Anda di halaman 1dari 116

UNIVERSITAS INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BADAN LAYANAN UMUM


(STUDI KASUS PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN
BADAN LAYANAN UMUM TRANSJAKARTA BUSWAY)

TESIS

GLADYS RADITYA SARTIKA


1006828256

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBA
JANUARI 2013

Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013


UNIVERSITAS INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BADAN LAYANAN UMUM


(STUDI KASUS PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN
BADAN LAYANAN UMUM TRANSJAKARTA BUSWAY)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister kenotariatan

GLADYS RADITYA SARTIKA


1006828256

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBA
JANUARI 2013

i
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
pertolongan, penyertaan dan kasih setia-Nya lah, penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Penulis merasa sungguh diberkati atas segala karunia dan kemudahan
yang Tuhan berikan selama ini, khususnya selama penulis menyelesaikan tesis
yang berjudul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BADAN LAYANAN
UMUM (STUDI KASUS PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN BADAN
LAYANAN UMUM TRANSJAKARTA BUSWAY).

Dalam melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis memperoleh banyak
bantuan, dorongan, bimbingan, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk
itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan tesis ini:

1. Bapak Dr. Miftahul Huda, S.H., LL.M., sebagai Pembimbing penulis


yang selalu memberikan dorongan, kritik, dan saran kepada penulis
mengenai materi pembahasan tesis ini, yang mau meluangkan waktu
di tengah kesibukan beliau untuk membantu penulis dalam penulisan
tesis ini.
2. Bapak Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H. dan Ibu Wenny Setiawati
S.H, M.LI., atas kesediaannya untuk meluangkan waktu menguji
sidang tesis saya.
3. Orangtua penulis, Bambang Soesatyo dan Rachmiwati Nazar serta
Lenny dan Dewi Puspa yang telah memberikan cinta dan kasih
sayangnya. Terimakasih untuk semua dukungan, doa, moral, dan
materialnya, serta tidak henti-hentinya memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis untuk selalu merasa optimis dan tidak putus
asa dalam mengejar cita-cita.
4. Ketujuh adik penulis, Dimaz Raditya Nazar Soesatyo, Yudhistira
Raditya Priyono Soesatyo, Laras Shintya Putri Soesatyo, Saras
Shintya Putri Soesatyo, Belliza Shintya Putri Soesatyo, Debby
Pramestya Putri Soesatyo, dan Bedirgha Pramestya Putra Soesatyo,

iv
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
terimakasih untuk canda tawa dan berantemnya serta dorongan dan
motivasinya.
5. Saudara-saudara penulis Rita Sariwati, Marisa Mifta Huda, dan Fifi
Mifta Huda, terimaksih untuk dukungan dan motivasinya untuk
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Suami penulis, Wisnu Muhammad Daya, terimaksih untuk cinta dan
kasih sayangnya serta dukungan dan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
7. Siti Fathya, Faris Rachman, Diani Julyanti, Maya Angelina, Karina
Dinanty, dan Ibram Putra selaku sahabat-sahabat penulis. Terimakasih
atas persahabatan, canda tawa, suka-duka, humor-humor sarkas,
motivasi, dukungan, bantuan, dan mimpi-mimpi ajaibnya.
8. Rinanti Ayuningtias, Paramitha Sudja, Liza Sitompul, Sheila Nurul
Afina, Ardita Rizani, dan Maya Safira, selaku sahabat-sahabat
perkoreaan dan peroppars-an penulis. Terimakasih atas dukungan,
serta motivasi.
9. Selasih J. Rusma, Tika Amelia, Mutmainah Sarah, Karina Nadia,
Rahmania, Muftia Ramadhani, dan Egi Anggiawati, selaku sahabat-
sahabat penulis selama berkuliah di MKnUI Salemba. Terimakasih
atas untuk semua motivasi, suka-duka, bantuan, informasi, kegalauan,
kekhawatiran, berantem-berantem ga jelasnya, serta asam manisnya
perjuangan bagi kita bersama. Bersama kita galau, bersama kita
LULUS! Together we can through this race!.
10. Atas Rihajeng, teman satu bimbingan penulis. Terimakasih buat bbm
setiap harinya, makin hari makin kaya orang pacaran, semoga nilai
sidang tesis kita memuaskan ya, jeng!, serta dorongan dan
motivasinya.
11. Keluarga Besar MKnUI, khususnya angkatan 2011/2013 yang telah
memberikan banyak kenangan, cerita, pengalaman serta pembelajaran
selama 2 tahun ini. Terimakasih atas kekompakannya dalam kuliah.
12. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam
proses penulisan tesis, namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

v
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Terimaksih untuk semuanya, tanpa bantuan, doa, dan dukungan kalian
penulis tidak akan dapat menyelsaikan skripsi ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.

vi
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
ABSTRAK

Nama : Gladys Raditya Sartika


Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Badan Layanan Umum (Studi
Kasus Pendirian dan Penyelenggaraan Badan Layanan
Umum Transjakarta Busway)

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara, Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum.
Contoh dari Badan Layanan Umum yang telah berdiri dan yang menjadi fokus
analisis tesis ini adalah Badan Layanan Umum Transjakarta Busway yang diatur
dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 48
Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan
Umum Transjakarta Busway. Bagaimanakah dengan permasalahan pokok
tersebut, tesis ini juga menganalisis prosedur dan mekanisme pendirian
kewenangan, tugas dan kewajiban dari Badan Layanan Umum dan Badan
Layanan Umum Transjakarta Busway. Penelitian tesis ini menemukan bahwa hal
tersebut diatur Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi,
dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta Busway, sebagai pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kata-kata Kunci :
Badan Layanan Umum, BLU Transjakarta Busway, Badan Hukum, dan Peraturan
Pemerintah Badan Layanan Umum.

viii Universitas Indonesia


Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
ABSTRACT

Name : Gladys Raditya Sartika


Program : Master of Notary
Title : Legal Analysis of the Public Service Entities (Case Study of the
Establisment and Management of Public Service Entity of
Transjakarta Busway)

By the enactment of Law Number 1 Years of 2004 Regarding the Treasuries,


Public Service Entities was established for improving the level of service to the
public and to educate the public society. The example of the Public Service
Entities is Transjakarta Busway which based on Governed of the regional
province of Jakarta and based on Number 48 Years of 2006 regarding the
Establishing, Organization, and Operation of Public Service of Trans Jakarta
(Busway). Because of these Law Statement, the standard procedures, the
Authority, which have been established among others of Transjakarta Busway.
From this research, the writer mentioned about the Government Law Number 23
Years of 2005 about the management of financial Public Service Legal Entities
and the Law from Governor of Jakarta Number 48 Years 2006 about Creating,
Organization, and Working Scheme of Public Service Entities of Trans Jakarta
(Busway). As the practical administration of Law Number 1 Years of 2004
Regarding the Treasuries.

Keyword :
Public Service Legal Entity, BLU Transjakarta Busway, Legal Entity, and the
Government Regulation on the Public Service Legal Entity.

ix Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………….............................................................i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………….ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………….iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………….iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……………...vii
ABSTRAK……………...…………………………………………………..viii
ABSTRACT………………………………………………………………….ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………….x
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..xii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………….……………xiii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………...13
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………...14
1.4 Metode Penelitian……………………………………………………..14
1.5 Sistematika Penulisan…………………………………………………18

BAB II Tinjauan Yuridis Terhadap Badan Layanan Umum


2.1. Subyek Hukum……………..…………………………………………19
2.2. Badan Hukum…………………………………….……………….......27
2.3. Badan Layanan Umum………………………………………………..41
2.4. Analisis Terhadap BLU Transjakarta-Busway………………………..49
2.4.1. Pembahasan Analisis Terhadap BLU Transjakarta-
Busway……………………………………………………….49
2.4.2. BLU Transjakarta-Busway……….………………………….49
2.4.2.1. Profil BLU Transjakarta-Busway…………………...49
2.4.2.2. Sejarah Perusahaan BLU Transjakarta-Busway…….49
2.4.2.3. Visi dan Misi BLU Transjakarta-Busway…………..53
2.5. Prosedur dan Mekanisme Pendirian BLU………..…………………...54
2.6. Kewenangan, Tugas, dan Kewajiban dalam BLU…………………….63

x Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
2.7. Prosedur dan Mekanisme Pendirian BLU Transjakarta-Busway sehingga
Badan Layanan Umum Transjakarta Busway dibuat berdasarkan Keputusan
Gubernur……………………………………..66
2.8. Kewenangan, Tugas, dan Kewajiban BLU Transjakarta-Busway…….68

BAB III Penutup


Kesimpulan………………………………………………………………….82
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….87

xi Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Bagan susunan organ-organ dalam Badan Layanan Umum


Transjakarta-Busway……………………………………...…79

xii Universitas Indonesia


Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pengelolaan Keuangan


Badan Layanan Umum No. 23 Tahun 2005 (PP RI No. 23 Tahun 2005
Tentang Keuangan Badan Layanan Umum)
2. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 48
Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan
Layanan Umum Transjakarta-Busway (PerGub No. 48 Tahun 2006
Tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum
Transjakarta-Busway)

xiii Universitas Indonesia


Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam ilmu hukum dikenal adanya subyek hukum. Subyek hukum adalah segala
sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan
kewajiban. Subyek hukum ini, dalam kamus Ilmu hukum disebut juga “orang”
atau “pendukung hak dan kewajiban”. Dengan demikian, subyek hukum memiliki
kewenangan untuk bertindak menurut tata cara yang ditentukan atau dibenarkan
hukum. 1
Subyek hukum dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Manusia
Manusia atau dalam bahasa Belanda disebut naturlijke persoon,
merupakan subyek hukum. Manusia baik warganegara ataupun orang
asing dengan tak memandang agama atau kebudayaannya adalah
subyek hukum. Sebagai subyek hukum, sebagai pembawa hak,
manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk
melakukan sesuatu tindakan hukum, manusia dapat mengadakan
persetujuan-persetujuan, menikah, membuat wasiat, dan sebagainya. 2
2. Badan Hukum
Dalam bahasa asing, istilah badan hukum selain merupakan istilah
rechtpersoon yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, juga
merupakan terjemahan peristilahan persona moralis (dalam

bahasa Latin), dan disebut juga legal persons (dalam bahasa Inggris).
Di samping orang (manusia), telah nampak pula di dalam hukum ikut
sertanya badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat
juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum

1
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT. Ghalia Indonesia, 2004), hal 25.

2
C. S. T. Kansil.& Christinne S. T. Kansil , Pengantar Ilmu Hukum, Cet 12, (Jakarta :
Balai Pustaka, 2002), hal 85.

1 Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
2

seperti seorang manusia. Badan hukum, misalnya : suatu wakaf, suatu


stichting, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk Perseroan
Terbatas, dan lain sebagainya. 3

Penulis akan membahas lebih lanjut tentang badan hukum. Badan hukum lahir
karena perjanjian dan undang-undang. Mengenai definisinya, badan hukum atau
legal entity atau legal person dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan
sebagai“a body, other than a natural person, that confuction legally, sue or be
sued, and make decisions throught agents”. 4

Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
“Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang
swasta berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak
mengurangi peraturan-peraturan umum dalam mana kekuasaan itu telah
diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acaraacara tertentu” 5

Sementara itu yang merupakan peraturan umum dari badan hukum adalah Pasal
1653 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula
perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan itu
ditiadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun
perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah
didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan baik” 6

Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menetukan ciri-ciri suatu badan
hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah;
b. Ada hak-hak dan kewajiban;
3
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet 31, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), hal 21.
4
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, (St. Paul
Minn : West Publishing Co, 2000), hal. 726.
5
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh
R.Tjitrosudibio, Cet 37, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), Pasal 1654.

6
Ibid, Pasal 1653.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
3

c. Mempunyai tujuan tertentu, mempuyai kepentingan sendiri; dan


d. Adanya organisasi yang teratur. 7

Badan hukum dapat dibedakan menurut bentuknya, peraturan yang mengaturnya,


dan sifatnya, yaitu :
1) Badan Hukum Privat.
2) Badan Hukum Publik, seperti Negara (mulai dari pemerintah pusat,
sampai pemerintah desa), dan instansi pemertintah. Contohnya seperti:
a) Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang terdiri dari :
I. Universitas Airlangga (UNAIR);
II. Universitas Gadjah Mada (UGM);
III. Universitas Indonesia (UI);
IV. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI);
V. Universitas Sumatera Utara (USU);
VI. Institut Pertanian Bogor (IPB);
VII. Institut Teknologi Bandung (ITB);
VIII. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS).
Pada tahun 2009, bentuk Badan Hukum Milik Negara
digantikan dengan badan hukum pendidikan pemerintah
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang
tersebut kemudian dibatalkan oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009
tanggal 31 Maret 2010, yang membuat pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan yang mengembalikan status perguruan tinggi
Badan Hukum Milik Negara menjadi perguruan tinggi yang

7
Ridho Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2004), hal 9.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
4

diselenggarakan oleh pemerintah.

b) Lembaga Sensor Film (LSF), dasar hukumnya Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1994 tentang Lembaga Sensor Film;
c) Komisi Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dasar
hukumnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
43 Tahun 1984 tentang Komite Olahraga Nasional
Indonesia dan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Departemen;
d) Komisi Perlindungan Anak Nasional (KPAI), dasar
hukumnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
77 Tahun 2003 tentang Komisi Pelindungan Anak
Indonesia;
e) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dasar hukumnya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan dan Peraturan Pemerinta Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal
Lembaga Penjamin Simpanan;
f) Badan Layanan Umum, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini penulis akan membahas dan menganalisa aspek hukum badan
hukum publik yang disebut Badan Layanan Umum (BLU). Pelayanan publik
cenderung menjadi konsep yang sering digunakan oleh banyak pihak, baik dari
kalangan praktisi maupun ilmuwan, dengan makna yang berbeda-beda. Dalam
sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik dipahami secara
sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, definisi pelayanan Publik adalah :

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
5

“Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka


pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administrarif yang disediakan oleh penyelenggaraan
pelayanan publik”. 8

Literatur klasik umumnya menjelaskan bahwa “whatever government does is


public service”. Pendapat seperti itu dahulu dimaklumi karena pemerintah pada
masa orde baru hanya peduli untuk menyelenggarakan pelayanan yang menjadi
barang publik atau pelayanan yang menurut kesepakatan politik dan pertimbangan
moral dinilai penting bagi kehidupan warganya. Namun ketika telah terjadi
transformasi atau perubahan peran pemerintah dan non pemerintah dalam
penyelenggaraan layanan yang menjadi hajat hidup orang banyak definisi
pelayanan publik di atas kiranya sudah menjadi tidak relevan lagi.9

Salah satu tranformasi yang terjadi adalah transformasi dalam ranah korporasi.
Korporasi menjadi tidak hanya memproduksi barang privat tetapi juga barang dan
jasa semi publik serta barang dan jasa yang sebelumnya menjadi domain
pemerintah untuk memproduksi dan menyediakannya. 10

Di negara-negara maju, keterlibatan korporasi dan lembaga nirlaba dalam


penyelenggaraan layanan publik dengan mudah dapat dipahami karena adanya
insentif pajak yang diberikan kepada perseorangan dan korporasi agar
mendonasikan sebagian dari hartanya untuk kegiatan sosial. 11

Di Indonesia, transformasi peran korporasi dan lembaga non pemerintah dalam


pelayanan publik dapat dilihat dari semakin banyaknya lembaga tersebut yang
bergerak dalam penyelenggaraan barang dan jasa yang dahulunya merupakan

8
Indonesia (d), Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, UU No. 25 Tahun 2009,
Pasal 1 angka (1).
9
Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik : Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif,
(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011), hal 14.

