Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Cemas atau anxietas merupakan suatu emosi normal yang dimiliki oleh
manusia. Secara konsep, cemas dapat dianggap respon normal dan adaptif
terhadap ancaman yang menyiapkan organisme untuk mekanisme fight or flight.
Cemas menjadi kelainan ketika intensitas dan durasinya menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan perkiraan normalnya dan menyebabkan terjadinya gangguan
atau kecacatan. Kecemasan dapat bervariasi dari ringan dan sementara, dengan
tidak adanya pengaruh pada fungsi keseharian, hingga berat dan menetap dengan
dampak yang signifikan pada fungsi dan kualitas (Dowell, 2009).
Sensasi anxietas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan
tersebut ditandai oleh ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, seringkali
disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, gelisah,
dan sebagainya. Anxietas merupakan gejala yang umum tetapi non-spesifik yang
sering merupakan satu fungsi emosi. Kumpulan gejala tertentu yang ditemui
selama kecemasan cenderung bervariasi, pada setiap orang tidak sama. Anxietas
yang patologik biasanya merupakan kondisi yang melampaui batas normal
terhadap satu ancaman yang sungguh-sungguh dan maladaptif (Hutagalung,
2007).
Gangguan cemas adalah gangguan mental yang paling sering terlihat dalam
perawatan primer, diikuti dengan depresi. Kondisi ini terjadi sebagai akibat
interaksi faktor-faktor biopsikososial, termasuk kerentanan genetik yang
berinteraksi dengan kondisi tertentu, stress atau trauma yang menimbulkan
sindroma klinis yang bermakna (Redayani, 2015). Sebuah aspek menarik dari
gangguan kecemasan adalah interaksi antara faktor genetik dan pengalaman. Ada
sedikit keraguan bahwa gen yang abnormal dapat menyebabkan seseorang rentan
terhadap keadaan kecemasan patologis, namun bukti jelas menunjukkan bahwa
peristiwa kehidupan yang traumatis dan stres juga dapat menjadi penyebab yang
cukup penting.3 Pengalaman kecemasan memiliki dua komponen: kesadaran
sensasi fisiologis (misalnya, jantung berdebar dan berkeringat) dan kesadaran

1
bahwa mereka gugup atau ketakutan. Perasaan malu dapat meningkatkan
kecemasannya dan akan mengakui bahwa mereka sedang ketakutan (Kaplan dan
Sadock, 2015).
Selain efek motorik dan efek viseral, kecemasan dapat mempengaruhi
pemikiran, persepsi, dan belajar. Hal ini cenderung menghasilkan kebingungan
dan distorsi persepsi, tidak hanya waktu dan ruang tetapi juga dari orang dan
makna dari suatu peristiwa. Distorsi ini dapat mengganggu belajar dengan
menurunkan konsentrasi, mengurangi ingat, dan merusak kemampuan untuk
berhubungan dengan bagian lain untuk membuat asosiasi (Kaplan dan Sadock,
2015).
Orang yang terlihat cemas terhadap hampir segala sesuatu, bagaimanapun,
dapat diklasifikasikan gangguan cemas menyeluruh (Kaplan dan Sadock, 2015).
Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3-8% dan rasio cemas
antara perempuan dan laki-laki sekitar 2 : 1. Pasien gangguan cemas menyeluruh
sering memiliki komorbiditas dengan gangguan mental lainnya seperti gangguan
panik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pascatrauma, dan gangguan
depresi berat (Redayani, 2015).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder,
GAD) merupakan kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan
kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak
realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Kondisi ini
dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurangnya selama 6 bulan.
Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan
berhubungan dengan gejala-gejala somatik seperti ketegangan otot,
iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga menyebabkan
penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial
dan pekerjaan (Redayani, 2015).

B. Epidemiologi
Studi prevalensi seumur hidup gangguan cemas menyeluruh pada
populasi umum diperkirakan berkisar antara 1.9% hingga 5.4%. Rasio
antara perempuan dan laki-laki sekitar 2:1.3 Gangguan cemas biasanya
lebih sering pada wanita. Dewasa tua lebih jarang terkena gangguan
cemas karena sering lebih mudah beradaptasi dan lebih cepat mengatasi
tekanan (Dowell, 2009).

