Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas.
Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai
pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan
reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an
banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan
publik yang diberikan oleh pemerintah.
Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama
dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman
Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan
Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang
Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur
pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1
Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah
Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan
No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.Oleh karena saya membuat makalah ini dengan judul “ Model Reformasi Pelayanan
Publik ” ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang Model Reformasi Pelayanan
Publik tersebut.

1.2 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Kondisi masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
2. Birokrasi yang mengedepankan etika pelayanan Publik
3. Model Etika Pelayanan Publik
4. Faktor Pendukung membangun etika pelayanan Publik

1.3 Rumusan Masalah


Penulis mengambil masalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana Kondisi masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

1
2. Bagaimana Birokrasi yang mengedepankan etika pelayanan Publik
3. Bagaimana Model Etika Pelayanan Publik
4. Bagaimana Faktor Pendukung membangun etika pelayanan Publik

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pelayanan Publik
Pelayanan publik diibaratkan sebagai sebuah proses, dimana ada orang yang dilayani,
melayani, dan jenis dari pelayanan yang diberikan. Sehingga kiranya pelayanan publik
memuat hal-hal yang subtansial yang berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh
swasta. Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka
memenuhi segala kebutuhan masyarakat, sehingga dapat dibedakan dengan pelayanan yang
dilakukan oleh swasta (Ratminto, 2006).
Sebagai contoh adalah pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang diberikan oleh
pihak kepolisian dan dimonopoli oleh satu pihak. SIM tidak boleh dikeluarkan oleh lembaga
lain termasuk swasta. Sehingga pelayanan yang seperti itu dengan ciri dimonopoli oleh
pemerintah disebut pelayanan publik.
Namun, dalam perjalanannya ternyata pelayanan publik menemui berbagai macam
rintangan yang menghadang. Salah satunya adalah paradigma birokrasi yang cenderung
untuk minta dilayani ketimbang melayani. Hal tersebut mengakibatkan berbagai persoalan
(Singgih Wiranto,2006) seperti berbelit-belit, tidak efektif dan efisien, sulit dipahami, sulit
dilaksanakan, tidak akurat, tidak transparan, tidak adil, birokratis, tidak profesional, tidak
akuntabel, keterbatasan teknologi, keterbatasan informasi, kurangnya kepastian hukum,
KKN, biaya tinggi, polarisasi politis, sentralistik, tidak adanya standar baku dan lemahnya
kontrol masyarakat. Sedangkan telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dimana
rakyat atau warga Negara adalah focus dari pelayanan.
Pelayanan publik sendiri terdiri dari berbagai bentuk pelayanan yang diberikan oleh
Negara. Pelayanan publik dapat berupa pelayanan di bidang barang dan jasa (Ratminto,2006).
Pelayanan dibidang jasa seperti penyediaan bahan baker minyak yang dilakukan oleh
Pertamina, dan beras yang diurus oleh Badan Usaha Logistik (BULOG). Sedangkan dalam
porsi jasa dapat berupa jasa perizinan dan investasi yang sekarang ini sedang marak untuk
dikaji dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik itu akademisi maupun praktisi.
Kenapa investasi bisa semakin marak? Mengingat Indonesia adalah Negara kaya namun
kurang mendapatkan tempat dihati para investor. Hal tersebut terbukti dengan peringkat
Indonesia yang masih diatas seratus dalam kategori pro investasi karena proses yang panjang.
Dengan diberlakukannya pelayanan satu tempat atau One Stop Service (OSS) apakah
telah dapat memperbaiki kualitas pelayanan terhadap perizinan. Seperti yang kita ketahui