10
Ibid.
11
Ibid.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
6

domain pemerintah, seperti pelayanan pendidikan dasar, kesehatan, penyantunan


terhadap yatim piatu, pembinaan terhadap anak jalanan, dan sebagainya.12

Pelayanan publik merupakan isu yang sangat penting dan strategis sebagai sarana
interaksi antara pemerintah dan rakyatnya. Rakyat dengan sukarela membayar
pajak dan memberikan mandat kepada pemerintah untuk menggunakan pajak
tersebut guna melayani kebutuhan barang dan jasa dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu pelayanan publik sering disebut juga sebagai
pelayanan konstitusional. Pernyataan ini disebabkan oleh klausul-klausul
konstitusi semua negara yang menyebutkan bahwa negara harus memberikan
fasilitas kepada warga negara. Dari konstitusi 165 (seratus enam puluh lima)
negara yang ada di dunia, ditemukan bahwa 116 (seratus enam belas) mengatur
hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, 73 (tujuh puluh tiga)
diantaranya hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, 95 (sembilan puluh
lima) konstitusi mengatur hak warga negara untuk memperoleh pendidikan gratis,
dan 29 (dua puluh sembilan) konstitusi yang mengatur hak warga negara untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.13

Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi


kebutuhan dasar dari hak-hak setiap warga negara atas barang, jasa, dan
pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh penyelenggaraan pelayanan
publik. Terkait dengan pelayanan publik dimaksud, Undang-Undang Dasar 1945
mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga
negara demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas penyelenggaraan suatu
pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan
publik.

Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih


dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta

12
Ibid.

13
Achmad Nurmandi, Manajemen Pelayanan Publik, (Yogyakarta : PT. Sinergi Visi
Utama, 2010) , hal 34.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
7

kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari
masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung
maupun melalui media massa, terkait dengan prosedur yang berbelit-belit, tidak
ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak
transparan, petugas yang tidak professional, sehingga menimbulkan citra yang
kurang baik terhadap pemerintah.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan


Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan
pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang tersebut, instansi
pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada
masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan
menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip-prinsip pokok yang
tertuang dalam kedua undang-undang tersebut menjadi dasar penetapan instansi
pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan BLU.

BLU ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen
keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,


khususnya Pasal 68 dan Pasal 69. Pasal 68 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”. 14

Selanjutnya Pasal 69 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa :
1) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan
anggaran tahunan;
2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan
Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak

14
Indonesia (e), Undang-Undang Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 ayat (1).

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
8

terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan


dan kinerja Kementrian. 15

Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengeloaan Keuangan
Badan Layanan Umum, yang secara khusus mengatur mengenai tujuan, asas,
persyaratan, penetapan dan pencabutan Pengelolaan Keuangan BLU, penetuan
standar dan tarif layanan, pengelolaan kepegawaian serta pengaturan mengenai
remunerasi bagi pengelola Badan Layanan Umum.

Terkait dengan pembentukan Badan Layanan Umum, sebagai kebijakan teknis


operasional Menteri Keuangan telah mengeluarkan 4 (empat) Peraturan Menteri
Keuangan, yaitu :
1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan
Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menetapkan
PPK-BLU (“PMK No 7/2006”);
2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang atau Jasa Pada BLU
(“PMK No 8/2006”);
3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada BLU (“PMK No
9/2006”); dan
4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola
Dewan Pengawas dan Pegawai BLU (“PMK No 10/2006”).

Pengertian BLU menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004


tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
“BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang atau

15
Ibid, Pasal 69 ayat (1) dan (2).

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
9

jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam


melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.” 16

Pengertian BLU ini kemudian diadopsi kembali dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, yaitu :
“BLU adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak bertujuan mencari
laba, meningkatkan kualitas layanan publik dan memberikan otonomi, baik
milik Pemerintah pusat maupun daerah.” 17

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan BLU, tujuan BLU yaitu :
“BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdasakan kehidupan
bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan
berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek
bisnis yang sehat”. 18

Secara umum asas BLU adalah pelayanan umum yang pengelolaannya


berdasarkan kewenangan yang didelegasikan dan tidak terpisah secara umum dari
instansi induknya. Adapun asas-asas BLU menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, yaitu :
1) “BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan
umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang
didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan;
2) BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian
negara/ lembaga/ pemerintah daerah dan karenanya status hukum
BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah sebagai instansi induk;
3) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung
jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum
yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang
dihasilkan;

16
Ibid, Pasal 1 angka 23.
17
Indonesia (f), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, PP RI No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
BLU, Pasal 1 angka 1.
18
Ibid, Pasal 2.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
10

4) Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas


pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan
kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota;
5) BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian
keuntungan;
6) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU
disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja
kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD)/pemerintah daerah;
7) BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan
praktek bisnis yang sehat”. 19

Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan


kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang
bermutu dan berkesinambungan. Bentuk praktek bisnis yang sehat adalah
merencanakan dan menetapkan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan,
pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan
antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, pengelolaan kas
BLU, utang BLU, pengadaan barang atau jasa, dan sistem informasi manajemen
keuangan.

Contoh Badan Layanan Umum di Indonesia yang sudah didirikan misalnya BLU
Transjakarta Busway, Rumah Sakit Pemerintah Daerah (RSPD), contohnya di
Kota Sumatera Utara RSPD Pirngadi-Medan, RSPD Djasamen Saragih, P.Siantar,
RSPD Lubuk Pakam, RSUD Rantauprapat, RSPD Sidikalang, RSPD dr
Djoelham, Binjai, RSUD dr.FL.Tobing, Sibolga, serta RSPD Kabanjahe, dan
Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, contohnya seperti Hutan Tanaman
Rakyat di Kota Sumatera Utara, dan Maluku Utara, serta Hutan Tanaman Industri
di Kota Sumatera Selatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian


dan pengkajian tentang BLU dengan mengambil studi kasus pendirian dan
penyelenggaraan BLU Transjakarta Busway dengan judul : “TINJAUAN
YURIDIS TERHADAP BADAN LAYANAN UMUM (STUDI KASUS

19
Ibid, Pasal 3.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
11

PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN BLU TRANSJAKARTA


BUSWAY)”.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang telah penulis berikan pada latar belakang di atas dan
judul tesis ini, terdapat beberapa pokok permasalahan yang hendak dikaji secara
lebih lanjut dan mendalam, yakni sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur dan mekanisme pendirian Badan Layanan Umum?


2. Bagaimana kewenangan, tugas, dan kewajiban organ-organ Badan Layanan
Umum?
3. Bagaimana prosedur dan mekanisme pendirian Badan Layanan Umum
Transjakarta Busways sehingga Badan Layanan Umum Transjakarta
Busway dibuat berdasarkan Keputusan Gubernur?
4. Bagaimana kewenangan, tugas, dan kewajiban organ-organ Badan Layanan
Umum Transjakarta Busway sebelum dan sesudah dikeluarkannya Peraturan
Gubernur Nomor 48 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan
Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta-Busway?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:


1. Menganalisis prosedur dan mekanisme pendirian Badan Layanan
Umum;
2. Menganalisis kewenangan, tugas dan kewajiban organ-organ Badan
Layanan Umum;
3. Menganalisis prosedur dan mekanisme pendirian Badan Layanan
Umum Transjakarta-Buswaysehingga Badan Layanan Umum
Transjakarta Busway dibuat berdasarkan Keputusan Gubernur;
4. Menganalisis kewenangan, tugas dan kewajiban organ-organ Badan
Layanan Umum Transjakarta-Buswaysebelum dan sesudah

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
12

dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2006 Tentang


Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum
Transjakarta-Busway.

1.4 METODE PENELITIAN

Dalam menyusun tesis ini, penulis akan melakukan penelitian yuridis normatif
karena dalam penelitian ini penulis akan melakukan studi dokumen serta tinjauan
terhadap norma hukum tertulis yang mencakup penelitian terhadap asas-asas
hukum. 20

Bahan hukum primer yang akan penulis gunakan dalam menganalisi


permasalahan-permasalahan tersebut diatas adalah KUH Perdata,21Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,22 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbedaharaan Negara,23 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2005 tentang PPK-BLU,24 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka
Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menetapkan
PPK-BLU (“PMK No 7/2006”),25 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang atau Jasa

20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3, (Jakarta : UI-Press, 2008),
hal. 51.
21
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),Op. Cit.
22
Indonesia (g), Undang-Undang tentang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003.
23
Indonesia (e), Op. Cit.
24
Indonesia (f), Op. Cit.

25
Indonesia (h), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006
tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja
Instansi Pemerintah Untuk Menetapkan Pola Pengeloaan Keuangan Badan Layanan Umum,
PMK No. 7 Tahun 2006.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
13

Pada BLU (“PMK No 8/2006”),26 Peraturan Menteri Keuangan Republik


Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada
BLU (“PMK No 9/2006”),27 dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat
28
Pengelola Dewan Pengawas dan Pegawai BLU (“PMK No 10/2006”), serta
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun
2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola
29
Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta , dan Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan,
Organisasi, dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway. 30

Untuk menunjang bahan hukum primer yang tersebut diatas, penulis juga
menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku utama yakni “Hukum Perdata
Tertulis” karangan Salim HS,31 yang menguraikan tentang syarat-syarat
didirikannya suatu badan hukum dan karakteristik badan hukum, “Badan Hukum :
32
Rechtpersoon” karangan Chidir Ali, yang menguraikan mengenai pengertian
tentang badan hukum, asas-asas badan hukum dan tujuan badan hukum, dan buku
“Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi” karangan

26
Indonesia (i), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006
tentang Kewenangan Pengadaan Barang atau Jasa Pada Badan Layanan Umum, PMK No. 8
Tahun 2006.
27
Indonesia (j), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006
tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum, PMK No. 9 Tahun 2006.
28
Indonesia (k), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola Dewan Pengawas dan
Pegawai Badan Layanan Umum, PMK No. 10 Tahun 2006.
29
Indonesia (l), Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola
Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, SK GUB DKI No. 110 Tahun
2003.

30
Indonesia (m), Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006
tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta Busway,
SK GUB No. 48 Tahun 2006.
31
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
32
Chidir Ali, Badan Hukum : Rechtpersoon, (Bandung : Alumni, 1991).

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
14

Jimly Asshiddiqie, 33 yang menguraikan mengenai perkembangan lembaga negara


pada zaman reformasi.

Adapun bahan hukum tersier berupa jurnal-jurnal hukum nasional maupun


internasional, dan sumber-sumber elektronik lainnya yang terkait dengan latar
belakang di dirikannya BLU.

34
Data sekunder di atas diperoleh melalui studi dokumen atau library research.
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui
35
data tertulis dengan mempergunakan analisis konten. Analisis konten adalah
sebuah teknik untuk menarik sebuah kesimpulan dengan mengidentifikasikan
secara spesifik, obyektif dan sistematis terhadap isi yang ada dalam sebuah data.
36

Untuk mendukung data sekunder tersebut, penulis akan melakukan research di


salah satu BLU yang telah didirikan di Jakarta, yaitu Transjakarta Busway.
Research ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman dari BLU mengenai
pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum terkait dengan didirikannya Transjakarta
Busway.

33
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Cet 2, (Jakarta : Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006).
34
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 21.
35
Ibid.

36
Ibid, hal 22.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
15

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah penganalisaan dan mempermudah pemahaman dalam


penulisan penelitian dan hasil penelitian, maka dalam tesis ini dibagi ke dalam 3
(tiga) bab sebagai berikut:

BAB I
Pada bab I penulis memaparkan latar belakang dilakukannya penelitian ini serta
alasan mengapa penulis mengangkat topik ini menjadi bahasan dalam penelitian
ini. Dalam bab ini penulis juga memaparkan apa yang menjadi topik
permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, serta
sistematika penulisan.

BAB II
Bab ini menguraikan definisi subyek hukum, definisi badan hukum, asas-asas
dalam badan hukum, teori-teori badan hukum, unsur-unsur badan hukum, jenis-
jenis badan hukum, definisi BLU, serta syarat-syarat di dirikannya suatu BLU.
Bab ini juga menguraikan salah satu contoh BLU yang telah berdiri di Indonesia
yaitu Transjakarta Busway, serta bab ini juga menganalisa tentang prosedur dan
mekanisme pendirian BLU, tentang kewenangan, tugas, dan kewajiban organ-
organ BLU, tentang prosedur dan mekanisme pendirian BLU Transjakarta
Busway dan tentang kewenangan, tugas, dan kewajiban organ-organ dalam BLU
Transjakarta Busway.

BAB III
Bab ini menyimpulkan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang telah
dirumuskan pada bab I dan telah dianalisis serta diuraikan dalam bab II secara
komprehensif serta saran-saran untuk memberikan masukan dalam pengelolaan
BLU secara umum dan BLU Transjakarta Buswaysecara khusus.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
16

BAB II
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BADAN LAYANAN UMUM

2.1. Subyek Hukum

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan lepas dari masalah hukum, karena
hukum selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan
sejahtera. Hukum itu adalah untuk manusia kaedah-kaedahnya yang berisi
perintah dan larangan itu ditunjukkan kepada anggota-anggota masyarakat atau
subyek hukum. Subyek hukum merupakan bagian pokok yang terdapat di dalam
ilmu hukum. 37

Subyek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam
bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena subyek hukum tersebut
yang dapat mempunyai wewenang hukum. Istilah subyek hukum berasal dari
terjemahan bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau law of subject (Inggris). 38

Subyek hukum adalah ialah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian subyek
hukum ialah manusia (naturlijke persoon) dan badan hukum (rechtpersoon),
misalnya Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Negara (PN), Yayasan, Badan-
badan Pemerintahan, dan sebagainya. 39

Adapun subyek hukum (orang) yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu :
1. Manusia

37
Dudu M Duswara, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), hal
16.

38
Titik Triwulan, Hukum Perdata dan Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Prenada Media
Group, 2008), hal 40.
39
A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Cet 2, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1985), hal 29.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
17

Manusia atau dalam bahasa Belanda disebut naturlijke persoon,


merupakan subyek hukum. Menurut hukum manusia adalah setiap
orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak
dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang sebagai subyek hukum dimulai
sejak ia lahir dan berakhir setelah meninggal dunia. Namun ada
pengecualian menurut Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(untuk selanjutnya disebut KUHPerdata), yaitu :
“Anak yang masih ada dalam kandungan seorang perempuan,
dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si
anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya,
dianggaplah ia tak pernah telah ada”. 40
16
Akan tetapi, ada golongan manusia yang dianggap tidak cakap
bertindak atau melakukan perbuatan hukum, disebut personae
miserabile yang mengakibatkan mereka tidak dapat melaksanakan
sendiri hak-hak dan kewajibannya, harus diwakili oleh orang tertentu
yang ditunjuk, yaitu oleh walinya atau pengampunya (kuratornya).