Tabel 1. Risiko relatif familial pada gangguan cemas

C. Komorbiditas

3
Gangguan cemas menyeluruh merupakan kelainan yang sering
muncul bersamaan dengan gangguan jiwa lainnya, biasanya fobia sosial,
fobia spesifik, gangguan panik, atau gangguan depresif. Kemungkinan 50
hingga 90 persen pasien dengan gangguan cemas menyeluruh memiliki
gangguan jiwa lainnya. Sebanyak 25 persen pasien pada akhirnya
mengalami gangguan panik.
Gangguan cemas menyeluruh dibedakan dengan gangguan panik
dengan tanpa adanya serangan panik spontan. Tambahan persentase tinggi
pasien GAD yang cenderung memiliki gangguan depresif mayor.
Gangguan umum lainnya yang berhubungan dengan gangguan cemas
menyeluruh adalah gangguan distimik dan gangguan substansi terkait
(Redayani, 2015).

D. Etiologi
1. Teori Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya GAD adalah lobus
oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di otak.
Basal ganglia, sistem limbik dan korteks frontal juga dihipotesiskan
terlibat pada etiologi timbulnya GAD. Pada pasien GAD juga ditemukan
sistem serotonergik yang abnormal. Neurotransmiter yang berkaitan
dengan GAD adalah GABA, serotonin, norepinefrin, glutamat dan
kolesistokinin. Pemeriksaan PET (Positron Emission Tomography) pada
pasien GAD ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan
massa putih otak (Redayani, 2015).

2. Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik
pasien GAD dan gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar
25% dari keluarga tingkat pertama penderita GAD juga menderita
gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan kembar
didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15% pada kembar
dizigotik (Kaplan dan Sadock, 2015).

4
3. Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah
gejala dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat
yang paling primitif anxietas dihubungkan dengan perpisahan dengan
objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi anxietas dihubungkan
dengan kehilangan cinta dari objek yang penting. Anxietas kastrasi
berhubungan dengan fase oedipal sedangkan anxietas superego
merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan
pandangannya sendiri (merupakan anxietas yang paling matang).

4. Teori Kognitif-Perilaku
Penderita GAD berespons secara salah dan tidak tepat terhadap
ancaman, disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal negatif
pada lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan
pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk
menghadapi ancaman.

5. Kontribusi Ilmu Biologi


1. Sistem saraf otonom
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu contoh
pada sistem kardiovaskular (misalnya, takikardia), otot (misalnya,
sakit kepala), pencernaan (misalnya, diare), dan pernapasan (misalnya,
takipnea). Sistem saraf otonom dari beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan, terutama mereka yang memiliki gangguan panik,
menunjukkan nada simpatik yang meningkat, beradaptasi perlahan
terhadap rangsangan berulang-ulang, dan merespon berlebihan
terhadap rangsangan moderat.
2. Neurotransmitter
Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan kecemasan
dengan dasar dari studi hewan dan tanggapan terhadap terapi obat

5
adalah norepinefrin (NE), serotonin, dan gama-ainobutyric acid
(GABA).Salah satu eksperimen tersebut untuk mempelajari kecemasan
adalah tes konflik, di mana hewan secara bersamaan disajikan dengan
rangsangan yang positif (misalnya makanan) dan negatif (misalnya,
sengatan listrik). Anxiolytic narkoba (misalnya benzodiazepin)
cenderung memfasilitasi adaptasi hewan untuk situasi ini, sedangkan
obat lain (misalnya, amfetamin) lebih lanjut mengganggu respon
perilaku hewan.
3. Norepinefrin
Gejala kronis yang dialami oleh pasien dengan gangguan
kecemasan, seperti serangan panik, insomnia, terkejut, dan
hyperarousal otonom, merupakan karakteristik fungsi noradrenergik
yang meningkat. Itu teori umum tentang peranan norepinefrin pada
gangguan kecemasan dimana pasien yang terkena mungkin memiliki
sistem noradrenergik yang buruk. Badan sel dari sistem noradrenergik
terutama terlokalisasi pada lokus seruleus di pons rostral, dan mereka
memproyeksikan akson mereka ke korteks otak, sistem limbik, batang
otak, dan sumsum tulang belakang. Percobaan pada primata telah
menunjukkan bahwa stimulasi dari lokus seruleus menghasilkan
respon ketakutan pada hewan dan bahwa ablasi dari daerah yang sama
atau sama sekali menghambat menghambat kemampuan hewan untuk
membentuk respon ketakutan.
Studi pada manusia telah menemukan bahwa pada pasien dengan
gangguan panik, agonis reseptor adrenergik (misalnya, isoproterenol
[Isuprel]) dan adrenergik antagonis reseptor (misalnya, yohimbine
[Yocon]) dapat memicu serangan panik yang sering dan cukup parah.
Sebaliknya, clonidine (Catapres), sebuah beta 2-reseptor agonis,
mengurangi gejala kecemasan dalam beberapa situasi eksperimental
dan terapeutik. Temuan yang kurang konsisten adalah bahwa pasien
dengan gangguan kecemasan, terutama gangguan panik, memiliki

6
cairan serebrospinal tinggi (CSF) atau tingkat urin metabolit
noradrenergik 3-metoksi-4-hydroxyphenylglycol (MHPG).
4. Hipotalamus-hipofisis-adrenal Axis
Bukti yang konsisten menunjukkan bahwa banyak bentuk stres
psikologis meningkatkan sintesis dan pelepasan kortisol.Kortisol
berfungsi untuk memobilisasi dan untuk melengkapi penyimpanan
energi dan kontribusi untuk gairah meningkat, kewaspadaan, perhatian
terfokus, dan pembentukan memori; penghambatan pertumbuhan dan
sistem reproduksi, dan penahanan dari respon kekebalan.Sekresi
kortisol yang berlebihan dan berkelanjutan dapat memiliki efek
samping yang serius, termasuk hipertensi, osteoporosis, imunosupresi,
resistensi insulin, dislipidemia, dyscoagulation, dan, akhirnya,
aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Perubahan dalam
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) fungsi sumbu telah dibuktikan
dalam PTSD. Pada pasien dengan gangguan panik, tumpul hormon
adrenocorticoid (ACTH) terhadap berbagai corticotropin-releasing
factor (CRF) telah dilaporkan dalam beberapa penelitian dan tidak
pada orang lain.
5. Corticotropin-releasing hormone (CRH)
Salah satu mediator yang paling penting dari respon stres, CRH
mengkoordinasikan perubahan perilaku dan fisiologis adaptif yang
terjadi selama stres.Tingkat CRH di hipotalamus meningkat pada
orang dengan stres, mengakibatkan aktivasi dari sumbu HPA dan
meningkatkan pelepasan kortisol dan dehydroepiandrosterone
(DHEA). CRH juga menghambat berbagai fungsi neurovegetative,
seperti asupan makanan, aktivitas seksual, dan program endokrin untuk
pertumbuhan dan reproduksi.
6. Serotonin
Identifikasi jenis reseptor serotonin telah mendorong pencarian
untuk peran serotonin dalam patogenesis gangguan kecemasan.
Berbagai jenis hasil stres akut pada omset 5-hidroksitriptamin (5-HT)