3
bahwa dengan adanya sistem OSS tersebut tidak serta merta masalah pelayanan perizinan
yang berbelit-belit dan panjang akan terhapus. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan.
1. terkadang isntitusi-institusi yang digabungkan dalam dalam satu kantor bukan berarti
pemangkasan birokrasi. Publik harus tetap melalui meja-meja yang “sama” dengan
sbelumnya. Bedanya jika dulu “meja-meja” lokasinya berbeda sekarang “jadi satu kantor “.
2. Orang-orang yang berada dikantor pelayanan satu atap yang “mewakili” institusinya tidak
memiliki kewenangan yang cukup untuk menetapkan keputusan yang mendesak dalam hal
pelayanan. Sehingga lagi-lagi si “publik” harus menunggu atasan “pelayan” dikantor tersebut,
dalam memeberikan keputusan. Sehingga kantor inipun gagal mencapai tujuan awal yaitu
efisiensi (Indiahono,2006).
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa OSS saja tanpa memaknainya malah akan
menambah masalah bagi daerah terutama untuk Banyumas. KPPI sendiri adalah sebuah
badan untuk meng-acc hal-hal yang telah dibuat oleh dinas atau badan lain.sebagai contoh
(Suara Merdeka,2005) adalah pada tahun 2005 Pertumbuhan investasi di Banyumas beberapa
tahun terakhir ini tergolong pesat. Pada tahun ini sampai Juni lalu, investasi di sektor
perdagangan, jasa, dan properti dari investor lokal dan luar daerah yang bergulir Rp 64
miliar.
Angka itu dihitung berdasar pengajuan izin gangguan lingkungan ke Kantor
Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) serta telah mengantongi SIUP dari Dinas
Perdagangan dan Perindustrian serta Dinas Koperasi dan UKM. Dengan adanya pelayanan
yang sangat banyak untuk mendirikan usaha seperti contoh di atas dalam hal ini berarti OSS
belum bias maksimal mengingat beberapa pelayanan masih di urusi oleh
dinas/kantor/lembaga lain selain KPPI.
2. Kondisi dan Permasalahan Pelayanan Publik Di Indonesia
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan
peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung
pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan
sumber daya manusia, dan kelembagaan.Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan
publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:
a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai
pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab
instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali
lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

4
b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat,
lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang
berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan
antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan
melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian
pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan,
kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat
kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab
pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan,
juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama
untuk diselesaikan.
f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat
pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari
waktu ke waktu
g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan)
seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan
dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju
bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi
yang tepat.
Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang
tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh
dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak
terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan
dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga
menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

5
3. Birokrasi Yang Mengedepankan Etika Pelayanan Publik
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan
atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah
manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan
jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di
dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua
macam etika sebagai berikut:
a. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia,
serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai.
Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai
nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang
membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau
tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan
manusia dapat bertindak secara etis.
b. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya
dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa
yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat
menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai
dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
1) Etika Pertanggungjawaban, Moralitas dan Spriritualitas
Kita mungkin seringkali mendengar, atau bahkan menggunakan, istilah
tanggungjawab". Akan tetapi apakah ia sesungguhnya di benak kita? Adakah ia kita pandang
sebagai sesuatu yang menyertai pelaksanaan suatu tindakan atau perbuatan, penunaian suatu
kewajiban, suatu tugas, padamana ia memang umumnyadikaitkan?
Di dalam kata bentukan itu sebetulnya juga terkandung "beban". Ketika kita
mengerjakan sesuatu, maka "beban" tanggungjawab atas baik-buruk, benar-salah dari apa
yang kita kerjakan itu ada di pundak kita. Kalaupun dalam suatu kerja-kelompok ada sosok
figur "penanggungjawab", maka ia hanya bertanggungjawab secara umum saja. Pelaksanaan
dari bidang kerja yang menjadi tugas masing-masing personil dari kelompok kerja itu, tetap
menjadi tangggungjawab masing-masing, yang harus ia pertangungjawabkan lagi kepada si
penanggungjawab tadi. Apa yang hendak saya katakan disini adalah, apapun yang kita

