Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Bumi yang bersifat dinamis dengan bentang alam yang mengalami
perubahan dari waktu ke waktu dengan gejala - gejala alam yang terjadi pada waktu
tertentu merupakan suatu fenomena yang menimbulkan rasa keingintahuan dan
penasaran bagi seorang seorang ahli geologi. Pada zaman ini ilmu geologi
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kalangan masyarakat, khususnya
informasi mengenai kondisi geologi yang berkembang pada daerah tersebut. Dari
perkembangan dan kemajuan ilmu tersebut akan mendorong para ahli untuk
melakukan penelitian secara regional. Oleh sebab itu, penelitian yang lebih detail
di perlukan untuk melengkapi data geologi yang telah ada mencakup kondisi
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta aspek geologi teraplikasi lainnya.

Pemetaan geologi merupakan salah satu metoda yang digunakan untuk


mempelajari keadaan sekitar dari suatu daerah baik dari aspek sejarah geologi, ciri
stratigrafi hingga potensi dan bencana alam yang terjadi pada daerah tersebut. Oleh
karena itu seorang geologist harus mempunyai pengetahuan yang lebih agar dapat
memahami dengan mudah dalam melakukan kegiatan pemetaan di lapangan.
Penulisan laporan juga harus dilakukan setelah melakukan pemetaan. Karena tanpa
hal tersebut, pemetaan yang dilakukan tidak akan memiliki nilai yang banyak bagi
orang lain

I.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini untuk memperoleh data geomorfologi, yang
mencakup bentang alam dan pola aliran sungai, stratigrafi, yang mencakup litologi,
dan runtutan susunan serta hubungan antar satuan batuan, dan geologi struktur, baik
struktur primer maupun sekunder pada Desa Sindangbarang dan Sekitarnya,
Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.

1
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejarah geologi serta potensi
geologi pada daerah pemetaan baik yang bersifat positif maupun negative
berdasarkan data geologi yang sudah diperoleh dari pemetaan.

I.3 Waktu, Lokasi, dan Kesampaian Daerah Penelitian


Waktu untuk memetakan daerah penelitian tersebut yaitu 30 hari, meliputi
pencarian basecamp, pencarian data lapangan, dan pengolahan data lapangan.
Sedangkan daerah pemetaan terletak di Desa Sindangbarang dan Sekitarnya,
Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Daerah
pemetaan terletak di koordinat 108° 52' 17.0" - 108° 55' 00" BT dan 7° 24' 02.4" -
7° 27' 17.8" LS. Luas daerah pemetaan sebesar 30 km2 dengan panjang 6 km dan
lebar 5 km.

Gambar 1.1 Daerah Pemetaan (Berdasarkan Google Earth, 2019)

Kesampaian daerah pemetaan dapat di tempuh selama ± 9 jam dari Jakarta


dengan menggunakan bus pariwisata (Jakarta – Purwokerto) yang melewati Desa
Karangpucung, dan merupakan desa yang direkomendasikan sebagai base camp.
Untuk akses ke daerah pemetaan menggunakan motor dan jalan kaki karena kondisi
jalanan pada lapangan yang rusak dan agak terjal.

2
Gambar 1.2 Peta Topografi Daerah Penelitian

I.4 Metode dan Tahapan penelitian


Metoda penelitian yang di gunakan adalah analisis deskriptif, pemeetaan
geologi konvensional. Tahap penelitian yang dilakukan meliputi tahap persiapan
dan perencanaan penelitian, tahap penelitian lapangan, tahap penilitian
laboratorium dan tahap penyusunan laporan pemetaan geologi, dengan penguraiaan
masing – masing sebagai berikut :

a. Tahap Persiapan dan Perencanaan Penelitian


Persiapanan perencanaan di lapangan dilakukan agar dapat
mengefisiensikan waktu selama melakukan pemetaan dan mempersiapkan
segala sesuatu yang di butuhkan saat melakukan penelitian di lapangan
nantinya. Hal yang harus dilakukan sebelum kelapangan terlebih dahulu yaitu
melakukan studi litelatur mengenai daerah pemetaan dari peneliti terdahulu,

