Anda di halaman 1dari 13

Konsensus ILCOR 2005

Pada konsensus dibicarakan banyak hal yang berhubungan dengan bantuan hidup dasar.
Yang dikelompokan menjadi : 1. Epidemiologi dan pengenalan terhadap henti jantung; 2. Jalan
nafas dan ventilasi; 3. Kompresi dada; 4. Rangkaian kompresi ventilasi; 5. Posisi pasca
resusitasi; 6. Keadaan khusus; 7. Sistem pelayanan medis darurat; 8. Resiko bagi penolong dan
korban.
Ringkasan :
• Penolong memulai CPR saat diketahui korban tidak sadar, tidak bergerak dan tidak
bernafas.
• Untuk ventilasi dari mulut ke mulut atau menggunakan ventilasi bag-valve-mask dengan
udara ruangan atau oksigen, penolong harus mampu memberi nafas dalam satu detik dan
dapat melihat pengembangan dada yang terjadi.
• Tingkatkan kompresi pada proses CPR: tekan keras dengan frekuensi 100 kompresi per
menit.
• Untuk penolong tunggal pada bayi (kecuali neonatus), anak-anak atau korban dewasa,
gunakan rasio tunggal dalam kompresi-ventilasi yaitu 30:2. Jika 2 penolong maka
gunakan rasio kompresi-ventilasi 15:2.
• Selama proses CPR, pada pasien dengan jalan nafas yang parah yang menggunakan alat
bantu pada jalan nafas seperti tracheal tube, combitube, laryngeal mask airway, maka
diberikan ventilasi dengan frekuensi 8-10 kali per menit untuk bayi (kecuali neonatus),
anak-anak dan dewasa, tanpa ada jeda selama kompresi dada sambil memberi ventilasi.

EPIDEMIOLOGI DAN PENGENALAN HENTI JANTUNG


Banyak sekali orang yang meninggal dengan cepat akibat henti jantung mendadak, hal ini
seringkali berhubungan dengan penyakit jantung koroner. Berikut adalah ringkasan dari inti,
faktor resiko, dan intervensi dalam rangka mengurangi resiko.
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 400.000-460.000 orang di Amerika dan 700.000 orang di Eropa mengalami henti
jantung mendadak setiap tahunnya, dan resusitasi dilakukan pada duapertiga korban ini. Case
series dan penelitian Cohort menunjukan variasi yang luas pada insidensi henti jantung, dimana
hal ini tergantung dari metode penilaian: 1.5 dari 1000 orang per tahun meninggal dengan surat
keterangan kematian. Sedangkan 0.5 dari 1000 orang per tahun meninggal pada saat mendapat
pelayanan sistem medis darurat.
Tahun-tahun belakangan ini insidensi fibrilasi ventrikel mengalami penurunan yang
signifikan.
PROGNOSIS
Dari semua korban henti jantung yang mendapat pelayanan medis darurat 5-10 % dapat
bertahan hidup, diantaranya dengan ventrikel fibrilasi, 15 % bertahan dengan perawatan dirumah
sakit. Etiologi dan presentasi dari kematian di dalam rumah sakit berbeda dengan kematian di
luar rumah sakit.
Resiko terjadinya henti jantung dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk demografi,
genetik, kebiasaan hidup, pola makan, keadaan klinis, anatomis, dan karakteristik terapi.
PENGENALAN
Pengenalan awal adalah kunci untuk melakukan penanganan awal pada henti jantung.
Penting untuk mendapatkan metode yang akurat untuk mendiagnosa henti jantung.
Tanda henti jantung
Memeriksa nadi karotis adalah metode yang kurang teliti untuk mengetahui ada atau
tidaknya sirkulasi, bagaimanapun juga tidak ada fakta yang menunjukan bahwa dengan
memeriksa pergerakan, pernafasan, atau batuk ( sebagai contoh “tanda dari sirkulasi”) secara
diagnostik akan lebih unggul. Nafas yang terengah-engah umumnya sering didapatkan pada
stadium awal henti jantung.
Rekomendasi terapi
Penolong harus segera memulai CPR jika korban diketahui tidak sadar (tidak responsif),
tidak bergerak, dan tidak bernafas. Meskipun si korban berusaha nafas dengan terengah-engah,
penolong harus mencurigai adanya henti jantung dan harus segera memulai CPR.