6
kerjakan adalah tangungjawab kita. Sebagai manusia dewasa, orang yang bertangungjawab,
tidaklah pantas kita lari dari tanggungjawab serupa itu.
Dalam Hukum Karma, Hukum Kausalitas Universal, apa yang kita perbuat
merupakan sebab yang akan berakibat atau merupakan aksi yang mengundang hadirnya
reaksi. Ketika sebab telah diciptakan, maka si pencipta sebab seharusnya bertanggungjawab
atas akibat yang mengikutinya. Inilah kunci keterkaitan langsung antara Hukum Sebab-
Akibat dengan pertanggungjawaban itu. Selama sebuah perbuatan masih disertai oleh si
pelaku perbuatan, maka selama itu pula hasil perbuatan harus ada yang menanggungnya.
Sebagai si pelaku, seseorang tidak pernah bisa lepas dari hasil dari kelakuannya. Si pelaku
inilah yang, mau tak mau, harus bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.
2) Tanggungjawab dan Kemanusiaan
Ketika kita mengakui keberadaan kita sebagai manusia, kitapun seharusnya
menyadari tanggungjawab kemanusiaan, tanggungjawab kepada manusia, yang melekat
padanya. Belumlah pantas bila kita mengaku sebagai manusia, namun masih berprilaku
layaknya binatang yang tak beradab. Pengakuan, pengklaiman selalu harus disertai
kelayakan. Anda tidak akan mengklaim sesuatu yang tidak atau belum layak untuk Anda.
Anda hanya layak mengklaim diri sebagai manusia dan minta diperlakukan layaknya
manusia, bilamana Anda memang benar-benar menunjukkan diri sebagai beradab layaknya
manusia. Sementara kebiadaban identik dengan kebinatangan, maka keberadaban identik
dengan kemanusiaan. Sebagai manusia, kita punya "tanggungjawab-moril" untuk menganut
faham kemanusiaan dan berprilaku, berpola ucap, berpola pikir layaknya manusia.
Tanggungjawab-moril ini melekat dengan keberadaan kita sebagai manusia. Ada yang
mempersamakan "tanggungjawab-moril" dengan "beban-moril". Akan tetapi, ketika kita
menyadari semua ini, ketika kita menyadari tanggungjawab-moril kita, apakah untuk
bertindak manusiawi merupakan suatu beban bagi kita?

4. Moral Etika Pelayanan Publik

Seperti yang telah dikatakan Darwin (1999) bahwa dalam dalam etika pelayanan
publik adaa seperangkat nilai yang digunakan sebagai acuan, referensi dan penntun bagi
birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yaitu :

a. Efisiensi

7
Nilai efisiensi berarti tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik
dikatakan baik jika mereka efisien. Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan
dana publik secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi
publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan
kontribusi kepada organisasi. Oleh karena itu perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah
bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat
saudara berikan kepada organisasi”.
b. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor
Nilai ini dimaksudkan supaya birokras yang baik dapat membedakan mana barang
yang milik kantor dan mana yang milik pribadi. Artinya milik kantor tidak bisa digunakan
untuk kepentingan pribadi
c. Impersonal
Nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan antara bagian
satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya
dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Hubungan
impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam
organisasi. Intinya siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi
selayaknya mendapat penghargaan.
d. Merytal System
Nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai. Artinya adalah dalam
pemerimaan pegawai tidak didasarkan pada kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan pengalaman. Sehingga dengan sistem ini
akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab, dan bukan “spoil system”
e. Responsible
Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya. Responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar
professional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam
menjalankan tugasnya.Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil,tidak
membedakan client , peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau
memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga diharapkan birokrasi yang
responsible akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan professional.
f. Accountable

8
Nilai tersebut merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah
dana , publik telah digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal (Harty,1977).
Sedangkan Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan
konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu
tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang
bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif
oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggungjawaban segala
macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan
kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan
akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan
publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
g. Responsiveness
Nilai yang berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi
apa yang menjadi keluhan,masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami
apa yang menjadi tuntutan publik dan berusaha untuk memenuhinya, Mereka tidak suka
menunda-nunda waktu ,memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur
tetapi mengabaikan sustansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik
apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutn,
masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
Sedangkan menurut Widodo (2001:270-271), pelayanan publik yang professional
adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari
pemberi layanan (aparatur pemerintah). Ciri-cirinya adalah :
a. Efektif, yaitu lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran
b. Sederhana, yaitu tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah,tepat,cepat, tidak
berbelit-belir, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat pengguna
layanan.
c. Kejelasan dan Kepastian (transparan), kejelasan dan kepastian tersebut mengenai
prosedur tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan, unit kerja dan atau pejabat yang
berwenang dalam pemberian pelayanan, rincian biaya pelayanan, jadwal waktu
penyelesaian pelayanan, keterbukaan, dan efiiensi.