Golongan manusia yang tidak dapat menjadi subyek hukum (personae


miserabile) tersebut, dalam arti tidak dapat melakukan perbuatan
hukum di bidang keperdataan atau harta benda, adalah sebagai berikut
:
a. Anak yang masih di bawah umur atau belum dewasa
(belum berusia 21 tahun), dan belum kawin/nikah;
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, terdapat
berbagai ketentuan usia minimal seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum atau memperoleh hak,
yaitu sebagai berikut :
1) Pasal 330 KUHPerdata, yaitu :
“Untuk dapat melakukan perbuatan hukum di
bidang harta benda, usia 21 (dua puluh satu)

40
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),Op. Cit, Pasal 2.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
18

tahun atau telah nikah (kawin) atau pernah


kawin/nikah”; 41
2) Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (untuk selanjutnya disebut
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
menetapkan bahwa :
“Untuk dapat melangsungkan perkawinan,
usia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan
usia 16 (enam belas) tahun bagi wanita”. 42
Namun menurut Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan :
“Yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin dari orangtua atau
walinya untuk melakukan perkawinan”; 43
3) Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(untuk selanjutnya disebut KUHPidana), yaitu :
“Belum dapat dipidana seseorang yang belum
berusia 16 (enam belas) tahun”. 44
4) Pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu :
“Hak seseorang untuk memilih adalah usia 17
tahun atau sudah/pernah kawin pada waktu
pendaftaran pemilih”; 45
5) Pasal 2 ayat (1) butir Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi,
bahwa usia untuk memperoleh Surat Izin
Mengemudi (SIM), adalah sebagai berikut :
a) “Surat Izin Mengemudi (SIM) C dan SIM D
, usia 16 (enam belas) tahun;
41
Ibid, Pasal 330.

42
Indonesia (n), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1).

43
Ibid, Pasal 6 ayat (1).

44Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Prof. Moeljatno, S.H., Cet 26, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), Pasal 45.

45
Indonesia (o), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, UU.
No. 3 Tahun 1999, Pasal 28.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
19

b) SIM A, usia 17 (tujuh belas) tahun;


c) SIM B1 dan SIM B2, usia 20 (dua puluh)
tahun;
d) Pasal 33 Keputusan Presiden Nomor 52
Tahun 1977 tentang Kependudukan, usia
17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah
nikah atau kawin, wajib memiliki Kartu
Tanda Penduduk”. 46
b. Orang dewasa yang berada di bawah pengampuan
(curatele), disebabkan oleh sebagai berikut :
1) Sakit ingatan, yaitu gila, orang dungu,
penyakit suka mencuri (kleptomania),
khususnya penyakitnya;
2) Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya
khusus dalam peralihan hak dalam harta
kekayaan);
3) Isteri yang tunduk pada Pasal 110 KUH
Perdata. Namun berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun
1963, setiap isteri sudah dianggap cakap
melakukan perbuatan hukum. Isteri yang
ditempatkan di bawah pengampuan
berdasarkan penetapan hakim yang disebut
“kurandus”. 47

2. Badan Hukum
Dalam bahasa asing, istilah badan hukum selain merupakan istilah
rechtpersoon yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, juga
merupakan terjemahan peristilahan persona moralis (dalam bahasa
Latin), dan disebut juga legal persons (dalam bahasa Inggris). Di
samping orang (manusia), telah nampak pula di dalam hukum ikut
sertanya badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat
46
Indonesia (p), Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan
Pengemudi, PP No. 44 Tahun 1993, Pasal 2 ayat (1).
47
Marwan Mas, Op. Cit, hal 28-30.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
20

juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum


seperti seorang manusia. Badan hukum, misalnya : suatu wakaf, suatu
stichting, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk Perseroan
Terbatas, dan lain sebagainya. 48

Selain manusia alami, badan hukum juga dipandang sebagai subyek


hukum. Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah
suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat
bertindak dalam hukum dan yang mempunyai kewajiban-kewajiban
dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. 49

Suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan kepada Menteri


Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenHumKam) sebagai badan
hukum dengan cara :
1) Didirikan dengan akta notaris;
2) Didaftarkan di Kantor Panitera Pengadilan Negara
setempat;
3) Dimintakan pengesahan Anggaran Dasar kepada
MenHumKam sedangkan khusus untuk badan hukum
dana pensiun menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun pengesahan anggaran
dasarnya dilakukan Menteri Keuangan;
4) Diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. 50

Sebagaimana halnya subyek hukum manusia, badan hukum memliki


hak dan kewajiban serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan
hukum (rechtbetrekking/rechtsverhouding) baik antara badan hukum

48
Subekti, Op. Cit,hal 21.
49
P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambatan,
2009), hal 28-29.
50
Galuh Wardhani, “Subyek Hukum dan Obyek Hukum”,
http://galuhwardhani.wordpress.com/2010/03/08/makalah-bab-ii-materi-subyek-dan-obyek-
hukum/, diakses pada 5 Desember 2012, pukul 23.15 WIB.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
21

yang satu dengan badan hukum lain maupun antara badan hukum
dengan orang manusia (naturlijke persoon). Karena itu badan hukum
dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar-menukar,
sewa-menyewa dan segala macam perbuatan di lapangan harta
51
kekayaan.

Yang membedakan antara subyek hukum manusia dengan subyek hukum badan
hukum adalah bahwa manusia pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang
menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu:
1) Manusia mempunyai hak-hak subyektif, dan;
2) Kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti,
kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung
hak dan kewajiban.

Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan disebut juga teori
fiksi, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum
adalah orang yang sudah dewasa.

Sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah


orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, seorang
wanita yang bersuami. Hal tersebut diatur didalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
:
“Yang tak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1) Anak yang belum dewasa;
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh
undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu”.52

51
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni,
1985), hal 54.
52
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),Op. Cit, Pasal 1330.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
22

Namun ketentuan Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata telah dihapus dengan
keluarnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963, yang menyatakan bahwa perempuan
bersuami cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan pada badan hukum, tidak serta merta memperoleh status sebagai
subyek hukum, namun melalui proses pendaftaran kepada Kantor Panitera
Pengadilan Negara setempat hingga pengesahan oleh MenHumKam.Hal tersebut
didukung oleh pendapat dari Salim Hs, SH, Ms, bahwa teori yang berpengaruh
dalam hukum positif berkaitan keberadaan badan hukum sebagai subyek hukum
adalah teori konsensi yang artinya adalah bahwa badan hukum dalam negara tidak
dapat memiliki kepribadian hukum (hak dan kewajiban dan harta kekayaan)
kecuali diperkenankan oleh hukum dalam hal ini berarti negara sendiri.

Kalimat “diperkenankan” diartikan sebagai pengesahan oleh negara melalui


Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Negeri.Berdasarkan
teori fiksi menurut pendapat Karl von Savigny, bahwa setiap bayi yang belum
dilahirkan telah memiliki hak. Artinya bahwa seluruh manusia pada prinsipnya
telah menjadi subyek hukum, namun yang kemudian dikecualikan oleh Undang-
Undang adalah yang dianggap tidak cakap atau tidak mampu.

Sehingga yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dan subyek hukum
yang tidak cakap melakukan tindakan hukum adalah berkaitan dengan pemenuhan
tanggung jawab. Bahwa menurut Pasal 2 KUH Perdata yaitu :
“Anak yang masih ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap
sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak
menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah
telah ada”. 53

Dilihat dari Pasal 2 KUH Perdata diatas dapat disimpulkan bahwa anak yang
masih di dalam kandungan seorang wanita juga sudah dianggap sebagai subyek
hukum atau pembawa hak dan kewajiban apabila kepentingan si anak

53
Ibid, Pasal 2.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
23

menghendakinya. Subyek hukum yang tidak cakap tidak dapat dikenakan


tanggung jawab secara langsung namun melalui pengampu atau curatele nya.

Manusia sebagai Subyek Hukum berakhir apabila:


1) Telah meninggal dunia;
Pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa :
“Menikmati hak kewarganegaraan tidak teergantung pada hak-
hak kenegaraan”. 54

Seorang manusia sebagai pembawa hak dimulai sejak ia dilahirkan


dan berakhir pada saat ia meninggal;
2) Telah dinyatakan oleh Undang-Undang bahwa tidak mampu
bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata;
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata manusia yang dinyatakan tidak
mampu bertanggung jawab menurut Undang-Undang adalah orang
yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh dibawah
pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa, pemabuk
atau pemboros.

Subyek Hukum yang berbentuk Badan Hukum, berakhir apabila:


1) Membubarkan dirinya, atau;
2) Telah dinyatakan berakhir dalam putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht).55

2.2. Badan Hukum

Istilah badan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu


rechpersoon. Selain diterjemahkan dalam sebagai badan hukum, beberapa sarjana
56
menerjemahkan istilah rechtpersoon menjadi pribadi hukum. Namun istilah

54
Ibid, Pasal 1.
55
Bahestie Koesnadi, “Subjek Hukum”, http://bahesti.wordpress.com/2012/05/02/tugas-
bab-2-subjek-hukum/, diakses pada 5 Desember 2012, pukul 00.51 WIB.
56
Chidir Ali, Op. Cit, hal 14.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
24

yang resmi digunakan dalan berbagai peraturan perundang-undangan di Indinesia


adalah badan hukum. 57

Badan hukum lahir karena perjanjian dan undang-undang. Mengenai definisinya,


badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black’s Law Dictionary
dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that confuction legally,
sue or be sued, and make decisions throught agents. 58

Badan hukum adalah badan usaha yang berbadan hukum. Menurut Pasal 1654
KUH Perdata pengertian badan hukum, yaitu :
“Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang
preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak
mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah
diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu”. 59

Sementara itu yang merupakan peraturan umum dari badan hukum adalah Pasal
1653 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa badan hukum adalah :
“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula
perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan itu
ditiadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun
perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah
didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan baik”. 60

Menurut Maijers, badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung
hak dan kewajiban. 61

57
Ibid, hal 17.

58
Black, Henry Campbell, Op. Cit, hal. 726.

59
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),Op. Cit, Pasal 1654.
60
Ibid, Pasal 1653.
61
Chidir Ali, Op. Cit, hal 17.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
25

Menurut Logemann, badan hukum adalah suatu personifikasi, yaitu suatu


perwujudan hak dan kewajiban, hukum organisasi menentukan struktur intern dari
personifikasi itu. 62

Menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan hukum atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti
seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat
di depan hakim. 63

Menurut Rochmat Soemitro, badan hukum ialah suatu badan yang dapat
mempunyai harta, hak serta kewajiban sepeti orang pribadi. 64

Menurut Sri Soedewi Maschun Sofwan, manusia adalah badan pribadi merupakan
manusia tunggal. Selain dari manusia tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan
kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujud lain disebut badan hukum yaitu
kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan)
dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu
(yayasan). Kedua-duanya merupakan badan hukum. 65

Menurut Purnadi Perbacaraka dan Agus Brotosusilo, pribadi hukum ialah suatu
badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap
sebagai subyek hukum mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban-
kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang. Pribadi hukum ini memiliki
kekayaan tersendiri mempunyai pengurus atau pengelola dan dapat bertindak
sendiri sebagai pihak di dalam suatu perjanjian. 66

62
Ibid.

63
Ibid, hal 19.
64
Ibid.
65
Ibid.

66
Ibid, hal 20.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
26

Menurut Wirjono Prodjodikoro, badan yang di samping manusia perseorangan


juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-
kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. 67

Menurut J.J. Dormeier, bahwa :


a. Persekutuan orang-orang, yang di dalam pergaulan hukum bertindak
selaku seorang saja;
b. Yayasan, yaitu suatu harta kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu
maksud yang tertentu, yayasan itu diperlukan sebagai oknum. 68

Menurut E. Utrecht, badan hukum (rechtpersoon) yaitu badan yang menurut


hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, yang tidak berjiwa, atau
lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan
adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta yang benar-benar dalam pergaulan
hukum biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu,
dan sebagainya. 69

Menurut Molengraaff, badan hukum pada hakikatnya merupakan hak dan


kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama, dan di dalamnya terdapat
harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya
menjadi pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap
pribadi anggota adalah juga pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam
badan hukum itu. 70

67
Ibid.

68
Ibid, hal 21.
69
Neni Sri Imayati, Hukum Bisnis : Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi,
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), hal 124.

70
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal 69.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
27

Menurut Oetarid Sadino yang menterjemahkan buku L.J Van Apeldoorn yang
berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht(Pengantar Ilmu
Hukum) yang berkenaan dengan masalah subyek hukum itu menyalin dalam
bahasa Indonesia sebagai berikut :
“Walau demikian, ajaran hukum, dan kini juga undang-undang mengakui
adanya purusa atau subyek hukum yang lain daripada manusia. Untuk
membedakannya, manusia disebut purusa kodrat (natuurlijke person) yang
lain purusa hukum. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa purusa yang
demikian itu juga benar-benar hanya berarti, bahwa sesuatu yang bukan
purusa atau tak dapat merupakan purusa, diperlakukan seolah-olah ia adalah
sesuatu purusa”.71

Istilah purusa kodrat atau purusa hukum (istilah resminya ialah badan hukum)
bersandar pada pandangan (yang berasal dari ajaran hukum kodrat) bahwa
menurut kodratnya manusia adalah subyek hukum dan yang lain-lainnya
memperoleh kewenangan hukumnya dari hukum positif.

Selanjutnya Salim HS berpendapat bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-


orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan,
serta hak dan kewajiban.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur badan


hukum, antara lain :
1) Mempunyai perkumpulan;
2) Mempunyai tujuan tertentu;
3) Mempunyai harta kekayaan;
4) Mempunyai hak dan kewajiban; dan
5) Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat. 72

Keberadaan suatu badan hukum, menurut teori ilmu hukum ditentukan oleh 4
(empat) teori yang menjadi syarat suatu badan hukum agar tergolong sebagai
subyek hukum, yaitu sebagai berikut :

71
Chidir Ali, Op. Cit, hal 16.

72
Salim HS, Op. Cit, hal 26.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
28

a. Teori fiksi (Fictie Theorie)


Menurut Von Safigny, meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum
yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun
badan hukum boleh dianggap seolah-olah manusia. Dalam pandangan
penganut teori fiksi, badan hukum disamakan dengan manusia hanya
sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan hukum yang
dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti ketakutan
dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum.
Kelemahan teori fiksi adalah teori ini tidak mampu menjawab
permasalahan mengenai siapa yang akan digugat apabila seseorang
mengalami kerugian akibat dari tindakan badan hukum atau siapa
yang akan menggugat apabila perbuatan seseorang merugikan badan
hukum;
b. Teori Organ (Orgaan Theorie)
Otto Von Gierke mengemukakan bahwa badan hukum adalah sesuatu
yang sungguh-sungguh ada di dalam pergaulan hukum yang
mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan alat-alat (organ-organ)
yang ada padanya (pengurus). Menurut teori ini, peraturan-peraturan
hukum yang tidak berlaku dalam pandangan teori fiksi tetap berlaku
karena badan hukum memiliki organ yang dipandang sebagai jiwa
dari badan hukum tersebut;
c. Teori Kekayaan Tujuan
A Brinz berpendapat bahwa badan hukum bukanlah kekayaan dari
seseorang, melainkan kekayaan itu terikat pada tujuannya. Setiap hak
tidak ditentukan oleh suatu subyek, tetapi ditentukan oleh suatu
tujuan. Kelemahan teori ini adalah teori kekayaan hanya sesuai untuk
badan hukum berbentuk yayasan;
d. Teori Milik Kolektif
Menurut Planiol dan Molengraaf, hak dan kewajiban badan hukum
pada dasarnya juga menjadi hak dan kewajiban anggota secara

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
29

bersama-sama. Sehingga badan hukum hanyalah konstitusi yuridis


yang pada hakekatnya adalah abstrak. 73

H. M. N Purwosutjipto 74 mengemukakan beberapa syarat agar suatu badan dapat


dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat
dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan :
1) Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang
terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu.
Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan adanya
kekayaan pribadi para sekutu;
2) Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;
3) Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut. 75

Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menetukan ciri-ciri suatu badan
hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah;
b. Ada hak-hak dan kewajiban;
c. Mempunyai tujuan tertentu, mempuyai kepentingan sendiri, dan;
d. Adanya organisasi yang teratur. 76

Dengan demikian di dalam hukum modern dewasa ini, suatu badan, perkumpulan,
atau suatu perikatan hukum untuk dapat disebut sebagai badan hukum haruslah
memenuhi 5 (lima) unsur persyaratan sekaligus. Ke 5 (lima) unsur persyaratan itu
adalah :
1) Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain;

73
Komariah, Hukum Perdata, (Malang : UMM Press, 2002), hal 23-24.
74
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Jakarta :
Djambatan, 1982) hal 63 dalam Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas : Doktrin, Peraturan
Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Cetakan Kedua, (Yogyakarta : Total Media, 2009), hal
10.