7
meningkat pada korteks prefrontal, amigdala, dan hipotalamus lateral.
Kepentingan dalam hubungan ini pada awalnya didorong oleh
pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek terapi
dalam beberapa gangguan kecemasan misalnya, clomipramine
(Anafranil) di OCD.Efektivitas buspirone (BuSpar), suatu serotonin 5-
HT1A agonis reseptor, dalam pengobatan gangguan kecemasan juga
menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara serotonin dan
kecemasan.Badan sel neuron serotonergik kebanyakan terletak di inti
raphe di batang otak dan sel – sel yang menuju ke korteks, sistem
limbik (khususnya amigdala dan hippocampus), dan hipotalamus.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa meta-chlorophenylpiperazine
(MCPP), obat serotonergik, dan fenfluramine (Pondimin), yang
menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan kecemasan
meningkat pada pasien dengan gangguan kecemasan, dan banyak
laporan menunjukkan bahwa serotonergik halusinogen dan stimulansia
misalnya, asam diethylamide lysergic (LSD) dan 3,4-
methylenedioxymethamphetamine (MDMA) terkait dengan
perkembangan gangguan kecemasan akut dan kronis pada orang yang
menggunakan obat ini.
7. GABA
Peran GABA pada gangguan kecemasan sebagai contoh
penggunaan golongan benzodiazepin, yang meningkatkan aktivitas
GABA pada jenis reseptor GABA A (GABAA), dalam pengobatan
beberapa jenis gangguan kecemasan. Meskipun potensinya rendah,
benzodiazepin adalah obat yang paling efektif untuk mengatasi gejala
dari gangguan kecemasan umum, potensi tinggi obat – obat golongan
benzodiazepin, seperti alprazolam (Xanax), dan clonazepam efektif
dalam pengobatan gangguan panik. Sebuah antagonis benzodiazepin,
flumazenil (Romazicon), menyebabkan serangan panik sering berat
pada pasien dengan gangguan panik. Data ini telah membawa para
peneliti berhipotesis bahwa beberapa pasien dengan gangguan

8
kecemasan memiliki fungsi abnormal dari reseptor GABAA mereka,
meskipun hubungan ini belum terbukti secara langsung.
8. Aplysia
Sebuah model neurotransmitter untuk gangguan kecemasan
didasarkan pada studi Aplysia californica, oleh pemenang Hadiah
Nobel Eric Kandel, MD Aplysia adalah siput laut yang bereaksi
terhadap bahaya dengan menghindar, menarik diri ke dalam
cangkangnya.Perilaku ini dapat dikondisikan secara klasik, sehingga
siput merespon stimulus netral seolah-olah itu stimulus
berbahaya.Siput juga bisa menjadi peka dengan guncangan acak,
sehingga menunjukkan respon walaupun dengan tidak adanya bahaya
nyata.Aplysia klasik dikondisikan menunjukkan perubahan terukur
dalam fasilitasi presynaptic, sehingga terjadi peningkatan pelepasan
jumlah neurotransmitter. Meskipun siput laut adalah hewan sederhana,
karya ini menunjukkan pendekatan eksperimental untuk proses
neurokimia kompleks yang berpotensi terlibat dalam gangguan
kecemasan pada manusia.
9. Neuropeptida Y
Neuropeptide Y (NPY) adalah asam amino peptida, yang
merupakan salah satu peptida yang paling berlimpah ditemukan di otak
mamalia. Bukti yang menunjukkan keterlibatan amigdala dalam efek
ansiolitik NPY yang kuat, dan mungkin terjadi melalui reseptor NPY-
Y1. NPY memiliki efek regulasi counter pada sistem CRH dan LC-NE
di lokasi otak yang penting dalam ekspresi kecemasan, ketakutan, dan
depresi. Studi awal dalam tentara operasi khusus di bawah tekanan
yang ekstrim pelatihan menunjukkan bahwa tingkat NPY tinggi
berhubungan dengan kinerja yang lebih baik.

10. Galanin
Galanin adalah polipeptida yang pada manusia ditemukan
mengandung 30 asam amino. Galanin telah terbukti terlibat dalam
sejumlah fungsi fisiologis dan perilaku, termasuk belajar dan memori,

9
mengontrol rasa sakit, asupan makanan, kontrol neuroendokrin,
regulasi kardiovaskular, dan terakhir kecemasan. Sebuah galanin
immunoreactive padat serat sistem yang berasal dari LC innervasi otak
depan dan struktur otak tengah, termasuk hippocampus, hipotalamus,
amigdala, dan korteks prefrontal. Studi pada tikus telah menunjukkan
bahwa galanin dikelola terpusat memodulasi kecemasan terkait
perilaku. Galanin dan agonis reseptor NPY mungkin menjadi target
baru untuk pengembangan obat anti ansietas (Kaplan dan Sadock,
2015) dan (Dowell, 2009).