3
persiapan alat dan bahan untuk pemetaan serta menentukan base camp. Alat
dan bahan yang harus dipersiapkan antara lain buku lapangan, kompas geologi,
peta dasar topografi, HCL, palu geologi, GPS, lup, Komprator batuan, plastic
sampel, dan lainnya.
b. Tahap Penelitian Lapangan
Hal – hal yang dilakukan dalam penelitian lapangan merupakan
pengambilan data lapangan berdasarkan peta lintasan yang telah direncakan
sebelumnya. Pada tahapan lapangan ini seluruh perlengkapan yang di butuhkan
pada lapangan harus dibawa terutama peta topografi, kompas geologi, palu
geologi, lup, dan buku catatan lapangan. Data – data lapangan yang di ambil
yaitu meliputi plotting lokasi penelitian, pengambilan contoh batuan atau
sampel yang akan dilakukan penelitian lanjut atau dianalisis di laboratorium dan
pengambilan data geologi seperti pengukuran strike dan dip perlapisan,
pengukuran data struktur, pencatatan buku lapangan dan pengambilan foto,
pengamatan geomorflogi dan pembuatan penampang tektonik. Tahapan ini
sangat penting untuk memperoleh data yang akan digunakan untuk menguji
hipotesis dan interpretasi yang dilakukan pada tahap sebelumnya.
c. Tahap Penelitian Laboratorium
Tahap analisis laboratorium meliputi : Analisis petrografi untuk mengetahui
secara lebih rinci tekstur dan mineralogi batuan guna mendukung dalam
interpretasi karakteristik batuan dan Analisis Fossil guna mengetahui umur dan
batas lingkungan pengedapan dari satuan batuan yang ada.
d. Tahap Penyusunan Laporan
Penulisan laporan merupakan langkah akhir penelitian geologi Desa
Sindangbarang dan Sekitarnya sebagai suatu media untuk memaparkan segala
penafsiran daerah pemetaan dan menggabungkan hasil – hasil penelitian
lapangan. Tahapan ini dilakukan setelah semua tahapan analisa dilakukan,
dalam melakukan penulisan laporan harus dengan konsultasi kepada dosen

4
pembimbing terkait agar mendapatkan hasil yang baik. Konsultasi ini meliputi
masalah teknis penelitian sampai masalah penulisan hasil penelitian.
I.5 Tinjauan Pustaka
Kondisi geologi daerah penelitian ini telah dipelajari oleh para peneliti
terutama dalam aspek tatanan stratigrafi dan tektoniknya, antara lain, oleh Van
Bemmelen (1949) dalam “The Geology of Indonesia” yang membahas kondisi
geologi secara umum, dan membagi zona fisiografi Jawa Tengah menjadi enam
zona fisiografi. Lalu oleh Kastowo dan N. Suwarna (1996) yang membuat Peta
Geologi Lembar Majenang dengan skala 1:100.000 yang memperlihatkan kondisi
struktur dan stratigrafi yang kompleks. Dan yang terakhir oleh Khansa Tri
Saraswati (2015) yang melakukan pemetaan geologi pada daerah Cidacap dan
Sekitarnya, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
Menyimpulkan bahwa daerah pemetaan memiliki tiga satuan geomorfologi, yaitu
satuan geomorfologi Dataran bergelombang Denudasional, satuan geomorfologi
perbukitan bergelombang miring struktural, dan satuan geomorfologi perbukitan
tersayat tajam sktural.

5
BAB II
GEOMORFOLOGI

2.1 Fisiografi Regional


Secara fisiografis, Pulau Jawa dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu:
Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter, Antiklinorium Bogor – Serayu
Utara – Kendeng, Deperesi Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan, dan
Pegunungan Selatan Jawa menurut Van Bemmelen (1949).

