Anda di halaman 1dari 5

GELIAT ZINE CETAK PADA ERA DISRUPTIF

oleh Dhika Purnama Putra


4180170013
kritik seni

Philip Meyer mengatakan pada tahun 2005 bahwa media cetak akan mati pada tahun 2042,
Rupert Murdoch dan Noam Chomsky mengamini pendapat Philip Meyer, namun tetap berusaha
optimis. Menurut Murdoch, umur media cetak bisa diperpanjang apabila media cetak menghentikan
arogansinya dan memberikan perhatian pada kebutuhan masyarakat khususnya anak muda. Philip
Meyer adalah profesor emeritus dan mantan pemegang Kursi Ksatria dalam Jurnalisme di University
of North Carolina di Chapel Hill. Dia meneliti di bidang kualitas jurnalisme, jurnalisme presisi,
jurnalisme sipil, polling, industri surat kabar, dan teknologi komunikasi.

Media massa diawali dengan ditemukannya media cetak dan terus mengalami perkembangan
selama abad 20 hingga kini. Media massa mencapai puncak kejayaannya di abad 20 hingga dikenal
juga sebagai abad komunikasi massa. Memasuki abad 21, media massa mulai menggunakan internet
untuk menyebarluaskan berita dan informasi kepada khalayak yang jauh lebih luas. Sedangkan di
Indonesia sendiri, dimulai sejak masa penjajahan Belanda yang terus berkembang dengan cukup
signifikan ketika bergulirnya era reformasi pada tahun 1990an. Perkembangan media massa
merambah semakin pesat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Di Indonesia juga terdiri
dari berbagai macam media komunikasi seperti televisi, radio, film, surat kabar, majalah dan internet.

Media cetak erat kaitannya dengan surat kabar atau majalah. Majalah hadir untuk melengkapi
kebutuhan informasi yang tidak dapat dipenuhi oleh surat kabar. Majalah diterbitkan secara berkala,
baik bulanan maupun mingguan. Konten pada majalah biasanya berisi humor, karya fiksi, essay politik,
sastra, musik, atau bahkan topik menarik lainnya yang sifatnya lebih ringan daripada konten didalam
surat kabar. Majalah di Indonesia sudah mulai terbit sejak zaman penjajahan bersamaan dengan surat
kabar namun, majalah pada saat itu tidak bertahan lama. Pada tahun 1014 terbit majalah "De'Craine",
disusul oleh majalah "Perintis" yang diterbikan oleh supir dan untuk kalangan supir. Pada masa
kemerdekaan di tahun 1945 Majalah "Panja Raya" terbit di Jakarta dibawah pimpinan Markoem
Djojohadisoeparto.
Di dalam lingkup subkultur, mereka mempunyai media yang mereka buat sendiri sebagai alat
komunikasi dalam kelompoknya sebagai alternatif dari media arus utama. Media publikasi alternatif
itu disebut "Zine". Zine berasal dari kata fanzine yang merupakan singkatan dari fan magazine
(Fanzine). Tidak semua zine itu fanzine, tapi semua fanzine sudah pasti zine. Zine berisikan berbagai
topik sekaligus dalam satu zine sedangkan Fanzine berisikan hanya satu topik saja dalam satu zine.
Zine tidak hanya berbicara masalah-masalah politik, budaya, ataupun musik, tema yang dituangkan
ke dalam zine pun awalnya berbicara soal tema-tema fiksi ilmiah. Zine dijadikan sumber informasi
bagi orang-orang atau bahkan kelompok masyarakat yang ingin mencari bacaan alternatif di luar
media-media mainstream. Skena punk era 70an menyumbang banyak hal kepada dunia fanzine,
seperti estetika baru, penuh dengan seni potong dan tempel yang tidak mengindahkan hak cipta
dan orisinalitas serta mendobrak prinsip-prinsip desain grafis. Kemajuan teknologi yang
menghasilkan mesin fotokopi membuat munculnya penerbitan independen yang pada akhirnya
memproduksi media mereka sendiri yang disebut sebagai Zine.

