Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis
1. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat

konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing (Arif

Muttaqin, 2012)
Pneumonia adalah salah satu penyakit peradangan akut

parenkim paru yang biasanya dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah

akut (ISNBA) (Mandan, 2019).


Pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan

oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, parasite. Pneumonia

juga disebabkan oleh bahan kimia dan paparan fisik seperti suhu atau

radiasi (Djojodibroto, 2014)


Dari beberapa pengertian diatas, maka penulis mendefinisikan

pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana terjadi konsolidasi

dan eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasite dan juga

benda-benda asing

2. Anatomi Fisiologi
Gambar 2.1 Komponen Sistem Pernafasan

Gambar 2.2 Paru Normal Dengan Posisi Posteroanterior Dan Lateral

Gambar 2.3 Organ Paru Yang Terkena Pneumoni


a. Anatomi
Anatomi saluran pernafasan terdiri atas :
1) Saluran pernafasan bagian atas
Saluran pernafasan bagian atas terdiri atas :
a) Rongga Hidung
Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk

menuju rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal


sempit yang satu sama lainnya dipisahkan oleh septum.

Dinding rongga hidung dilapisi oleh sel mukosarespirasi

serta sel epitel batang, bersilia, dan berlapis semu. Mukosa

tersebut menyaring, menghangatkandan melembapkan

udara yang masuk melalui hidung. Vestibulum merupakan

bagian dari rongga hidung yang berambut dan berfungsi

menyaring partikel-pertikel berukuran besar agar tidak

masuk ke saluran pernafasan bagian bawah. Dalam hidung

juga terdapat saluran-saluran yang menghubungkan antara

rongga hidung dan kelenjar air mata, bagian ini dikenal

dengan kantung nasolakrimalis, kantung ini berfungsi

mengalirkan air melalui hidung yakni air yang berasal dari

kelenjar air mata saat seseorang menagis.


b) Sinus paranasal
Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mucus,

membantu pengaliran air mata melalui saluran

nasolakrimalis, dan membantu dalam menjaga permukaan

rongga hidung tetap bersih dan lembap. Sinus paranasal

juga termasuk dalam wilayah pembau di bagian posterior

rongga hidung. Wilayah pembau tersebut terdiri atas

inferior palatum kribriform, bagian superior septum nasal,

dan bagian superior konka hidung. Reseptor di dalam epitel

pembau ini akan merasakan sensasi bau.


c) Faring
Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari dasar

tengkorak dan berakhir sampai persambungannya dengan


esofagus dan batang tulang rawan krikoid. Faring terdiri

atas tiga bagian yang dinamai berdasarkan letaknya, yakni

nasofaring (dibelakang hidung), orofaring (dibelakang

mulut), dan laringofaring (dibelakang laring)

2) Saluran pernafasan bagian bawah


a) Laring
Laring (tenggorok) terletak di antara faring dan

trachea. Berdasarkan letak vertebra serevikalis, laring

berada di ruas ke-4 atau ke-5 dan berakhir di vertebra

servikalis ruas ke-6, laring disusun oleh 9 kartilago yang

disatukan oleh ligament dan otot rangka pada tulang hyoid

di bagian atas dan trachea dibawahnya.


Kartilago yang terbesar adalah kartilago tiroid, dan

didepannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal

sebagai jakun yang terlihat nyata pada pria. Kartilago tiroid

dibangun oleh dua lempeng besar yang bersatu dibagian

anterior membentuk sebuah sudut seperti huruf V yang

disebut tonjolan laryngeal


Kartilago krikoid adalah kartilago berbentuk cincin

yang terletak di bawah kartilago tiroid (ini adalah satu-

satunya kartilago yang berbentuk lingkaran lengkap).

Kartilago arytenoid adalah sepasang kartilago yang

menjulang di belakang krikoid, dan diatasnya terdapat

kartilago kuneiform dan kornikulata yang sangat kecil.

Diatas kartilago tiroid terdapat epiglottis yang berupa katup

dan berfungsi menutup laring saat menelan makanan


Pita Suara
Pita suara terletak di dalam laring. Ujung posterior pita

suara melekat pada kartilago arytenoid. Pergerakan

kartilago dilakukan otot laryngeal yang membuat pita suara

dapat menegang dan mengendur sehingga menimbulkan

beragam tekanan.
b) Trachea
Trachea adalah sebuah tabung yang berdiameter

2,5 cm dengan panjang 11 cm. treakhea terletak setelah

laring dan memanjang ke bawah setara dengan vertebra

torakalis ke-5. Ujung trachea bagian bawah bercabang

menjadi dua bronchus (bronchi) kanan dan kiri.

Percabangan bronchus kanan dan kiri dikenal sebagai karina

(carina). Trachea tersusun atas 16-20 kartilago hialin

berbentuk huruf C yang melekat pada dinding trachea dan

berfungsi untuk melindungi jalan udara. Kartilago ini juga

berfungsi untuk mencegah terjadinya kolaps atau ekspansi

berlebihan akibat perubahan tekanan udara yang terjadi

dalam system pernafasan.


c) Bronchus
Bronchus mempunyai struktur serupa dengan

trachea. Bronchus kiri dan kanan tidak simetris. Bronchus

kanan lebih pendek, lebih lebar, dan arahnya hamper

vertical dengan trachea. Sebaliknya bronchus kiri lebih

panjang, lebih sempit dan sudutnya pun lebih runcing.

Bentuk anatomi yang khusu ini memiliki implikasi klinis

tersendiri seperti jika ada benda asing yang terinhalasi,


maka benda itu lebih memungkinkan berada di bronchus

kanan dibandingkan bronchus kiri karena arah dan lebarnya.


(1) Bronchus Pulmonaris
Bronchus pulmonaris bercabang dan beranting sangat

banyak. Cabang utama bronchus memiliki stuktur

serupa trachea. Dinding bronchus dan cabang-

cabangnyadilapisi epitelium batang, bersilia, dan

berlapis semu. Saluran yang semakin kecil

menyebabkan jenis epitelium bronchus mengalami

penyesuaian sesuai dengan fungsinya.


Bronkhiolus terminalis disebut saluran penghantar udara

karena fungsi utamanya adalah mengantarkan udara ket

tempat pertukaran gas di paru. Selain bronkhiolus

terminalis terdapat pula asinus yang merupakan unit

fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas. Asinus

terdiri atas bronkiolus respiratorius dan duktus

alveolaris yang seluruhnya dibatasi alveoli dan sakus

alveolus terminalis yang merupakan struktur akhir paru.


