Anda di halaman 1dari 13

PEMBUATAN BIO-HYDROGENATED DIESEL DENGAN PROSES

KATALITIK HYDROTREATING DARI MINYAK SAWIT DENGAN


KATALIS NiMoS2 / γ-Al2O3

ABSTRAK

Hydrotreating katalitik dari minyak kelapa sawit (olahan) untuk menghasilkan


bio-hydrogenated diesel (BHD) dilakukan dalma reaktor fixed bed terus menerus
dengan menggunakan katalis NiMoS2 / γ-Al2O3. Efek dominan dari parameter
hydrotreating : Suhu 270 - 420℃; Tekanan Hidrogen 15 – 80 bar; LHSV 0,25 – 5
h-1; rasio H2/minyak 250-2000 N(cm3/cm3) pada konversi hasil produk, kontribusi
hidrodeoxygenation dam decarbonylation/decarboxylation diselidiki untuk
menemukan yang optimal untuk kondisi hydrotreating. Semua perhitungan
termasuk hasil produk dan kontribusi HDO dan DCO/DCO2 sangat diperkirakan
berdasarkan keseimbangan mol yang sesuai dengan komposisi asam lemak dalam
umpan untuk sepenuhnya memahami perilaku deoksigenasi pada kondisi yang
berbeda. Perbedaan dalam reaksi hydrotreating, komposisi produk cair dan
komposisi produk gas juga dibahas.

