Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversible dan bersifat progresif (Depkes RI,
2004). Indikator diagnosis PPOK adalah penderita diatas usia 40 tahun,
dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten,
batuk kronik, produksi sputum kronik. Biasanya terdapat riwayat pejanan
rokok, asap atau gas berbahaya didalam lingkungan kerja atau rumah.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan pada tahun
2002 PPOKtelah menempati urutan kelima penyebab utama kematian
setelah penyakit kardiovaskuler (WHO, 2002).Diperkirakan pada tahun
2030 akan menjadi penyebab kematian ketigadi seluruh dunia. Menurut
American Lung Association(ALA), PPOKmerupakan penyebab utama
keempat kematian di Amerika Serikat. Hasil survei penyakit tidak menular
oleh Direktur Jendral PPM &PL di 5 Rumah Sakit di Indonesia (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan)pada
tahun 2004, PPOKmenempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%) (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan sudut pandang fisioterapi, pasien PPOKmenimbulkan
berbagai tingkat gangguan yaitu impairmentberupa nyeri dan sesak nafas,
oedema, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun,
perubahan postur tubuh, functionallimitationmeliputi gangguan aktivitas
sehari-hari karena keluhan-keluhan tersebut diatas dan pada tingkat
participation retrictionyaitu berat badan menjadi menurun. Modalitas
fisioterapi dapat mengurangi bahkan mengatasi gangguan terutama yang
berhubungan dengan gerak dan fungsi diantaranya mengurangi nyeri dada
dengan menggunakan terapi latihan yang berupa breathing exerciseakan
mengurangi spasme otot pernafasan, membersihkan jalan napas, membuat
menjadi nyaman, melegakan saluran pernapasan (Helmi, 2005).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peran fisioterapi
pada pasien PPOKsangatlah bermanfaat, maka dari itu penulis ingin
mempelajari lebih lanjut tentang metode penanganan fisioterapi pada
kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)eksaserbasi akut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja konsep dari PPOK ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada kasus PPOK ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dari PPOK.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan asuhan keperawatan kasus PPOK
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan fisiologi Paru-paru


Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri
dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-
gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika
dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah
terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan
dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000
buah (paru-paru kiri dan kanan).
Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :
1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra
superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh
lobulus. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah
segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis,
dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini
masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus
2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus
inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil
bernama segment. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima)
buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada
inferior.
Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan
ikal yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-
saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam
lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang
ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.
Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam
menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan
sebagai berikut :
1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru
pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita
dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap
dan bentuk seseorang,
2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah
ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru
dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter
3. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara.
Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-
paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)
4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16
– 18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30
x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah,
misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat
dan sebaliknya

2.2 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstruktive
Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu
kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah asma bronchial, bronchitis
kronik dan emphysema paru-paru.Sering juga penyakit-penyakit ini
disebut dengan Chronic Obstruktive Lung Disease (COLD) (Somantri,
2009).
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara disaluran nafas yang bersifat progresif non reversible atau
revesibel parsial. PPOK merupakan gabungan dari bronkitis kronik,
emfisema atau gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2003 ). PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencangkup
bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma.
PPOK merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan
dispneu saat beraktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar paru-paru
( Smeltzer &Bare, 2002 ).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru kronis ditandai
dengan adanya hambatan aliran udara yang masuk dan keluar paru, dengan
penyakit yang menyertainya adalah asma bronchial, bronchitis kronik,
bronkiektasis dan emphysema paru.

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Menurut Smeltzer & Bare (2002), penyakit yang termasuk
dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronikadalah sebagai berikut:
a. Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari
disertaipengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu
tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
b. Emfisema paru
Emfisema paru adalah distensi abnormal ruang udara di luar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini
merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan
lambat selama beberapa tahun. Merokok merupakan penyebab utama
emfisema.Pada sedikit klien terdapat predisposisi familial terhadap
emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma,
defisiensi antitrypsin α-1, yang merupakan suatu enzim inhibitor.
Tanpa enzim inhibitor, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan
paru. Individu yang secara genetik sensitif terhadap faktor-faktor
lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen),
pada waktunya mengalami gejala-gejala obstruktif
c. Asma
Asma adalah penyaki jalan napas obstruktif intermiten, reversibel di
mana trakea dan bronkiolus berespon dalam secara hiperaktif terhadap
stimulus tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan
napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. Asma dapat
terjadi pada sembarang orang, sekitar setengah dari kasus terjadi pada
anak-anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelumusia 40 tahun.
d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan
obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda
dari saluran pernafasan atas dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah
yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe.

