Anda di halaman 1dari 5

NAMA : FALIKHUL IBRIZA

KELAS: 2IC06

NPM : 22418461

TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA

KONFLIK NATUNA & UPAYA PENANGANAN INDONESIA

Pulau Natuna berada di Provinsi Kepulauan Riau dan berada dekat dengan Laut China
Selatan. Kawasan tersebut sampai saat ini menjadi sumber konflik antara kedaulatan Indonesia
dengan China. Diambil dari jurnal Konflik Kepulauan Natuna antara Indonesia dengan China
(2017) oleh Butje Tampil, isu tersebut menguak setelah Presiden Republik Indonesia Joko
Widodo mengkritik peta dari China yang memasukkan daerah Natuna ke dalam wilayahnya.

SEJARAH NATUNA

Natuna terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai. Pada 1957, Kepulauan Natuna
masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun pada abad ke-
19, Kepulauan Natuna akhirnya masuk ke dalam kepenguasaan Kedaulatan Riau dan menjadi
wilayah dari Kesultanan Riau. Natuna sampai saat ini masih menjadi jalur strategis dari
pelayaran internasional. Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menyerahkan
kedaulatan pada Republik Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa. Pada 18 Mei 1956,
pemerintah Indonesia resmi mendaftarkan Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
KONFLIK NATUNA

Berada di kawasan dengan sumber daya alam melimpah dan berbatasan langsung
dengan laut bebas membuat Natuna menjadi incaran banyak negara tetangga. Kontraversi
diawali dari Malaysia yang menyatakan bahwa Natuna secara sah seharusnya milik Malaysia.
Namun untuk menghindari konflik panjang, pada era konfrontasi 1962-1966 Malaysia tidak
menggugat status Natuna. Lepas dari konflik tersebut, Indonesia membangun berbagai
infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi. Etnis Melayu menjadi penduduk
mayoritas di Natuna, mencapai sekitar 85 persen. Suku Jawa sekitar 6,34 persen dan etnis
Tionghoa sekitar 2,52 persen.

Selepas kofrontasi Indonesia-Malaysia, sentimen anti China di


kawasan Natuna muncul. Dari 5.000-6.000 orang, tersisa 1.000 orang etnis China. Kemudian
muncul slentingan warga keturunan Tionghoa menghubungi Presiden China saat itu, Deng
Xiaoping untuk mendukung kemerdekaan Natuna. Meski banyak pihak yang memaksa
merebut Natuna, secara Hukum Internasional, negosiasi yang dibangun China tidak dapat
dibuktikan sampai saat ini. Pada 2009 secara nyata China melanggar Sembilan Titik ditarik
dari Pulau Spartly ditengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi
Eksklusifnya. Saat itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memprotes
langkah China melalui Komisi Landas Kontinen PBB. Di mana garis putus-putus yang diklaim
China sebagai Pembaharuan peta 1947 membuat pemerintah Indonesia atas negara-negara
yang berkonflik akibat Laut China Selatan.

Klaim yang membuat repot negara-negara tetangga ternyata dipicu dari kebijakan
pemerintahan Partai Kuomintang (saat itu di Taiwan). Bahwa wilayah China mencapai 90
persen Laut China Selatan. Meski saat itu China tidak pernah menyinggung isu Natuna
dihadapan PBB, sejak 1996 Indonesia telah mengerahkan lebih dari 20.000 personil TNI untuk
menjaga Natuna yang memiliki cadangan gas terbesar di Asia. Memasuki era Presiden Joko
Widodo, pihaknya kembali menegaskan dengan keras, bahwa Sembilan Titik yang diklaim
China tidak memiliki dasar hukum internasional apapun. Bahkan dikutip dari Surat Kabar
Jepang Yomiuri Shimbun, Presiden Joko Widodo mengatakan China perlu hati-hati dalam
menentukan peta perbatasan lautnya. Indonesia salah satu negara yang terancam dirugikan
akibat Sembilan Titik yang digambar China. Menurut Kementrian Luar Negeri, klaim China
atas Natuna telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Posisi Natuna sangat
jauh dari China. Natuna justru berdekatan dengan batas Vietnam dan Malaysia. Sehingga tidak
masuk akal jika China mengklaim Natuna masuk wilahnya.

Sampai saat ini Natuna masih menjadi sasaran negara-negara asing untuk berlayar
masuk ke wilayah tersebut. Bahkan Indonesia beberapa kali masih menangkap kapal-kapal
asing yang masuk ke Natuna. Dilansir dari Kompas.com kapal penangkap ikan dan coast guard
China diduga melakukan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif dengan memasuki Perairan
Natuna pada 31 Desember 2019. Mereka juga melakukan pelanggaran ZEE seperti melakukan
praktik illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di wilayan tertitori Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Masudi meminta China untuk patuh
terhadap ketentuan yang telah ditetapkan UNCLOS 1982 tentang batas teritori. Selain itu
kementrian Luar Negeri telah mengirimkan nota protes resmi dan memanggil Dubes China
untuk Indonesia di Jakarta.

KEBERADAAN NATUNA DILIHAT DARI HUKUM

Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar teritorial. Teritorial yang dimaksud
adalah sepanjang 200 mil laut dari garis pangkal. Landas Kontinen negara pantai tidak boleh
melebihi batas-batas yang sudah diatur dalam Pasal 76 ayat 4 hingga 6. Salah satu masalah
penting dari klaim China adalah garis demarkasi. Tidak ada peta yang bisa menunjukkan
seperti apa bentuk garis tersebut. Pasalnya tidak ada penjelasan dari pihak China. Sembilan
Titik atau Nine Dash Line China tidak bisa disahkan sebagai perbatasan teritorial karena tidak
sesuai dengan hukum internasional.

Dalam hukum internasional mengatakan bahwa perbatasan teritorial harus stabil dan
terdefinisi dengan baik. Sembilan Titik yang dibuat China tidak stabil karena dari 11 menjadi
sembilan garis tanpa alasan. Kemudian tidak ada definisi secara jelas dan kuat. Selain itu tidak
memiliki koordinat geografis dan tidak menjelaskan bentuk bila semua garis dihubungkan.
Sembilan Titik atau Nine Dash Line China tidak bisa disahkan sebagai perbatasan teritorial
karena tidak sesuai dengan hukum internasional. Dalam hukum internasional mengatakan
bahwa perbatasan teritorial harus stabil dan terdefinisi dengan baik. Sembilan Titik yang dibuat
China tidak stabil karena dari 11 menjadi sembilan garis tanpa alasan. Kemudian tidak ada
definisi secara jelas dan kuat. Selain itu tidak memiliki koordinat geografis dan tidak
menjelaskan bentuk bila semua garis dihubungkan.

Pemerintah Indonesia tetap melakukan beberapa upaya diplomatik dengan China, agar
sengketa Laut China Selatan tidak meluas sampai ke Natuna. Kedua belah pihak sudah sepakat
mengedepankan diplomasi dengan mengimplementasikan Declaration on the Conduct of
Parties in the South China Sea (DOC). Selain itu, Indonesia juga sudah mengusulkan zero draft
code of conduct South China Sea yang bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia. Tiga
poin tersebut, yaitu:

1. Menciptakan rasa saling percaya.


2. Mencegah terjadinya insiden.
3. Mengelola insiden, jika memang insiden terjadi dan tidak dapat dihindari.

KETERLIBATAN ASEAN

Indonesia bersama ASEAN serta China dalam upaya menyelesaikan masalah Laut
China Selatan dengan terciptanya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea
pada tahun 2002 dianggap sebagai salah satu implementasi Doktrin Natalegawa. ASEAN juga
mengupayakan perubahan DOC menjadi Code of Conduct (COC) sehingga kesepakatan
perjanjian konstruktif terkait sengketa wilayah tersebut bisa mengikat masing-masing pihak.
ASEAN juga memaksimalkan fungsi mekanisme kerja lembaga internalnya yang telah
disepakati khususnya di bidang maritim dan implementasi di lapangan. ASEAN memperkuat
upaya kerja sama bilateral secara berkelanjutan untuk tujuan pemanfaatan bersama dalam
potensi sumber daya alam di wilayah sengketa baik antara sesama anggota ASEAN maupun
yang sedang bersengketa.

(Sumber : KOMPAS.com/Luthfia Ayu Azanella | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary,


Muhammad Idris)
Sabtu, 4 Januari 2020 | 18:00 WIB

Anda mungkin juga menyukai