Disusun oleh :
1. Endrastya Pramahdyta (SK119.006 )
2. Ibadaul Mustagfiroh (SK119.013 )
3. Ivanka Auli Indra (SK119.017 )
4. Mifna Tri Oktaviasni (SK119.024 )
5. Nurmas Liza (SK119.030 )
6. Villayatina (SK119.042 )
7. Zulfani (SK119.044 )
Prodi : S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan KendaL
Pancasila sebagai system etika
1
Pancasila sebagai sistem etika
BAB I
PENDAHULUAN
Nilai-nilai Pancasila, meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realita
sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya juga
nilai-nilai yang bersifat universal dapat diterima oleh siapa pun dan kapan pun. Etika
Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Etika juga merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral
(Suseno, 1987).
2
dengan Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari penjabaran segala norma, baik norma
hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya.
Nilai-nilai Pancasila tersebut kemudian dikembangkan dalam masyarakat secara
praktis atau kehidupan nyata sehingga menjadi norma yang pada akhirnya menjadi
pedoman dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, nilai-nilai, pedoman
kehidupan, norma-norma, dan sistem etika Pancasila semakin terlupakan dalam kehidupan
bangsa. Sehingga identitas atau ciri ke-Indonesiaan yang telah disebutkan sebelumnya
semakin lama pun semakin terkikis atau bahkan meghilang. Namun masih ada upaya untuk
meluruskan kembali sistem etika tersebut.
Perkembangan jaman yang semakin maju dan terbukanya akses terhadap dunia luar
mengharuskan kita untuk mengupayakan pancasila sebagai sistem etika, agar kita, bangsa
Indonesia, tidak kehilangan identitas kita sebagai bangsa yang bermoral, memiliki etika,
dan bermartabat.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah dalam
jurnal ini adalah :
Apakah pengertian Pancasila itu?
Apakah pengertian sistem itu?
Bagaimaknakah peran Pancasila sebagai sistem etika?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila.
Untuk mengetahui pengertian dari sistem
Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai sistem etika.
3
BAB II
PEMBAHASAN
a. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika
deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk.
Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi
kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804).
Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan
4
tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam
bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu
yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal.
Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang
suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan
dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat
(imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan
tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena
hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara
moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang
dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam
diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan
(Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan
baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila
dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral
itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan
sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik
adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
b. Etika Teleologi
5
benda. Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu
demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik
menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas
pertanyaan ini, etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme
etis dan utilitarianisme
a. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan
mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk
apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik
apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan
kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu
tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang
memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu
mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi
kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil
orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma
yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki
keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat yang
ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.
Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang
atau bahkan merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan
yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap
beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar
dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce
maximum pleasure and minimum pain, counting their own pleasure and
pain as no more or less important than anyone else’s (Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa
kemanfaatan banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri
diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada
yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan.
Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian
masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian
utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap
minoritas.
6
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari
sisi yang kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang
non-material seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu
terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut
hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan,
misalnya atas nama memasukkan investor asing maka aset-aset negara
dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa
negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan
problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk
menyejahterakan masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat
dalam jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang.
Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan
sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma,
tapi lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan
norma atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi,
dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih
diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit
masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak orang
meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam
dua tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini,
maka :
Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan
dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan
dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang
besar.
Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja
tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas,
kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal
dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan
non-material.
7
c. Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga
mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral
universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi
orang yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani
perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar.
Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang di dalamnya
mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh
masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam
masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga
beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan
keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan
keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang
dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip
umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.
Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau
bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarkan pada
kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral, namun
justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila
adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak
bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan
mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila
meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial,
keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun
sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima
oleh siapapun dan kapanpun.
8
bertentangan dengan nilai, kaedah dan hukum Tuhan.Pandangan
demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang
melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan
hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak
buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin
hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan
permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan
menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin
dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi
yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku
manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping
sistem sosial dan karya.
Dalam pandangan filsafat, nilai selalu dihubungkan dengan masalah kebaikan.
Sesuatu yang berguna, benar, indah, berharga, baik, religius, dan sebagainya dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai. Nilai adalah sesuatu yang tidak dapat
disentuh dengan panca indera karena bersifat ide. Yang dapat dirasakan adalah barang
atau tingkah perbuatan yang mengandung nilai tersebut.
Ada dua pandangan tentang cara beradanya nilai, yaitu sebagai berikut :
Nilai sebagai sesuatu yang ada pada obyek itu sendiri. Menurut filusuf Max
Scheler dan Nocolia Hartman, nilai merupakan suatu hal yang obyektif
membentuk semacam “dunia nilai”, yang menjadi ukuran tertinggi dari perilaku
manusia.