(2) Duktus Alveolaris dan Alveoli
Bronkhiolus respiratorius terbagi dan bercabang

menjadi beberapa duktus alveolaris dan berakhir pada

kantung udara berdinding tipis yang disebut alveoli.

Beberapa alveolibergabung membentuk sakus

alveolaris. Setiap paru terdiri atas sekitar 150 juta

alveoli (sakus alveolaris). Kepadatan sakus alveolaris

inilah yang memberi bentuk paru tampak seperti spons.

Jaringan kapiler darah mengelilingi alveoli ditahan oleh


serat elastis. Jaringan elastis ini menjaga posisi antara

alveoli dengan bronkhiolus respiratorius. Adanya daya

recoil dari serat ini selama ekspirasi akan mengurangi

ukuran alveoli dan membantu mendorong udara agar

keluar dari paru.


d) Alveoli dan Membran Respirasi
Membrane respiratorius pada alveoli umumnya dilapisi oleh

sel epitel pipih sederhana. Sel-sel epitel pipih disebut

dengan sel Tipe I. makrofag alveolar bertugas berkeliling di

sekitar epitelium untuk memfagisitosis partikel atau bakteri

yang masih dapat masuk ke permukaan alveoli, makrofag

ini merupakan pertahanan terakhir pada system pernafasan.

Sel lain yang ada dalam membrane respiratorius adalah sel

septal atau disebut juga dengan sel surfaktan dan sel tipe II.

Surfaktan terdiri atas fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan

berperan untuk melapisi epitelium alveolar dan mengurangi

tekanan permukaan yang dapat membuat alveoli kolaps.

Tanpa adanya surfaktan, tekanan pada permukaan

cenderung tinggi dan akhirnya alveoli akan menjadi kolaps.

Apabila produksi surfaktan tidak mencukupi karena adanya

injuri atau kelainan genetic (kelahiran premature), maka

alveoli dapat mengalami kolaps sehingga pola pernafasan

menjadi tidak efektif


e) Paru
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan

terletak dalam rongga thoraks. Kedua paru dipisahkan oleh


mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa

pembuluh darah besar. Paru kanan lebih besar dari paru kiri.

Selain itu, paru juga dibagi menjadi tiga lobus, satu lobus

pada paru kanan dan dua lobus pada paru kiri. Lobus-lobus

tersebut dibagi menjadi beberapa segmen, yaitu 10 segmen

pada paru kanan dan 9 segmen pada paru kiri. Proses

patologis seperti atelectasis dan pneumonia seringkali

terbatas pada satu lobus atau satu segmen saja. Oleh karena

itu pengetahuan anatomi segmen paru penting sekali bagi

perawat saat melakukan fisioterapy dada. Fisioterapi dada

dilakukan untuk mengetahui dengan tepat letak lesi dan

akumulasi secret, sehingga perawat dapat menerapkan

keahliannya dalam mengeluarkan secret saat drainase

postural.
b. Fisiologi
System pernafasan dapat disebut juga dengan system

respirasi yang berarti bernafas kembali. System ini berperan

menyediakan oksigen (O2) yang diambil dari atmosfer dan

mengeluarkan karbondioksida (CO2) dari sel-sel (tubuh) menuju ke

udara bebas. Proses bernafas berlangsung dalam beberapa langkah

dan berlangsung dengan dukungan system saraf pusat dan system

kardiovaskular. Pada dasarnya system pernafasan terdiri atas

rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar dapat

bersentuhan dengan membrane kapiler alveoli yang memisahkan

antara system pernafasan dan system kardiovaskular.


Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara

dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi)serta

mengeluarkan udara mengandung karbon dioksida (ekspirasi).

Proses respirasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara

rongga pleura dan paru. System saraf pusat memberikan dorongan

ritmis dari dalam untuk bernafas dan secara refleks merangsang otot

diafragma dan otot dada yang akan memberikan tenaga pendorong

bagi gerakan udara.


Proses pergerakan gas ke dalam dan ke luar paru

dipengaruhi oleh tekanan dan volume agar udara dapat mengalir ke

dalam paru, tekanan interpleural harus menjadi negative untuk dapat

menentukan batas atas gradien tekanan antara atmosfer dan alveoli

sehingga udara masuk dengan mudah ke dalam paru.


Volume normal pada paru diukur melalui penilaian fungsi

paru (dapat dilihat pada Tabel 1.1). sebagian dari pengukuran ini

dapat direkam dengan spirometer, dimana parameter yang diukur

adalah volume udara yang memasuki atau meninggalkan paru.

Bervariasinya nilai normal volume paru bergantung pada beberapa

keadaan seperti adanya kehamilan, latihan, obesitas, atau kondisi-

kondisi mengenai penyakit obstruktif dan restriktif. Faktor-faktor

seperti sejumlah surfaktan, komplians, dan kelumpuhan pada otot

pernafasan dapat mempengaruhi tekanan dan volume paru. Fungsi

utama dari sirkulasi pulmonal adalah mengalirkan darah dari dan

keparu agar dapat terjadi pertukaran gas.


Fungsi anatomi yang cukup baik dari semua system ini

penting untuk respirasi sel. Malfungsi dari setiap komponen dapat


mengganggu pertukaran dan pengangkutan gas serta dapat sangat

membahayakan proses kehidupan.


3. Etiologi
Menurut Padila (2013) etiologi Pneumonia :
a. Bakteri
Pneumonia bakteri didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram

positif seperti : Streptococcus pneumonia, S. aerous, dan

Streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negative seperti

Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.


b. Virus
Disebabkan virus influenza yang menyebar melalui droplet.

Penyebab utama pneumonia virus ini yaitu Cytomegalovirus.


c. Jamur
Disebabkan oleh jamur hitoplasma yang menyebar melalui udara

yang mengandung spora dan ditemukan pada kotoran burung, tanah

serta kompos.
d. Protozoa
Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC).

Biasanya pada pasien yang mengalami imunosupresi. (Reeves,

2013). Penyebaran infeksi melalui droplet dan disebabkan oleh

streptococcus pneumonia, melalui selang infus yaitu stapilococcus

aureus dan pemakaian ventilator oleh P. Aeruginosa dan

enterobacter. Dan bias terjadi karena kekebalan tubuh dan juga

mempunyai riwayat penyakit kronis.


