DISUSUN OLEH :
Dewi Rahmawati
Dewi Rahmawati
DAFTAR ISI
Halaman Cover
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah negeri dengan pravealensi TB ke-3 tertinggi didunia setelah Cina dan
India pada tahun 1998 diperkirakan TB di Cina, India, dan Indonesia berturut-turut 1828
dan 591 kasus. Perkiraan kejadian BTA disputum yang positif di Indonesia adalah 266
tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1885 dan survei kesehatan
nasional 2001, TB menepati rsnking nomer 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di
indonesia. (Setiati, 2014 , hal. 864)
Penderita tuberculosisi dikawasan asia terus bertambah. Sejauh ini, asia termasuk
kawasan dengan penyebaran tuberculosis (TB) tertingi didunia. Setiap 30 detik, ada satu
pasien di asia meninggal dunia akibat penyakit ini. 11 dari 22 negara dengan angka kasus
tertinggi berada di asia, diantaranya Bangladesh, Cina, India, Indonesia, dan Pakistan. 4
dari 5 penderita TB di Asia termasuk kelompok usia produktif. Di Indonesia, angka
kematian akibat TB mencapai 140.000 orang per tahun atau 8% dari korban meninggal
diseluruh dunia. Setiap tahun, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru TB, dan 75%
penderita termasuk kelompok usia produktif. Jumlah penderita TB di Indonesia
merupakan ketiga terbesar diduni setelah di India dan Cina. (Muttaqin, 2012, hal. 72)
1. Batasan Masalah
Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami TBC
2. Rumusan Masalah
Mengetahui secara lengkap tentang penuyakit TBC ?
2
3. Tujuan
I. Tujuan Umum
Menganalissi asuhan keperawatan pada klien yang mengalami TBC
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi penyakit TBC serta penyebabnya
2. Untuk mengetahui etiologi penyakit TBC
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit TBC
4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit TBC
5. Untuk mengetahui manifestasi penyakit TBC
6. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien TBC
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Tuberculosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.
Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mikrobacterium tuberkulosis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan
bagian bawah yang sebagian besar hasil tuberkulosis masuk ke dalam jaringan paru
melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus
primer dari ghon. TBC adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
(Mycrobacterium Tuberculosis) yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh organ
tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui pernapasan dan saluran pencernaan (GI)
dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Tubercolosis. Mycobacterium tubercolosis merupakan
kuman aerob yang dapat hidup terutama diparu/berbagai organ tubuh lainnya yang
bertekanan parsial tinggi. Penyakit tubercolosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat
menyebar hampir ke seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus
limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian
dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidak efektifan respon imun B.
(Wijaya & Putri, 2013)
2. Etiologi
Penyebab terjadinya TBC oleh Mycrobacterium tubercolosis yang merupakan batang
aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV.
Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan
M.Avium. (Muttaqin, 2012 , hal. 73)
4
1. Tuberkolosis Primer
Tuberkolosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai
reaksi spesifik terhadap bakteri TB . bila bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran
pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri
akan ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses
ini ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak dalam
tubuh makrofag yang lemah itudan menghancurkan makrofag. Dari proses ini, dihasilkan
bahan kemotaksit yang menarik monisit (makrofag) dari aliran darah membentuk
tuberkel. Sebelum menhancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih dahulu oleh
limfokin yang dihasilkan limfosit T. (Muttaqin, 2012 , hal. 73)
2. Tuberkolosis Sekunder
Setelah terjadi revolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB masih hidup dalam
keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak 90% di antaranya tidak mengalami
kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB pasca primer /TB sekunder) terjadi bila daya
tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganasan, silikosis, diabetes melitus, dan AIDS.