E. Gambaran Klinis
Gejala utama GAD adalah anxietas, ketegangan motorik,
hiperaktivitas autonom, dan kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan
bersifat berlebihan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pasien.
Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan dan sakit
kepala. Hiperaktivitas autonom timbul dalam bentuk pernafasan yang
pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran pencernaan.
Terdapat juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk iritabilitas.3
Pasien GAD biasanya datang ke dokter umum karena keluhan somatik,
atau datang ke dokter spesialis karena gejala spesifik seperti diare kronik.
Pasien biasanya memperlihatkan perilaku mencari perhatian (seeking
behavior). Beberapa pasien menerima diagnosis GAD dan terapi yang
adekuat, dan beberapa lainnya meminta konsultasi medik tambahan untuk
masalah-masalah mereka (Kaplan dan Sadock, 2015).

Gambaran klinis dinilai dari 2 hal, yaitu gejala somatik dan gejala
psikologik.
1. Gejala somatik
a. Gemetar
b. Nyeri punggung dan nyeri kepala
c. Ketegangan otot
d. Napas pendek, hiperventilasi

10
e. Mudah lelah, sering kaget
f. Hiperaktivitas otonomik (wajah merah dan pucat, takikardia,
palpitasi, tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing)
g. Parestesia
h. Sulit menelan
2. Gejala psikologik
a. Rasa takut yang berlebihan dan sulit untuk dikontrol
b. Sulit konsentrasi
c. Insomnia
d. Libido menurun
e. Rasa mual di perut
f. Hipervigilance (siaga berlebih)
Gangguan anxietas menyeluruh juga memiliki pengaruh terhadap
tekanan darah. Ada dua faktor yang paling berpengaruh pada tekanan
darah, yaitu curah jantung (cardiac output) dan tahanan perifer
(peripheral resistance). Anxietas akan merangsang respon hormonal dari
hipotalamus yang akan mengsekresi CRF ( Cortisocoprin- Releasing
Factor) yang menyebabkan sekresi hormon-hormon hipofise. Salah satu
dari hormon tersebut adalah ACTH (Adreno- Corticotropin Hormon).
Hormon tersebut akan merangsang korteks adrenal untuk mengsekresi
kortisol ke dalam sirkulasi darah. Peningkatan kadar kortisol dalam
darah akan mengakibatkan peningkatan renin plasma, angiotensin II dan
peningkatan kepekaan pembuluh darah terhadap katekolamin, sehingga
terjadi peningkatan tekanan darah dan sebagai pusat dari system saraf
otonom. Sistem ini terbagi atas sistem simpatis dan sistem parasimpatis.
Pada anxietas terjadi sekresi adrenalin berlebihan yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah, sedanngkan pada anxietas yang sangat berat
dapat terjadi reaksi yang dipengaruhi oleh komponen parasimpatis
sehingga akan mengakibatkan penurunan tekanan darah dan frekuensi
denyut jantung. Pada kecemasan yang kronis, kadar adrenalin terus
meninggi, sehingga kepekaan terhadap rangsangan yang lain berkurang

11
dan akan terlihat tekanan darah meninggi. Pada gangguan anxietas
menyeluruh yang terutama berperan adalah neurotransmiter serotonin.
Pada saat ini telah diidentifikasi tiga reseptor serotonin, yaitu : 5-
hidroksitriptamin 1 (5-HT1), 5-HT2 dan 5-HT3. Menurut Kabo reseptor
5-HT1 bersifat sebagai inhibitor, sedangkan reseptor 5-HT2 dan reseptor
5-HT3 bersifat sebagai eksitator. Menurut Gothert, aktivasi reseptor 5-
HT1 akan mengurangi kecemasan sedangkan aktivasi reseptor 5-HT2
akan meningkatkan tekanan darah.