Selain diatas, penyebab terjadinya pneumoni yaitu dari Non

mikroorganisme :
1) Bahan kimia
2) Paparan fisik seperti suhu dan radiasi (Djojodibroto, 2014)
3) Merokok
4) Debu, bau-bauan, dan polusi lingkungan (Ikawati, 2016)
4. Klasifikasi
Menurut Amin & Hardi (2015)
Gambar 2.4 Gambaran Thorax Normal
 Tampak kedua apex paru tenang;
 Tampak corakan bronkovaskuler dikedua lapangan paru normal;
 Sinus costophrenicus kanan-kiri lancip;
 Diafragma kanan-kiri licin;
 Cor : CTR kurang dari 0,56.
 Kesan : Paru dan cor dalam batas normal

a. Berdasarkan anatomi :
1) Pneumonia lobaris yaitu terjadi pada seluruh atau sebagian besar

dari lobus paru. Disebut pneumonia bilateral atau ganda apabila

kedua paru terkena.

Gambar 2.5 Pneumonia Lobaris Kiri atas


2) Pneumonia lobularis, terjadi pada ujung bronkhiolus, yang

tersumbat oleh eksudat mukopurulen dan membentuk bercak

konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya.

Gambar 2.6 Pneumonia Lobularis


3) Pneumonia interstitial, proses inflamasi yang terjadi didalam

dinding alveolar dan interlobular.

Gambar 2.7 Pneumonia Interstitial


b. Berdasarkan inang dan lingkungan
1) Pneumonia komunitas
Terjadi pada pasien perokok, dan mempunyai penyakit penyerta

kardiopulmonal
Gambar 2.8 Pneumonia komuniti

2) Pneumonia aspirasi
Disebabkan oleh bahan kimia yaitu aspirasi bahan toksik, dan

akibat aspirasi cairan dari cairan makanan atau lambung

Gambar 2.9 Pneumonia Aspirasi


3) Pneumonia pada gangguan imun
Terjadi akibat proses penyakit dan terapi. Disebabkan oleh kuman

pathogen atau mikroorganisme seperti bakteri, protozoa, parasite,

virus, jamur dan cacing.


Gambar 3.0 Pneumonia Gangguan Imun

5. Patofisiologi
Kuman masuk kedalam jaringan paru-paru melalui saluran nafas

bagian atas menuju ke bronkhiolus dan alveolus. Setelah bakteri masuk

dapat menimbulkan reaksi peradangan dan menghasilkan cairan edema

yang kaya protein.


Kuman pneumokokus dapat meluas dari alveoli ke seluruh

segmen atau lobus. Eritrosit dan leukosit mengalami peningkatan,

sehingga alveoli penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit, fibrin

dan leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar, paru menjadi

tidak berisi udara. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah menurun

sehingga alveoli penuh dengan leukosit dan eritrosit menjadi sedikit.


Setelah itu paru tampak berwarna abu-abu kekuningan. Perlahan

sel darah merah yang akan masuk ke alveoli menjadi mati dan terdapat

eksudat pada alveolus sehingga membrane dari alveolus akan mengalami

kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan proses difusi osmosis

oksigen dan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa

oleh darah.
Secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis.

Terdapatnya cairan purulent pada alveolus menyebabkan peningkatan

tekanan pada paru, dan dapat menurunkan kemampuan mengambil

oksigen dari luar serta mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru.

Sehingga penderita akan menggunakan otot bantu pernafasan yang dapat

menimbulkan retraksi dada.


Secara hematogen maupun lewat penyebaran sel,

mikroorganisme yang ada di paru akan menyebar ke bronkus sehingga

terjadi fase peradangan lumen bronkus. Hal ini mengakibatkan terjadinya

peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia sehingga

timbul reflek batuk. (Sujono & Sukarmin, 2009).


6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis beragam, tergantung pada organisme penyebab dan

penyakit pasien. (Brunner & Suddarth, 2011).


a. Menggigil mendadak dan dengan cepat berlanjut menjdai demam

(38,5°C sampai 40,5°C).


b. Nyeri dada pleuritik yang semakin berat ketika bernafas dan batuk.
c. Pasien yang sakit parah mengalami takipnea berat (25 sampai 45 kali

pernapasan/menit) dan dyspnea, ortopnea ketika disangga.


d. Nadi cepat dan memantul, dapat meningkat 10 kali/menit per satu

derajat peningkatan suhu tubuh (Celcius)


e. Bradikardi relative untuk tingginya demam menunjukkan infeksi

virus, infeksi mikroplasma, atau infreksi organisme Legionella.


f. Tanda lain : infeksi saluran nafas atas, sakit kepala, demam derajat

rendah, nyeri pleuritik, myalgia, ruam faringitis, setelah beberapa hari,

sputum mukoid atau mukopurulen dikeluarkan.


g. Sputum purulent berwarna seperti katar, bercampur darah, kental, atau

hijau, bergantung pada agen penyebab.


h. Nafsu makan buruk, dan pasien mengalami diaphoresis dan mudah

lelah.
i. Tanda dan gejala pneumonia dapat juga bergantung pada kondisi

utama pasien (missal, yang menjalani terapi imunosupresan, yang

menurunkan resistensi terhadap infeksi.


7. Komplikasi
Komplikasi pneumonia meliputi hipoksemia:
a. Gagal respiratorik
Gangguan fungsi paru akibat kerusakan alveoli yang difus, ditandai

dengan kerusakan sawar membrane kapiler alveoli, sehingga

menyebabkan terjadinya edema alveoli yang kaya protein disertai

dengan adanya hipoksemia. Kelainan ini umumnya timbul mendadak

pada pasien tanpa kelainan paru sebelumnya dan dapat disebabkan

oleh berbagai macam keadaan.


b. Efusi pleura
penumpukan cairan di dalam ruang plaural yang terjadi karena proses

penyakit primer dan dapat juga terjadi karena penyakit sekunder

akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih yang merupakan

transudat, dan berupa pus atau darah. (Istiqomah, 2019)


c. Empyema

Empiema adalah kondisi ketika kumpulan nanah terbentuk di ruang

pleura, yaitu area yang terletak di antara paru-paru dan permukaan

bagian dalam dinding dada. Empiema biasanya terjadi setelah

seseorang mengalami infeksi jaringan paru-paru (pneumonia).

d. Abses paru
Abses paru adalah pengumpulan setempat cairan terinfeksi, berupa

pus atau jaringan nekrotik supuratif, dalam suatu kaviti yang terbentuk

akibat penghancuran jaringan sekitarnya (parenkim paru).