Gambar 2.1 Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura
(modifikasi dari van Bemmelen, 1949).

a. Dataran Aluvial Jawa Utara, mempunyai lebar maksimum 40 km kearah


selatan. Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km.
b. Gunungapi Kuarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G. Dieng, G.
Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan G. Muria.
c. Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini
tertutupi oleh produk gunungapi kuarter dari G. Slamet. Di bagian tengah
ditutupi oleh produk volkanik kuarter G. Rogojembangan, G. Ungaran, dan

6
G. Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas
antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis
di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur membentuk Zona
Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial
Jakarta berupa Antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan
terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung
Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua
berumur Oligosen-Miosen bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang.
d. Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan.
Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai
ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang
relatif lebih terjal.
e. Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa
membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini
terputus oleh Depresi Jawa Tengah.
f. Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah
yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari Pegunungan
Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk
antiklonorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua
terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.

2.2 Geomorfologi Daerah Pemetaan


Untuk dapat melakukan identifikasi di daerah penelitian baik itu tentang
potensi sumberdaya alam ataupun potensi bencana alam, dapat dilihat dari struktur
geologi dan geomorfologi daerah tersebut. Dari peta geomorfologi, kita bisa
mengindentifikasi struktur geologinya karena struktur geologi merupakan salah satu
pengontrol dominan dalam evolusi bentuklahan dan struktur geologi dicerminkan oleh
bentuk lahannya. Geomorfologi atau bentuk bentang alam adalah pencerminan dari
proses endogen dan eksogen yang mempengaruhinya dimana setiap proses akan
menghasilkan suatu bentuk bentang alam yang berbeda-beda.
Dalam melakukan klasifikasi bentang alam secara deskriptif akan
menggunakan klasifikasi Van Zuidam (1983) yang terdiri dari beberapa parameter-

7
parameter tertentu. Sedangkan untuk menentukan bentang alam secara genetik,
menggunakan klasifikasi Verstapen dan Van Zuidam (1968, 1975) dan Klasifikasi
Verstapen (1983), serta untuk menentukan stadia daerah atau stadia sungai
digunakan klasifikasi yang disusun oleh Lobeck (1939).

Tabel 1.1 Tabel Van Zuidam (1983)

Tabel 2.2 Klasifikasi Verstapen dan Van Zuidam (1968, 1975)

Dalam pembagian satuan geomorfologi didasarkan kepada unsur morfografi,


morfogenetik dan morfometri, baik diamati melalui peta topografi, foto

8
udara, maupun citra satelit, ataupun dari pengamatan morfologi langsung di
lapangan untuk meginterpretasikan kondisi geologi daerah penelitian. Maka daerah
penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan geomorfologi yaitu:

1. Satuan Bentang Alam Berbukit Bergelombang Struktural


2. Satuan Bentang Alam Berbukit Terjal Struktural
3. Satuan Bentang Alam Dataran Denudasional

2.2.1 Satuan Bentang Alam Berbukit Bergelombang Struktural


Satuan ini Membentang dari selatan ke utara pada bagian tengah pada
kavling. Secara umum daerah ini masih memperlihatkan struktur geologi sebagai
faktor endogennya, walaupun sudah tidak memperlihatkan bentuk aslinya. Bukti
lainnya yaitu arah dip yang memutar. Dari uraian diatas maka faktor yang dominan
terhadap bentukan morfologi daerah ini yaitu faktor endogen berupas struktur
geologi berupa perlipatan. Satuan Ini mencakup 55% daerah penelitian.

Gambar 2.2 Satuan Bentang Alam Berbukit Bergelombang Struktural

2.2.2 Satuan Bentang Alam Berbukit Terjal Struktural


Satuan ini Membentang dari selatan ke utara pada bagian barat dan bagian
timur pada kavling. Faktor genetik yang berperan berupa struktur geologi yaitu
perlipatan dengan struktur geologi berupa antiklin. Satuan Ini mencakup 45%
daerah penelitian.

9
2.3 Genetik dan Pola Aliran Sungai daerah Pemetaan
Pola aliran sungai pada suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain kontrol struktur, jenis dan variasi kekerasan batuan, landai lereng asal, sejarah
geologi, dan sejarah geomorfologi daerah tersebut, menurut Thornburry (1969).
Dari pengamatan lapangan dan analisa peta topografi skala 1:12.500, pola aliran
sungai pada daerah penelitian termasuk dalam pola aliran sungai Parallel mengacu
kepada klasifikasi (Howard, 1967). Pada daerah yang memiliki pola lairan parallel
terbentuk akibat kondisi daerah yang dikontrol oleh struktur geologi, terutama
berupa lipatan.