JALAN NAFAS DAN VENTILASI


JALAN NAFAS
Membuka jalan nafas
Lima penelitian prospektif klinis yang mengevaluasi klinis dan radiologis menilai patensi
jalan nafas dan satu seri kasus menunjukan bahwa head tilt-chin lift maneuver mudah untuk
dikerjakan, aman, dan efektif. Tidak ada penelitian yang menilai teknik rutin finger sweep
maneuver dalam membersihkan jalan nafas pada obstruksi jalan nafas.
Rekomendasi terapi
Penolong harus dapat membuka jalan nafas dengan head tilt-chin lift maneuver. Penolong
harus melakukan finger sweep maneuver pada pasien yang tidak sadar dengan kecurigaan
obstruksi jalan nafas hanya jika benda padat tersebut terlihat di oropharynk.
Alat-alat untuk posisi jalan nafas
Tidak ada petunjuk mengenai peralatan yang dapat digunakan untuk menjaga posisi jalan
nafas agar tetap stabil. Collars yang biasa digunakan untuk stabilisasi vertebra servikal dapat
mempersulit manajemen jalan nafas dan meningkatkan tekanan intrakranial.
Obstruksi jalan nafas akibat benda asing
Seperti CPR, mengangkat benda asing yang menjadi penyebab obstruksi jalan nafas
sangat penting. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa metode yang simpel, lebih efektif dan
lebih aman adalah dengan mencoba mencari.
Saat ini masih belum jelas metode mana yang harus dilakukan lebih dahulu untuk
menyingkirkan benda asing dari jalan nafas. Untuk korban yang sadar, berdasarkan laporan
kasus menunjukan lebih sukses mengeluarkan benda asing dari jalan nafas adalah dengan back
blow atau pukulan pada punggung, abdominal thrust atau menekan abdomen dan chest thrusts
atau tekanan pada dada.
Biasanya, penolong membutuhkan lebih dari satu teknik untuk mengatasi obstruksi jalan
nafas ini. Komplikasi yang mengancam jiwa biasanya disebabkan akibat tindakan abdominal
thrusts.
Untuk pasien yang tidak sadar, banyak laporan kasus yang menunjukan keberhasilan
mengeluarkan benda asing dari jalan nafas dengan menggunakan chest thrust maupun abdominal
thrust. Pada satu penelitian trial acak dalam membersihkan jalan nafas pada cadaver dan dua
penelitian prospektif pada sukarelawan anestesi menunjukan bahwa tekanan jalan nafas akan
lebih tinggi jika dilakukan chest thrusts dibanding abdominal thrust.
Pada satu seri kasus dilaporkan bahwa finger sweep merupakan cara yang efektif untuk
mengeluarkan benda asing dari jalan nafas pada dewasa dan anak umur >1 tahun. Empat laporan
kasus yang tercatat adalah adanya kekerasan pada mulut si korban atau gigitan pada jari tangan
penolong.
Rekomendasi terapi
Chest thrust, back blow, atau abdominal thrust merupakan cara efektif untuk
mengeluarkan benda asing dari jalan nafas pada pasien sadar uyakni pasien dewasa dan anak > 1
tahun, meski trauma pernah dilaporkan akibat abdominal thrust. Sampai saat ini tidak ada
petunjuk tindakan mana yang harus terlebih dulu dilakukan. Teknik-teknik harus diterapkan
menjadi serangkaian yang dilakukan dengan cepat sampai dengan obstruksi teratasi, dan
mungkin akan dibutuhkan lebih dari satu teknik. Pasien yang tidak sadar harus mendapatkan
resusitasi jantung paru. Finger sweep dapat diterapkan pada pasien yang tidak sadar dengan
obstruksi jalan nafas jika material padat yang menyumbat dapat dilihat pada jalan nafas. Hingga
saat ini masih sedikit sekali petunjuk untuk terapi rekomendasi bagi pasien obesitas dan wanita
hamil yang mengalami obstruksi jalan nafas akibat benda asing.
Ventilasi
Ventilasi mulut ke hidung
Pada sebuah seri kasus disebutkan bahwa ventilasi mulut ke hidung bagi pasien dewasa
lebih mudah, lebih aman dan lebih efektif.