75
Ibid.
76
Ridho Ali,Op. Cit, hal 9.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
30

2) Unsur tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan;
3) Kepentingan subyek hukum dalam lalu lintas hukum;
4) Organisasi kepengurusannya bersifat teratur menurut peraturan
perundang-undangan yang erlaku dan peraturan interalnya sendiri;
5) Terdaftar sebagai badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 77

Konsekuensi pemisahan antara harta kekayaan badan hukum dengan harta pribadi
para pengurus atau anggotanya, adalah sebagai berikut :
a. Perorangan dengan harta pribadi terhadap anggota badan hukum, tidak
berhak menuntut harta badan hukum;
b. Para pengurus/anggota tidak boleh secara pribadi menagih piutang
badan hukum terhadap pihak ketiga;
c. Tidak dibenarkan kompensasi (ganti kerugian) utang pribadi dari
pengurus atau anggota dengan utang badan hukum;
d. Hubungan hukum berupa perjanjian antara pengurus/anggota dengan
badan hukum, disamakan hubungan hukum dengan pihak ketiga;
e. Jika badan hukum pailit, hanya para kreditor saja yang dapat menuntut
harta kekayaan badan hukum. 78

Badan hukum dapat dibedakan menurut bentuknya, peraturan yang mengaturnya,


dan sifatnya, yaitu :
1) Badan hukum menurut bentuknya adalah pembagian badan hukum
berdasarkan pendiriannya, yaitu :
1) Badan Hukum Privat;
2) Badan Hukum Publik, seperti Negara (mulai dari
pemerintah pusat, sampai pemerintah desa), dan instansi
pemertintah. Contohnya seperti:

77
Jimmy Asshidiqie, Op. Cit, hal 77.
78
Marwan Mas, Op. Cit, hal 30.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
31

a) Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang


terdiri dari :
I. Universitas Airlangga (UNAIR);
II. Universitas Gadjah Mada (UGM);
III. Universitas Indonesia (UI);
IV. Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI);
V. Universitas Sumatera Utara
(USU);
VI. Institut Pertanian Bogor (IPB);
VII. Institut Teknologi Bandung (ITB);
VIII. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
MIGAS).
Pada tahun 2009, bentuk Badan Hukum Milik
Negara digantikan dengan badan hukum
pendidikan pemerintah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan. Undang-Undang tersebut
kemudian dibatalkan oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-
VII/2009 tanggal 31 Maret 2010, yang
membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan yang
mengembalikan status perguruan tinggi Badan
Hukum Milik Negara menjadi perguruan
tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
b) Lembaga Sensor Film (LSF), dasar hukumnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
32

Perfilman dan Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Lembaga Sensor Film;
c) Komisi Olahraga Nasional Indonesia (KONI),
dasar hukumnya Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 1984 tentang
Komite Olahraga Nasional Indonesia dan
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen;
d) Komisi Perlindungan Anak Nasional (KPAI),
dasar hukumnya Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 77 Tahun 2003 tentang
Komisi Pelindungan Anak Indonesia;
e) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dasar
hukumnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal
Lembaga Penjamin Simpanan;
f) Badan Layanan Umum, dan lain sebagainya.
3) Badan hukum menurut peraturan yang mengaturnya adalah
suatu pembagian badan hukum yang didasarkan atas
ketentuan yang mengatur badan hukum tersebut. Ada 2
(dua) macam badan hukum, yaitu :
a. Badan hukum yang terletak dalam lapangan
hukum perdata BW (Burgelijk Wetboek);
b. Badan hukum yang terletak dalam lapangan
hukum perdata adat;
c. Badan hukum menurut sifatnya.79

79
Salim HS, Op. Cit, hal 26.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
33

Chidir Ali mengemukakan macam badan hukum publik dan badan hukum privat
(badan hukum perdata), sebagai berikut :
1) Badan hukum publik dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu :
a. Badan hukum yang mempunyai teritorial
Suatu badan hukum itu pada umumnya harus
memperhatikan atau menyelenggarakan kepentingan
mereka yang tinggal di dalam daerah atau wilayahnya,
misalnya Negara Republik Indondesia itu mempunyai
wilayah dari Sabang sampai Merauke. Propinsi Jawa Barat,
kotapraja-kotapraja masing-masing mempunyai wilayah
selain itu ada juga badan hukum yang hanya
menyelenggarakan kepentingan beberapa orang saja seperti
subak di Bali merupakan organisasi kemasyrakatan yang
khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan
dalam cocok tanam padi di Bali;
b. Badan hukum yang tidak mempunyai teritorial
Suatu badan hukum yang dibentuk oleh yang berwajib
hanya untuk tujuan tertentu saja, contohnya Bank Indonesia
adalah badan hukum yang dibentuk yang berwajib hanya
untuk tujuan yang tertentu saja, yang dalam bahasa Belanda
disebut publicekrechtelijke doel corporatie dan oleh
Soenawar Soekawati disebut badan hukum kepentingan dan
Perusahaan Negara yang bergerak di bidang tertentu.Badan
hukum tersebut dianggap tidak mempunyai tertiorial, atau
teritorialnya sama dengan teritorialnya negara.

2) Badan hukum privat


Dalam badan hukum privat yang penting ialah badan-badan hukum
yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang-
perorangan. Di samping ini badan hukum publik pun dapat juga

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
34

mendirikan suatu badan hukum keperdataan. Contoh badan hukum


privat, antara lain, yaitu perkumpulan (vereniging) diatur dalam Pasal
1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga Staatsblad 1870-64
dan Staatsblad 1939-570;80

Perbedaan antara badan hukum publik dengan badan hukum perdata, terletak pada
bagaimana carapendiriannya badan hukum tersebut, seperti yang diatur di dalam
Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu ada tiga macam, yakni :
1)Badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau
Negara), misalnya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II atau Kotamadya,
Bank-bank yang didirikan oleh negara, dan sebagainya;
2)Badan hukum yang diakui oleh pemerintah atau kekuasaan umum, misalnya
perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi keagamaan,
dan sebagainya;
3)Badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan suatu maksud
tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan
(badan hukum dengan konstruksi keperdataan). 81

Untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau
termasuk badan hukum privat, dalam stelsel hukum Indonesia dapat digunakan
kriteria sebagai berikut :
a. Dilihat dari cara pendiriannya atau terjadinya, artinya badan hukum
itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh
penguasa (negara) dengan undang-undang atau peraturan-peraturan
lainnya;
b. Lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya
badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau umum
melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya bertindak

80
Chidir Ali, Op. Cit, hal 62-63.
81
Riduan Syahrani, Op. Cit, hal 57.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
35

dengan kedudukan yang sama dengan publik atau umum atau tidak.
Jika tidak, maka badan hukum itu merupakan badan hukum publik;
c. Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan
oleh penguasa (negara) itu diberi wewenang untuk membuat
keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada
wewenang publik, maka badan hukum tersebut adalah badan hukum
publik. 82

Demikianlah, jika ke 3 (tiga) kriteria (unsur) itu terdapat pada suatu badan atau
badan hukum, maka dapat disebut badan hukum publik. Dalam hal ini penulis
akan membahas badan hukum publik yang berkaitan dengan Badan Layanan
Umum (BLU).

2.3 Badan Layanan Umum

Pelayanan publik cenderung menjadi konsep yang sering digunakan oleh banyak
pihak, baik dari kalangan praktisi maupun ilmuwan, dengan makna yang berbeda-
beda. Dalam sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik dipahami
secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut
sebagai pelayanan publik. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, definisi Pelayanan Publik adalah :
“Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggaraan
pelayanan publik”. 83
Literatur umumnya menjelaskan bahwa “whatever government does is public
service”. Pendapat seperti itu dahulu dimaklumi karena pemerintah pada masa itu
hanya peduli untuk menyelenggarakan pelayanan yang menjadi barang publik

82
Chidir Ali, Op. Cit, hal 62.
83
Indonesia (d), Op. Cit, UU No, 25 Tahun 2009, Pasal 1 angka (1).

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
36

atau pelayanan yang menurut kesepakatan politik dan pertimbangan moral dinilai
penting bagi kehidupan warganya.

Namun ketika telah terjadi transformasi atau perubahan peran pemerintah dan non
pemerintah dalam penyelenggaraan layanan yang menjadi hajat hidup orang
banyak definisi pelayanan publik di atas kiranya sudah menjadi tidak relevan lagi.

Salah satu tranformasi yang terjadi adalah transformasi dalam ranah korporasi.
Korporasi menjadi tidak hanya memproduksi barang privat tetapi juga barang dan
jasa semi publik serta barang dan jasa yang sebelumnya menjadi domain
pemerintah untuk memproduksi dan menyediakannya.

Di negara-negara maju, keterlibatan korporasi dan lembaga nirlaba dalam


penyelenggaraan layanan publik dengan mudah dapat dipahami karena adanya
insentif pajak yang diberikan kepada perseorangan dan korporasi agar
mendonasikan sebagian dari hartanya untuk kegiatan sosial.

Di Indonesia, transformasi peran korporasi dan lembaga non pemerintah dalam


pelayanan publik dapat dilihat dari semakin banyaknya lembaga tersebut yang
bergerak dalam penyelenggaraan barang dan jasa yang dahulunya merupakan
domain pemerintah, seperti pelayanan pendidikan dasar, kesehatan, penyantunan
terhadap yatim piatu, pembinaan terhadap anak jalanan, dan sebagainya.84

Pelayanan publik merupakan isu yang sangat penting dan strategis sebagai sarana
interaksi antara pemerintah dan rakyatnya. Rakyat dengan sukarela membayar
pajak dan memberikan mandat kepada pemerintah untuk menggunakan pajak
tersebut guna melayani kebutuhan barang dan jasa dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu pelayanan publik sering disebut juga sebagai
pelayanan konstitusional. Pernyataan ini disebabkan oleh klausul-klausul atau
ketentuan-ketentuan dalam konstitusi semua negara yang menyebutkan bahwa
negara harus memberikan fasilitas kepada warga negara. Dari konstitusi 165
84
Agus Dwiyanto, Op. Cit, hal 14.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
37

(seratus enam puluh lima) negara yang ada di dunia, ditemukan bahwa 116
(seratus enam belas) mengatur hak warga negara untuk memperoleh pendidikan,
73 (tujuh puluh tiga) diantaranya hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, 95
(sembilan puluh lima) konstitusi mengatur hak warga negara untuk memperoleh
pendidikan gratis, dan 29 (dua puluh sembilan) konstitusi yang mengatur hak
warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.85

Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi


kebutuhan dasar dari hak-hak setiap warga negara atas barang, jasa, dan
pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh penyelenggaraan pelayanan
publik. Terkait dengan pelayanan publik dimaksud, Undang-Undang Dasar 1945
mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga
negara demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas penyelenggaraan suatu
pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan
publik.

Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih


dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta
kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari
masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung
maupun melalui media massa, terkait dengan prosedur yang berbelit-belit, tidak
ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak
transparan, petugas yang tidak professional, sehingga menimbulkan citra yang
kurang baik terhadap pemerintah.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan


Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan
pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang tersebut, instansi
pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada
masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan
menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip-prinsip pokok yang

85
Ibid, hal 34.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
38

tertuang dalam kedua undang-undang tersebut seperti prinsip prokdutivitas,


efisiensi, dan efektivitas menjadi dasar penetapan instansi pemerintah untuk
menerapkan pengelolaan keuangan BLU. BLU ini diharapkan dapat menjadi
langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi
meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,


khususnya Pasal 68 dan Pasal 69. Pasal 68 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”. 86

Selanjutnya Pasal 69 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa :
3) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan
anggaran tahunan;
4) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan
Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan
dan kinerja Kementrian. 87

Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengeloaan Keuangan
Badan Layanan Umum, yang secara khusus mengatur mengenai tujuan, asas,
persyaratan, penetapan dan pencabutan Pola Pengeloaan Keuangan Badan
Layanan Umum (PPK-BLU), penetuan standar dan tarif layanan, pengelolaan
kepegawaian serta pengaturan mengenai remunerasi bagi pengelola Badan
Layanan Umum.

Terkait dengan pembentukan Badan Layanan Umum, sebagai kebijakan teknis


operasional Menteri Keuangan telah mengeluarkan 4 (empat) Peraturan Menteri
Keuangan, yaitu :

86
Indonesia (e), Op. Cit, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68
ayat (1).
87
Ibid, Pasal 69 ayat (1) dan (2).

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
39

1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun


2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan
Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menetapkan
Pola Pengeloaan Keuangan Badan Layanan Umum;
2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang atau Jasa Pada Badan
Layanan Umum;
3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada Badan Layanan
Umum, dan;
4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola
Dewan Pengawas dan Pegawai Badan Layanan Umum.

Pengertian BLU menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004


tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
“Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas.” 88

Pengertian BLU ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya


yaitu dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yaitu :
“Badan Layanan Umum adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak
bertujuan mencari laba, meningkatkan kualitas layanan publik dan
memberikan otonomi, baik milik Pemerintah pusat maupun daerah.” 89

BLU terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:


a. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah

88
Ibid, Pasal 1 angka 23.
89
Indonesia (f), Op. Cit, PP RI No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan BLU,
Pasal 1 angka 1.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
40

sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain;


b. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi
otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu, dan;
c. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola
dana bergulir, dana Usaha Kecil Menengah, penerusan pinjaman dan
tabungan pegawai.90

Penjelasan tersebut secara spesifik menunjukkan karakteriktik entitas BLU, yaitu:


a. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang kekayaannya tidak
dipisahkan dari kekayaan negara;
b. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;
c. Tidak bertujuan untuk mencarai laba;
d. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala
korporasi;
e. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya
dikonsolidasikan pada instansi induk yang membawahinya;
f. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan
secara langsung;
g. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai
negeri sipil;
h. BLU bukan subyek pajak. 91

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan BLU yaitu :
“BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdasakan kehidupan
bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan

90
Joko Supriyanto dan Suparjo, “Badan Layanan Umum : Sebuah Pola Pemikiran Baru
atas Unit Pelayanan Masyarakat”, http://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/badan-layanan-umum-
sebuah-pola-pemikiran-baru-atas-unit-pelayanan-masyarakat/, diakses pada 6 Desember 2012,
pukul 00.19 WIB.
91
Ibid.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
41

berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek


bisnis yang sehat”. 92

Adapun asas-asas BLU menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun


2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, adalah :
1) “BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan
umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang
didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan;
2) BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian
negara/ lembaga/ pemerintah daerah dan karenanya status hukum
BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah sebagai instansi induk;
3) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung
jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum
yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang
dihasilkan;
4) Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan
kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota;
5) BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian
keuntungan;
6) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU
disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja
kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah;
7) BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan
praktek bisnis yang sehat”. 93

Contoh Badan Layanan Umum di Indonesia yang sudah didirikan berdasarkan


kebutuhannya misalnya BLU Transjakarta Busway, Rumah Sakit Pemerintah
Daerah, contohnya di Kota Sumatera Utara RSUD Pirngadi-Medan, RSUD
Djasamen Saragih, P.Siantar, RSUD Lubuk Pakam, RSUD Rantauprapat, RSUD
Sidikalang, RSUD dr Djoelham, Binjai, RSUD dr.FL.Tobing, Sibolga, serta
RSUD Kabanjahe, dan Pusat Pembiayaan Pembagunan Hutan, contohnya seperti
Hutan Tanaman Rakyat di Kota Sumatera Utara, dan Maluku Utara, serta Hutan
Tanaman Industri di Kota Sumatera Selatan.