Zine sendiri mempunyai filosopi yang membedakannya dengan media cetak lainnya,
diantaranya: semangat Do It Yourself yang membebaskan para pembuatnya memproduksi dengan
metode apapun, Zine juga disebut sebagai Anti-authoritarian yang berarti bahwa di dalam zine
sendiri tidak ada kebenaran yang absolut, zine adalah media alternatif yang bisa dilakukan dan
diproduksi sendiri atau secara kolektif. Tidak ada satupun media di luar sana yang bisa berbicara
atas banyak orang, karenanya setiap orang boleh membuat medianya sendiri. Biasanya zine berupa
hasil fotokopi yang diperbanyak untuk dibagikan atau pun dijual. Bagi beberapa seniman, zine
merupakan sebuah arsip dari karya-karyanya yang bisa dijadikan sebuah bentuk apresiasi dengan
mengkoleksi karyanya. Di Indonesia sendiri pergerakan zine masih kalah massive dibanding dengan
buku-buku yang dijual di toko buku besar. Pergerakannya bisa dikategorikan underground namun,
masih banyak anak muda yang mencari zine karena isi dari zine tersebut berbeda dengan media arus
utama bahkan beberapa zine isinya sangat out of the box.

Pada perkembangan teknologi di era digital saat ini, beberapa media seperti stasiun radio
maupun televisi mulai memanfaatkan atau beralih menggunakan internet dalam metode siarannya.
Begitu pula stasiun televisi di Indonesia yang menyiarkan secara langsung dengan menggunakan
internet. Kehadiaran teknologi internet pun sudah pasti akan memberi dampak tersendiri bagi
penerbitan pers atau media cetak. Perkembangan teknologi kedalam media cetak menyebabkan alih
bentuk dari cetak menjadi ke digital. Beberapa usaha di bidang penerbitan pers tidak mampu
menghadapi era disruptif saat ini. Hal itu juga disebabkan para pengiklan yang lebih suka
mempromosikan produknya melalui media digital, sudah pasti mengakibatkan berkurangnya
pemasukan ke penerbit pers media cetak. Namun, tidak semua penerbit tutup usia, beberapa pada
akhirnya memilih untuk beralih ke media digital.

Era disruptif tidak hanya menimbulkan masalah mengenai tergantikannya media


konvensional ke media digital, terdapat masalah lain yang menyebabkan pers (media) kehilangan
fungsi sebenarnya sebagai media pers yang menyalurkan suara masyarakat. Media yang kian hari
terlalu mementingkan kepentingan politik dari sang pemilik. Konglomerasi media saat ini yang
menimbulkan mosi tidak percaya pada masyarakat terhadap media arus utama. Dalam zine justru
mendobrak batasan tersebut sebagai bentuk perlawanan.

Zine saat ini semakin berkembang dengan bentuk-bentuk baru yang beragam. Banyak
penerbit independen yang khusus memproduksi dan menerbitkan zine dengan berbagai macam
konten dengan sirkulasi yang lebih luas dan dikelola secara profesional. Zine kini lebih mirip
majalah mini dengan sentuhan personal. Perkembangan teknologi yang terjadi pada skena zine
sendiri tidak meruntuhkan ideologi dan semangat mereka sebagai media alternatif seperti diawal
kelahirannya.

Jika media cetak konvensional mengalami disruptif, seperti surat kabar menjadi electronic
paper, majalah berubah bentuk menjadi e-magz (electronic magazine) semua media cetak sudah
mulai tergantikan oleh format digital. Pada skena zine pun terkena dampak dari perkembangan
teknologi di era disruptif saat ini. Beriringan dengan perkembangan tersebut, dan dengan hadirnya
internet maka munculah webzine dan e-zine sebagai antitesis dari zine cetak. Zine-zine ini tidaklah
lagi membutuhkan kertas dan tinta. Hal yang membedakan Webzine dan e-zine adalah webzine
berbasis pada website yang tampilannya bisa diakses melalui internet, sedangkan e-zine bisa di
download serta di copy sebagai file data dalam format PDF yang bisa dibaca menggunakan
perangkat seperti smartphone atau personal computer.

Webzine hadir sebagai jawaban atas era disruptif yang terjadi pada media zine cetak. Zine
digital dianggap menghilangkan esensi DIY yang menjadi ideologi zine, karena melewati proses
percetakan. Namun kehadiran webzine dan e-zine justru menggali lebih kedalam pergerakan
secara kolektif. Seperti pembuatan konten pada webzine yang biasanya dikerjakan bersama-sama.
Selain itu pergerakan yang dilakukan oleh e-zine adalah sebuah upaya menyelamatkan arsip cetak
kedalam format digital. Zine digital saat ini masih berusaha untuk menunjukan eksistensinya di
Indonesia. Munculnya webzine dan e-zine di indonesia sendiri menimbulkan kontroversi bagi para
penggemar dan zinester (pembuat zine) yang menyukai zine dalam format cetak. Karena mereka
menganggap zine digital tidak melalui banyak proses yang pada akhirnya dianggap mematikan sisi
personalnya antara zinester dan karyanya. Zine cetak sebenarnya pernah sempat seakan
menghilang karena hadirnya fitur blogging dari internet yang menggantikan zine sebagai media
berekspresi secara personal.