Rekomendasi terapi
Ventilasi mulut ke hidung merupakan alternatif yang lebih dapat diterima dibanding
ventilasi mulut ke mulut.
Ventilasi mulut ke stoma trachea
Belum ada petunjuk yang menyebutkan bahwa ventilasi dari mulut ke stoma trachea lebih
aman dan efektif. Penelitian tunggal crossover pada pasien dengan laringektomi menunjukan
bahwa pediatric face mask dapat melekat pada stoma lebih baik dibandingkan mask ventilasi
standar.
Rekomendasi terapi
Masih cukup beralasan melakukan pernafasan mulut ke stoma atau menggunakan perekat
yang menempel dengan baik disekitar pediatric face mask.
Mengukur volume tidal dan ventilasi
Sangat sedikit petunjuk yang menjelaskan bagaimana pernafasan inisial harus diberikan.
Pelajaran dengan menggunakan manikin dan penelitian pada manusia menunjukan jika pada
jalan nafas tidak menggunakan alat bantu atau advanced airway (seperti trachea tube,
combitube, atau LMA), volume tidal yang 1 liter secara signifikan produksinya lebih banyak
pada inflasi gaster dibanding volume tidal yang 500 ml. Penelitian pada pasien anestesi tanpa
alat bantu jalan nafas menunjukan bahwa ventilasi dengan 455 ml udara ruangan berhubungan
dengan jumlah yang diterima namun secara signifikan mengalami penurunan saturasi oksigen
jika dibandingkan dengan 719 ml. Penelitian yang membandingkan volume tidal sebanyak 500
ml dengan 1000 ml yang diberikan pada pasien henti jantung yang menggunakan alat bantu jalan
nafas selama mendapat ventilasi mekanik dengan 100% oksigen dengan nilai 12 min-1 . Volume
tidal yang lebih kecil berhubungan dengan arterial PCO2 yang lebih tinggi dan terjadi asidosis
yang berat.
Laporan yang berisi mengenai seri kasus kecil dan penelitian pada binatang menunjukan
bahwa hiperventilasi berhubungan dengan peningkatan tekanan intratoraks, penurunan perfusi
cerebral dan koroner dan pada binatang terjadi penurunan sirkulasi balik yang spontan atau
return of spontaneous circulation (ROSC). Pada analisis sekunder dari seri kasus yang
menyertakan pasien yang menggunakan alat bantu jalan nafas setelah selesai menjalani
perawatan henti jantung di rumah sakit, nilai ventilasi >10 min-1 dan waktu inspirasi >1 detik
berhubungan dengan ketidaklangsungan hidup. Perhitungan dari probandus binatang yang dibuat
menjadi syok berat membutuhkan frekuensi ventilasi dengan 6 kali ventilasi per menit yang
berhubungan dengan oksigenasi yang adekuat dan memiliki hemodinamik yang lebih baik
dibandingkan mendapat ventilasi 12 kali per menit. Kesimpulannya, volume tidal yang besar
serta nilai ventilasi yang besar berhubungan dengan komplikasi, dimana efek yang mengganggu
dinilai lebih mudah diterima pada yang volume tidalnya lebih kecil.
Rekomendasi terapi
Untuk ventilasi dari mulut ke mulut dengan udara ekshalasi atau ventilasi bag-valve-
mask dengan udara ruangan atau oksigen, beralasan jika memberikan pernafasan tiap kali nafas
dengan waktu inspirasi adalah 1 detik sudah dapat mengembangkan dada. Jika sudah
menggunakan alat bantu jalan nafas (seperti tracheal tube, combitube, LMA) maka ventilasi pada
paru-paru pasien dengan tambahan oksigen harus dapat membuat dada mengembang. Selama
melakukan CPR pada pasien yang terpasang alat bantu jalan nafas, sangat beralasan untuk
melakukan ventilasi ke paru-paru dengan frekuensi 8-10 kali ventilasi per menit tanpa jeda
selama melakukan kompresi dada sambil memberikan ventilasi.
Ventilator mekanik dan ventilator transport otomatis
Penelitian dengan menggunakan tiga manikin yang disimulasikan sebagai pasien henti
jantung menunjukan penurunan inflasi gaster dengan tindakan yang manual, aliran yang dibatasi,
oksigen dari resusitator jika dibandingkan dengan ventilasi dengan menggunakan bag-valve-
mask. Satu penelitian menunjukan seorang pemadam kebakaran yang memberikan ventilasi pada
pasien anestesi yang tidak terpasang alat bantu jalan nafas menghasilkan sedikit sekali inflasi
pada gaster dan tekanan pada jalan nafas yang rendah ketika diberikan ventilasi dengan tindakan
manual, aliran udara yang terbatas, udara oksigen dari resusitator dibandingkan jika
menggunakan bag-valve-mask.
Penelitian prospektif Cohort pada pasien yang diintubasi, lebih banyak pada henti
jantung, diluar rumah sakit menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan nilai gas darah
arteri antara mereka yang mendapat ventilasi dengan ventilator transport otomatis dan ventilasi
manual. Dua penelitian laboratorium menunjukan bahwa ventilator transport otomatis lebih
aman dan efektif selama melakukan CPR pada pasien dewasa.
Rekomendasi terapi
Masih sedikit data yang mendukung digunakan atau tidak digunakannya tindakan
manual, aliran udara terbatas dari resusitator atau menggunakan ventilator transport otomatis
selama ventilasi dengan bag-valve-mask dan selama resusitasi pasien dewasa pada henti jantung.

KOMPRESI DADA
Beberapa komponen pada kompresi dada yang dapat meningkatkan keefektifan yaitu:
posisi tangan, posisi penolong, posisi korban, kedalaman dan frekuensi dari kompresi,
dekompresi, dan siklusnya.
TEKNIK KOMPRESI DADA
POSISI TANGAN
Sedikit sekali petunjuk untuk megetahui posisi tangan yang spesifik untuk melakukan
kompresi dada selama CPR pada pasien dewasa. Pada anak-anak yang membutuhkan CPR,
kompresi di sepertiga bawah sternum akan meningkatkan tekanan darah lebih banyak dibanding
jika dilakukan di tengah sternum.
Penelitian dengan menggunakan manikin pada tenaga medis professional menunjukan
peningkatan kualitas kompresi dada saat tangan yang dominan kontak dengan sternum. Jeda
yang terjadi antara ventilasi dan kompresi lebih pendek jika tangan diposisikan pada pusat dada.
Rekomendasi terapi
Memungkinkan bagi pasien yang berbaring dan tenaga medis professional untuk
memposisikan tumpuan tangan penolong yang dominan dipusat dada pada korban dewasa, dan
tangan yang tidak dominan diatas.

FREKUENSI KOMPRESI DADA, KEDALAMAN, DEKOMPRESI DAN SIKLUSNYA


Frekuensi. Jumlah kompresi yang dilakukan permenit adalah ditentukan oleh frekuensi
kompresi, rasio kompresi-ventilasi, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan ventilasi mulut ke
mulut atau ventilasi bag-valve-mask dan kekuatan serta kelemahan dari penolong. Pada
penelitian observasional kebanyakan responden melakukan lebih sedikit kompresi dibanding
jumlah yang direkomendasikan. Beberapa studi dengan probandus binatang dengan henti jantung
menunjukan bahwa CPR dengan frekuensi yang tinggi (120-150kompresi per menit)
meningkatkan hemodinamik tanpa meningkatkan trauma jika dibandingkan dengan standar CPR,
dimana pada yang lainnya tidak menunjukan efek. Beberapa penelitian pada binatang
menunjukan efek yang lebih dari variable yang berbeda diantaranya adalah dari variable siklus.
Pada manusia, CPR dengan frekuensi timggi yaitu 120 kompresi per menit meningkatkan
hemodinamik melebihi standar CPR. Pada mekanis CPR pada manusia, bagaimanapun juga,
CPR frekuensi tinggi (> 140 kompresi per menit) menunjukan tidak ada perbaikan hemodinamik
jika dibandingkan dengan 60 kompresi per menit.
Kedalaman. Pada kedua studi luar dan dalam rumah sakit, dari pengamatan didapatkan
kedalaman kompresi yang tidak cukup selama CPR dibandingkan dengan kedalaman yang
dianjurkan. Penelitian pada binatang dengan henti jantung menunjukan bahwa kompresi yang
lebih dalam berkorelasi dengan peningkatan dari return of spontaneous circulation ( aliran balik
sirkulasi spontan) dan 24 jam outcome neurologik jika dibandingkan dengan kedalaman
kompresi yang standar.
Dekompresi. Penelitian observasional dan studi pada manikin menunjukan adanya
loncatan dada inkomplit yang biasa terjadi selama CPR. Salah satu studi pada binatang, loncatan
dada inkomplit secara signifikan berhubungan dengan peningkatan tekanan intratoraks,
penurunan aliran balik vena, dan penurunan perfusi serebral dan koroner selama CPR. Pada studi
dengan manikin, mengangkat tangan sedikit akan memberikan kesempatan pada dada untuk
mengangkat dada dengan penuh.
Siklus. Waktu yang digunakan untuk kompresi dada seharusnya proporsional antara
waktu memulai satu siklus kompresi dengan memulai siklus kompresi berikutnya. Aliran darah
koroner ditentukan oleh siklus ini (terjadi penurunan aliran darah koroner jika siklus > 50%) dan
bagaimana dada mengalami relaksasi setelah dilakukan kompresi. Studi pada binatang yang
membandingkan antara siklus 20% dengan siklus 50% selama kompresi dada pada pasien henti
jantung menunjukan secara statistik tidak ada perbedaan outcome neurologik selama 24 jam.
Model matematis oleh Thumper mengenai CPR menunjukan secara signifikan perbaikan
dari aliran pulmoner, koroner, dan karotis dengan siklus 50% jika dibandingkan dengan siklus
relaksasi kompresi dimana kompresi merupakan persentase terbesar pada siklus tersebut. Pada
siklius yang berada pada kisaran 20%-50%, perfusi cerebral dan koroner pada binatang
mengalami peningkatan dengan rata-rata kompresi dada lebih dari 130-150 kompresi per menit.
Pada studi manikin, siklus tidak tergantung pada frekuensi kompresi saat penolong secara
progresif meningkatkan kompresi dari 40 sampai dengan 100 kali kompresi permenit.
Rekomendasi terapi
Beralasan untuk penolong dan tenaga medis melakukan kompresi dada bagi korban
dewasa dengan frekuensi 100 kali per menit dan untuk menekan sternum paling tidak 4-5 cm.
Penolong harus membuat dada dapat mengangkat kembali setelah dilakukan kompresi. Jika
terlihat, penolong harus meningkatkan frekuensi penekanan, meski mereka kelelahan, dan
pastikan bahwa kelelahan yang dialami tidak mempengaruhi pelaksanaan kompresi dada yang
adekuat. Maka digunakan rasio siklus 50%.
Landasan yang kokoh untuk kompresi dada
Kompresi dada menjadi kurang efektif jika dipraktekan pada manikin yang ada diatas
alas matras yang dapat mengembalikan tekanan ke atas dibanding dengan manikin yang
diletakan diatas lantai.
Rekomendasi terapi
Korban henti jantung harus diletakan pada posisi supine diatas permukaan yang kokoh
seperti lantai selama dilakukan kompresi dada untuk mengefektifkan kompresi yang dilakukan.
Proses CPR dibanding hasil
Frekuensi kompresi dan kedalaman pada CPR yang dilakukan oleh responder, tenaga
medis dan personil EMS masih belum cukup dibandingkan dengan metode yang
direkomendasikan. Frekuensi ventilasi dan durasi lebih tinggi dan lebih panjang dibandingkan
dengan yang direkomendasikan. Proses CPR yang buruk menimbulkan ketidakstabilan
hemodinamik dan kelangsungan hidup.
Rekomendasi terapi
Instruktur, pelatih, dan agen EMS mengawasi dan memperbaiki proses CPR menjadi
lebih baik sesuai dengan yang direkomendasikan mengenai jumlah kompresi dan ventilasi serta
kedalamannya.
Teknik kompresi alternatif
CPR pada posisi prone
Enam seri kasus yang menyertakan 22 pasien rumah sakit yang diintubasi tercatat dapat
bertahan hidup diantaranya 10 pasien mendapat CPR dengan posisi prone
Rekomendasi terapi
CPR pada pasien dengan posisi prone memungkinkan untuk dilakukan pada pasien yang
diintubasi dimana mereka tidak dapat diposisikan supine.
Leg-foot chest compression
Tiga studi dengan manikin menunjukan tidak ada perbedaan dalam kompresi dada,
kedalaman, atau frekuensi saat menggunakan leg-foot compression. Dua studi melaporkan bahwa
dengan leg-foot compression penolong akan lebih mudah lelah. Dan pada satu studi disebutkan
pengembalian pengembangan dada setelah dilakukan kompresi dengan leg-foot compression
adalah tidak komplit.

RANGKAIAN KOMPRESI-VENTILASI
Banyak rekomendasi yang menyebutkan rasio kompresi-ventilasi yang spesifik
menyeimbangkan antara aliran darah keseluruhan serta kebutuhan oksigen yang diedarkan oleh
paru-paru.
Efek ventilasi pada kompresi
Studi pada binatang dimana terjadi kompresi dada yang terhenti akan berhubungan
dengan ROSC dan kelangsungan hidup sebaik peningkatan disfungsi miokardial
postresuscitation.
Studi observasional dan analisis sekunder dari dua randomized trials menunjukan
terhentinya kompresi dada merupakan hal yang sering ditemui. Pada analisis retrospektif pada
gelombang ventrikel fibrilasi, gangguan pada CPR berhubungan dengan penurunan kemampuan
untuk mengkonversi ventrikel fibrilasi ke ritme yang lain.
Rekomendasi terapi
Penolong harus meminimalkan waktu berhenti pada saat melakukan kompresi dada.
Rasio kompresi-ventilasi selama CPR
Rekomendasi terapi
Sampai saat ini masih sedikit sekali bukti yang menyebutkan rasio ventilasi kompresi
yang spesifik yang berhubungan dengan hasil yang membaik pada pasien dengan henti jantung.
Untuk meningkatkan jumlah kompresi yang diberikan, meminimalkan waktu yang berhenti
dalam melakukan kompresi, dan teknik pengajaran dan pelatihan yang simple dan meningkatkan
kemampuan, direkomendasikan rasio kompresi ventilasi single adalah 30:2 untuk penolong
tunggal bagi korban bayi, anak-anak, dan dewasa.
Langkah awal dalam melakukan resusitasi adalah meliputi:
1. Membuka jalan nafas sambil menilai kebutuhan dalam melakukan resusitasi
2. Memberikan 2-5 pernafasan saat memulai resusitasi
3. Menyediakan kompresi dan ventilasi dengan rasio 30:2
CPR yang hanya terdiri atas kompresi dada
Tidak ada studi prospektif yang menilai strategi dalam mengimplemetasikan kompresi
dada.
Rekomendasi terapi
Bagi penolong yang tidak mengetahui bagaimana cara CPR yang benar dan tenaga
penolong yang tidak terlatih atau penolong yang tidak mau melakukan airway dan breathing
maneuver harus berusaha semaksimal mungkin dan berharap agar tindakan CPR nya yang hanya
terdiri atas kompresi dapat berhasil.
Bagi peneliti harus selalu ada kemauan untuk mengevaluasi efek dari CPR yang hanya
terdiri dari tindakan kompresi.
Posisi pasca resusitasi
Tidak ada studi yang mengevaluasi posisi pemulihan pada korban yang tidak sadar
dengan pernafasan yang normal. Studi cohort dan randomized trial pada sukarelawan yang
normal menunjukan bahwa kompresi pada pembuluh darah dan saraf yang sangat jarang terjadi
pada ekstremitas yang umumnya didapatkan pada korban yang lengan bawahnya diletakan
didepan tubuh, tetapi bukan hal mudah bagi pasien untuk merubah posisi pasien agar berada
pada posisi yang normal.
Rekomendasi terapi
Bagi posisi pasien dewasa yang tidak sadar dengan pernafasan yang normal maka
diposisikan pada satu sisi dengan lengan bawah berada di depan badan.

KONDISI KHUSUS
Trauma vertebra servikal
Untuk korban dengan kecurigaan trauma spinal, maka perlu waktu tambahan dalam
penanganan untuk menilai pernafasan dan sirkulasi, dan penting untuk memindahkan korban jika
ditemukan posisi pasien dengan wajah tertelungkup. Stabilisasi spinal dengan garis lurus adalah
metode yang efektif untuk mengurangi resiko kerusakan spinal dimasa mendatang.
Pembukaan jalan nafas
Insidensi trauma vertebra servikal setelah trauma tumpul adalah sekitar 2.4% tetapi
terjadi peningkatan jumlah pasien dengan trauma kraniofasial dengan GCS <8. Dalam suatu
studi Cohort menunjukan terdapat beberapa segi yang sangat sensitive untuk memprediksi
trauma spinal seperti : mekanisme trauma, perubahan status mental, deficit neurologis, bukti
intoksikasi, nyeri spinal.
Seluruh airway maneuver dapat merubah spinal. Studi dengan menggunakan cadaver
manusia menunjukan bahwa chin lift (baik dengan atau tanpa head tilt) dan jaw thrust
berhubungan dengan pergerakan vertebra servikal yang substansional. Meski menggunakan
spinal collar atau stabilisasi manual in line (MILS) tetap tidak dapat mencegah terjadinya
pergerakan spinal. Studi yang lain menyebutkan aplikasi MILS selama airway maneuver
mengurangi pergerakan spinal paling tidak dari level fisiologis. Airway maneuver dapat
dilakukan dengan lebih aman bila menggunakan MILS dibanding dengan collars.
Rekomendasi terapi
Menjaga ventilasi dan airway agar adekuat merupakan prioritas dalam menangani pasien
dengan kecurigaan trauma spinal. Pada korban dengan kecurigaaan trauma spinal dan obstruksi
jalan nafas, maka head tilt, chin lift atau jaw thrust merupakan teknik yang mudah dan efektif
dalam membersihkan jalan nafas. Kedua teknik tersebut berhubungan dengan pergerakan
vertebra servikal. Menggunakan MILS untuk meminimalkan pergerakan kepala masih cukup
beralasan jika tersedia tenaga penolong dalam jumlah banyak dan terlatih.
Korban dengan wajah tertelungkup
Posisi kepala sangat menentukan patensi dari jalan nafas, dan sangat sulit untuk
mengecek keadaan pernafasan jika wajah si korban berada pada posisi tertelungkup. Pengecekan
yang dilakukan pada posisi berbaring dan dilakukan oleh tenaga terlatih pun tidak selalu akurat
meski dilakukan dalam waktu yang direkomendasikan yaitu 10 detik. Apalagi jika waktu yang
diperlukan untuk pengecekan pernafasan lebih lama maka akan menunda CPR dan hasil yang
didapat pun akan buruk.
Tenggelam
Tenggelam merupakan penyebab tersering kematian di dunia.
CPR untuk korban tenggelam di air
Kompresi dada sangat sulit dilakukan didalam air dan akan membahayakan penolong
maupun si korban.
Memindahkan korban tenggelam dari air
Studi pada manusia menunjukan bahwa korban tenggelam tanpa tanda klinis trauma atau
deficit neurologis, riwayat menyelam, trauma, atau intoksikasi alcohol biasanya tidak
menyebabkan trauma vertebra servikal.
Rekomendasi terapi
Korban tenggelam perlu diangkat dari air, dan segera dilakukan resusitasi. Hanya korban
dengan faktor resiko dan tanda klinis trauma atau tanda fokal neurologis harus diberikan
resusitasi layaknya orang yang mendapat trauma spinal cord dengan imobilisasi vertebra servikal
dan thorak.
RESIKO BAGI KORBAN DAN PENOLONG
Resiko bagi peserta latihan
Manikin yang digunakan untuk latihan harus bersih saat digunakan untuk latihan
pernafasan. Maka perlu dibersihkan dengan antiseptic, 30% isopropyl alcohol, 70% alcohol
solution, 0,5% sodium hypochlorite paling tidak satu menit sebelum pelatihan.
Resiko bagi responder
Hati-hati jika si korban menderita infeksi yang serius seperti HIV, TBC, HBV, SARS
Resiko bagi korban
Fraktur iga dan trauma lainnya biasa didapatkan maka bagi penolong harus dapat
melakukan CPR alternative untuk mencegah terjadinya henti jantung.
Setelah dilakukan resusitasi maka dilakukan penilaian ulang dan evaluasi ulang untuk
mengetahui keberhasilan resusitasi.
Jika memungkinkan dapat menggunakan barrier untuk melakukan ventilasi dari mulut ke
mulut.

Anda mungkin juga menyukai