Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan, sehingga menghasilkan sejumlah besar hormon tiroid. Hipertiroidisme
bisa ditemukan dalam bentuk penyakit Graves, gondok noduler toksik atau
hipertiroidisme sekunder.
Penyakit Graves adalah bentuk penyakit hipertiroidisme yang paling umum
di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, insidens diperkirakan antara 0,05% hingga
1,3%. Pada studi berbasiskan populasi di United Kingdom dan Irlandia, ditemukan
0,9 kasus per 100.000 anak-anak dibawah 15 tahun yang menunjukkan
peningkatan insidens penyakit bersamaan meningkatnya usia. Prevalensinya sama
pada orang kulit putih dan asia, dan lebih rendah pada orang kulit hitam.1
Penyebab terjadinya hipertiroidisme pada seseorang dapat dikarenakan
berbagai sebab yang bisa dikelompokkan menjadi primer dan sekunder yang akan
dibahas lebih lanjut.
Penderita hipertiroid akan merasakan berat badannya berkurang, berdebar-
debar, mudah berkeringat, dan mudah lelah.
Pengobatannya terdiri dari obat antitiroid, penghancuran sebagian atau total
kelenjar tiroid menggunakan iodine radioactive, dan operasi pengangkatan
sebagian atau seluruh kelenjar tiroid (tiroidektomi). Operasi tiroid dapat berkisar
dari pengangkatan sederhana dari nodul tiroid hingga operasi yang sangat
kompleks. Kehadiran goiter lama atau besar dapat menimbulkan keputusan
pengelolaan jalan napas yang sulit sementara ketidakseimbangan endokrin bisa
menimbulkan manifestasi sistemik yang amat besar yang perlu dipertimbangkan
dan dikendalikan secara perioperative. Oleh itu, tindakan anestesi pada operasi
tersebut harus dipersiapkan dengan teliti seperti yang akan dibahas dalam referat
ini.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang penyakit hipertiroid
dan tatalaksana anestesi pada pasien hipertiroid.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotosikosis
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma.2
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidisme.
Tirotoksikosis adalah sindroma klinis yang terjadi bila jaringan terpajan hormon
tiroid beredar dalam kadar tinggi. Pada kebanyakan kasus, tiroksikosis disebabkan
hiperaktivitas kelenjar tiroid atau hipertiroidisme. Kadang-kadang, tirotoksikosis
bisa disebabkan sebab-sebab lain seperti menelan hormon tiroid berlebihan atau
sekresi hormon tiroid berlebihan dari tempat-tempat ektopik. Hipertiroidisme
adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.2

2.2 EPIDEMIOLOGI
Hipertiroidisme adalah penyakit umum pada orangtua. Dari 313 pasien
dengan hipertiroidisme diantaranya 246 wanita (78% berada pada rentang usia 59-
75 tahun) dan 67 laki-laki (21,4% berada pada rentang usia 56-71 tahun). Dari
etiologi yang berbeda hipertiroidisme meliputi : toxic multinodular goiter 43,1%,
Grave’s disease 21,4%, iatrogenic thyrotoxicosis 1,2%, subacute thyroiditis 1,0%,
painless thyroiditis 0,3%, factitious thyrotoxicosis 1,3%, TSH-secreting pituitary
adenoma 0,6% dan etilogi yang tidak diketahui 3,8%. Etiologi hipertiroidisme
berhubungan dengan umur, jenis kelamin, pembentukan goiter, derajat hipertiroid
dan status autoimun.3

2.3 ETIOLOGI
1. Hipertiroidisme primer : penyakit Graves, struma multinodosa toksik,
adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii,
mutasi reseptor TSH, obat kelebihan yodium (fenomena Jod Basedow).2
2. Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH,
sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG,
tirotoksikosis gestasional2

2
Gambar 1. Diagnosis banding hipertiroidisme

2.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI TIROID


Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4 – 4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,
yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami migrasi ke bawah
yang akhirrnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai
duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya
duktus ini akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih
menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara
kartilago tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya
duktus akan mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letaknya abnormal
yang disebut persistensi duktus tiroglosus. Persistensi duktus tiroglosus dapat
berupa kista duktus tiroglosus, tiroid lingual atau tiroid servikal. Sedangkan
desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substernal. Sisa ujung kaudal
duktus tiroglosus ditemukan pada lobus piramidalis yang menempel di ismus
tiroid. Branchial pouch keempat pun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan
merupakan asal mula sel – sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi
kalsitonin.

3
Gambar 2. Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada facia pratrakea sehingga pada setiap gerakan
menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang
merupakan cirri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid
atau tidak. Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5 – 4
cm, lebar 1,5 – 2 cm dan tebal 1 – 1,5 cm. berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh
berat badan dan masukan yodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10
– 20 gram. Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A. tiroidea superior
berasal dari a. karotis komunis atau a. karotis eksterna, a. tiroidea inferior dari a.
subclavia, dan a. tiroidea ima berasal dari a. brakiosefalik salah satu cabang arkus
aorta. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala – jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus perifollikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke
kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/ gram kelenjar/ menit; dalam keadaan
hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar
bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus
medius, sedangkan nervus laringeus rekuren berjalan di sepanjang trakea
dibelakang tiroid.

4
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat
berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian
ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.
Dengan mikroskop terlihat kelenjar tiroid terdiri atas folikel dalam berbagai
ukuran antara 50 – 500 mm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal
dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke
arah membrane basalis. Folikel ini berkelompok – kelompok sebanyak kira – kira
40 buah untuk membentuk lobules yang mendapat darah dari end arteri. Folikel
mengandung bahan yang jika diwarnai dengan hematoksilin – eosin berwarna
merah muda yang disebut koloid dan dikelilingi selapis epitel tiroid. Ternyata tiap
folikel merupakan kumpulan dari klon sel tersendiri. Sel ini berbentuk kolumnar
apabila dirangsang oleh TSH dan pipih apabila dalam keadaan tidak terangsang /
istirahat. Sel folikel mensintesis tiroglobulin (Tg) yang disekresikan ke dalam
lumen folikel. Tg adalah glikoprotein berukuran 660 kDa, dibuat di reticulum
endoplasmik, dan mengalami glikosilasi secara sempurna di aparat golgi. Protein
lain yang amat penting disini ialah tiroperoksidase (TPO). Enzim ini berukuran
dengan 103 kDa yang 44 %- nya berhomologi dengan mieloperoksidase. Baik
TPO maupun Tg bersifat antigenik seperti halnya pada penyakit tiroid autoimun,
sehingga dapat digunakan sebagai penanda penyakit. Biosintesis hormone T4 dan
T3 terjadi di dalam tiroglobulin pada batas antara apeks sel – koloid. Di sana
terlihat tonjol – tonjol mikrovili folikel ke lumen; dan tonjol ini terlihat juga dalam
proses endositosis tiroglobulin. Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3) tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari molekul
tiroglobulin. Hormon ini hanya akan dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin
ini dipecah oleh enzim khusus.

STRUKTUR DARI HORMON TIROID


Hormon tiroid unik karena mengandung 59-65% unsur iodin. Struktur dari
hormon ini, T4 dan T3, diperlihatkan dalam Gambar 1. Tironin yang diiodinisasi
diturunkan dari iodinisasi cincin fenolik dari residu tirosin dalam tiroglobulin
membentuk mono- dan diiodotirosin, yang digabungkan membentuk T3 atau T4.

Metabolisme Iodin
Iodin memasuki tubuh dalam makanan atau air dalam bentuk ion iodida
atau iodat, dalam lambung ion iodat diubah menjadi iodida. Dalam perjalanan 100
tahun, iodin telah larut dari tanah dan terkuras ke dalam lautan, sehingga di daerah
pegunungan dan pedalaman pasokan iodin kemungkinan sangat trebatas,
sementara unsur ini melimpah di daerah-daerah pantai. Kelenjar tiroid
memekatkan dan menjebak iodida dan mensintesa serta menyimpan hormon tiroid
dalam tiroglobulin, yang mengkompensasi kelangkaan dari iodin.4
Anjuran asupan iodin adalah 150 µg/hari; jika asupan di bawah 50 µg/hari,
maka kelenjar ini tidak mampu untuk mempertahankan sekresi hormon yang
adekuat, dan akibatnya timbul hipertrofi tiroid (goiter) dan hipotiroidisme.

