Pada konsensus dibicarakan banyak hal yang berhubungan dengan bantuan hidup dasar.
Yang dikelompokan menjadi : 1. Epidemiologi dan pengenalan terhadap henti jantung; 2. Jalan
nafas dan ventilasi; 3. Kompresi dada; 4. Rangkaian kompresi ventilasi; 5. Posisi pasca
resusitasi; 6. Keadaan khusus; 7. Sistem pelayanan medis darurat; 8. Resiko bagi penolong dan
korban.
Ringkasan :
• Penolong memulai CPR saat diketahui korban tidak sadar, tidak bergerak dan tidak
bernafas.
• Untuk ventilasi dari mulut ke mulut atau menggunakan ventilasi bag-valve-mask dengan
udara ruangan atau oksigen, penolong harus mampu memberi nafas dalam satu detik dan
dapat melihat pengembangan dada yang terjadi.
• Tingkatkan kompresi pada proses CPR: tekan keras dengan frekuensi 100 kompresi per
menit.
• Untuk penolong tunggal pada bayi (kecuali neonatus), anak-anak atau korban dewasa,
gunakan rasio tunggal dalam kompresi-ventilasi yaitu 30:2. Jika 2 penolong maka
gunakan rasio kompresi-ventilasi 15:2.
• Selama proses CPR, pada pasien dengan jalan nafas yang parah yang menggunakan alat
bantu pada jalan nafas seperti tracheal tube, combitube, laryngeal mask airway, maka
diberikan ventilasi dengan frekuensi 8-10 kali per menit untuk bayi (kecuali neonatus),
anak-anak dan dewasa, tanpa ada jeda selama kompresi dada sambil memberi ventilasi.
KOMPRESI DADA
Beberapa komponen pada kompresi dada yang dapat meningkatkan keefektifan yaitu:
posisi tangan, posisi penolong, posisi korban, kedalaman dan frekuensi dari kompresi,
dekompresi, dan siklusnya.
TEKNIK KOMPRESI DADA
POSISI TANGAN
Sedikit sekali petunjuk untuk megetahui posisi tangan yang spesifik untuk melakukan
kompresi dada selama CPR pada pasien dewasa. Pada anak-anak yang membutuhkan CPR,
kompresi di sepertiga bawah sternum akan meningkatkan tekanan darah lebih banyak dibanding
jika dilakukan di tengah sternum.
Penelitian dengan menggunakan manikin pada tenaga medis professional menunjukan
peningkatan kualitas kompresi dada saat tangan yang dominan kontak dengan sternum. Jeda
yang terjadi antara ventilasi dan kompresi lebih pendek jika tangan diposisikan pada pusat dada.
Rekomendasi terapi
Memungkinkan bagi pasien yang berbaring dan tenaga medis professional untuk
memposisikan tumpuan tangan penolong yang dominan dipusat dada pada korban dewasa, dan
tangan yang tidak dominan diatas.
RANGKAIAN KOMPRESI-VENTILASI
Banyak rekomendasi yang menyebutkan rasio kompresi-ventilasi yang spesifik
menyeimbangkan antara aliran darah keseluruhan serta kebutuhan oksigen yang diedarkan oleh
paru-paru.
Efek ventilasi pada kompresi
Studi pada binatang dimana terjadi kompresi dada yang terhenti akan berhubungan
dengan ROSC dan kelangsungan hidup sebaik peningkatan disfungsi miokardial
postresuscitation.
Studi observasional dan analisis sekunder dari dua randomized trials menunjukan
terhentinya kompresi dada merupakan hal yang sering ditemui. Pada analisis retrospektif pada
gelombang ventrikel fibrilasi, gangguan pada CPR berhubungan dengan penurunan kemampuan
untuk mengkonversi ventrikel fibrilasi ke ritme yang lain.
Rekomendasi terapi
Penolong harus meminimalkan waktu berhenti pada saat melakukan kompresi dada.
Rasio kompresi-ventilasi selama CPR
Rekomendasi terapi
Sampai saat ini masih sedikit sekali bukti yang menyebutkan rasio ventilasi kompresi
yang spesifik yang berhubungan dengan hasil yang membaik pada pasien dengan henti jantung.
Untuk meningkatkan jumlah kompresi yang diberikan, meminimalkan waktu yang berhenti
dalam melakukan kompresi, dan teknik pengajaran dan pelatihan yang simple dan meningkatkan
kemampuan, direkomendasikan rasio kompresi ventilasi single adalah 30:2 untuk penolong
tunggal bagi korban bayi, anak-anak, dan dewasa.
Langkah awal dalam melakukan resusitasi adalah meliputi:
1. Membuka jalan nafas sambil menilai kebutuhan dalam melakukan resusitasi
2. Memberikan 2-5 pernafasan saat memulai resusitasi
3. Menyediakan kompresi dan ventilasi dengan rasio 30:2
CPR yang hanya terdiri atas kompresi dada
Tidak ada studi prospektif yang menilai strategi dalam mengimplemetasikan kompresi
dada.
Rekomendasi terapi
Bagi penolong yang tidak mengetahui bagaimana cara CPR yang benar dan tenaga
penolong yang tidak terlatih atau penolong yang tidak mau melakukan airway dan breathing
maneuver harus berusaha semaksimal mungkin dan berharap agar tindakan CPR nya yang hanya
terdiri atas kompresi dapat berhasil.
Bagi peneliti harus selalu ada kemauan untuk mengevaluasi efek dari CPR yang hanya
terdiri dari tindakan kompresi.
Posisi pasca resusitasi
Tidak ada studi yang mengevaluasi posisi pemulihan pada korban yang tidak sadar
dengan pernafasan yang normal. Studi cohort dan randomized trial pada sukarelawan yang
normal menunjukan bahwa kompresi pada pembuluh darah dan saraf yang sangat jarang terjadi
pada ekstremitas yang umumnya didapatkan pada korban yang lengan bawahnya diletakan
didepan tubuh, tetapi bukan hal mudah bagi pasien untuk merubah posisi pasien agar berada
pada posisi yang normal.
Rekomendasi terapi
Bagi posisi pasien dewasa yang tidak sadar dengan pernafasan yang normal maka
diposisikan pada satu sisi dengan lengan bawah berada di depan badan.
KONDISI KHUSUS
Trauma vertebra servikal
Untuk korban dengan kecurigaan trauma spinal, maka perlu waktu tambahan dalam
penanganan untuk menilai pernafasan dan sirkulasi, dan penting untuk memindahkan korban jika
ditemukan posisi pasien dengan wajah tertelungkup. Stabilisasi spinal dengan garis lurus adalah
metode yang efektif untuk mengurangi resiko kerusakan spinal dimasa mendatang.
Pembukaan jalan nafas
Insidensi trauma vertebra servikal setelah trauma tumpul adalah sekitar 2.4% tetapi
terjadi peningkatan jumlah pasien dengan trauma kraniofasial dengan GCS <8. Dalam suatu
studi Cohort menunjukan terdapat beberapa segi yang sangat sensitive untuk memprediksi
trauma spinal seperti : mekanisme trauma, perubahan status mental, deficit neurologis, bukti
intoksikasi, nyeri spinal.
Seluruh airway maneuver dapat merubah spinal. Studi dengan menggunakan cadaver
manusia menunjukan bahwa chin lift (baik dengan atau tanpa head tilt) dan jaw thrust
berhubungan dengan pergerakan vertebra servikal yang substansional. Meski menggunakan
spinal collar atau stabilisasi manual in line (MILS) tetap tidak dapat mencegah terjadinya
pergerakan spinal. Studi yang lain menyebutkan aplikasi MILS selama airway maneuver
mengurangi pergerakan spinal paling tidak dari level fisiologis. Airway maneuver dapat
dilakukan dengan lebih aman bila menggunakan MILS dibanding dengan collars.
Rekomendasi terapi
Menjaga ventilasi dan airway agar adekuat merupakan prioritas dalam menangani pasien
dengan kecurigaan trauma spinal. Pada korban dengan kecurigaaan trauma spinal dan obstruksi
jalan nafas, maka head tilt, chin lift atau jaw thrust merupakan teknik yang mudah dan efektif
dalam membersihkan jalan nafas. Kedua teknik tersebut berhubungan dengan pergerakan
vertebra servikal. Menggunakan MILS untuk meminimalkan pergerakan kepala masih cukup
beralasan jika tersedia tenaga penolong dalam jumlah banyak dan terlatih.
Korban dengan wajah tertelungkup
Posisi kepala sangat menentukan patensi dari jalan nafas, dan sangat sulit untuk
mengecek keadaan pernafasan jika wajah si korban berada pada posisi tertelungkup. Pengecekan
yang dilakukan pada posisi berbaring dan dilakukan oleh tenaga terlatih pun tidak selalu akurat
meski dilakukan dalam waktu yang direkomendasikan yaitu 10 detik. Apalagi jika waktu yang
diperlukan untuk pengecekan pernafasan lebih lama maka akan menunda CPR dan hasil yang
didapat pun akan buruk.
Tenggelam
Tenggelam merupakan penyebab tersering kematian di dunia.
CPR untuk korban tenggelam di air
Kompresi dada sangat sulit dilakukan didalam air dan akan membahayakan penolong
maupun si korban.
Memindahkan korban tenggelam dari air
Studi pada manusia menunjukan bahwa korban tenggelam tanpa tanda klinis trauma atau
deficit neurologis, riwayat menyelam, trauma, atau intoksikasi alcohol biasanya tidak
menyebabkan trauma vertebra servikal.
Rekomendasi terapi
Korban tenggelam perlu diangkat dari air, dan segera dilakukan resusitasi. Hanya korban
dengan faktor resiko dan tanda klinis trauma atau tanda fokal neurologis harus diberikan
resusitasi layaknya orang yang mendapat trauma spinal cord dengan imobilisasi vertebra servikal
dan thorak.
RESIKO BAGI KORBAN DAN PENOLONG
Resiko bagi peserta latihan
Manikin yang digunakan untuk latihan harus bersih saat digunakan untuk latihan
pernafasan. Maka perlu dibersihkan dengan antiseptic, 30% isopropyl alcohol, 70% alcohol
solution, 0,5% sodium hypochlorite paling tidak satu menit sebelum pelatihan.
Resiko bagi responder
Hati-hati jika si korban menderita infeksi yang serius seperti HIV, TBC, HBV, SARS
Resiko bagi korban
Fraktur iga dan trauma lainnya biasa didapatkan maka bagi penolong harus dapat
melakukan CPR alternative untuk mencegah terjadinya henti jantung.
Setelah dilakukan resusitasi maka dilakukan penilaian ulang dan evaluasi ulang untuk
mengetahui keberhasilan resusitasi.
Jika memungkinkan dapat menggunakan barrier untuk melakukan ventilasi dari mulut ke
mulut.