Infeksi serius pada peredaran darah. Bakteremia terjadi ketika infeksi

bakteri terjadi pada bagian tubuh lain seperti kulit, paru-paru dan

infeksi menyebar hingga ke peredaran darah.


e. Disertai penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain yang menyebabkan

meningitis, endocarditis, dan pericarditis (Paramita, 2011).


8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Diana (2019) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan

adalah :
a. Pemeriksaan laboratorium
Biasanya didapatkan jumlah leukosit 15.000-40.000/mm³. dalam

keadaan leukopenia, laju endap darah biasanya meningkat hingga 100

mm/jam. Saat dilakukan biakan sputum, darah, atau jika

dimungkinkan cairan efusi pleura. Untuk biakan aerobic anaerobic,

untuk selanjutnya dibuat pewarnaan gram sebagai pegangan dalam

pemberian antibiotic. Sebaiknya diusahakan agar biakan dibuat dari

sputum saluran pernapasan bagian bawah. Selain contoh sputum yang

diperoleh dari batuk, bahan dapat diperoleh dari swap tenggorokan

atau laring, pengisapan lewat trachea, bronkoskopi, atau pengisapan

lewat dada bergantung pada indikasinya. Pemeriksaan analisa gas

darah (AGD/Astrup) menunjukkan hipoksemia sebab terdapat

ketidakseimbangan ventilasi-perfusi didaerah pneumonia. (Muttaqin,

2012).

b. Pemeriksaan radiologis
Sebaiknya dibuat foto thorax posterior-anterior dan lateral untuk

melihat keberadaan konsolidasi retrokardial sehingga lebih mudah

untuk menentukan lobus mana yang terkena karena setiap lobus

memiliki kemungkinan untuk terkena. Meskipun lobus inferior lebih

sering terkena. Yang khas adalah tampak gambaran konsolidasi

homogen sesuai dengan letak anatomi lobus yang terkena.


Densitasnya bergantung pada intensitas eksudat dan hamper selalu ada

bronkhogram udara. Pada masa akut, biasanya tidak ada pengecilan

volume lobus yang terkena sedangkan pada masa revolusi mungkin

ada atelectasis sebab eksudat dalam saluran pernafasan dapat

menyebabkan obstruksi. Kebanyakan lesi terbatas pada satu lobus,

tapi dapat juga mengenai lobus lain. Mungkin ada efusi pleura yang

dapat mudah dilihat dengan foto dekubitul lateral.


Gambaran konsolidasi tidak selalu mengisi seluruh lobus karena mulai

dari perifer gambaran konsolidasi hamper selalu berbatasan dengan

permukaan pleura viseralis gambaran batasnya tegas tetapi sisi yang

lainnya mungkin tidak berbatas tegas. Gambaran radiologi yang khas

kadang-kadang bias didapatkan pada bronchitis menahun dan

emfisema. (Mutaqin, 2012)


c. ABG/Pulse Oxymetri : Abnormalitas mungkin timbul tergantung pada

luasnya kerusakan paru


d. Laju endap darah (LED) :meningkat
e. Bilirubin mungkin meningkat
f. Elektrolit : sodium dan klorida mungkin rendah (Somantri, 2012)
g. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang

terlibat dan penyakit paru yang ada. (Eulandari & Erawati, 2016)
9. Penatalaksanaan
a. Medis
Pentalaksanaan medis secara umu untuk pneumonia menurut

Manurung dkk (2009) adalah :


1) Pemberian antibiotik seperti : penicillin, cephalosporin

pneumonia.
2) Pemberian antipiretik, analgetik dan bronkodilator.
3) Pemberian oksigen
4) Pemberian cairan parenteral sesuai indikasi.
Sedangkan untuk penyebab pneumonia bervariasi sehingga

penanganannya pun akan disesuaikan dengan penyebab tersebut.


Selain itu pengobatan pneumonia tergantung dari tingkat

keparahan gejala yang timbul. (Shaleh, 2013).


a) Bagi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri
Dengan pemberian antibiotic yang tepat. Pengobatan harus

komplit sampai benar-benar tidak muncul lagi gejala pada

penderita. Selain itu hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum

tidak tampak adanya bakteri pneumonia (Shaleh, 2013).


(1) Untuk bakteri Streptococcus pneumonia
Dengan pemberian vaksin dan antibiotic. Ada dua vaksin

yaitu : pneumococcal conjugate vaccine yaitu vaksin

imunisasi bayi dan untuk anak dibawah usia 2 tahun dan

pneumococcal polysaccharide vaccine direkomendasikan

bagi orang dewasa. Antibiotic yang digunakan dalam

perawatan tipe pneumonia ini yaitu penicillin,

amoxicillin, dan clavulanic aced, serta macrolide

antibiotics. (Shaleh, 2013).


(2) Untuk bakteri Haemophilus influenza
Antibiotic cephaloporius kedua dan ketiga, amoxillin

dan clavulanic acid, fluoroquinolones, maxifloxacin

oral, gatifloxacin oral, serta selfamethoxazole dan

trimethoprim. (Shaleh, 2013).


(3) Untuk bakteri Mycoplasma
Dengan antibiotik macrolides, antibiotik ini diresepkan

mycoplasma pneumonia, (Shaleh, 2013)


b) Bagi pneumonia yang disebabkan oleh virus
Pengobatannya sama dengan pengobatan pada penderita flu.

Yaitu banyak beristirahat dan pemberian nutrisi yang baik

untuk membantu daya tahan tubuh. Sebab bagaiman pun


juga virus akan dikalahkan pula oleh daya tahan tubuh yang

sangat baik. (Shaleh, 2013).


c) Bagi pneumonia yang disebabkan oleh jamur.
Cara pengobatannya akan sama dengan cara mengobati

penyakit jamur lainnya. Hal yang paling penting adalah

pemberian obat anti jamuragar bias mengatasi pneumonia

(Shaleh, 2013).
b. Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien pneumonia dan Menurut

Smeltzer & Bare 2002 dalam Andarmayo ( 2012 )


1) Teknik latihan nafas dalam
Menurut Smeltzer & Bare (2002) teknik relaksasi nafas dalam

merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini

perawat mengajarkan pada klien bagaimana cara melakukan

nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal)

dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, selain

dapat menurunkan intensitas nyeri teknik relaksasi nafas dalam

juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan

oksigen darah.
2) Teknik latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif merupakan cara untuk melatih pasien yang

tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif dengan tujuan

untuk membersihkan laring, trachea, dan bronkhiolus dari secret

atau benda asing dijalan nafas.