1. introduction
Pengembangan biodiesel dari minyak nabati menjadi kunci penting untuk
energi masa depan karena menipisnya bahan bakar minyak bumi . saat ini ada
dua konversi katalitik utama proses asam bebas lemak untuk biofuel mesin
diesel : (1) transesterifikasi/esterifikasi untuk menghasilkan biodiesel dan (2)
proses hydrotreating untuk menghasilkan diesel terbarukan atau biasa disebut
diesel bio-hydrated atau green diesel. Diproduksi dengan trigliserida yang di
transesterifikasi dan asam lemak yang di esterifikasi dengan metanol dalam
kisaran suhu 65-100℃. Asam lemak metil ester (FAMEs) atau biodiesel telah
digunakan sebagai komponen dalam pencampuran diesel (Chen et al., 2013).
Namun, beberapa kerugian biodiesel dibandingkan bahan bakar minyak bumi
adalah ikatan C=C dan C=O yang tersisa dalam molekul FAME menghasilkan
stabilitas thermal dan oksidasi yang rendah karena kandungan oksigennya
tinggi, viskositas tinggi dan nilai kalor yang rendah (Liu et al., 2011).
Karena kekurangan tersebut BHD yang memiliki struktur molekul yang
sama dengan bahan bakar minyak bumi dan memiliki sifat diesel yang lebih
baik telah menarik perhatian beberapa dekade terakhir. BHD dapat di produksi
dengan menghidrolisa trigliserida melalui 3 reaksi utama antara lain
decarbonylation, decarboxylation and hydrodeoxygenation ( Faungnawakij and
suroye, 2013; kubicka and kaluza,2010) , sehingga menghasilkan alkana rantai
lurus mulai dari C15 sampai C18 pada 350-450℃ dengan adanya H pada 50-150
bar (Choudhary dan philips, 2011; Donnis et al., 2009). Pertama, reaksi
berlangsung melalui hidrogenasi trigliserida tak jenuh (C=C) membentuk
trigliserida jenuh (Ochoa-Hernandez et al., 2013), diikuti oleh hidrogenolisis
trigliserida jenuh yang menghasilkan asam lemak dan propana. Asam lemak
melalui reaksi : (1) hydrodeoxygenation (HDO) , reaksi isothermis
menghilangkan oksigen dalam bentuk air dan menghasilkan n-alkana dengan
rantai carbon yang sama dengan asam lemak yang sesuai, (2) decarbonylation
(DCO) (3) decarboxylation (DCO2), reaksi endothermis menyebabkan
eliminasi masing-masing oxygen dalam bentuk CO dan air atau CO2.
Konsekuensi n-alkana kehilangan 1 atom carbon dibandingkan asam lemak (
Gong et al., 2012a; Mathias Snare et al., 2006).
Ada dua jenis katalis yang sering digunakan dalam hydrotreating
trigliserida antara lain : (1) Katalis logam seperti Ni, Pd, Pr, Rh, RU ( Mathias
Snare et al., 2006; Morgan et al., 2012; Onyestyak et al., 2012; Santillan-
Jimenez et al.,2013) dan (2) Katalis bimetallic Sulfide seperti NiMoS2,
CoMoS2, and NiWS2 didukung oleh Al2O3 (Hancsok et al.,2012; Kubicˇka and
Kaluzˇa, 2010; Liu et al., 2011; Yang et al.,2013). Katalis logam
menguntungkan untuk DCO dan DCO2 sedangkan HDO dominan
menggunakan katalis bimetallic sulfide kecuali NiWS2. Beberapa katalis logam
seperti Ni, Pd dan Pt sangat mendorong reaksi metanasi dan mengkonsumsi
hidrogrn dalam jumlah besar. Selain itu menggunakan katalis NiMoS2 dan
CoMoS2 dengan selektivitas HDO yang baik dapat dioperasikan dalam suhu
yang lebih rendah karena sifat reaksi isothermis. Pembentukan CO dan CO2
dapat mempengaruhi hasil produk, penonaktifan katalis dan proses hilir untuk
gas daur ulang (Donnis et al., 2009). Karena itu menggunakan katalis bimetallic
sulfide NiMoS2 yang merupakan aktifitas tinggi (Toba et al., 2011) dan selektif
terhadap HDO sangat menarik untuk proses hydrotreating.
Efek dari hydrotreating ketika menggunakan katalis bimetallic sulfide
dieksplorasi dalam berbagai literatur. Hasil menunjukkan suhu WHSV/LHSV,
tekanan hidrogen dan rasio H2/minyak sebagai parameter operasi yang
signifikan yang dapat mengubah jalur reaksi dalam proses hydrotreating
(Bezergianni et al., 2011, 2010a,b Bezergianni and Kalo-gianni, 2009). Lebih
jauh lagi aktifitas relatif dari reaksi DCO/ DCO2 dan reaksi HDO sebagai kunci
penting dalam proses hydrotreating dipertimbangkna untuk mengevaluasi
konsumsi hidrogen, hasil produk, keseimbangan panas dan penonaktifan
katalis(Donnis et al., 2009; Satyarthi et al., 2013). Namun banyak peneliti
memperkirakan aktivitas relatif DCO/ DCO2 dan reaksi HDO menggunakan
rasio jumlah n-alkana dengan jumlah atom karbon ganjil dengan n-alkana
jumlah atom karbon genap dalam produk cair (Gong et al.,2012b; Kim et al.,
2013; Liu et al., 2012). Estimasi ini tidak dapat memberikan kontribusi relatif
aktual terhadap reaksi HDO dan DCO/DCO2 dengan analisis keseimbangan
mol. Akibatnya pemahaman yang komprehensif berpengaruh sangat penting
terhadap parameter reaksi pada 3 jalur reaksi utama dengan menggunakan
analisis keseimbangan mol.
Dalam karya ini efek dari parameter operasi penting dalam proses
hydrotreating trigliserida dalam minyak kelapa sawit untuk diesel yang
dihidrogenasi dengan katalis bimetallic sulfide NiMoS2 / γ-Al2O3 dalam reaktor
fixed bed termasuk temperatur (270-420℃) tekanan H2 15-80 bar, LHSV 0,25-
1,0 h-1 dan rasio H2 / minyak (250-2000 N (cm3/cm3)) diselidiki. Memang
pemahaman parameter ini tentang kontribusi reaksi HDO, DCO dan DCO2
penting untuk mendapatkan kondisi operasi dan pembatasan yang optimal.
2. Experimental
2.1 persiapan katalis
γ-Al2O3 (d = 1,8 mm, sasol company jerman) dihancurkan dan diayak
menjadi diameter 0,5 – 1 mm. Katalis NiMoS2 yang didukung oleh γ-
Al2O3 dibuat dengan impregnasi berurutan. Pertama Mo didukung dengan
γ-Al2O3 dengan mengimpregnasi larutan ammonium heptamolybdate
tetrahydrate ((NH4)6Mo7O24.4H2O) (Carlo Erba Reagent, Italy) setelah
sampel dikeringkan pada suhu 120℃ selama 12 jam didapatkan Mo/ γ-
Al2O3. Kemudian impregnasi larutan berair nikel nitrat heksahidrat
(Ni(NO3)2.6H2O) (Sigma–Aldrich Chemical Co. LLC., Germany) ke
katalis Mo/ γ-Al2O3 dilakukan dengan cara yang sama. Sampel resonan
dikeringkan pada 120℃ selama 12 jam dikalsinasi pada 500℃ selama 5
jam untuk mendapatkan katalis NiMoS2 / γ-Al2O3 dengan memuat Mo3
dan NiO masing-masing 14% berat dan 3,5% berat