Gambar 2.3 Pola Aliran Sungai Regional

10
Gambar 2.4 Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan

11
Gambar 2.4 Klasifikasi Howard (1967)

Secara genetik maka aliran sungai pada daerah pemetaan dapat dibagi menjadi tiga
jenis sungai (Lobeck,1989) yang implikasinya menunjukan tingkat erosi sedang
sampai kuat, antara lain;

1. Sungai Konsekuen, merupakan sungai yang mengalir searah dengan


kemiringan lapisan.
2. Sungai Subsekuen, merupakan sungai yang mengalir searah dengan jurus
perlapisan batuan
3. Sungai Obsekuen, merupakan sungai yang mengalir berlawanan dengan
arah kemiringan lapisan batuan.

2.4 Stadia Sungai Daerah Pemetaan


Dalam menentukan stadia Sungai, Digunakan Klasifikasi Nugroho (2000).
Dimana, Stadia sungai terbagi menjadi tiga kelompok yaitu stadia daerah yaitu
muda, dewasa, dan tua.

12
Tabel 2.3 Klasifikasi Nugroho (2000)

Stadia Sungai
Parameter
Muda Dewasa Tua

Slope Gradient Besar Relatif kecil Tidak ada

Kecepatan
Tinggi Sedang Rendah
Aliran

Turbulance-
Jenis Aliran air Turbulance Laminer
Laminer

Vertikal-
Jenis Erosi Vertikal Horizontal
Horisontal

Proses yang Erosi dan


Erosi Deposisi
bekerja Deposisi

Bentuk/ Pola Lurus dan Bermeander dan


Lurus
aliran sungai Bermeander Kompleks

Bentuk
“V” “V” sampai “U” “U”sampai datar
Penampang

Kerapatan anak Sedang/Mulai


Kecil/Jarang Besar/Banyak
sungai banyak

Kenampakan Banyak air terjun, Air terjun mulai ada oxbow


lain tidak ada dataran sedikit, mulai lake dan
banjir, ada endapan bermeander
sungai

Berdasarkan parameter tersebut maka disimpulkan sungai di daerah


penelitian berada pada stadia tua karena profil sungainya membentuk “U”,
memiliki kecepatan aliran yang rendah, serta memiliki kenampakan bermeander.

13
Gambar 2.5 Bentuk Sungai dengan Penampang “U” pada LP 45

14
BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI

4.1 Struktur Geologi Regional


Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi dari
waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola - pola yang teratur.
Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran,
perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke
waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya
yang disebut pola Meratus, arah Utara – Selatan atau pola Sunda dan arah Timur – Barat.
Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut – Barat Daya menjadi
relatif Timur – Barat sejak kala Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi
Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah
mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau
Jawa dan daerah sekitarnya.
4.1.1 Pola Meratus
Di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah
terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra- Tersier di daerah
KarangSambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas
Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin
dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian
Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.
4.1.2 Pola Sunda
Pola ini berarah Utara - Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan
sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.Ekspresi yang
mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan
Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur
regangan.Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar
Beribis dan sesar-sesar dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari
sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur
ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik. Dari data
stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang paling tua.
Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar

15
dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di
daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang
lebih muda. Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola
Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir
hingga Oligosen Akhir.
4.1.3 Pola Jawa
Pada pola ini, menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh
pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994 dalam Natalia dkk., 2010). Data
seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif
hingga sekarang.

Gambar 4.1 Pola Struktur Pulau Jawa (Natalia dkk, 2010)

Pola umum perlipatan dan patahan di Pulau Jawa diinterpretasikan dari data permukaan
oleh Situmorang, dkk (1976), menunjukkan pola struktur Pulau Jawa dengan arah barat laut -

16
tenggara dan timur laut - barat daya, serta memiliki arah barat laut - tenggara di Jawa Tengah
bagian tengah.