5
Gambar 3. Struktur kimia tiroksin (T4) dan senyawa-senyawa yang berhubungan.
Sumber-sumber dari iodin makanan termasuk garam beriodin, preparat
vitamin, obat yang mengandung iodin, dan media kontras beriodin. Iodin, seperti
klorida, diabsorbsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal dan didistribusikan
dalam cairan ekstraselular demikian juga dalam sekresi kelenjar liur, lambung dan
ASI. Walaupun konsentrasi iodida organik dalam pool cairan ekstraselular
bervariasi langsung dengan asupan iodida, I cairan ekstraslular biasanya rendah
sekali karena bersihan iodida yang cepat dari cairan ekstraselular melalui ambilan
tiroidal dan bersihan ginjal. Konsentrasi I dalam cairan ekstraselular adalah 0,6
Mg/dL, atau sejumlah 150 µg I dalam pool ekstraselular 25 L.4
Dalam kelenjar tiroid, terdapat transpor aktif dari I serum melintasi
membrana basalis sel tiroid . Tiroid mengambil sekitar 115 µg I per 24 jam; sekitar
75 µg I digunakan untuk sintesis hormon dan disimpan dalam tiroglobulin; sisanya
kembali ke dalam pool cairan ekstraselular. Pool tiroid dari iodin organik sangat
besar, mencapai rata-rata 8-10 mg; dan merupakan suatu cadangan hormon dan
tirosin teriodinisasi yang melindungi organisme terhadap periode kekurangan
iodin. Dari pool cadangan ini, sekitar 75 µg iodida hormonal dilepaskan ke dalam
sirkulasi setiap harinya. Iodida hormonal ini sebagian besar berikatan dengan
protein pengikat-tiroksin serum, membentuk suatu pool sirkulasi dari sekitar 600
µg I hormonal (sebagai T3 dan T4). Dari pool ini, sekitar 75 µg I sebagai T3 dan
T4 diambil dan dimetabolisir oleh jaringan. Sekitar 60 µg I dikembalikan ke pool

6
iodida dan sekitar 15 µg I hormonal dikonjugasi dengan gulkoronida atau sulfat
dalam hait dan diekskresikan ke dalam feses.
Karena sebagian besar dari iodida makanan diekskresikan ke dalam urin,
iodida urin 24 jam merupakan indeks yang baik sekali dari asupan melalui
makanan. Ambilan iodin radioakif 24 jam (RAIU) oleh kelenjar tiroid berbanding
terbalik dengan ukuran dari pool iodida anorganik dan berbanding langsung
dengan aktivitas tiroid.

SINTESIS DAN SEKRESI HORMON TIROID


Proses biosintesis hormon tiroid secara skematis dapat dilihat dalam beberapa
tahap, sebagian besar distimulir oleh TSH, yaitu tahap :
a) Tahap trapping
b) Tahap oksidasi
c) Tahap coupling
d) Tahap penimbunan atau storage
e) Tahap deiodinasi
f) Tahap proteolisis
g) Tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid.
Yodida (I) bersama dengan Na diserap oleh transporter yang terletak di
membrane plasma basal sel folikel. Protein transporter ini disebut sodium iodide
symporter (NIS), berada di membrane basal, dan kegiatannya tergantung adanya
energy, membutuhkan O2 yang didapatkan dari ATP. Proses ini distimulir oleh
TSH sehingga mampu meningkatkan konsentrasi yodium intrasel 100 – 500 x
lebih tinggi dibandingkan kadar ekstrasel. Hal ini dipengaruhi njuga oleh
tersedianya yodium dan aktivitas tiroid. Beberapa bahan seperti tiosianat (SCN)
dan perklorat (ClO4) justru menghambat proses ini. Beberapa ion lain dapat
menghambat pompa yodida ini dengan urutan kekuatan: TcO4, SeCN, NO2, Br.
TcO4 maupun perklorat secara klinis dapat digunakan memblok uptake yodida
dengan cara inhibisi kompetitif pada pompa yodium. Nitrit (NO2) dan Br dengan
kadar yang cukup tinggi juga dapat menghambat, meskipun kekuatannya lebih
lemah. Berdasarkan hal ini maka ‘perchlorate discharge test’ dilakukan untuk
diagnosis adanya defek proses yodinasi yang bersifat kongenital. Pertechnetat
(TcO4-) juga mampu lewat pompa yang sama, sehingga dalam klinis Pertechnetat
radioaktif digunakan memindai kelenjar tiroid.5
Tiroglobulin, suatu glikoprotein 660kDa disintesis di retikulum
endoplasmik tiroid dan glikosilasinya diselesaikan di aparatus golgi. Hanya
molekul Tg tertentu (folded molecule) mencapai membran apikal, tempat dimana
peristiwa selanjutnya terjadi. Protein kunci lainnya adalah tiroperoksidase (TPO).
Proses di apeks melibatkan Iodide, Tg, TPO, dan hidrogen peroksida (H2O2).
Produksi H2O2 membutuhkan kalsium, NADPH, dan NADPH oksidase. Yodida

7
dioksidasi oleh H2O2 dan TPO yang selanjutnya menempel pada residu tirosil yang
ada dalam rantai peptida Tg, membentuk 3- monoiodotirosin (MIT) atau 3,5-
diiodotirosin (DIT). Dua molekul DIT (masih berada dan merupakan bagian dari
Tg) bergabung menjadi T4, dengan menggabungkan grup diiodofenil DIT, donor,
dengan DIT akseptor dengan perantaraan diphenyl eter link. Dengan cara yang
sama dibentuk T3 dari donor MIT dengan reseptor DIT.5
Berikut tahap yodinasi Tiroglobulin dalam mensintesis Tiroksin:
NADPH + O2+ Ca2+ -----NADPH oksidase----- H2O2 + NADP
H2O2 + I- -----------------TPO--------------------- I0
I0 + Tg- Tyr -------------TPO--------------------- Tg-DIT
Tg-DIT-------------------TPO-------------------- Tg-T4

Sesudah pembentukan hormon selesai, Tg disimpan ekstrasel yaitu di


lumen folikel kelenjar tiroid. Sepertiga yodium disimpan sebagai T3 dan T4 dan
sisianya dalam MIT dan DIT. Bahan koloid yang ada dalam lumen sebagian besar
terdiri dari Tg. Koloid merupakan tempat menyimpan hormon maupun yodium,
yang akan disekresi bilamana dibutuhkan. Pengeluaran hormon dimulai dengan
terbentuknya vesikel endositotik di ujung vili (atas pengaruh TSH berubah menjadi
tetes koloid) dan digesti Tg oleh enzim endosom dan lisosom. Enzim proteolitik
utama adalah endopeptidase katepsin C, B, L, dan beberapa eksopeptidase. Hasil
akhirnya, dilepaskannya T4 dan T3 (yodotironin) bebas ke sirkulasi, sedang Tg-
MIT dan Tg-DIT (yodotirosin) tidak dikeluarkan tapi mengalami deiodinasi oleh
yodotirosin deyodinase, iodidanya masuk kembali ke simpanan yodium intratiroid
(intrathyroid pool) untuk konservasi yodium.5
Proses katalisasi yodinasi tiroglaobulin ini terjadi secara maksimal pada
tiroglobulin yang belum diyodinasi sama sekali dan berkurang pada yang telah
diyodinasi. Proses yodinasi ini dipengaruhi oleh berbagai obat seperti: tiourea,
propil-tiourasil (PTO), metaltiourasil (MTU), semuanya mengandung grup N C
SH. Obat-obat ini efektif menghambat pekerjaan kelenjar yang hiperaktif.
Proses tangkapan yodium, sintesis Tg, proses yodinasi di apeks serta proses
endositosis dipengaruhi oleh jenuhnya yodium intrasel. Akan dibentuk yodolips
atau yodolakton yang berpengaruh atas generasi H2O2 yang mempengaruhi
keempat proses tersebut. Ini dikenal sebagai autoregulasi kelenjar tiroid.
Pemberian yodium dalam jumlah banyak dan akut menyebabkan terbentuknya
yodolipid banyak, yang berakibat uptake yodium dan sintesis hormon berkurang
(efek Wolff- Chaikoff). Proses ini akan berkurang dengan sendirinya karena
yodolipid yang dibentuk akan berkurang dan hilang, dan terjadi escape. Bila tiroid
gagal dalam adaptasi ini, missal pada tiroiditis autoimun atau pada
dishormogenesis, terjadilah hipotiroidisme Iodine induced.
Goitrogen alamiah juga berefek di tahap ini, sehingga produksi hormon
berkurang dan memberi reaksi umpan balik berupa gondok. Yodinasi tiroglobulin
ini dipengaruhi kadar yodium plasma, sehingga makin tinggi kadar yodium intrasel
akan makin banyak yodium terikat. Kejadian sebaliknya pada defisiensi yodium,

8
yodium yang terikat berkurang, akibatnya T3 diproduksi lebih banyak daripada T4.
Apabila hormon ini disekresikan akan terlihat kadar T3 didarah meningkat, suatu
fenomena yang umumnya ditemukan di daerah GAKI berat, dikenal sebagai
preferential secretion of hormone.