3) Fisioterapi dada
Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan yang

dilakukan dengan cara postural drainage, clapping/perkusi, dan

vibrating pada pasien dengan gangguan system pernafasan.


4) Teknik pengisapan lender
Pengisapan lender (suction) merupakan tindakan keperawatan

yang dilakukan pada pasien yang tidak mampu mengeluarkan

secret atau lender sendiri.


a. Pathway
Bakteri, virus Jamur, Protozoa
Benda asing

Saluran nafas
Bronkhiolus & alveolus

Mengganggu kerja makrofag


(menginfeksi)

Peradangan/inflamasi

Alveoli berisi cairan eritrosit yg masuk ke alveoli


Dan kapiler alveoli mati dan menjadi eksudat
Melebar

Alveoli penuh leukosit Gangguan difusi dan tekanan


Eritrosit Paru meningkat

Pucat, sianosis
Konsolidasi paru dyspnea, RD, PCH

Leukositosis Ketidakefektifan
Ronchi (+) Pola Nafas
Batuk produktif
sputum purulent Pengeluaran energi
& kental berlebih
Suhu kerusakan jaringan paru
kelelahan
Ketidaefektifan Hipertermi Merangsang Nociceptor
Bersihan Jalan
Nafas Intoleransi
Pelepasan Prostaglandin Aktivitas
Histamine dan bradikinin

Nyeri Akut
AaAkut

B. Nyeri pada Pneumonia


1. Konsep Nyeri
a) Definisi
Nyeri adalah sebuah fenomena multidimensional dan sangat

sulit untuk didefenisikan karena nyeri adalah suatu pengalaman yang

sangat subjektif dan sangat personal (Black & Hawks, 2009). Nyeri

adalah sebuah sensasi subjektif sehingga tidak ada dua orang yang

berespon dengan cara yang sama (Kozier, et al., 2010). McCaffery

(1999 dalam Ignatavicius & Workman, 2010) mendefinisikan nyeri

sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang

keberadaanya diketahui hanya jikaorang itu pernah

mengalaminya.Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional

yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan

jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan (International Association for The Study of Pain

(IASP), dalam Lewis, et al., 2011).


b) Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri umumnya dibagi menjadi 2 yaitu :
(1) Nyeri akut
Merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat

menghilang, tidak melebihi 6 bulan, dan ditandai adanya

peningkatan teganggan otot.


(2) Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang timbul secara perlahan – lahan, biasanya

berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 6

bulan. Nyeri kronis dibagi lagi menjadi nyeri terminal, sindrom

nyeri kronis dan psikosomatik ( Maryuni, 2010 )


c) Tanda dan Gejala Nyeri
(1) Kelelahan
(2) Melemahnya sistem daya tahan tubuh
(3) Selalu ingin beristirahat
(4) Tidak bisa tidur
(5) Rasa takut
(6) Depresi
(7) Rasa cemas
(8) Rasa tertekan
(9) Cepat marah
(10) Tidak dapat bekerja seperti biasanya
d) Patofisiologi Nyeri
Patofisiologi nyeri ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Reseptor nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup

ujungujung saraf bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan

termasuk tekanan mekanis, deformasi, suhu yang ekstrim, dan

berbagai bahan kimia. Pada rangsangan yang intensif, reseptor-

reseptor lain misalnya badan Pacini dan Meissner juga mengirim

informasi yang dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yang

memperparah nyeri antara lain adalah histamin, bradikini, serotonin,

beberapa prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen. Masing-

masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau

kematian sel. Nyeri cepat (fast pain) disalurkan ke korda spinalis

oleh serat A delta, nyeri lambat (slow pain) disalurkan ke korda

spinalis oleh serat C lambat.


Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P

sewaktu bersinaps di korda spinalis. Setelah di korda spinalis,

sebagian besar serat nyeri bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal

dari segmen. Namun, sebagian serat berjalan ke atas atau ke bawah

beberapa segmen di korda spinalis sebelum bersinaps. Setelah

mengaktifkan sel-sel di korda spinalis, informasi mengenai

rangsangan nyeri dikirim oleh satu dari dua jaras ke otak - traktus

neospinotalamikus atau traktus paleospinotalamikus.


Informasi yang di bawa ke korda spinalis dalam serat-serat A

delta di salurkan ke otak melalui serat-serat traktus


neospinotalamikus. Sebagian dari serat tersebut berakhir di reticular

activating system dan menyiagakan 19 individu terhadap adanya

nyeri, tetapi sebagian besar berjalan ke thalamus. Dari thalamus,

sinyal-sinyal dikirim ke korteks sensorik somatik tempat lokasi nyeri

ditentukan dengan pasti.


Informasi yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan

sebagian oleh serat A delta, disalurkan ke otak melalui serat-serat

traktus paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke daerah

reticular dibatang otak, dan ke daerah di mesensefalon yang disebut

daerah grisea periakuaduktus. Serat- serat paleospinotalamikus yang

berjalan melalui daerah reticular berlanjut untuk mengaktifkan

hipotalamus dan system limbik. Nyeri yang di bawa dalam traktus

paleospinotalamik memiliki lokalisasi difus dan menyebabkan

distress emosi berkaitan dengan nyeri.


e) Factor Yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Prasetyo (2010), terdapat berbagai faktor yang dapat

mempengaruhi persepsi dan reaksi masing-masing individu

terhadapa nyeri, diantaranya:


(1) Usia Usia merupakan variabel yang paling penting dalam

mempengaruhi nyeri pada individu.


(2) Jenis kelamin Secara umum pria dan wanita tidak berbeda

secara signifikan dalam berespon terhadapa nyeri. Hanya

beberapa budaya yang mengganggap bahwa seorang anak laki-

laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan

anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan

nyeri.
(3) Kebudayaan Banyak yang berasumsi bahwa cara berespon pada

setiap individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehingga

mencoba mengira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri.