2.4 Etiologi
PPOK disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang
sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab
utama timbulnya 80-90% kasus PPOK. Faktor resiko lainnya termasuk
keadaan sosial-ekonomi dan status pekerjaan yang rendah, kondisi
lingkungan yang buruk karena dekat lokasi pertambangan, perokok pasif
atau terkena polusi udara dan konsumsi alkohol yang berlebihan. Laki-laki
dengan usia antara 30-40 tahun paling banyak menderita PPOK.

2.5 Faktor Risiko


PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase
eksaserbasi akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut
terjadi perburukan yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang
disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan ditandai dengan suatu
manifestasi klinis yang memberat.Secara umumresiko terjadinya
PPOKterkait denganjumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang
individu selama hidupnya serta berbagai faktor dalam individu itu sendiri
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gasyang noxiusatau berbahaya, asap rokok
merupakan salah satu penyebab utama,kebiasaan merokok merupakan
faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK. Asap rokok yang dihirup
serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada kejadian PPOK
karena mempengaruhi tumbuh kembang parujanindalam uterus. Sejak
lamatelah disimpulkanbahwa asap rokok merupakan faktor risiko
utama dari bronkitis kronis dan emfisema. Serangkaian penelitian telah
menunjukkan terjadinya percepatan penurunan volume udara yang
dihembuskan dalam detikpertama dari manuver ekspirasi paksa
(FEV1) dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok,
yang ditunjukkan secara spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata
jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari dikalikan dengan jumlah
total tahun merokok).Walaupun hubungan sebab akibat antara
merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun
reaksi dari merokok ini masih sangat bervariasi. Merokok merupakan
prediktor signifikan yang paling besar pada FEV1, hanya 15% dari
variasi FEV1yangdapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun.
Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau
faktor genetik sebagai kontributor terhadap dampak merokok pada
perkembangan obstruksi jalan nafas.
2. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat
diakibatkanolehpaparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan
pekerjaan yang khas termasuk penambangan batu bara, panambangan
emas, dan debu kapas tekstil telah diketahuisebagai faktor risiko
obstruksi aliran udara kronis.
3. Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada
orang-orang yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan
dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan, yang berhubungan
dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada wanita
bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di
dalam ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah
dikatakan sebagai kontributor yang potensial.
4. Infeksi Berulang Saluran
RespirasiInfeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko
potensial dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang
dewasa, terutama infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi saluran
respirasi pada masaanak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor
predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.
5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap
berbagai stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah
salahsatu ciri-ciri dari asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK
juga memiliki ciri-ciri jalan nafas yang hiperesponsif. Pertimbangan
akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK dalam
kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal
mengarahkan kepada perumusan hipotesis Dutchyang menegaskan
bahwa asma, bronkitis kronis, dan emfisema merupakan variasi dari
dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor lingkungan dan
genetik untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata.
6. Defisiensi α1 Antitrypsin(α1AT)
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya
PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang
mewarisi defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa
faktor genetik memilikipengaruh terhadap kecenderungan untuk
berkembangnya PPOK.α1AT adalah suatu anti-protease yang
diperkirakan sangat penting untuk perlindungan terhadap protease
yang terbentuk secara alami oleh bakteri, leukosit PMN, dan monosit.

2.6 Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada
PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran
nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang
dikarenakan danya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural
pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil
dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam
dinding luar salurannafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas.
Lumen saluran nafas kecil berkurangakibat penebalan mukosa yang
mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. Dalam
keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan
sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas
polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan
mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan
menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti
interleukin 8 dan leukotrienB4,tumuor necrosis factor (TNF),monocyte
chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive oxygen species(ROS). Faktor-
faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang
akanmerusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan
dinding alveolar danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan
menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan
seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapatkeseimbangan
antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan
makrofagdan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen
menjadi anion superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase.
Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH
dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero
denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh
radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas.
Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema
karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit, polusi dan
asap rokok.

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala antara lain batuk, produksi sputum, sesak nafas, dan
keterbatasanaktivitas. Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK
terjadi bukan hanyaakibat dari adanya kelainan obstruksi saluran nafas
pada parunya saja tetapi jugaakibat pengaruh beberapa faktor, salah
satunya adalah penurunan fungsi ototskeletal.Adanya disfungsi otot
skeletal dapat menyebabkan penurunan kualitashidup penderita karena
akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK.Penurunan aktivitas
pada kehidupan sehari hari akibat sesak nafas yang dialamipasien PPOK
akan mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya (Celli,B. R.
MacNee, W. Agusti, A danAnzueto, A. 2004 dalam Siti Khotimah, 2013).
1. Batuk yang sangat produktif, puruken dan mudah memburuk oleh
iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi
2. Sesak nafas dan dipsnea
3. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan
dada mengembang.
4. Hipoksia dan hiperkapnea
5. Takipnea
6. Dipsnea yang menetap
2.8 Komplikasi
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nialai Pa02 < 55 mmHg,
dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan
mengalmi perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi
pelupa. Pada tahap lajut akan timbul sianosis
b. Asidosis Respiratori
Rimbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2(hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala,fatigue,letargi,dizzines,dan takipnea.
c. Infeksi Respirator
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas
dan timbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi
klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respirator
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan,
dan sering kali tidak berespons terhadap terapi yang biasa diberikan.
Penggunan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali
terlihat pada klien dengan asma.
2.9 PemeriksaanDiagnostik
Pemeriksaandiagnostikuntukpasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,
untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma,
penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi
kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit
kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau
meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun
pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada
inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema),
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk
meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau
gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian
gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian
gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis
vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam
mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi
bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.

2.10 PenatalaksanaanMedis
PenatalaksanaanmedisdariPenyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:
a. Berhenti merokok harus menjadi prioritas.
b. Bronkodilator (β-agonis atau antikolinergik) bermanfaat pada 20-
40% kasus
c. Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam
memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu pasien
dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV 1 sebesar 1,5 L).
d. Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan manfaat
simtomatik yang signifikan pada pasien dengan pnyakit sedang-
berat.
Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan
perbaikan dengan meningkatkan elastic recoil sehingga
mempertahankan patensi jalan nafas. (Davey, 2002)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

A. Pengkajian
1. Data Umum
Identitas Klien
Nama : Ny. A
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Kp. Limus, RT 02/10, Kel.Maruyung, Kec. Pacet,
Kab. Bandung
Tanggal Masuk : 19 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 20 Januari 2019
Diagnosa Medis : PPOK

Identitas Penanggungjawab
Nama : Ny. I
Umur : 26 tahun
Hubungan dengan klien : Anak
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Kp. Limus, RT 02/10, Kel.Maruyung, Kec. Pacet,
Kab. Bandung

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : Klien mengeluh sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Klien mengeluh sesak nafas, sesak dialami
2 hari sebelum masuk Rumah Sakit, sesak bertambah terus menerus
walaupun sedang istirahat. Klien merasa sesaknya berkurang setelah
dipasang oksigen. Klien juga mengeluh batuk selama seminggu, batuk
disertai dengan dahak namun dahak sulit untuk keluar.
c. Riwayat kesehatan dahulu : Klien tidak mempunyai riwayat penyakit
serius seperti TB, DM, hipertensi, jantung dan riwayat penyakit lain
d. Riwayat kesehatan keluarga : Tidak ada keluarga dengan riwayat
penyakit yang sama
3. Pola Fungsi Kesehatan Gordon
a. Pola persepsi dan menajemen kesehatan :
Klien selalu berobat ke dokter atau Rumah Sakit ketika sakit dan klien
merasa membaik ketika sudah berobat
b. Pola Nutrisi Metabolik
Klien mengatakan mengalami penurunan nafsu makan, hanya sedikit
makanan yang masuk
c. Pola Eliminasi
Klien mengalami susah BAB, klien baru 1 kali BAB semenjak masuk ke
Rumah Sakit
d. Pola Aktivitas dan Latihan
Aktivitas klien terganggu dikarenakan sesak nafas dank lien tampak
lemas
e. Pola Kognitif
Tidak terganggu
f. Pola Persepsi - Konsep Diri
Tidak terganggu
g. Pola Tidur dan Istirahat
Klien tidak mengalami kesulitan tidur, klien tidur dengan nyenyak
h. Pola Peran – Hubungan
Tidak terganggu
i. Pola Seksual – Reproduksi
Tidak terganggu
j. Pola Nilai – Kepercayaan
Klien tidak melaksanakan shalat 5 waktu selama masuk RS
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Komposmentis dengan GCS 15 E4M6V5
b. Tanda Vital
TD : 130/70 mmHg
N : 70x/menit
S : 36,10c
RR : 29x/menit
Saturasi O2 : 98
c. Kepala
Kepala klien tampak sedikit kotor, rambut klien tampak lengket dan
rontok
d. Mata
Mata klien tampak simetris, sklera tidak kuning, konjungtiva tidak
anemis, penglihatan klien sudah mulai kabur
e. Hidung
Pada saat pemeriksaan fisik, pada bagian hidung, hidung klien tampak
bersih, tidak ada kotoran, bentuk hidung tampak simetris, klien
menggunakan pernafasan cuping hidung saat bernafas dan klien
terpasang oksigen nasal kanul.
f. Telinga
Bagian telinga klien saat pemeriksaan fisik, telinga klien tampak bersih,
pina sejajar dan simetris.
g. Mulut
Bagian telinga klien saat pemeriksaan fisk, bagian mulut klien tampak
bersih, bibir klien tampak sedikit kering.
h. Leher
Pemeriksaan pada bagian leher, leher klien tampak sedikit kotor, leher
tampak simetris, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, namun
tampak peningkatan JVP
i. Dada dan Punggung
Pada pemeriksaan fisik pada bagian dada dan punggung, dada dan
punggung tampak simetris, pada bagian dada tidak terdapat kemerahan
dan klien tampak menggunakan otot bantu pernafasan. Saat diauskultasi
terdengar suara tambahan dibagian dada (ronchi).
j. Abdomen
Pada bagian abdomen saat pemeriksaan fisik, abdomen klien tampak
bersih, tampak simetris, tidak teraba distensi pada absome, tidak ada
asites (penumpuk cairan pada bagian perut)
k. Ekstremitas
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada bagian ekstremitas,
ekstremitas klien bagus tidak ada edema, teraba akral hangar dan tidak
mengalami gangguan.
l. Genitalia
Pada pemeriksaan fisik pada genitalia, genitalia klien tampak bersih
karena setelah BAK klien selalu membersihkannya.
m. Anus
Pada saat pemeriksaan fisik, anus klien bersih dan tidak ada gangguan.

5. Data penunjang
a. Pemeriksaan Darah :
Hb : 15,4 gr/dl (normal : 12-18 gr/dl)
Leukosit : 8600/mm3 (normal : 4000-10000/mm3)
Hematokrit : 47% (normal : 37-48%)
Trombosit : 238.000/mm3 (normal : 150000-400000/mm3)
GDS : 114 mg/dl (normal : <150 mg/dl)
b. Pemeriksaan EKG
Tak tampak aktif KP atau BP, tak tampak pembesaran pada jantung,
bronchitis, asmaticus)
6. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 Ds : klien mengeluh Pola Nafas
sesak nafas Tidak Efektif
Do :
- RR : 29x/menit
-N : 72x/menit
- TD : 130/70 mmhg
- S : 36,10c
- Sat 02
- klien tampak
menggunakan otot
bantu nafas
- klien tampak
menggunakan
pernafasan cuping
hidung
- klien tampak
terlihat sesak
-
2 Ds : klien Pencetus serangan alegen, Intoleransi
mengatakan emosi, stress, obat-obatan, Aktivitas
kesulitan untuk infeksi
beraktifitas
dikarenakan jika Spasme otot bronkiolus
beraktivitas, klien
merasa sesak nafas Diameter bronkiolus mengecil
bertambah.
Do : - klien tampak Dispneu
lemas, lemah dan
terlihat menahan Intoleransi Aktivitas
nyeri karena sesak
RR : 29x/menit
-N : 72x/menit
- TD : 130/70 mmhg
- S : 36,10c
3 Ds : klien Pencetus serangan alegen, Bersihan
mengatakan batuk emosi, stress, obat-obatan, jalan nafas
sudah seminggu dari infeksi tidak efektif
sebelum masuk RS,
batuk terasa sakit Sekresi mucus ke dalam
dan sulit bronkiolus
mengeluarkan dahak
Do : Diameter bronkiolus mengecil
- klien tampak
kesulitan bernafas Bersihan jalan nafas tidak
- saat diasukultasi efektif
terdengar suara
ronchi
- terdapat dahak
-RR : 29x/menit
-N : 72x/menit
- TD : 130/70 mmhg
- S : 36,10c
- sat 02 : 98

-
INTERVENSI
DX TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK ) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Suddarth, Brunner, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC
Somantri, Irman, 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien) Edisi 3. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai