Anda di halaman 1dari 5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Fraktur Akar Gigi


Malhotra et al (2011) membagi klasifikasi fraktur akar gigi menjadi fraktur akar horizontal dan
fraktur akar vertikal. Klasifikasi fraktur akar horizontal dilakukan dengan memperhatikan:
1. Lokasi garis fraktur (servikal, tengah, apikal).
2. Derajat fraktur (parsial dan total).
3. Jumlah garis fraktur (simpel dan multipel).
4. Posisi fragmen koronal (bergeser atau tidak).
Fraktur akar vertikal dapat diklasifikasi menurut:
1. Derajat separasi fragmen (komplit atau inkomplit).
2. Posisi relatif fraktur pada puncak tulang alveolar:
a) Supraoseous: Fraktur yang tidak melibatkan tulang alveolar serta tidak menimbulkan kerusakan
periodontal.
b) Intraoseous: Fraktur yang melibatkan tulang alveolar dan menyebabkan kerusakan periodontal.

Tabel 1. Jenis Fraktur Akar (Malhotra, 2011)


2.2 Etiologi
Fraktur akar gigi dapat disebabkan oleh: (Devan, 2014)
1. Traumatik fisikal. Trauma fisikal yang dapat menyebabkan fraktur akar gigi
diantaranya kecelakaan lalu lintas, olahraga, terjatuh, perkelahian dan objek yang terbentur dengan
gigi. Fraktur akar gigi horizontal pada gigi posterior sering disebabkan oleh trauma indirek, yang biasanya
terjadi akibat benturan kuat antara mandibula dengan maksila setelah pukulan ke daerah dagu.
2. Traumatik oklusi dan tekanan oklusal berlebihan, terutamanya pada gigi yang telah dirawat
endodontik serta gigi yang telah direstorasi. Gigi posterior yang telah dirawat endodontik dan tidak
dilakukan crowning mempunyai resiko tertinggi untuk fraktur akar gigi. Tekanan oklusal berlebihan dalam
beberapa pola mengunyah makanan spesifik juga berkemungkinan besar menghasilkan fraktur akar
vertikal.
3. Kebiasaan parafungsional, misalnya clenching, grinding dan bruksism.
4. Kebiasaan buruk seperti mengunyah es serta mengkonsumsi makanan abrasif
5. Fraktur akar gigi yang diinduksi oleh resorpsi internal. Resorpsi tersebut dapat
berupa resorpsi patologik maupun resorpsi akibat terapi ortodontik.
6. Perawatan endodontik. Pembuangan dentin berlebihan dapat menyebabkan struktur akar gigi
menjadi lemah. Perforasi akar, prosedur obturasi saluran akar dan pengunaan pasak yang besar dapat
menyebabkan fraktur akar, terutamanya pada bagian apikal
7. Restorasi gigi yang ekstensif. Tambalan gigi yang besar, pemasangan mahkota
secara paksa, restorasi intrakoronal (inlay) dan pemasangan pin dapat
menyebabkan fraktur akar gigi vertikal disebabkan oleh aksi wedging.
8. Fraktur akar gigi sewaktu pencabutan. Hal ini dapat disebabkan oleh:
a) Bentuk akar yang panjang, membengkok dan divergen.
b) Lokasi akar dalam tulang padat.
c) Gigi yang mengalami karies tahap lanjut atau restorasi yang besar.
d) Akar yang rapuh. Keadaan ini biasanya ditemukan pada gigi nonvital, gigi
dengan penyakit periodontal serta pasien lansia.
e) Sklerosis serta kehilangan elastisitas tulang alveolar, yang sering terjadi pada keadaan gigi
dengan penyakit periodontal serta gigi pada pasien lansia. Hal ini dapat menghasilkan resistensi hebat
sewaktu pencabutan.
f) Pemilihan dan aplikasi tang pencabutan yang tidak benar. Tang pencabutan yang tidak cocok
paruhnya dengan akar gigi serta pengunaan tenaga yang berlebihan sewaktu pencabutan dapat
meningkatkan resiko fraktur akar gigi.
2.3 Gambaran Radiografi
Menurut Glickman, rontgen sangat diperlukan untuk mengkonfirmasi kehadiran fraktur akar gigi.
Untuk mendeteksi fraktur akar, sinar Rontgen harus melewati garis fraktur, atau fraktur tersebut tidak dapat
dilihat. Fraktur akar horizontal biasanya lebih sering tampak pada foto Rontgen berbanding fraktur akar
vertikal.
2.3.1 Fraktur akar horizontal
Fraktur akar horizontal tampak pada foto Rontgen sebagai garis radiolusen yang memisahkan
fragmen koronal dari fragmen apikal. Fraktur ini umumnya hanya dapat dilihat dalam jangkauan maksimum
15o-20o dari bidang fraktur. Setelah mengambil foto Rontgen periapikal, Malhotra et al (2011)
menyarankan pengambilan dua foto periapikal tambahan (angulasi positif 15o dan angulasi negatif 15o
pada garis fraktur) untuk menampilkan garis fraktur tersebut pada foto Rontgen.