2.2 Hydrotreating katalitik


Hydrotreating katalitik minyak goreng hasil penyulingan kelapa sawit
mentah dilakukan dalam reaktor fixed bed dengan diameter internal 7 mm,
panjang 300 mm dan volume 12 cm. Diagram skematis dari peralatan
eksperimental ditunjukkan pada Gambar S1. Minyak olahan dari sawit
diperoleh secara komersial dari pasar lokal di thailand. Komposisi asam
lemak minyak goreng hasil penyulingan kelapa sawit mentah adalah
sebagai berikut : asam laurat 0,4%; asam miristat 0,8% ; asam palmitat
0,2% asam stearat 3,6% ; asam oleat 45,8% ; asam linoleat 11,1% asam
linomelik 0,3%; asam arakidat 0,3% dan asam eicosenoic 0,1% (Viriya-
Empikul et al., 2010). Katalis (8,5 g) dimasukkan ke dalam reaktor dan di
presulfida menggunakan campuran 1 wt karbon disulfida dalam heksana.
Kondisi presulfidasi dilakukan dalam laju alir H2 200 cm3/min dengan
tekanan 20 bar. Temperatur ditingkatkan dari 30 hingga 150℃
(10℃/menit) dan kemudian ke suhu target 300℃ (1℃/menit). Sementara
katalis ditahan pada 300℃ selama 15,5 jam. Dalam pengujian reaksi,
reaktor dipanaskan sampai suhu yang diinginkan dan diberi tekanan
dengan H2 ke tekanan yang diinginkan yang dikendalikan oleh regulator
tekanan balik. Pompa HPLC digunakan untuk memperkenalkan umpan
minyak sedangkan umpan H2 dikendalikan oleh massa. Pengendalian
aliran setelah presulfidasi, katalis distabilkan dengan mengalirkan umpan
melalui reaktor selama 24 jam sebelum percobaan aktual dilaksanakan.
Kondisi reaksi adalah sebagai beriku : suhu hydrotreating 270-420℃,
tekanan H2 15-80 bar, Rasio Hafoil, kecepatan ruang per jam cair (LHSV)
0,25 – 5 h-1 dan rasio H2 / minyak 250-2000 N(cm3/cm3). Setiap parameter
reaksi dievaluasi dengan menggunakan katalis segar untuk menghilangkan
efek katalis, menonaktifkan selama percobaan. Eksperiment duplikat
dengan katalis segar dilakukan dalam beberapa kasus dengan kesalahan
kurang dari 5% dari hasil berulang sementara percobaan rangkap tiga
dengan katalis yang sama juga dilakukan untuk semua kasus dengan
kesalahan kurang dari 3% dari hasil yang diulang. Produk cair
dikumpulkan setiap interval waktu 3 jam untuk analisis.

2.3 Analisis Produk


Produk cair setelah pemisahan fase air dianalisis secara offline dengan
gas kromatografi yang dilengkapi dengan kolom kapiler (DB-1HT, 30 m x
0,32 mm x 0,1 µm) dan detektor ionisasi nyala (FID). Kurva kalibrasi
standar digunakan untuk mengukur suatu komposisi n-alkana (n-C8 hingga
n-C18) dalam produk cair. Secara singkat, 50 mg sampel diencerkan dengan
1 ml heksana dan 1 µL sampel diinjeksikan ke dalam GC dengan rasio split
100 injeksi tinggi dan kolom suhu digunakan untuk mengarahkan analisis
trigliserida tanpa derivatisasi kimia (Anand and Sinha ,2012; Peng et al.,
2012). Suhu injeksi dan detektor masing-masing adalah 340 dan 370℃.
Program suhu meningkat dari 40 menjadi 270℃ pada tingkat 8℃/min, dan
ditahan selama 11 menit diikuti oleh peningkatan 15℃/menit menjadi
370℃ dan ditahan selama 15 menit. Komposisi produk gas (C3H8, C2H6,
CH4, CO, CO2 dan H2) juga dianalisis dengan kromatografi gas online
dengan saringan molekuler 5A dan Porapak Q kolom dilengkapi dengan
detektor konduktivitas termal (TCD) (CC-14B, Shimadzu). Analisi
mendalam, keseimbangan mol produk cair organik digunakan untuk
menentukan penutupan dan hasil produk , keseimbangan mol selalu 90-
95X akurat untuk semua kondisi sebelum dan sesudah reaksi. Konversi
trigliserida didefinisikan sebagai mol trigliserida yang dikonversi menjadi
yang lain (intermediet dan hidrokarbon). Hasil produk ditentukan secara
teoritis berdasarkan pada keseimbangan mol n-alkana (n-C15-n-C18) dalam
produk yang sesuai dengan mol asam lemak (C16 dan C18 asam lemak)
dalam minyak. Hasil produk menjadi fraksi dan konversi n-C15-n-C18
dihitung menggunakan persamaan :