F. Diagnosis
Gangguan cemas menyeluruh ditandai dengan pola khawatir dan
cemas yang sering dan menetap yang melebihi proporsi dampak dari suatu
peristiwa atau keadaan yang menjadi pusat kecemasan. Perbedaan antara
gangguan cemas menyeluruh dan cemas yang normal adalah penekanan
dengan penggunaan kata ”berlebihan” pada kriteria dan dengan spesifikasi
gejala menyebabkan gangguan dan kesulitan.2

I. Pedoman Diagnostik PPDGJ III Gangguan Cemas Menyeluruh4


a. Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya ”free floating” atau ”mengambang”)
b. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
1) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk,
sulit konsentrasi, dsb.);
2) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat
santai); dan
3) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering, dsb.).

12
4) Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan somatik berulang yang
menonjol.
5) Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa
hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama
Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi
kriteria lengkap dari episode depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik
(F40.-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif kompulsif
(F42.-)

II. Kriteria Diagnostik Gangguan Cemas Menyeluruh menurut DSM


IV-TR
a. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap
hari, sepanjang hari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah
aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)
b. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya
c. Kecemasan dan kekhawatirannya disertai tiga atau lebih dari enam gejala
berikut ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan terakhir). Catatan: hanya satu
nomor yang diperlukan pada anak.
1. Kegelisahan
2. Merasa mudah lelah
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah,
dan tidak memuaskan)
d. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I,
misalnya, kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita suatu

13
serangan panik (seperti pada gangguan panik), merasa malu pada situasi
umum (seperti pada fobia sosial), terkontaminasi (seperti pada gangguan
obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara dekat
(seperti gangguan cemas perpisahan), penambahan berat badan (seperti
pada anoreksia nervosa), menderita keluhan fisik berganda (seperti pada
gangguan somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada
hipokondriasis) serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-
mata selama gangguan stres pasca trauma
e. Kecemasan,kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
f. Gangguan yang terjadi bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu
zat (misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum
(misalnya hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu
gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan
pervasif

Tabel 2. Kriteria Diagnostik DSM-V untuk gangguan cemas menyeluruh5

14
Tabel 3. Generalised Anxiety Disorder Scale (GAD-7)

15
G. Diagnosis Banding

Gangguan anxietas menyeluruh perlu dibedakan dari


kecemasan akibat kondisi medis umum maupun gangguan yang
berhubungan dengan penggunaan zat.Diperlukan pemeriksaan medis
termasuk tes kimia darah, elektrokardiografi, dan tes fungsi tiroid. Klinisi
harus menyingkirkan adanya intoksikasi kafein, penyalahgunaan
stimulansia, kondisi putus zat atau obat seperti alkohol, hipnotik-sedatif
dan anxiolitik.
Kelainan neurologis, endokrin, metabolik dan efek samping
pengobatan pada gangguan panik harus dapat dibedakan dengan kelainan
yang terjadi pada gangguan anxietas menyeluruh. Selain itu, gangguan
anxietas menyeluruh juga dapat didiagnosis banding dengan fobia,
gangguan obsesif-kompulsif, hipokondriasis, gangguan somatisasi, dan
gangguan stres post-trauma.

• Fobia

16
Pada fobia, kecemasan terjadi terhadap objek/hal tertentu yang jelas (dari
luar individu itu sendiri) yang sebenarnya tidak membahayakannya.
Sebagai akibat, obyek atau situasi tersebut akan dihindarinya atau
dihadapi dengan rasa terancam.
• Gangguan obsesif kompulsif
Obsesif adalah gagasan, bayangan, dan impuls yang timbul di dalam
pikiran secara berulang, sangat mengganggu dan pasien tidak mampu
untuk menghentikannya. Pikiran yang muncul ini biasanya tidak
dikehendaki, menimbulkan penderitaan, menakutkan atau
membahayakan. Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan
tindakan berulang-ulang (kompulsi) untuk menghilangkan kecemasannya.
• Hipokondriasis
Pada hipokondriasis maupun somatisasi, pasien merasa cemas terhadap
penyakit serius ataupun gejala-gejala fisik yang menurut pasien
dirasakannya dan berusaha datang ke dokter untuk mengobatinya,
sedangkan pada GAD, pasien merasakan gejala-gejala hiperaktivitas
otonomik sebagai akibat dari kecemasan yang dirasakannya.
• Gangguan stres pasca trauma
Pada gangguan stres pasca trauma, kecemasan berhubungan dengan suatu
peristiwa ataupun trauma yang sebelumnya dialami oleh pasien,
sedangkan pada GAD kecemasan berlebihan berhubungan dengan
aktivitas sehari-hari.