5. Faktor Pendukung Membangun Etika Pelayanan Publik


9
Di dalam pelayanan umum, terdapat beberapa faktor-faktor pendukung yang sangat
penting yang apabila dari salah satu dari faktor tersebut tidak ada, maka pelayanan akan
sangat terasa kurang maksimal. Dibawah ini adalah penjelasan menurut Ridwan dan Sodik
Sudrajat (2009:22) mengenai faktor-faktor pendukung peningkatan pelayanan publik adalah
sebagai berikut :
1. Faktor Hukum
Hukum akan mudah ditegakkan, jika aturan atau undang-undangnya sebagai sumber hukum
mendukung terciptanya penegakan hukum. Artinya, peraturan perundang – undangan sesuai
dengan kebutuhan untuk terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik.

2. Faktor Aparatur Pemerintah


Aparatur pemerintah merupakan salah faktor terciptanya peningkatan pelayanan publik. Oleh
karena aparat pemerintah merupakan unsur yang bekerja didalam pratek untuk memberikan
pelayanan. Secara sosiologis aparat pemerintah mempunyai kedudukan atau peranan dalam
terciptanya suatu pelayanan publik yang maksimal.

3. Faktor Sarana
Penyelenggaraan pelayanan publik tidak akan berlangsung dengan lancar dan tertib (baik).
Jika tanpa adanya suatu sarana atau fasilitas yang mendukungnya. Sarana itu mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan, organisasi yang baik, peralatan yang memadai dan
keuangan yang cukup. Jika hal-hal yang demikian itu tidak terpenuhi, maka mustahil tujuan
dari pelayanan publik akan tercapai dengan baik atau sesuai dengan harapan. Meskipun
faktor-faktor hukum, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum, masyarakat sudah dapat
dipenuhi dengan baik namun jika fasilitas yang tersedia kurang memadai niscaya tidak akan
terwujud suatu pelayanan publik yang baik.

4. Faktor Masyarakat
Pada intinya penyelenggaraan pelayanan diperuntukkan untuk masyarakat dan oleh
karenanya masyarakatlah yang memerlukan berbagai pelayanan dari pemerintah sebagai
penguasa pemerintahan. Dengan kata lain masyarakat memiliki eksitensi dalam pelayanan,
karena dalam konteks kemasyarakatan pelayanan publik berasal dari masyarakat (publik)
utamanya adalah terciptanya kesejahteraan pelayanan publik seutuhnya. Oleh karena itu jika
dipandang sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi terciptanya penyelenggaran

10
pelayanan publik yang baik. artinya masyarakat harus mendukung terhadap kegiatan
peningkatan pelayanan publik yang di aktualisasikan melalui kesadaran hukum.

5. Faktor Kebudayaan
Merupakan faktor yang hampir sama dengan faktor masyarakat. Jika melihat dari sistem
sosial budaya negara Indonesia sendiri memiliki masyarakat yang majemuk dengan berbagai
macam karakteristik perlu disadari bahwa objektifnya dalam penyelenggraan pelayanan
publik tidak bisa disamakan karena memiliki perbedaan karakteristik pada masing-masing
masyarakat disetiap daerahnya, faktor kebudayaan dalam terciptanya penyelenggaraan
pelayananan publik yang baik dan layak.

11
BAB VI
PENUTUP
A.Kesimpulan
Arah baru atau model reformasi birokrasi perlu dirancang untuk
mendukung demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya
pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki
sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya
hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility)
secara teratur.
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang
sudah ada. Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah
pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi.
Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus
globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu
negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga
negara, sebagai motor penggerak utama.
Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance,
yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean
government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

B. Saran

· Penerapan model reformasi pelayan publik dalam sistem Pemerintahan yang sekarang
diterapkan belum mencapai hasil yang diharapkan. Perilaku birokrasi dan kinerja
Pemerintah belum dapat mewujudkan keinginan dan pilihan publik untuk memperoleh jasa
pelayanan yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraan.
· Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah dalam hal ini dapat
dilakukan dengan berbagai strategi, diantaranya : perluasan institusional dan mekanisme
pasar, penerapan manejemen publik modern, dan perluasan makna demokrasi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus. 2003. Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang harus dilakukan?, Policy
Brief. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Atep Adya Brata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta: Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN.
Ttamin, feisal. reformasi birokrasi. jakarta:blantika,2004
Dwiyanto, Agus, dkk., reformasi birokrasi public di Indonesia. Yogyakarta: UGM press,
2006
Qodri azizy, abdul. Change management dalam reformasi birokrasi. jakarta: gramedia, 2007

13

Anda mungkin juga menyukai