Anda di halaman 1dari 21

TUGAS 1

PENGAWETAN PANGAN SECARA BIOLOGIS :


PENGGUNAAN BAKTERIOSIN SEBAGAI BIOPRESERVATIF
DAGING SAPI SEGAR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


PENGEMBANGAN PROSES DAN PRODUK PANGAN
Dosen Pengampu : Aji Prasetyaningrum, ST., MT.

Oleh :

Lucia Hermawati Rahayu


Anis Roihatin
Rr. Dewi Artanti Putri

PROGRAM MAGISTER TEKNIK KIMIA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2010
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER TEKNIK KIMIA
Jl. Prof. H. Soedarto, SH. Kampus Tembalang Semarang 50239
Telp. (024) 7460058, Fax. (024) 7460055

HALAMAN PENGESAHAN

Tugas ini telah diselesaikan oleh:


Nama : Lucia Hermawati Rahayu
Anis Roihatin
Rr. Dewi Artanti Putri

Program : Reguler

Semarang, Oktober 2010


Mengetahui,
Dosen Pengampu

.
Aji Prasetyaningrum, ST., MT.
PENGAWETAN PANGAN SECARA BIOLOGIS :
PENGGUNAAN BAKTERIOSIN SEBAGAI BIOPRESERVATIF
DAGING SAPI SEGAR

A. PENDAHULUAN

Salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia adalah
pangan. Pengolahan dan pengawetan bahan pangan memiliki keterkaitan erat terhadap
pemenuhan gizi masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika semua negara baik
negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan
yang cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara
pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap
bahan pangan yang akan dikonsumsi.
Salah satu sektor pangan yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan gizi protein
bagi manusia adalah daging. Daging berperanan cukup besar dalam konteks ketahanan
pangan nasional karena merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang
penting untuk kesehatan dan pertumbuhan. Kesehatan daging merupakan bagian
yang penting bagi keamanan pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan
yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan daging untuk
konsumen.
Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan
mengalami kerusakan. Hal ini karena daging merupakan bahan pangan yang
bergizi tinggi dan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan
daging oleh mikroba mengakibatkan penurunan mutu daging. Besarnya
kontaminasi mikroba pada daging menentukan kualitas dan masa simpan daging.
Untuk menghindari kerusakan, daging perlu diawetkan dengan
memperhatikan persyaratan keamanan pangan.
Namun, saat ini masih sering dijumpai adanya penggunaan bahan kimia berbahaya,
seperti formalin, untuk pengawet daging yang bertujuan untuk mempertahankan
kesegaran daging yang sebenarnya hanya tampak secara fisik dari luar. Pada dasarnya
proses pembusukan dalam daging tetap berlangsung mengingat terjadinya degradasi
protein secara alamiah selama penyimpanan. Salah satu alternatif untuk mempertahankan
kesegaran daging secara aman adalah secara biologis dengan penggunaan biopreservatif
(pengawetan alami) menggunakan bakteriosin yang dapat disintesis oleh bakteri asam
laktat (BAL) yang cukup banyak di Indonesia.
Biopreservasi menarik perhatian karena potensial untuk diaplikasikan dalam
pengawetan daging dan produk pangan yang lain, yaitu dengan mengontrol bakteri
pembusuk dan patogen secara alami. Dengan biopreservasi maka waktu penyimpanan
daging/produk pangan dapat diperpanjang dan keamanan pangan dapat meningkat.
Tersedianya bakteriosin diharapkan menjadi solusi agar pengawet kimia yang berbahaya
bagi kesehatan konsumen tidak digunakan lagi.
B. METODE PENGAWETAN DAGING
1. Penggunaan Asam Asetat.
Penggunaan asam asetat tidak ada batas maksimal. Beberapa peneliti menyatakan,
penggunaan asam asetat untuk makanan dalam jangka waktu lama tidak berbahaya
karena dapat dimetabolisir kemudian dikeluarkan dari tubuh. Penggunaannya sangat
mudah, hanya dicelupkan terakhir sebelum daging didistribusikan. Dari hasil penelitian,
asam asetat 4% dapat mengurangi jumlah bakteri penyebab pembusukan serta bakteri
patogen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp, dan belum
menyebabkan cita rasa daging berubah. Namun perlu diperhatikan tingginya konsentrasi
yang digunakan, karena dapat mempengaruhi rasa daging yaitu menjadi asam. Pada skala
industri, asam asetat menyebabkan korosi pada peralatan besi (Usmiati, 2009).
2. Pengasapan.
Pengasapan merupakan salah satu metode pengawetan yang lebih banyak dikerjakan
dengan asap kayu bakar. Ada dua cara pengasapan yaitu pengasapan panas dan dingin.
Pengasapan panas yaitu dengan cara memanggang ikan secara perlahan-lahan sehingga
bahan tersebut menjadi masak, daya awetnya 1-3 hari. Pada pengasapan dingin suhunya
antara 30-40 ºC dan lamanya 1-2 minggu.
Bahan bakar yang digunakan adalah yang tidak mengandung toksik. Keuntungannya
yaitu daging menjadi kompak (penarikan air dan penggumpalan protein daging ikan), hal
itu akan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Namun efeknya mutu daging
menurun(Usmiati, 2009)..
3. Penggunaan Bakteri (Bakteriosin)
Salah satu alternatif untuk mempertahankan kesegaran daging secara aman adalah
dengan penggunaan biopreservatif diantaranya bakteriosin yang dapat disintesis oleh
bakteri asam laktat (BAL). Tersedianya bakteriosin diharapkan menjadi solusi agar
pengawet kimia yang berbahaya bagi kesehatan konsumen tidak digunakan lagi.
(Usmiati, 2009)

C. BAKTERI PENYEBAB KEBUSUKAN DAN KERUSAKAN DAGING


Keberadaan mikroba Eschericia coli, Salmonella sp. dan Listeria sp pada daging
sangat dimungkinkan. Hal ini dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian. Strain
patogen E.coli menimbulkan penyakit diare berdarah, pembengkakan dan kelainan ginjal,
demam, kelainan syaraf, bahkan kematian. Di Amerika, dalam setahun terdapat 110.220
kasus infeksi akibat E.coli, 158.840 kasus infeksi E.coli, dan diarrheogenic E. coli.
Salmonella sp. selain sebagai bakteri patogen juga pembusuk. Salah satu strain
Salmonella yang terdapat pada daging yaitu Salmonella typhimurnium. Salmonella dapat
menyebabkan gastroenteritis, demam enteric (thypoid dan parathypoid), septicemia
(mikroorganisme berkembangbiak dalam aliran darah), diare, nausea dan muntah.
Listeria monocytogenes merupakan bakteri penyebab listeriosis (food borne
disease) yang terdapat pada daging dan produk mentah serta mampu bertahan pada suhu
rendah. Kasus infeksi L.monocytogenes terdapat 228 kasus di Perancis tahun 1997 dan
2002, yaitu pasien sebanyak 63% bacteriemia dan 26% bermasalah dengan sistem syaraf.
D. BAKTERIOSIN
Bacteriocin merupakan substansi protein, umumnya mempunyai berat molekul
kecil serta memiliki aktivitas sebagai bakterisidal (Abdelbasset dkk., 2008). Senyawa
antimikroba atau bacteriocin telah banyak dimanfaatkan sifat antagonistiknya dalam
bidang biopreservatif pangan, kemampuannya dalam menghambat bakteri Gram positif
dan atau Gram negatif dan sebagai terapeutik (Ali dkk., 1998)
Bacteriocin pertama ditemukan oleh A. Gratia pada tahun 1925, untuk pertama
kalinya dia memberi nama zat tersebut adalah colicine karena zat tersebut memiliki
kemampuan membunuh E. coli.
Jumlah spesies bakteri asam laktat yang telah dimanfaatkan cukup banyak akan
tetapi tidak semua spesies menghasilkan bacteriocin (Ali dkk., 1993).
Beberapa spesies dari genus Lactobacillus dilaporkan menghasilkan bakteriosin
seperti lactocin 27 oleh L. helveticus LP27 10; lactacin F oleh L. acidophilus 88 11;
plantacin B oleh L. plantarum NCDO 1193 12; sakacin A oleh L.sake Lb 706 2; brevicin
37 oleh L brevis B37 13; Enterococcus faecum, Lactococcus lactis (Aymerich, dkk.,
1996).

1. Klasifikasi Bacteriosin
Menurut Klaenhammer (1988) bakteriosin yang dihasilkan oleh
beberapa galur BAL dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a. Lantibiotik, merupakan bakteriosin yang mengandung cincin lantionin
dalam molekulnya, contohnya nisin, Lacticin 481, Lactacin S,
Streptococcin SA-FF22.
b. Bakteriosin kecil (< 10 kDa), relatif tahan panas, peptide pada sisi aktifnya tidak
mengandung lantionin. Kelompok kedua ini dibagi lagi dalam tiga sub
kelas. Kelas IIa mempunyai peptide listria-active dengan sekumpulan sekuen N-
terminal. Kelas IIb adalah kelompok bakteriosin yang biasanya membentuk komplek
berpori dengan aktifitas dua peptida yang berbeda. Kelas IIc adalah
bakteriosin yang memerlukan peptide teraktifasi-tiol untuk mengurangi residu
sistein dalam aktivitasnya.
c. Bakteriosin bermolekul protein besar (>30 kDa) dengan protein tidak tahan panas,
contoh Helvetion J dan Brevicin 27.
d. Bakteriosin yang mengandung protein kompleks, terdiri atas komponen
karbohidrat maupun lipid, contoh plantarisin S yang mengandung
glikoprotein (Usmiati, 2009).

2. Keuntungan bioperservatif dengan bakteriosin


Bacteriocin dari bakteri asam laktat yang digunakan sebagai biopreservatif
mempunyai beberapa keuntungan, antara lain :
 bakteriocin bukan merupakan bahan toksin
 mudah mengalami biodegradasi karena merupakan senyawa protein.
 tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam
saluran pencernaan
 dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yang selama ini digunkan sebagai bahan
pengawet
 telah terseleksi dan mampu menghasilkan senyawa antimikrobia terhadap bakteri
patogen tertentu atau memanfaatkan senyawa antimikrobia yang telah dipurifikasi /
semipurifikasi sebagai bahan pengawet pada makanan atau sebagai bahan aditif
(Abdelbasset dkk., 2008).

3. Sifat-sifat bakteriosin
 Mudah didegradasi enzim proteolitik.
 Mampu menghambat pertumbuhan mikroba yang secara filogenik dekat dengan bakteri
penghasil bakteriosin.
 Berupa protein, bersifat bakterisidal, bakteri target memiliki sifat pengikatan spesifik, gen
pengkode bakteriosin ada dalam plasmid, aktif terhadap bakteri yang dekat secara
filogenik.

 Tahan terhadap panas, 100˚C atau 121˚C selama 15 menit, pada suhu rendah tidak
berpengaruh, sensitif terhadap protease.

 Memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok bakteri Gram positif dalam sistem
makanan (Usmiati, 2009).

4. Sintesis bakteriosin dari bakteri asam laktat


Bakteriosin diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL), didefinisikan sebagai
protein yang aktif secara biologi atau kompleks protein (agregat protein, protein
lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesis secara ribosomal, dan menunjukkan
aktivitas antibakteri. Bakteriosin disintesis selama fase eksponensial pertumbuhan sel
mengikuti pola klasik sintesis protein. Sistem ini diatur oleh plasmid DNA ekstra
kromosomal dan dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama pH. Umumnya bakteriosin
disintesis melalui jalur ribosomal, sedangkan kelompok antibiotik disintesis secara
ribosomal sebagai prepeptida kemudian mengalami modifikasi. Sekresi prepeptida
dilakukan pada fase eksponensial dan diproduksi secara maksimal pada fase stasioner.
Prinsip regulasi sintesis bakteriosin diatur oleh adanya gen pengkode produksi dan
pengkode immunitas.
Sejumlah BAL yang ditumbuhkan pada media kompleks semi sintetis seperti
MRS (deMann Rogosa Sharpe) dapat menghasilkan populasi sel bakteri yang tinggi dan
bakteriosin yang relatif banyak. Media komersial mengandung protein tinggi seperti
tripton, pepton, ekstrak daging, dan ekstrak khamir yang akan tersisa karena tidak
dikonsumsi oleh bakteri. Harga media tersebut mahal sehingga tidak ekonomis untuk
produksi bakteriosin. Oleh karena itu perlu ada formula media produksi bakteriosin yang
lebih murah. Penggunaan beberapa limbah industri pangan sebagai basis media
pertumbuhan kultur tampaknya lebih ekonomis, misalnya whey dari limbah pembuatan
keju, jus jaitun, jerohan ikan.
Produksi bakteriosin umumnya dilakukan dalam kultur substrat cair. Berbagai
faktor dapat mempengaruhi produksi bakteriosin dalam media tersebut. Aktivitas
produksi bakteriosin oleh BAL dipengaruhi oleh faktor pH, suhu, sumber karbon, serta
fase pertumbuhan. Jenis sumber karbon maupun sumber nitrogen yang digunakan dalam
medium produksi mempengaruhi laju pertumbuhan sel BAL, selanjutnya berpengaruh
terhadap metabolisme produksi bakteriosin, selain itu tingkat salinitas medium produksi
seperti kandungan garam dari media turut mempengaruhi metabolisme produksi
bakteriosin. Secara umum kondisi optimum produksi bakteriosin selain dipengaruhi oleh
fase pertumbuhan, pH media, suhu inkubasi, jenis sumber karbon dan sumber nitrogen
juga konsentrasi NaCl (Luc De Vuyst dkk, 2007).
Secara garis besar prosedur sintesis bakteriosin dari bakteri asam laktat terdiri
atas 5 (lima) tahap, yaitu :
a). Pembuatan kultur bakteri asam laktat
Kultur Bakteri Asam Laktat menggunakan dalam media MRS broth, penyegaran
isolate dilakukan menggunakan media MRS agar, media untuk produksi bakteriocin
digunakan medium TGE (Tripton-glukosa-yeast ekstrak). Proses fermentasi
untukmemproduksi bacteriocin dilakukan pada suhu 30oC selama 72 jam denga pH
awal medium pH 7.
b). Isolasi bakteriosin
Isolasi bakteriosin dilakukan sebagai berikut : broth fermentasi disentrifuse (10.000
rpm selama 20 menit pada suhu 4 oC), selanjutnya filtrat fermentasi disaring dan
dijenuhkan dengan ammonium sulfat sampai dengan 80% dalam kondisi dingin.
Endapan yang terbentuk disaring dan dikeringkan. Selanjutnya dilarutkan kembali
dengan buffer potassium fosfat pada pH 7. Larutan bacteriocin tersebut yang
digunakan untuk karakterisasi dan uji antimikrobia (Ali dkk., 1998).
c). Uji aktivitas antimikrobia dari larutan bacteriocin
Uji aktivitas antimikrobia dilakukan menggunakan metode diffusi sumuran. sejumlah
bakteri uji dituangkan ke dalam petridish bersamaan dengan agar bacteriological
dalam kondisi hangat yang sudah disterilisasi. Selanjutnya ditunggu sampai keras
dengan mendinginkan pada suhu 4oC selama 1 jam, selanjutnya dibuat sumur dengan
diameter 4 mm. Filtrat bacteriosin diteteskan pada sumuran dan didiamkan pada suhu
4 C selama 1 jam dan dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 30 C selama 24 jam.
Zona bening yang terbentuk diukur diameternya menggunakan jangka sorong.
(Abdelbasset dkk., 2008).
d). Uji karakterisasi bacteriosin
Karakterisasi bacteriocin diuji dengan cara supernatan bacteriocin hasil isolasi
dikarakterisasi yang meliputi uji kestabilan terhadap variasi pH, suhu, enzim, serta
cairan surfaktan, dan beberapa parameter yang lain.
e). Purifikasi bacteriosin
Untuk purifikasi bacteriosin dilakukan dengan elektroforesis untuk mengetahui
besarnya molekul dengan SDS-PAGE, dan dilanjutkan dengan penetuan jenis asam
aminonya. Bacteriocin diketahui disusun oleh jenis-jenis asam amino Asparagin 7.5%,
Histidine 3.8%, glycin 0.3%, alanine 2.3%, Valine 2.8%, leucine 6.1%, isoleucine
33.0%, Serin 4.3%, methionine 16.0%, lysine 11.0%, proline 6.6%. (Ali dkk., 1998;
Adetunji dkk., 2007).
Mekanisme biosintesis bakteriosin dapat dilihat pada Gambar 2.

5. Kinerja bakteriosin dalam aktivitas penghambatan

Target kerja bakteriosin dari bakteri asam laktat adalah membran sitoplasma sel
bakteri yang sensitif. Target utama bakteriosin adalah membran sitoplasma sel bakteri
karena reaksi awal bakteriosin adalah merusak permeabilitas membran dan
menghilangkan proton motive force (PMF) sehingga menghambat produksi energi dan
biosintesis protein atau asam nukleat. Aktivitas penghambatan bakteriosin membutuhkan
reseptor spesifik permukaan sel, contohnya pada pediocin AcH. Selain itu mengakibatkan
terjadinya lisis pada sel. Hal ini adalah efek sekunder dari aktivitas pediocin AcH melalui
depolimerisasi lapis peptidoglikan, sehingga secara tidak langung dapat mengaktifkan
sistem autolisis sel (Barasubramanyam, dkk., 1999).

Mekanisme aktivitas bakterisidal bakteriosin adalah sebagai berikut:


(1) molekul bakteriosin kontak langsung dengan membran sel,
(2) proses kontak ini mampu mengganggu potensial membran berupa destabilitas
membran sitoplasma sehingga sel menjadi tidak kuat, dan
(3) ketidakstabilan membran mampu memberikan dampak pembentukan lubang atau
pori pada membran sel melalui proses gangguan terhadap PMF (Proton Motive
Force) (Barefoot dkk., 1993)
Kebocoran yang terjadi akibat pembentukan lubang pada membran sitoplasma
ditunjukkan oleh adanya aktivitas keluar masuknya molekul seluler. Kebocoran ini
berdampak pada penurunan gradien pH seluler. Pengaruh pembentukan lubang
sitoplasma merupakan dampak adanya bakteriosin yang menyebabkan terjadinya
perubahan gradien potensial membran dan pelepasan melekul intraseluler maupun
masuknya substansi ekstraseluler (lingkungan). Efeknya menyebabkan pertumbuhan sel
terhambat dan menghasilkan proses kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin.
Mekanisme aksi penghambatan bakteriosin terhadap bakteri target dapat dilihat pada
gambar 3.

E. APLIKASI BAKTERIOSIN SEBAGAI BIOPRESERVATIF PANGAN


Secara umum pengawetan secara biologis merupakan cara yang aman dalam
pengawetan bahan pangan dengan menurunkan kadar garam, gula, lemak, dan asam
dalam bahan makanan yang merupakan fakltor penyebab pertumbuhan mikroba.
Bacteriocin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat sangat menguntungkan untuk
diterapkan pada industri makanan pada umumnya dan terutama makanan-makanan hasil
fermentasi, dikarenakan aktivitasnya yang mampu menghambat pertumbuhan beberapa
bakteri kontaminan penyebab pembusukan makanan dan penyakit yang ditularkan
melalui makanan (food borne illness) (Abdelbasset dkk., 2008).
Beberapa stategi yang mungkin untuk dilakukan dalam aplikasi bakteriosin untuk
pengawetan pangan :
1) Inokulasi bakteri asam laktat dalam makanan yang memproduksi bakteriosin pada
makanan (produksi in situ)
Contohnya pada proses fermentasi makanan.
2) Penambahan bakteriosin sebagai pengawet makanan
Cara ini biasanya digunakan dalam pengawetan bahan makanan segar, seperti
daging, ikan, dan buah segar.
3) Menggunakan produk hasil fermentasi dengan bakteriosin yang menghasilkan strain
sebagai bahan formulasi makanan.
Contohnya pada pembuatan keju (Adetunji dkk., 2007)
F. BAKTERIOSIN SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA DAGING

Saat ini, kualitas mikrobiologi daging telah menjadi salah satu perhatian
masyarakat dalam hal keamanan pangan. Daging yang sehat seharusnya tidak
mengandung mikroba patogen, kalaupun mengandung mikroba non patogen maka
jumlahnya harus sedikit. Jika kandungan bakteri daging melebihi 106 bakteri/g maka
daging tersebut dianggap berkualitas rendah. Batas jumlah mikroba daging selama
dilayukan tidak boleh lebih dari 105 bakteri/cm2 daging.

Pertumbuhan mikroba berhubungan erat dengan kualitas daging segar.


Peningkatan jumlah mikroba pembusuk/patogen berpengaruh terhadap keamanan
dan daya tahan atau masa simpan serta kandungan awal mikroba dalam daging
segar. Kandungan mikroba awal dalam jumlah sedikit dalam bahan pangan dicapai
melalui aplikasi sanitasi yang efektif selama penanganan bahan pangan serta
penggunaan biopreservatif yaitu zat untuk pengawetan secara biologi untuk
mencegah mikroba patogen/pembusuk. Bakteriosin yang dihasilkan oleh beberapa
bakteri asam lakatat telah diuji untuk biopreservatif bahan pangan yang potensial.
Bakteriosin ini digunakan sebagai bahan pengawet untuk bahan pangan yang
memerlukan daya tahan selama proses pengolahan, distribusi dan penyimpnana
dalam waktu yang cukup lama. Aplikasi bakteriosin sebagai biopreservatif pada
bahan pangan tidak merubah rasa dan tekstur tetapi dapat menghambat
pertumbuhan mikroba patogen. Oleh karena itu bakteriosin menjadi perhatian
khusus sebagai biopreservatif yang potensial dan aman untuk kesehatan.

Hasil penelitian peran bakteriosin sebagai biopreservatif pada daging dan


produk daging banyak dilaporkan. Bakteriosin dari Pediococcus acidilactic dapat
digunakan untuk mengontrol mikroba patogen pada produk daging fermentasi.
Kultur Leuconostoc carnosum 4010 dapat digunakan sebagai biopreservatif daging
dan produk olahannya karena menghasilkan bakteriosin yang serupa dengan
leucocin A dan B. Bakteriosin yang secara alamiah dihasilkan oleh bakteri asam
laktat dalam suatu bahan pangan tidak menghambat pertumbuhan bakteri asam
laktat endogenous yang ada dalam bahan pangan tersebut.

Senyawa serupa bakteriosin (bacteriocin-like) dari bakteri Vagococcus


carniphilus dan Lactococcus garvieae yang diisolasi dari sosis kering aktif
menyerang L.monocytogenes dan Staphylococcus aureus. Antimikrobial ini
merupakan senyawa untuk mencegah pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan
yang mengkontaminasi peralatan selama pengolahan produk daging. Beberapa BAL
yang menghasilkan senyawa serupa bakteriosin dapat menekan pertumbuhan
mikroba yang tidak diharapkan sehingga merupakan barrier terjadinya kontaminasi
dari alat-alat dan lingkungan selama penanganan daging segar.

Penggunaan biopreservatif berhubungan dengan makin maraknya


penggunaan pengawet kimia formalin pada daging segar akhir-akhir ini yang
membahayakan kesehatan konsumen. Pengawet tersebut digunakan untuk
mencegah terjadinya pembusukan oleh bakteri patogen pada bahan pangan
terutama yang berkadar air dan gizi tinggi seperti daging. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian telah menghasilkan bakteriosin cair yang
dapat digunakan sebagai biopreservatif pada daging ayam. Hasil aplikasi bakteriosin
cair pada daging ayam menunjukkan bahwa daging ayam dapat dipertahankan
kesegarannya selama 18 jam, padahal daging ayam secara normal tanpa pengawet
dapat bertahan segar selama 10 jam (bila ditangani relatif bersih) dan 6 jam (bila
ditangani tidak bersih).

F. PENUTUP (SIMPULAN)

1. Bacteriocin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat tertentu memiliki kemampuan
menghambat jenis bakteri tertentu juga.
2. Bacteriocin yang dihasilkan oleh Bakteri Asam laktat mempunyai potensi untuk
dipergunakan sebagai bahan pengawet makanan dan bahan antimikrobia terhadap
beberapa bakteri pembusuk dan bakteri patogen.
3. Bacteriosin akan bekerja aktif pada kisaran pH tertentu (5 – 8), dan bersifat stabil
pada pemanasan sampai 80oC. Aktifitasnya dirusak oleh keberadaan enzim
proteolitik.
4. Bakteriosin diproduksi oleh bakteri asam laktat. Bakteriosin disintesis selama fase
eksponensial pertumbuhan sel mengikuti pola klasik sintesis protein. Sistem ini
diatur oleh plasmid DNA ekstra kromosomal dan dipengaruhi oleh beberapa faktor
terutama pH.

5. Bakteriosin membentuk lubang pada membran. Kebocoran ini berdampak pada


penurunan gradien pH seluler. Pengaruh pembentukan lubang sitoplasma merupakan
dampak adanya bakteriosin yang menyebabkan terjadinya perubahan gradien
potensial membran dan pelepasan molekul intraseluler maupun masuknya substansi
ekstraseluler (lingkungan). Efeknya menyebabkan pertumbuhan sel terhambat dan
menghasilkan proses kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin

6. Bakteriosin digunakan sebagai biopreservatif untuk mencegah terjadinya


pembusukan oleh bakteri patogen pada bahan pangan terutama yang berkadar air dan
gizi tinggi seperti daging.

DAFTAR PUSTAKA

1) Abdelbasset M and Kirane Djamila., 2008., Antimicrobial activity of autochthonous


lactic acid bacteria isolated from Algerian traditional fermented milk “Raïb” African
Journal of Biotechnology Vol. 7 (16), pp. 2908-2914, 18 August, 2008 Available
online at http://www.academicjournals.org/AJB ISSN 1684–5315 © 2008 Academic
Journals.
2) Adetunji dkk., 2007. Bacteriocin and Cellulose production by Lactic Acid Bacteria
Isolated, Afican Journal of Biotechnology, Vol. 6 (22), pp. 2616-2619.
3) Ali. G.R.R. and S. Radu. 1998. Isolation and Screening of Bacteriocin Producing
LAB from Tempeh. University of Malaysia.
4) Aymerich, T., Holo, H., Havarstein, L.S., Hugas, M., Garriga, M. and Nes, I.F. 1996.
Biochemical and Genetic Characterization of Enterocin A from Enterococcus
faecium, a New Anti listerial Bacteriocin in the Pediocin Family of Bacteriocins.
App. and Environ. Microbiol. 62(5): 1676-1682.
5) Barasubramanyam, B.V and M.C. Varadaraj., 1999, Antibacterial effect of
Lactobacillus spp. On foodborne pathogenic bacteria in an Indian milk based
fermented culinary food item. Culture Dairy Product J 30:22-24, 26-27.
6) Barefoot SF, Klaenhammer TR (1993).Detection and activity of lactacin B,
bacteriocin produced by Lactobacillus acidophilus. Appl. Environ. Microbiol. 45:
1808-1815. Buckle, K.A., R.A Adwards, G.H Fleet, M Wooton., 1985., Ilmu Pangan
(terjemahan Hari Purnomo dan adiono)., UI – Press Jakarta.
7) Intrapichet K, et al., 2006, The use of crude bacteriosins from Lactococcus lactis
TISTR 1401 as biopreservative to extend shelf life of aerobically packed pork
meatballs, Int. J. Food Microbiol. 26, 133-15-45
8) Luc De Vuyst dkk, 2007, Bacteriocins from Lactic Acid Bacteria : Production,
Purification, and Food Apllication, Journal of Molecular Micribiology and
Biotechnology, 13, 194-199
9) Siswanto D. dan Ilham, 2009, Penggunaan Bakteriosin sebagai Alternatif
Pengawetan Daging Ayam, Universitas Brawijaya.
10) Usmiati S, 2009, Penggunaan Bakteriosin sebagai Alternatif Pengawetan Daging
Ayam (Kasus Daging Ayam Berformalin), JITV 14(1) : 145-154
11) Usmiati S. dkk., 2009, Pengaruh Penggunaan Bakteriosin dari Lactobacillus sp.
Galur SCG 1223 terhadap Kualitas Mikrobiologi Daging Sapi Segar, JITV 14(2) :
150-166
12) Yoneyama dkk, 2004, Bacteriocins Produced by Lactic Acid Bacteria and Their Use
for Food Preservation, Tohoku Journal of Agriculture Research, vol. 55, n0 1-2, pp.
51-54
Pengaruh Penggunaan Bakteriosin dari Lactobacillus sp. Galur SCG
1223 terhadap Kualitas Mikrobiologi Daging Sapi Segar
SRI USMIATI1, MISKIYAH 1 dan RARAH R.A.M. 2
1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 12 Cimanggu Bogor 16114
2Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor

PENDAHULUAN

Kualitas mikrobiologi daging segar dapat dilihat dari kandungan beberapa jenis
mikroba patogen dan perusak pada daging segar diantaranya Escherichia coli,
Salmonella thypimurium dan Listeria monocytogenes. Kandungan mikroba yang tinggi
pada daging segar dapat menyebabkan umur simpan menjadi lebih singkat. Teknologi
penghambatan jumlah mikroba dalam daging antara lain dilakukan secara biologis dan
kimiawi. Secara kimiawi, umumnya dilakukan dengan penambahan asam melalui proses
fermentasi sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba dalam daging. Secara
biologis dapat dilakukan dengan penambahan zat antimikroba, misalnya bakteriosin yang
bersifat sebagai biopreservatif.
Bakteriosin umumnya dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL), yang
memproduksi asam laktat sebagai produk utama metabolismenya. Asam laktat memiliki
kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba dalam makanan, sehingga
meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan (KLAENHAMMER, 1998).
Bakteriosin merupakan substansi protein, umumnya mempunyai berat molekul kecil serta
memiliki aktivitas sebagai bakterisidal dan bakteriostatik. Bakteriosin telah banyak
dimanfaatkan sifat antagonistiknya dalam bidang biopreservatif pangan, karena
kemampuannya dalam menghambat bakteri Gram positif atau Gram negatif dan
mempunyai efek terapeutik. Saat ini bakteriosin sudah mulai diterapkan sebagai salah
satu biopreservatif karena sifatnya yang alami dan tidak menyebabkan efek negatif pada
konsumen.
Penelitian bertujuan untuk mengamati kualitas mikrobiologi daging sapi segar
dengan penambahan bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223. Hasil penelitian
diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai kemampuan bakteriosin
yang dihasilkan Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 sebagai biopreservatif yang dapat
menekan pertumbuhan mikroba patogen.