(4) Makna nyeri Makna nyeri pada seseorang mempengaruhui

pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap

nyeri.
(5) Lokasi dan tingkat keparahan nyeri Nyeri yang dirasakan

mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri

yang berat.
(6) Perhatian Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan

mempengaruhi persepsi nyeri.


(7) Ansietas (kecemasan) Hubungan antara nyeri dan ansietas

bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang seringkali

meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga akan

menimbulkan ansietas. 8. Keletihan Keletihan yang dirasakan

seseorang akan meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan

kemampuan koping individu. 9. Pengalaman sebelumnya

Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan

mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai

pengalaman tentang nyeri.


f) Mekanisme Nyeri
Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi

penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan dan nyeri merupakan

hasil stimulasi reseptor sensorik (Rospond, 2008). Provokasi jalur-

jalur sensorik nyeri menghasilkan ketidaknyamanan, distress dan

penderitaan (Potter &Perry, 2009; Black & Hawks, 2009; Berman,

2010). Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk


menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai

reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon

hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.

Reseptor nyeri disebut juga nosireseptor, secara anatomis reseptor

nyeri ada yang bermielin dan ada yang tidak bermielin dari syaraf

perifer (Smeltzer & Bare, 2002; Rospond, 2008).


g) Proses Nyeri
Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik yang khusus

mendeteksi kerusakan jaringan dan menimbulkan sensasi sentuhan,

panas, dingin, nyeri dan tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi

nyeri disebut nosiseptor (Kozier, et. al., 2010). Proses yang

berhubungan dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosisepsi

(Kozier, et al., 2010), dimana terdapat empat proses yang terlibat

dalam nosisepsi yaitu:


(1) Transduksi
Tranduksi adalah proses dimana stimulus berbahaya (cedera

jaringan) memicu pelepasan mediator kimia (misal.,

prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin) yang mensensitasi

nosiseptor. Stimulasi menyakitkan atau berbahaya juga

menyebabkan pergerakan ion-ion menembus membran sel, yang

membangkitkan nosiseptor. Obat nyeri dapat bekerja selama fase

ini dengan menghambat produksi prostaglandin (missal:

ibuprofen) atau dengan menurunkan ion-ion menembus membran

sel (Kozier, et al., 2010). Menurut Lewis, et al., (2011) transduksi

terjadi saat konversi stimulus mekanik, termal, atau kimia

beracun menjadi sinyal listrik yang disebut potensial aksi.


Stimulus berbahaya yang timbul saat adanya kerusakan jaringan,

suhu (misalnya, kulit terbakar), mekanik (misalnya, sayatan

bedah) atau rangsangan kimia (misalnya, zat beracun),

menyebabkan pelepasan berbagai bahan kimia ke dalam jaringan

yang rusak. Bahan kimia lainnya dikeluarkan oleh sel mast

(misalnya, serotonin, histamin, bradikinin, dan prostaglandin)

dan makrofag (misalnya, interleukin, dan tumor necrosis factor

(TNF). Bahan kimia ini mengaktifkan nosiseptor, yang

merupakan reseptor khusus atau ujung saraf bebas yang

menanggapi stimulus menyakitkan hasil aktivasi nociceptors

dalam potensial aksi yang dibawa dari nosiseptor ke sumsum

tulang belakang terutama melalui saraf kecil dengan cepat, serat

delta-A yang bermielin dan secara perlahan-lahan oleh serat C

yang tidak bermielin.


(2) Transmisi
Transmisi adalah proses dimana sinyal rasa sakit diteruskan

dari bagian perifer ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke

otak. Dimana potensial aksi diteruskan dari tempat cedera ke

spinal cord kemudian dari spinal cord diteruskan ke otak dan

hipotalamus, kemudian dari hipotalamus diteruskan ke korteks

untuk kemudian diproses (Lewis, et. al., 2011). Proses ini

meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier.

et al., 2010)
(3) Persepsi
Persepsi adalah saat klien menyadari rasa nyeri. Pada tahap

ini individu akan berespon terhadap adanya nyeri dengan


memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif untuk

mengurangi kompenen sensorik dan afektif nyeri (McCaffery &

Pasero, 2007 dalam Kozier, et al., 2010). Menurut Lewis, et al.,

(2011) persepsi terjadi ketika nyeri diakui, didefinisikan, dan

ditanggapi oleh individu mengalami rasa sakit. Di otak, masukan

nociceptive dirasakan sebagai nyeri. tidak ada satupun lokasi

yang tepat di mana persepsi nyeri ini terjadi, sebaliknya, persepsi

nyeri melibatkan beberapa struktur di otak.


(4) Modulasi
Sering kali digambarkan sebagai sistem desendens, proses

ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal

menuruni kornu dorsalis medula spinalis (Kozier, et al., 2010).

Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opioid endogen,

serotonin dan norepinefrin yang dapat menghambat naiknya

impuls yang menyakitkan di kornu dorsalis. Namun

neurotransmitter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi

kegunaan analgesiknya (Mc Caffery & Pasero, 1999 dalam

Kozier, et al., 2010).

(5) Intensitas Nyeri


Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan

numerical rating scale (NRS), verbal rating scale (VRS), visual

analog scale (VAS) dan faces rating scale. VAS (Visual Analogue

Scale) telah digunakan sangat luas dalam beberapa dasawarsa

belakangan ini dalam penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil

yang handal, valid dan konsisten.VAS adalah suatu instrumen

yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan


menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan pembacaan skala

0–100 mm dengan rentangan makna:


(a) Visual Analog Scale ( VAS )
Visual analog scale adalah alat ukur lainnya yang

digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara

khusus meliputi 10-15 cmgaris, dengan ujung kiri

diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda

“bad pain” (nyeri hebat). VAS merupakan suatu garis lurus

yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus d a n

memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap

ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh

untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat

merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif

karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada

rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu

angka (Potter dan Perry, 2010).