92
Indonesia (f), Op. Cit, PP RI No. 23 Tahun 2005 Tentang BLU Pengelolaan Keuangan,
Pasal 2.

93
Ibid, Pasal 3.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
42

2.4 Analisis terhadap BLU Transjakarta-Busway

2.4.1 Pembahasan Analisis Terhadap BLU Transjakarta-Busway

Dalam tulisan ini Penulis akan membahas contoh Badan Layanan Umum di
Indonesia yang sudah berjalan di Indonesia, salah satu contohnya ialah
Transjakarta.

2.4.2 BLU Transjakarta-Busway

2.4.2.1 Profil BLU Transjakarta-Busway

Ini adalah gambaran secara keseluruhan mengenai perusahaan Bus


Transjakarta atau yang disebut Badan Layanan Umum Transjakarta
Busway.

2.4.2.2 Sejarah Perusahaan BLU Transjakarta-Busway

BLU Transjakarta Busway merupakan lembaga non struktural


Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (untuk
selanjutnya disebut Pemprov DKI Jakarta) yaitu Badan Pengelola
Transjakarta Busway yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003
tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola
Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. oleh
karena adanya perubahan mekanisme pengelola keuangan, maka
Badan Pengelola Transjakarta Busway diubah menjadi lembaga

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
43

struktural dan menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas Perhubungan


Pemprov DKI Jakarta yang akan menerapkan PPK BLU sesuai
dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun
2006 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan
Layanan Umum Transjakarta Busway.

BLU Transjakarta Busway merupakan lembaga yang berada di bawah


Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana lembaga
lainnya, BLU Transjakarta Busway memiliki visi dan misi lembaga
untuk mengatur jalannya BLU Transjakarta Busway. Kesesuaian
antara visi dan misi yang diuraikan dalam sub bab 2.4.2.3 BLU
Transjakarta Busway dengan dampak dari pembangunan modal
transportasi massa ini menjadi menarik untuk dilihat karena banyak
hal terjadi, baik yang bersifat positif maupun negatif, setelah
kemunculan BLU Transjakarta Busway di jalanan ibukota.

Latar belakang didirikannya BLU Transjakarta Busway, yaitu :


1) Jumlah kendaraan di DKI Jakarta 6,3 (enam koma tiga)
juta (rata-rata meningkat 11% (sebelas persen) tahun);
2) Penambahan kendaraan sebanyak 296 (dua ratus sembilan
puluh enam) unit kendaraan roda empat per hari;
3) Setiap hari 600.000 (enam ratus ribu) kendaraan dari
Botabek masuk ke Jakarta (mengangkut 1,2 (satu koma
dua) juta orang) per hari;
4) Rasio kendaraan pribadi dengan kendaraan umum adalah
92 : 8 (Sembilan puluh dua berbanding delapan);
5) Dari total 17 (tujuh belas) juta perjalanan per hari, 47%
(empat puluh tujuh persen) ditempuh dengan kendaraan
pribadi, 53% (lima puluh tiga persen) dengan kendaraan
umum;
6) Kondisi angkutan umum sangat memprihatinkan dan
setiap tahun jumlahnya berkurang;

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
44

7) Kerugian akibat kemacetan lalu lintas Rp. 12,8 (dua belas


koma delapan) triliun per tahun (nilai waktu, biaya, bahan
bakar, biaya kesehatan). 94

Selain itu, tujuan dari pembangunan sistem Transjakarta Busway.


adalah sebagai berikut :
1) Meningkatkan jumlah perjalanan penumpang dengan
menggunakan suatu sistem transportasi yang aman.
nyaman, dan handal;
2) Menciptakan sistem transportasi dengan jalur yang
terpisah dari lalu lintas umum untuk kemudahan
aksesibilitas;
3) Menciptakan sistem transportasi dengan pelayanan yang
terjadwal dengan baik;
4) Meningkatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
penumpang bus umum;
5) Meningkatkan pelayanan angkutan umum yang
terintegrasi;
6) Menciptakan sistem transportasi yang dapat meningkatkan
efisiensi operator bus;
7) Meningkatkan sistem pengumpulan pendapatan tiket yang
efektif. 95

BLU TransjakartaBusway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat


atau Bus Rapid Transit di Jakarta, Indonesia. Sistem ini dimodelkan
berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia.
Meskipun Busway di Jakarta meniru negara lain (seperti Kolombia,
Jepang, dan Australia), namun Jakarta memiliki jalur yang terpanjang
dan terbanyak. Sistem transportasi umum Transjakarta Busway, mulai

94
Transjakarta Busway, Company Profile Transjakarta Busway, (Jakarta: 2007),hal 8.
95
Ibid.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
45

dioperasikan pada tanggal 15 Januari 2004 Koridor 1 jurusan Blok M


menuju Kota.

Dalam pengoperasian Transjakarta Busway memiliki 186 halte yang


terdapat di 10 koridor dimana pada setiap halte terdapat akses untuk
pejalan kaki yang terhubung dengan jembatan penyeberangan
sehingga mempermudah pengguna layanan Trasjakarta Busway.
Selain itu, di halte juga terdapat fasilitas informasi rute, pintu
otomatis, loket pembelian tiket, serta pintu barrier sebagai jalan
masuk dan jalan keluar bagi pengguna jasa layanan.

Saat ini tahun 2012 jumlah armada bis single 472 (empat ratus tujuh
puluh dua) unit, bis gandeng 52 (lima puluh dua) unit, dimana bis-bis
tersebut dioperasikan berdasarkan rencana operasi yang terjadwal di
10 (sepuluh) koridor. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam
operasional Transjakarta Busway sekitar 3.500 (tiga ribu lima ratus)
orang, terdiri dari pramudi, petugas pengamanan, petugas tiket, dan
petugas kebersihan. Sebagai salah satu upaya mendekatkan dengan
konsumen guna memberikan pelayanan terbaik, maka pihak
Transjakarta Busway membuka sistem informasi online yang dapat
diakses oleh masyarakat melakui situs resmi Transjakarta Busway,
dimana dengan mengakses situs tersebut masyarakat dapat
menyampaikan kritik maupun saran guna memberikan evaluasi dan
pengawasan kinerja dari pihak Transjakarta Busway.

2.4.2.3 Visi dan Misi BLU Transjakarta-Busway

Visi BLU Transjakarta Busway, yaitu busway sebagai angkutan umum


yang mampu memberikan pelayanan publik yang cepat, aman,
nyaman, manusiawi, efisien, berbudaya, dan bertaraf internasional. 96

96
Ibid, hal 9.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
46

Misi Transjakarta Busway, yaitu :


1) Melaksanakan reformasi sistem angkutan umum dan
budaya penggunaan angkutan umum;
2) Menyediakan pelayanan yang lebih dapat diandalkan,
berkualitas tinggi, berkeadilan dan berkesinambungan di
DKI Jakarta;
3) Memberikan solusi jangka menengah dan jangka panjang
terhadap permasalahan di sektor angkutan umum;
4) Menerapkan mekanisme pendekatan dan sosialisasi
terhadap stakeholder, dan sistem transportasi terintegrasi;
5) Mempercepat implementasi sistem jaringan Busway di
Jakarta sesuai aspek kepraktisan, kemampuan masyarakat
untuk menerima sistem tersebut, dan kemudahan
pelasanaan;
6) Mengembangkan struktur institusi yang berkesinambungan;
7) Mengembangkan lembaga pelayanan masyarakat dengan
pengelolaan keuangan yang berlandaskan good corporate
governance, akuntabilitas, dan transparansi. 97

2.5 Prosedur dan Mekanisme Pendirian BLU

Pendirian BLU didasarkan pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004


tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa:
“BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa”. 98

Selanjutnya Pasal 69 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa :
1) “Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan;

97
Ibid.

98
Indonesia (f), Op. Cit, PP RI No. 23 Tahun 2005 Tentang BLU Pengelolaan Keuangan,
Pasal 68 ayat (1).

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
47

2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU
disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja
Kementrian”. 99

Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut


menjadi dasar penetapan instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan
keuangan BLU. BLU ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam
pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan
pemerintah kepada masyarakat.

Pasal 68 dan 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan


Negara memungkinkan instansi pemerintah membentuk BLU. Peluang ini secara
khusus disediakan kesempatannya bagi satuan-satuan kerja pemerintah yang
melaksanakan tugas operasional pelayanan publik (seperti layanan kesehatan,
pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi), untuk membedakannya dari fungsi
pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan.

Prosedur dan mekanisme pendirian BLU menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan BLU, yaitu :
1) Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola
keuangan dengan Pengelolaan Keuangan BLU apabila memenuhi
persyaratan substantif, teknis, dan administratif;
2) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan
layanan umum yang berhubungan dengan:
a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan
meningkatkan perekonomian masyarakat ataulayanan umum;
dan/atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi
dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
3) Persyaratanteknissebagaimanadimaksud pada ayat (1) diatas terpenuhi
apabila:
a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak
dikelola dan ditingkatkanpencapaiannya melalui BLU
sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan
lembaga/kepalaSKPD sesuai dengan kewenangannya; dan

99
Ibid, Pasal 69 ayat (1) dan (2).

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
48

b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah


sehat sebagaimana ditunjukkandalam dokumen usulan
penetapan BLU.
4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat
menyajikan seluruh dokumen berikut :
a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
b. pola tata kelola;
c. rencana strategis bisnis;
d. laporan keuangan pokok;
e. standar pelayanan minimum; dan
f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit
secara independen.
5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan
persetujuan sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/
gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya;
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
100
kewenangannya”.

Dengan penjelasan sebagai berikut :


1) Persyaratan substantif, yaitu :
a. Menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi yang
berhubungan dengan:
a) Penyediaan barang atau jasalayanan umum,
seperti pelayanan di bidang kesehatan,
penyelenggaraan pendidikan, serta pelayanan
jasa penelitian dan pengembangan ;
b) Pengelolaan wilayah atau kawasan tertentu
untuk tujuan meningkatkan perekonomian
masyarakat atau layanan umum seperti otorita
dan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu, atau;
c) Pengelolaan dana khusus dalam rangka
meningkatkan ekonomi atau pelayanan kepada

100
Indonesia (f), Op. Cit, PP RI No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan
BLU, Pasal 4.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
49

masyarakat, seperti pengelola dana bergulir


untuk usaha kecil dan menengah.
d) Bidang layanan umum yang diselenggarakan
bersifat operasional yang menghasilkan semi
barang atau jasa publik (quasi public goods).
e) Dalam kegiatannya tidak mengutamakan
keuntungan.
2) Persyaratan teknis, yaitu :
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya
layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui
BLU sebagaimana direkomendasikan oleh Menteri
Keuangan atau pimpinan lembaga atau kepala SKPD
sesuai dengan kewenangannya, dan;
b. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan
sehat sebagaimana ditunjukan dalam dokumen usulan
penetapan BLU.
3) Persyaratan administratif, yaitu :
a. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja
pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat.
Pernyataan kesanggupan tersebut disusun sesuai dengan
format yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 dan bermaterai,
ditandatangani oleh pimpinan satuan kerja Instansi
Pemerintah yang mengajukan usulan untuk menerapkan
PPK-BLU dan disetujui oleh menteri atau pimpinan
lembaga terkait;
b. Pola tata kelola merupakan peraturan internal satuan kerja
Instansi Pemerintah yang menetapkan:
a) Organisasi dan tata laksana, yang memuat
antara lain struktur organisasi, prosedur kerja,
pengelompokan fungsi yang logis,
ketersediaan dan pengembangan sumber daya

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
50

manusia;
b) Akuntabilitas,yaitu:mempertanggungjawabkan
pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepada satuan
kerja Instansi Pemerintah bersangkutan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
periodik, meliputi akuntabilitasprogram,
kegiatan, dan keuangan;
c) Transparansi, yaitu adanya kejelasan tugas dan
kewenangan, dan ketersediaan informasi
kepada publik.
c. Rencana strategis bisnis, mencakup:
a) Visi, yaitu suatu gambaran yang menantang
tentang keadaan masa depan yang berisikan
cita dan citra yang ingin diwujudkan;
b) Misi, yaitu sesuatu yang harus diemban atau
dilaksanakan sesuai visi yang ditetapkan, agar
tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil
dengan baik;
c) Program strategis, yaitu program yang berisi
proses kegiatan yang berorientasi pada hasil
yang ingin dicapai selama kurun waktu 1
(satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan
memperhitungkan potensi, peluang, dan
kendala yang ada atau mungkin timbul; dan
d) Kesesuaian visi, misi, program, kegiatan, dan
pengukuran pencapaian kinerja;
e) Indikator kinerja lima tahunan berupa
indikator pelayanan, keuangan, administrasi,
dan sumber daya manusia;
f) Pengukuran pencapaian kinerja, yaitu
pengukuran yang dilakukan dengan

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
51

menggambarkan apakah hasil kegiatan tahun


berjalan dapat tercapai dengan disertai analisis
atas faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi tercapainya kinerja tahun
berjalan.
d. Laporan keuangan pokok, terdiri atas:
a) Kelengkapan laporan:
i. Laporan Realisasi Anggaran atau
Laporan Operasional Keuangan,
yaitu laporan yang menyajikan
ikhtisar sumber, alokasi, dan
pemakaian sumber daya ekonomi
yang dikelola, serta
menggambarkan perbandingan
antara anggaran dan realisasinya
dalam suatu periode pelaporan
yang terdiri atas unsur pendapatan
dan belanja;
ii. Neraca atau Prognosa Neraca,
yaitu dokumen yang
menggambarkan posisi keuangan
mengenai aset, kewajiban, dan
ekuitas pada tanggal tertentu;
iii. Laporan Arus Kas, yaitu dokumen
yang menyajikan informasi kas
sehubungan dengan aktivitas
operasional, investasi, dan
transaksi nonanggaran yang
menggambarkan saldo awal,
penerimaan, pengeluaran, dan
saldo akhir kas selama periode
tertentu;

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
52

iv. Catatan atas Laporan Keuangan,


yaitu dokumen yang berisi
penjelasan naratif atau rincian dari
angka yang tertera dalam Laporan
Realisasi Anggaran, Neraca atau
Prognosa Neraca, dan Laporan
Arus Kas disertai laporan
mengenai kinerja keuangan.
b) Kesesuaian dengan standar akuntansi;
c) Hubungan antara laporan keuangan;
d) Kesesuaian antara keuangan dan indikator
kinerja yang ada di rencana strategis;
e) Analisis laporan keuangan.
e. Standar Pelayanan Minimum (SPM) merupakan ukuran
pelayanan yang harus dipenuhi oleh satuan kerja instansi
pemerintah untuk menerapkan program kerjaBLU. SPM
ditetapkan oleh Menteri Keuangan atau pimpinan lembaga
dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pelayanan kepada
masyarakat yang harus mempertimbangkan kualitas
layanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan biaya serta
kemudahan memperoleh layanan. SPM sekurang-
kurangnya mengandung unsur:
a) Jenis kegiatan atau pelayanan yang diberikan
oleh Satuan Kerja (SatKer). Jenis kegiatan
merupakan pelayanan yang diberikan oleh
SatKer baik pelayanan ke dalam (SatKer itu
sendiri) maupun pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat. Jenis kegiatan ini
merupakan tugas dan fungsi dari SatKer yang
bersangkutan;
b) Rencana pencapaian SPM. SatKer menyusun
rencana pencapaian SPM yang memuat target

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
53

tahunan pencapaian SPM dengan mengacu


pada batas waktu pencapaian SPM sesuai
dengan peraturan yang ada;
c) Indikator pelayanan. SPM menetapkan jenis
pelayanan dasar, indikator SPM dan batas
waktu pencapaian SPM;
d) Adanya tanda tangan pimpinan satuan kerja
yang bersangkutan dan menteri/pimpinan
lembaga.
f. Laporan audit terakhir, merupakan laporan auditor tahun
terakhir sebelum SatKer instansi pemerintah yang
bersangkutan diusulkan untuk menerapkan program kerja
BLU. Dalam hal SatKer instansi pemerintah tersebut
belum pernah diaudit, SatKer instansi pemerintah
dimaksud harus membuat pernyataan bersedia untuk
diaudit secara independen yang disusun dengan mengacu
pada formulir yang telah ditetapkan.101

Setelah prosedur dan mekanisme dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
BLU tersebut diatas yang terdiri dari 3 (tiga) persyaratan yaitu persyaratan
substantif, teknis, dan administratif terpenuhi dan dipatuhi maka BLU dapat
dijlankan.