(Muttaqin, 2012, hal. 74)
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan prgan lainnya
jarang terkena, lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi imunologis terjadi dengan
adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi,
nekrosis jaringan lebih menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang luas
dan disebut tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan
menyebabkan pelunakan bahan kaseosa. Secara umum, dapat dikatakan bahwa
terbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi
nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed hipersensivity)
(Muttaqin, 2012, hal. 74)
5
Tubercolosis disebabkan oleh bakteri tumbuh-lambat yang disebjt Mycrobacterium
tubercolosis, yang menyerang orang dengan faktor resiko :
Pasien dengan kelainan yang melemah sistem kekebalan.
Orang yang memiliki kontak dekat dengan penderita TB aktif.
Orang yang hidup atau bekerja di daerah padat penduduk.
Mereka yang memiliki sedikit akses hingga tidak mempunyai akses sama sekali
terhadap pelayanan kesehatan yang memadai.
Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol.
Orang yang bepergian ke daerah dimana kasus TB mewabah (Muttaqin, 2012, hal. 74)
3. Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya dinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu dsampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung
tertahan di rongga hidung dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang
7
alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau bagian atas lubus bawah) basil
tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit polimorfonuklear tampak
pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari-hari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia selular
ini dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak didalam sel.
Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid
yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan
jaringan granulasi disekitarnya yang teridir dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan
respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang
akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe
regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini
dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.
Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas
ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari
dinding kavitas akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang
kembali pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telingan tengahatau
usus. Kvitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan
parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkekejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan
lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam
waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat
peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah
(limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelnjar limfe akan mencapai aliran darah
8
dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu
fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus
nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem
vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh (Wijaya & Putri,
2013, p. 138).
5. Klasifikasi
Klasifikasi tuberkolosis dari system lama :
1. Pembagian secara patologis
Tuberkolosis primer (childhood tuberkolosis)
Bila penyakit terjadi infeksi pertama kali. Umumnya TBC primer dapat sembuh tanpa
meninggalkan cacat dan ada juga sembuh dengan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik
tetapi ada kemungkinan dikemudian hari dapat mengalami kekambuhan.
Tuberkolosis post-primer (adult tuberkulosis)
Bila penyakit timbul setelah beberapa waktu sesorang terkenan infeksi primer
menyembuh dan sering didapatkan kuman dalam sputum merupakan sumber penularan.
Dikenal dua golongan TBC pasca-primer yaitu TBC sekunder dan tertier. TBC sekunder
berjalan akut manifestasi alergi lebih berat, sedangkan TBC tertier berjalan kronik dan
produktif. Penularan TB paru erjadi karena kuman dibatukkan atau dibersihkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara (airbone), partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama satu-dua jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang baik dan kelembapan. Dalam udara suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan
berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia
akan menempel pada jalan napas atau paru-paru, setelah mengalami berbagai hambatan
sepanjang saluran nafas bagian atas dan bawah implantasi kuman terjadi pada
“Respiratory Broncial atau Alveoli”. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 47)
Klasifikasi menurut American Thoracic Society :
9
1. Kategori 0 : tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negativ,
tes tuberculin negative.
2. Kategori 1 : terpajan tuberkolosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini riwayat
kontak positif, tes tuberculin negative.
3. Kategori 2 : terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negative.
4. Kategori 3 : terinfeksi tuberculosis dan sakit. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 48)
Klasifikasi diindonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan makro
biologis :
1. Tuberkulosisi Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Bekas Tuberkulosis Paru ( Tuberkulosis ekstra paru) adalah tuberkulosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
3. Tuberkulosisi Paru tersangka, yang terbagi dalam :
TB tersangka yang diobati : sputum BTA(-), tetapi tanda-tanda lain positif.
TB tersangka yang tidak diobati : spurum BTA (-) dan tanda-tanda lain juga
meragukan. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 48)
Klasifikasi menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu : (Nurarif & Kusuma,
2015, hal. 48)
1. Kategori 1, ditunjukan terhadap :
Kasus batu dengan sputum positif.
Kasus baru dengan bentuk TB berat.