MATERI DAN METODE


Bahan yang digunakan adalah daging sapi segar bagian Rump (dari RPH Dinas
Pertanian Bidang Peternakan di kota Sukabumi), isolat sel produser Lactobacillus sp.
SCG 1223 yang diisolasi dari susu sapi segar, kultur bakteri uji (Salmonella
thypimurium, Eschericia coli, dan Listeria monocytogenes).
Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :
 Penentuan konsentrasi ekstrak bakteriosin
Tahap ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi ekstrak bakteriosin yang
diproduksi berdasarkan titik optimasi produksi bakteriosin pada suhu 33,50C
selama 9 jam.
 Tahap produksi ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus sp. SCG 1223
 Penelitian utama
Penelitian utama dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial 3 x 4 untuk daging yang disimpan pada suhu ruang (270C) dan 3x3
untuk daging yang disimpan pada suhu dingin (4 0C) dengan 3 kali ulangan.
Faktor pertama adalah perbedaan penambahan biopreservatif: penambahan
bakteriosin (B), tanpa penambahan bakteriosin (TB), dan penambahan nisin (N)
pada daging sapi segar. Faktor kedua adalah lama penyimpanan pada suhu ruang
(270C) dengan periode pengamatan hari ke 0 (H0), hari ke-6 (H6), hari ke-12
(H12), dan hari ke-18 (H18) dan suhu dingin (4 0C) dengan periode pengamatan
hari ke 0 (D0), hari ke-14 (D14), dan hari ke-28 (D28). Sebagai indikator
pengamatan adalah penambahan bakteri uji (S. thypimurium, E. coli, L.
monocytogenes).
Perhitungan TPC awal dan TPC bakteri uji dan kontrol
Daging sapi segar

Dipotong-potong dengan berat 75 g per potong

Perlakuan penambahan biopreservatif pada daging (bakteriosin, nisin, dan kontrol)

Inokulasi bakteri uji: Salmonella sp., L. monocytogenes dan E.coli tiap perlakuan

Pengemasan dengan plastik PE 0,3 μm

Penyimpanan suhu ruang (27–300C) Penyimpanan suhu dingin (4 -100C)

Pengamatan jumlah koloni E.coli, Pengamatan jumlah koloni E.coli,


Salmonella sp. dan L. Monocytogenes, Salmonella sp. dan L. Monocytogenes,
Perhitungan kadar protein,pH, dan Perhitungan kadar protein,pH, dan
karateristik fisik setelah penyimpanan 0, 6, karateristik fisik penyimpanan 0, 14 dan 28
12 dan 18 jam hari
Gambar 1. Diagram alir perlakuan aplikasi bakteriosin dan nisin sebagai biopreservatif
pada daging sapi segar pada penyimpanan di suhu dingin dan suhu ruang
HASIL

Hasil menunjukkan bahwa penggunaan bakteriosin dari isolat sel produser Lactobacillus
sp. SCG 1223 yang diisolasi dari susu sapi pada daging sapi segar mampu menghambat
pertumbuhan bakteri S. thypimurium, L. monocytogenes, dan E. coli. Bakteriosin yang
dihasilkan oleh Lactobacillus sp. mampu bekerja pada suhu ruang (270C) dan suhu
dingin (40C). Efektifitas nisin hampir sama dengan bakteriosin yang dihasilkan dari
isolat sel produser Lactobacillus sp. SCG 1223 yang diisolasi dari susu sapi dalam
penghambatannya terhadap bakteri Gram positif L. monocytogenes
G. PENGGUNAAN BAKTERIOSIN DARI LACTOBACILLUS sp. GALUR
1223 TERHADAP KUALITAS MIKROBIOLOGI DAGING SAPI SEGAR

Saat ini, kualitas mikrobiologi daging telah menjadi salah satu perhatian masyarakat
dalam hal keamanan pangan. Daging yang sehat seharusnya tidak mengandung mikroba
patogen, kalaupun mengandung mikroba non patogen maka jumlahnya harus sedikit.
Kandungan mikroba yang tinggi pada daging segar dapat menyebabkan umur simpan
menjadi lebih singkat. Teknologi penghambatan jumlah bakteri dalam daging antara lain
dapat dilakukan secara biologis yaitu dengan penambahan zat antimikrobia, misalnya
bakteriosin yang bersifat biopreservatif.
Sebagai studi kasus tentang penggunaan bakteriosin sebagai pengawet alami daging
segar, akan disajikan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Usmiati dkk. (2009),
yang meneliti pengaruh penambahan bakteriosin dari Lactobacillus sp. Galur SCG 1223
terhadap kualitas mikrobiologi daging sapi segar.
Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah tahap pendahuluan, yaitu
produksi ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus sp. SCG 1223. Tahap kedua adalah
penelitian utama, yakni pengamatan kualitas mikrobiologi daging sapi segar dengan
penambahan biopreservatif.
Variabel penelitian yang diamati dalam tahap penelitian utama adalah :
1). Perbedaan penambahan biopreservatif : penambahan bakteriosin (B), tanpa
penambahan bakteriosin (TB), dan penambahan nisin (N) pada daging sapi segar;
2). Lama penyimpanan :
 pada suhu kamar (27 ºC) dengan periode pengamatan hari ke-0 (H0), ke-6 (H6),
ke-12 (H12), dan hari ke-18 (H18);
 pada suhu dingin (4 ºC) dengan periode hari ke-0 (H0), ke-14 (H14), dan hari ke-
28 (H28).
Sebagai indikator pengamatan adalah : penambahan bakteri uji (S. thypimurium,
E. coli, L. monocytogenes). Peubah yang diamati adalah TPC (Total Plate
Count) awal dan total awal bakteri uji S. thypimurium (Apha, 1992); E. coli
(Fardiaz,1993); L. monocytogenes (Fardiaz, 1993) pada daging sapi segar, sertauji
kualitas daging yang meliputi total bakteri uji, nilai pH daging, dan kadar
protein (Horwitz dan Latimer, 2005).
Skema aplikasi biopreservatif pada daging sapi segar pada penyimpanan suhu dingin
dan suhu ruang seperti terlihat pada diagram alir pada gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir perlakuan aplikasi bakteriosin dan nisin sebagi biopreservatif pada daging sapi
segar pada penyimpanan suhu dingin dan suhu ruang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Laju pertumbuhan bakteri pada daging sapi segar