2..6 Kewenangan, Tugas, dan Kewajiban Organ-Organ Badan Layanan


Umum

101
Dwijayanto, “Aspek Legal Badan Layanan Hukum (BLU)”,
http://sdwijayanto.blogspot.com/2008/11/aspek-legal-badan-layanan-umum-blu.html, diakses pada
6 Desember 2012, Pukul 02.38 WIB.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
54

Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang


berpotensi untuk dikelola secara lebih efisien dan efektif melalui pola Badan
Layanan Umum. Ada yang mendapatkan imbalan dari masyarakat dalam proporsi
yang signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, dan ada pula yang
bergantung sebagian besar pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

SatKer yang memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan,


dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan
pelayanan yang diberikan.

Kewenangan BLU adalah mengelola keuangan negara. Hal ini diatur dalam Pasal
1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, yaitu :
“PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek- praktek bisnis
yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengecualian
dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya”.102

PPK-BLU merupakan konsep baru dalam pengeloaan keuangan Negara. PPK-


BLU memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-
praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
seperti pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan pada umumnya.
Sebuah SatKer atau unit kerja dapat ditingkatkan statusnya sebagai BLU.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan


Keuangan BLU, BLU wajib menghitung harga pokok dari layanannya dengan
kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh Menteri Keuangan. Demikian pula
dalam pertanggungjawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan

102
Indonesia (f), Op. Cit, PP RI No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan
BLU, Pasal 1 angka 2.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
55

anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang telah


direalisasikan.

Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005


tentang Pengelolaan Keuangan BLU, BLU bertugas sebagai unit kerja kementrian
Negara lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang
pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk
yang bersangkutan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan


Keuangan BLU, BLU berkewajiban menghitung harga pokok dari layanannya
dengan kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh Menteri Keuangan.
Demikian pula dalam pertanggungjawabannya, BLU harus mampu menghitung
dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan
yang telah direalisasikan.

Dengan demikian, BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format baru bagi
pengelolaan keuangan, tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan
baru bagi pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Kewenangan, tugas dan kewajiban organ-organ dalam BLU dijelaskan dalam
Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan BLU, yaitu :
(1) “Pejabat pengelola BLU terdiri atas:
a. Pemimpin;
b. Pejabat keuangan; dan
c. Pejabat teknis.
(2) Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi
sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU
yang berkewajiban:
a. menyiapkan rencana strategis bisnis BLU;
b. menyiapkan Rencana Bisnis dan Anggaran(RBA)
tahunan;
c. mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
d. menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional
dan keuangan BLU.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
56

(3) Pejabat keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban:
a. mengkoordinasikan penyusunan RBA;
b. menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU;
c. melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja;
d. menyelenggarakan pengelolaan kas;
e. melakukan pengelolaan utang-piutang;
f. menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan
investasi BLU;
g. menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan; dan
h. menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.
(4) Pejabat teknis BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing
yang berkewajiban:
a. menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya;
b. melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan
c. mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya”. 103

2..7 Prosedur dan Mekanisme Pendirian BLU Transjakarta-


Buswaysehingga Badan Layanan Umum Transjakarta Busway dibuat
berdasarkan Keputusan Gubernur

Jasa transportasi merupakan salah satu dari kebutuhan manusia. Mobilitas yang
sangat cepat dari masyarakat baik yang tinggal di desa maupun di kota
membutuhkan alat-alat transportasi untuk membantu dalam kelangsungan hidup
mereka. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya jasa transportasi,
dinas perhubungan menyediakan berbagai macam fasilitas transportasi baik jalur
darat, jalur laut, maupun jalur udara.

Namun seiring berjalannya waktu dan semakin kompleksnya kebutuhan


masyarakat, alat transportasi publik ini mulai menimbulkan permasalahan baik
bagi masyarakat sendiri maupun bagi pemerintah. Kondisi angkutan umum sudah
banyak yang tidak layak lagi untuk beroperasi dan juga kenyamanan dan
keamanan masyarakat sebagai pengguna angkutan umum sudah mulai diragukan
dan dipertanyakan. Banyaknya armada angkutan umum dan kendaraan pribadi

103
Ibid, Pasal 32.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
57

yang beroperasi di jalan-jalan Daerah Khusus Ibukota Jakarta (selanjutnya disebut


DKI Jakarta), membuat tingkat kemacetan di DKI Jakarta semakin tinggi
sedangkan infrastrukturnya tidak memadai.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi
semakin tingginya tingkat kemacetan dan semakin buruknya kondisi alat
transportasi publik yang beroperasi di DKI Jakarta adalah dengan menggagas
untuk membuat sarana transportasi makro bagi penduduk Jakarta guna
mengurangi kemacetan yang ada.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta adalah dengan mendirikan
Busway atau BLU Transjakarta Busway didukung dengan dikeluarkannya
Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway
Propinsi DKI Jakarta yang telah diperbaharui dengan Peraturan Gubernur Provinsi
DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata
Kerja BLU Transjakarta-Busway.

Menurut Pasal 2 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006
tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway,
pembetukan Transjakarta Busway adalah :
“Dengan peraturan Gubernur ini dibentuk BLU Transjakarta Busway”. 104

Transjakarta Busway ini merupakan sistem transportasi bus cepat di DKI Jakarta,
sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem Transmilenio yang sukses di Bogota,
Kolombia. Agar terjangkau oleh masyarakat harga tiket Trasnjakarta Busway ini
disubsidi oleh pemerintah.

Pembentukan BLU Transjakarta tidak berbeda dengan BLU-BLU lainnya harus


memenuhi syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah

104
Indonesia (m), Op. Cit, PerGub No. 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi,
dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway, Pasal 2.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
58

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan BLU seperti yang
telah dijelaskan dalam prosedur dan mekanisme BLU pada sub bab 2.6 diatas.

BLU Transjakarta Busway dibuat berdasarkan Keputusan Gubernur karena


menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
Tentang Pengelolaan Keuangan, BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah yang artinya merupakan bagian perangkat dari
pemerintah daerah. Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh
Gubernur, Gubernur merupakan pejabat yang ditunjuk sebagai wakil dari Menteri
untuk mengelola BLU yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
penyelenggaraan pelayanan umum, oleh karenanya setiap BLU yang dibuat harus
berdasarkan oleh Keputusan Gubernur atau Kepala Pemerintahan Daerah
setempat.

2..8 Kewenangan, Tugas, dan Kewajiban Organ-Organ Badan Layanan


Umum TransjakartaBuswaysebelum dan sesudah dikeluarkannya
Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2006 Tentang Pembentukan,
Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta-
Busway

BLU Transjakarta Busway semula merupakan lembaga nonstruktural dari


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu Badan Pengelola (BP) Transjakarta
Busway, sebagaimana diatur dalam Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta
Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi DKI Jakarta BLU Transjakarta
Buswayyang telah diperbaharui dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU
Transjakarta-Busway.

Sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006
tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU Transjakarta-Busway,

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
59

BLU Transjakarta Busway diubah menjadi lembaga struktural dan menjadi Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Perhubungan yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan keuangan berbasis Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah (PPK-BLUD), dan memberikan pelayanan kepada masyarakat
pengguna busway.

Menurut Pasal 4 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta


Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, tugas
BLU Transjakarta Busway, yaitu :
1. “Menyelenggarakan pengelolaan system angkutan umum busway;
2. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatas, Badan Pengelola mempunyai fungsi :
a. PerencanaandanpemrogramansistemBusway;
b. Pengoperasian Busway yang terdiri dari jaringan utama
(trunk) dan jaringan pengumpan (feeder);
c. Pemilihan dan penetapan pemilihan dan penetapan
operator dalam sistem Busway;
d. Penyusunandanpengendalianstandarpelayananoperasional;
e. Pengawasan dan pengendalian seluruh sistem
pengoperasian Busway;
f. Pemeliharaan dan perawatan sarana dan prasarana yang
menjadi tanggung jawabnya;
g. Koordinasi pembangunan dan perawatan sarana dan
prasarana yang menjadi kewenangan unit/instansi lain;
h. Pengelolaandanpengendalian sistemtiket;
i. Pengaturan, penghitungan, dan pengawasan distribusi
aliran dana pendapatan operasional. 105

Menurut Pasal 5 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta


Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, organ-
organ BLU Transjakarta Busway, yaitu :
“Badan Pengelola terdiri dari ;
a. BadanPembina;
b. Kepala;
c. Bagian Tata Usaha;

105
Indonesia (l), Op. Cit, SK GUB DKI No. 110 Tahun 2003, Pasal 4.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
60

d. Bidang Tata Operasional;


e. Bidang Pengendalian Operasi;
f. Bidang Sarana dan Prasarana;
g. Bidang Tiket;
h. Bidang Dana”.106

Penjelasan tentang kewajiban organ-organ BLU Transjakarta Busway terdapat


dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 13 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway bagian


Badan Pembina terdapat dalam Pasal 6 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, yaitu:
1. “Badan Pembina mempunyai tugas :
a. Mengarahkan serta mendorong usaha pengembangan
kegiatan Badan Pengelola;
b. Memberikan petunjuk atas penyelesaian masalah yang
bersifat prinsip yang diajukan Badan Pengelola;
c. Meminta keterangan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan kegiatan Badan Pengelola;
d. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan
kegiatan Badan Pengelola.
2. Susunan keanggotaan Badan Pembina terdiri dari Ketua, Sekretaris,
dan para Anggota yang ditetapkan kemudian oleh gubernur;
3. Anggota Badan Pembina diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur;
4. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Pembina bertanggung jawab
kepada Gubernur. 107

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway bagian


Kepala terdapat dalam Pasal 7 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan

106
Ibid, Pasal 5.
107
Ibid, Pasal 6.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
61

Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus


Ibukota Jakarta, yaitu:
“Kepala mempunyai tugas :
a. Memimpin pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 diatas;
b. Memimpin dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan Bagian
Tata Usaha dan Bidang”. 108

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway bagian


Tata Usaha terdapat dalam Pasal 8 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, yaitu:
1. “Bagian Tata Usaha mempunyai tugas ;
a. Menyusun program dan rencana kegiatan operasional;
b. Melaksanakan urusan surat menyurat dan kearsipan;
c. Melaksanakan urusan administrasi kepegawaian;
d. Melaksanakan urusan perlengkapan dan ke rumah
tanggaan;
e. Melakukan pengelolaan administrasi keuangan anggaran;
f. Mengkoordinasikan pelaksanaan evaluasi dan menyusun
laporan kegiatan operasional;
g. Pelaksanaan kegiatan kehumasan.
2. Bagian Tata Usaha dipimpin oleh seorang Kepala Bagian yang dalam
melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala”. 109

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway bidang


Tata Operasional terdapat dalam Pasal 9 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, yaitu:
1. “Bidang Tata Operasional mempunyai tugas :
a. Merencanakan dan menetapkan standar operasional
pelayanan;
b. Memilih dan menetapkan operator bus;
c. Menyiapkan sistem tarif busway;
d. Menyusun dan menetapkan standar perawatan kendaraan;

108
Ibid, Pasal 7.
109
Ibid, Pasal 8.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
62

e. Menyusun formulasi dan perhitungan sanksi atau denda.


2. Bidang Tata Operasional dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang
dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala”.110

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway bidang


Pengendalian Operasi terdapat dalam Pasal 10 Keputusan Gubernur Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan,
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, yaitu:
1. “Bidang Pengendalian Operasi mempunyai tugas ;
a. Mengawasi penerapan standar operasional pelayanan;
b. Memantau dan mengevaluasi kinerja operator;
c. Menentukan dan menghitung sanksi/denda;
d. Menghitung hasil kerja dan pendapatan operator.
2. Bidang Pengendalian Oparasi dipimpin oleh seorang Kepala Bidang
yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada
Kepala”. 111

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway bidang


Sarana dan Prasarana terdapat dalam Pasal 11 Keputusan Gubernur Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan,
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, yaitu:
1. “Bidang Sarana dan Prasarana mempunyai tugas :
a. Melaksanakan pemeliharaan dan perawatan sarana dan
prasarana;
b. Melakukan koordinasi pembangunan, dan perawatan
sarana dan prasarana;
c. Mengawasi berfungsinya sarana dan prasarana.
2. Bidang Sarana dan Prasarana dipimpin oleh seorang Kepala Bidang
yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada
Kepala”.112

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway Bidang


Tiket terdapat dalam Pasal 12 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan
110
Ibid, Pasal 9.
111
Ibid, Pasal 10.
112
Ibid, Pasal 11.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
63

Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus


Ibukota Jakarta, yaitu:
1. “Bidang Tiket mempunyai tugas
a. Merencanakan pengaturan sistem pengelolaan tiket;
b. Memilih dan menetapkan operator tiket;
c. Mengawasi penerapan sistem pengelolaan tiket;
d. Merencanakan dan menentukan standar tiket.
2. Bidang Tiket dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang dalam
melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala”.113

Penjelasan tentang kewajiban badan pengelola BLU Transjakarta Busway bidang


Dana terdapat dalam Pasal 13 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, yaitu:
1. “Bidang Dana mempunyai tugas :
a. Merencanakan standar pengumpulan dan distribusi hasil
pendapatan operasional;
b. Mengawasi pelaksanaan penjualan, pengumpulan hasil
penjualan dan penyetoran hasil penjualan tiket;
c. Menghitungdan menetapkan pembayaran kepada operator
berdasarkan hasil pehitungan;
d. Memilih dan menetapkan trustee dalam penjualan dan
penyetoran hasil penjualan tiket.
2. Bidang Dana dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang dalam
melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala”. 114

Kemudian Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor


110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakartadirubah
menjadi Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang
Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta
Buswaysehingga tugas dari BLU Transjakarta Busway menurut Pasal 4 Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan,
Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta Buswaymenjadi :
1. “BLU Transjakarta Busway mempunyai tugas mengelola angkutan
umum Busway;

113
Ibid, Pasal 12.
114
Ibid, Pasal 13.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
64

2. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diatas, BLU Transjakarta Buswaymempunyai fungsi :
a. Penyusun rencana dan program kerja BLU Transjakarta
Busway;
b. Pengoperasian angkutan umum Busway yang terdiri dari
jaringan utama (trunk line) dan jaringan pengumpan
(feeder services);
c. Pemilihan dan penetapan pemilihan dan penetapan
operator dalam operasional angkutan umum Busway;
d. Penyusunandanpengendalianstandarpelayananoperasional/
standar minimal angkutan umum Busway;
e. Pengawasan dan pengendalian seluruh sistem
pengoperasian angkutan umum Busway;
f. Pemeliharaan dan perawatan sarana dan prasarana yang
menjadi kewenangannya;
g. Pengelolaan dan pengendalian sistem tiket;
h. Pengelolaan keuangan;
i. Penyusunan perhitungan biaya Rupiah per Kilometer
operator angkutan umum Busway;
j. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan Satuan
Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Satuan Kerja
Perangkat Daerah, instansi pemerintah dan pihak terkait;
k. Penyiapan rencana kerja strategis;
l. Pelaksanaan kegiatan ketatausahaan”. 115

Kemudian tentang susunan organisasi yang terdapat pada Pasal 5 Keputusan


Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003
tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-
Busway Provinsi DKI Jakartaberubah menjadi Pasal 5 Peraturan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi,
dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway, yang menjadi seperti :
1. “Susunan organisasi BLU Transjakarta Busway terdiri dari :
a. Kepala;
b. Subbagian Tata Usaha dan Keuangan.
2. Subbagian Tata Usaha dan Keuangan dipimpin oleh seorang Kepala
Subbagian Tata Usaha dan Keuangan yang dalam melaksanakan tugas
bertanggung jawab kepada Kepala BLU Tranjakarta Busway”. 116

Bagan susunan organisasi organ-organ dalam BLU Transjakarta Busway, yaitu :

115
Indonesia (m), Op. Cit, PerGub No. 48 Tahun 2006tentang Pembentukan, Organisasi,
dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta Busway, Pasal 4.
116
Ibid, Pasal 5.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
65

1.1 Bagan susunan organ-organ dalam BLU Transjakarta-Busway

Pada Pasal 6 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta


Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakartaberisi
tentang kewajiban dan tugas Badan Pembina akan tetapi dalam Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan,
Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta Busway , susunan
organisasi hanya terdiri dari Kepala dan Subbagian Tata Usaha dan Keuangan.