TRANSPORTASI HORMON
T3 maupun T4 diikat oleh protein serum. Hanya 0,35% T4 total dan 0,25%
T3 total berada pada keadaan bebas. Ikatan T3 dengan protein, kurang kuat
dibandingkan T4, tapi efek hormonnya lebih kuat dan turnovernya lebih cepat,
sehingga T3 ini sangat penting. Ikatan hormon-protein makin melemah dari TBG
(thyroxin binding globulin), TBPA (thyroxin binding prealbumin atau transtiretin),
serum albumin. Normalnya kadar yodotironin total menggambarkan kadar hormon
bebas, namun dalam keadaan tertentu jumlah protein binding dapat berubah,
meningkat pada neonates, penggunaan estrogen termasuk kontrasepsi oral,
penyakit hati kronik dan akut, meningkatnya sintesis di hati karena pemakaian
kortikosteroid dan pada kehamilan. Menurun pada penyakit ginjal dan hati kronik,
penggunaan androgen dan steroid anabolik, sindrom nefrotik dan keadaan sakit
berat. Penggunaan obat salisilat, hidantoin, obat anti-inflamasi seperti fenklofenak
menyebabkan kadar hormon total menurun, karena obat-obat tersebut mengikat
protein secara kompetitif, akibatnya kadar hormon bebas meningkat.5

EFEK HORMON TIROID


Beberapa efek yang luas hormon tiroid pada tubuh disebabkan oleh
stimulasi O2 (efek kalorigenik), walaupun pada hormon mamalia hormon tiroid
juga mempengaruhi tumbuh kembang, mengatur metabolisme lemak, dan
meningkatkan penyerapan karbohidrat dari usus. Hormon-hormon ini juga
meningkatkan disosiasi oksigen dari hemoglobin dengan meningkatkan 2,3-
difosfogliserat (DPG) sel darah merah.5

Efek Kalorigenik
T4 dan T3 meningkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan yang
metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus,
kelenjar limfe, limpa dan hipofisis anterior. T4 sebenarnya menekan konsumsi O2
hipofisis anterior, mungkin karena T4 menghambat sekresi TSH. Peningkatan taraf
metabolisme yang ditimbulkan oleh pemberian hormon T4 dosis tunggal dapat
diukur setelah periode laten beberapa jam dan menetap 6 hari atau lebih. 5
Beberapa efek kalorigenik hormon tiroid disebabkan oleh metabolisme
asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon-hormon ini. Di samping itu hormon
tiroid meningkatkan aktivitas NaK-ATP ase yang terikat pada membran di banyak
jaringan. 5

9
Efek Sekunder Kalorigenesis
Hormon tiroid dosis tinggi menyebakan pembentukan panas tambahan
yang berakibat pada peningkatan ringan suhu tubuh, yang akan mengaktifkan
mekanisme pengeluaran panas. Tahanan tepi menurun karena terjadi vasodilatasi
kulit, tetapi curah jantung meningkat karena kombinasi efek hormon tiroid dan
katekolamin pada jantung, jadi tekanan nadi dan frekwensi jantung meningkat
serta waktu sirkulasi memendek. 5
Bila taraf tingkat metabolisme meningkat, kebutuhan seluruh vitamin
meningkat dan dapat memicu sindroma defisiensi vitamin. Hormon tiroid penting
untuk perubahan karoten menjadi vitamin A dihati, dan penumpukan karoten
dalam darah (karotenemia) pada hipotiroidisme menyebaan kulit berwarna kuning.
Karotenemia dapat dibedakan dari ikterus karena pada karotenemia sklera tidak
berwarna kuning. 5
Efek pada Sistem Saraf
Pada hipotiroidisme , proses mntal melambat dan kadar protein cairan
serebrospinal meningkat. Hormon tiroid memulihkan perubahan-perubahan
tersebut, dan dosis besar menyebabkan proses mental bertambah cepat, iritabilitas
dan kegelisahan. Secara keseluruhan aliran darah serebral serta konsumsi glukosa
dan O2 oleh otak adalah normal, baik pada orang dewasa yang mengalami hipo
dan hipertiroidisme. Namun, hormon tiroid masuk ke dalam otak orang dewasa
dan ditemukan di substansia grisea pada beberapa tempat yang berbeda. Selain itu
otak mengubah T4 menjadi T3, dan terdapat peningkatan tajam aktivitas 5-
deiodinase otak setelah tiroidektomi yang pulih 4 jam oleh suntikan T3 intravena
dosis tunggal. Sebagian efek hormon tiroid pada otak disebabkan oleh peningkatan
respomsitivitas terhadap kateolamin, dengan konsekuensi peningkatan sistem
pengaktifan retikular. Selain itu, hormon tiroid memiliki efek kuat pada
perkembangan otak. Bagian SSP yang paling dipengarui adalah korteks serebri dan
basal ganglia. Selain itu koklea juga dipengaruhi. Akibatnya, defesiensi hormon
tiroid yang terjjadi selama masa perkembangan akan menyebabkan retardasi
mental kelakuan motorik, dan mutisme-ketulian. 5
Hormon tiroid juga menimbulkan efek pada refleks. Waktu reaksi refleks
regang menjadi lebih singkat pada hipertiroidisme dan memanjang pada
hipotiroidisme. 5

Hubungan dengan Katekolamin


Kerja hormon tiroid berhubungan sangat erat dengan katekolamin
norepinefrin dan efrineprin. Epinefrin meningkatkan taraf metabolisme,
merangsang sistem saraf dan menimbulkan efek kardiovaskular, serupa yang
disebabkan oleh hormon tiroid , meskipun durasinya singkat. Norepinefrin secara
umum mempunyai efek serupa. Toksisitas katekolamin plasma normal pada
hipertiroidisme, efek kardiovaskular, gemetar, dan berkeringat yang disebabkan
oleh hormon tiroid dapat dikurangi atau dihilangkan dengan simpatektomi. Efek-

10
efek tersebut juga dapat berkurang dengan pemberian obat, seperti propanolol yang
menghambat reseptor adrenergik β. Memang propanolol dan obat-obat
penghambat reseptor β digunakan luas dalam pengobatan tirotoksikosis dan dalam
pengobatan keadaan eksaserbasi berat hipertiroidisme yang disebut badai tiroid.
Namun, meskipun obat penghambata reseptor β merupakan penghambat lemah
pada konversi ekstratiroid T4 menjadi T3, dan akibatnya dapat menimbukan sedikit
penurunan T3 plasma, penghambat reseptor β memberikan efek kecil pada kerja
hormon tiroid lain. 5

Efek pada Jantung


Hormon-hormon tiroid memberi efek multipel pada jantung. Sebagian
disebakan oleh kerja langsung T3 pada miosit, tetapi interaksi antara hormon-
hormon tiroid, katekolamin dan sistem saraf simpatis juga dapat mempengaruhi
fungsi jantung, dan juga perubahan-perubahan hemodinamik dan peningkatan
curah jantung yang disebabkan oleh peningkatan umum metaboisme. 5
Hormon tiroid meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik-β
pada jantung dan dengan demikian, meningkatkan kepekaannnya terhadap efek
inotropik dan kronotropik katekolamin. Hormon-hormon ini juga mempengaruhi
jenis miosin yang ditemukan pada otot jantung , paling tidak sebagian oleh kerja
langsung miosit. Jantung mengandung dua isoform rantai tebal miosin (myosin
heavy chain, MHC), yaitu MHC-α dan –β. Keduanya dikode oleh dua gen yang
sangat homolog yang terletak berpasangan di lengan pedek kromosom 17 pada
manuasia. Tiap-tiap molekul miosin terdiri dari dua rantai tebal dan dua pasang
rantai tipis.. Miosin yang mengandung MHC-β memiliki aktivitas ATPase yang
lebih lemah dibandingkan dengan miosin yang mengandung MHC-α. MHC-α
terdapat lebih banyak pada atria orang dewasa, dan kadar meningkat pengobatan
hormon tiroid . Hal ini meningkatkan kecepatan kontraksi jantung. Sebaliknya,
ekspresi gen MHC-α ditekan dan ekspresi gen MHC-β meningkat pada
hipotiroidisme. 5

11
TABEL 1.CHANGES IN CARDIOVASCULAR FUNCTION ASSOCIATED
WITH THYROID DISEASE.*6

MEASURE NORMAL VALUES IN VALUES IN


RANGE HYPER- HYPO-
HYROIDISM THYROIDISM

Systemic 1500–1700 700–1200 2100–2700


vascular
resistance
(dyn·sec·cm ¡5)
Heart rate 72–84 88–130 60–80
(beats/min)

Ejection fraction 50–60 >60 «60


(%)

Cardiac output 4.0–6.0 >7.0 <4.5


(liters/min)

Isovolumic 60–80 25–40 >80


relaxation time
(msec)

Blood volume (% 100 105.5 84.5


of normal value)

*The values for patients with hyperthyroidism and those with hypothyroidism are
taken from Klein and Levey,6 Graettinger et al.,7 Mintz et al.,8 Biondi et al., 9
Wieshammer et al.,10 Forfar et al.,11 Feldman et al.,12 Park etal.,13 Ojamaa et al.,14
and Klemperer et al.15
Efek pada Otot Rangka
Pada sebagian besar penderita hipertiroidisme terjadi kelemahan otot
(miopati tirotoksisitas), dan bila hipertiroidismenya berat dan berkepanjangan,
miopati yang terjadi mungkin parah. Kelemahan otot mungkin sebagian
disebabkan oleh peningkatan katabolisme protein. Hormon tiroid mempengaruhi
ekspresi gen-gen MHC baik di otot rangka maupun otot jantung. Namun, efek

12
yang ditimbulkan bersifat kompleks dan kaitannya dengan miopati masih belum
diketahui pasti. 5

Efek pada Metabolisme Karbohidrat


Hormon tiroid meningkatkan saraf penyerapan karbohidrat dari sluran
cerna, suatu efek yang mungkin tidak bergantung pada efek kalorigeniknya.
Dengan, demikin, pada hipertiroidisme, kadar glukosa plasma meningkat cepat
setelah makan makanan yang mengandung karbohidrat, kadang-kadang melebihi
ambang ginjal. Namun, kadar ini turun kembali dengan cepat.5

Efek Metabolisme Kolesterol


Hormon tiroid menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kadar kolesterol
plasma turun sebelum kecepatan metabolisme meningkat, yang menunjukakan
bahwa efek ini tidak bergantung stimulasi konsumsi O2 . Penurunan konsentrasi
kolesterol plasma disebabkan oleh peningkatan pembentukan reseptor LDL di hati,
yang menyebabkan peningkatan penyingkiran kolesterol oleh hati, dari sirkulasi.
Walaupun telah banyak usaha yang dilakukan, analog hormon tiroid belum dapat
secara klinis digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol plasma tanpa
menyebabkan peningkatan metabolisme.5