2. Kategori 2, ditujukan terhadap :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori 3, ditujukan terhadap :
Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang luas.
10
Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori
4. Kategori 4, ditujukan terhadap : TB kronik
6. Kompilkasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada klien TB Paru :
1. Komplikasi Dini
Perluasan fokus primer ke jaringan paru (parenkim) lainnya sehingga terbentuk suatu
infiltrat yang luas, yang disebut parenkim matous type atau tubercolosis neumonia. Bial
fokus primer berada dekat dengan cabang v. Pulmpnalis maka kuman akan masuk dalam
sirkulasi darah dan menyebabkan penyebaran hematogen ke organ-organ dalam tubuh
dan mengakibatkan terjadinya TBC miliar. Bila masuk ke dalam cabang-cabang bronkus
akan terjadi penyebaran bronkogen ke jaringan paru lainnya. Bila dekat fokus primer
dekat dengan pleura, akan menyebabkan pleuritis TBC. Pada tahap kronik akan
ditemukan nemfisema paru dan atelektasis. (Manurung, 2016 , hal. 47)
1. Komplikasi lanjut
Kerusakan tulang dan sendi
Nyeri tulang punggung dan kerusakan sendi bisa terjadi ketika infeksi kuman TB
menyebbar dari paru-paru ke jaringan tulang. Dalam banyak kasus, tulang iga juga bisa
terinfeksi dan memicu nyeri di bagian.
Kerusakan otak
Kuman TB yang menyebar hingga ke otak bisa menyebabkan meningitis atau peradangan
pada selaput otak. Radang tersebut memicu pengbengkakan pada membran yang
menyelimuti otak dan seringkali fatal atau mematikan.
Kerusakan hati dan ginjal
Hati dan ginjal membantu menyaring pengotor yang ada di aliran darah. Fungsi ini akan
mengalami kegagalan apabila kedua organ tersebut terinfeksi oleh kuman TB.
Kerusakan jantung
Jaringan di sekitar jantung uga bisa terinfeksi oleh kuman TB. Akibatnya bisa terjadi
cardiac tamponade, atau peradangan dan penumpukan cairan yang membuat jantung jadi
tidak efektif dalam memompa darah dan akibatnya bisa sangat fatal.
11
Gangguan mata
Ciri-ciri mata yang sudah terinfeksi TB adalah berwarna kemerahan, mengalami iritasi
dan membengkak di retina atau bagian lain.
Resitensi kuman
Pengobatan dalam jangka panjang seringkali membuat pasien tidak disiplin, bahkan ada
yang putus obat karena bosan. Pengobatan yang tidak tuntas atau tidak disiplin akan
membuat kuman menjadi resitensi atau kebal, sehingga harus diganti dengan obat lain
yang lebih kuat efek samping yang tentunya lebih berat (Nixson Manurung, 2016
7.
Microbacterium tuberkulosa
Pathway
Droplet infection
Mempengaruhi hipothalamus
Hipertermi
Komplek primer
Limfangsit lokal
Limfadinitas regional
Menyebar ke organ lain (paru lain, saluran pencernaan, tulang) melalui media
(bronchogen percontinuitum, hematogen, limfogen)
Pembentukan tuberkel
Droplet infection
Batuk berat
Distensi abdomen
Mual, muntah
Resiko infeksi
8. Penatalaksanaan
Penyakit tuberkulosis (TB) dan dapat menyerang manusia mulai dari usia amnak
sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan
perempuan. Penyakit ini biasanya banyka ditemukan pada pasien yang tinggal
didaerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari ke
dalam rumah sangat minim. (Somantri, 2012, hal. 68)
organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperbesar TB paru
seperti diabetes miletus (Muttaqin, 2012, hal. 86)
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa yang lalu
yang masih relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek
samping yang terjadi di masa lalu. Adanya alaergi obat juga harus ditanyakan serta
reaksi alergi yang timbul. Sering kali klien mengacaukan suatu alergi dengan efek
samping obat. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB)
dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan
erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang
sering disebabkan karena meminum OAT. (Muttaqin, 2012, hal. 86)
Riwayat penyakit keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perlu menyakan apakah penyakit ini
pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor pedisposisi penularan di
fdalam rumah. (Muttaqin, 2012, hal. 86)
1. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum :
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Tanda-tanda vital : pada klien TB paru biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai
sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan
suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai
dengan adanya penyakit penyulit seperti hipertensi. (Muttaqin, 2012, hal.