Gambar 4.2 Peta pola perlipatan pada Pulau Jawa dan Madura menurut
Situmorang,dkk (1976)

Gambar 4.3 Peta arah umum sistem sesar mendatar pada Pulau Jawa dan Madura menurut
Situmorang, dkk (1976)

17
Untuk daerah penelitian termsuk kedalam tektonik Jawa Tengah bagian selatan
(Gambar 4.4), dimana pola struktur Pulau Jawa dengan arah dominannya yaitu timur laut -
barat daya (Situmorang, dkk, 1976), sementara untuk pola sesarnya termasuk kedalam Pola
Jawa yang berarah timur – barat (Pulonggono dan Martodjojo, 1994).

Gambar 4.4 Tektonik Jawa Tengah bagian selatan (Sujanto & Roskamil, 1975)

4.2 Struktur Geologi Daerah Pemetan


Pada daerah pemetaan terdapat struktur geologi berupa struktur perlipatan, kekar, dan
sesar. Struktur-struktur ini ditentukan berdasarkan pengamatan awal peta topografi daerah
pemetaan skala 1:12.500 serta data-data di lapangan berupa kemiringan lapisan batuan, dan
pengukuran kekar yang terdapat pada beberapa lokasi pengamatan. Pembagian jenis struktur
di daerah pemetaan ditentukan berdasarkan indikasi atau tanda struktur yang ditemukan seperti
: pengukuran jurus dan kemiringan pada batuan, pola penyebaran sungai dan perbukitan, kekar
gerus ataupun kekar gunting pada singkapan batuan.
Penamaan struktur pada daerah pemetaan ditentukan berdasarkan nama geografis
setempat, seperti nama desa dan sungai yang merupakan lokasi ditemukannya indikasi-
indikasi struktur tersebut. Berdasarkan data struktur geologi tersebut, maka di daerah
pemetaan terdapat struktur yaitu sesar menganan Sindangbarang, Sinklin Gunungtelu dan
Antiklin Pangawaren.

18
4.2.1 Struktur Sesar Menganan Sindangbarang
Indikasi adanya struktur yang memotong daerah Sindangbarang, diperkirakan
karena banyak ditemukannya kekar – kekar didaerah tersebut. Selain itu diperkirakan
juga berdasarkan kekacauan pola strike dan dip yang berada didaerah tersebut.

Tabel 4.1 Data Shear Fracture Pada LP 1, LP 39, dan LP 20


Data Shear Fracture
No. Strike Dip No. Strike Dip
1 229 73 16 169 43
2 224 65 17 167 45
3 234 68 18 174 45
4 227 78 19 164 30
5 230 65 20 165 47
6 232 75 21 170 50
7 228 70 22 178 55
8 226 64 23 165 78
9 225 60 24 160 85
10 235 65 25 172 45
11 233 70 26 169 70
12 229 68 27 174 72
13 234 78 28 165 74
14 228 70 29 173 75
15 231 60 30 166 60

Gambar 4.5 Stereonet Sesar Menganan Sindangbarang dan Klasifikasi Rickard (1972)

Berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972), Sesar Menganan yang memiliki nilai rake
empat merupakan sesar menganan berupa Right Slip.

19
Gambar 4.6 Singkapan LP 37 dengan Kenampakan Kekar pada batulempung
perselinan Batupasir

Gambar 4.7 Singkapan LP 1 dengan Kenampakan kekar pada batupasir

20
Gambar 4.8 Singkapan LP 20 dengan Kenampakan kekar pada batupasir

4.2.2 Struktur Antiklin Gunungtelu dan Sinklin Pangawaren


Antiklin Gunungtelu berada dibagian Barat menuju ke timur daerah penelitian.
Struktur ini diperoleh berdasarkan dari rekonstruksi penampang dan perkiraan
bentukan geomorfologi.
Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 130º E/30º dan
N 265º E/63º.
Sinklin berada dibagian barat menuju ke timur daerah penelitian yang berada
pada bagian utara daerah penelitian. Struktur ini diperoleh berdasarkan dari
rekonstruksi penampang dan perkiraan bentukan geomorfologi.
Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 320º E/41º dan
N 130º E/30º.