Sehingga Pasal 6 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta


Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berisi
tentang kewajiban dan tugas Badan Pembina, akan tetapi dalam Pasal 6 Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan,
Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta Buswayberubah
menjadi kewajiban dan tugas Kepala, yaitu :
“Kepala BLU Transjakarta Busway mempunyai tugas :
a. Memimpin penyelenggaraan tugas dan fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4;
b. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas Subbagian dan Pelaksana;

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
66

c. Melaksanakan koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat


Daerah/Unit Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Instansi
terkait lainnya”. 117

Pasal 7 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110
Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola
Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang mengatur
tentang kewajiban dan tugas Kepala, akan tetapi dalam Pasal 7 Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan,
Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta Buswayberubah
menjadi kewajiban dan tugas Kepala Subbagian Tata Usaha dan Keuangan, yaitu :
“Kepala Subbagian Tata Usaha dan Keuangan mempunya tugas :
a. Menyusun rencana dan program kerja tata usaha dan keuangan;
b. Melaksanakan urusan surat menyurat dan kearsipan;
c. Melaksanakan urusan administrasi kepegawaian;
d. Melaksanakan urusan kerumahtanggaan;
e. Melaksanakan kegiatan kehumasan;
f. Melaksanakan pemeliharaan kebersihan kantor dan halte;
g. Menyiapkan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK);
h. Melakukan pengelola keuangan;
i. Menyelenggarakan pengelolaan kas;
j. Melakukan pengelolaan utang-pitang;
k. Melaksanakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi;
l. Menyelenggarakan sistem informal manajemen keuangan;
m. Menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan
keuangan;
n. Menerima, menyimpan, dan membukukan penerimaan
pendapatan Transjakarta Busway;
o. Melaksanakan verikasi dan menetapkan denda;
p. Melakukan pembayaran pengeluaran BLU Transjakarta Busway;
q. Melaksanakan penyusunan perhitungan biaya rupiah per
kilometer;
r. Menyusun perhitungan tarif angkutan umum Busway;
s. Menyusun formula remunerasi;
t. Melaporkan pelaksanan tugas”. 118

Pasal 8 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110
Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola
Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang mengatur

117
Ibid, Pasal 6.
118
Ibid, Pasal 7.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
67

tentang kewajiban dan tugas Bagian Tata Usaha, akan tetapi dalam Pasal 8
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang
Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta
Buswayberubah menjadi kewajiban dan tugas Pelaksana, yaitu :
1. “Untuk memperlancar kegiatan operasional dapat diangkat pelaksana
dengan sebutan manajer untuk tugas yang terdiri dari :
a. Sarana dan prasarana;
b. Operasional;
c. Pengendalian.
2. Manajer merupakan pejabat non struktural yang diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala BLU Transjakarta Busway dari Pegawai
Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan;
3. Manajer dalam melaksanakan tugas dan bertanggung jawab kepada
Kepala BLU Transjakarta Busway;
4. Jumlah pelaksana dengan sebutan manajer sebanyak-banyaknya 3
(tiga) orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”. 119

Pasal 9 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110
Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola
Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang mengatur
tentang kewajiban dan tugas Bidang Tata Operasional, akan tetapi dalam Pasal 9
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006 tentang
Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum Transjakarta
Buswayberubah menjadi kewajiban dan tugas Manajer Sarana dan Prasarana,
Manajer Operasional, dan Manajer Pengendalian, yaitu:
1. “Manajer Sarana dan Prasarana mempunyai tugas :
a. Menyusun rencana dan program pemeliharaan dan
perawatan sarana dan prasarana;
b. Melaksanakan pemeliharaan dan perawatan sarana dan
prasarana;
c. Melaksanakan monitoring, pemantauan dan evaluasi
kelayakan sarana dan prasarana;
d. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan Satuan
Kerja Perangkat Daerah terkait;
e. Melaporkan pelaksanaan tugas.
2. Manajer Operasional mempunyai tugas :
a. Menyusun program dan rencana kegiatan operasional;
b. Menyusun standar prosedur operasional dan standar
pelayanan minimal bus;
c. Mengusulkan calon operator bus;

119
Ibid, Pasal 8.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
68

d.Menyusun dan mengajukan sistem tarif bus;


e.Menyusun standar prosedur operasional dan standar
perawatan minimal perawatan bus;
f. Menyusun formulasi dan perhitungan sanksi dan denda;
g. Mengusulkan calon operator sistem tiket ini;
h. Melaporkan pelaksanaan tugas.
3. Manajer Pengendalian mempunyai tugas :
a. Menyusun program dan rencana kegiatan pengendalian;
b. Mengendalikan penerapan standar prosedur
operasional/standar pelayanan minimal kendaraan, sistem
tiket dan satuan tugas pengamanan;
c. Melaksanakan monitoring, pemantauan dan evaluasi
kinerja operator bus, operator sistem tiket dan satuan tugas
pengamanan;
d. Mengusulkan calon satuan tugas keamanan;
e. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan Satuan
Kerja Perangkat Daerah terkait;
f. Melaksanakan monitoring pemantauan dan evaluasi ikatan
kerjasama dengan pihak ketiga;
g. Melaporkan pelaksanaan tugas”. 120

Seiring dengan perubahan Peraturan Gubernur yang ada berubah pula dalam
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun
2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola
Transjakarta-Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakartasusunan organisasi
terdiri dari Badan Pembina, Kepala, Bagian Tata Usaha, Bidang Tata Operasional,
Bidang Pengendalian Operasi, Bidang Sarana dan Prasarana, Bidang Tiket serta
Bidang Dana, sedangkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48
Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan
Umum Transjakarta Busway susunan organisasi terdiri dari Kepala BLU
Transjakarta Busway yang membawahi Kepala Subbagian Tata Usaha dan
Keuangan, Manajer Sarana dan Prasarana, Manajer Operasional dan Manager
Pengendalian.

Kewenangan, tugas, dan kewajiban organ-organ BLU Transjakarta Busway


sebelum dan sesudah dikeluarkannya PerGub No. 48 Tahun 2006 Tentang
Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway, sebelum
dikeluarkannya PerGub No. 48 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Organisasi,

120
Ibid, Pasal 9.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
69

dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway, Transjakarta Busway merupakan


Badan Pengelola karena sebagai lembaga non struktural Pemerintah Daerah, serta
organ-organ BLU Transjakarta Busway terdiri dari Badan Pembina, Kepala,
Bagian Tata Usaha, Bidang Tata Operasional, Bidang Pengendalian Operasi,
Bidang Sarana dan Prasarana, Bidang Tiket, serta Bdang Dana, sedangkan setelah
dikeluarkannya PerGub No. 48 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Organisasi,
dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway, Transjakarta Busway merupakan BLU
karena sebagai lembaga struktural yang bekerja sebagai Unit Pelaksana Teknis
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, serta organ-organ BLU terdiri dari
Kepala, Subbagian Tata Usaha dan Keuangan, Sarana dan Prasarana, Operasional,
dan Pengendalian.

Perbedaan signifikan sebelum dan sesudah dikeluarkannya PerGub No. 48 Tahun


2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU Transjakarta
Busway terlihat dari organ-organ yang terdapat pada BLU Transjakarta Busway
itu sendiri. Setelah dikeluarkannya PerGub No. 48 Tahun 2006 Tentang
Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway Bidang Tiket
dan Bidang Dana dihilangkan dari organ-organ BLU Transjakarta Busway.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
70

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dengan


pokok-pokok permasalahan yang ada terkait dengan tinjauan yuridis terhadap
BLU (Studi Kasus Pendirian dan Penyelenggaraan BLU Transjakarta Busway,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Prosedur dan mekanisme pendirian BLU didasarkan pada Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan BLU. BLU dibentuk untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dalam prosedur dan mekanisme pendirian BLU harus
memenuhi syarat-syarat substantif, teknis, dan administratif. Syarat-
syarat prosedur dan mekanisme pendirian BLU tersebut diatur dalam
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU.
2. Kewenangan BLU adalah untuk mengatur PPK-BLU, hal tersebut
diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Kewenangan, tugas dan
kewajiban organ-organ dalam BLU dijelaskan dalam Pasal 32
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan BLU, Pejabat Pengelola BLU terdiri dari :
a) Pemimpin
Kewenangan Pemimpin BLU adalah mengepalai BLU
yang bertugas sebagai penanggung jawab umum
operasional dan keuangan BLU yang

70 Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
71

berkewajibanmenyiapkan rencana strategis bisnis BLU,


menyiapkan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA)
tahunan, mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat
teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan
menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional
dan keuangan BLU.
b) Pejabat keuangan BLU
Kewenangan dan tugas pejabat keuangan BLU sebagai
penanggung jawab keuangan yang berkewajiban
mengkoordinasikan penyusunan RBA, menyiapkan
dokumen pelaksanaan anggaran BLU, melakukan
pengelolaan pendapatan dan belanja, menyelenggarakan
pengelolaan kas, melakukan pengelolaan utang-piutang,
menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan
investasi BLU, menyelenggarakan sistem informasi
manajemen keuangan, dan menyelenggarakan akuntansi
dan penyusunan laporan keuangan.
c) Pejabat teknis BLU
Kewenangan dan tugas pejabat teknis BLU sebagai
penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang
berkewajibanmenyusun perencanaan kegiatan teknis di
bidangnya, melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut
RBA danmempertanggungjawabkan kinerja operasional di
bidangnya.

3. Menurut Pasal 2 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48


Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU
Transjakarta Busway, pembetukan Transjakarta Busway adalah :
“Dengan peraturan Gubernur ini dibentuk BLU Transjakarta
Busway”. 121

121
Indonesia (r), Op. Cit, PerGub No. 48 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Organisasi,
dan Tata Kerja BLU Transjakarta Busway, Pasal 2.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
72

Prosedur dan mekanisme pendirian BLU Transjakarta Busway itu


sendiri tidak jauh berbeda dengan prosedur dan mekanisme pendirian
BLU, karena BLU Transjakarta Busway merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari BLU. Dalam prosedur dan mekanisme pendirian
BLU Transjakarta Busway harus memenuhi syarat-syarat substantif,
teknis, dan administratif. Syarat-syarat prosedur dan mekanisme
pendirian Badan Layanan Umum tersebut diatur dalam Pasal 4
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan BLU.BLU Transjakarta Busway dibuat
berdasarkan Keputusan Gubernur karena menurut Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Keuangan, BLU beroperasi sebagai unit kerja
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah yang artinya
merupakan bagian perangkat dari pemerintah daerah. Pemerintah
daerah Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur, Gubernur
merupakan pejabat yang ditunjuk sebagai wakil dari Menteri untuk
mengelola BLU yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
penyelenggaraan pelayanan umum, oleh karenanya setiap BLU yang
dibuat harus berdasarkan oleh Keputusan Gubernur atau Kepala
Pemerintahan Daerah setempat.

4. Kewenangan, tugas, dan kewajiban organ-organ BLU Transjakarta


Busway sebelum dan sesudah dikeluarkannya PerGub No. 48 Tahun
2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU
Transjakarta Busway, sebelum dikeluarkannya PerGub No. 48 Tahun
2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU
Transjakarta Busway, Transjakarta Busway merupakan Badan
Pengelola karena sebagai lembaga non struktural Pemerintah Daerah,
serta organ-organ BLU Transjakarta Busway terdiri dari Badan
Pembina, Kepala, Bagian Tata Usaha, Bidang Tata Operasional,
Bidang Pengendalian Operasi, Bidang Sarana dan Prasarana, Bidang
Tiket, serta Bidang Dana, sedangkan setelah dikeluarkannya PerGub

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
73

No. 48 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja


BLU Transjakarta Busway, Transjakarta Busway merupakan BLU
karena sebagai lembaga struktural yang bekerja sebagai Unit
Pelaksana Teknis Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, serta
organ-organ BLU terdiri dari Kepala, Subbagian Tata Usaha dan
Keuangan, Sarana dan Prasarana, Operasional, dan Pengendalian.
Perbedaan signifikan sebelum dan sesudah dikeluarkannya PerGub
No. 48 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja
BLU Transjakarta Busway terlihat dari organ-organ yang terdapat
pada BLU Transjakarta Busway itu sendiri. Setelah dikeluarkannya
PerGub No. 48 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan
Tata Kerja BLU Transjakarta Busway Bidang Tiket dan Bidang Dana
dihilangkan dari organ-organ BLU Transjakarta Busway. Sehingga
organ-organ BLU Transjakarta Busway menurut PerGub No. 48
Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja BLU
Transjakarta Busway adalah Kepala, Subbagian Tata Usaha Dan
Keuangan, Subbagian Sarana dan Prasarana, Subbagian Operasional
dan Subbagian Pengendalian.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
74

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad, Nurmandi. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta : PT. Sinergi Visi
Utama, 2010.

Ali,Chidir. Badan Hukum : Rechtpersoon. Bandung : Alumni, 1991.

Ali, Ridho. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan. Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2004.

A, Ridwan, Halim. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Cet 2. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1985.

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. Cet 2. Jakarta : Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition. St.


Paul Minn : West Publishing Co, 2000.

C. S. T. Kansil dan Christinne S. T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Cet 12.


Jakarta : Balai Pustaka, 2002.

Dwiyanto, Agus. Manajemen Pelayanan Publik : Peduli, Inklusif, dan


Kolaboratif. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011.

HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta : Sinar Grafika,
2008.

Komariah. Hukum Perdata. Malang : UMM Press, 2002.

Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. Ghalia Indonesia, 2004.
M, Duswara, Dudu. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: PT. Refika Aditama, 2003.

Neni, Sri, Imayati. Hukum Bisnis : Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi.
Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009.

Purwosutjipto, H, M, N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid 2.


Jakarta : Djambatan, 1982.

Simanjuntak, P, N, H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta :


Djambatan, 2009.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet 3. Jakarta : UI-Press,


2008.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet 31. Jakarta : PT. Intermasa, 2003.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
75

Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung :


Alumni, 1985.