86)
Body System
1. System Pernapasan
1, Inspeksi : bentuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang klien
dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya
16
1. Sistem Pencernaan
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan. (Muttaqin, 2012, hal. 89)
1. Sistem Integumen
2. Inspeksi : turgor kulit buruk, kering, bersisik, hilang lemak subkutis.
3. Palpasi : suhu badan klien biasanya meningkat 400-410 (Manurung, 2016 , hal.
107)
4. Sistem Muskuloskelet
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup mentetap, dan jadwal olahraga
menjadi tidak teratur. (Muttaqin, 2012 , hal. 89)
1. Sistem Endokrin
2. Inspeksi : terdapat pembengkakan pada kelenjar getah bening persisten.
3. Palpasi : pembesaran getah bening teraba. (Joyce M. Black, 2014, hal. 324)
4. Sistem Reproduksi
Tidak terjadi kelainan pada sistem reproduksi kecuali jika adanya penyakit yang
menyertai. (Joyce M. Black, 2014, hal. 321)
1. Sistem Pengindraan
2. Mata
Sklera ikterik pada TB paru dengan gangguan fungsi hati. (Muttaqin, 2012 , hal. 88)
2. Telinga
Tidak terdapat kelainan pada telinga kecuali jika adanya komplikasi penyakit telinga
yang menyertai. (Manurung, 2016 , hal. 106)
3. Hidung
Tidak terdapat kelainan pada hidung kecuali jika adanya komplikasi penyakit hidung
yang menyertai. (Manurung, 2016 , hal. 106)
19
1. Sistem Imun
Sistem imun yang non spesifik dapat menyebabkan bakteri mycrobacterium
tuberkulosis berkembang baik karena sistem imun merupakan yang paling berperan
dalam penyebaran bakteri. (Joyce M. Black, 2014, hal. 321)
1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
TB Paru aktif biasanya ditemukan peningkatan leukosit dan laju endap darah (LED)
1. Sputum BTA
Pemeriksaan bakteriologi dilakukan untuk menemukan kuman tubaerkolosis.
Diagnosa pasti ditegakkan bila pada biakan ditemukan kuman tuberkolosis.
Pemeriksaan penting untuk diagnosa definitive dan menilai kemajuan klien.
Dilakukan 3 kali berturut-turut dan biakan atau kultur BTA selama 4-8 minggu
1. Test tuberculin (Mantoux Test)
Pemeriksaan ini banyak digunakan untuk menegakkan diagnosa terutama pada anak-
anak. Biasanya diberikan suntikan PPD (protein perified Derivation) secara intracutan
0,1 cc. Lokasi penyuntikan umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah sebelah kiri
bagian depan. Penilaian test tuberkolosis dilakukan setelah 48-72 jam penyuntikan
dengan mengukur diameter darp pembengkakan (indurasi) yang terjadi pada lokasi
suntikan. Indurasi berupa kemerahan dengan hasil sebagai berikut :
1. Indurasi 0,5 mm : negatif
2. Indurasi 6-9 mm : meragukan
3. Indurasi > 10 mm : positif. (Manurung, 2016 , hal. 110)
Pemeriksaan tambahan
1. Sputum culture : untuk memastikan apakah keberadaan M. Tuberkolosis pada
stadium aktif.
2. Ziehl neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body fluid) : positif untuk
BTA.