Geliat yang terjadi pada zine cetak pada akhirnya tidak akan pernah surut dengan
munculnya beberapa acara yang berkaitan dengan zine. Pada tahun 2008 Yogyakarta Zine Attack
menyelenggarakan pameran zine secara mandiri. Pergerakan tersebut mendapatkan respon
positif. Sehingga berlanjut pada tahun 2011 menjadi sebuah acara dengan konsep yang
sepenuhnya mengenai zine, yang terdiri dari workshop dan pameran koleksi zine. Pergerakan ini
berlangsung sampai tahun 2014 dan seterusnya dengan peserta yang lebih beragam. Di kota
Bandung juga mengadakan festival zine pertama yang diselenggarakan pada tahun 2012 dan
menjadi acara tahunan mereka. Pergerakan ini merambah ke kota besar lainnya seperti bali,
surabaya, malang, dll. Dengan hadirnya acara tersebut akan semakin banyak khalayak atau anak
muda yang tertarik untuk memproduksi medianya sendiri dan membuka kesempatan yang lebih
luas kepada khalayak terhadap apresiasi dalam skena zine. Lantas akankah zine cetak di era
disruptif ini bertahan dari terpaan media elektronik yang serba canggih dan instan?.

Saya selalu menyimpan katalog pameran yang biasa saya kunjungi, atau beberapa stiker
pemberian teman, bahkan poster gigs yang dicabut dengan sengaja untuk disimpan sebagai arsip.
Saya merasa sesuatu yang dicetak itu mempunyai nyawa, karena proses yang dilalui cukup panjang
sampai menjadi sebuah arsip yang bisa dinikmati secara fisik. Sebuah karya dalam bentuk fisik bisa
menjadi sangat berharga di era digital yang serba praktis dan instan. Saya percaya, sebuah rilisan fisik
mempunyai nilai keintiman yang lebih mendalam ketimbang sebuah arsip yang dibatasi oleh layar.
Kelebihan dari rilisan fisik, si pembaca bisa merasakan tekstur dari bahan kertas yang dipilih untuk
dicetak, mengetahui gramasi dari ketebalan kertas, melihat pemilihan warna yang dicetak dan bahkan
aroma kertas dari rilisan fisik yang masing-masing mempunyai karakter berbeda. Inilah alasan saya
mengoleksi, menduplikasi zine, dan juga memproduksinya menjadi rilisan fisik yang bisa dinikmati,
dipegang, diperbanyak, disebarkan, dibolak-balik, digunting-gunting, atau ya terserah anda mau
melakukan apapun dengan zine cetak anda. Zine akan tetap pada hakikatnya sebagai media
berekspresi menyalurkan gagasan, perlawanan, atau bahkan arsip diri sejarah personal. Tidak akan
ada yang membahas sejarah personal jika bukan anda sendiri dengan membuat zine.
Media cetak khususnya zine akan tetap hidup selama masih ada kelompok-kelompok kecil
(subkultur) yang masih bergantung pada medianya sendiri, dan juga selama masih adanya perlawanan
terhadap media arus utama tidak bisa mendukung kebutuhan individu atau kelompok subkultur
tersebut. Media cetak masih akan bertahan karena media digital dianggap mematikan sisi manusiawi
(personalnya). Dengan melalui proses yang dilalui dalam mencapai sesuatu, akan membuat anda
merasa lebih hidup sebagai manusia yang utuh. Buat zine mu sendiri dan bersenang-senanglah.

Sumber :
https://pakarkomunikasi.com/perkembangan-media-massa-di-indonesia
https://www.kompasiana.com/mrahmad/552e47ac6ea83403398b4570/berakhirnya-media-cetak-
tempo-diambang-kebangkrutan
https://www.antaranews.com/berita/796636/relasi-dinamis-media-arus-utama-dan-media-sosial
https://www.pontianakpost.co.id/dahlan-koran-tidak-akan-mati

Anda mungkin juga menyukai