Anda di halaman 1dari 3

SELALU UNTUKMU

Air hujan turun tak henti-hentinya mengguyur bumi, dingin menusuk relung hati, hampa kian
menemani derita, mimpi-mimpi indah dulu kini sirna sudah. Harapanku untuk mendapatkan
Beasiswa di Universitas favoritku lenyap seketika, kulangkahkan kakiku keluar dari ruang
pengumuman, kuterjang derasnya air hujan, rintihan air mata berpadu dengan rintikan air
hujan, tak peduli orang berkata apa tentang keadaanku saat ini. Hatiku tak tenang dengan
kepulanganku tanpa hasil, pasti membuat kedua orangtuaku kecewa, mereka berusaha keras
untuk membiayai aku untuk mengikuti pendaftaran penerimaan mahasiswa baru, tapi apa
yang kuberikan pada mereka hanyalah kecewa.
Kulangkahkan kakiku agak cepat untuk berteduh di halte depan kampus, walaupun sia-sia,
badanku terlanjur basah kuyup oleh air hujan.

Tiba-tiba terdengar lagu Wildest Dreams dari ponselku, kulihat dari layar ponsel, ternyata
Roni, teman waktu SMAku dulu, aku dan dia terpaut hanya dua tahun, Roni sekarang sudah
kuliah semester dua di salah satu Universitas favorit di kota. Aku mengenalnya karena kami
satu organisasi Pramuka waktu SMA, aku sudah menganggapnya sebagai sahabatku,
walaupun dia pernah mengungkapkan perasaannya terhadapku, tapi aku tidak meresponnya
dia mengerti keadaanku saat itu tak ingin berpacaran dulu. Aku tidak segera menekan tombol
Yes, pikiranku masih kacau, mulutku terasa dikunci, hingga dia menelepon tujuh kali, baru
kuangkat.

“Assalamualaikum”. Sapanya dalam telepon


Aku masih tak berkutik apa pun.

“Jangan dipikirkan, pikirkan kesehatanmu dulu, pulanglah bersamaku”.

Sekian detik aku masih terdiam hingga aku dikejutkan ternyata di sampingku sudah ada Roni
yang menatapku dengan iba, satu demi satu bulir mataku jatuh tanpa ku minta, dia
mendekatiku lalu mendekapku dengan penuh kehangatan, Roni selalu ada untukku walaupun
kutahu perhatiannya lebih dari seorang sahabat. Setelah sedikit lebih tenang, Roni
mengajakku pulang dengannya naik motor, awalnya aku menolak untuk pulang sendiri tapi
akhirnya aku menuruti ajakannya.

Jalan yang masih dirintiki air hujan, tiba-tiba tubuhku menggigil segeraku merapat ke
punggung Roni, sepertinya Roni sudah tahu jika aku kedinginan, diambilnya tanganku lalu
dilingkarkan erat di pinggangnya. Tak terasa perjalanan begitu cepat, sampai di rumah, aku
didampingi Roni duduk di sofa, kami masih diam satu sama lain, hingga aku membuka
percakapan dengannya.

“Makasih Ron telah mengantarkan pulang”. Ucapku pada Roni


“Tak usah berterimakasih, ganti pakaian dulu gih, biar tidak terlalu dingin”. Jawab Roni
Aku pun menuruti kata Roni, setelah ganti pakaian dan membuatkannya teh, segeraku
kembali ke ruang tamu.
“Silahkan di minum tehnya Ron”. Ucapku sambil menyodorkan teh pada Roni
“Ra… Maaf atas sikapku tadi yang mendekapmu tiba-tiba dan waktu di motor ya, aku tak
sengaja”
“Aku juga minta maaf, seharusnya aku tak begitu padamu”
“41 Alfatihah sama 101 istighfar oke”. Tantang Roni
“Oke siap”. Jawabku mantap
Aku dan Roni memang membuat perjanjian agar saling mendoakan dan itu sudah berjalan ±
satu tahun lamanya. Akhirnya aku memberanikan dirinya untuk bicara pada orangtuaku,
mereka pun sedikit kecewa tapi tidak terlalu memaksaku untuk mengikuti lagi. Setelah hatiku
mulai kutata kembali, kuberanikan dirimu untuk mendaftar kursus jahit dan bekerja di salah
satu toko pakaian muslim. Dan alhasil aku diterima sebagai anak Didik dan salah satu
karyawan tetap di toko tersebut. Allah pasti akan memberikan hikmah atas semua peristiwa
yang ditimpakan kepada hambanya dengan hal dia harus menerima dengan ikhlas dan tabah.