2.5 PATOGENESIS
Hipertiroidisme pada penyakit Graves adalah akibat antibodi reseptor
thyroid stimulating hormon (TSH) yang merangsang aktivitas tiroid, sedangkan
pada goiter multinodular toksik berhubungan dengan anatomi tiroid itu sendiri.
Adapula hipertiroidisme sebagai akibat peningkatan sekresi TSH dari hipofisis,
namun jarang ditemukan. Hipertiroidisme pada T3 tirotoksikosis mungkin
diakibatkan oleh deionisasi T4 pada tiroid atau meningkatnya T3 jaringan diluar
tiroid. Pada tirotoksikosis yang tidak disertai hipertiroidisme seperti tiroiditis
terjadi kebocoran hormon. Masukan hormon tiroid dari luar yang berlebihan dan
terdapatnya jaringan tiroid ektopik dapat mengakibatkan tirotoksikosis tanpa
hipertiroidisme.4

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Penyakit Graves biasanya terjadi pada usia sekitar tiga puluh dan empat
puluh tahun dan lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria. Terdapat
predisposisi familial pada penyakit ini dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk
endokrinopati autoimun lainnya. Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok
gambaran utama, tiroidal dan ekstratiroidal dan keduannya mungkin tidak tampak.
Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hipeplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat sekeresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme
berupa manifestasi berupa hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang
13
berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar dan tidak tahan panas, keringat
semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan turun, sering dsertai nfsu
makan meningkat, palpitasi, takikardi dan kelemahan serta atrofi otot.6
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%
sampai 80% pasien ditandai oleh mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata)
dan kegagalan konvergensi. Lid lag bermanifestasi sebagai gerakan kelopak mata
yang relatif lebih lambat terhadap gerakan bola matanya sewaktu pasien diminta
perlahan-lahan melirik ke bawah. Jaringan orbita dan otot-otot mata diinfiltrasi
oleh limfosit, el mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoftalmoa
(proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokular
dapat hebat sekali dan pada kasus yang ekstrim penglihatan dapat terancam.
Penyakit Graves agaknya timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam
serum pasien ini ditemukan antibodi imunoglobulin (IgG). Antibodi ini agaknya
bereaksi dengan reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat
interaksi ini antibodi tersebut dapat merangsang fungsi troid tanpa tergantung dari
TSH hipofisis yang dapat mengakibatkan hipertiroid> Imunoglobulin yang
merangsang tiroid ini (TSI) mungkin diakibatka karena suatu kelainan imunitas
yang bersifat herediter, yang memungkinkan kelompokan limfosit tertentu dapat
bertahan, berkembangbiak dan mensekresi imunoglobulin stimulator sebagai
respon terhadap beberapa faktor perngsang. Respon imun yang sama
bertanggungjawab atas oftalmopati yang ditemukan pada pasien-pasien tersebut.6

TABEL 2 .MAJOR SYMPTOMS AND SIGNS OF HYPERTHYROIDISM AND


OF GRAVES’ DISEASE AND CONDITIONS ASSOCIATED WITH GRAVES
‘DISEASE 7

Manifestations of hyperthyroidism
Symptoms
Hyperactivity, irritability, altered mood, insomnia
Heat intolerance, increased sweating
Palpitations
Fatigue, weakness
Dyspnea
Weight loss with increased appetite (weight gain

14
in 10 percent of patients)
Pruritus
Increased stool frequency
Thirst and polyuria
Oligomenorrhea or amenorrhea, loss of libido
Signs
Sinus tachycardia, atrial fibrillation
Fine tremor, hyperkinesis, hyperreflexia
Warm, moist skin
Palmar erythema, onycholysis
Hair loss
Muscle weakness and wasting
Congestive (high-output) heart failure, chorea, periodic
Paralysis (primarily in Asian men), psychosis*

Manifestations of Graves’ disease


Diffuse goiter
Ophthalmopathy
A feeling of grittiness and discomfort in the eye
Retrobulbar pressure or pain
Eyelid lag or retraction
Periorbital edema, chemosis, scleral injection
Exophthalmos (proptosis)
Extraocular-muscle dysfunction
Exposure keratitis
Optic neuropathy
Localized dermopathy
Lymphoid hyperplasia
Thyroid acropachy

15
Conditions associated with Graves’ disease
Type 1 diabetes mellitus
Addison’s disease
Vitiligo
Pernicious anemia
Alopecia areata
Myasthenia gravis
Celiac disease
Other autoimmune disorders associated with the HLA-DR3
Haplotype

Goiter nodular toksik paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia
sebagai komplikasi goiter nodular kronik. Pada pasien-pasien ini, hipertiroidisme
timbul secara lambat dan manifestasi klinisnya lebih ringan daripada penyakit
Graves. Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang persisten
terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti
penurunan berat badan, lemah dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter
multinoduler pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid
difus pada pasien penyakit Graves. Penderita Goiter nodular toksik mungkin
memperlihtkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata
berkurang) akibat aktifitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak
ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrasi seperti yang terlihat pada penyakit
Graves. Hipertiroidisme pada pasien dengan goiter multi nodular sering dapat
ditimbulkan dengan pemberian iodin (efek “jodbasedow” ).6.8
Penanganan goiter nodular toksik cukup sukar. Penangan keadaan
hipertiroid dengan hipertiroid dengan obat-obat antitiroid diikuti dengan
tiroidektomi subtotal tampaknya akan menjadi terapi pilihan. Nodul toksik dapat
dihancurkan dengan 131I, tapi goiter multi nodulat akan tetap ada, dan nodul-nodul
yang lain akan tetap menjadi toksik, sehingga dibutuhkan dosis ulangan 131I.8

16
2.7 DIAGNOSIS
Gejala dan tanda
Hipereaktivitas, palpitasi, berat badan menurun, nafsu makan meningkat, tidak
tahan panas, banyak keringat, mudah lelah, sering buang air besar,
oligomenore/amenore dan libido turun, takikardi, fibrilasi atrial, tremor halus,
refleks meningkat, kulit hangat dan basah, rambut ontok, bruit.4

GAMBAR 4. Indeks Newcastle


Untuk fase awal penentuan diagnosis perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada
pemantauan cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal
keadaan membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh
hormon tiroid, sehingga lamban pulih (lazy pituitary). Untuk memeriksa mata
disamping klinis digunakan alat eksofalmometer Herthl. Karena hormon tiroid
berpengaruh terhadap semua sel/organ maka tanda kliniknya ditemukan pada
organ kita.2

17
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit (bila
timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)4
Kombinasi peningkatan FT4I atau FT4 dan TSH tersupresi membuat
diagnosis hipertiroidisme. Pada penyakit Graves awal dan rekuren, T3 dapat
disekresikan pada jumlah berlebih sebelum T4, jadi serum T4 dapat normal
sementara T3 meningkat. Jadi, jika TSH disupresi dan FT4I tidak
meningkat, maka T3 harus diukur. Autoantibodi biasanya ada, terutama
imunoglobulin yang menstimulasi TSH-R Ab [stim]. Ini merupakan uji
diagnostik yang membantu pada pasien tiorid yang "apatetik" atau pada
pasien yang mengalami eksoftalmus unilateral tanpa tanda-tanda yang jelas
atau manifestasi laboratorium adanya penyakit Graves. Ambilan radioiodin
berguna ketika diduga ada hipotiroidisme ambilan rendah; ini dapat terjadi
pada fase subakut atau tiroiditis Hashimoto. Jenis hipopertiroidisme ini
seringkali sembuh spontan. Ekografi dan CT scan orbita telah
menunjukkan adanya pembesaran otot pada kebanyakan pasien dengan
penyakit Graves walaupun tidak terdapat tanda-tanda klinis oftalmopati.
Pada pasien dengan tanda-tanda klinis oftalmopati, pembesaran otot orbita
sering sangat menonjol.