Persen kontribusi reaksi HDO, DCO/DCO2 juga dihitung berdasarkan


keseimbangan mo, menggunakan total mol n-alkana dengan bilanagn
ganjil (HDO) atau bilangan genap (DCO/DCO2) dari atom karbon dalam
produk untuk molasam lemak dalam umpan minyak menggunakan
persamaan berikut :
3. Hasil dan Pembahasan
Pengaruh suhu hydrotreating, tekanan hidrogen, kecepatan ruang, kecepatan
ruang per jam cair (LHSV), dan rasio hidogen terhadap minyak pada komposisi
n-lkana produk cair ditunjukkan pada tabel 1. Minyak sawit yang digunakan
dalam penelitian ini terutama terdiri dari asam lemak C16 dan C18 (>98,4%
berat) sehingga komposisi utama produk cair adalah n-alkana dari C16 dan C18
karena reaksi HDO memiliki selektivitas tinggi dari katalis NiMoS2/ γ-Al2O3
seperti diperlihatkan dalam Tabel 1, Peningkatan suhu perlakuan air
meningkatkan reaksi perekahan dimana komposisi hidrokarbon ringan C8
sampai n-C14 diamati. Temperatur hydrotreating dan tekanan hidrogen juga
mempengaruhi 5 kontribusi produk hydrotreating (HDO dan DCO/DCO2)
untuk setiap produk n-alkana, dituangkan pada tabel 2.