Hari-hariku pun mulai berwarna lagi, dukungan dari keluarga, sahabat dan teman terus
memotivasiku untuk tegar menjalani hidup. Hingga suatu ketika, pada saat aku pergi ke
supermarket tak sengaja dompetku terjatuh dan ada seorang pemuda mengantarkannya ke
rumahku. Sejak itulah aku dan Wildan mulai akrab, berkomunikasi satu sama lain. Dia salah
satu karyawan di supermarket kota, jika ada waktu dia menjemputku dan mengantarkanku
pulang ke rumah, orangtuaku akrab sekali dengan Wildan. Aku merasa nyaman di dekatnya,
merasa dicintai olehnya tapi aku tak terlalu mengumbar rasaku padanya, sempat berfikir
kalau dia juga mempunyai perasaan yang sama. Dan mimpi itu menjadi kenyataan, waktu itu
dia mengajakku ke taman kota, tempatnya asri, bunga warna warni menghiasi satiap sudut
taman kota. Klop banget dijadikan tempat pacaran.

“Ra… Aku boleh nanya sama kamu tidak?”. Tanya Wildan dengan tatapan tajamnya yang
membuatku salah tingkah.
“Em… Boleh, mau tanya apa?, sini aku jawab kalau bisa, hehehe”. Jawabku dengan sedikit
bercanda untuk menetralisasi keadaan
“Aku serius Ra, kita kan sudah komunikasi lama, jalan bareng dan melewati waktu bersama-
sama, aku ingin serius padamu, aku ingin kau jadi pacarku, kau mau kan?”.
Deg!!! Aku harus jawab apa, kalau aku terima berarti gelar jombloku hilang, tapi kalau aku
tidak terima aku takut kehilangan seorang yang nyaman denganku, bagaimana dengan
perasaan Roni, dia selalu ada untukku jika Wildan ngelembur dia selalu jemput aku, dia
selalu kujadikan tempat cerita jika aku dan Wildan beda pendapat.
Kunyakinkan pada diriku sendiri untuk menerimanya, kuberanikan berpacaran toh aku
memang mencoba untuk pacaran, gimana sih rasanya pacaran.

Akhirnya sejak saat itu Wildan menjadi pacar pertamaku, tapi setelah hubunganku berjalan
dua bulan, Wildan berubah drastis, kutelepon tak diangkat, di SMS tak dibalas, BBM cuma di
Read, WA cuma dibaca. Tepatnya dua bulan satu minggu, hubunganku berakhir, dengan
masalah, Wildan telah memilih mantannya waktu sekolah daripada aku, awalnya aku tak
menyangka tapi lama kelamaan aku menerimanya dengan ikhlas. Sejak saat itu aku mulai
merubah diri menjadi lebih baik, memakai jilbab, sholat tahajjud, puasa Senin-Kamis secara
terus-menerus dan tentu saja ini pengaruh dari Roni yang terus memberi dukungan padaku,
mengingatkan terus beristighfar dan bersholawat.

Setiap saat setelah sholat aku meneteskan air mata karena mengingat perbuatanku yang dulu,
aku menyesal memilih untuk pacaran yang jelas dilarang Allah. Oh… Ya Rabb, ampunilah
pendosa ini, hanya engkau maha pengampun, lindungilah hamba dari perbuatan keji lagi dan
kasihanilah hamba dengan sifatmu yang maha pengasih lagi maha penyayang… Amin…
Amin… Ya Robbal Alamin.

Kumulai bertanya tentang agama pada Roni, dia bukan hanya anak kuliahan biasa dia
mengenal betul agama karena ayahnya seorang Kiai besar didaerahku. Aku mulai
mempelajari tajwid, fiqih dan ilmu lain yang berkaitan dengan agama dan ini menjadikanku
akrab lagi dengan Roni yang dulu sempat renggang, hingga suatu ketika Roni menanyakan
hal penting padaku.

“Ra… Aku ingin ngomong sesuatu padamu”. Tanya Roni padaku


“Mau ngomong apa Ron?”
“Abah ingin diriku punya tunangan segera Ra”
HAH!!! Terasa dihembas dengan angin badai, pikiranku masih meloading untuk menerima
ucapan dari Roni, yang berarti dia bentar lagi akan menikah tapi dengan siapa Ron, siapa
wanita yang beruntung menemani hidupmu tanyaku dalam hati.
“Oh… Baguslah… Ciye… Bentar lagi mau merried ni”. Godaku pada Roni yang berat banget
kuucapkan, tapi kupaksakan
“Iyalah dengan Ayla Zahra”
What!!! Apa maksudnya dengan ucapannya itu membuatku salah tingkah.
“Hahahaha… Bercanda terus sukanya deh”
“Ra, aku serius”
“Apa benar yang kau ucapkan itu Ron?”
“Ya, benar Ra, aku ingin kau menjadi istriku tuk menemani setiap saat waktuku, kau mau
kan?”
Dari tawaran Roni, aku hanya mengangguk pelan, memang Allah mentakdirkan manusia
berpasangan dan takdir jodoh memang tak pernah ingkar pada waktu.

Anda mungkin juga menyukai