21
BAB V
SEJARAH GEOLOGI

Berdasarkan hasil Analisa data dari aspek geomorfolofi, statigrafi serta struktur
geologi, maka sejarah geologi dari daerah penelitian ini dapat diinterpretasikan. Mulai dari
sejarah lingkungan pengendapan sampai sejarah struktur yang mengontrol daerah penelitian
ini. Seperti pada pernyataan “The Present is The Key to The Past”, dari data yang ada pada
masa kini dapat dilakukan bentukan atau sejarah geologi representatif dari masa lalu di daerah
pemetaan ini. Penjelasan sejarah geologi akan menjelaskan sejarah dari lingkungan
pengendapan, mekanisme dari sedimentasi, serta kontrol dari struktur yang mempengaruhi
daerah pemetaan.Dari Analisa statigrafi, sejarah lingkungan pengendapan daerah pemetaan ini
dimulai pada kala Miosen tengah sampai Pliosen.
Fase pertama merupakan fase pengendapan yang dimulai dari Kala Miosen Akhir (N15
– N17) yang berada di lingkungan pengendapan Shelf Tengah, dimana diendapkan satuan
batulempung perselingan batupasir yang sebanding dengan formasi halang.
Fase kedua merupakan fase pengendapan batupasir karbonatan pada Kala Pliosen (N19
– N20), terendapkan pada lingkungan pengendapan Shelf luar yang sebanding dengan Formasi
Tapak.
. Setelah pengendapan Satuan Batupasir Karbonatan, terjadi pengangkatan tektonik
yang disebabkan oleh gaya kompresi pada daerah pemetaan dengan arah gaya timur laut – barat
daya. Tektonik kompresi ini menyebabkan terbentuknya struktur-struktur geologi pada daerah
pemetaan yaitu Antiklin Pangawaren dan Sinklin Gunungtelu, serta Sesar menganan
Sindangbarang.
Pengangkatan ini menyebabkan satuan-satuan yang terendapkan sangat rentan terhadap
pelapukan dan proses erosi lainnya. Proses erosi yang berada pada laut dan darat menyebabkan
terlapuk dan tererosikannya daerah ini seperti keadaan daerah pemetaan geologi saat ini.

22
BAB VI
EVALUASI GEOLOGI

6.1 Tinjauan Umum


Aspek geologi tata lingkungan dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu sumber alam
dan bencana alam (Sampurno, 1981). Sumber alam atau sumber daya alam merupakan segala
sesuatu yang berasal dari alam yang dapat memenhi kebutuhan manusia dan mensejahterkan
masyarakat, sedangkan bencana alam adalah peristiwa alamiah yang disebabkan oleh faktor-
faktor geologi yang mengakibatkan terjadiya kerusakan alam, kerugian harta benda, serta
jatuhnya korban jiwa. Maka, aspek-aspek ini merupakan hal yang penting untuk diperhatikan,
dalam hal untuk pemanfaatan, penataan, dan pencegahan agar dapat bermanfaat untuk
lingkungan hidup masyarakat serta kesejahteraan rakyat sekitar.
Besar kecilnya potensi sumber daya alam ataupun potensi bencana alam yang terdapat
di suatu daerah ditentukan oleh keadaan geologi daerah tersebut, seperti litologi penyusun,
daya dukung batuan atau tanah, morfologi, dan struktur geologi. Pembahasan mengenai aspek
geologi tata lingkungan yang terdapat di daerah pemetaan dirangkai dalam satu pembahasan
yang disebut evaluasi geologi. Maka dalam hal ini, akan dibahas dua pembahasan yaitu
mengenai potensi sumber daya alam dan pembahasan mengenai bencana alam yang terdapat
di daerah Sindangbarang dan sekitarnya, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah

23
Gambar 6.1 Peta Evaluasi

6.2 Sumber Alam Daerah Pemetaan

Daerah Sindangbarang dan sekitarnya, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap,


Provinsi Jawa Tengah, merupakan daerah yang kaya akan potensi alam. Dari pengamatan yang
telah dilakukan di lapangan, daerah ini memiliki beberapa potensi antara lain :