Jumlah bakteri dalam daging yang disimpan pada suhu dingin
menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri yang lebih lambat dibandingkan
pertumbuhan bakteri dalam daging yang disimpan pada suhu ruang. Jumlah
bakteri dalam daging sapi pada hari ke-0 adalah 4,131 log10 cfu/g. Berarti pada
daging sapi segar terdapat mikroba yang telah ada di dalam daging, yang dapat
berasal dari kontaminasi lingkungan ataupun bakteri indigenous pada saat
sapi masih hidup. Pertumbuhan mikroba pada suhu dingin dapat dihambat sehingga
mempertahankan masa simpan daging sapi.
2. Pengaruh penambahan biopreservatif bakteriosin terhadap jumlah bakteri
dalam daging sapi pada suhu yang berbeda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteriosin mempunyai kemampuan
penghambatan yang berbeda terhadap ketiga bakteri uji. Hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh jenis dinding sel bakteri ataupun karakteristik khusus bakteri uji.
Jenis dinding sel bakteri berpengaruh karena adanya perbedaan struktur dinding selnya.
Umumnya bakteri Gram negatif (seperti E. coli dan S. thypimurium) memiliki
ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dibanding Gram
positif (seperti L. Monocytogenes)

Escherichia coli
Total bakteri E. coli pada penyimpanan ruang didapatkan nyata (P<0,05)
dipengaruhi oleh interaksi penambahan biopreservatif dan lama simpan (Gambar
6). Efektifitas penghambatan bakteriosin dan nisin terhadap jumlah E. coli
dalam daging nyata pada penyimpanan jam ke-12 dan ke-18. Hal ini karena pada
jam tersebut bakteriosin dan nisin memiliki pengaruh yang sama terhadap
jumlah E. coli dalam daging dibandingkan dengan tanpa penambahan
bakteriosin, yang tampak dari nilai rataan bakteri yang lebih dari daging tanpa
penambahan bakteriosin. Aktivitas penghambatan bakteriosin dan nisin terhadap jumlah
bakteri E. coli pada daging sapi nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh lama simpan dan
penambahan biopreservatif. aktivitas bakteriosin dan nisin efektif menghambat
pertumbuhan bakteri pada suhu rendah (4-100C). Jumlah bakteri E. coli pada semua
perlakuan pada hari ke-28 sama yaitu kurang dari 1x105 log 10 cfu/gr. Hal ini karena
bakteri E. coli tidak dapat tumbuh lagi pada hari ke-28.

Salmonella thypimurium
Penambahan bakteriosin dan nisin berpengaruh nyata terhadap jumlah S.
thypimurium dalam daging sapi (P<0,05), dan interaksi antara perlakuan penambahan
bakteriosin da Kemampuan bakteriosin menghambat S. thypimurium lebih baik
dibandingkan nisin pada penyimpanan selama 18 jam, tampak jumlah bakteri S.
thypimurium jam ke-18 pada daging yang ditambahkan bakteriosin tidak berbeda dengan
jam ke-12. Hal ini diduga karena nisin merupakan bakteriosin yang lebih efektif
menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dibanding bakteri Gram negatif,
sehingga pada jam ken lama simpan nyata pada penyimpanan jam ke-12 (Gambar 8). 18
aktivitas nisin menghambat S. thypimurium dalam daging lebih rendah dibanding
bakteriosin. Kemampuan bakteriosin menghambat S. thypimurium menunjukkan bahwa
aktivitas hambat bakteriosin dari Lactobacillus sp. SCG 1223 cukup luas terhadap bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif. Kemampuan penghambatannya terjadi pada suhu
ruang (27-300C) dan suhu dingin (40C). Aktifitas penghambatan disajikan pada Tabel
1.Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteriosin dan nisin
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah S. thypimurium pada daging sapi. Pengaruh
perlakuan lama penyimpanan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata, artinya
bakteriosin dan nisin tidak mampu menghambat bakteri S. thypimurium pada
penyimpanan dingin. Hal ini kemungkinan karena aktivitas hambat bakteriosin relatif
kecil pada suhu rendah sehingga bakteriosin hanya mampu menghambat S. thypimurium
pada suhu ruang. Selain itu bakteri Gram negatif memiliki molekul kompleks yang cukup
sulit dirusak atau ditembus oleh antimikroba, akibatnya aktivitas hambatan bakteriosin
relatif kecil maka bakteriosin tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri S.
thypimurium.
Listeria monocytogenes
Perlakuan penambahan biopreservatif pada daging berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
jumlah bakteri L. monocytogenes dalam daging pada jam ke-12 (Gambar 9). Hasil uji
Kruskal Walis atas lama penyimpanan terhadap jumlah bakteri L. monocytogenes
menunjukkan bahwa lama simpan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah bakteri
L. monocytogenes pada daging yang ditambah bakteriosin dan daging tanpa penambahan
antimikroba. Perbedaan ini terletak pada lama simpan jam ke-0 dengan lama simpan jam
ke-18 (Gambar 10). Pada daging dengan penambahan nisin lama simpan tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah L. monocytogenes. Hal ini dikarenakan nisin mampu
menghambat bakteri L. monocytogenes dalam daging sehingga pertumbuhan bakteri L.
monocytogenes masih konstan jumlahnya selama 18 jam, sedangkan bakteriosin hanya
mampu konstan hingga jam ke 12. Jumlah bakteri L. monocytogenes pada daging sapi
yang disimpan dingin nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi penambahan
biopreservatif dan lama simpan. Hal ini sesuai dengan berbagai penelitian sebelumnya
yang menyebutkan bahwa bakteriosin dan nisin efektif menghambat bakteri Gram positif
seperi L. monocytogenes. Laju pertumbuhan bakteri L. monocytogenes pada daging yang
ditambah bakteriosin dan nisin lebih lambat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan
bakteri L. monocytogenes pada daging tanpa penambahan bakteriosin dan nisin.
Efektifitas nisin dan bakteriosin pada hari ke-14 sama, sehingga bakteriosin dan nisin
dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri L. monocytogenes\

Pengaruh penambahan bakteriosin dan nisin terhadap nilai pH daging sapi


Escherichia coli
Nilai pH awal daging tanpa penambahan antimikroba adalah 5,87. Setelah 2 jam
perlakuan penambahan bakteriosin dan nisin serta dikontaminasi dengan E. coli nilai pH
daging turun 5,56-5,68. Penurunan pH disebabkan oleh proses perubahan glikogen
menjadi asam laktat, dan bertambahnya jumlah E. coli dalam daging. Pada beberapa
ternak pH satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis sekitar
6,5-6,8, namun ada penurunan pH yang sangat cepat mencapai 5,4-5,5 akibat
pertumbuhan mikroba. Hasil penelitian menunjukkan penambahan biopreservatif pada
daging tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH daging sampai 18 jam pada suhu
ruang. Hal ini karena pH bakteriosin dan nisin yang digunakan untuk bahan pengawet
daging adalah netral sehingga pH daging tidak akan berubah dengan penambahan
bakteriosin ataupun nisin. Nilai pH daging tanpa penambahan antimikroba cenderung
lebih rendah dibanding daging dengan penambahan bakteriosin dan nisin, artinya
penurunan pH dapat disebabkan karena jumlah S. thypimurium semakin tinggi. Sehingga
semakin tinggi asam yang dihasilkan dari hasil metabolisme. Pertumbuhan mikroba
dalam daging menyebabkan penurunan pH secara cepat karena peningkatan keasaman
(BUCKLE et al., 1987).

Listeria monocytogenes
Nilai pH nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi antara lama penyimpanan dan
penambahan bakteriosin dan nisin. Perbedaan nilai pH terletak pada daging tanpa
penambahan antimikroba pada jam ke-0 dan jam ke-18. Nilai pH cenderung turun dan
sangat rendah pada daging tanpa penambahan antimikroba pada jam ke-18 (Tabel 3).
Kemungkinan hasil metabolisme L. monocytogenes berupa asam cukup tinggi dan
jumlahnya semakin banyak pada jam ke-18. Nilai pH pada daging yang ditambah
bakteriosin dan nisin mempunyai nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan tanpa
penambahan antimikroba. Adanya penambahan bakteriosin dan nisin secara langsung
tidak berpengaruh terhadap nilai pH daging sapi karena nisin dan bakteriosin
ditambahkan dalam keadaan netral. Perubahan nilai pH karena perlakuan dapat
disebabkan karena salah satu mekanisme bakteriosin dan nisin dalam menghambat
pertumbuhan mikroorganisme menyebabkan aktivitas selulernya berubah antara lain
penurunan gradien pH seluler. Penurunan gradien ini akan merubah nilai pH daging.
Penurunan pH daging karena lama penyimpanan dapat disebabkan karena adanya reaksi
perubahan glikogen dalam daging menjadi asam laktat oleh mikroba yang terkandung
dalam daging. Penurunan pH umumnya akan terus berlangsung selama kandungan
glikogen dalam daging masih tersedia.

Pengaruh penambahan bakteriosin dan nisin terhadap kadar protein daging sapi
Bakteriosin adalah molekul protein dengan karakteristik yang berbeda pada tiap jenisnya
dan memiliki aktivitas hambat. Penambahan bakteriosin tidak mempengaruhi kadar
protein daging sapi. Perubahan kadar protein daging sapi dapat disebabkan aktivitas
bakteri S. thypimurium, E. coli, L. monocytogenes selama proses penyimpanan daging.
Perubahan kadar protein daging oleh mikroba kemungkinan berbeda untuk tiap jenisnya.
Pengaruh perlakuan penambahan biopreservatif dan lama simpan terhadap kadar protein
pada daging sapi dikontaminasi E. coli dan disimpan pada suhu ruang (270C) disajikan
pada Gambar 12.

Escherichia coli
Kadar protein daging yang dikontaminasi dengan E. coli nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh
interaksi lama simpan dan penambahan biopreservatif. Penggunaan bakteriosin dan nisin
berpengaruh nyata terhadap kadar protein daging. Bakteriosin dan nisin merupakan
molekul protein yang berperan sebagai agen penghambat pertumbuhan mikroba. Selama
penyimpanan E. coli masih mengalami perkembangan sehingga pada akhir penyimpanan
kadar protein meningkat. Protein ini kemungkinan berasal dari daging, biopreservatif
(nisin dan bakteriosin) dan massa protein E.coli. Hasil uji Kruskal Walis pengaruh
penggunaan biopreservatif pada daging yang disimpan pada suhu dingin (40C) tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar protein daging sapi. Kadar protein daging nyata
(P<0,05) dipengaruhi oleh lama simpan (H-0 dan H-28) pada daging yang ditambah
bakteriosin dan nisin, sedangkan lama simpan tidak berpengaruh nyata terhadap daging
tanpa penambahan antimikroba (Gambar 13). Kadar protein daging pada hari ke-28
cenderung tinggi pada daging yang ditambah
bakteriosin dan nisin. Hal ini disebabkan karena jumlah
mikroba yang makin tinggi sehingga hasil metabolisme
mikroba berupa protein juga tinggi dan menyebabkan
peningkatan kadar protein dalam daging.

Anda mungkin juga menyukai