H. Terapi
1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine
dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai
respons terapi. Pengguanaan sediaan dengan waktu paruh
menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang
tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6 minggu,

17
dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2 minggu.
Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas,
antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.
Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan Benzodiazepin
antara lain :
• Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 5-
10 mg (im/iv), broadspectrum
• Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari,
broadspectrum
• Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas
dan anti-insomnia. Lebih efektif sebagai anti-anxietas, untuk
pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.
• Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-
anxietas dan anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif
sebagai anti-anxietas, psychomotor performance paling kurang
terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang masih
ingin tetap aktif.
• Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-
anxietas dan anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif
sebagai anti-anxietas.
• Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif
untuk anxietas tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat
dan mempunyai komponen efek anti-depresi.

b. Non-benzodoazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih
efektif dalam memperbaiki gejala kognitif disbanding gejala
somatik. Tidak menyebabkan withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10
mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya baru terasa
setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang
sudah menggunakan Benzodiazepin tidak akan memberikan

18
respon yang baik dengan Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan
bersama antara Benzodiazepin dengan Buspiron kemudian
dilakukan tapering Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat
efek terapi Buspiron sudah mencapai maksimal.

2. Psikoterapi
a. Terapi kognitif perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini
bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses
rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana proses
kognisi akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan
bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak.
Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi
fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan
menekankan peran otak dalam menganalisa,
memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan
kembali. Dengan mengubah arus pikiran dan perasaan,
klien diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari
negatif menjadi positif.Tujuan terapi kognitif perilaku ini
adalah untuk mengajak pasien menentang pikiran (dan
emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang
bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah
yang dihadapi. Pendekatan kognitif mengajak pasien
secara kangsung mengenali distorsi kognitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara
langsung. Teknik utama yang digunakan pada
pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.

b. Terapi suportif
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali
potensi-potensi yang ada dan belum tampak, didukung

19
egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi
sosial dan pekerjaannya.

c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan


Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai
penyingkapan konflik bawah sadar, menilik egostrength,
relasi objek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman
akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis
dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah
untuk menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal
kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam
fungsi sosial dan pekerjaannya.

I. Prognosis
Gangguan anxietas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis
yang mungkin berlangsung seumur hidup. Prognosis dipengaruhi oleh
usia, onset, durasi gejala dan perkembangan komorbiditas gangguan cemas
dan depresi. Terjadinya beberapa peristiwa negatif dalam kehidupan dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan cemas menyeluruh.
Menurut definisinya, gangguan kecemasan umum adalah suatu keadaan
kronis yang mungkin seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya
mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi
mayor.
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh,
perlu diingat bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan. Hal ini
berhubung dengan dinamika terjadinya gangguan cemas serta terapinya
yang begitu kompleks.Keadaan penderita, lingkungan penderita, dan
dokter yang mengobatinya ikut mengambil peran dalam menentukan
prognosis gangguan cemas menyeluruh.12
Ditinjau dari kepribadian premorbid, jika penderita sebelumnya
telah menunjukkan kepribadian yang baik di sekolah, di tempat kerja atau
dalam interaksi sosialnya, maka prognosisnya lebih baik daripada

20
penderita yang sebelumnya banyak menemui kesulitan dalam pergaulan,
kurang percaya diri, dan mempunyai sifat tergantung pada orang lain.
Kematangan kepribadian juga dapat dilihat dari kemampuan seseorang
dalam menanggapi kenyataan, pengendalian diri dalam memadukan
keinginan-keinginan pribadi dengan tuntutan masyarakat, kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Semakin matang kepribadian
premorbidnya, maka prognosis gangguan cemas menyeluruh semakin
baik.
Mengenai hubungan dengan terapi, semakin cepat dilakukan terapi
pada gangguan kecemasan menyeluruh, maka prognosisnya menjadi lebih
baik. Demikian pula dengan situasi tempat pengobatan, semakin pasien
merasa nyaman dan cocok dengan situasinya, maka hasilnya akan lebih
baik dan akan mempengaruhi prognosisnya. Pengobatan sebaiknya
dilakukan sebelum gejala-gejala menjadi alat untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan sampingan misalnya untuk mendapatkan simpati,
perhatian, uang, dan peringanan dari tanggung jawabnya. Jika gejala-
gejala sudah merupakan alat untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan
tersebut, maka kemauan pasien untuk sembuh berkurang dan prognosis
akan menjadi lebih jelek.
Faktor stres juga ikut menentukan prognosis dari gangguan cemas
menyeluruh. Jika stres yang menjadi penyebab timbulnya gangguan cemas
menyeluruh relatif ringan, maka prognosis akan lebih baik karena
penderita akan lebih mampu mengatasinya. Kalau dilihat dari lingkungan
hidup penderita, sikap orang-orang di sekitarnya juga berpengaruh
terhadap prognosis. Sikap yang mengejek akan memperberat penyakitnya,
sedangkan sikap yang membangun akan meringankan penderita. Demikian
juga peristiwa atau masalah yang menimpa penderita misalnya kehilangan
orang yang dicintai, rumah tangga yang kacau, kemunduran finansial yang
besar akan memperjelek prognosisnya.

21
22
BAB III
SIMPULAN

Gangguan anxietas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD)


merupakan kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran
yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik terhadap
berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari.Kondisi ini dialami hampir sepanjang
hari, berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 bulan.Kecemasan yang dirasakan
sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-gejala somatik seperti
ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga
menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi
sosial dan pekerjaan.
Penyebab terjadinya GAD dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara
lain teori biologi, teori genetik, teori psikoanalitik dan teori kognitif-perilaku.
Gambaran klinis yang dapat muncul antara lain anxietas berlebihan, ketegangan
motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan, dan sakit kepala,
hiperaktivitas otonom timbul dalam bentuk napas pendek, berkeringat, palpitasi,
dan disertai gejala pencernaan.
Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD adalah
gangguan panik, fobia, gangguan obsesif-kompulsif, hipokondriasis, gangguan
somatisasi, gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan kepribadian.
Penatalaksanaan GAD meliputi farmakoterapi, golongan Benzodiazepin
merupakan drug of choice sebab mempunyai efek anti-anxietas, spesifitas, potensi
dan keamanan yang paling baik. Selain itu, pasien juga diberikan psikoterapi,
berupa terapi kognitif-perilaku (CBT), terapi suportif dan psikoterapi berorientasi
tilikan.
Gangguan anxietas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang
mungkin berlangsung seumur hidup.Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami
gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.

23
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh, perlu
diingat bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan.Hal ini berhubung dengan
dinamika terjadinya gangguan cemas serta terapinya yang begitu
kompleks.Keadaan penderita, lingkungan penderita, dan dokter yang
mengobatinya ikut mengambil peran dalam menentukan prognosis gangguan
cemas menyeluruh.
Hal lain yang juga memegang peranan penting dalam menentukan baik
tidaknya prognosis gangguan cemas menyeluruh antara lain kepribadian
premorbid pasien, efektifitas terapi, factor stres, serta dukungan lingkungan dan
orang-orang sekitar pasien.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dowell T. Generalised anxiety disorder in adults – diagnosis and management.


Best Practice Journal. 2009;(25):20-27.

Sadock B, Kaplan H, Sadock V. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry.


Philadelphia: Wolter Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2015.

Redayani P. 2015. Gangguan Cemas Menyeluruh, Buku Ajar Psikiatri UI, Jakarta.

American Psychiatric Association. DSM-5. 2013. Generalized anxiety disorder.

Maslim R, 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III dan DSM-5, Cetakan Kedua, Jakarta.

Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi


Ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: 2007.
Hal.36-41.

Hutagalung, Evalina Asnawi. Tatalaksana Diagnosis dan Terapi Gangguan


Anxietas. [Internet] 2007 [cited 2017 Oktober 31]. Available from :
http://gangguan_anxietas.htm

25

Anda mungkin juga menyukai