2. Sidik tiroid (thyroid scan) terutama membedakan penyakit Plummer dari


penyakit Graves dengan komponen nodosa4
Scan technetium atau 123I dapat membantu bila dibutuhkan untuk
memperlihatkan ukuran kelenjar dan mendeteksi adanya nodul "panas" atau
"dingin. Sejak uji TSH ultrasensitif dapat mendeteksi supresi TSH, uji TRH
dan uji supresi TSH jarang dianjurkan.
3. EKG4
4. Foto thoraks 4

2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hipertiroidisme termasuk satu atau beberapa tindakan berikut ini :
Terdapat 3 metode yang tersedia (1) terapi obat anti tiroid (2) bedah dan (3) terapi
iodin radioaktif.4,9

A. Terapi Obat Antitiroid :


Secara umum, terapi dengan obat antitiroid paling berguna pada pasien-
pasien muda dengan kelenjar yang kecil dan penyakit ringan. Obat-obatan ini
(propil tiourasil aau metimazol) diberikan sampa. penyakitnya mengalami remisi
spontan. Ini terjadi pada 20-40% pasien yang diobati untuk 6 bulan sampai 15
tahun. Walaupun ini merupakan satu-satunya terapi yang meninggalkan ketenjar
tiroid yang uiuh, ini membutuhkan waktu pengawasan yang lama, dan insidens
kambuh tinggi, mungkin 60-80% meskipun pada pasien-pasien pilihan. Angka
18
kekambuhan dapat diturunkan dengan menggunakan regimen penghambat tiroid
total yang akan dijelaskan di bawah.
Terapi dengan obat-obatan antitiroid biasanya dimulai dengan dosis besar
terbagi; bila pasien telah menjadi eutiroid secara klinis, terapi rumatan dapat
dicapai dengan suatu dosis tunggal yang lebih kecil pada pagi hari. Suatu regimen
umum terdiri dari propil tiourasil 100-150 mg tiap 6 jam mula-mulanya dan
kemudian dalam waktu 4-8 minggu menurunkan dosis sampai 50-200 mg sekali
atau dua kali sehari. Propiltiourasil mempunyai, satu kelebihan dibanding
metimazol yakni bahwa propil tiourasil menghambat sebagian konversi T4 jadi T3,
sehingga efektif dalam menurunkan hormon tiroid aktif dengan cepat. Sebaliknya,
metimazol mempunyai lama kerja yang lebih panjang dan lebih berguna bila
dinginkan terapi dengan dosis tunggal. Suatu program tipikal akan dimulai dengan
dosis 40 mg metimazol tiap pagi selama 1-2 bulan; dosis ini kemudian diturunkan
menjadi 5-20 tiap pagi untuk terapi rumatan. Uji laboratorium yang paling bernilai
dalam memantau perjalanan terapi adalah FT4 serum dan TSH.
Metode alternatif lainnya menggunakan konsep penghambatan total
aktivitas tiroid. Pasien diobati dengan metimazol sampai eutiroid (sekitar 3-6
bulan), tapi selain dilanjutkan dengan penurunan dosis metimazol, pada saat ini
tevotiroksin ditambahkan dengan dosis sekitar 0,1 mg/hari. Kemudian pasien terus
mendapat kombinasi metimazol 10 mg/hari dan levotiroksin 0,1 mg/hari untuk 12-
24 bulan. Pada akhir dari waktu ini, atau ketika ukuran kelenjar kembali normal,
metimazol dihentikan dan levotiroksin dilanjutkan untuk beberapa tahun. Dengan
terapi ini, penurunan titer antibodi antitiroid sangat hebat, dan remisi jangka
panjang terjadi pada 60-80% pasien yang diobati.

19
1. Lama terapi-- Lama terapi dengan obat-obat antitiroid pada penyakit Graves
cukup bervariasi dan dapat berkisar dari 6 bulan sampai 20 tahun. Remisi yang
dipertahankan dapat diramalkan pada 80% pasien-pasien yang diterapi dengan
karakteristik sebagai berikut : (1) kelenjar tiroid kembali normal ukurannya (2)
pasien dapat dikontrol dengan obat antitiroid dosis yang relatif kecil. (3) TSH R
Ab tidak lagi dideteksi dalam serum (4) jika kelenjar tiroid kembali secara normal
bisa disupresi setelah pemberian liotironin.
2. Reaksi terhadap obat-- Reaksi alergi terhadap obat-obatan antitiroid termasuk
rash (kira-kira 5% pasien) atau agranulositosis (kira-kira 0,5% pasien). Rash dapat
dengan mudah ditangani dengan pemberian antihistamin dan bukan indikasi untuk
menghentikan terapi kecuali kalau berat dan egneralisata. Agranulositosis adalah
suatu indikasi untuk segera menghentikan terapi obat antitiroid, pemberian terapi
antibiotik yang tepat, dan mengganti ke jenis terapi alternatif, biasanya iodin
radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai oleh sakit tenggorok dan panas. Jadi,
semua pasien yang menerima obat-obat antitiroid diperintahkan bahwa bila terjadi
sakit tenggorokan atau panas, mereka harus segera berhenti minum obat,
memeriksa jumlah sel darah putih dan hitung jenis, dan pergi ke dokter. Jika
hitung sel darah putih normal, obat antitiroid dapat dilanjutkan kembali. Ikterus
lolestastik, edema angioneurotik, tokssitas hepatoselular dan artralgia akut adalah
efek samping yang jarang namun serius yang membutuhkan penghentian terapi
bila terjadi.

B. Terapi Bedah :
Tiroidektomi subtotal adalah terapi pilihan untuk pasien-pasien dengan
kelenar yang sangat besar atau goter multinodular. Pasien dipersiapkan dengan
obat antitiroid sampai eutitoid (kira-kira 6 minggu). Sebagai tambahan, mulai 2
minggu sebelum hari operasi, pasien diberikan larutan jenuh kalium iodida, 5 tetes
2 kali sehari. Regimen ini secara empiris menunjukkan bahwa dapat mengurangi
vaskularitas kelenjar dan mempermudah operasi.
Terdapat ketidaksepakatan tentang berapa banyak jaringan tiroid harus
diangkat. Tiroidektomi total biasanya tidak perlu kecuali bila pasien mempunyai
oftalmopati progresif yang berat . Sebaliknya, bila terlalu banyak jaringan tiroid
ditinggalkan, penyakitnya akan kambuh. Kebanyakan ahli bedah meninggalkan 2-
3 gram jaringan tiroid pada masing-masing sisi leher. Walaupun beberapa pasien
tidak memerlukan tambahan tiroid setelah tiroidektomi untuk penyakit Graves,
kebanyakan pasien memerlukannya.
Hipoparatiroidisme dan perlukaan nervus laringeus rekuren terjadi sebagai
komplikasi pembedahan pada kira-kira 1% kasus.

C. Terapi lodin Radioaktif :


Di Amerika Serikat, terapi dengan natrium iodida I131 adalah terapi
terpilih untuk kebanyakan pasien di atas 21 tahun. Pada banyak pasien tanpa dasar
penyakit jantung, iodin radioaktif dapat segera diberikan dengan dosis 80-120

20
uCi/gram taksiran berat tiroid dengan dasar pemeriksaan fisik dan scan rektilinear
iodida 123I.
Pada pasien dengan dasar penyakit jantung, tirotoksikosis berat atau
kelenjar yang besar (di atas 100 gram) biasanya diinginkan agar dicapai keadaan
eutiroid sebelum iodin radioaktif dimulai. Pasien-pasien ini diobati dengan obat-
obat antitiroid (seperti di atas) sampai mereka eutiroid; terapi kemudian dihentikan
selama 5-7 hari; kemudian ditentukan ambilan iodin radioaktif dan juga dilakukan
scan; dan suatu dosis 10(0150 uCi/gram berat tiroid, dihitung berdasarkan ambilan
ini. Suatu dosis yang sedikit lebih besar diperlukan pada pasien-pasien yang
sebelumnya diobati dengan obat-obat antitiroid. Setelah pemberian iodin
radioaktif, kelenjar akan mengkerut dan pasien biasanya akan jadi eutiroid dalam
waktu 6-12 minggu.
Komplikasi utama terapi radioaktif adalah hipotiroidisme, yang akhirnya
terjadi pada 80% atau lebih pasien yang diobati secara adekuat. Hal ini tidak perlu
dianggap betul-betul sebagai komplikasi dan bahkan hal inilah yang merupakan
jaminan terbaik bahwa pasien tidak akan mengalami kekambuhan hipertiroidisme.
Indeks FT4 serum dan kadar TSH harus diikuti dan bila mereka menunjukkan
terjadinya hipotiroidisme, terapi pengganti yang tepat dengan levotiroksin 0,050,2
mg/hari diberikan. Hipotiroidisme terjadi setelah jenis manapun dari terapi untuk
penyakit Graves -walau setelah terapi dengan antitiroid; pada beberapa pasien,
penyakit Graves yang "sudah habis" merupakan hasil akhir penyakit tiroid
autoimun. Oleh karena itu, semua pasien dengan penyakit Graves membutuhkan
follow up seumur hidup untuk memastikan bahwa mereka tetap dalam keadaan
eutiroid.

D. Tindakan-tindakan Medis Lain :


Selama fase akut tiroitoksikosis agen penghambat beta adrenergik sangat
membantu. Propranolol, 10-40 mg tiap 6 jam, akan mengendalikan takikardi,
hipertensi bersamaan dengan kembalinya kadar tiroksin serum menjadi normal.
Nutrisi yang mencukupi, termasuk suplemen multivitamin adalah sangat penting.
Barbiturat mempercepat metabolisme T4 dan fenobarbital bisa berguna baik
untuk khsaiat sedasinya maupun untuk menurunkan kadar T4. Natrium ipodat
atau asam ioapnoat telah terlihat menghambat sintesis hormon tiroid dan juga
pelepasannya seperti konversi perifer T4 menjadi T3. Jadi, pada dosis 1 gram
sehrai, obat ini dengan cepat mengembalikan keadaan eutiroid. Obat ini akan
membuat kelenjar tersaturasi denan iodida, jadi harus digunakan sebelum terapi
131I atau obat antitiroid dengan propiltiourasil atau metimazol. Pada pasien
dengan goiter nodular toksika dan reaksi alergi berat terhadap obat-obat antitiroid,
natrium ipodat dan penghambat beta dapat digunakan secara efektif dalam
persiapan untuk operasi.

Pilihan Terapi
Pilihan terapi akan bervariasi sesuai dengan perjalanan dan beratnya
penyakit dan kebiasaan yang berlaku. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, terapi
radioiodin menjadi terapi pilihan untuk kebanyakan pasien, sementara di Eropa

21
dan Asia, lebih disukai terapi dengan obat-obat antitiroid. Menurut pendapat
pengarang, kebanyakan pasien harus diobati dengan obat-obat antitiroid sampai
eutiroid. Jika ada respons tepat dan kelenjar mulai mengecil, pilihan terapi dengan
obat-obat antitiroid jangka panjang dengan atau tanpa terapi levotiroksin simultan
harus dipertimbangkan. Jika dosis obat antitiroid besar yang dibutuhkan untuk
mengendalikan keadaan dan kelenjar tidak mengecil sebagai respons terhadap
terapi, maka radioiodin menjadi terapi pilihan. Jika kelenjar sangat besar (> 150 g)
atau multinodular--atau jika pasien ingin segera hamil- maka tiroidektomi
merupakan pilihan cukup beralasan. Reaksi alergi serius terhadap obat antitiroid
merupakan indikasi terapi radioiodin.

Terapi Komplikasi
A. Krisis Tirotoksikosis :
Krisis tirotoksikosis (thyroid strom) membutuhkan penanganan intensif.
Propranolol, 1-2 mg pelan-pelan intravena atau 40-80 mg tiap 6 jam per oral,
sangatlah penting dalam memantau aritmia. Bila ada gagal jantung berat atau asma
dan aritmia, pemberian secara hati-hati verapamil intravena dengan doss 5-10 mg
cukup efektif. Sintess hormon dihambat oleh pemberian propiltiourasil, 250 mg
tiap 6 jam. Jika pasien tidak dapat makan obat lewat mulut, maka dapat diberikan
metimazol dengan dosis 25 mg tiap 6 jam dengan bentuk suppositoria rektal atau
enema. Setelah pemberian obat-obat antitiroid, pelepasan hormon dihambat oleh
pemberian natrium iodida, 1 gr secara intravena dalam 24 jam, atau larutan jenuh
kalium iodida, 10 tetes dua kali sehari. Natrium ipodat, 1 gr sehari diberikan secara
intravena atau per oral, dapat digunakan sebagai pengganti natrium iodida, tapi ini
akan menghambat penggunaan definitif terapi radioiodin untuk 3-6 bulan.
Konversi T4 menjadi T3 dihambat sebagian oleh kombinasi propanolol dan
propiltiourasil, tapi pemberian hidrokortison hemisuksinat 50 mg intravena tiap 6
jam, sebagai tambahan.
Terapi suportif termasuk selimut pendingin dan asetaminofen untuk bantu
mengendalikan panas. Aspirin kemungkinan merupakan kontraindikasi, oleh
karena kecenderungannya untuk mengikat TBC dan menyingkirkan tiroksin,
menyebabkan lebih banyak tiroksin yang tersedia dalam bentuk bebas. Cairan,
elektrolit dan nutrisi adalah penting. Untuk sedasi, fenobarbital kemungkinan
paling baik karena mempercepat metabolisme perifer dan inaktivasi tiroksin dan
triiodotironin, akhirnya menyebabkan kadar-kadar ini menurun. Oksigen, diuretika
dan digitalis diindikasikan untuk gagal jantung. Akhirnya, sangatlah penting untuk
mengobati proses penyakit dasar yang mungkin menimbulkan eksaserbasi akut.
Jadi, antibiotik, obat-obat anti alergi dan pelayanan pascabedah merupakan
indikasi untuk penanganan masalah-masalah ini. Tindakan-tindakan ekstrim
(jarang diperlukan) untuk mengendalikan krisis tirotoksikosis termasuk

22
plasmaferesis untuk menghilangkan kadar tironin sirkulasi yang tinggi atau dialisis
peritoneum untuk maksud yang sama.

B. Oftalmopati :
Penanganan oftalmopati karena penyakit Graves melibatkan kerjasama erat
antara ahli endokrinologi dan ahli mata. Penanganan penyakit tiroid seperti
digambarkan di atas, tapi berdasar pendapat pengarang bab ini, diindikasikan eksisi
total kelenjar tiroid atau ablasi total kelenjar dengan iodin radioaktif. Walaupun
terdapat kontroversi tentang perlunya ablasi total, pengangkatan atau destruksi
kelenjar tiroid pasti mencegah eksaserbasi dan kekambuhan yang akan memperburuk
oftalmopati residual. Satu seri prednison setelah terapi radioiodin akan mencegah
peningkatan sementara antibodi tiroid setelah ablasi radioiodin kelenjar. Tetap
mengelevasikan kepala akan mengurangi edema periorbital. Untuk reaksi inflamasi
akut yang berat suatu terapi kortikosteroid jangka pendek seringkali efektif, contoh
prednison 100 mg tiap hari per oral dalam dosis terbagi untuk 7-14 hari. Kemudian
setiap dua hari selama 612 minggu. Bila terapi kortikosteroid tidak efektif. Terapi
foto rontgen eksterna pada darah retrobulber dapat menolong. Dosis biasanya 2000
cGy pada 10 fraksi yang diberikan selama periode waktu 2 minggu. Lensa dan
struktur kamera anterior harus diberi pelindung.
Pada kasus-kasus sangat berat dengan ancaman terhadap penglihatan dapat
digunakan dekompresi orbita. Satu jenis dekompresi orbita mneyangkut pendekatan
transantral melalui sinus maksilaris dengan mengangkat lantai dinding lateral orbita.
Pada pendekatan anterior alternatif, orbita dimasuki lewat bawah bola mata, dan
sebagai lantai dan dinding orbita diangkat. Kedua pendekatan telah terbukti sangat
efektif dan eksoftalmos dapat dikurangi sampai 5-7 mm pada tiap mata dengan
teknik ini. Setelah proses akut mereda, pasien seringkali mengalami penglihatan
ganda atau kelainan kelopak mata karena fibrosis otot dan kontraktur. Hal ini bisa
dikoreksi dengan operasi kelopak kosmetis atau bedah otot mata.

C. Tirotoksikosis dan Kehamilan :


Tirotoksikosis selama kehamilan memberikan suatu masalah khusus. Iodin
radioaktif merupakan kontraindikasi karena menembus plasenta secara bebas dan
dapat melukai tiroid fetus. Tersedia dua pilihan lain yang baik. Bila penyakit
dideteksi pada trimester pertama, pasien dapat dipersiapkan dengan propiltiourasil
dan tiroidektomi subtotal dapat dilakukan dengan aman pada trimester kedua. Perlu
memberikan suplemen tiroid selama keseimbangan kehamilan.
Alternatif lain adalah pasien dapat diobati dengan obat-obatan antitiroid
selama kehamilan, dengan menunda keputusan mengenai penanganan jangka
panjang sampai setelah melahirkan. Dosis obat-obat antitiroid harus dijaga
esminimal mungkin yang diperlukan untuk mcngendalikan gejala-gejala, karena
obat-obatan ini menembus plasenta dan bisa berpengaruh pada fungsi dari kelenjar
tiroid fetus. Bila penyakit bisa dikendalikan dengan dosis awal propiltiourasil 300
mg atau kurang dan dosis pemeliharaan 50150 mg/hari, kemungkinan terjadinya
hipotiroidisme fetus sangatlah kecil. FT4I atau FT4 harus dipertahankan pada batas
atas ukuran normal dengan cara penurunan dosis propiltiourasil untuk penyesuaian.
23
Tiroksin suplemen tidak diperlukan. Menyusui tidak merupakan kontraindikasi
karena propiltiourasil tidak dikonsentrasikan di susu.
Penyakit Graves dapat terjadi pada bayi yang baru lahir. Nampaknya ada 2
bentuk penyakit pada neonatus pada ke 2 jenis ini, ibu mempunyai penyakit Graves
atau anamnestik pernah kena penyakit Graves. Akhir-akhir ini pada jenis pertama,
anak dilahirkan kecil dengan otot-otot lemah, takikardi, panas dan sering distres
respirasi atau ikterus neonatorum. Pemeriksaan menunjukkan kelenjar tiroid yang
membesar dan kadang-kadang mata membengkak, yang menonjol. Denyut jantung
cepat, suhu meningkat dan akhirnya kegagalan jantung. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan FT4I atau FT4 yang meningkat, T3 sangat meningkat dan biasanya
TSH yang rendah-bertentangan dengan bayi normal, yang mempunyai TSH yang
tinggi pada waktu lahir. Umur tulang bisa dipercepat. TSH-R Ab [stim] seringkali
ditemukan baik pada serum bayi mupun ibu. Patogenesis sindroma ini diperkirakan
menyangkut transfer transplasental TSH-R Ab [stim] dan ibu ke janin yang diikuti
oleh terjadinya tirotoksikosis. Penyakit ini sembuh sendiri dan sembuh dalam jangka
waktu 4-12 minggu, bersamaan dengan turunnya TSH-R Ab [stim] anak. Terapi
untuk bayi termasuk propiltiourasil dalam dosis 5-10 mg/kg/hari (dalam dosis
terbagi dengan selang waktu 8 jam); larutan iodin kuat (Lugol) 1 tetes (8 mg kalium
iodida) tiap 8 jam dan propranolol 2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Sebagai
tambahan, nutrisi mencukupi, antibiotik bila ada infeksi, sedatif bila perlu dan terapi
suportif merupakan indikasi. Bila anak sangat toksik, terapi kotrikosteroid
(prednison 2 mg/kg/hari) akan menghambat sebagian konversi T4 jadi T3 dan bisa
berguna dalam fase akut. Obat-obatan di atas secara bertahap dikurangi bersamaan
dengan membaiknya si anak dan biasanya dapat dihentikan setelah 6-12 minggu.
Bentuk kedua dari penyakit Graves neonatus terjadi pada anak-anak dari
keluarga dengan insiden penyakit Graves yang tinggi. Gejala-gejala terjadi lebih
lambat dan tidak bisa diperhatikan sampai anak berumur 3-6 bulan. Sindrome ini
diperkirakan diturunkan secara genetik sejati dari imunoregulasi limfosit yang
terganggu. Ini jauh lebih berat dengan mortalitas 20% dan tanda-tanda disfungsi otak
yang menetap walaupun setelah terapi yang berhasil. Hipertiroidisme dapat bertahan
selama bulanan atau tahunan dan membutuhkan terapi yang lama.
Serum ibu dapat mengandung antibodi penghambat TSH-R yang dapat
menembus plasenta dan menimbulkan hipotiroidisme transien pada bayi. Kondisi ini
dapat diobati dengan tambahan T4 untuk waktu singkat.

2.10 PERTIMBANGAN ANESTESI


Hal ini sangat penting untuk memastikan pasien secara klinis dan kimia
berada dalam keadaan eutiroid sebelum memulai operasi elektif. Meskipun sebagian
besar kasus mungkin mudah dan sederhana, kemungkinan terjadinya situasi jalan
nafas yang sulit baik terduga maupun tak terduga harus diantisipasi dengan sebaik
mungkin.

24
Penilaian Preoperasi

 Riwayat
Ini harus difokuskan pada setiap waktu jika pasien secara klinis eutiroid dan
penilaian jalan nafas kompromi. Gejala-gejala hiper- dan hipotiroid dapat terjadi
secara diam-diam dan riwayat keturunan dari keluarga mungkin berguna.
Hal ini penting untuk menetapkan sifat posisi, patologis dan ukuran goiter
dalam menyadari kompleksitas dan komplikasi potensial yang mungkin terjadi.
Sebuah goiter besar yang telah hadir selama beberapa waktu mungkin terkait dengan
tracheomalacia postoperative. Gejala disfagia, sesak nafas terkait posisi dengan
kesulitan berbaring datar, perubahan suara atau stridor dapat mengingatkan dokter
kemungkinan kesulitan dengan jalan nafas kompromi pada induksi. Bukti pada
penyakit sistemik lainnya, kompromi kardiorepiratory dan kelainan endokrin atau
autoimun yang menyertai juga harus dicari. Sebagai contoh, kanker tiroid medular
yang terkait dengan pheochromocytoma.10

 Pemeriksaan
Pasien harus dinilai untuk tanda-tanda hipertiroidisme atau hipotiroidisme.
(Tabel 3)
Pemeriksaan goiter atau nodul harus dilakukan untuk menilai ukuran dan
luasnya lesi. Sebuah nodul keras yang terfiksir menunjukkan kemungkinan
keganasan dengan kemungkinan penarikan terhadap struktur sekitarnya dan
keterbatasan gerakan. Ketidakmampuan untuk merasakan bagian bawah goiter
mungkin menunjukkan penyebaran retrosternal. Trakea harus diperiksa untuk
mengetahui setiap deviasi atau kompresi. Goiter retrosternal atau goiter yang besar
dapat menekan struktur di sekitarnya dan dapat menimbulkan tanda-tanda obstruksi
vena kava superior, Sindrom Horner, efusi pericardial atau pleura. Pemeriksaan jalan
nafas wajib secara detail mencakup penilaian atlantoaxial fleksi dan ekstensi, jarak
thyromental, Mallampatti, tonjolan dan jarak insisivus mandibular.10

25
TABEL 3. Manifestasi klinis Hipertiroidisme/hipotiroidisme

 Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah rutin termasuk hitung darah lengkap (FBC), elektrolit, fungsi
tiroid dan tingkat kalsium dikoreksi. Sangat penting untuk memastikan
pasien eutiroid sebelum operasi untuk menghindari komplikasi dari badai
tiroid (thyroid storm) atau koma myxedema dalam periode perioperative.
FBC adalah penting karena potensi untuk kehilangan darah selama
prosedur ditambah untuk mendeteksi efek samping hematologis yang
serius dari obat antitiroid bersamaan. (Tabel 4)
2. Foto toraks mungkin berguna untuk menilai ukuran goiter dan
mendeteksi setiap kompresi trakea atau deviasi. Gambaran toraks dada
lateral juga dapat membantu untuk menilai ekstensi retrosternal dan
diameter anteroposterior trakea.
3. Jika ada kekhawatiran mengenai jalan nafas, CT Scan dilakukan untuk
menentukan luas dan lokasi penyempitan trakea atau mendeteksi invasi
trakea.
4. Nasoendoskopi sering dilakukan sebelum operasi oleh THT untuk
mendokumentasikan fungsi pita suara. Ini adalah alat yang sangat
berharga bagi dokter anestesi untuk menilai saluran masuk laring dan
setiap deviasi dari anatomi normal.10
26
5. Loop volume aliran pernafasan dapat menunjukkan obstruksi jalan nafas
atas tetap dilakukan meskipun jarang bermanfaat.

Tabel 4. Obat-obat antitiroid

 Optimisasi
Operasi elektif sebaiknya ditunda sampai pasien eutiroid. Biasanya obat
antitiroid diberikan 6-8 minggu sebelum operasi. Pada hari operasi, obat-obat
antitiroid biasanya harus diberikan kecuali untuk carbimazole karena meningkatkan
vaskularisasi kelenjar. Benzodiazepine dapat diberikan untuk anxiolysis tapi harus
dihindari jika ada kekhawatiran jalan nafas. Antikolinergik dapat membantu untuk
mengeringkan sekresi jika teknik inhalasi atau serat optic direncanakan.10,11
Dalam operasi darurat, tidak mungkin membuat pasien dengan penyakit
tiroid tidak terkontrol menjadi eutiroid. Dalam keadaan ini, pasien hipertiroid harus
control dengan segera dari gejala dengan beta blocker ( misalnya propranolol,
esmolol), dan hidrasi intravena.10,11 Dapat juga diberi Natrium iodide 1-2 gram iv
drip atau hidrokortison 100-300mg iv, dapat diulang sampai total 0,1mg/kg atau
sampai nadi<90x/menit.

27
Manajemen Intraoperatif
Menurut sejarah operasi tiroid dilakukan di bawah anestesi local. Anestesi
umum adalah teknik yang lebih disukai sekarang tetapi teknik anestesi regional
masih memiliki tempat baik sebagai teknik tunggal dengan atau tanpa sedasi atau
bersamaan anestesi umum untuk meningkatkan analgesia.

 Anestesi Regional
Anestesi regional untuk operasi tiroid jarang digunakan di Inggris tetapi telah
berhasil digunakan sebagai teknik anestesi tunggal terutama di daerah sumber daya
terbatas. Untuk mencapai hasil yang paling sukses, pendekatan tim multidisiplin
perlu digunakan dengan pemilihan pasien yang tepat, edukasi pasien yang sangat
baik dan modifikasi dari teknik bedah.10
Sebuah teknik yang umum digunakan adalah blok pleksus superfisial servikal
bilateral C2-C4 dilakukan dengan monitoring penuh dengan sedasi atau tanpa sedasi.
Sedasi sadar dapat dicapai melalui penambahan midazolam atau Infus Sasaran
Terkendali (Target Controlled Infusion, TCI) propofol. Blok pleksus servikal
bilateral yang dalam memiliki insidens komplikasi yang lebih tinggi termasuk injeksi
subdural dan arteri vertebralis, dan kelumpuhan saraf frenikus terutama bilateral
yang tidak dapat ditoleransi pada beberapa pasien.10
Saraf-saraf yang mensarafi bagian anterolateral dari leher muncul dari batas
posterior sternocleidomastoid (SCM) sebagai rami anterior C2-C4, yang membagi
menjadi nervus auricularis magnus, tranversus colli, oksipitalis minor dan nervus

28

Gambar 5 : Superficial Cervical Plexus Block


supraclavicularis.10

Untuk melakukan blok pleksus superfisial servikal, pasien harus diposisikan


dengan kepala diekstensi ke sisi berlawanan, titik tengah batas posterior SCM
divisualisasikan. 15-20 mls anestesi local (misalnya lidokain dan/atau bupivakain
dengan adrenalin) disuntikkan pada wheal superfisial mendalam ke lapisan fasia
pertama pada arah caudad dan cephalad sepanjang perbatasan SCM posterior (
Gambar 5).10
Untuk tiroidektomi, blok bilateral harus dilakukan. Garis tengah lapangan
blok dapat dicapai dengan injeksi subkutaneus dari kartilago tiroid ke suprasternal
notch.
Anestesi regional dapat menghindari resiko dari anestesi umum,
memungkinkan monitoring suara intraoperative menyediakan analgesia
postoperative yang sangat baik. Teknik ini mungkin cocok untuk pasien secara medis
terganggu (termasuk tirotoksikosis rumit), atau pasien dengan gejala obstruktif
sekunder terhadap goiter yang besar untuk menghindari resiko anestesi umum.
Namun, teknik ini memilliki sejumlah komplikasi termasuk toksisitas anestesi local,
hematoma, pneumotoraks dan memerlukan kerjasama pasien yang sangat baik.10

 Anestesi Umum
Berbagai teknik dapat digunakan untuk anestesi umum. Dalam kebanyakan
kasus, pasien dapat diberi induksi intravena dan diintubasi dengan endotracheal tube.
Dianjurkan untuk mendemonstrasikan ventilasi manual sebelum memberikan
relaksan otot non-depolarisasi. Perhatian harus diambil bagi menghindari manset
tube overinflating untuk meminimalkan saraf terkait anestesi rusak.10
Agen intravena atau inhalasi dapat digunakan untuk pemeliharaan anestesi.
Relaksasi otot yang baik sangat penting dan fungsi neuromuskuler harus dipantau.
Infus remifentanil umumnya digunakan karena mengurangi kebutuhan untuk
relaksasi otot yang memungkinkan untuk pengujian elektrofisiologi saraf laring
intraoperatif dalam kasus yang rumit. Hal ini juga dapat dititrasi terhadap tekanan
darah untuk membantu dalam menghasilkan lapangan operasi tanpa darah selama
diseksi, namun memungkinkan kembali tekanan normal (supranormal) sebelum
penutupan untuk memeriksa hemostasis. Hal ini juga mungkin memerlukan
penggunaan seperti vasopressor sebagai bolus fenilefrin.10
Posisi

Untuk akses bedah yang optimal kepala sepenuhnya diekstensi dan diletak
pada sebuah cincin bantalan dengan karung pasir antara skapula tersebut. Mata harus
cukup dilapisi dan perhatian khusus diberikan kepada mereka dengan exophthalmos.
Akses ke saluran napas akan terbatas selama prosedur sehingga tube endotrakeal
harus ditempelkan aman. Ikatan leher harus dihindari. dimiringkan kepalanya adalah
lebih baik untuk memungkinkan drainase vena walaupun perhatian harus diambil
29
untuk memastikan tekanan arteri tidak terganggu. Ketika lengan diekstensi pada sisi
pasien, ekstensi panjang mengarah pada infus sangat berguna.10
Goiter retrosternal biasanya dapat diangkat melalui jalur servikal. Namun,
beberapa mungkin memerlukan suatu sternotomy.
Analgesia
Dokter bedah biasanya akan menyuntikkan anestesi lokal dan adrenalin
subkutan sebelum insisi yang memberikan beberapa efek analgesik ke periode pasca
operasi. parasetamol biasa, non-steriodal antinflammatories (NSAID) ditambah
opioid lemah biasanya cukup untuk memastikan pasien merasa nyaman, tetapi
morfin mungkin diperlukan. blok pleksus servikal superfisial Bilateral secara
signifikan dapat mengurangi kebutuhan nyeri dan morfin pada periode pasca operasi.
Pemberian antiemetik penting karena pasien ini beresiko tinggi mual dan muntah
pasca operasi. Kami menggunakan kombinasi ondansetron dan / atau cyclizine
dengan deksametason, yang juga dapat membantu mengurangi edema saluran napas
pascaoperasi.10

Kesadaran
Pada akhir prosedur ahli bedah akan meminta manuver Valsava untuk
memeriksa hemostasis. Jika ada kekhawatiran mengenai integritas saraf laring
rekuren, maka pita suara yang divisualisasikan baik dengan laringoskop, atau
teropong serat optik melalui LMA.
Blockade neuromuscular harus sepenuhnya kembali, pasien didudukkan dan
manset endotracheal tube dikempiskan sebelum diekstubasi. Dilakukan ekstubasi
saat pasien mulai sadar. Hal ini penting untuk meminimalkan manipulasi jalan nafas
dan pergerakan leher serta kepala saat mulai sadar, untuk mencegah batuk dan
tegang. Jika pita suara telah disemprot dengan lidokain pada saat intubasi, ini juga
dapat membantu mencapai kesadaran dengan lancar. Teknik alternative termasuk
ekstubasi pada tingkat anestesi yang dalam atau lidokain intravena (1,5mg/kg).
Steroid (misalnya dexametason 8mg) dapat membantu mengurangi edema saluran
nafas sekiranya prosedur terlalu lama atau sulit.10

Pertimbangan Pascaoperasi

Pendarahan
Perdarahan pasca operasi dapat menyebabkan kompresi dan obstruksi jalan
napas yang cepat. Tanda-tanda pembengkakan atau pembentukan hematoma yang
mengurangi jalan napas pasien harus segera didekompresi dengan pengangkatan klip
bedah. Penghapus klip harus disimpan di samping tempat tidur pasien. Jika ada
waktu untuk kembali ke kamar operasi, re-intubasi sejak dini sebaiknya dilakukan.

30
Edema Laring
Ini merupakan penyebab yang jarang dari obstruksi pernapasan pascaoperasi.
Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi trakea traumatik atau pada pasien
yang timbul hematoma yang dapat menyebabkan obstruksi drainase vena. Hal ini
biasanya dapat ditangani dengan steroid dan oksigen lembab.
Kelumpuhan saraf laring yang rekuren
Trauma pada nervus laring rekuren dapat disebabkan oleh iskemia, traksi,
terjepit, atau transeksi saraf selama operasi dan dapat unilateral atau bilateral.
Kelumpuhan pita suara unilateral akan hadir dengan kesulitan pernapasan, suara
serak atau kesulitan dalam fonasi sedangkan kelumpuhan bilateral akan
menyebabkan adduksi lengkap pita suara dan stridor. kelumpuhan Bilateral RLN
membutuhkan reintubasi segera dan pasien kemudian mungkin perlu trakeostomi.

Hipokalsemia
Trauma yang tidak diinginkan pada glandula paratiroid dapat menyebabkan
hipokalsemia sementara. Hipokalsemia permanen jarang terjadi. Tanda-tanda
hipokalsemia mungkin termasuk kebingungan, bergetar dan tetani. Hal ini dapat
diperoleh pada Trousseau (kejang carpopedal dipicu oleh inflasi manset) atau tanda
Chvostek (getaran wajah sewaktu menekan kelenjar parotis). Pengganti Kalsium
harus diterapkan segera karena hipokalsemia dapat memicu laryngospasme,
iritabilitas jantung, perpanjangan QT dan selanjutnya aritmia.
Tracheomalacia

Kemungkinan tracheomalacia harus dipertimbangkan pada pasien yang telah


mengalami kompresi trakea dengan goiter besar atau tumor. kebocoran manset Tes
sesaat sebelum ekstubasi adalah meyakinkan tapi peralatan harus tersedia untuk
reintubation segera jika terjadi.

Badai tiroid (Thyroid Storm)


Ditandai dengan hiperpireksia, takikardia, kesadaran berubah dan hipotensi
ini merupakan darurat medis. Meskipun jarang dilihat sekarang karena pasien
dianggap eutiroid sebelum operasi masih dapat terjadi pada pasien dengan
hipertiroidisme ketika mereka mempertahankan respons stres seperti pembedahan
atau infeksi. Manajemen suportif dengan pendinginan aktif, hidrasi, beta blockers
dan obat-obat antitiroid. Dantrolene 1mg/kg juga telah berhasil digunakan dalam
pengobatan badai tiroid.

31
BAB III
KESIMPULAN
1. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid
yang hiperaktif.
2. Etiologi hipertiroidisme berhubungan dengan umur, jenis kelamin,
pembentukan goiter, derajat hipertiroid dan status autoimun.
3. Terdapat 3 metode pengobatan hipertiroidisme yang tersedia (1) terapi obat
anti tiroid (2) bedah dan (3) terapi iodin radioaktif.
4. Pertimbangan anestesi dalam operasi hipertiroid sangat penting bagi
mengelak kemungkinan terjadinya situasi jalan nafas yang sulit baik terduga
maupun tak terduga dan harus diantisipasi dengan sebaik mungkin.
5. Pada penilaian preoperasi, riwayat penyakit harus ditanyakan bagi
memastikan pasien berada dalam kondisi optimal.
6. Pemeriksaan jalan nafas juga wajib dilakukan untuk mengetahui terdapat
kompresi atau deviasi.
7. Tes darah rutin termasuk hitung darah lengkap (FBC), elektrolit, fungsi tiroid
dan tingkat kalsium dikoreksi, foto toraks, CT Scan harus dilakukan sebelum
operasi.
8. Operasi elektif sebaiknya ditunda sampai pasien eutiroid. Biasanya obat
antitiroid diberikan 6-8 minggu sebelum operasi.
9. Dalam operasi darurat, pasien hipertiroid harus control dengan segera dari
gejala dengan beta blocker ( misalnya propranolol, esmolol), dan hidrasi
intravena.
10. Pada anesthesia regional, teknik yang umum digunakan adalah blok pleksus
superfisial servikal bilateral C2-C4 untuk operasi tiroid.
11. Anestesi regional dapat menghindari resiko dari anestesi umum,
memungkinkan monitoring suara intraoperative menyediakan analgesia
postoperative yang sangat baik.
12. Pada anestesi umum, dapat dilakukan berbagai teknik. Kebanyakan kasus
diinduksi dengan intravena dan diintubasi dengan tube.
13. Pertimbangan pasca operasi harus diperhatikan terdapatnya perdarahan,
kelumpuhan saraf laring rekuren, edema laring dan hipokalsemia.

32

Anda mungkin juga menyukai