24
6.2.1 Bahan Galian Batupasir
Batupasir pada daerah Burian, Sindangbarang, Tlaga dan Sekitaranya dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah, pondasi jalan, serta material bangunan
lainnya. Batupasir ini juga dipakai untuk bahan urugan. Salah satu lokasi pengamatan
yaitu lokasi pengamatan satu memiliki singkpan batupasir yang dapat dimanfaatkan.
Cakupan luas dari singkapan ini mencakup panjang dua belas meter dan tinggi tiga
meter, sehingga singkapan ini termasuk suatu potensi bahan galian yang dapat
bermanfaat untuk masyarakat sekitar.

Gambar 6.2 Potensi Batupasir

6.2.2 Sumber Mata Air


Sumur Mata air asli yang memiliki kedalaman kurang lebih lima meter pada
daerah Banjarwaru digunakan sebagai air minum masyarakat serta pengairan untuk
sawah daerah Banjarwaru dan Sekitarnya. Dimana, Air yang akan digunakan untuk air
minum tersebut di filter kembali menggunakan alat dan dibuat sebagai air minum
kemasan. Sedangkan air yang digunakan untuk pengairan sawah, dialirkan
menggunakan pompa langsung dari sumur mata airnya.

25
Gambar 6.3 Sumur Mata Air
6.2.3 Persawahan
Pada Daerah Pangawaren, dan Banjarwaru, umumnya memiliki elevasi yang
rendah dan tersusun oleh litologi Lempung. Hal ini merupakan suatu keuntungan untuk
dijadikan daerah persawahan dikarenakan, daerah persawahan harus dekat dengan
sumber pengairan dan memiliki tanah yang mampu menyangga air agar padi tetap
tergenangi oleh air. Oleh karena itu, daerah Pangawaren dan Banjarwaru cocok untuk
dijadikan persawahan.

Gambar 6.4 Persawahan

26
6.3 Potensi Bencana Pada Daerah Pemetaan
Bencana alam dapat terjadi dikarenakan faktor cuaca, gelogi, dan ulah manusia itu
sendiri. Faktor geologi yang berpengaruh diantaranya adalah litologi penyusun, morfologi
berupa kemiringan lereng, dan struktur yang bekerja di suatu daerah. Berdasarkan Analisa
terhadap parameter tersebut, penulis menemukan adanya potensi bencana yaitu :
6.3.1 Gerakan Tanah
Daerah pemetaan di dominasi dengan aspek geomorfologi berbukit bergelombang serta
litologinya yang berupa batupasir dan batulempung memungkinkan terjadinya bahaya gerakan
tanah atau yang biasa disebut longsor. Pada daerah pemetaan sebelah barat terdapat daerah
rawan bencana geologi yaitu pada daerah Cijanggot. Kenampakan gejala gerakan tanah pada
daerah pemetaan dapat diamati Karena adanya soil creep dan retakan-retakan yang terbentuk,
dan juga daerah ini tidak tertutupi oleh vegetasi sehingga berpotensi terjadi gerakan tanah.

Gambar 6.5 Potensi Gerakan Tanah

27
KESIMPULAN
Dari hasil pepemetaan di daerah Desa Sindangbarang, Kecamatan Karangpucung,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tegah, Maka dapat disimpulkan bahwa
1. Satuan Batuan dari daerah Pemetaan secara stratigrafi
a. Satuan Batulempung perselingan Batupasir
b. Satuan Batupasir K
2. Satuan Geomorfologi berdasarkan Van Zuidam (1983) daerah pemetaan terbagi
atas
a. Satuan Geomorfologi Berbukit Bergelombang Struktural
b. Satuan Geomorfologi Berbukit Terjal Struktural
3. Struktur yang mempengaruhi darah pengamatan
a. Antiklin Pangawaren
b. Sinklin Gunungtelu
c. Sesar Menganan Sindangbarang
4. Potensi dari daerah penelitian
a. Daerah Persawahan
b. Tambang Batupasir
c. Mata Air
d. Gerakan Tanah

28

Anda mungkin juga menyukai