Titik, Triwulan. Hukum Perdata dan Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Prenada
Media Group, 2008.

Transjakarta Busway. Company Profile Transjakarta Busway. Jakarta : 2007.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-
Busway Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 110 Tahun 2003.

Indonesia. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang


Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Layanan Umum
Transjakarta Busway No. 48 Tahun 2006.

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Kewenangan


Pengadaan Barang atau Jasa Pada Badan Layanan Umum No. 8 Tahun
2006.

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Pedoman


Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola Dewan Pengawas dan
Pegawai Badan Layanan Umum No. 10 Tahun 2006.

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Pembentukan


Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum No. 9 Tahun 2006.

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Republik tentang Persyaratan


Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja
Instansi Pemerintah Untuk Menetapkan Pola Pengeloaan Keuangan Badan
Layanan Umum No. 7 Tahun 2006.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Kendaraan dan Pengemudi No. 44 Tahun


1993.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pengelolaan


Keuangan Badan Layanan Umum No. 23 Tahun 2005.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pelayanan Publik No. 25 Tahun 2009.


Indonesia. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum No. 3 Tahun 1999.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004.

Indonesia. Undang-Undang Nomor tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Indonesia. Undang-Undang tentang Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
76

Indonesia. Undang-Undang tentang Perkoperasian No. 17 Tahun 2012.


Indonesia. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007.
Indonesia. Undang-Undang tentang Yayasan No. 16 Tahun 2001 Jo UU No. 28
Tahun 2004.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

SUMBER ELEKTRONIK

Bahestie Koesnadi, “Subjek Hukum”,


http://bahesti.wordpress.com/2012/05/02/tugas-bab-2-subjek-hukum/,
diakses pada 5 Desember 2012, pukul 00.51 WIB.

Dwijayanto, “Aspek Legal Badan Layanan Hukum (BLU)”,


http://sdwijayanto.blogspot.com/2008/11/aspek-legal-badan-layanan-umum-
blu.html, diakses pada 6 Desember 2012, Pukul 02.38 WIB.

Galuh Wardhani, “Subyek Hukum dan Obyek Hukum”,


http://galuhwardhani.wordpress.com/2010/03/08/makalah-bab-ii-materi-
subyek-dan-obyek-hukum/, diakses pada 5 Desember 2012, pukul 23.15
WIB.

Joko Supriyanto dan Suparjo, “Badan Layanan Umum : Sebuah Pola Pemikiran
Baru atas Unit Pelayanan Masyarakat”,
http://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/badan-layanan-umum-sebuah-pola-
pemikiran-baru-atas-unit-pelayanan-masyarakat/, diakses pada 6 Desember
2012, pukul 00.19 WIB.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 2005
TENTANG
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN
LAYANAN UMUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
2. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut
PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan
keuangan negara pada umumnya.
3. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau daerah.
4. Instansi pemerintah adalah setiap kantor atau satuan kerja yang berkedudukan
sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa pengguna anggaran/barang.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

5. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah


yang dipimpin oleh menteri/pimpinan lembaga yang bertanggung jawab atas
bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU.
6. Menteri/pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas bidang
tugas BLU yang bersangkutan.
7. Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut SKPD, adalah instansi
pemerintah daerah yang merupakan bagian dari pemerintah daerah yang
bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU.
8. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, yang selanjutnya disebut PPKD, adalah
kepala badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang memiliki tugas
melaksanakan pengelolaan keuangan daerah dan bertindak sebagai Bendahara
Umum Daerah.
9. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang selanjutnya
disebut RKA-KL, adalah rencana dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
10. Rencana Bisnis dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah
dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan,
target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
11. Standar Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan
minimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat.
12. Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan
kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang
bermutu dan berkesinambungan.

BAB II
TUJUAN DAN ASAS

Bagian Pertama
Tujuan

Pasal 2
BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan
produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

Bagian Kedua
Asas

Pasal 3
(1) BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan
kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
(2) BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak-
terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi
induk.
(3) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas
pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya
kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

(4) Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.
(5) BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
(6) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan
disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran
serta laporan keuangan dan kinerja kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(7) BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis
yang sehat.

BAB III
PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN

Bagian Pertama
Persyaratan

Pasal 4
(1) Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan
dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan
administratif.
(2) Persyaratan substantif 'sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila
instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang
berhubungan dengan:
a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
pelayanan kepada masyarakat.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan
oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya; dan
b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat
sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila
instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen
berikut:
a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan,
dan manfaat bagi masyarakat;
b. pola tata kelola;
c. rencana strategis bisnis;
d. laporan keuangan pokok;
e. standar pelayanan minimum; dan
f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen.
(5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan persetujuan sebelum
disampaikan kepada Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan
kewenangannya.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif sebagaimana dimaksud


pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Kedua
Penetapan dan Pencabutan

Pasal 5
(1) Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah yang
memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan
PPK-BLU kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah yang
telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
menerapkan PPK-BLU.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pemberian status
BLU secara penuh atau status BLU bertahap.
(4) Status BLU secara penuh diberikan apabila seluruh persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan memuaskan.
(5) Status BLU-Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) telah terpenuhi,
namun persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4)
belum terpenuhi secara memuaskan.
(6) Status BLU-Bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku paling lama 3
(tiga) tahun.
(7) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan
BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan
lembaga/kepala SKPD.

Pasal 6
(1) Penerapan PPK-BLU berakhir apabila:
a. dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya;
b. dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota berdasarkan usul
dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan
kewenangannya; atau
c. berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang
dipisahkan.
(2) Pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak memenuhi
persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 4.
(3) Pencabutan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan
berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
membuat penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal usul pencabutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b diterima.
(5) Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
terlampaui, usul pencabutan dianggap ditolak.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

(6) Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat diusulkan
kembali untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4.

Pasal 7
Dalam rangka menilai usulan penetapan dan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dan Pasal 6, Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan
kewenangannya, menunjuk suatu tim penilai.

BAB IV
STANDAR DAN TARIF LAYANAN

Bagian Pertama
Standar Layanan

Pasal 8
(1) Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan
minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.
(3) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan,
biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.

Bagian Kedua
Tarif Layanan

Pasal 9
(1) BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa
layanan yang diberikan.
(2) Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya
per unit layanan atau hasil per investasi dana.
(3) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan oleh BLU kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya.
(4) Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) selanjutnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
(5) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus
mempertimbangkan:
a. kontinuitas dan pengembangan layanan;
b. daya beli masyarakat;
c. asas keadilan dan kepatutan; dan
d. kompetisi yang sehat.

BAB V
PENGELOLAAN KEUANGAN BLU

Bagian Pertama

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

Perencanaan dan Penganggaran

Pasal 10
(1) BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada
Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
(2) BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan basis kinerja dan
perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya.
(4) RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang
diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.

Pasal 11
(1) BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk
dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau
Rancangan APBD.
(2) RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan usulan standar
pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang, akan dihasilkan.
(3) RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD
diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya,
sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan
APBD.
(4) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali
standar biaya dan anggaran BLU. dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana
kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD sebagai bagian dari
mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD.
(5) BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar
penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.

Bagian Kedua
Dokumen Pelaksanaan Anggaran

Pasal 12
(1) RBA BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) digunakan sebagai
acuan dalam menyusun dokumen pelaksanaan anggaran BLU untuk diajukan
kepada Menteri Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dokumen pelaksanaan anggaran BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mencakup seluruh pendapatan dan belanja, proyeksi. arus kas, serta
jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang yang akan dihasilkan oleh BLU.
(3) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling lambat tanggal 31 Desember
menjelang awal tahun anggaran.
(4) Dalam hal dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
belum disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya,
BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka dokumen
pelaksanaan anggaran tahun lalu.
(5) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri
Keuangan/PPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi lampiran dari
perjanjian kinerja yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, dengan
pimpinan BLU yang bersangkutan.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

(6) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri


Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD
oleh BLU.

Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, pengajuan, penetapan, perubahan RBA
dan dokumen pelaksanaan anggaran BLU diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Ketiga
Pendapatan dan Belanja

Pasal 14
(1) Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai
pendapatan BLU.
(2) Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat
dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan
pendapatan operasional BLU.
(3) Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan
pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan.
(4) Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya merupakan
pendapatan bagi BLU.
(5) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dapat
dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11.
(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga atau
pendapatan bukan pajak pemerintah daerah.

Pasal 15
(1) Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang
dituangkan dalam RBA definitif.
(2) Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan
kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran,
mengikuti praktek bisnis yang sehat.
(3) Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA.
(4) Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan/
gubernur/bupati/walikota atas usulan menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD,
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Dalam hal terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan
anggaran dari APBN/APBD kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya.
(6) Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

Bagian Keempat
Pengelolaan Kas

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

Pasal 16
(1) Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut:
a. merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;
b. melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan;
c. menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
d. melakukan pembayaran;
e. mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan
f. memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan
tambahan.
(2) Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat.
(3) Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan
Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Rekening bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibuka oleh pimpinan
BLU pada bank umum.
(5) Pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan
sebagai investasi jangka pendek pada instrumen keuangan dengan risiko rendah.

Bagian Kelima
Pengelolaan Piutang dan Utang

Pasal 17
(1) BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa,
dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung
dengan kegiatan BLU.
(2) Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan,
dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan
praktek bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat yang
berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang.
(4) Kewenangan penghapusan piutang secara berjenjang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18
(1) BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional dan/atau
perikatan peminjaman dengan pihak lain.
(2) Utang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan,
dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.
(3) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka pendek
ditujukan hanya untuk belanja operasional.
(4) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka panjang
ditujukan hanya untuk belanja modal.
(5) Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara berjenjang
berdasarkan nilai pinjaman.
(6) Kewenangan peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

(7) Pembayaran kembali utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
tanggung jawab BLU.
(8) Hak tagih atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang
tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.

Bagian Keenam
Investasi

Pasal 19
(1) BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan
Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan
BLU.

Bagian Ketujuh
Pengelolaan Barang

Pasal 20
(1) Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan
ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.
(2) Kewenangan pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota.

Pasal 21
(1) Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan/atau
dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis.
(2) Pengalihan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan.
(3) Penerimaan hasil penjualan barang inventaris sebagai akibat dari pengalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pendapatan BLU.
(4) Pengalihan dan/atau penghapusan barang inventaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaporkan kepada menteri/ pimpinan
lembaga/kepala SKPD terkait.

Pasal 22
(1) BLU. tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas
persetujuan pejabat yang berwenang.
(2) Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan jenis
barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pengalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pendapatan BLU.
(4) Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dilaporkan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait.
(5) Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas
pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

(1) Tanah dan bangunan BLU disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik
Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.
(2) Tanah dan bangunan yang tidak digunakan BLU untuk penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsinya dapat dialihgunakan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala
SKPD terkait dengan persetujuan Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Kedelapan
Penyelesaian Kerugian

Pasal 24
Setiap kerugian negara/daerah pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar
hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah.

Bagian Kesembilan
Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan

Pasal 25
BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan dan
praktek bisnis yang sehat.

Pasal 26
(1) Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen
pendukungnya dikelola secara tertib.
(2) Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia.
(3) Dalam hal tidak terdapat standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
BLU dapat menerapkan standar akuntansi industri yang spesifik setelah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan.
(4) BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan mengacu pada
standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya dan ditetapkan
oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 27
(1) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) setidak-
tidaknya meliputi laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan
arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja.
(2) Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU
dikonsolidasikan dalam laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Lembar muka laporan keuangan unit-unit usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dimuat sebagai lampiran laporan keuangan BLU.
(4) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
berkala kepada, menteri/pimpinan lembaga/gubernur/ bupati/ walikota, sesuai
dengan kewenangannya, untuk dikonsolidasikan dengan laporan keuangan
kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat . (1) disampaikan kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD serta kepada Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, paling
lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir.

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

(6) Laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan
pertanggungjawaban keuangan kementerian negara/lembaga/ SKPD/ pemerintah
daerah.
(7) Penggabungan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintahan. ,
(8) Laporan pertanggungjawaban keuangan BLU diaudit oleh pemeriksa ekstern
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesepuluh
Akuntabilitas Kinerja

Pasal 28
(1) Pimpinan BLU bertanggung jawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai
dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA.
(2) Pimpinan BLU mengihktisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara
terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1).

Bagian Kesebelas
Surplus dan Defisit

Pasal 29
Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas
perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan
mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.

Pasal 30
(1) Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran
berikutnya kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan
lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan
anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD
tahun anggaran berikutnya.

BAB VI
TATA KELOLA

Bagian Pertama
Kelembagaan, Pejabat Pengelola, dan Kepegawaian

Pasal 31
Dalam hal instansi pemerintah perlu mengubah status kelembagaannya untuk
menerapkan PPK-BLU, perubahan struktur kelembagaan dari instansi pemerintah
tersebut berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung
jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Pasal 32
(1) Pejabat pengelola BLU terdiri atas:

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

a. Pemimpin;
b. Pejabat keuangan; dan
c. Pejabat teknis.
(2) Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi sebagai
penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang berkewajiban:
a. menyiapkan rencana strategis bisnis BLU;
b. menyiapkan RBA tahunan;
c. mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; dan
d. menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan
BLU.
(3) Pejabat keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi
sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban:
a. mengkoordinasikan penyusunan RBA;
b. menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU;
c. melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja;
d. menyelenggarakan pengelolaan kas;
e. melakukan pengelolaan utang-piutang;
f. menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi BLU;
g. menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan; dan
h. menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.
(4) Pejabat teknis BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berfungsi
sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang berkewajiban:
a. menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya;
b. melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan
c. mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya.

Pasal 33
(1) Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri sipil
dan/atau tenaga profesional non-pegawai negeri sipil sesuai dengan kebutuhan
BLU.
(2) Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU
yang berasal dari pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian.

Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengawasan

Pasal 34
(1) Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD
terkait.
(2) Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan/PPKD sesuai
dengan kewenangannya.
(3) Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat dibentuk dewan pengawas.
(4) Pembentukan dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku
hanya pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

realisasi anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi syarat minimum
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan
keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan.
(6) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah daerah dibentuk dengan
keputusan gubernur/bupati/ walikota atas usulan kepala SKPD.

Pasal 35
(1) Pemeriksaan intern BLU dilaksanakan oleh satuan pemeriksaan intern yang
merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah pemimpin BLU.
(2) Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilaksanakan oleh pemeriksa ekstern sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Remunerasi

Pasal 36
(1) Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan
remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme
yang diperlukan.
(2) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota atas usulan
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.

BAB VII
KETENTUAN LAIN

Pasal 37
(1) Investasi yang telah dimiliki atau dilakukan oleh instansi pemerintah pada badan
usaha dan/atau badan hukum sebelum ditetapkan menjadi PPK-BLU dianggap
telah mendapat persetujuan investasi dari Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) pada saat instansi pemerintah
dimaksud ditetapkan menjadi PPKBLU.
(2) Dengan Peraturan Pemerintah ini, status Badan Usaha Milik Negara yang
berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) beralih menjadi instansi pemerintah yang
menerapkan PPK-BLU.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38
Perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara dengan kekayaan negara yang
belum dipisahkan dapat menerapkan PPK BLU setelah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Pasal 39
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Badan Usaha Milik Negara yang
berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) yang statusnya beralih menjadi PPK-BLU

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
L -1

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), wajib melakukan penyesuaian dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 31 Desember 2005.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat 1
(satu) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Pasal 41
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Juni 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Juni 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 48

Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Gladys Raditya Sartika, FH UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai