuporolent atau disertai darah, nafas
bunyi crakles (gemercik), wheezing (mengi), keringat banyak malam hari, dan merasa
kedinginan.
a. Etiologi
b. Epidemiologi
Dalam hal mempertimbangkan kepekaan seseorang terhadap tuberkulosis, ada dua faktor
yang harus dipikirkan. Pertama, adalah risiko mendapatkan infeksi dan yang lain adalah risiko
timbulnya penyakit klinik sesudah infeksi terjadi. Risiko mendapatkan infeksi dan timbulnya
penyakit klinik tergantung dari adanya infeksi di dalam masyarakat, kepadatan penduduk,
keadaan sosial dari populasi tersebut dari tidak tepatnya perawatan medis. Sumber penularan
adalah penderita tuberkulosis BTA positif yang dapat menularkan kepada orang yang berada di
sekelilingnya, terutama kontak erat. Resiko penularan setiap tahun (annual risk of tuberculosis
infection: ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberculosis hanya 10%
yang akan terinfeksi. Hal ini dipengaruhi daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi
buruk atau HIV/AIDS.4
WHO memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia, kurang lebih sejumlah 2 bilyun
orang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara,
Cina, India dan Amerika Latin.3 Data yang dilaporkan WHO Indonesia menempati urutan nomor
tiga setelah india dan cina yaitu dengan angka 1,7 juta orang Indonesia, menurut teori apabila
tidak diobati, tiap satu orang penderita tuberkulosis akan menularkan pada sekitar 10 sampai 15
orang dan cara penularannya dipengaruhi berbagai faktor.
Tuberkulosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stres, nutrisi jelek, penuh
sesak, perawatan kesehatan yang tidak memadai, dan perpindahan tempat.3
Pada orang dewasa dua pertiga kasus terjadi pada laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi
tuberkulosis pada wanita di masa anak-anak. Pada anak, kebanyakan terinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis di rumahnya dari seseorang yang dekat padanya. Orang dewasa
yang terinfeksi virus HIV dengan tuberculosis dapat menularkan Mycobacterium tuberculosis ke
anak, beberapa darinya berkembang penyakit tuberculosis, dan anak dengan infeksi HIV
bertambah resiko berkembang tuberculosis sesudah infeksi.3
c. Cara Penularan
Penularan TB dikenal melalui udara, terutama pada udara tertutup seperti udara dalam
rumah yang pengap dan lembab, udara dalam pesawat terbang, gedung pertemuan, dan kereta api
berpendingin. Prosesnya tentu tidak secara langsung, menghirup udara bercampur bakteri TB
lalu terinfeksi, lalu menderita TB, tidak demikian. Masih banyak variabel yang berperan dalam
timbulnya kejadian TB pada seseorang, meski orang tersebut menghirup udara yang
mengandung kuman. Sumber penularan adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita
TB batuk, berbicara atau bersin, maka bakteri TB akan berhamburan bersama ”droplet” nafas
penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB aktif dan luka terbuka pada
parunya.1,2
Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan serta patogenesitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang menghirup
udara yang mengandung kuman tersebut. Kuman TB sangat sensitif terhadap cahaya ultra violet.
Cahaya matahari sangat berperan dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu,
ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB berbasis keluarga atau lingkungan.4
d. Periode Prepatogenesis
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau
antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama.
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang
besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler
tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis.
Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan
hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.5
Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan
kematian :
Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan,
perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita
Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku
pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak
terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk dengan
sosialekonomi rendah memiliki laju lebih tinggi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial
sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara
umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi
turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan
kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku
sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan
pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.5
Interaksi terutama terjadi akibat masuknya agent ke dalam saluran respirasi dan
pencernaan host. Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi
dari Agent, Host dan Lingkungan.2,4,5
Basil TB yang masuk ke dalam paru melalui bronkhus secara langsung dan pada manusia
yang pertama kali terinfeksi disebut primary infection dan umumnya tidak terlihat gejalanya.
Sebagian besar orang berhasil menahan serangan kuman tersebut dengan cara melakukan isolasi
dengan cara kuman TB dimakan oleh makrofag, dan dikumpulkan pada kelenjar regional
disekitar hilus paru. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
membelah diri di paru yang menyebabkan peradangan di dalam paru. Oleh sebab itu, kemudian
disebut sebagai kompleks primer. Pada saat terjadi infeksi, kuman masuk hingga pembentukan
kompleks primer sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat diketahui dengan reaksi positif pada
tes tuberkulin.2
Biasanya hal tersebut terjadi pada masa kanak-kanak dibawah umur 1 tahun. Apabila
gagal melakukan containment kuman, maka kuman TB masuk melalui aliran darah dan
berkembang, maka timbulah peristiwa klinik yang disebut TB milier. Bahkan kuman bisa dibawa
aliran darah ke selaput otak yang disebut meningitis radang selaput otak yang sering
menimbulkan sequele gejala sisa yang permanen.2
Sebagian besar dari kuman TB yang beredar dan masuk ke dalam paru orang-orang yang
tertular mengalami fase atau menjadi dormant dan muncul bila kondisi tubuh mengalami
penurunan kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS. TB secara teoritis menyerang
berbagai organ, namun terutama menyerang organ paru. Sedangkan pada paru-paru tempat yang
paling disukai atau tempat yang sering terkena adalah bagian apical pasterior. Hal ini disebabkan
karena Mycrobacterium tubercolocis bersifat aerobik, sedangkan pada daerah tersebut adalah
bagian paru-paru yang banyak memiliki oksigen.2,6
f. Manifestasi Klinis
Gejala Sistemik
Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam. Demam berlangsung
pada sore dan malam hari, disertai keringat dingin meskipun tanpa aktifitas, kemudian kadang
hilang. Gejala ini akan timbul lagi beberapa bulan kemudian seperti demam, influenza biasa, dan
kemudian seolah-olah sembuh tidak ada demam. Gejala lain adalah malaise (perasaan lesu)
bersifat berkepanjangan kronis, disertai rasa tidak fit, tidak enak badan, lemah, lesu, pegal-pegal,
nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini
terdapat baik pada TB Paru maupun TB yang menyerang organ lain.1
Gejala Respiratorik
Adapun gejala repiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk. Batuk bisa
berlangsung secara terus-menerus selama 3 mingggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila sudah
melibatkan brochus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk
membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau sputum. Dahak ini kadang bersifat purulent.
Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk berdarah. Hal ini disebabkan karena
pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang
sering membawa penderita berobat ke dokter. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak
nafas dan apabila pleura sudah terkena, maka disertai pula dengan rasa nyeri pada dada.1,7
Pedoman Nasional Pemberantasan TBC
Adapun kegiatan P2TB dilaksanakan dengan cara penemuan dan pengobatan pasien,
perencanaan, pemantauan dan evaluasi, peningkatan SDM (pelatihan, supervisi), penelitian,
promosi kesehatan, dan kemitraan dengan lintas sector.
Tujuan P2TB adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan
rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug resistance (MDR),sehingga TB tidak lagi
merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Kebijakan
Strategi
Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan primer
yang komprehensif, kontinu, integratif, holistik, koordinatif, dengan mengutamakan pencegahan,
menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan diberikan kepada
semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.8
Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan
perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga.
Dapat bekerjasama secara professional secara harmonis dalam satu tim pada
penyelenggaran pelayanan kedokteran/ kesehatan.
c. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit.
e. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan,
pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.
g. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit.
h. Tetap bertanggung jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di
RS.
m. Melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan ilmu
kedokteran keluarga secara khusus.
Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu dari faktor risiko
terjadinya TBC, meliputi :
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi
oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m 2/orang.
Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan
luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara
tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90cm. Kamar tidur sebaiknya tidak
dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk
menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.6
2. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum
20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang
genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di
dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk
cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang
lebih 60 luks, kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya
dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap
jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh
kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama. Penularan kuman
TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah
serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.6
3. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran
udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan
oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-
bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar
ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10%
dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi
insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga
temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari
kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.6
4. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap,
dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan dinding yang
sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media
yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycobacterium tuberculosis.6
5. Kelembaban udara
Pelayanan kesehatan primer (PHC) adalah strategi yang dapat dipakai untuk menjamin
tingkat minimal dari pelayanan kesehatan untuk semua penduduk. Pelayanan kesehatan primer
merupakan pelayanan kesehatan esensial yang dibuat dan bisa terjangkau secara universal oleh
individu dan keluarga dalam masyarakat. Focus dari peleyanan kesehatan primer luas
jangkauannya merangkum beerbagai aspek dan kebutuhan masyarakat. PHC, dalam hal ini
adalah puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama berfungsi sebagai pusat
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, melaksanakan fungsi diagnosis dan pengobatan,
serta pelayanan tindak lanjut.
Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat untuk
menjamin kepatuhan penderita minum obat. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu:
1. Tahap intensif. Pada tahap awal penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap rifampicin. Bila pada saat
tahap intensif tesebut diberikan secara tepat, maka penderita menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu dua minggu.
2. Tahap lanjutan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jangka waktu
yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan.
a. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Obat tersebut diberikan tiap hari selama dua bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan, diberikan tiga kali seminggu selama empat bulan (4H3R3). Obat ini
diberikan untuk penderita TB paru BTA positif dan penderita TB paru BTA negative dengan
rontgen positif yang sakit berat.
b. Kategori-2
Setelah tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan tablet HRZE
dan suntikan streptomisin. Dilanjutkan satu bulan dengan tablet HRZE setiap hari. Setelah itu
diturunkan dengan tahap lanjutan selama lima bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali
seminggu. Suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini
diberikan untuk penderita yang kambuh, penderita gagal berobat, atau penderita dengan
pengobatan setelah lalai (after default).
c. Kategori-3
Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negative dan rontgen positif sakit ringan atau
penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa, TB kulit, TB tulang,
sendi, dan kelenjar adrenal.
d. Obat sisipan
Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan setiap hari selama 1 bulan.
Vaksin BCG
Berdasarkan data WHO, setiap tahun, sekitar 8 juta orang di seluruh dunia mengalami
active tuberculosis dan hampir 2 juta diantaranya meninggal dunia.Vaksin merupakan suspensi
mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan (bakteri, virus, atau riketsia) yang diberikan
untuk mencegah, meringankan, atau mengobati penyakit yang menular. Vaksin BCG merupakan
suatu attenuated vaksin yang mengandung kultur strain Mycobacterium bovis dan digunakan
sebagai agen imunisasi aktif terhadap TBC dan telah digunakan sejak tahun 1921. Walaupun
telah digunakan sejak lama, akan tetapi efikasinya menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu
antara 0 – 80% di seluruh dunia. Vaksin BCG secara signifikan mengurangi resiko terjadinya
active tuberculosis dan kematian. Efikasi dari vaksin tergantung pada beberapa faktor termasuk
diantaranya umur, cara/teknik vaksinasi, jalur vaksinasi, dan beberapa dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Vaksin BCG sebaiknya digunakan pada infants, dan anak-anak yang hasil uji
tuberculinnya negatif dan yang berada dalam lingkungan orang dewasa dengan kondisi terinfeksi
TBC dan tidak menerima terapi atau menerima terapi tetapi resisten terhadap isoniazid atau
rifampin. Selain itu, vaksin BCG juga harus diberikan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di
lingkungan dengan pasien infeksi TBC tinggi. Sebelum dilakukan pemberian vaksin BCG (selain
bayi sampai dengan usia 3 bulan) setiap pasien harus terlebih dahulu menjalani skin test. Vaksin
BCG tidak diindikasikan untuk pasien yang hasil uji tuberculinnya posistif atau telah menderita
active tuberculosis, karena pemberian vaksin BCG tidak memiliki efek untuk pasien yang telah
terinfeksi TBC.
Vaksin BCG merupakan serbuk yang dikering-bekukan untuk injeksi berupa suspensi.
Sebelum digunakan serbuk vaksin BCG harus dilarutkan dalam pelarut khusus yang telah
disediakan secara terpisah. Penyimpanan sediaan vaksin BCG diletakkan pada ruang atau tempat
bersuhu 2 – 8oC serta terlindung dari cahaya. Pemberian vaksin BCG biasanya dilakukan secara
injeksi intradermal/intrakutan (tidak secara subkutan) pada lengan bagian atas atau injeksi
perkutan sebagai alternatif bagi bayi usia muda yang mungkin sulit menerima injeksi
intradermal. Dosis yang digunakan adalah sebagai berikut:
2. Untuk anak-anak di atas 12 bulan dan dewasa diberikan 1 dosis vaksin BCG
sebanyak 0,1 ml (0,1mg)
Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG dapat bertahan untuk 10 – 15 tahun.
Sehingga re-vaksinasi pada anak-anak umumnya dilakukan pada usia 12 -15 tahun.
Vaksin BCG dikontra-indikasikan untuk pasien yang mengalami gangguan pada kulit seperti
atopic dermatitis, serta baru saja menerima vaksinasi lain (perlu ada interval waktu setidaknya 3
minggu). 9
Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari TBC,
maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Pencegahan Primer2,5,7
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun
hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi.
Promosi kesehatan menghindari kemunculan dari/ adanya factor resiko (masa Pra-
Kesakitan). Dimana upaya promosi kesehatan diantaranya adalah:
Penyuluhan penduduk, untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan lingkungan.
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan
yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu,
kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara,
melindungi dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan TB perlu dilakukan karena masalah
TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan
adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, peran serta masyarakat dalam penanggulangan
TB. Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung
ataupun menggunakan media.
Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO,
sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh
tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sector, termasuk kalangan media massa.
Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan untuk berhasil dibanding
dengan cara penyuluhan melalui media. Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur yang
terpenting yang harus diperhatikan adalah membina hubungan yang baik antara petugas
kesehatan (dokter, perawat,dll) dengan penderita. Penyuluhan ini dapat dilakukan di rumah,
puskesmas, posyandu, dan lain-lain sesuaia kesepakatan yang ada. Supaya komunikasi dengan
penderita bisa berhasil, petugas harus menggunakan bahasa yang sederhana yang dapat
dimengerti oleh penderita. Gunakan istilah-istilah setempat yang sering dipakai masyarakat
untuk penyakit TB dan gejala-gejalanya. Supaya komunikasi berjalan lancar, petugas kesehatan
harus melayani penderita secara ramah dan bersahabat, penuh hormat dan simpati, mendengar
keluhan-keluhan mereka, serta tunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan dan kesembuhan
mereka. Dengan demikian, penderita mau bertanya tentang hal-hal yang masih belum
dimengerti.
Dalam kontak pertama dengan penderita, terlebih dahulu dijelaskan tentang penyakit
apa yang dideritanya, kemudian Petugas Kesehatan berusaha memahami perasaan
penderita tentang penyakit yang diderita serta pengobatannya.
c. Stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak diterima oleh
keluarganya.
d. Menolak untuk mengajukan pertanyaan karena tidak mau ketahuan bahwa pasien
tidak tahu tentang TB.
b. Penyuluhan Kelompok
Penyakit menular termasuk TB bukan hanya merupakan masalah bagi penderita, tetapi
juga masalah bagi masyarakat, oleh karena itu keberhasilan penanggulangan TB sangat
tergantung tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pesan-pesan penyuluhan TB melalui
media massa (surat kabar, radio, dan TV) akan menjangkau masyarakat umum. Bahan cetak
berupaleaflet,poster,billboard hanya menjangkau masyarakat terbatas, terutama pengunjung
sarana kesehatan. Penyampaian pesan TB perlu memperhitungkan kesiapan unit pelayanan,
misalnya tenaga sudah dilatih, obat tersedia dan sarana laboratorium berfungsi. Hal ini perlu
dipertimbangkan agar tidak mengecewakan masyarakat yang dating untuk mendapatkan
pelayanan. Penyuluhan massa yang tidak dibarengi kesiapan UPK akan menjadi
“bumerang” (counter productive).
Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala
memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan
mass media yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan TB-paru.
Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat.
Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus
harus diberikan vaksinasi BCG. Vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi
dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada
12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.
Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu
perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur,
pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan
pasteurisasi air susu sapi.
2. Pencegahan Sekunder2,5,7
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan.
Diagnosis TB
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikit 2
dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada
menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka yang bersangkutan dianggap
positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka
pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau kuman TB,
hanya dilakukan apabila sarana mendukung untuk itu.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik berspektrum luas
selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila tidak berhasil, dan penderita yang
bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka ulangi pemeriksaan dahak SPS.
Selanjutnya prosedur terdahulu dilakukan, yakni kalau dalam pemeriksaan ulang ternyata dahak
SPS positif, maka yang bersangkutan adakah positif menderita TB. Namun, apabila dahak
negatif, maka ulangi pemeriksaan radiologi. Apabila hasil radiologi mendukung TB dianggap
sebagai penderita TB dengan BTA negatif, radiologi positif. Apabila baik radiologi tidak
mendukung TB, spesimen dahak negatif, maka yang bersangkutan bukan TB.
Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang dewasa,
tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis TB
pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin.
Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala seperti:
- Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7
hari.
- Terdapat gejala umum TB. Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas
dan tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang
baik.
Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan memadai.
Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat
malam, tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas
bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.
Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.
Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan
adanya tanda-tanda cairan abdomen.
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan, dengan tuberkulin
PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah
penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi yang dinyatakan dalam
milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10 mm.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi
spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung
dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan
dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga
penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.
Penatalaksanaan TB
Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-
obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur,
waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya resistensi terhadap obat-obat,
dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup efektif
untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai penelitian
yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi HIV terbukti
bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan pyrazinamide
jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian terapi preventif merupakan prosedur
rutin yang harus dilakukan terhadap penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun.
Apabila mau melakukan terapi preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu
bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang
dengan imunokompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko
terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniazid, maka
isoniazid tidak diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun kecuali
ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru terjadinya
konversi tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah tangga atau
dalam satu institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses penyembuhan
TB lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau
pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita penyakit yang menekan
sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS. Mereka yang akan diberi pengobatan
preventif harus diberitahu kemungkinan terjadi reaksi samping yang berat seperti
terjadinya hepatitis, demam dan ruam yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk
menghentikan pengobatan dan hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar fasilitas
kesehatan yang akan memberikan pengobatan TB akan melakukan tes fungsi hati
terlebih dahulu terhadap semua penderita, terutama terhadap yang berusia 35 tahun
atau lebih dan terhadap pecandu alkohol sebelum memulai pengobatan.
Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif
dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di AS.
Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan
Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem
yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Penderita
TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan pemeriksaan sputum
yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap OAT diberikan regimen
selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan pyrazinamide
(PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan.
Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin
diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi
terhadap INH. Namun bila telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat
yang sesuai. Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau
menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan
tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan
tes resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak teraturnya minum obat
dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila
tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri
tidak resisten harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan
satu jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat
dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan
setelah biakan menjadi negatif. 551 Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+)
di negara berkembang, WHO merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap
harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan
pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus
diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan
pengawasan langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB
selama 6 bulan. Walaupun pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih
mahal daripada pengobatan dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka
waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif
dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan
regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada
anak umumnya karena tertular dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih
dahulu.Anak dengan limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6
bulan. Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi
minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9
bulan. Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak
cukup besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5
tahun). Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus
diberikan pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin
tidak boleh diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan
reaksi efek samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada
kasus MDR.
Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi untuk
penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan
juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.
Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan
pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum biasanya terjadi
dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit hanya dilakukan
terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis dan secara sosial tidak
bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada
sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan
negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan
bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan
pelindung pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron.
Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya
negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan
pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi
obat dan adanya respons yang baik terhadap pengobatan).Penderita remaja harus
diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan
terhadap rejimen pengobatan yang diberikan kepada penderita.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:
3. Pencegahan Tersier2,5,7
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan kesehatan dunia
(WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama yang menghasilkan rekomendasi perlunya segera
dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di Indonesia, yang kemudian
disebut sebagai strategi DOTS.10,11
Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek
setiap hari oleh pengawas menelan obat. Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi,
mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi.
Sebelum pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus menjelaskan kepada pasien tentang cara
dan manfaatnya. PMO haruslah seseorang yang mampu membantu pasien sampai sembuh
selama enam bulan dan sebaiknya merupakan anggota keluarga pasien yang diseganinya.
Siapapun dapat menjadi PMO, dengan syarat sebagai berikut:
b. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien.
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap minum
obat.
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB.
Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan penderita baru
mencapai 9.8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%, sehingga WHO menggolongkan
Negara kita sebagai Negara dengan penyelenggaraan program yang baik tetapi ekspansi sangat
lambat. Kajian data ini didapatkan dari puskesmas pelaksana program DOTS yang baru
mencapai lebih kurang 40% dari 7000 puskesmas dan rumah sakit yang ada.10
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang amat penting dalam system
informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu
system pencatatan danpelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan
klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku juga. Pencatatan
yang dilakukan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item, yaitu:
KESIMPULAN
TBC paru adalah suatu infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang utama menyerang organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem
utama epidemiologi kesehatan didunia. Agent, Host dan Lingkungan merupakan faktor penentu
yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi TBC baik periode
Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam Bagan
“Segitiga Epidemiologi TBC”.
Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang terdiri dari
pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Penerbit Buku Kompas.
2005.
2. Chin J. Manual pemberantasan penyakit menular. Edisi ke-17. Magelang: Bakti Husada;
2000.h.543-51.
3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Edisi ke-4. Pusat Penerbitan IPD FKUI. 2006.
10. Amira Permatasari. Pemberantasan Penyakit TB dan Strategi DOTS. 2005. Diunduh dari
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=program+pemberantasan+tbc&source=web&
cd=3&ved=0CFQQFjAC&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F1
23456789%2F3448%2F1%2Fparu-amira.pdf&ei=KUncT8n-
H9HrrQfh1Jm_DQ&usg=AFQjCNFzbqb2YWYZPi3vc4nsVsY3xzjVaA&cad=rja. 16
Juni 2012.
11. Anonim. Pencatatan dan Pelaporan Kasus TB. 2007. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/75695183/73/II-14-PENCATATAN-DAN-PELAPORAN. 16
Juni 2012.