20
3. Skin test (PPD, mantoux, tine, and vollmer patch) : reaksi positif (area indurasi
10 mm atau lebih, timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intradermal)
mengidentifikasi penyakit sedang aktif.
4. Chest X-ray : dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal di bagian
atas paru-paru, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau cairan
pleura. Perubahan yang mengidentifikasi TB yang lebih berat dapat mencakup
area berlubang dan fibrosa.
5. Histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan CSF,
serta biopsi kulit) : positif untuk M. Tuberkolosis.
6. Needle biopsi of lung tissue : positif untuk granuloma TB, adanya sel-sel besar
yang mengindikasi nekrosis.
7. Elektrolit : mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya; misalnya
hiponatremia mengakibatkan retensi air, dapat ditemukan pada TB paru-paru
kronis lanjut.
8. ABGs : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat, dan sisa kerusakan paru-
paru.
9. Bronkografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan paru-
paru karena TB.
10. Darah : lekositosis, LED meningkat.
11. Test fungsi pau-paru : VC menurun, dead space meningkat, TLC meningkat,
dan menurunnya saturasi O2 yang merupakan gejala sekunder dari
fibrosis/infiltrasi parenkim paru-paru dan penyakit pleura. (Manurung, 2016 ,
hal. 108)
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada klien dengan TBC sebagai
berikut : (PPNI, 2016)
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Definisi
21
1. Hipertermi
Definisi :
Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh
Penyebab :
1. Dehidrasi
2. Terpapar lingkungan panas
3. Proses penyakit (mis.infeksi, kanker)
4. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
5. Peningkatan laju metabolisme
6. Respon trauma
7. Aktivitas berlebihan
8. Penggunaan inkubator
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
(tidak ada)
Objektif
1. Suhu tubuh diatas nilai normal
26
Gejala dan tanda minor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif :
1. Kulit merah
2. Kejang
3. Takikardi
4. Takipnea
5. Kulit terasa hangat
Kondisi klinis terkait
1. Proses infeksi
2. Hipertiroid
3. Stroke
4. Dehidrasi
5. Trauma
6. Prematuritas (PPNI, 2016, hal. 284)
3. Intervensi
4. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Tujuan
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama x 24 jam diharapkan bersihan jalan
nafas yang efektif.
Kriteria hasil
Menunjukkan bersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan
aspirasi ; Status ; Pernapasan ; Kepatenan Jalan Napas ; dan Status Pernapasan ;
Ventilasi tidak terganggu. (Wilkinson, 2016)
Menunjukkan status pernapasan ; kepatenan jalan napas, yang dibukyikan oleh
indikator gangguan sebagai berikut :
1. Frekuensi dan irama pernapasan
2. Kedalaman inspirasi
27
Aktivitas Lain
1. Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelasanaaan prosedur, untuk
menurunkan ansietas dan meningkatkan rasa kendali
2. Beri penenangan kepada pasien selama periode gangguan atau kecemasan
3. Lakukan higiene oral secara teratur
4. Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen (mis,. Pengendalian
demam dan nyeri, mengurangi ansietas)
5. Apabila oksigen diprogramkan bagi pasien yang memiliki masalah
pernapasan kronis, pantau aliran oksigen dan pernapasan secara hati-hati
karena adanya resiko depresi pernapasan akibat iksigen
6. Buat rencana perawatan untuk pasien yang menggunakan ventilator, yang
meliputi :
32
Meyakinkan keadekuatan pemberian oksigen dengan melaporkan ketidaknormalan
gas darah arteri, menggunakan Ambu bag yang dilekatkan pada sumber oksigen di
sisi tempat tidur, dan lakukan hiperoksigenasi sebelum melakukan pengisapan
Meyakinkan keefektifan pola pernapasan dengan mengkaji sinkronisasi dan
kemungkinan kebutuhan sedasi
Mempertahankan kepatenan jalan napas dengan melakukan pengisapan dan
mempertahankan slang endotrakea atau penggantian slang endotrakea ditempat tidur
Memantau komplikasi (mis., pneumotoraks, aerasi unilateral)
Memastikan ketepatan penempatan slang ET
1. Managemen jalan napas (NIC)
Atur posisi untuk memaksimalkan potensi ventilasi
Atur posisi untuk mengurangi dispnea
Pasang jalan napas melalui mulut atau nasofaring sesuai dengan kebutuhan
Bersihkan secret dengan menganjurkan batuk atas melalui pengisapan
Dukung untuk bernapas pelan, dalam; berbalik, dan batuk
Bantu dengan spirometer insentif, jika perlu
Lakukan fisioterapi dad, jika perlu
1. Pengaturan Hemodinsmik (NIC)
Tinggikan bagian kepala tempat tidur, jika perlu atur posisi pasien ke posisi
trendelenburg, jika perlu
Aktivitas Kolaborasi
1. Kolaborasikan dengan dokter tentang pentingnya pemeriksaan gas darah arteri
(GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya
perubahan kondisi pasien
2. Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (mis., sensorium pasien,
suara napas, pola napas, analisis gas darah arteri, sputum, efek obat)
3. Berikan obat yang diresepkan (mis., natrium bikarbonat) untuk
mempertahankan keseimbangan asam-basa
4. Persiapan pasien untuk ventilasi mekanis, bila perlu
33
5. Management jalan napas (NIC)
Berikan udara yang dilembabkan atau oksigen, jika perlu
Berikan bronkodilator, jika perlu
Berikan terapi aerosol, jila perlu
Berikan terapi nebulasi ultrasonik, jika perlu
1. Pengaturan Hemodinamik (NIC): berikan obat anti aritmia, jika perlu
(Wilkinson, 2016, hal. 185)
1. Defisit nutrisi
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24 jam diharapkan
kebutuhan terpenuhi
Kriteria Hasil :
1. Memperlihatkan berat badan
2. Menjelaskan komponen diet bergizi adekuat
3. Mungkapkan tekad untuk mematuhi diet
4. Menoleransi diet yang dianjurkan
5. Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
6. Memiliki nilai laboratorium (mis, transferin, albumin, dan elektrolit) dalam
batas normal
7. Melaporkan tingkat energi yang adekuat
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
1. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
2. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
3. Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit
4. Managemen nutrisi (NIC)
Ketahui makanan kesukaan pasien
Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
Timbang pasien pada interval yang tepat
34
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1. Ajarkan metode untuk perencanaan makan
2. Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
3. Manajemen nutrisi (NIC) : berikan informasi yang tepat tentang kebutuhaan
nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
Aktivitas lain
1. Buat perencanaan makan dengan pasien yang masuk dalam jadwal makan,
lingkungan makan, kesukaan dan ketidaksukaan pasien, serta suhu makanan
2. Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari
rumah.
3. Bantu pasien menulis tujuan minggunya yang realistis untuk latihan fisik dan
asupan makanan
4. Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makan dan latihan fisik di lokasi
yang terlihat jelas dan kaji ulang setiap hari.
5. Tawarkan makanan porsi besar di siang hari ketika nafsu makan tinggi.
6. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (mis, pindahkan
barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang)
7. Hindari prosedur invasif sebelum makan
8. Suapi pasien, jika perlu
9. Manajemen nutrisi (NIC) :
Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang siap
dikonsumsi, bila memungkinkan.
Ajarkan pasien tentang cara membuat catatan harian makanan, jika perlu
Aktivitas kolaboratif
1. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menetukan kebutuhan protein pasien yang
mengalami ketidakadekuatan asupan protein atau kehilangan protein (mis,
pasien anoreksia nervosa, penyakit glomerular atau dialisis peritoneal)
2. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasikan nafsu makan, makanan
pelengkap, pemberian makanan melalui slang, atau nutrisi parenteral total
agar asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan.
35
3. Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi.
4. Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasien tidak dapat
membeli atau menyiapkan makanan yang adekuat.
5. Manajemen nutrisi (NIC) : tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama
ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi(khususnya untuk pasien dengan
kebutuhan energi tinggi, sperti pasien pascabedah dan luka bakar, trauma,
demam, dan luka) (Wilkinson, 2016, hal. 282)
1. Hipertermi
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24 jam diharapkan
Kriteria Hasil
Pasien akan menunjukkan Termoregulasi, yang dibuktikan oleh indikator gangguan
sebagai berikut:
1. Peningkatan suhu kulit
2. Hipertermia
3. Dehidrasi
4. Mengantuk
Pasien akan menunjukkan Termoregulasi, yang dibuktikan oleh indikator sebagai
berikut :
1. Berkeringat saat panas
2. Denyut nadi radialis
3. Frekuensi pernapasan
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
1. Pantau aktivitas kejang
2. Pantau hidrasi (mis.turgor kulit, kelembapan membran mukosa)
3. Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan
4. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu lingkungan
Untuk pasien bedah :
36
1. Dapatkan riwayat hipertermia maligna, kematian akibat anestesi, atau demam
pasca bedah pada individu dan keluarga
2. Pantau tanda hipertermia maligna (mis, demam. Takipnea, aritmia, perubahan
tekanan darah bercak pada kulit, kekakuan, dan berkeringat banyak)
3. Regulasi suhu (NIC) :
4. Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
5. Pasang alat pantau suhu inti tubuh kontinu, jika perlu
6. Pantau warna kulit dan suhu.
Aktivitas Lain
1. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut saja
2. Gunakan waslap dingin (atau kantong es yang dibalit dengan kain) di aksila,
kening, tengkuk, dan lipat paha.
3. Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter sehari, dengan tambahan cairan
selama aktivitas yang berlebihan atau aktivitas sedang dalam cuaca panas.
4. Gunakan kipas yang berputar diruangan pasien
5. Gunakan selimut pendingin
6. Untuk hipertermia maligna :
Lakukan perawatan kedaruratan sesuai dengan protokol
Sediakan peralatan kedaruratan di area operasi sesuai dengan protokol.
37
Aktivitas Kolaboratif
1. Regulasi suhu (NIC)
Berikan obat antipiretik, jika perlu
Gunakan matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh,
jika perlu (Wilkinson, 2016, hal. 48)
38
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan kesehatan professional, yang
merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang berdasarkan pada ilmu dan etika
keperawatan. Keperawatan sudh ada sejak manusia itu ada dan hingga saat ini Profesi
keperawatan berkembang dengan pesat.
Pendidikan keperawatan memberi pengaruh yang besar terhadap kualitas layanan
keperawatan. Karenanya perawat harus terus meningkatkan kompetensi dirinya, salah
satunya melalui pendidikan keperawatan yang berkelanjutan.
3.2. Saran
Dari kesimpulan yang ada maka kita sebagai perawat atau calon perawat harus
terus meningkatkan kompetensi dirinya, salah satunya melalui pendidikan keperawatan
yang berkelanjutan, sehingga kita tidak mengalami ketertinggalan dari keperawatan
internasional.
3.3. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Judith, W. d. (2016). Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Kusuma, A. (2015 : 00). Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis &
NANDA NIC-NOC Jilid 3. Jogjakarta.
Muttaqin, A. (2012 : 74). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta Selatan: Salemba Medika.
Nixson Manurung, S. (2016). Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory. Jakarta.
Ns. Andra Saferi Wijaya, S. ,. (2013 : 137). KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH 1. Yogyakarta: Nuha Medika.
Santa Manurung, S. M. (2013 : 108). Asuhan Keperawatan Gangguaan Sistem
Pernapasan Akibat Infeksi. Jakarta.
Setiati, S. (2014 ). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat.
Joyce M. Black, J. H. (2014). Keperawatan Medika Bedah : Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 – Buku 3. Jakarta: Salemba Medika.
Somantri. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta:
Nuha Medika.