3.1 Pengaruh Temperatur Hydrotreating


Temperatur reaksi telah diidentifikasikan sebagai salah satu parameter
dominan pada deaktivasi katalis dan kinerja katalis (Yang et al., 2013).
Pada bagian ini, efek dari temperatur hydrotreating dilakukan di kisaran
270-420℃ dengan kondisi operasi tetap : 50 bar Tekanan H2 , 1 jam LHSV
dan 1000 N(cm3/cm3) rasio H2/ minyak dan hasilnya ditunjukkan pada
gambar 1. Pertama harus dicatat bahwa reaksi hydrotreating terhadap γ-
Al2O3 murni menghasilkan 56% konversi trigliserida tanpa hasil produksi
BHD diperoleh ketika reaksi dikatalis oleh NiMoS2/ γ-Al2O3.
Menunjukkan aktivitas hydrotreating NiMoS2
Produk cair organik yang diperoleh dari suhu hydrotreating 270℃
menjadi padat pada suhu kamar dan terdiri dari asam palmitat dan asam
stearat dengan sejumlah kecil trigliserida. Hasil kami konsisten dengan
Simacek et al.,(2009), pada suhu hydrotreating lebih rendah dari 310℃
produk cair juga mengandung reaktan dan zat antara trigliserida, asam
lemak bebas dan n-oktadekanol (Simacek et al 2009). Hasil ini
menunjukkan bahwa reaksi berlangsung melalui hidrogenasi ikatan C=C
pada trigliserida tak jenuh, diikuti oleh pembelahan ikatan CO melalui
hidrogenolisis trigliserida jenuh untuk menghasilkan asam lemak bebas
dan propana (Peng et al., 2012; Zhao et al, 2013). Seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 1a hasil produk meningkat dari 26,7% menjadi
89,8% dengan peningkatan suhu dari 270℃ menjadi 300℃. Hasilnya
didapatkan bahwa suhu hydrotreating 300℃ berhasil mengubah trigliserida
menjadi n-alkanauntuk minyak kelapa sawit dengan katalis NiMoS2. Disisi
lain penurunan hasil produk dari 88,9% menjadi 37,9% dengan
meningkatnya suhu dari 330℃ menjadi 420℃ dapat dikaitkan dengan
reaksi isomerisasi, perekahan dan siklinasi karena hidrokarbon ringan,
isoparafin, sikliparafin dan beberapa aromatik ditemukan dalam produk
cair pada suhu reaksi tinggi 420℃. Isoparafin yang terdeteksi adalah iso-
C15 dan iso-C17 seperti 1-methylpentadecane 3-methylpentadecane dan 3-
methylheptadecane yang diseabkan oleh reaksi isomerisasi dari n-C16 dan
C18. Namun pembentukan n-alkana mungkin mengalami perekahan termal
trigliserida dibanding mengalami reaksi deoxygenasi pada suhu yang lebih
tinggi (Kim et al., 2013; Yang et al., 2013). Untungnya iso-parafin
menguntungkan dalam produk cair sehingga meningkatkan sifat aliran
dingin termasuk titik keruh dan titik tuang.
Untuk sepenuhnya memahami perilaku deoxygenasi pada
perbedaan kondisi %HDO dan DCO/DCO2 dipertimbangkan dan diwakili
dalam Gambar 1b. Hidrodeoxygenasi (HDO) besar pengaruhnya dengan
bantuan katalis NiMoS2 (Kiatkittipong et al., 2013; Veriansyah et al.,
2012). DCO/DCO2 cukup meningkat dari 4,6% menjadi 16,8% dengan
menaikkan suhu dari 270℃ ke 300℃, sedangkan peningkatan suhu dari
270℃ ke 330℃ sangat meningkatkan HDO dari 21,9% menjadi 74,9%.
Pada suhu yang lebih tinggi dari 330℃ DCO/DCO2 sedikit penurunan dan
HDO mengalami banyak penurunan saat diamati pada suhu lebih dari
360℃ karena peningkatan reaksi perekahan dan isomerisasi yang sesuai
dengan sudut pandang thermodynamic. HDO isotermis tidak suka pada
suhu yang lebih tinggi (Mathias Snare et al., 2006) Namun DCO dan DCO2
endotermis cenderung tidak mengikuti. Oleh karena itu perlu dicatat ada
reaksi kompetitif antara HDO dan DCO/DCO2 yang terjadi pada setiap
suhu.
Menurut hasil yang ada dalambagian sebelumnya, HDO(72-75%)
adalah reaksi utama sedangkan DCO dan DCO2 (13-16%) adalah reaksi
minor. Diilustrasikan dalam skema 1. Ikatan rangkap dalam trigliserda
jenuh dihidrogenasi menjadi ikatan trigliserida tak jenuh, kemudian
dibelah untuk membebaskan asam lemak dan propana (270℃). Asam
lemak bebas sebagai zat perantara yang utama teroksigenasi menghasilkan
alkohol asam lemak kemudian hidrokarbon pada temperatur lebih tinggi
dari 300℃ melewati reaksi HDO, yang mengaruh pada eliminasi air dari
minyak kelapa sawit (12-15% berat dari total liquid product). Beberapa
asam lemak bebeas dapat langsung dikonversi menjadi hidrokarbon
melalui reaksi DCO dan DCO2 sehingga masing-masing melepaskan
oksigen dalam bentuk CO, H2O dan CO2. Selanjutnya, reaksi perekahan
dan isomerisasi dapat dijalankan pada suhu diatas 360℃.
Aktivitas reaksi decarbonylation dan decarboxylation dapat
dibandingkan dengan jumlah CO dan CO2. Seperti dibahas pada bagian
sebelumnya, penurunan DCO/DCO2 hasil produk diamati pada suhu lebih
tinggi dari 330℃ sehingga menurunkan CO dan CO2 dengan
kecenderungan yang sama (Fig 1c). Hasil ini dapat dicatat bahwa laju dua
reaksi adalah sama dan reaksi ini terjjadi dengan mekanisme yang sama.
Dengan perbandingan jumlah CO dan CO2 , hasil penelitian menunjukkan
DCO2 memiliki aktivitas lebih tinggi dari DCO. Selain itu penurunan
jumlah CO dan CO2 dapat dikaitkan dengan metanasi reaksi eksotermik
antara CO atau CO2 dengan H2. Akibatnya jumlah produksi CO dan CO2
lebih tinggi diamati pada suhu reaksi 420℃. Mungkin sedikit penurunan
C2H6 antara 360-420℃ disebabkan oleh perekahan produk cair atau
perekahan langsung trigliserida dari pada perekahan C3H8 menjadi CH4
dan C2H6 yang sama dengan reaksi metana. Pada tabel 2, hasil peningkatan
HDO n-C16 dan penurunan HDO n-C18 menunjukkan bahwa perekahan n-
C18 menjadi n-C16 dan C2H6 akan terjadi pada suhu yang lebih tinggi dari
360℃.

3.2 Pengaruh Tekanan Hydrogen


Tekanan hidrogen berefek kuat terhadap deoxygenasi reaksi isomerisasi
dan reaksi perekahan merupakan parameter penting dari reaksi hidrolisis
trigliserida menjadi hidrokarbon. Selain itu konsumsi H2 harus
diperhitungkan dari evolusi ekonomis dan kondisi operasi. Dalam
percobaan ini presnsi hidrogen diselidiki dalam kisaran 15-80 bar pada
suhu hydrotreating 300℃, sementara parameter lain dipertahankan sama
seperti yang dibahas dalam bagian 3.1, untuk menghindari deaktivasi
katalis dan reaksi perekahan. Pada tekanan 15 bar produk cair tetap
sejumlah kecil asam palmitat dan asam stearat sehingga menunjukkan
transformasi asam lemak bebas menjadi n-alkana yang tidak lengkap
karena tekanan H2 yang tidak mencukupi. Demikian pula dengan Anand
and Sinha (2012) dan Kubicka et al. (2009), konversi yang rendah diamati
pada tekanan hidrogen 20 bar dan tekanan parsial yang dikurangi dari
hidrogen yang dibatasi oleh transfer massa hidrogen pada batas katalis.
Seperi ditunjukkan pada gambar 2a, tekanan hidrogen tidak berpengaruh
signifikan pada konversi trigliserida (konversi 100% diperoleh pada 15-80
bar). Hasil produk sedikit meningkat hingga 95,2% dengan meningkatnya
tekanan hidrogen dari 15 bar menjadi 80 bar. Karena tekanan H2 adalah
fungsi hidrogen yang teradsorpsi pada permukaan aktif katalis,
peningkatan tekanan hidrogen meningkatkan kelarutan hidrogen dalam
minyak nabati melintasi permukaan katalis. Seperti yang disajikan pada
gambar 2b, aktivitas HDO meningkat dari 67,8% menjadi 78,1% dengan
peningkatan tekanan H2 dari 15 bar menjadi 80 bar, tetapi sedikit
menurunkan DCO/DCO2 dari 20,1% menjadi 16,3% ketika meningkatkan
tekanan H2 dari 30 bar ke 80 bar. HDO mendominasi keseluruhan proses
dibawah tekanan karena konsumsi H2 lebih banyak dibandingkan DCO dan
DCO2 (Liu et al., 2011). Karena itu HDO lebih disukai dari pada
DCO/DCO2 karena jumlah hidrogen yang lebih besar di lokasi aktif. Disisi
lain DCO/DCO2 meningkat dengan penurunan tekanan hidrogen sebagai
hasil dari jumlah hidrogen yang rendah di permukaan katalis (Kubicka dan
Kaluza,2010). Dalam berbagai karya yang diajukan asam lemak yang
diperoleh dari hydrogenolysis trigliserida menyebabkan produksi aldehid
dengan langkah penentuan laju diikuti oleh (1) dekarboksilasi oktadekanal
menjadi n-heptadekana dan karbon monoksida atau (2) hidrogenasi
oktadekananl dengan oktanol. Kemudian hidrogenasi ke n-
oktadekana(Hydrodeoxygenasi)(Peng et al,2012:Zhao et al. 2013), perlu
dicatat bahwa peningkatan tekanan H2 dari 15 bar ke 80 bar menyebabkan
perubahan reaksi dari oktanalanal ke 1-octadecanol diikuti oleh octadecane
dan laju dekarboksilasi ditekan pada tekanan H2 tinggi. Seperti dibahas
dalam bagian sebelumnya, sejumlah besar CO dan CO2 diamati karena
reaksi DCO/DCO2 meningkat pada tekanan H2 rendah 30 bar (Gambar 2c)
Peningkatan tekanan H2 menyebabkan penurunan komposisi Co dan CO2
dan peningkatan CH4. Mungkin peningktan CH komposisi dengan
peningkatan H2 dikaitkan dengan karakteristik reaksi metanasi dengan
bantuan pada tekanan tinggi H2 (Gao et al,2012). Selain itu sedikit
menurunnya C3H8 dan meningkatnya C2H6 disebabkan oleh perekahan dari
C3H8 menjadi CH4 dan C3H6 pada tekanan H2 tinggi.
3.3 Pengaruh LHSV (Liquid Hoursly Space Velocity)
LHSV didefinisikan sebagai rasio laju aliran volume umpan dengan
volume katalis yang dikemas digunakan untuk menentukan waktu kontak
antara umpan dan katalis. LHSV memainkan peran penting untuk
mengatur efektivitas katalis dan harapan hidup katalis (Bezergianni et
al.,2011: Bezergianni dan Kalogianni,2009; Yang et al., 2013). Menurut
penelitian sebelumnya waktu ruang tinggi sekitar 8-17 jam), pembentukan