Nilai sebagai sesuatu yang bergantung kepada penangkapan dan perasaan orang
(subyektif). Menurut Nietzche, yang dimaksudkan adalah tingkat atau derajat
yang diinginkan oleh manusia. Nilai merupakan tujuan dari kehendak manusia
yang benar, sering ditata menurut susunan tingkatannya yang dimulai dari
bawah, yaitu : nilai hedois (kenikmatan), nilai utilitaris (kegunaan), nilai
biologis (kemuliaan), nilai diri estetis (keindahan, kecantikan), nilai-nilai
pribadi (sosial), dan yang paling atas ialah nilai religius (kesucian).
Para ahli mengidentifikasikan nilai dalam beberapa macam atau tingkatan. Para
ahli mengidentifikasikannya secara berbeda, karena nilai ini bersifat abstrak dan
idealis.
Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika,
nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Max Scheler mengelompokkan nilai-nilai menjadi enam tingkatan, yaitu: nilai
kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian.
Sementara Notonargo membedakan nilai menjadi tiga, yaitu : nilai material,
nilai vital, dan nilai kerohanian.
11
Nilai bersumber pada budi yang bersifat mendorong dan mengarahkan sikap
dan perilaku manusia, atau lebih jelasnya kita sebut sebagai motivator. Nilai
sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping
sistem sosial dan karya.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan
kriteria, sehingga merupakan suatu keharusan, anjuran atau larangan, tidak
dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang
menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani,
kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber
pada berbagai sistem nilai.
12
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia
merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing
silanya. Hal ini dikarenakan apabila dilihat satu per satu dari masing-masing
sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila
terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang
tidak dapat diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk
lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila
Pancasila, maka berikut ini kita uraikan:
13
Hakekat pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea
Pertama :”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”.
Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.
c. Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah.
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak
yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia
dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah
persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang
bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang
bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan
Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa
Indonesia dan bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia
yang abadi.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan
Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham
kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai
bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku
bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”.
Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD
1945.
14
berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang
menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan.
Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang
sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan
bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan
bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan
hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian
Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat
dan mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara
mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam
kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan.
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat
dalam melaksanakan tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan
keputusan. Sila ini merupakan sendi asas kekeluargaan masyarakat
sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia
sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
yang berbunyi: ”..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”
15
memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam negara.
c) Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga
atau dengan lainnya secara timbal balik. Dengan demikian,
dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan diantara keduanya
sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakekat sila ini
dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan
kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Moral berasal dari kata mos (mores) yang bersinonim dengan kesusilaan, tabiat
atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan,
kaedah-kaedah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan
bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap
tidak bermoral.
Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma),
merupakan suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan
bersama untuk memudahkan aliraninformasi, materi, atau energi untuk mencapai suatu
tujuan. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang
berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.
Setiap sistem selalu terdiri atas ampat elemen, yaitu sebagai berikut :
Objek. Objek dapat berupa bagian, elemen, atau variabel. Dapat berwujud
sebagai
18
benda fisik, abstrak, atau keduanya sekaligus.
Atribut. Hal ini menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan
objeknya.
yaitu :
20
ramah, sopan, dan yang lainnya. Semua itu tidak lepas dari tuntunan Pancasila sebagai
pedoman beretika.
BAB III
PENUTUP
. Kesimpulan
Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai
dasar negara, Pancasila mengandung banyak nilai moral dan kebaikan. Oleh karena itulah
Pancasila dijadikan sebagai sistem etika. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika Pancasila adalah
etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nlai-nilai yang terkandung dalam
pancasila, yaitu niai Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Jika
suatu perbuatan telah mencaup nilai-nilai dan meninggikan nilai-nilai tersebut, maka
perbuatan tersebut dapat dikatakan baik, dan berlaku sebaliknya. Pancasila sebagai sistem
etika memegang peranan penting dalam perkembanga bangsa ini karena Pancasla
membentuk pla pikir bangsa sehinga bangsa kita dapat dianggap sebagai bangsa yang
bermoral dan beradab di mata dunia.
21
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem
https://id.wikipedia.org/wiki/Etika
Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 2, Januari 2017
https://www.academia.edu/32889592/6._Bagaimana_Pancasila_Menjadi_Sistem_Etika
https://www.academia.edu/29707247/A._NILAI_DASAR_NILAI_INSTRUMENTAL_
DAN_NILAI_PRAKSIS
http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html?m=1
https://www.academia.edu/13000228/Pancasila_Sebagai_Sistem_Etika
http://sinarmentari4u.blogspot.com/2011/07/makalah-pancasila-sebagai-sistem-
etika.html
http://es182.blogspot.com/2013/02/pancasila-sebagai-sumber-nilai_6.html
https://www.kompasiana.com/mawaddah82340/5bd6a2fcab12ae0d4103a732/pancasila-
sebagai-sistem-etika
22