Gambar 3.1 Skala Nyeri Vas


(b) Numeral Ratting Scale ( NRS )
Skala numerik merupakan alat bantu pengukur intensitas

nyeri pada pasien yang terdiri dari skala horizontal yang

dibagi secara rata menjadi 10 segmen dengan nomor 0

sampai 10. Pasien diberi pengertian yang menyatakan bahwa

angka 0 bermakna intensitas nyeri yang minimal (tidak ada

nyeri sama sekali) dan angka 10 bermakna nyeri yang sangat


(nyeri paling parah yang dapat mereka bayangkan). Pasien

kemudian dimintai untuk menandai angka yang menurut

mereka paling tepat dalam mendeskripsikan tingkat nyeri

yang dapat mereka rasakan pada suatu waktu.

Gambar 3.2 Skala Nyeri NRS


(c) Faces Pain Score
Skala penilaian wajah biasanya digunakan untuk

mengukur intensitas nyeri pada anak-anak.Foto wajah

seorang anak yang menunjukkan rasa tidak nyaman

dirancang sebagai petunjuk untuk memberi pengertian

kepada anak-anak sehingga dapat memahami makna dan

tingkat keparahan nyeri.Skala tersebut terdiri dari enam

wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah dari

mulai gambar wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa

nyeri) kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah

kurang bahagia (sangat nyeri).Saat ini para peneliti mulai

menggunakan skala wajah ini pada orang-orang dewasa atau

pasien yang kesulitan dalam mendeskripsikan intensitas

nyerinya, dan orang dewasa yang memiliki gangguan

kognitif.
2. Gangguan Nyeri Pada Pneumonia
a) sakit kepala
b) nyeri dada (meningkat oleh batuk)
c) imralgia
d) arthralgia
e) Gelisah
3. Pengaturarn Nyeri Pada Pnrumonia
a. Tentukan karakteristik nyeri, misal kejan, konstan ditusuk
b. Pantau tanda vital
c. Berikan tindakan nyaman pijatan punggung, perubahan posisi, music

tenang /berbincangan
d. Aturkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode

batuk
4. Edukasi Nyeri Pada Pneumonia
1) Mengajarkan teknik manajemen nyeri dan memberitahukan pada

pasien dan kelurga bahwa setiap merasakan nyeri langsung melakukan

tindakan tersebut untuk meringankan rasa nyeri dan memberi

kenyamanan.

C. Asuhan Keperawatan dalam masalah rasa nyaman nyeri


1. Pengkajian
Menurut Hidayat (2012), pengkajian adalah langkah awal dari tahapan

proses keprawatan, yang harus memperhatikan data dasar dari pasien

untuk mendapatkan informasi yang diharapkan. Pengkajian individu

terdiri dari riwayat kesehatan (data subyektif) dan pemeriksaan fisik (data

objektif).
Yang perlu dilakukan dalam mengkaji pasien selama nyeri akut dalah :
a) Mengkaji perasaan klien (respon psikologis yang muncul).
b) Menetapkan respon fisiologis klien terhadap nyeri dan lokasi nyeri.
c) Mengkaji tingkat keparahan dan kualitas nyeri.
Pengkajian selama episode nyeri akut sebaiknya tidak dilakukan saat

klien dalam keadaan waspada (perhatian penuh pada nyeri), sebaiknya

mengurangi kecemasan klien terlebih dahulu sebelum mencoba

mengkaji kuantitas persepsi klien terhadap nyeri.

Dalam mengkaji respon nyeri yang dialami klien ada beberapa

komponen yang harus diperhatikan :


a) Karakteristik nyeri ( Metode P, Q, R, S, T)
(1) Faktor pencetus ( P : Provocate)
Mengakaji tentang penyebab atau stimulus- stimulus nyeri pada

klien, dalam hal ini juga dapat melakukan observasi bagian-

bagian tubuh yang mengalami cedera. Menanyakan pada klien

perasaan-perasaan apa yang dapat mencetuskan nyeri.


(2) Kualitas (Q : Quality)
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang

diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri

dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-

pindah, seperti tertindih, perih tertusuk dimana tiap-tiap klien

mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang

dirasakan.
(3) Lokasi (R: Region)
Untuk mengakji lokasi nyeri maka meminta klien untuk

menunjukkan semua bagian / daerah dirasakan tidak nyaman

oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka

perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dan

titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila

nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar).


(4) Keparahan (S: Severe)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik

yang paling subjektif. Pada pengkajian ini klien diminta untuk


menggambarkan nyeri yang ia rasakan sebagai nyeri ringan,

nyeri sedang atau berat. Skala nyeri numerik (0-10) :


(5) Durasi (T: Time)
Menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi,

danrangkaiian nyeri. Menanyakan “Kapan nyeri mulai

dirasakan?”, “Sudah berapa lama nyeri dirasakan?” (Prasetyo,

2010).
b) Respon perilaku Respon perilaku klien terhadap nyeri dapat

mencakup penyataan verbal, vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh,

kontak fisik dengan orang lain, ataupun perubahan respon terhadap

lingkungan. Individu yang mengalami nyeri akut dapat menangis,

merintih, merengut, tidak menggerakkan bagian tubuh, mengepal,

atau menarik diri


c) Respon afektif Respon ini bervariasi sesuai situasi, derajat, durasi,

interpretasi, dan faktor lain. Perawat perlu mengeksplor perasaan

ansietas, takut, kelelahan, depresi, dan kegagalan klien (Kozier, Erb,

Berman, & Snyder, 2010).


d) Pengaruh nyeri terhadap kehidupan kita Klien yang setiap hari

merasakan nyeri akan mengalami gangguan dalam kegiatan sehari-

harinya. Pengkajian pada perubahan aktivitas ini bertujuan untuk

mengetahui kemampuan klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan

sehari-hari, sehingga perawat mengetahui sejauh mana ia dapat

membantu aktivitas yang dilakukan oleh pasien (Prasetyo, 2010).


e) Persepsi klien terhadap nyeri Dalam hal ini perawat perlu mengkaji

persepsi klien terhadap nyeri, bagaimana klien dapat

menghubungkan antara nyeri yang ia rasakan dengan proses


penyakit atau hal lain dalam diri maupun lingkungan disekitar klien

(Prasetyo, 2010).
f) Mekanisme adaptasi klien teradap nyeri Tiap individu memiliki cara

masing-masing dalam beradaptasi terhadap nyeri. Dalam hal ini,

perawat perlu mengkaji cara-cara apa saja yang biasanya selalu

dilakukan klien untuk menurunkan rasa nyeri yang ia rasakan.

Apabila cara yang dilakukan oleh klien tersebut efektif, maka

perawat dapat memasukkannya dalam rencana tindakan (Prasetyo,

2010).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d mukus berlebih
Definisi ( NANDA 2018 )
Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran

nafas atau mempertahankan bersihan jalan nafas.


Batasan Karakteristik
- Tidak ada batuk
- Suara nafas tambahan
- Perubahan pola nafas
- Perubahan frekuensi nafas
- Sianosis
- Kesulitan verbalisasi
- Penurunan bunyi nafas
- Dispnea
- Sputum dalam jumlah yang berlebihan
- Batuk yang tidak efektif
- Ortopnea
- Gelisah
- Mata terbuka lebar

Faktor Yang Berhubungan

- Mukus berlebihan
- Terpajan asap
- Benda asing dalam jalan nafas
- Sekresi yang tertahankan
- Perokok pasif
- perokok
b. Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi
Definisi ( NANDA 2018 )
Inspirasi dan/ atau ekspirasi yang tidak membawa ventilasi adekuat
Batasan Karakteristik
- Pola nafas abnormal
- Perubahan ekskursi dada
- Bradipnea
- Penurunan tekanan ekspirasi
- Penurunan tekanan inspirasi
- Penurunan ventilasi semenit
- Peurunan kapasital vital
- Dispnea
- Peningkatan diameter anterior-posterior
- Pernafasan cuping hidung
- Ortopnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Pernafasan bibir
- Takipnea
- Penggunaan otot bantu pernafasan
- Pengunaan posisi tiga-titik

Faktor Yang Berhubungan

- Ansietas
- Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
- Keletihan
- Hiperventilasi
- Obesitas
- Nyeri
- Keletihan otot pernafasan
c. Hipertermi b.d penyakit
Definisi ( NANDA 2018 )
Suhu inti tubuh diatas kisaran normal karena kegagalan termogulasi
Batasan Karakteristik
- Postur abnormal
- Apnea
- Koma
- Kulit kemerahan
- Hipotensi
- Bayi tidak dapat mempertahankan menyusu gelisah
- Letargi
- Kejang
- Kulit terasa hangat
- Stupor
- Takikardia
- Takipnea
- Vasodilatasi

Faktor Yang Berhubungan


- Dehidrasi
- Pakaian yang tidak sesuai
- Aktifitas berlebihan
d. Nyeri Akut b.d Agens cedera biologis
Definisi ( NANDA 2018 )
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau yang

diggambarkan sebagai kerusakan ( International Association for the

Study of Pain ), awitan yang tiba – tiba atau lambat dengan intensitas

ringan hingga berat, dengan berakhirnya dapat diantisipasi atau

diprediksi, dan dengan durasi kurang dari 3 bulan


Batasan Karakteristik
- Perubahan selera makan
- Perubahan pada parameter fisiologis
- Diaforresis
- Perilaku distraksi
- Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri

untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkanya


- Perilaku ekspresif
- Ekspresi wajah nyeri
- Sikap tubuh melindungi
- Putus asa
- Fokus menyempit
- Sikap melindungi area nyeri
- Perilaku protektif
- Laporan tentang perilaku nyeri/ perubahan aktifitas
- Dilatasi pupil
- Fokus pada diri sendiri
- Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
- Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar

instrumen nyeri

Faktor Yang Berhubungan

- Agen cedera biologis


- Agen cidera kimiawi
- Agen cidera fisik
e. Intoleransi aktivitas b.d keletihan
Definisi ( NANDA 2018 )
Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk

mempertahankan atau menyeelesaikan aktifitas kehidupan sehari –

hari yang harus atau dilakukan


3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses

keperawatan sebagai pedoman untuk mengerahkan tindakan keperawatan

dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah atau untuk

memenuhi kebutuhan klien (Wahyuni, 2016).


Pada intervensi keperawatan ini penulis berfokus pada masalah nyeri
a. Diagnosa 1 : Nyeri Akut b.d agen cidera biologis
1) Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan
2) Kriteria Hasil :
- Pasien mengatakan nyeri berkurang dengan intensitas nyeri….

( sesuai dengan keadaan yang ditemukan )


- Ekspresi wajah rileks
- Pupil isokor
- Tanda – tanda vital dalam batas normal
3) Intervensi :
(a) Kaji lokasi dan intensitas nyeri
Rasional : mengetahui berat,sedang, ringanya nyeri, dan

membantu dalam memberikan intervensi yang tepat


(b) Observasi tanda – tanda vital
Rasional : mengetahui keadaan umum klien
(c) Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyebab nyeri
Rasional : ;pasien dan keluarga memahami tentang penyebab

nyeri dan mampu melaporkan kepada petugas


(d) Berikan posisi yang nyaman bagi klien
Rasional : meminimalkan aktifitas sehingga dapat

menurunkan rasa nyeri dan menurunkan meningeal, resultan

ketidaknyamanan lebih lanjut.


(e) Ajarkan tehnik manajemen nyeri ( batuk efektif, relaksasi

nafas dalam, dan drainage postural )


Rasional : membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien,

serta membantu klien mengontrol nyeri yang dirasakanya


(f) Kolaborasi medic dalam pemberian analgetik
Rasional : dapat membantu dalam mengurangi rasa nyeri

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari

rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan

(Nursalam, 2013), tahapannya yaitu :


a) Mengkaji kembali klien
b) Menelaah dan memodifikasi rencana keperawatan yang sudah ada
c) Melakukan tindakan keperawatan.
d) Prinsip implementasi :
1) Berdasarkan respons klien
2) Berdasarkan hasil penelitian keperawatan.
3) Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia
4) Mengerti dengan jelas apa yang ada dalam rencana intervensi

keperawatan.
5) Harus dapat menciptakan adaptasi dengan pasien untuk

meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri (self care)


6) Menjaga rasa aman dan melindungi pasien.
7) Kerja sama dengan profesi lain, melakukan dokumentasi.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan dengan

cara melakukan idenifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan

tercapai atau tidak (Nursalam, 2013). Adapun evaluasi yang berorientasi

dari hasil NOC untuk ketidakefektifan bersihan jalan nafas yaitu :


a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak

ada sianosis dan dyspnea (mampu mengeluarkan sputum, mampu

bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)


b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,

irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada

suara nafas abnormal.


c. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat

menghambat jalan nafas.

Anda mungkin juga menyukai