zat antara yang teroksigenasi dengan lilin putih terutama asam lemak bebas
dan ester diamati (Anand dan Sinha,2012; Huber dkk.,2007; kubicka et
al.,2009) dan dengan cepat memasang reaktor. Oleh karena itu efek LHSV
pada konversi dan hasil produk dengan % kontribusi HDO dan DCO/DCO2
dilakukan dalam jangkauan luas LHSV (0,25-5 h-1) dengan memperbaiki
kondisi operasi : suhu hydrotreating 300℃ ; Tekanan H2 50 bar; rasio
H2/Minyak 1000 N(cm3/cm3). Ditunjukkan pada gambar 3a, LHSV tidak
berpengaruh signifikan pada konversi trigliserida, konversi 100% diperoleh
pada 0,25-5 h-1, pada suhu hydritreating 300℃ tanpa presipitasi lilin dari
produk cair pada LHSV yang lebih tinggi (5 jam) dan nilai asam nol.
Namun peningkatan LHSV dari 0,25 menjadi 5 jam sedikit menurunkan
hasil produk dari 95% menjadi 84,3% menunjukkan waktu kontak reaktan
katalis yang tidak mencukupi. Selanjutnya penurunan waktu kontak
menekan reaksi deoxygenasi, perekahan dan isomerisasi (Chen et al.,
2013). Namun demikian peningkatan waktu kontak (pada LHSV rendah)
akan mendorong reaksi retak dan isomerisasi, karenanya efek LHSV
ditunjukkan pada suhu rendah (300℃) untuk menghindari situasi ini.
Penurunan LHSV dari 0,5 menjadi 0,25 h-1 meningkatkan hasil produk
hingga 95% karena memungkinkan waktu kontak yang lebih lama antara
reaktan dan katalis dalam LHSV rendah akan meningkatkan hasil produk
yang suda hydrotreating rendah (300℃). Pada gambar 3b terjadi
penurunan yang sama secara keseluruhan pada % kontribusi HDO dari
83,1% menjadi 68,7% diamati ketika meningkatkan LHSV dari 0,25
menjadi 5 h-1. Disisi lain peningkatan LHSV dari 0,25 menjadi 1 h-1
meningkatkan kontribusi DCO/DCO2 dari 9,7% menjadi 16,4%, sementara
ada sedikit penurunan dalam % kontribusi DCO/DCO2 dari 16,4% menjadi
13,4% dengan meningkatkan LHSV dari 1 hingga 5 h-1. Hasilnya dapat
diindikasikan bahwa LHSV tidak berpengaruh signifikan pada terhadap
reaksi HDO dan DCO/DCO2 ketika meningkatkan LHSV dari 1 hingga 5h-
1
. pada LHSV lebih rendah dari 1 h-1 (peningkatan waktu kontak )
sepertinya mendukung reaksi HDO dan DCO/DCO2. Laju hydrogenolysis
dari ikatan H2C-O dalam trigliserida menjadi alkohol asam lemak (HDO)
harus lebih lambat dibandingkan dengan pemecahan ikatan –C(=O)-C17
(DCO2); reaksi yang pertama membutuhkan waktu kontak yang lebih lama
antara reaktan dengan katalis (Sankaranarayanan et al., 2011). Hasil ini
harus ditunjukkan bahwa penurunan LHSV dengan peningkatan waktu
kontak cukup untuk HDO dan menekan DCO dan DCO2, reaksi pada
temperatur hydrotreating rendah.
Efek LHSV pada komposisi produk gas diilustrasikan pada gambar 3c
menyarankan bahwa LHSV telah sangat mempengaruhi reaksi metana
yang menguntungkan ketika penurunan LHSV yaitu semakin tinggi LHSV
semakin banyak CO dan CO2 tetapi semakin sedikit CH4 dalam produk
gas. Selain itu propana sedikit meningkat karena perekahan propane ke
hidrokarbon yang lebih ringan (kebanyakan metana) ditekan pada LHSV
yang lebih tinggi.
3.4 Pengaruh Rasio Hidrogen terhadap Rasio Minyak
Hidrogen terhadap rasio minyak didefinisikan sebagai rasio umpan
hidrogen terhadap umpan cair, merupakan parameter konvensional lain
dalam proses kelayakan ekonomi dan proses hidrotreating yang memiliki
pengaruh kuat pada proses hidrogenasi, deoksigenasi dan efisiensi
perekahan. Pada bagian ini, efek rasio hidrogen terhadap minyak dilakukan
pada kisaran 250-2000 N (cm3/cm3), sementara yang lain parameter
dipertahankan sama seperti yang dibahas dalam bagian 3.3. diilustrasikan
pada gambar 4a rasio H2/minyak menunjukkan dampak kecil pada
konversi, namun peningkatan dramatis dalam hasil produk dari 45,2%
hingga 93,3% dengan perubahan rasio H2/minyak dari 250 menjadi 1500 N
(cm3/cm3) karena peningkatan reaksi deoxygenasi (HDO dan DCO/DCO2)
selain itu pada perbandingan H2/minyak 250 N(cm3/cm3) produk
dipisahkan menjadi dua lapisan pada suhu kamar. Analisis menunjukkan
bahwa fasa cair atas adalah hidrokarbon dan fasa padatan dasar adalah
asam lemak (trutama asam palmitat dan asam stearat) karena kekurangan
hidrogen. Namun penggunaan rasio H2 terhdap minyak 2000 N(cm3/cm3)
mengurangi hasil produk menjadi 90% karena penurunan DCO/DCO2,
reaksi (Gambar 4b). Konsumsi hidrogen untuk mengubah 1 ml minyak
sawit menjadi hidrokarbon dapat diperkirakan dari asam lemak
komposisinya diasumsikan bahwa komposisi utama trigliserida dalam
minyak kelapa adalah tripalmitit dan triolein dan diasumsikan bahwa
reaksi tersebut teradi melalui hydrodeoxygenation ketika menggunakan
NiMoS2 sebagai katalis. Oleh karena itu 1 mol tripalmitit yang
mengandung enam atom oksigen yang mengkonsumsi 12 mol hidrogen
untuk menghasilkan heksadekana, sedangkan 1 mol triolein, 1 mol minyak
sawit akan mengkonsumsi 13,5 mol hidro untuk menghasilkan hidrokarbon
melalui reaksi hydrogenation dan hydrodeoxcygenatio. Kepadatan minyak
kelapa sawit adalah 0,903 g/ml dan berat molekulnya 838 g/mol. Akhirnya
ditentukan bahawa 1 ml minyak sawit akna dikonsumsi sekitar 325ml
hidro (pada suhu dan tekanan standar) untuk membentuk hidrokarbon
melalui reaksi hydrogenation dan hydrodeoxygenation. Pada Gambar 4a
hasil produksi tertinggi diperoleh pada rasio H2/minyak 1000 sampai 1500
N(cm3/cm3) menunjukkan bahwa hidrogen harus sekitar 3-5 kali lebih
banyak dari pada rasio hidrogen yang dikonsumsi untuk minyak selain itu,
jumlah hidrogen yang lebih besar yang disuplai selama proses penguraian
mungkin menghambat deposisi kokas ke katalis (Satyarthi et al,2013)
sehingga mencegah penonaktifan katalis.
Kontribusi HDO meningkat dari 32,3% menjadi 75,3% ketika
meningkatkan rasio H2/minyak dari 250 hingga 1000 N(cm3/cm3) dan
cenderung konstan pada rasio H2/minyak dikisaran 1500 hingga 2000
N(cm3/cm3) pada 73,7% terwakili dalam gambar 4b. Disisi lain
peningkatan rasio H2/minyak dari 250 menjadi 500 N(cm3/cm3)
meningkatkan kotribusi DCO/DCO2 dari 12,65 menjadi 18,9% sementara
peningkatan rasio H2/minyak naik hingga 2000 N(cm3/cm3) menurunkan
DCO/DCO2 menjadi 15,5%. Mirip dengan studi tekanan H2 diamati bahwa
adsorpsi besar H2 di permukaan aktif katalis ditingkatkna melalui rasio
H2/minyak tinggi yang digunakan melalui reaksi keseluruhan yang
mendukung. Jika tidak cenderung konstan karena saturasi H2 teradsorpsi
pada permukaan aktif katalis.
Untuk CO dan CO2 rasio H2/minyak sangat mempengaruhi reaksi
metanasi yang ditingkatkna dengan rasio H2/minyak yang tinggi (Gambar
4c) sesuai dengan Gao et al.(2012) ketika mereka menganalisis
thermodinamika komprehensif dari reaksi yang terjadi dalam metana
karbon oksida (CO dan CO2) menggunakan metode minimalisasi karena
tingginya rasio H2/CO dan H2/CO2.

4. Conclusions
Pengaruh parameter reaksi pada hydrotreating minyak sawit ke BHD
dengan NiMoS2/ γ-Al2O3 diselidiki. Kondisi yang disarankan adalah sebagai
berikut : suhu 300℃, tekanan 30-50 bar, LHSV 1-2h-1 dan rasio H2/minyak
750-1000 N(cm3/cm3) dengan hasil produk 90% dan n-alkana >95,5%. Suhu
snagat dipengaruhi oleh reaksi (DCO, DCO2, HDO, perekahan dan
isomerisasi), sementara tekanan yang lebih tinggi memicu reaksi HDO.
Peningkatan reaksi penekanan LHSV karena waktu kontak yang tidak
mencukupi. Rasio H2/minyak harus lebih tinggi dari 3-5 kali persyaratan
teoritis. Lebih lanjut, reaksi metanasi berdampak pada konsumsi H2 pada suhu
rendah dan tekanan tinggi.

Anda mungkin juga menyukai