PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan, sehingga menghasilkan sejumlah besar hormon tiroid. Hipertiroidisme
bisa ditemukan dalam bentuk penyakit Graves, gondok noduler toksik atau
hipertiroidisme sekunder.
Penyakit Graves adalah bentuk penyakit hipertiroidisme yang paling umum
di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, insidens diperkirakan antara 0,05% hingga
1,3%. Pada studi berbasiskan populasi di United Kingdom dan Irlandia, ditemukan
0,9 kasus per 100.000 anak-anak dibawah 15 tahun yang menunjukkan
peningkatan insidens penyakit bersamaan meningkatnya usia. Prevalensinya sama
pada orang kulit putih dan asia, dan lebih rendah pada orang kulit hitam.1
Penyebab terjadinya hipertiroidisme pada seseorang dapat dikarenakan
berbagai sebab yang bisa dikelompokkan menjadi primer dan sekunder yang akan
dibahas lebih lanjut.
Penderita hipertiroid akan merasakan berat badannya berkurang, berdebar-
debar, mudah berkeringat, dan mudah lelah.
Pengobatannya terdiri dari obat antitiroid, penghancuran sebagian atau total
kelenjar tiroid menggunakan iodine radioactive, dan operasi pengangkatan
sebagian atau seluruh kelenjar tiroid (tiroidektomi). Operasi tiroid dapat berkisar
dari pengangkatan sederhana dari nodul tiroid hingga operasi yang sangat
kompleks. Kehadiran goiter lama atau besar dapat menimbulkan keputusan
pengelolaan jalan napas yang sulit sementara ketidakseimbangan endokrin bisa
menimbulkan manifestasi sistemik yang amat besar yang perlu dipertimbangkan
dan dikendalikan secara perioperative. Oleh itu, tindakan anestesi pada operasi
tersebut harus dipersiapkan dengan teliti seperti yang akan dibahas dalam referat
ini.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotosikosis
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma.2
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidisme.
Tirotoksikosis adalah sindroma klinis yang terjadi bila jaringan terpajan hormon
tiroid beredar dalam kadar tinggi. Pada kebanyakan kasus, tiroksikosis disebabkan
hiperaktivitas kelenjar tiroid atau hipertiroidisme. Kadang-kadang, tirotoksikosis
bisa disebabkan sebab-sebab lain seperti menelan hormon tiroid berlebihan atau
sekresi hormon tiroid berlebihan dari tempat-tempat ektopik. Hipertiroidisme
adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Hipertiroidisme adalah penyakit umum pada orangtua. Dari 313 pasien
dengan hipertiroidisme diantaranya 246 wanita (78% berada pada rentang usia 59-
75 tahun) dan 67 laki-laki (21,4% berada pada rentang usia 56-71 tahun). Dari
etiologi yang berbeda hipertiroidisme meliputi : toxic multinodular goiter 43,1%,
Grave’s disease 21,4%, iatrogenic thyrotoxicosis 1,2%, subacute thyroiditis 1,0%,
painless thyroiditis 0,3%, factitious thyrotoxicosis 1,3%, TSH-secreting pituitary
adenoma 0,6% dan etilogi yang tidak diketahui 3,8%. Etiologi hipertiroidisme
berhubungan dengan umur, jenis kelamin, pembentukan goiter, derajat hipertiroid
dan status autoimun.3
2.3 ETIOLOGI
1. Hipertiroidisme primer : penyakit Graves, struma multinodosa toksik,
adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii,
mutasi reseptor TSH, obat kelebihan yodium (fenomena Jod Basedow).2
2. Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH,
sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG,
tirotoksikosis gestasional2
2
Gambar 1. Diagnosis banding hipertiroidisme
3
Gambar 2. Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada facia pratrakea sehingga pada setiap gerakan
menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang
merupakan cirri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid
atau tidak. Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5 – 4
cm, lebar 1,5 – 2 cm dan tebal 1 – 1,5 cm. berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh
berat badan dan masukan yodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10
– 20 gram. Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A. tiroidea superior
berasal dari a. karotis komunis atau a. karotis eksterna, a. tiroidea inferior dari a.
subclavia, dan a. tiroidea ima berasal dari a. brakiosefalik salah satu cabang arkus
aorta. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala – jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus perifollikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke
kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/ gram kelenjar/ menit; dalam keadaan
hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar
bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus
medius, sedangkan nervus laringeus rekuren berjalan di sepanjang trakea
dibelakang tiroid.
4
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat
berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian
ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.
Dengan mikroskop terlihat kelenjar tiroid terdiri atas folikel dalam berbagai
ukuran antara 50 – 500 mm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal
dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke
arah membrane basalis. Folikel ini berkelompok – kelompok sebanyak kira – kira
40 buah untuk membentuk lobules yang mendapat darah dari end arteri. Folikel
mengandung bahan yang jika diwarnai dengan hematoksilin – eosin berwarna
merah muda yang disebut koloid dan dikelilingi selapis epitel tiroid. Ternyata tiap
folikel merupakan kumpulan dari klon sel tersendiri. Sel ini berbentuk kolumnar
apabila dirangsang oleh TSH dan pipih apabila dalam keadaan tidak terangsang /
istirahat. Sel folikel mensintesis tiroglobulin (Tg) yang disekresikan ke dalam
lumen folikel. Tg adalah glikoprotein berukuran 660 kDa, dibuat di reticulum
endoplasmik, dan mengalami glikosilasi secara sempurna di aparat golgi. Protein
lain yang amat penting disini ialah tiroperoksidase (TPO). Enzim ini berukuran
dengan 103 kDa yang 44 %- nya berhomologi dengan mieloperoksidase. Baik
TPO maupun Tg bersifat antigenik seperti halnya pada penyakit tiroid autoimun,
sehingga dapat digunakan sebagai penanda penyakit. Biosintesis hormone T4 dan
T3 terjadi di dalam tiroglobulin pada batas antara apeks sel – koloid. Di sana
terlihat tonjol – tonjol mikrovili folikel ke lumen; dan tonjol ini terlihat juga dalam
proses endositosis tiroglobulin. Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3) tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari molekul
tiroglobulin. Hormon ini hanya akan dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin
ini dipecah oleh enzim khusus.
Metabolisme Iodin
Iodin memasuki tubuh dalam makanan atau air dalam bentuk ion iodida
atau iodat, dalam lambung ion iodat diubah menjadi iodida. Dalam perjalanan 100
tahun, iodin telah larut dari tanah dan terkuras ke dalam lautan, sehingga di daerah
pegunungan dan pedalaman pasokan iodin kemungkinan sangat trebatas,
sementara unsur ini melimpah di daerah-daerah pantai. Kelenjar tiroid
memekatkan dan menjebak iodida dan mensintesa serta menyimpan hormon tiroid
dalam tiroglobulin, yang mengkompensasi kelangkaan dari iodin.4
Anjuran asupan iodin adalah 150 µg/hari; jika asupan di bawah 50 µg/hari,
maka kelenjar ini tidak mampu untuk mempertahankan sekresi hormon yang
adekuat, dan akibatnya timbul hipertrofi tiroid (goiter) dan hipotiroidisme.
5
Gambar 3. Struktur kimia tiroksin (T4) dan senyawa-senyawa yang berhubungan.
Sumber-sumber dari iodin makanan termasuk garam beriodin, preparat
vitamin, obat yang mengandung iodin, dan media kontras beriodin. Iodin, seperti
klorida, diabsorbsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal dan didistribusikan
dalam cairan ekstraselular demikian juga dalam sekresi kelenjar liur, lambung dan
ASI. Walaupun konsentrasi iodida organik dalam pool cairan ekstraselular
bervariasi langsung dengan asupan iodida, I cairan ekstraslular biasanya rendah
sekali karena bersihan iodida yang cepat dari cairan ekstraselular melalui ambilan
tiroidal dan bersihan ginjal. Konsentrasi I dalam cairan ekstraselular adalah 0,6
Mg/dL, atau sejumlah 150 µg I dalam pool ekstraselular 25 L.4
Dalam kelenjar tiroid, terdapat transpor aktif dari I serum melintasi
membrana basalis sel tiroid . Tiroid mengambil sekitar 115 µg I per 24 jam; sekitar
75 µg I digunakan untuk sintesis hormon dan disimpan dalam tiroglobulin; sisanya
kembali ke dalam pool cairan ekstraselular. Pool tiroid dari iodin organik sangat
besar, mencapai rata-rata 8-10 mg; dan merupakan suatu cadangan hormon dan
tirosin teriodinisasi yang melindungi organisme terhadap periode kekurangan
iodin. Dari pool cadangan ini, sekitar 75 µg iodida hormonal dilepaskan ke dalam
sirkulasi setiap harinya. Iodida hormonal ini sebagian besar berikatan dengan
protein pengikat-tiroksin serum, membentuk suatu pool sirkulasi dari sekitar 600
µg I hormonal (sebagai T3 dan T4). Dari pool ini, sekitar 75 µg I sebagai T3 dan
T4 diambil dan dimetabolisir oleh jaringan. Sekitar 60 µg I dikembalikan ke pool
6
iodida dan sekitar 15 µg I hormonal dikonjugasi dengan gulkoronida atau sulfat
dalam hait dan diekskresikan ke dalam feses.
Karena sebagian besar dari iodida makanan diekskresikan ke dalam urin,
iodida urin 24 jam merupakan indeks yang baik sekali dari asupan melalui
makanan. Ambilan iodin radioakif 24 jam (RAIU) oleh kelenjar tiroid berbanding
terbalik dengan ukuran dari pool iodida anorganik dan berbanding langsung
dengan aktivitas tiroid.
7
dioksidasi oleh H2O2 dan TPO yang selanjutnya menempel pada residu tirosil yang
ada dalam rantai peptida Tg, membentuk 3- monoiodotirosin (MIT) atau 3,5-
diiodotirosin (DIT). Dua molekul DIT (masih berada dan merupakan bagian dari
Tg) bergabung menjadi T4, dengan menggabungkan grup diiodofenil DIT, donor,
dengan DIT akseptor dengan perantaraan diphenyl eter link. Dengan cara yang
sama dibentuk T3 dari donor MIT dengan reseptor DIT.5
Berikut tahap yodinasi Tiroglobulin dalam mensintesis Tiroksin:
NADPH + O2+ Ca2+ -----NADPH oksidase----- H2O2 + NADP
H2O2 + I- -----------------TPO--------------------- I0
I0 + Tg- Tyr -------------TPO--------------------- Tg-DIT
Tg-DIT-------------------TPO-------------------- Tg-T4
8
yodium yang terikat berkurang, akibatnya T3 diproduksi lebih banyak daripada T4.
Apabila hormon ini disekresikan akan terlihat kadar T3 didarah meningkat, suatu
fenomena yang umumnya ditemukan di daerah GAKI berat, dikenal sebagai
preferential secretion of hormone.
TRANSPORTASI HORMON
T3 maupun T4 diikat oleh protein serum. Hanya 0,35% T4 total dan 0,25%
T3 total berada pada keadaan bebas. Ikatan T3 dengan protein, kurang kuat
dibandingkan T4, tapi efek hormonnya lebih kuat dan turnovernya lebih cepat,
sehingga T3 ini sangat penting. Ikatan hormon-protein makin melemah dari TBG
(thyroxin binding globulin), TBPA (thyroxin binding prealbumin atau transtiretin),
serum albumin. Normalnya kadar yodotironin total menggambarkan kadar hormon
bebas, namun dalam keadaan tertentu jumlah protein binding dapat berubah,
meningkat pada neonates, penggunaan estrogen termasuk kontrasepsi oral,
penyakit hati kronik dan akut, meningkatnya sintesis di hati karena pemakaian
kortikosteroid dan pada kehamilan. Menurun pada penyakit ginjal dan hati kronik,
penggunaan androgen dan steroid anabolik, sindrom nefrotik dan keadaan sakit
berat. Penggunaan obat salisilat, hidantoin, obat anti-inflamasi seperti fenklofenak
menyebabkan kadar hormon total menurun, karena obat-obat tersebut mengikat
protein secara kompetitif, akibatnya kadar hormon bebas meningkat.5
Efek Kalorigenik
T4 dan T3 meningkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan yang
metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus,
kelenjar limfe, limpa dan hipofisis anterior. T4 sebenarnya menekan konsumsi O2
hipofisis anterior, mungkin karena T4 menghambat sekresi TSH. Peningkatan taraf
metabolisme yang ditimbulkan oleh pemberian hormon T4 dosis tunggal dapat
diukur setelah periode laten beberapa jam dan menetap 6 hari atau lebih. 5
Beberapa efek kalorigenik hormon tiroid disebabkan oleh metabolisme
asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon-hormon ini. Di samping itu hormon
tiroid meningkatkan aktivitas NaK-ATP ase yang terikat pada membran di banyak
jaringan. 5
9
Efek Sekunder Kalorigenesis
Hormon tiroid dosis tinggi menyebakan pembentukan panas tambahan
yang berakibat pada peningkatan ringan suhu tubuh, yang akan mengaktifkan
mekanisme pengeluaran panas. Tahanan tepi menurun karena terjadi vasodilatasi
kulit, tetapi curah jantung meningkat karena kombinasi efek hormon tiroid dan
katekolamin pada jantung, jadi tekanan nadi dan frekwensi jantung meningkat
serta waktu sirkulasi memendek. 5
Bila taraf tingkat metabolisme meningkat, kebutuhan seluruh vitamin
meningkat dan dapat memicu sindroma defisiensi vitamin. Hormon tiroid penting
untuk perubahan karoten menjadi vitamin A dihati, dan penumpukan karoten
dalam darah (karotenemia) pada hipotiroidisme menyebaan kulit berwarna kuning.
Karotenemia dapat dibedakan dari ikterus karena pada karotenemia sklera tidak
berwarna kuning. 5
Efek pada Sistem Saraf
Pada hipotiroidisme , proses mntal melambat dan kadar protein cairan
serebrospinal meningkat. Hormon tiroid memulihkan perubahan-perubahan
tersebut, dan dosis besar menyebabkan proses mental bertambah cepat, iritabilitas
dan kegelisahan. Secara keseluruhan aliran darah serebral serta konsumsi glukosa
dan O2 oleh otak adalah normal, baik pada orang dewasa yang mengalami hipo
dan hipertiroidisme. Namun, hormon tiroid masuk ke dalam otak orang dewasa
dan ditemukan di substansia grisea pada beberapa tempat yang berbeda. Selain itu
otak mengubah T4 menjadi T3, dan terdapat peningkatan tajam aktivitas 5-
deiodinase otak setelah tiroidektomi yang pulih 4 jam oleh suntikan T3 intravena
dosis tunggal. Sebagian efek hormon tiroid pada otak disebabkan oleh peningkatan
respomsitivitas terhadap kateolamin, dengan konsekuensi peningkatan sistem
pengaktifan retikular. Selain itu, hormon tiroid memiliki efek kuat pada
perkembangan otak. Bagian SSP yang paling dipengarui adalah korteks serebri dan
basal ganglia. Selain itu koklea juga dipengaruhi. Akibatnya, defesiensi hormon
tiroid yang terjjadi selama masa perkembangan akan menyebabkan retardasi
mental kelakuan motorik, dan mutisme-ketulian. 5
Hormon tiroid juga menimbulkan efek pada refleks. Waktu reaksi refleks
regang menjadi lebih singkat pada hipertiroidisme dan memanjang pada
hipotiroidisme. 5
10
efek tersebut juga dapat berkurang dengan pemberian obat, seperti propanolol yang
menghambat reseptor adrenergik β. Memang propanolol dan obat-obat
penghambat reseptor β digunakan luas dalam pengobatan tirotoksikosis dan dalam
pengobatan keadaan eksaserbasi berat hipertiroidisme yang disebut badai tiroid.
Namun, meskipun obat penghambata reseptor β merupakan penghambat lemah
pada konversi ekstratiroid T4 menjadi T3, dan akibatnya dapat menimbukan sedikit
penurunan T3 plasma, penghambat reseptor β memberikan efek kecil pada kerja
hormon tiroid lain. 5
11
TABEL 1.CHANGES IN CARDIOVASCULAR FUNCTION ASSOCIATED
WITH THYROID DISEASE.*6
*The values for patients with hyperthyroidism and those with hypothyroidism are
taken from Klein and Levey,6 Graettinger et al.,7 Mintz et al.,8 Biondi et al., 9
Wieshammer et al.,10 Forfar et al.,11 Feldman et al.,12 Park etal.,13 Ojamaa et al.,14
and Klemperer et al.15
Efek pada Otot Rangka
Pada sebagian besar penderita hipertiroidisme terjadi kelemahan otot
(miopati tirotoksisitas), dan bila hipertiroidismenya berat dan berkepanjangan,
miopati yang terjadi mungkin parah. Kelemahan otot mungkin sebagian
disebabkan oleh peningkatan katabolisme protein. Hormon tiroid mempengaruhi
ekspresi gen-gen MHC baik di otot rangka maupun otot jantung. Namun, efek
12
yang ditimbulkan bersifat kompleks dan kaitannya dengan miopati masih belum
diketahui pasti. 5
2.5 PATOGENESIS
Hipertiroidisme pada penyakit Graves adalah akibat antibodi reseptor
thyroid stimulating hormon (TSH) yang merangsang aktivitas tiroid, sedangkan
pada goiter multinodular toksik berhubungan dengan anatomi tiroid itu sendiri.
Adapula hipertiroidisme sebagai akibat peningkatan sekresi TSH dari hipofisis,
namun jarang ditemukan. Hipertiroidisme pada T3 tirotoksikosis mungkin
diakibatkan oleh deionisasi T4 pada tiroid atau meningkatnya T3 jaringan diluar
tiroid. Pada tirotoksikosis yang tidak disertai hipertiroidisme seperti tiroiditis
terjadi kebocoran hormon. Masukan hormon tiroid dari luar yang berlebihan dan
terdapatnya jaringan tiroid ektopik dapat mengakibatkan tirotoksikosis tanpa
hipertiroidisme.4
Manifestations of hyperthyroidism
Symptoms
Hyperactivity, irritability, altered mood, insomnia
Heat intolerance, increased sweating
Palpitations
Fatigue, weakness
Dyspnea
Weight loss with increased appetite (weight gain
14
in 10 percent of patients)
Pruritus
Increased stool frequency
Thirst and polyuria
Oligomenorrhea or amenorrhea, loss of libido
Signs
Sinus tachycardia, atrial fibrillation
Fine tremor, hyperkinesis, hyperreflexia
Warm, moist skin
Palmar erythema, onycholysis
Hair loss
Muscle weakness and wasting
Congestive (high-output) heart failure, chorea, periodic
Paralysis (primarily in Asian men), psychosis*
15
Conditions associated with Graves’ disease
Type 1 diabetes mellitus
Addison’s disease
Vitiligo
Pernicious anemia
Alopecia areata
Myasthenia gravis
Celiac disease
Other autoimmune disorders associated with the HLA-DR3
Haplotype
Goiter nodular toksik paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia
sebagai komplikasi goiter nodular kronik. Pada pasien-pasien ini, hipertiroidisme
timbul secara lambat dan manifestasi klinisnya lebih ringan daripada penyakit
Graves. Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang persisten
terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti
penurunan berat badan, lemah dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter
multinoduler pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid
difus pada pasien penyakit Graves. Penderita Goiter nodular toksik mungkin
memperlihtkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata
berkurang) akibat aktifitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak
ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrasi seperti yang terlihat pada penyakit
Graves. Hipertiroidisme pada pasien dengan goiter multi nodular sering dapat
ditimbulkan dengan pemberian iodin (efek “jodbasedow” ).6.8
Penanganan goiter nodular toksik cukup sukar. Penangan keadaan
hipertiroid dengan hipertiroid dengan obat-obat antitiroid diikuti dengan
tiroidektomi subtotal tampaknya akan menjadi terapi pilihan. Nodul toksik dapat
dihancurkan dengan 131I, tapi goiter multi nodulat akan tetap ada, dan nodul-nodul
yang lain akan tetap menjadi toksik, sehingga dibutuhkan dosis ulangan 131I.8
16
2.7 DIAGNOSIS
Gejala dan tanda
Hipereaktivitas, palpitasi, berat badan menurun, nafsu makan meningkat, tidak
tahan panas, banyak keringat, mudah lelah, sering buang air besar,
oligomenore/amenore dan libido turun, takikardi, fibrilasi atrial, tremor halus,
refleks meningkat, kulit hangat dan basah, rambut ontok, bruit.4
17
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit (bila
timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)4
Kombinasi peningkatan FT4I atau FT4 dan TSH tersupresi membuat
diagnosis hipertiroidisme. Pada penyakit Graves awal dan rekuren, T3 dapat
disekresikan pada jumlah berlebih sebelum T4, jadi serum T4 dapat normal
sementara T3 meningkat. Jadi, jika TSH disupresi dan FT4I tidak
meningkat, maka T3 harus diukur. Autoantibodi biasanya ada, terutama
imunoglobulin yang menstimulasi TSH-R Ab [stim]. Ini merupakan uji
diagnostik yang membantu pada pasien tiorid yang "apatetik" atau pada
pasien yang mengalami eksoftalmus unilateral tanpa tanda-tanda yang jelas
atau manifestasi laboratorium adanya penyakit Graves. Ambilan radioiodin
berguna ketika diduga ada hipotiroidisme ambilan rendah; ini dapat terjadi
pada fase subakut atau tiroiditis Hashimoto. Jenis hipopertiroidisme ini
seringkali sembuh spontan. Ekografi dan CT scan orbita telah
menunjukkan adanya pembesaran otot pada kebanyakan pasien dengan
penyakit Graves walaupun tidak terdapat tanda-tanda klinis oftalmopati.
Pada pasien dengan tanda-tanda klinis oftalmopati, pembesaran otot orbita
sering sangat menonjol.
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hipertiroidisme termasuk satu atau beberapa tindakan berikut ini :
Terdapat 3 metode yang tersedia (1) terapi obat anti tiroid (2) bedah dan (3) terapi
iodin radioaktif.4,9
19
1. Lama terapi-- Lama terapi dengan obat-obat antitiroid pada penyakit Graves
cukup bervariasi dan dapat berkisar dari 6 bulan sampai 20 tahun. Remisi yang
dipertahankan dapat diramalkan pada 80% pasien-pasien yang diterapi dengan
karakteristik sebagai berikut : (1) kelenjar tiroid kembali normal ukurannya (2)
pasien dapat dikontrol dengan obat antitiroid dosis yang relatif kecil. (3) TSH R
Ab tidak lagi dideteksi dalam serum (4) jika kelenjar tiroid kembali secara normal
bisa disupresi setelah pemberian liotironin.
2. Reaksi terhadap obat-- Reaksi alergi terhadap obat-obatan antitiroid termasuk
rash (kira-kira 5% pasien) atau agranulositosis (kira-kira 0,5% pasien). Rash dapat
dengan mudah ditangani dengan pemberian antihistamin dan bukan indikasi untuk
menghentikan terapi kecuali kalau berat dan egneralisata. Agranulositosis adalah
suatu indikasi untuk segera menghentikan terapi obat antitiroid, pemberian terapi
antibiotik yang tepat, dan mengganti ke jenis terapi alternatif, biasanya iodin
radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai oleh sakit tenggorok dan panas. Jadi,
semua pasien yang menerima obat-obat antitiroid diperintahkan bahwa bila terjadi
sakit tenggorokan atau panas, mereka harus segera berhenti minum obat,
memeriksa jumlah sel darah putih dan hitung jenis, dan pergi ke dokter. Jika
hitung sel darah putih normal, obat antitiroid dapat dilanjutkan kembali. Ikterus
lolestastik, edema angioneurotik, tokssitas hepatoselular dan artralgia akut adalah
efek samping yang jarang namun serius yang membutuhkan penghentian terapi
bila terjadi.
B. Terapi Bedah :
Tiroidektomi subtotal adalah terapi pilihan untuk pasien-pasien dengan
kelenar yang sangat besar atau goter multinodular. Pasien dipersiapkan dengan
obat antitiroid sampai eutitoid (kira-kira 6 minggu). Sebagai tambahan, mulai 2
minggu sebelum hari operasi, pasien diberikan larutan jenuh kalium iodida, 5 tetes
2 kali sehari. Regimen ini secara empiris menunjukkan bahwa dapat mengurangi
vaskularitas kelenjar dan mempermudah operasi.
Terdapat ketidaksepakatan tentang berapa banyak jaringan tiroid harus
diangkat. Tiroidektomi total biasanya tidak perlu kecuali bila pasien mempunyai
oftalmopati progresif yang berat . Sebaliknya, bila terlalu banyak jaringan tiroid
ditinggalkan, penyakitnya akan kambuh. Kebanyakan ahli bedah meninggalkan 2-
3 gram jaringan tiroid pada masing-masing sisi leher. Walaupun beberapa pasien
tidak memerlukan tambahan tiroid setelah tiroidektomi untuk penyakit Graves,
kebanyakan pasien memerlukannya.
Hipoparatiroidisme dan perlukaan nervus laringeus rekuren terjadi sebagai
komplikasi pembedahan pada kira-kira 1% kasus.
20
uCi/gram taksiran berat tiroid dengan dasar pemeriksaan fisik dan scan rektilinear
iodida 123I.
Pada pasien dengan dasar penyakit jantung, tirotoksikosis berat atau
kelenjar yang besar (di atas 100 gram) biasanya diinginkan agar dicapai keadaan
eutiroid sebelum iodin radioaktif dimulai. Pasien-pasien ini diobati dengan obat-
obat antitiroid (seperti di atas) sampai mereka eutiroid; terapi kemudian dihentikan
selama 5-7 hari; kemudian ditentukan ambilan iodin radioaktif dan juga dilakukan
scan; dan suatu dosis 10(0150 uCi/gram berat tiroid, dihitung berdasarkan ambilan
ini. Suatu dosis yang sedikit lebih besar diperlukan pada pasien-pasien yang
sebelumnya diobati dengan obat-obat antitiroid. Setelah pemberian iodin
radioaktif, kelenjar akan mengkerut dan pasien biasanya akan jadi eutiroid dalam
waktu 6-12 minggu.
Komplikasi utama terapi radioaktif adalah hipotiroidisme, yang akhirnya
terjadi pada 80% atau lebih pasien yang diobati secara adekuat. Hal ini tidak perlu
dianggap betul-betul sebagai komplikasi dan bahkan hal inilah yang merupakan
jaminan terbaik bahwa pasien tidak akan mengalami kekambuhan hipertiroidisme.
Indeks FT4 serum dan kadar TSH harus diikuti dan bila mereka menunjukkan
terjadinya hipotiroidisme, terapi pengganti yang tepat dengan levotiroksin 0,050,2
mg/hari diberikan. Hipotiroidisme terjadi setelah jenis manapun dari terapi untuk
penyakit Graves -walau setelah terapi dengan antitiroid; pada beberapa pasien,
penyakit Graves yang "sudah habis" merupakan hasil akhir penyakit tiroid
autoimun. Oleh karena itu, semua pasien dengan penyakit Graves membutuhkan
follow up seumur hidup untuk memastikan bahwa mereka tetap dalam keadaan
eutiroid.
Pilihan Terapi
Pilihan terapi akan bervariasi sesuai dengan perjalanan dan beratnya
penyakit dan kebiasaan yang berlaku. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, terapi
radioiodin menjadi terapi pilihan untuk kebanyakan pasien, sementara di Eropa
21
dan Asia, lebih disukai terapi dengan obat-obat antitiroid. Menurut pendapat
pengarang, kebanyakan pasien harus diobati dengan obat-obat antitiroid sampai
eutiroid. Jika ada respons tepat dan kelenjar mulai mengecil, pilihan terapi dengan
obat-obat antitiroid jangka panjang dengan atau tanpa terapi levotiroksin simultan
harus dipertimbangkan. Jika dosis obat antitiroid besar yang dibutuhkan untuk
mengendalikan keadaan dan kelenjar tidak mengecil sebagai respons terhadap
terapi, maka radioiodin menjadi terapi pilihan. Jika kelenjar sangat besar (> 150 g)
atau multinodular--atau jika pasien ingin segera hamil- maka tiroidektomi
merupakan pilihan cukup beralasan. Reaksi alergi serius terhadap obat antitiroid
merupakan indikasi terapi radioiodin.
Terapi Komplikasi
A. Krisis Tirotoksikosis :
Krisis tirotoksikosis (thyroid strom) membutuhkan penanganan intensif.
Propranolol, 1-2 mg pelan-pelan intravena atau 40-80 mg tiap 6 jam per oral,
sangatlah penting dalam memantau aritmia. Bila ada gagal jantung berat atau asma
dan aritmia, pemberian secara hati-hati verapamil intravena dengan doss 5-10 mg
cukup efektif. Sintess hormon dihambat oleh pemberian propiltiourasil, 250 mg
tiap 6 jam. Jika pasien tidak dapat makan obat lewat mulut, maka dapat diberikan
metimazol dengan dosis 25 mg tiap 6 jam dengan bentuk suppositoria rektal atau
enema. Setelah pemberian obat-obat antitiroid, pelepasan hormon dihambat oleh
pemberian natrium iodida, 1 gr secara intravena dalam 24 jam, atau larutan jenuh
kalium iodida, 10 tetes dua kali sehari. Natrium ipodat, 1 gr sehari diberikan secara
intravena atau per oral, dapat digunakan sebagai pengganti natrium iodida, tapi ini
akan menghambat penggunaan definitif terapi radioiodin untuk 3-6 bulan.
Konversi T4 menjadi T3 dihambat sebagian oleh kombinasi propanolol dan
propiltiourasil, tapi pemberian hidrokortison hemisuksinat 50 mg intravena tiap 6
jam, sebagai tambahan.
Terapi suportif termasuk selimut pendingin dan asetaminofen untuk bantu
mengendalikan panas. Aspirin kemungkinan merupakan kontraindikasi, oleh
karena kecenderungannya untuk mengikat TBC dan menyingkirkan tiroksin,
menyebabkan lebih banyak tiroksin yang tersedia dalam bentuk bebas. Cairan,
elektrolit dan nutrisi adalah penting. Untuk sedasi, fenobarbital kemungkinan
paling baik karena mempercepat metabolisme perifer dan inaktivasi tiroksin dan
triiodotironin, akhirnya menyebabkan kadar-kadar ini menurun. Oksigen, diuretika
dan digitalis diindikasikan untuk gagal jantung. Akhirnya, sangatlah penting untuk
mengobati proses penyakit dasar yang mungkin menimbulkan eksaserbasi akut.
Jadi, antibiotik, obat-obat anti alergi dan pelayanan pascabedah merupakan
indikasi untuk penanganan masalah-masalah ini. Tindakan-tindakan ekstrim
(jarang diperlukan) untuk mengendalikan krisis tirotoksikosis termasuk
22
plasmaferesis untuk menghilangkan kadar tironin sirkulasi yang tinggi atau dialisis
peritoneum untuk maksud yang sama.
B. Oftalmopati :
Penanganan oftalmopati karena penyakit Graves melibatkan kerjasama erat
antara ahli endokrinologi dan ahli mata. Penanganan penyakit tiroid seperti
digambarkan di atas, tapi berdasar pendapat pengarang bab ini, diindikasikan eksisi
total kelenjar tiroid atau ablasi total kelenjar dengan iodin radioaktif. Walaupun
terdapat kontroversi tentang perlunya ablasi total, pengangkatan atau destruksi
kelenjar tiroid pasti mencegah eksaserbasi dan kekambuhan yang akan memperburuk
oftalmopati residual. Satu seri prednison setelah terapi radioiodin akan mencegah
peningkatan sementara antibodi tiroid setelah ablasi radioiodin kelenjar. Tetap
mengelevasikan kepala akan mengurangi edema periorbital. Untuk reaksi inflamasi
akut yang berat suatu terapi kortikosteroid jangka pendek seringkali efektif, contoh
prednison 100 mg tiap hari per oral dalam dosis terbagi untuk 7-14 hari. Kemudian
setiap dua hari selama 612 minggu. Bila terapi kortikosteroid tidak efektif. Terapi
foto rontgen eksterna pada darah retrobulber dapat menolong. Dosis biasanya 2000
cGy pada 10 fraksi yang diberikan selama periode waktu 2 minggu. Lensa dan
struktur kamera anterior harus diberi pelindung.
Pada kasus-kasus sangat berat dengan ancaman terhadap penglihatan dapat
digunakan dekompresi orbita. Satu jenis dekompresi orbita mneyangkut pendekatan
transantral melalui sinus maksilaris dengan mengangkat lantai dinding lateral orbita.
Pada pendekatan anterior alternatif, orbita dimasuki lewat bawah bola mata, dan
sebagai lantai dan dinding orbita diangkat. Kedua pendekatan telah terbukti sangat
efektif dan eksoftalmos dapat dikurangi sampai 5-7 mm pada tiap mata dengan
teknik ini. Setelah proses akut mereda, pasien seringkali mengalami penglihatan
ganda atau kelainan kelopak mata karena fibrosis otot dan kontraktur. Hal ini bisa
dikoreksi dengan operasi kelopak kosmetis atau bedah otot mata.
24
Penilaian Preoperasi
Riwayat
Ini harus difokuskan pada setiap waktu jika pasien secara klinis eutiroid dan
penilaian jalan nafas kompromi. Gejala-gejala hiper- dan hipotiroid dapat terjadi
secara diam-diam dan riwayat keturunan dari keluarga mungkin berguna.
Hal ini penting untuk menetapkan sifat posisi, patologis dan ukuran goiter
dalam menyadari kompleksitas dan komplikasi potensial yang mungkin terjadi.
Sebuah goiter besar yang telah hadir selama beberapa waktu mungkin terkait dengan
tracheomalacia postoperative. Gejala disfagia, sesak nafas terkait posisi dengan
kesulitan berbaring datar, perubahan suara atau stridor dapat mengingatkan dokter
kemungkinan kesulitan dengan jalan nafas kompromi pada induksi. Bukti pada
penyakit sistemik lainnya, kompromi kardiorepiratory dan kelainan endokrin atau
autoimun yang menyertai juga harus dicari. Sebagai contoh, kanker tiroid medular
yang terkait dengan pheochromocytoma.10
Pemeriksaan
Pasien harus dinilai untuk tanda-tanda hipertiroidisme atau hipotiroidisme.
(Tabel 3)
Pemeriksaan goiter atau nodul harus dilakukan untuk menilai ukuran dan
luasnya lesi. Sebuah nodul keras yang terfiksir menunjukkan kemungkinan
keganasan dengan kemungkinan penarikan terhadap struktur sekitarnya dan
keterbatasan gerakan. Ketidakmampuan untuk merasakan bagian bawah goiter
mungkin menunjukkan penyebaran retrosternal. Trakea harus diperiksa untuk
mengetahui setiap deviasi atau kompresi. Goiter retrosternal atau goiter yang besar
dapat menekan struktur di sekitarnya dan dapat menimbulkan tanda-tanda obstruksi
vena kava superior, Sindrom Horner, efusi pericardial atau pleura. Pemeriksaan jalan
nafas wajib secara detail mencakup penilaian atlantoaxial fleksi dan ekstensi, jarak
thyromental, Mallampatti, tonjolan dan jarak insisivus mandibular.10
25
TABEL 3. Manifestasi klinis Hipertiroidisme/hipotiroidisme
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah rutin termasuk hitung darah lengkap (FBC), elektrolit, fungsi
tiroid dan tingkat kalsium dikoreksi. Sangat penting untuk memastikan
pasien eutiroid sebelum operasi untuk menghindari komplikasi dari badai
tiroid (thyroid storm) atau koma myxedema dalam periode perioperative.
FBC adalah penting karena potensi untuk kehilangan darah selama
prosedur ditambah untuk mendeteksi efek samping hematologis yang
serius dari obat antitiroid bersamaan. (Tabel 4)
2. Foto toraks mungkin berguna untuk menilai ukuran goiter dan
mendeteksi setiap kompresi trakea atau deviasi. Gambaran toraks dada
lateral juga dapat membantu untuk menilai ekstensi retrosternal dan
diameter anteroposterior trakea.
3. Jika ada kekhawatiran mengenai jalan nafas, CT Scan dilakukan untuk
menentukan luas dan lokasi penyempitan trakea atau mendeteksi invasi
trakea.
4. Nasoendoskopi sering dilakukan sebelum operasi oleh THT untuk
mendokumentasikan fungsi pita suara. Ini adalah alat yang sangat
berharga bagi dokter anestesi untuk menilai saluran masuk laring dan
setiap deviasi dari anatomi normal.10
26
5. Loop volume aliran pernafasan dapat menunjukkan obstruksi jalan nafas
atas tetap dilakukan meskipun jarang bermanfaat.
Optimisasi
Operasi elektif sebaiknya ditunda sampai pasien eutiroid. Biasanya obat
antitiroid diberikan 6-8 minggu sebelum operasi. Pada hari operasi, obat-obat
antitiroid biasanya harus diberikan kecuali untuk carbimazole karena meningkatkan
vaskularisasi kelenjar. Benzodiazepine dapat diberikan untuk anxiolysis tapi harus
dihindari jika ada kekhawatiran jalan nafas. Antikolinergik dapat membantu untuk
mengeringkan sekresi jika teknik inhalasi atau serat optic direncanakan.10,11
Dalam operasi darurat, tidak mungkin membuat pasien dengan penyakit
tiroid tidak terkontrol menjadi eutiroid. Dalam keadaan ini, pasien hipertiroid harus
control dengan segera dari gejala dengan beta blocker ( misalnya propranolol,
esmolol), dan hidrasi intravena.10,11 Dapat juga diberi Natrium iodide 1-2 gram iv
drip atau hidrokortison 100-300mg iv, dapat diulang sampai total 0,1mg/kg atau
sampai nadi<90x/menit.
27
Manajemen Intraoperatif
Menurut sejarah operasi tiroid dilakukan di bawah anestesi local. Anestesi
umum adalah teknik yang lebih disukai sekarang tetapi teknik anestesi regional
masih memiliki tempat baik sebagai teknik tunggal dengan atau tanpa sedasi atau
bersamaan anestesi umum untuk meningkatkan analgesia.
Anestesi Regional
Anestesi regional untuk operasi tiroid jarang digunakan di Inggris tetapi telah
berhasil digunakan sebagai teknik anestesi tunggal terutama di daerah sumber daya
terbatas. Untuk mencapai hasil yang paling sukses, pendekatan tim multidisiplin
perlu digunakan dengan pemilihan pasien yang tepat, edukasi pasien yang sangat
baik dan modifikasi dari teknik bedah.10
Sebuah teknik yang umum digunakan adalah blok pleksus superfisial servikal
bilateral C2-C4 dilakukan dengan monitoring penuh dengan sedasi atau tanpa sedasi.
Sedasi sadar dapat dicapai melalui penambahan midazolam atau Infus Sasaran
Terkendali (Target Controlled Infusion, TCI) propofol. Blok pleksus servikal
bilateral yang dalam memiliki insidens komplikasi yang lebih tinggi termasuk injeksi
subdural dan arteri vertebralis, dan kelumpuhan saraf frenikus terutama bilateral
yang tidak dapat ditoleransi pada beberapa pasien.10
Saraf-saraf yang mensarafi bagian anterolateral dari leher muncul dari batas
posterior sternocleidomastoid (SCM) sebagai rami anterior C2-C4, yang membagi
menjadi nervus auricularis magnus, tranversus colli, oksipitalis minor dan nervus
28
Anestesi Umum
Berbagai teknik dapat digunakan untuk anestesi umum. Dalam kebanyakan
kasus, pasien dapat diberi induksi intravena dan diintubasi dengan endotracheal tube.
Dianjurkan untuk mendemonstrasikan ventilasi manual sebelum memberikan
relaksan otot non-depolarisasi. Perhatian harus diambil bagi menghindari manset
tube overinflating untuk meminimalkan saraf terkait anestesi rusak.10
Agen intravena atau inhalasi dapat digunakan untuk pemeliharaan anestesi.
Relaksasi otot yang baik sangat penting dan fungsi neuromuskuler harus dipantau.
Infus remifentanil umumnya digunakan karena mengurangi kebutuhan untuk
relaksasi otot yang memungkinkan untuk pengujian elektrofisiologi saraf laring
intraoperatif dalam kasus yang rumit. Hal ini juga dapat dititrasi terhadap tekanan
darah untuk membantu dalam menghasilkan lapangan operasi tanpa darah selama
diseksi, namun memungkinkan kembali tekanan normal (supranormal) sebelum
penutupan untuk memeriksa hemostasis. Hal ini juga mungkin memerlukan
penggunaan seperti vasopressor sebagai bolus fenilefrin.10
Posisi
Untuk akses bedah yang optimal kepala sepenuhnya diekstensi dan diletak
pada sebuah cincin bantalan dengan karung pasir antara skapula tersebut. Mata harus
cukup dilapisi dan perhatian khusus diberikan kepada mereka dengan exophthalmos.
Akses ke saluran napas akan terbatas selama prosedur sehingga tube endotrakeal
harus ditempelkan aman. Ikatan leher harus dihindari. dimiringkan kepalanya adalah
lebih baik untuk memungkinkan drainase vena walaupun perhatian harus diambil
29
untuk memastikan tekanan arteri tidak terganggu. Ketika lengan diekstensi pada sisi
pasien, ekstensi panjang mengarah pada infus sangat berguna.10
Goiter retrosternal biasanya dapat diangkat melalui jalur servikal. Namun,
beberapa mungkin memerlukan suatu sternotomy.
Analgesia
Dokter bedah biasanya akan menyuntikkan anestesi lokal dan adrenalin
subkutan sebelum insisi yang memberikan beberapa efek analgesik ke periode pasca
operasi. parasetamol biasa, non-steriodal antinflammatories (NSAID) ditambah
opioid lemah biasanya cukup untuk memastikan pasien merasa nyaman, tetapi
morfin mungkin diperlukan. blok pleksus servikal superfisial Bilateral secara
signifikan dapat mengurangi kebutuhan nyeri dan morfin pada periode pasca operasi.
Pemberian antiemetik penting karena pasien ini beresiko tinggi mual dan muntah
pasca operasi. Kami menggunakan kombinasi ondansetron dan / atau cyclizine
dengan deksametason, yang juga dapat membantu mengurangi edema saluran napas
pascaoperasi.10
Kesadaran
Pada akhir prosedur ahli bedah akan meminta manuver Valsava untuk
memeriksa hemostasis. Jika ada kekhawatiran mengenai integritas saraf laring
rekuren, maka pita suara yang divisualisasikan baik dengan laringoskop, atau
teropong serat optik melalui LMA.
Blockade neuromuscular harus sepenuhnya kembali, pasien didudukkan dan
manset endotracheal tube dikempiskan sebelum diekstubasi. Dilakukan ekstubasi
saat pasien mulai sadar. Hal ini penting untuk meminimalkan manipulasi jalan nafas
dan pergerakan leher serta kepala saat mulai sadar, untuk mencegah batuk dan
tegang. Jika pita suara telah disemprot dengan lidokain pada saat intubasi, ini juga
dapat membantu mencapai kesadaran dengan lancar. Teknik alternative termasuk
ekstubasi pada tingkat anestesi yang dalam atau lidokain intravena (1,5mg/kg).
Steroid (misalnya dexametason 8mg) dapat membantu mengurangi edema saluran
nafas sekiranya prosedur terlalu lama atau sulit.10
Pertimbangan Pascaoperasi
Pendarahan
Perdarahan pasca operasi dapat menyebabkan kompresi dan obstruksi jalan
napas yang cepat. Tanda-tanda pembengkakan atau pembentukan hematoma yang
mengurangi jalan napas pasien harus segera didekompresi dengan pengangkatan klip
bedah. Penghapus klip harus disimpan di samping tempat tidur pasien. Jika ada
waktu untuk kembali ke kamar operasi, re-intubasi sejak dini sebaiknya dilakukan.
30
Edema Laring
Ini merupakan penyebab yang jarang dari obstruksi pernapasan pascaoperasi.
Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi trakea traumatik atau pada pasien
yang timbul hematoma yang dapat menyebabkan obstruksi drainase vena. Hal ini
biasanya dapat ditangani dengan steroid dan oksigen lembab.
Kelumpuhan saraf laring yang rekuren
Trauma pada nervus laring rekuren dapat disebabkan oleh iskemia, traksi,
terjepit, atau transeksi saraf selama operasi dan dapat unilateral atau bilateral.
Kelumpuhan pita suara unilateral akan hadir dengan kesulitan pernapasan, suara
serak atau kesulitan dalam fonasi sedangkan kelumpuhan bilateral akan
menyebabkan adduksi lengkap pita suara dan stridor. kelumpuhan Bilateral RLN
membutuhkan reintubasi segera dan pasien kemudian mungkin perlu trakeostomi.
Hipokalsemia
Trauma yang tidak diinginkan pada glandula paratiroid dapat menyebabkan
hipokalsemia sementara. Hipokalsemia permanen jarang terjadi. Tanda-tanda
hipokalsemia mungkin termasuk kebingungan, bergetar dan tetani. Hal ini dapat
diperoleh pada Trousseau (kejang carpopedal dipicu oleh inflasi manset) atau tanda
Chvostek (getaran wajah sewaktu menekan kelenjar parotis). Pengganti Kalsium
harus diterapkan segera karena hipokalsemia dapat memicu laryngospasme,
iritabilitas jantung, perpanjangan QT dan selanjutnya aritmia.
Tracheomalacia
31
BAB III
KESIMPULAN
1. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid
yang hiperaktif.
2. Etiologi hipertiroidisme berhubungan dengan umur, jenis kelamin,
pembentukan goiter, derajat hipertiroid dan status autoimun.
3. Terdapat 3 metode pengobatan hipertiroidisme yang tersedia (1) terapi obat
anti tiroid (2) bedah dan (3) terapi iodin radioaktif.
4. Pertimbangan anestesi dalam operasi hipertiroid sangat penting bagi
mengelak kemungkinan terjadinya situasi jalan nafas yang sulit baik terduga
maupun tak terduga dan harus diantisipasi dengan sebaik mungkin.
5. Pada penilaian preoperasi, riwayat penyakit harus ditanyakan bagi
memastikan pasien berada dalam kondisi optimal.
6. Pemeriksaan jalan nafas juga wajib dilakukan untuk mengetahui terdapat
kompresi atau deviasi.
7. Tes darah rutin termasuk hitung darah lengkap (FBC), elektrolit, fungsi tiroid
dan tingkat kalsium dikoreksi, foto toraks, CT Scan harus dilakukan sebelum
operasi.
8. Operasi elektif sebaiknya ditunda sampai pasien eutiroid. Biasanya obat
antitiroid diberikan 6-8 minggu sebelum operasi.
9. Dalam operasi darurat, pasien hipertiroid harus control dengan segera dari
gejala dengan beta blocker ( misalnya propranolol, esmolol), dan hidrasi
intravena.
10. Pada anesthesia regional, teknik yang umum digunakan adalah blok pleksus
superfisial servikal bilateral C2-C4 untuk operasi tiroid.
11. Anestesi regional dapat menghindari resiko dari anestesi umum,
memungkinkan monitoring suara intraoperative menyediakan analgesia
postoperative yang sangat baik.
12. Pada anestesi umum, dapat dilakukan berbagai teknik. Kebanyakan kasus
diinduksi dengan intravena dan diintubasi dengan tube.
13. Pertimbangan pasca operasi harus diperhatikan terdapatnya perdarahan,
kelumpuhan saraf laring rekuren, edema laring dan hipokalsemia.
32