Gambar 1. Fraktur akar horizontal (Malhotra, 2011)

2.3.2 Fraktur akar vertikal


Pemeriksaan radiografi awal mungkin menampilkan penebalan ligamen periodontal secara
unilateral melewati bagian akar yang mengalami fraktur tersebut. Apabila fraktur tersebut berlanjut, daerah
radiolusensi difus (halo) dapat dilihat melingkar akar gigi secara uniform. Hal lain yang dapat ditampilkan
melalui radiografi antara lain: (Malhotra, 2011)
1. Garis fraktur
2. Fragmen akar yang terpisah
3. Ruang kosong di samping pasak atau saluran akar yang telah diobturasi
4. Bayangan ganda dari permukaan eksternal akar
5. Kehilangan tulang horizontal yang terisolasi pada gigi posterior
6. Kehilangan tulang pada regio bifurkasi gigi molar yang tidak dapat dijelaskan
7. Resorpsi yang melewati garis fraktur, yang dapat dilihat sebagai:
a) Kehilangan tulang difus berbentuk V pada daerah apikal akar gigi posterior
b) Kehilangan tulang vertikal melewati garis fraktur
Gambar 2. Fraktur akar vertikal (Malhotra, 2011)

2.4 Bahan Mineral Trioxide Aggregate


Mineral trioxide aggregate (MTA) sebagai bahan pilihan alternatif yang tepat selain kalsium
hidroksida. MTA ditemukan oleh Dr.Torabinejad di Loma Linda University pada tahun 1983. Bahan ini
berbentuk bubuk yang terdiri dari partikel partikel halus hidrolik yang komponen utama adalah tricalcium
silicate, tricalcium aluminate, tricalcium oxide, silicate oxide dan bersifat basa kuat dengan pH awal 10,2
dan akan menjadi 12,5 yang mengeras dalam 3-4 jam setelah pencampuran. Kekuatan MTA terhadap
tekanan akan meningkat sampai 21 hari dalam lingkungan yang lembab. Dalam tahun 1999, Torabinejad
dan Chivan mengemukakan penggunaan MTA sebagai sumbat apikal (apical plug) yaitu barier apikal
buatan yang dapat secara cepat menutup apeks yang masih terbuka, sehingga saluran akar dapat langsung
dilakukan obturasi dan restorasi tetap.4 MTA dapat menciptakan suasana anti bakteri, anti jamur dalam
lingkungan alkali dan mempunyai kemampuan untuk membentuk hidroksiapatit di atas permukaan serta
menciptakan biologic seal. Dengan demikian dapat mengurangi jumlah kunjungan bahkan dapat dilakukan
hanya dalam beberapa kali kunjungan saja, sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya fraktur gigi selama
perawatan Penggunaan MTA untuk apeksifikasi hasilnya lebih pasti dan mempersingkat waktu perawatan
dengan hasil yang lebih memuaskan.(Inajati & Untara, 2015)
Penggunaan MTA untuk apeksifikasi memiliki kelebihan dapat mempersingkat periode waktu
kunjungan dengan hanya sekali kunjungan, biokompatibel, dapat menginduksi pembentukan jaringan
keras, dan membentuk apical plug yang baik. Prosedur apeksifikasi diawali dengan debridemen
kemomekanis dan aplikasi medikamen intrakanal. Sjogren dkk., menyatakan bahwa medikamen intracanal
selama 7 hari dengan kalsium hidroksida sangat efektif membunuh mikroorganisme saluran akar.
Apeksifikasi dengan bahan MTA dapat merangasang pembentukan calcific barier dan penyembuhan apikal
sehingga terbentuknya kerapatan apikal serta memungkinkan penempatan restorasi dalam saluran akar
dapat segera dilakukan dengan minimal aplikasi MTA 24 jam sehingga dapat mencegah fraktur.(Inajati &
Untara, 2015)

DAFTAR PUSTAKA
Devan, N. 2014. Prevalensi Fraktur Akar Gigi Molar Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang
Dicabut di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU Tahun 2010-2012
Inajati & Untara, 2015. Apeksifikasi dengan Mineral Trioxide Aggregate dan Perawatan
Intracoronal Bleaching pada Gigi Insisivus Sentralis Kiri Maksila non Vital Diskolorasi. Majalah
Kedokteran Gigi Indonesia. Vol. 2 No. 2 – Agustus 3012016
Malhorta, et al. 2011. A Review of Root Fractures: Diagnosis, Treatment, and Prognosis. Dent
Update Nov; 38(9) 615-616

Anda mungkin juga menyukai